Anda di halaman 1dari 9

Available online at : http://edujurnal.iainjambi.ac.id/index.

php/ijer

IJER, 2 (1), 2017, 18 - 26

Praksis Pendidikan Menurut Habermas


(Rekonstruksi Teori Evolusi Sosial Melalui Proses Belajar Masyarakat)
I Ketut Wisarja, I Ketut Sudarsana*

Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, Jl. Ratna No.51, Tonja, Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali
80237, Indonesia

Abstrak
Habermas yang bernama lengkap Jurgen Habermas seorang filosuf Jerman dari mazhab kritis.
Ia mengkritik habis epistemologi pendahulunya yakni; Karl Marx terhadap pengandaian-
pengandaian dan material historis sebagai cacat fundamental, yang mengkaitkan secara linier
kemajuan rasionalitas manusia dengan perkembangan alat-alat produksi. Habermas
mengatakan ini dapat terjadi karena materialisme historis mengesampingkan segi-segi
komunikatif yang mendasari formasi sosial baru disetiap tahap perkembangan masyarakat.
Proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung pada kompetensi individu-individu
yang menjadi anggotanya. Kompetensi itu tidak dikembangkan secara individual dan terisolasi,
tetapi dengan interaksi sosial melalui perantara struktur-struktur simbolis yang berasal dari
dunia kehidupan mereka. Perkembangan kompetensi ini terjadi dalam tiga tahap komunikasi
yang oleh Habermas disebut “Sketsa tiga tahap perkembangan kompetensi
komunikatif”.Pengendalian teknis terhadap proses-proses yang objektif atau yang diobjektifkan
telah menggantikan emansipasi manusia. Kolonisasi paradigma sistem terhadap paradigma
dunia-kehidupan telah mengarahkan kesadaran hidup bersama pada perilaku yang manipulatif.
Konsekuensi logisnya, wacana pendidikan cenderung mengarahkan dirinya ke dalam logika
sistem-industri yang tengah terselenggara, dengan demikian pendidikan niscaya mempertautkan
dirinya dengan gerak modernisasi.
Kata Kunci: praksis pendidikan, rekonstruksi teori evolusi sosial, dan proses belajar
masyarakat.

Abstract
[Education Praxis according to Habermas (Reconstruction of Social Evolution Theory
Through Community Learning Process).]Habermas whose full name is Jurgen Habermas a
German philosopher from a critical school. He criticized the epistemology of his predecessors,
namely; Karl Marx against historical assumptions and materials as fundamental flaws, which
linearly associate the progress of human rationality with the development of the means of
production. Habermas says this can happen because historical materialism ignores the
communicative aspects underlying new social formations at every stage of community
development. The evolutionary process of community learning depends on the competence of the
individuals who are members. The competence is not developed individually and isolated, but by
social interaction through the intermediaries of the symbolic structures derived from their living
world. This development of competence occurs in three stages of communication which
Habermas calls the "Sketch of the three stages of the development of communicative
competence".The technical control of objective or objectified processes has replaced human
emancipation. The colonization of the system paradigm against the life-world paradigm has
directed awareness of coexistence on manipulative behavior. The logical consequence, the
educational discourse tends to direct itself into the logic of the established industry-system, so
education necessarily links itself to the motion of modernization.
Keywords: education practices, reconstruction of social evolution theory, and community
learning process.

1. Pendahuluan pada seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.


Sejak digulirkannya gerakan reformasi di Apa yang semula dianggap mapan (established) oleh
Indonesia, tentu membawa akibat yang berpengaruh kebanyakan orang, saat ini tidak menutup
kemungkinan untuk dipertanyakan kembali, diubah,
_________________________________ atau bahkan diganti sama sekali. Fakta yang dapat
*
Penulis korespondensi
email: ulakan82@gmail.com

