Anda di halaman 1dari 26

29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. STROKE PERDARAHAN INTRAVENTRIKULAR

2.1.1. Definisi

Stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat

gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang

berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian tanpa

adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular (Sacco dkk, 2013).

Stroke hemoragik adalah suatu tanda klinis yang berkembang

cepat akibat disfungsi neurologis yang disebabkan oleh kumpulan

darah setempat pada parenkim otak atau sistem ventrikular yang

tidak disebabkan oleh trauma (Sacco dkk, 2013).

Perdarahan intraventrikular dapat terjadi secara primer atau

berhubungan dengan perdarahan intraserebral, perdarahan

subarakhnoid maupun cedera otak traumatik. Definisi perdarahan

intraventrikular primer dikemukakan pertama kali oleh Sanders pada

tahun 1881, yaitu terdapatnya darah hanya dalam sistem ventrikular

atau yang berkembang sampai 15mm dari dinding ventrikel, tanpa

adanya ruptur atau laserasi pada dinding ventrikel. (Tucker dkk,

2011; Giray dkk, 2009; Srivastava dkk, 2014)

Universitas Sumatera Utara


30

Perdarahan intraventrikular primer disebut juga sebagai

perdarahan intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem

ventrikel, sedangkan perdarahan intraventrikular sekunder muncul

akibat perdarahan yang berasal dari parenkim maupun rongga

subarakhnoid yang meluas ke sistem ventrikel (Hameed dkk, 2005;

Tucker dkk, 2011).

2.1.2. Epidemiologi

Berdasarkan data dari National Centre of Health Statistic

(NCHS), prevalensi terjadinya stroke di AS yang berusia ≥ 20 tahun

dilaporkan sebanyak 7.000.000 jiwa per tahun (3,0%). Data yang

diambil dari Centres for Disease Control and Prevention (CDC)

menunjukkan 2,7% laki-laki dan 3,3% wanita yang berusia ≥ 18 tahun

memiliki riwayat stroke, dimana sebesar 2,3% stroke terjadi pada ras

kulit putih non-hispanik, 4,0% pada ras kulit hitam non-hispanik, 1,6%

pada Asian/Pasific islander, 2,6% pada ras hispanis, 6,0% pada

American Indian/Alaska native dan 4,6% ras campuran. Menurut

data yang diambil dari National Institutes of Neurological Disorders

and Stroke (NINDS) sebanyak 795.000 penduduk mengalami stroke

baik baru maupun berulang setiap tahunnya, 610.000 penduduk

merupakan kasus serangan pertama dan 185.000 merupakan kasus

berulang. Dari keseluruhan jenis stroke, 87% merupakan iskemik,

10% merupakan perdarahan intraserebral dan 3% merupakan

perdarahan subarakhnoid (Roger dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara


31

Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga

kesehatan dilaporkan sebesar 7 per mil. Prevalensi stroke

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi terdapat di

Sulawesi Utara (10,8%), diikuti D.I Yogyakarta (10,3%), Bangka

Belitung dan DKI Jakarta masing-masing sebesar 9,7 per mil.

Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan

pendidikan rendah (16,5%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi

dibandingkan di desa (8,2%). Prevalensi stroke lebih tinggi dijumpai

pada masyarakat yang tidak bekerja (11,4%). Prevalensi stroke

berdasarkan diagnosis atau gejala lebih tinggi pada kuintil indeks

kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing sebesar

13,1 dan 12,6 per mil (Kementrian kesehatan, 2013).

Dari 562 pasien stroke pada 25 RS di Sumatera Utara,

didapatkan jenis kelamin perempuan sebanyak 296 (52,7%) dan laki-

laki sebanyak 266 (47,3%). Rerata usia adalah 59 (20–95) tahun.