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 19
ditunjuk untuk penjelasan ini misalnya, pada masa orde sama lain (Hardiman, 1990). Proses-belajar
baru, budaya oposisi dianggap sebagai hal yang tabu masyarakat itu hanya dapat dimungkinkan berjalan bila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. prasyarat-prasyarat yang diperlukan dapat terpenuhi.
Berhembusnya angin reformasi membawa pada suatu Prasyarat tersebut adalah tersedianya kondisi-kondisi
perubahan bahwa budaya oposisi tidak lagi dianggap tertentu yang memungkinkan manusia untuk
sebagai sesuatu yang perlu untuk dihindari, bahkan berbincang secara komunikatif. Kondisi tersebut
justru saat ini dianggap sebagai suatu kebutuhan. Hal menurut Habermas, mengacu pada terciptanya suatu
ini dapat dilihat pada perkembangan akhir-akhir ini, suasana berbincang yang membuka peluang bagi
dengan makin marak munculnya partai-partai baru masing-masing individu yang terlibat di dalamnya
sebagai salah satu indikator bagi mulai diterimanya untuk mengajukan pendapat, kepentingan dan
budaya oposisi oleh masyarakat Indonesia. kekhawatirannya tanpa merasa tertekan. Hubungan
Implikasi lebih lanjut dari mulai terbukanya yang terjadi disini adalah hubungan antara pihak-pihak
kran budaya oposisi ini berpengaruh pula terhadap yang mempunyai kedudukan sama dan bukan
pemahaman tentang konsep masyarakat ideal. Selama hubungan kekuasaan. Hal ini dapat terjadi apabila
ini konsep masyarakat yang menonjolkan keselarasan masing-masing pihak saling mengakui kebebasan
dan keserasian merupakan model masyarakat yang oleh lawan dialognya dan saling percaya.
sebagian besar masyarakat Indonesia dianggap sebagai Kondisi seperti yang telah digambarkan
bentuk yang ideal. Kehidupan masyarakat yang baik Habermas tersebut dalam masyarakat Indonesia
adalah kehidupan yang diwarnai oleh suasana rukun, agaknya belum sepenuhnya dapat terealisasi dengan
menghindari adanya pertentangan. Sekilas hal ini baik. Adanya represi terhadap kebebasan berpendapat
nampak wajar-wajar saja dan masuk akal. merupakan fenomena yang sering tergelar dihadapan
Kenyataannya, secara umum manusia memang tidak mata. Hal ini semakin diperkuat oleh kultur
pernah menginginkan timbulnya konflik dalam paternalistik yang melekat dalam ciri masyarakat
interaksi dengan lingkungannya. Tidak dapat Indonesia, sehingga hubungan sosial yang terjadi lebih
dipungkiri bahwa sikap rukun merupakan hal yang didominasi oleh hubungan yang bersifat vertikal
penting bagi kehidupan bersama, sebab dengan daripada hubungan yang bersifat horisontal. Pola
kerukunan itu memungkinkan masyarakat untuk secara komunikasinya cendrung dari atas ke bawah (top-
bersama-sama mengatasi masalah yang dihadapi. down). Kultur paternalistik yang demikian ini
Namun, kecendrungan untuk menekankan pada aspek mengarah pada suatu kondisi bahwa segala sesuatu
keselarasan yang berlebihan juga membuka peluang yang menyangkut inisiatif, teladan dan kewenangan
bagi timbulnya masalah baru, yakni matinya kreativitas harus dimulai dari pemimpin (Panuju, 1987). Tidak
dan terhambatnya kemajuan (Suseno, 1992). Interaksi mengherankan jika dalam suatu forum, budaya kritik
sosial merupakan kata kunci yang perlu diperhatikan. atau interupsi masih dianggap sebagai tindakan tidak
Soekanto memandang bahwa interaksi sosial etis. Sebenarnya jika dikatakan bahwa masyarakat
merupakan kunci dari semua kehidupan sosial. Tanpa Indonesia tidak mempunyai kultur berbincang dialogis,
interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan itu tidak sepenuhnya benar. Masyarakat Indonesia,
bersama. Sedangkan interaksi sosial sendiri sebagai sesungguhnya telah akrab dengan konsep
suatu proses, tidak selamanya harmonis. Terkadang “musyawarah-mufakat” yang merupakan wahana untuk
yang terjadi adalah suatu proses disosiatif dan konflik. mengambil keputusan berdasar kata sepakat. Konsep
Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang tersebut dalam praktiknya seringkali hanya berhenti
dinamis, baik menyangkut perorangan maupun menjadi kata-kata mutiara yang indah daripada
kelompok. Bentuknya dapat berupa kerjasama terealisasi dalam kenyataan.
(cooperation), persaingan (competition), dan juga Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa
pertentangan (conflict). Hal ini kemudian mendorong transformasi sosial, menurut Habermas, berlangsung
tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang bertumpu pada melalui proses-belajar masyarakat (sosial learning-
realitas sosial yang selalu berkembang. Proses process) yang mensyaratkan adanya kemungkinan bagi
perkembangan masyarakat itu sendiri dalam beberapa individu-individu untuk dapat berbincang secara
teori antara lain dapat berlangsung melalui evolusi komunikatif. Melalui proses-belajar tersebut, struktur-
maupun revolusi (Soekanto, 1982). struktur rasionalitas yang terlembaga akan dapat
Mencermati dinamika perkembangan tercapai. Struktur-struktur rasionalitas yang terlembaga
masyarakat, salah seorang filsuf yang mem-punyai ini pada gilirannya akan menjadi kerangka acuan yang
perhatian yang sedemikian besar dalam hal ini adalah memungkinkan proses-proses belajar di tingkat yang
Habermas. Habermas melihat bahwa perkembangan lebih tinggi (Sudarsana, 2016). Hasil-hasil proses-
masyarakat berlangsung secara evolutif. Konsep belajar yang dilakukan oleh masyarakat tersebut akan
evolusi sosial filsuf neo-marxis Jerman ini menjadi kognitif dan normatif yang dapat
mengungkapkan bahwa evolusi sosial berlangsung diaktualisasikan pada saat masyarakat menghadapi
melalui proses-belajar masyarakat (sosial learning- masalah-masalah yang tidak lagi dapat dipecahkan
process) yang memungkinkan terjadinya transformasi dalam kerangka integrasi sosial yang ada (Suseno,
sosial. Proses-belajar masyarakat (sosial learning- 1990). Dengan demikian masyarakat dapat
process) terjadi dalam dua dimensi; pertama dalam melangsungkan perkembangannya menuju kemajuan
dimensi kognitif-teknis dan yang kedua dalam dimensi secara evolusioner.
moral-praktis. Kedua dimensi tersebut harus mendapat
perhatian yang seimbang, tidak dapat direduksi satu