Sebagian besar pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga sebanyak

200 (35,6%). Keluhan utama penurunan kesadaran didapati

sebanyak 198 (35,3%), hemiparesis sinistra sebanyak 134 (23,8%)

dan hemiparesis dekstra sebanyak 133 (23,7%). Faktor risiko

hipertensi dilaporkan sebanyak 497 (88,4%), diabetes melitus

sebanyak 155 (27,6%), penyakit jantung sebanyak 98 (17,4%),

dislipidemia sebanyak 161 (28,6%) dan merokok sebanyak 193

(34,3%). Pasien yang mempunyai riwayat stroke sebelumnya

dilaporkan sebanyak 86 (15,3%) dan adanya riwayat stroke keluarga

Universitas Sumatera Utara


32

sebanyak 70 (12,5%). Hasil CT Scan kepala yang menunjukkan

infark dijumpai sebanyak 302 (53,7%), hemoragik sebanyak 152

(27%), infark hemoragik sebanyak 12 (2,1%) dan 96 (17,1%) tidak

menjalani CT Scan kepala. Pada penelitian ini outcome pasien yang

hidup dijumpai sebanyak 470 subjek (83,6%). Hasil outcome dari

penelitian Misbach dkk adalah hidup membaik (59,9%), hidup tidak

membaik (1,6%), hidup memburuk (4,3%), hidup dengan status tak

tercatat (5,1%), meninggal dunia (23,3%) dan tidak ada data/tidak

diketahui (9,7%) (Rambe dkk, 2013).

Perdarahan intraventrikular terjadi pada 30%-50% kasus

perdarahan intraserebral spontan. Perdarahan intraventrikular primer

merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan sebesar 3% dari

semua perdarahan intraserebral spontan (Staykov dkk, 2009;

Hameed dkk, 2005). Sebuah penelitian yang dilakukan di Thailand

didapatkan rata-rata usia penderita perdarahan intraventrikular

adalah 52 ± 24 dengan perbandingan antara wanita : pria adalah 1 :

3 (Chiewvit dkk, 2009).

Stroke perdarahan memiliki morbiditas dan mortalitas tertinggi

pada setiap subtipe stroke. Dari 750.000 kasus stroke di AS, 15%

diantaranya adalah perdarahan intraserebral dan 5% merupakan

perdarahan subarakhnoid. Sekitar 45% merupakan perdarahan

intraserebral spontan dan 25% dari perdarahan subarakhnoid meluas

ke ventrikel. Pasien dengan perdarahan intraserebral dan

Universitas Sumatera Utara


33

perdarahan intraventrikular memiliki tingkat mortalitas sebesar 50%-

80%. Pasien dengan perdarahan intraventrikular dua kali lebih sering

menyebabkan outcome yang buruk dan hampir tiga kali lebih sering

menyebabkan kematian dibandingkan tanpa perdarahan

intraventrikular. Perdarahan intraventrikular sekunder menyebabkan

kematian pada 32% sampai 43% kasus (Hinson dkk, 2010; Morgan

dkk, 2013).

Sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan di Cina

menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular merupakan faktor

risiko yang telah terbukti terhadap buruknya prognosis, dan

mortalitasnya diperkirakan mencapai 50%-80%. Perdarahan

intraventrikular sekunder dan perdarahan supratentorial spontan

memiliki mortalitas dan prognosis buruk rata-rata sebesar 72% dan

86%. Outcome sering diperberat dengan adanya hidrosefalus akut,

efek massa dari darah di ventrikel dan hidrosefalus kronik (Li dkk,

2013).

2.1.3. Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai

faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang kuat

terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke tersebut

diantaranya : (Sjahrir, 2003; Goldstein dkk, 2006)

Universitas Sumatera Utara


34

I. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

d. Faktor keturunan

e. Berat badan lahir rendah

II. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Perilaku

1. Merokok

2. Diet tidak sehat : lemak, garam berlebihan, asam urat,

kolesterol, kurang asupan buah

3. Penyalahgunaan alkohol

4. Obat-obatan : narkoba (kokain), antikoagulan,

antiplatelet,

amfetamin, pil kontrasepsi

5. Kurang aktifitas gerak

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

2. Penyakit jantung

3. Diabetes mellitus

4. Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit

Universitas Sumatera Utara


35

perdarahan

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

Tabel 1. Faktor Risiko Perdarahan Intraventrikular


Faktor Risiko Frekuensi (%)
Jenis kelamin (pria : wanita) 1,4 : 1
Hipertensi 44-80
Diabetes melitus 8-33
Merokok 8-33
Alkohol 15
Riwayat stroke iskemik 15-17
Penggunaan antiplatelet 8-15
Penggunaan antikoagulan 4
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.