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 20
usaha Marx untuk mengaitkan secara linier kemajuan
3. Metode rasionalitas manusia dengan perkembangan alat-alat
Penelitian ini menggunakan metode penelitian produksi. Perkembangan alat-alat produksi dipandang
kualitatif, dimana lebih menekankan pada proses dan dapat memacu perkembangan dalam interaksi sosial di
makna yang akan dikaji secara utuh, statis dan kongkrit bidang produksi maupun dalam perwujudan kerangka
yang berlandaskan pada filsafat positivisme. Pada institusional dan sistem-sistem simbolik penyediaan
kondisi yang alamiah dari munculnya berbagai makna (Suseno, 1992). Sungguhpun demikian, konsep
perubahan paradigma dalam fakta kehidupan soaial, materialisme historis tentang rangkaian perkembangan
realita atau penomena yang terjadi di masyarakat cara-cara produksi, setidaknya dapat mempermudah
tersebut dapat diklasifikasikan, realita tetap, konkrit, penjelasan evolusi sosial. Konsep ini dapat menata
teramati, terukur, dan dilakukan hubungan gejala yang perkembangan sejarah dalam suatu logika
bersifat sebab akibat. Dalam paradigma perubahan perkembangan, tetapi tidak cukup memadai
tersebut dipandang sebagai suatu yang naturalistik kesemestaan dimensi manusia. Habermas menganggap
karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang ini terjadi karena materialisme historis
alamiah, holistik, kompleks, dinamis, dan penuh makna mengesampingkan segi-segi komunikatif yang
yang sering disebut paradigma positivisme yang mendasari formasi sosial baru di setiap tahap
mengembangkan jenis penelitian kualitatif. perkembangan masyarakat.
Instrumen yang dipergunakan adalah berbagai
alat bantu pengumpulan data seperti pedoman b. Makna Filosofis yang Terkandung pada Proses
wawancara, pedoman observasi, alat-alat perekam dan Belajar Masyarakat (Social Learning-Process)
sebagainya. Adapun metode pengumpulan data yang dalam Kerangka Evolusi Sosial
digunakan dalam penelitian ini diantaranya observasi, Penjelasan evolusi sosial dimulai Habermas
wawancara, dokumentasi, dan kepustakaan. dengan mengajukan tesis bahwa evolusi sosial
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan berlangsung melalui proses-belajar masyarakat (sosial
langkah-langkah seperti; 1) reduksi data, 2) klasifikasi learning-process). Proses belajar tersebut berlangsung
data, 3) interpretasi data, 4) penarikan kesimpulan. dalam dua dimensi yakni, dimensi kognitif-teknis
3. Temuan dan Pembahasan (derivasi dari kerja) dan dimensi moral-komunikatif
(derivasi dari interaksi atau komunikasi). Habermas
a. Rekonstruksi Teori Evolusi Sosial
dalam hipotesisnya berpendapat bahwa faktor utama
Habermas dalam berbagai kesempatan sering pendorong berlangsungnya evolusi sosial terletak pada
menyatakan bahwa tujuan pergulatan ilmiah yang proses-belajar atau rasionalisasi. Di sini, Habermas
dilakukannya adalah untuk merekonstruksi menghubungkan antara rasionalisasi masyarakat
materialisme historis. Salah satunya diungkapkan dengan proses belajar “Societal rationalization is a
dalam karyanya yang berjudul “Communiocation learning process” (Braaten, 1991). Rasionalisasi
ini menurut Habermas harus ditangkap dalam masyarakat evolusi sosial (Hegelian, Marxian,
dua perspektif filosofis yang terpilah, yakni teori ktirik Weberian).
rasionalitas (Kantian) dan teori and the Evolution of Karl Marx sebenarnya juga memahami bahwa
Society”. Tujuan yang ingin dicapainya adalah “to evolusi sosial berlangsung melalui proses-belajar
develop a theoretical program that I understand as a sosial. Hanya saja mekanisme belajar versi Marx
reconstruction of historical materialism” (Habermas, semata-mata pada kategori tindakan rasional-bertujuan
1979, hal. 95). Titik tolak yang digunakan Karl Marx – (kerja) yang terikat dalam produksi. Ini berarti bahwa
misalnya, species-being – juga digunakan Habermas. kategori lain yang juga sama pentingnya terabaikan,
Hanya saja Habermas sangat tidak setuju dengan cara yaitu kategori tindakan komunikatif (interaksi atau
Marx memandang unsur-unsur species-being. Marx komunikasi). Karena itu, konsep evolusi sosial agar
gagal dalam memilahkan dua komponen species-being dapat mewadahi kesemestaan manusiawi haruslah
yang terpisah secara analitis, yaitu kerja (tindakan didasarkan pada konsep praksis yang benar. Praksis
rasional-bertujuan) dan interaksi sosial (interaksi tersebut meliputi kerja dan komunikasi, keduanya tidak
simbolik, tindakan-komunikatif). Habermas melihat dapat direduksikan satu sama lain. Berdasar pada
bahwa Marx cenderung untuk mengabaikan yang konsep praksis tersebut, proses belajar dengan
terakhir ini dan mereduksikannya pada kerja. Karena demikian haruslah tidak hanya dalam dimensi
itu, rekonstruksi Habermas dimulai dengan bertitik pengetahuan teknis yang menentukan perkembangan
tolak pada dua pemilahan tersebut, yang secara jelas kekuatan-kekuatan produksi. Proses belajar juga harus
dipaparkannya dalam Toward a Rational Society: “I berlangsung dalam dimensi kesadaran praktis-moral
take as my startingpoint the fundamental distinction yang menentukan struktur-struktur interaksi.
between work and interaction” (Habermas, 1970, hal. Proses belajar dalam dimensi praktis-moral oleh
91). Pemilahan antara kerja dan interaksi ini dalam Habermas bahkan mendapat perhatian yang lebih
karya-karya Habermas sering kali diistilahkan dengan besar. Habermas melihat bahwa yang mendorong
pemilahan antara tindakan rasional-bertujuan dan terjadinya transformasi sosial sebenarnya terletak pada
tindakan-komunikatif. proses-belajar masyarakat dalam dimensi praktis-moral
Kritik yang sangat radikal dilontarkan yang komunikatif ini. Perkembangan teknis tidak selalu
Habermas terhadap pengandaian-pengandaian dasar menghasilkan tantangan evolusioner. Kemajuan teknis
materialisme historis. Cacat fundamental yang melekat baru mengubah masyarakat setelah diapresiasi secara
dalam teori Marx terutama dilihat Habermas pada praktis oleh individu-individu dalam masyarakat