2.1.4. Etiologi

Etiologi dari perdarahan intraventrikular bervariasi dan pada

beberapa pasien tidak diketahui penyebabnya. Caplan dkk (2009)

menyatakan bahwa perdarahan intraventrikular primer tersering

berasal dari perdarahan akibat hipertensi pada arteri parenkim yang

sangat kecil dari jaringan yang sangat dekat dengan sistem

ventrikular.

Etiologi lain yang mendasari perdarahan intraventrikular

diantaranya adalah anomali pembuluh darah serebral, malformasi

pembuluh darah termasuk angioma kavernosa dan aneurisma

serebri yang merupakan penyebab tersering pada usia muda. Pada

orang dewasa, perdarahan intraventrikular disebabkan karena

adanya penyebaran perdarahan akibat hipertensi primer dari struktur

Universitas Sumatera Utara


36

periventrikel. Perdarahan intraventrikular juga dapat terjadi pada

trauma dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus

(Hinson dkk, 2010).

Tabel 2. Etiologi Perdarahan Intraventrikular Primer


Primary Intraventricular Hemorrhage
Head trauma
Insertion/removal of a ventricular catheter
Intraventricular vascular malformation, aneurysm, tumor
Bleeding diasthesis (polycythemia vera, hemophilia C, thrombocytopenia)
Moyamoya disease
Arteritis
Anticoagulation
Dural arteriovenous fistula
Unknown
Secondary Intraventricular Hemorrhage
Extension of intracerebral hematoma or subarachnoid hemorrhage caused by :
Hypertension
Cerebral aneurysm
Head trauma
Arteriovenous malformation
Vasculitis
Coagulation disorder
Hemorrhagic transformation of an ischemic infarct
Tumor
Extension of germinal matrix hematoma (premature infants)
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter
46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge
University Press. NewYork.

2.1.5. Patofisiologi

Perdarahan intraventrikular primer merupakan perdarahan

yang terbatas pada sistem ventrikuler yang bersumber dari

intraventrikel atau lesi yang bersebelahan dengan ventrikel,

contohnya trauma intraventrikular, aneurisma, malformasi pembuluh

darah dan tumor yang biasanya melibatkan pleksus koroideus.

Sekitar 70% dari perdarahan intraventrikular sekunder terjadi akibat

Universitas Sumatera Utara


37

perluasan dari perdarahan intraparenkim atau perdarahan

subarakhnoid ke dalam sistem ventrikel (Hanley dkk, 2009).

Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang

berfungsi dalam pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering

pecah akibat darah yang masuk melalui defek pada dinding arteri

dan akibat tindakan pembedahan pada kasus perdarahan

intraserebral spontan. Defek pada pembuluh darah yang dapat

menyebabkan perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma,

arteriovenous malformation, small vessel microaneurysm, profil

koagulopati atau peningkatan tekanan darah (Hanley dkk, 2009).

Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan

mempengaruhi kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi

dan hidrosefalus. Sekali dinding luar pembuluh darah yang abnormal

rusak, pembuluh darah ini akan rentan terhadap rebleeding.

Perdarahan kemudian akan mengancam hidup karena terjadi

peningkatan tekanan intrakranial dan sejumlah darah yang terdapat

dalam sistem cairan serebrospinal. Darah dalam sistem ini dapat

menyumbat membran absorbtif dan akan menyebabkan hidrosefalus

serta dilatasi seluruh sistem ventrikular (Caplan, 2009).

2.1.6. Gambaran Klinis

Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai

gejala perdarahan subarakhnoid yaitu nyeri kepala yang mendadak,

kaku kuduk, muntah dan letargi. Pada saat yang sama didapatkan

Universitas Sumatera Utara


38

peningkatan refleks dan respon plantar yang simetris. Bila

perdarahan terutama terdapat pada satu ventrikel, akan dijumpai

tanda fokal yang asimetris (Caplan, 2009). Beberapa gambaran

klinis dari perdarahan intraventrikular yang sering dijumpai

diantaranya adalah : (Tabel 3)

Tabel 3. Gambaran Klinis Pada Perdarahan Intraventrikular

Gejala dan Tanda Klinis Frekuensi (%)


Penurunan kesadaran 77-92
Mual/muntah 42-80
Nyeri kepala 69-77
Agitasi 20
Koma 20-35
Kejang 7-23
Iritasi meningeal 12-33
Defisit nervus kranialis 8-47
Hemiparesis 8-33
Refleks ekstensor plantar 12-40
Refleks tendon dalam yang asimetrIs 27
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.