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 21
dengan membangun institusi-institusi baru yang sesuai. potensial yang membantu mengatasinya, maka
Habermas menjelaskan hal ini dengan membedakan masyarakat itu akan mengalami perubahan kerangka
antara potensi pengetahuan yang ada dan penerapan institusional dan bentuk-bentuk integrasi sosial.
pengetahuan itu. Pertumbuhan pengetahuan dari dalam Perubahan kerangka institusional dan bentuk integrasi
masyarakat menjadi potensi pengetahuan yang sosial ini merupakan gerbang bagi terjadinya kemajuan
menentukan evolusi sosial hanya jika sebuah kerangka- evolusioner.
kerja institusional baru muncul untuk memecahkan Kemajuan evolusioner yang dihasilkan dari
masalah-masalah sistem yang tidak dapat terselesaikan proses-belajar masyarakat dapat diukur dengan
oleh kerangka-kerja institusional yang ada. Artinya, berpatokan pada suatu konsep yang oleh Habermas
potensi pengetahuan diterapkan secara institusional disebut “prinsip organisasi masyarakat”
sebagai pemecahan masalah melalui kerangka-kerja (organisationprinzip). Prinsip organisasi ini merupakan
institusional ini (Hardiman, 1993). Pendapat Habermas penentu identitas dari suatu formasi sosial. Oleh
ini tentu berseberangan dengan pandangan Marx yang Habermas prinsip organisasi sosial sendiri diartikan
meletakkan dialektika kekuatan-kekuatan dan sebagai inovasi-inovasi yang menjadi mungkin melalui
hubungan-hubungan produksi sebagai faktor penentu tahap-tahap proses belajar yang dapat disusun menurut
transformasi sosial. Kemajuan dibidang ekonomi dan logika masyarakat (Habermas, 1979, hal. 153). Prinsip-
teknologi menurut Habermas memang penting, tetapi prinsip organisasi itu menentukan dalam struktur-
tidak memegang peran kunci bagi berlangsungnya struktur mana perubahan-perubahan dalam sitem-
transformasi sosial. Transformasi sosial lebih sistem institusi itu mungkin. Sejauhmana kemampuan
menunjuk pada pembentukan kerangka-kerja dan kekuatan-kekuatan produksi yang ada dipakai
institusional dan bentuk-bentuk integrasi sosial yang masyarakat dan sejauhmana perkembangan kekuatan-
baru. Pendapat Habermas ini dibuktikannya dengan kekuatan produksi baru dapat dirangsang. Suatu prinsip
menunjukkan fakta historis bahwa perkembangan alat- organisasi terdiri dari aturan-aturan yang sangat
alat produksi tidak pernah mendahului, melainkan abstrak, sehingga dalam formasi sosial yang
justru selalu menyusul pembentukan kerangka-kerja ditentukannya sejumlah cara produksi yang secara
institusional dan bentuk-bentuk integrasi sosial yang fungsional sama menjadi mungkin. Dengan demikian,
baru (Suseno, 1992). Revolusi industri, misalnya, prinsip organisasi dipahami Habermas semacam
mulai berlangsung hampir seratus tahun setelah cakrawala bagi proses belajar suatu masyarakat, baik
masyarakat borjuis terbentuk. Demikian pula dengan dalam dimensi teknis maupun praktis. Apabila proses
cita-cita liberalisme; cita-cita liberalisme tidak belajar berkembang sedemikian rupa sehingga
mengikuti perkembangan teknologi industri, tetapi ia melampaui cakrawala tersebut, maka prinsip organisasi