Gambaran klinis pada perdarahan intraventrikular dapat

berbeda tergantung dari jumlah perdarahan dan daerah kerusakan

otak disekitarnya. Pada perdarahan intraventrikular yang berat

dijumpai tanda penurunan kesadaran, kejang baik fokal maupun

general dan tanda-tanda kompresi batang otak (Paciaroni dkk, 2012).

2.1.7. Pemeriksaan Diagnostik Pencitraan

Rekomendasi pemeriksaan diagnostik pencitraan menurut

Misbach, dkk (2011) pada pasien dengan kecurigaan stroke adalah

Universitas Sumatera Utara


39

segera melakukan CT Scan kepala (ESO, Class I) atau pilihan

alternatif dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak

(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A). Jika ada fasilitas MRI ≥ 1,5

T, gunakan sekuens Diffusion Weighted Imaging (DWI) dan T2-

weighted gradient echo (AHA/ASA, Class II, Level of evidence A).

Pemeriksaan CT Scan merupakan strategi utama yang efektif

pada pencitraan pasien stroke akut tetapi tidak sensitif untuk

perdarahan lama. Secara umum, CT Scan kurang sensitif

dibandingkan MRI, tetapi keduanya sama-sama spesifik untuk

mendeteksi adanya perdarahan atau tidak (Misbach dkk, 2011).

Rekomendasi persyaratan untuk CT Scan kepala pada stroke

akut : (Misbach dkk, 2011)

1. CT Scan kepala tanpa kontras.

2. Peralatan generasi ketiga atau keempat.

3. Ketebalan potongan 5-10 mm, dengan irisan yang terputus-

putus.

4. Potongan harus dibuat pada bidang oblik untuk mencegah

radiasi ke mata.

Kriteria diagnostik pada CT Scan kepala yang menunjukkan

adanya perdarahan adalah adanya gambaran hiperdens pada

Universitas Sumatera Utara


40

substansia alba atau grisea, dengan atau tanpa terkenanya

permukaan kortikal (40-90 Hounsfield Units) (Misbach dkk, 2011).

Perdarahan intraventrikular pada gambaran CT Scan kepala

(Gambar 1) menunjukkan gambaran hiperdens dalam sistem

ventrikel, bisa juga tampak pelebaran pada sistem ventrikel bila telah

terjadi hidrosefalus (Arboix dkk, 2012)

Gambar 1. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran CT Scan


Kepala.
Diunduh dari : Arboix, A., Garcia-Eroles, L., Vicens, A., Olivers, M., Masson,
J. 2012. Spontaneous Primary Intraventricular Hemorrhage : Clinical
Features and Early Outcome. ISRN Neurology

Gambar 2. Perdarahan Intraventrikular Pada Gambaran T1 weighted


& T2 weighted MRI Otak.
Diunduh dari : Balachandran, G. 2009. Intraventricular Hemorrhage.
Radiopaedia.org

Universitas Sumatera Utara


41

Kriteria diagnostik perdarahan pada MRI otak dibagi berdasarkan

beberapa kategori : (Tabel 4)

Tabel 4. Kriteria Diagnostik Perdarahan MRI Otak Pada Stroke Akut


KATEGORI WAKTU T1 weighted T2 weighted
Hiperakut Jam, terutama Hipointens Hiperintens
oksihemoglobin
dengan edema
disekitarnya
Akut Hari, terutama Hipointens Hipointens, dikelilingi oleh
deoksihemoglobin batas hiperintens
dengan edema
disekitarnya
Subakut Minggu, terutama Hiperintens Hipointens, subakut dini
methemoglobin dengan lebih dominan
methemoglobin
intraselular, hiperintens,
subakut lanjut dengan
lebih dominan
methemoglobin
ekstraselular
Kronik Tahun, Hipointens Hipointens atau batas
hemosiderin hipointens disekelilingi
kavitas cairan hiperintens

Dikutip dari : Misbach, J., Lamsudin, R., Aliah, A., Basyiruddin A., Suroto., Alfa,
A.Y., dkk. 2011. Guideline Stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI). Jakarta

2.1.8. Penatalaksanaan

Terapi konvensional perdarahan intraventrikular berpusat pada

tatalaksana hipertensi dan peningkatan tekanan intrakranial

bersamaan dengan koreksi koagulopati dan mencegah komplikasi

seperti perdarahan ulang dan hidrosefalus. Apabila tekanan darah

sistolik > 200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150

mmHg, tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat

antihipertensi intravena secara kontinu dengan pemantauan tekanan

darah setiap 5 menit. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mmHg

Universitas Sumatera Utara


42

atau MAP > 130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda

peningkatan tekanan intrakranial, dilakukan pemantauan tekanan

intrakranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat

antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan

pemantauan tekanan perfusi serebral ≥ 60 mmHg (Misbach dkk,

2011).

Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi

(Misbach dkk, 2011) :

1. Tinggikan posisi kepala 20o-30o.

2. Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena

jugular.

2. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik.

3. Hindari hipertermia.

4. Jaga normovolemia.

5. Osmoterapi atas indikasi :

a. Manitol 0,25-0,50 gr/KgBB, selama > 20 menit, diulang

setiap 4-6 jam dengan target ≤310 mOsm/L (AHA/ASA,

Class III, Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya

diperiksa 2 kali dalam sehari selama pemberian

osmoterapi.

Universitas Sumatera Utara


43

b. Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1

mg/kgBB i.v.

6. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (PCO2 35-40

mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan

dilakukan tindakan operatif.

7. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi

yang adekuat dapat mengurangi naiknya tekanan

intrakranial dengan cara mengurangi naiknya tekanan

intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction,

buckling ventilator (AHA/ASA, Class III-IV, Level of

evidence C). Agen non-depolarized seperti vencuronium

atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamin dan

blok pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class

III-IV, Level of evidence C). Pasien dengan kenaikan kritis

tekanan intrakranial sebaiknya diberikan relaksan otot

sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.

Hidrosefalus akut dapat terjadi setelah hari pertama, namun

lebih sering dalam 7 hari pertama. Dengan insidensi kira-kira 20%

dari kasus. Dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase

eksternal ventrikel), walaupun kemungkinan risikonya dapat terjadi

perdarahan ulang atau infeksi (AHA/ASA, Class IV-V, Level of

evidence C). Hidrosefalus kronik perlu dilakukan pengaliran cairan

serebrospinal secara temporer atau permanen seperti pemasangan

Universitas Sumatera Utara


44

ventrikulo peritoneal shunt (AHA/ASA, Class I, level of evidence B)

(Misbach dkk, 2011).

Drainase ekstraventrikel dengan fibrinolisis muncul sebagai

solusi dalam menghilangkan bekuan darah sehingga mencegah

terjadinya komplikasi hidrosefalus dan inflamasi. Penelitian Cloth

Lysis : Evaluating Accelerated Resolution of IVH (CLEAR-IVH) yang

dilakukan pada 100 pasien (placebo, n = 22, mendapatkan terapi, n

= 78), diberikan dosis 0,3 sampai 3mg setiap 8 sampai 12 jam

menunjukkan hasil bahwa pada kelompok yang mendapatkan terapi

recombinant Tissue Plasmingen Activator (rTPA) membantu dalam

terbukanya sistem ventrikular bagian bawah dan sekali bekuan

darah hilang, proses lisis bekuan darah lebih cepat dibandingkan

dengan kelompok placebo. Pada penelitian CLEAR III menunjukkan

bahwa dosis rendah rTPA (1 mg) dapat diberikan secara aman pada

pasien dengan perdarahan intraventrikular dengan bekuan darah

yang stabil dan dapat meningkatkan rata-rata lisis (Hinson dkk,

2010).