justru mendesak perkembangan teknologi industri. itu akan terancam perubahan. Berubahnya prinsip-
Berdasarkan hal tersebut, peralihan suatu bentuk prinsip organisasi ini tidak lain adalah berubahnya
integrasi sosial menuju ke suatu bentuk integrasi sosial formasi-formasi sosial, dan ini membuka kemungkinan
yang baru – misal dari sistem kekerabatan ke sistem bagi kemajuan evolusioner.
negara – memerlukan pengetahuan yang bersifat Suatu perubahan dapat dikatakan sebagai
praktis-moral. Proses semacam ini memerlukan kemajuan evolusioner jika prinsip organisasi
pengetahuan praktis-moral dan bukannya pengetahuan masyarakat itu memperbolehkan adanya dua hal.
teknis karena ia tidak berkaitan dengan perluasan Pertama, adanya pembedaan antara persoalan-
kontrol teknis atas alam, melainkan dengan interaksi persoalan teoretis dan praktis; dan Kedua, adanya
sosial. peralihan dari proses belajar non refleksif (pra-ilmiah)
Mekanisme proses-belajar masyarakat ke proses belajar refleksif (Habermas, 1975, hal. 15).
tersebut dikemukakan oleh Habermas dengan Proses belajar baik dalam dimensi kognitif-
menekankan perhatian yang besar pada peran individu teoritis maupun moral-praktis sangat berkaitan dengan
anggota masyarakat yang menjadi agen evolusi sosial bentuk-bentuk diskursus dalam masyarakat untuk
(Habermas, 1979, hal. 160). Individu-individu ini pada menghasilkan pengetahuan yang sahih tentang realitas
awalnya secara kebetulan mempelajari berbagai tertentu. Ini disebut Habermas dengan istilah “klaim-
kompetensi dan keterampilan baru. Hasil proses belajar klaim kesahihan” (validity claims). Habermas
dalam bentuk berbagai kompetensi baru ini bila mengungkapkan empat klaim kesahihan dalam “The
memasuki wilayah tradisi kultural dan pandangan- Theory of Communicative Action” Volume I : klaim
dunia masyarakat (weltbilder), akan menjadi potensi kebenaran, klaim ketepatan, klaim autentisitas, dan
kognitif dan normatif masyarakat. Potensi ini pada klaim komprehensibilitas. Klaim kebenaran (truth)
suatu saat dapat diaktualkan apabila masyarakat berkaitan dengan kesepakatan terhadap dunia alamiah
menghadapi permasalahan yang tidak dapat dipecahkan dan objektif. Klaim ketepatan (rightness) berkaitan
dengan kerangka integrasi sosial yang ada. dengan kesepakatan terhadap pelaksanaan norma-
Permasalahan yang timbul sebagai tantangan norma dalam dunia sosial. Klaim autentisitas atau
evolusioner masyarakat ini sifatnya kontingen, kejujuran (sincerety) berkaitan dengan kesepakatan
bergantung pada situasi yang ada. Kelangsungan hidup terhadap kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi
masyarakat dapat dipertahankan bila masyarakat seseorang. Klaim komprehensibilitas berkaitan dengan
tersebut mampu menghadapi tantangan evolusioner pencapaian kesepakatan atas ketiga klaim tersebut dan
tersebut. Apabila masalah-masalah yang menjadi kemampuan untuk menjelaskannya.
tantangan evolusioner ini timbul, dan kebetulan tradisi Prinsip-prinsip organisasi ini berkaitan dengan
kultural masyarakat memuat struktur-struktur rasional tindakan-tindakan sosial, lebih khusus lagi kompetensi

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 22
tindakan. Habermas berpendapat bahwa proses-belajar fokus permasalahan rasionalitas ilmu-ilmu modern
masyarakat secara evolusioner tergantung pada bukanlah terletak pada kepentingan transendentalnya
kompetensi individu-individu yang menjadi melainkan terdapat di dalam kekuasaan metodologi
anggotanya. Kompetensi itu tidak dikembangkan ilmu-ilmu empiris-analitis dalam kuasa pengetahuan
secara individual dan terisolasi, tetapi dengan interaksi modern.
sosial melalui perantara struktur-struktur simbolis yang Kepentingan-kepentingan rasio tersebut adalah
berasal dari dunia kehidupan mereka (lebenswelt). kekuatan yang mengarahkan pengetahuan sehingga
Perkembangan kompetensi ini terjadi dalam tiga juga disebut kepentingan kognitif atau kepentingan
tahap komunikasi yang oleh Habermas disebut dengan konstitutif-pengetahuan. Kepentingan rasio (interesse)
sketsa tiga tahap perkembangan kompetensi ini menjadi perantara pengetahuan dengan kehidupan,
komunikatif (Habermas, 1979, hal. 154-215). Tahap aspek transendental dengan empiris, dan selalu
pertama adalah interaksi yang dimediasi secara mengacu pada praksis. Habermas tidak menolak
simbolik, tahap kedua adalah tuturan yang peranan positif ilmu-ilmu empiris-analitis yang
dideferensiasi melalui pernyataan-pernyataan, dan mendasari teknologi untuk industri sepanjang tidak
tahap ketiga adalah perbincangan argumentatif. Sketsa mendominasi medium komunikasi. Untuk itu, sebagai
ini tidak dimaksudkan Habermas untuk menjelaskan perimbangan praksis, Habermas mengeksplorasi
aspek kognitif dari perkembangan komunikasi kepentingan praktis ilmu-ilmu historis-hermeneutis
masyarakat, tetapi untuk menunjukkan pembelaan sebagai paradigma komunikasi yang tetap menawarkan
tahap demi tahap dari suatu realitas sosial yang timbul. emansipasi dan pencerahan.
Tahap pertama, berbagai motif dan harapan tingkah Dengan memahami praksis sebagai konsep
laku yang bertindak dipandang pada satu tataran sentral dalam filsafat kritis, yaitu kerja (arbeit) dan
kenyataan tunggal. Tahap kedua, tindakan dibedakan komunikasi (communication), maka praksis dilandasi
dari norma. Norma, prilaku, motif berada pada satu kesadaran rasional. Jadi rasio tidak hanya tampak
tataran yang berbeda dengan tataran tindakan. Tahap dalam ilmu-ilmu empiris-analitis, melainkan juga
ketiga, prinsip-prinsip yang menghasilkan norma dan terdapat di dalam ilmu-ilmu historis-hermeneutis yang
tindakan dibedakan dari norma itu sendiri. Prinsip, mengarahkan interaksi intersubjektivitas dengan
pelaku dan motif ditempatkan di balik sistem tindakan bahasa sehari-hari. Seperti halnya ilmu-ilmu empiris-
yang ada. Konsep ini oleh Habermas dipandang dari analitis membuat orang berdistansi dengan alam, ilmu-
dua sisi; yaitu, sebagai konsep tentang kompetensi ilmu historis-hermeneutis yang tampil sebagai
subjek tindakan dan tuturan yang tumbuh dalam suatu permasalahan bahasa juga memungkinkan distansi dari
dunia simbolis, dan sebagai konsep infrastruktur dari persepsi langsung, sehingga kepentingan-kepentingan
sistem tindakan itu sendiri di sisi lain. yang mendasarinya berhubungan dengan praksis dan
c. Implikasi Makna Filosofis Proses Belajar rasionalitas.
Masyarakat dalam Memetakan Wilayah Proses Dalam riset-risetnya, Habermas mengandaikan
Belajar yang Mewakili Kesemestaan Dimensi bahwa konsensus dapat dicapai dalam masyarakat
Manusia (Pertautan Teori dan Praksis Pendidikan) reflektif yang berhasil menyelenggarakan komunikasi
yang memuaskan. Di dalam komunikasi tersebut, para
Epistemologi Habermasian mengajukan
partisipan ingin membuat lawan bicaranya memahami
pembedaan kepentingan teknis (medium kerja),
maksudnya dengan berusaha mencapai klaim-klaim
kepentingan praktis (medium komunikasi), dan
kesahihan (validity claims). Klaim-klaim ini dipandang
kepentingan emansipatoris (medium kekuasaan).
rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil
Hubungan antara kepentingan dengan pengetahuan
konsensus (Hardiman, 1993).
tersebut adalah bahwa kepentingan teknis telah
Beranjak dari praksis modernisme Habermasian
menghasilkan ilmu-ilmu empiris-analitis dan
yang menawarkan paradigma komunikasi, berikut ini
mengarahkan ilmu-ilmu tersebut sebagai kekuatan-
akan dieksplorasi praksis pendidikan. Neologisme
kekuatan produktif. Kekuatan produksi adalah ekspresi
praksis pendidikan merupakan perimbangan
dan perluasan kerja manusia yang berorientasi pada
kepentingan-kepentingan rasionalitas ilmu di dalam
dan berusaha untuk melakukan kontrol teknis atas alam
wilayah-wilayah pendidikan.
dan manusia. Kekuatan kepentingan teknis ini tampil
Di dalam konteks pembangunan ilmu dan
sebagai paradigma sistem di dalam modernisme.
teknologi yang mendasarkan diri pada paradigma
Kepentingan praktis menghasilkan ilmu-ilmu historis-
sistem, adalah fakta bahwa pendidikan secara inhern
hermeneutis yang memajukan interaksi sosial dan
adalah investasi, sama halnya dengan bentuk investasi
memperluas inter-subjektivitas. Kepentingan ini
lain pada modal fisik (Boediono, 1994). Pendidikan
menyajikan diri sebagai kekuatan-kekuatan
menanamkan kapasitas baru untuk belajar serta
komunikatif di dalam paradigma dunia-kehidupan.
ketrampilan modal manusia produktif. Pendidikan
Kekuatan komunikasi merupakan negasi tetap terhadap
terutama untuk menanamkan dan memungkinkan
kekuatan produksi. Sedangkan kepentingan yang
penggunaan pengetahuan teknik produksi dan
ketiga, yaitu emansipatoris, jarang dieksplisitkan dalam
organisasi produksi, serta menyebarkan kemajuan
riset-riset Habermas yang belakangan.
teknis yang merupakan kekuatan utama pertumbuhan
Eksplorasi Habermas terhadap kepentingan-
ekonomi di Indonesia. Dengan teorisasi “human
kepentingan pengetahuan modern merupakan salah
capital” inilah :
satu epistemologi yang paling canggih yang sejauh ini
“Akuisisi dan aplikasi pengetahuan ini
berhasil dikembangkan. Menurut epistemologi ini,
ditentukan sebagian besar oleh situasi apakah