Evakuasi secara bedah pada penelitian Surgical Trial in

Intracerebral Hemorrhage (STICH) yang dilakukan pada 902 pasien

yang menunjukkan hasil baik dilaporkan sebesar 31% pada pasien

tanpa perdarahan intraventrikular dan 15% pada pasien dengan

perdarahan intraventrikular (p=<0,00001). Pasien dengan

perdarahan intraventrikular yang mendapatkan intervensi secara

pembedahan menunjukkan hasil baik sebesar 18% dan yang

Universitas Sumatera Utara


45

mendapatkan terapi konservatif sebesar 12%, tetapi perbedaan ini

secara statistik tidak signifikan (p=0,141) (Hinson dkk, 2010).

2.1.9. Komplikasi

Komplikasi stroke perdarahan intraventrikular antara lain

adalah (Christopher dkk, 2005) :

1. Hidrosefalus. Hal ini merupakan komplikasi yang sering dan

kemungkinan disebabkan karena obstruksi sirkulasi cairan

serebrospinal atau akibat berkurangnya absorbsi meningeal.

Hidrosefalus dapat berkembang pada 50% pasien dan

berhubungan dengan outcome yang buruk.

2. Perdarahan ulang (rebleeding). Hal ini dapat terjadi setelah

serangan hipertensi.

3. Vasospasme. Beberapa laporan telah menyimpulkan

hubungan antara perdarahan intraventrikular dengan

kejadian vasospasme adalah akibat adanya disfungsi

arteriovena hipotalamik yang berperan dalam vasospasme

intrakranial dan akibat adanya penumpukan atau jeratan dari

bahan spasmogenik yang timbul akibat gangguan sirkulasi

cairan serebrospinal.

Beberapa komplikasi dan outcome pada perdarahan

intraventrikular yang pernah dilaporkan diantaranya : (Tabel 5)

Universitas Sumatera Utara


46

Tabel 5. Outcome/Komplikasi Pada Perdarahan Intraventrikular

Outcome/Komplikasi Frekuensi
(%)
Hidrosefalus dini 50-73
Memerlukan pemasangan External Ventricular 19-33
Drainage (EVD)
Pemasangan Shunt 36
Lesi kausatif pada pemeriksaan angiogram 29-67
Malformasi atrioventrikular
Aneurisma 0-44
0-27
Perdarahan ulang 8-12
Mortalitas 13-47
Outcome pada penderita yang bertahan hidup
Asimptomatik
Defisit neurologis ringan 60-75
Defisit neurologis sedang- berat 13-36
10-13
Dikutip dari : Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage
Chapter 46. In : Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third
Edition. Cambridge University Press. NewYork.

2.2. ANATOMI SISTEM VENTRIKULAR

Sistem ventrikular terdiri dari : dua ventrikel lateral (masing-masing

memiliki kornu frontale, bagian tengah = cella media, kornu posterior dan

kornu inferior), ventrikel ke-tiga yang sempit, terletak diantara kedua

bagian diensefalon dan ventrikel ke-empat yang membentang dari pons

ke level medularis. Ventrikel lateral berhubungan dengan ventrikel ke-tiga

melalui foramina interventrikularia (Monro), ventrikel ke-tiga berhubungan

dengan ventrikel ke-empat melalui akuaduktus serebri, ventrikel ke-empat

berhubungan dengan ruang subarakhnoid melalui tiga jalur yaitu, sebuah

aperture mediana (foramen Megendie) dan sepasang aperture lateralis

(foramen Luschka) (Waxman, 2010).

Universitas Sumatera Utara


47

Pleksus koroideus terletak dalam sistem ventrikular dan membentuk

hubungan yang timbal balik antara darah dan sistem saraf pusat. Pleskus

koroideus terdiri atas epitel padat yang berfungsi untuk sekresi cairan

serebrospinal. Gangguan pada sistem ventrikular akan mempengaruhi

sirkulasi dan reabsorpsi cairan serebrospinal sehingga menimbulkan

hidrosefalus yang dapat memperburuk klinis penderita (Waxman, 2010).

Gambar 3. Sistem Ventrikular


Dikutip dari : Waxman, S.G. 2010. Ventricles and Covering of The Brain.
In : Clinical Neuroanatomy. NewYork : The McGraw-Hill Companies.