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 23
penduduk telah memiliki sifat dan motivasi pekerjaan dan perhatiannya sangat bersifat teknis
yang berkaitan dengan pendidikan formal, dengan mereka yang minatnya ditujukan pada masalah-
berasumsikan bahwa sekolah mencakup subyek masalah kemanusiaan. Sebaliknya, paradigma sistem
yang bersifat rasional sekuler yang memerankan memiliki peranan kunci untuk merekayasa lingkungan
pengembangan kemampuan membaca, menulis, material kehidupan manusia. Pada satu sisi, paradigma
matematika, bahasa, analisis, dan pemecahan sistem memungkinkan (enabling) pengungkapan
masalah” (Boediono, 1994). kualitas kehidupan yang sesuai dengan pilihan nilai-
Pendidikan memungkinkan terselenggaranya nilai yang dikehendaki. Sedangkan pada sisi lain
perubahan struktur agar industrialisasi dapat terwujud mencegah (constraining) pengungkapan kualitas
secara efisien. Wacana pendidikan saat ini mengajukan kehidupan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang
isu-isu mengenai peranan pendidikan di dalam konteks dipilih.
transformasi industrial, terutama hubungan antara teori Dalam eksplorasinya yang menempatkan
dengan praksis. Hukum-hukum reproduksi diri wacana ilmu dan teknologi dalam hubungannya dengan
manusia dan masyarakat Indonesia dalam era industri masa depan pembangunan dan industrialisasi
modern akan menghadirkan ancaman, yaitu pendasaran Indonesia, Nasikun mengajukan pengembangan ilmu
hubungan teori dengan praksis tidak lebih dari aplikasi dan teknologi yang berwawasan Hi-Touch daripada Hi-
rasionalitas-tujuan yang berdasarkan paradigma sistem. Tech, lebih berorientasi pada skala kecil dan berwajah
Hukum-hukum reproduksi ini akan mendasarkan manusia, serta yang lebih mencerahkan dan
kekuatannya pada skala perluasan pengendalian teknis emansipatoris (Nasikun, 1995).
atas alam, peningkatan administrasi manusia, dan pola- Implikasi epistemologi Habermas terhadap
pola hubungan melalui organisasi sosial. praksis pendidikan di Indonesia diletakkan dalam
Pengendalian teknis terhadap proses-proses konteks kekuatan (in term of) modernisme yang tengah
yang objektif atau yang diobjektifkan telah terselenggara. Eksplorasi ini harus mengacu pada
menggantikan emansipasi manusia. Kolonialisasi konstruksi teori pendidikan Indonesia dengan
paradigma sistem terhadap paradigma dunia-kehidupan kreterium Pancasila. Dialektika antara epistemologi
telah mengarahkan kesadaran hidup bersama pada Habermas dengan filsafat pendidikan Indonesia
perilaku yang manipulatif. Konsekuensinya, wacana diharapkan sebagai salah satu upaya untuk
pendidikan cenderung mengarahkan dirinya kedalam mengembangkan wacana studi pendidikan Indonesia.
logika sistem industri yang tengah terselenggara. Dialektika bukan hanya diarahkan pada
Pendidikan niscaya mempertautkan dirinya dengan pendidikan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi,
gerak modernisasi. tetapi juga sekaligus diorientasikan untuk
Saling pengaruh antara ilmu dan teknologi pada pengembangan pendidikan yang mendasarkan pada
produksi industri yang cenderung menimbulkan paradigma komunikatif. Ilmu dan teknologi yang
distorsi yang patalogis menyebabkan perkembangan berorientasi pada pencapaian kerja, kesejahteraan, dan
ilmu-ilmu modern tidak selalu bersesuaian, bahkan pendapatan, serta kekuasaan dan prestise, akan
bertentangan dengan harapan modernisme. mengarah pada kemajuan materi. Dalam hal ini,
Modernisme yang terselenggara menyajikan kenyataan menurut Kuntoro (1995) bekerja merupakan instrumen
pembangunan dengan rasionalitas-tujuan yang dasar pemenuhan kebutuhan manusia akan barang-
paradoks. Dalam konteks positivisme yang telah barang konsumsi, harga diri, dan penghargaan sosial,
meninggalkan pertanyaan-pertanyaan epistemologi, yang dalam kepentingan nasional adalah untuk
ilmu-ilmu modern menyatakan dirinya untuk menjadi keunggulan komparatif dan kompetitif bangsa.
tujuan di dalam dirinya sendiri. Kepentingan Sedangkan negasinya adalah pendidikan yang
rasionalitas ilmu-ilmu modern merupakan alat untuk berdasarkan paradigma komunikatif untuk librasi
menguasai proses produksi dan reproduksi legitimasi (pembebasan), yang menawarkan nilai-nilai
sistem simbolis kenyataan modernitas. transendental, untuk proses pemanusiaan yang
Untuk menyelenggarakan perimbangan praksis mengacu pada Pancasila. Dialektika praksis pendidikan
pendidikan niscaya dieksplorasi paradigma komunikasi ini senantiasa diletakkan di dalam proses peningkatan
sebagai pendasaran terhadap praksis pendidikan itu kemampuan pembangunan.
sendiri. Atau, bagaimana melacak pendasaran Gerak kapitalisasi yang mau tidak mau
paradigma komunikasi di dalam wilayah-wilayah berpengaruh terhadap dinamika pembangunan dan
pendidikan (domains of learning). Dengan titik tolak pendidikan di Indonesia menuntut pengkajian secara
ini, tujuan pendidikan adalah menciptakan sarana- kritis dan proporsional. Dengan memperhatikan
sarana yang akan mendorong kemampuan kreatif dan kapasitas bangsa untuk belajar, sebagai dasar
kritis di dalam kenyataan modernitas serta melacak pengembangan untuk kekuatan pendidikan nasional,
cara-cara untuk berpartisipasi di dalam transformasi eksplorasi terhadap epistemologi Habermas harus
pembangunan. diarahkan untuk peningkatan kemampuan
Implikasinya adalah bagaimana menempatkan pembangunan. Tanpa mengabaikan bahwa
rasionalitas ilmu-ilmu modern di dalam sistem epistemologi modernisme Habermas adalah pemikiran
pendidikan yang sekaligus tetap menyajikan praksis berlatar Barat, acuan Pancasila adalah kriterium untuk
pendidikan. Dengan memperhatikan ajuan (Nasikun, mempertahankan konteks dan kepentingan-kepentingan
1995), idealnya paradigma dunia-kehidupan atau keIndonesiaan. Termasuk dalam hal ini adalah untuk
komunikasi dapat berperan sebagai jembatan yang mengeksplorasi implikasinya terhadap praksis
menghubungkan pemikiran antara mereka yang pendidikan di Indonesia.

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 24
Posisi seperti itu yang kemudian menempatkan
d. Implikasi Terhadap Praksis Pendidikan negara seperti Jerman dan Jepang sangat menonjol
Isu tentang peningkatan kemampuan dalam perdagangan dunia, dan dengan alasan itu juga
pembangunan (development capability) merupakan yang mendorong negara-negara lain mengarahkan
salah satu permasalahan yang mendesak untuk dijawab. sumber dayanya untuk mengejar posisi tersebut
Kemampuan pembangunan, termasuk dalam hal sebagaimana dapat kita lihat pada Korea Selatan,
pengetahuan pembangunan (development knowledge), Hongkong, Singapura, Taiwan, dan sebagainya, yang
yang telah ada niscaya ditingkatkan untuk dapat lalu dikenal sebagai negara industri baru (NICs).
mengatasi permasalahan pembangunan. Dengan acuan Demikian lalu negara-negara berkembang, tidak
inilah pendidikan dipahami secara antisipatoris, yaitu terkecuali Indonesia, merasa harus berpacu dengan
kegiatan untuk mengantisipasi kecenderungan- waktu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya
kecenderungan yang akan terjadi. Antisipasi ini melalui pembangunan ekonomi, disamping untuk
ditentukan oleh paradigma masyarakat termasuk mengejar ketertinggalannya dengan pembangunan
masyarakat pendidikan terhadap kecenderungan- teknologi.
kecenderungan yang akan terjadi, terutama Kalau menyimak GBHN 1993, sasaran umum
sebagaimana yang terangkat di dalam wacana ilmu dan Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (PJPT II)
teknologi, yang ditarik secara inferensial dari adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat
kenyataan modernitas. Indonesia yang maju dan mandiri dalam susunan
Dengan mempertautkan rasio-komunikatif tenteram dan sejahtera lahir dan batin, dalam tata
dengan wacana pembangunan ilmu dan teknologi, kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang
merupakan upaya untuk mengeksplorasi rasionalitas berdasarkan Pancasila, dalam suasana kehidupan
modernisme pada tahapan epistemologi. Dengan bangsa Indonesia yang serba berkesinambungan
pendasaran ini akan diacak implikasinya terhadap dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan, dan
praksis pendidikan di Indonesia, yaitu pada manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tap MPR RI
perimbangan rasionalitas ilmu di dalam wilayah- No.II/MPR/1993: 31). Untuk mencapai sasaran umum
wilayah pendidikan. Secara hipotesis, perimbangan ini tersebut, perlu diantisipasi perkembangan ilmu dan
mengandaikan kekuatan modernisme dan teknologi yang merupakan kekuatan-kekuatan
pembangunan itu sendiri. Untuk itu akan diacu konsep pendorong terjadinya perubahan mendasar dalam
“kapasitas bangsa untuk belajar” dan “kekuatan berbagai kehidupan antar bangsa ke arah globalisasi.
pendidikan nasional”. Kecenderungan globalisasi tidak saja meningkatkan
Kapasitas bangsa untuk belajar (national saling pengaruh dan ketergantungan, tetapi juga
capasity for learning) merupakan ke-mampuan bangsa persaingan dalam memperjuangkan kepentingan
untuk mencerna informasi-informasi baru yang nasional masing-masing bangsa dan negara.
dihasilkan pusat-pusat penelitian dan pengembangan Pengkajian secara kritis terhadap makna dan
ilmu. Penggunaan informasi ini merupakan salah satu sasaran PJPT II dalam pembangunan nasional secara
acuan dan landasan untuk menyelesaikan masalah- keseluruhan menunjukkan bahwa PJPT II memberikan
masalah yang dihadapi. Konsep ini pernah diajukan perhatian yang sungguh-sungguh kepada bidang
Soedjatmoko (1983), yang oleh Mochtar Buchori ekonomi dan kualitas sumber daya manusia.
dikembangkan sebagai kekuatan pendidikan nasional Disamping itu juga prioritas untuk melaksanakan
(national education capability), yaitu kemampuan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya,
bangsa untuk menyelesaikan secara relevan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta
permasalahan pendidikan dewasa ini (Buchori, 1994). stabilitas yang sehat dan dinamis. Keberhasilan
Dengan acuan inilah akan dieksplorasi paradigma mengangkat harkat dan martabat manusia dan bangsa
komunikasi Habermasian sebagai pendasaran kapasitas untuk menuju kemandirian juga sangat tergantung pada
bangsa untuk belajar dan implikasinya terhadap praksis penguasaan ilmu dan teknologi. Demikian juga proses
pendidikan di Indonesia. industrialisasi yang mempunyai daya saing serta
Adalah truisme, ilmu dikonsentrasikan pada keunggulan komparatif dan kompetitif hanya dapat
teknologi, teknologi dikonsentrasikan pada industri, diwujudkan melalui kemampuan penguasaan ilmu dan
dan industri merupakan prasyarat yang mencukupi (the teknologi.
necessary and sufficient conditions) untuk Pembangunan ilmu dan teknologi tidak dapat
pembangunan. Truisme tersebut ternyata merupakan dilepaskan dari kebijakan dan strategi pembangunan
harapan ideologis dengan anggapan dan kepentingan secara menyeluruh, baik untuk kepentingan
tertentu. Dengan perkataan lain, semakin tinggi kesejahteraan maupun untuk keamanan.
penguasaan negara terhadap teknologi maka semakin Kecenderungan dan perkembangan lingkungan
maju dan makmur negara itu. Sehingga semua negara strategis telah mengisyaratkan pentingnya peningkatan
yang dikatagorikan sebagai negara maju atau negara ilmu dan teknologi dalam strategi pembangunan
industri adalah negara yang memang sudah menguasai nasional yang berpedoman pada prinsip yang benar-
teknologi yang canggih. Juga, semakin tinggi kadar benar sesuai dengan kebutuhan bangsa. Sebagai sarana
teknologi yang dimasukkan ke dalam produk-produk kehidupan, terutama untuk masyarakat modern,
industri suatu negara maka semakin kuat pula negara penguasaan ilmu dan