2.3. MODIFIED GRAEB SCORE

2.3.1. Sejarah dan Definisi

Graeb Score pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 oleh

dr. Douglas Graeb, dkk sebagai alat untuk menilai volume

perdarahan intraventrikular dan membagi tingkat keparahannya

berdasarkan jumlah darah yang terdapat dalam ventrikel lateral, ke-

tiga dan ke-empat dengan nilai dari 0 sampai 12 (Morgan dkk,

2013).

Universitas Sumatera Utara


48

Graeb Score merupakan penilaian semikuantitatif terhadap

volume perdarahan intraventrikular yang mudah & cepat

diaplikasikan, dapat dipercaya dan memberikan makna klinis

(Morgan dkk, 2013).

Modified Graeb Score merupakan modifikasi dari Original

Graeb Score (OGS) sebelumnya, dimana penilaian dilakukan pada

setiap kompartemen ventrikel (total nilai maksimal adalah 32)

sehingga merefleksikan total volume perdarahan intraventrikular

yang lebih baik (Morgan dkk, 2013).

2.3.2. Penilaian dan Interpretasi Hasil

Modified Graeb Score dinilai berdasarkan jumlah darah pada

ventrikel ke-empat (nilai maksimum 4), ventrikel ke-tiga (nilai

maksimum 4), ventrikel lateral kanan & kiri (nilai maksimal 4 untuk

masing-masing), occipital horn kanan & kiri (nilai maksimal 2 untuk

masing-masing), temporal horn kanan & kiri (nilai maksimal 2) dan

pelebaran pada setiap bagian masing-masing (nilai 1) (Morgan dkk,

2013).

Universitas Sumatera Utara


49

Gambar 4. Kompartemen Ventrikular Dalam Penilaian Modified


Graeb Score (mGS)
Diunduh dari : Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C.,
Mishra, N., et al. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for
Intraventricular Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke.
44 : 635-641

Jumlah darah pada masing-masing ventrikel diberi nilai :

ventrikel lateral kanan & kiri (0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% terisi

darah, 2 = > 25% - ≤ 50% terisi darah, 3 = > 50% - ≤ 75% terisi

darah, 4 = > 75% - 100% terisi darah), ventrikel ke-tiga dan ke-

empat (0 = tidak ada darah, 2 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 4 = > 50

– 100% terisi darah), occipital horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah,

1 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah),

temporal horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% - ≤ 50%

terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah) dan setiap pelebaran

pada ventrikel masing-masing diberi nilai 1, dengan total nilai adalah

32 (Tabel 6) (Morgan dkk, 2013).

Universitas Sumatera Utara


50

Tabel 6. Penilaian Modified Graeb Score (mGS)

Diunduh dari : Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C.,
Mishra, N. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for
Intraventricular Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke.
44 : 635-641

2.4. Modified Graeb Score dan Kematian Pada Stroke Perdarahan

Intraventrikular

Modified Graeb Score digunakan untuk menentukan tingkat

keparahan pada perdarahan intraventrikular berdasarkan ukuran

perdarahan dan terdapatnya dilatasi pada setiap ventrikel. mGS

merupakan perangkat yang dapat dipercaya dan valid dalam menilai

tingkat keparahan perdarahan intraventrikular. mGS mudah diaplikasikan

dan dapat juga digunakan sebagai monitoring pada penderita perdarahan

intraventrikular yang mendapat terapi trombolitik (Hwang dkk, 2011;

Morgan dkk, 2013).

Terdapatnya perdarahan dalam sistem ventrikel memiliki hubungan

yang signifikan dengan meningkatnya resiko outcome yang buruk (OR =

1,12; 95% CI, 1,05 – 1,19, p = < 0,0001) dan volume perdarahan secara

langsung berkorelasi dengan kemungkinan terjadinya kematian (p =

0,005) (Morgan dkk, 2013; Hwang dkk, 2011).

Universitas Sumatera Utara


51

Menurut Hameed dkk (2005) terdapatnya akumulasi darah pada

semua ventrikel merupakan suatu faktor prognostik yang buruk (RR = 4,3;

95% CI, 1,6 – 11,6, p = 0,025). Perluasan perdarahan ke ruang

intraventrikular berhubungan dengan kematian sebesar 28 (71,8%), p =

0,003) (Chiewwit dkk, 2009).

Akumulasi perdarahan pada sistem ventrikel berhubungan dengan

morbiditas dan mortalitas dalam beberapa cara. Pada fase akut, perluasan

perdarahan pada sistem ventrikel menyebabkan kerusakan pada Reticular

Activating System (RAS) dan thalamus yang menyebabkan penurunan

kesadaran, selain itu bekuan darah yang memblok cairan serebrospinal

menyebabkan hidrosefalus obstruktif. Hal ini merupakan kondisi yang

mengancam jiwa yang menyebabkan semakin berkurangnya perfusi

serebral dan secara potensial berhubungan dengan efek massa dan

edema serebri (Hinson dkk, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Hansen dkk (2016), setiap kenaikan 1

poin dari mGS berhubungan secara signifikan terhadap resiko outcome

yang buruk (mRS ≥ 4, termasuk kematian) (OR = 1,18, 95% CI, 1,10 –

1,25, p = < 0,001). Setiap kenaikan 1 poin mGS berhubungan secara

signifikan terhadap resiko kelangsungan hidup dalam 30 hari (OR = 1,22,

95% CI, 1,15 – 1,28, p = < 0,001).

Sebuah penelitian yang pernah dilakukan di Universitas Padjajaran

Bandung, dari 16 sampel yang diteliti didapatkan bahwa mGS memiliki

hubungan yang signifikan terhadap outcome perdarahan intraventrikular

(R = 0.921, p = 0,000) (Husni dan Arifin, 2013).

Universitas Sumatera Utara


52

Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, pada penelitian

yang dilakukan oleh Staykov dkk (2009) menunjukkan tidak dijumpai

korelasi yang signifikan antara tingkat keparahan perdarahan

intraventrikular yang dinilai dengan Graeb Score atau volume perdarahan

intraventrikular absolut dengan outcome pada hari ke-90 dan 180 (p =

0,18).

Universitas Sumatera Utara


53

2. 5. KERANGKA TEORI
VOLUME PERDARAHAN STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR

mGS dapat digunakan untuk


menilai perkiraan volume
perdarahan intraventrikular
(Morgan, dkk 2013; Husni & Arifin,
2013)

mGS PENATALAKSANAAN

KONSERVATIF

Graeb score memiliki tingkat akurasi Setiap kenaikan skor mGS


yang baik dalam memprediksi meningkatkan 12% terjadinya
outcome (Hwang dkk, 2011) outcome buruk (Morgan dkk, 2013)

P ↑ volume perdarahan yang dinilai Peningkatan/penurunan volume


dengan mGS me↑ prediksi outcome perdarahan selama 6 hari onset tidak
buruk & kematian secara signifikan berhubungan dengan outcome
(Husni & Arifin, 2013) (Hwang dkk, 2011)

Perkembangan volume perdarahan


dalam 24 jam pertama menunjukkan
adanya hubungan dengan tingkat
keparahan dan kematian (Hwang
dkk, 2011)

Volume perdarahan secara langsung OPERATIF


berkorelasi dengan kemungkinan
terjadinya kematian (Morgan dkk, mGS memiliki hubungan yang
2013; Hwang dkk, 2011) signifikan terhadap outcome (Husni
dan Arifin, 2013)

Terdapat perbedaan yang tidak


Akumulasi darah pada sistem signifikan antara kelompok EVD dan
ventrikel merupakan faktor non-EVD terhadap insiden outcome
prognostik yang buruk & buruk (Hwang dkk, 2011)
berhubungan secara dengan
kematian (Chiewvit dkk, 2009)
Tidak dijumpai korelasi yang
signifikan antara tingkat keparahan
yang dinilai dengan graeb score atau
volume perdarahan absolut dengan
outcome hari ke-90 & 180 (Staykov
dkk, 2009)

KEMATIAN

Universitas Sumatera Utara


54

2. 6. KERANGKA KONSEP

STROKE PERDARAHAN
INTRAVENTRIKULAR

 MODIFIED GRAEB
SCORE OUTCOME/
KEMATIAN

 PENATALAKSANAAN :
- KONSERVATIF
- OPERATF

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai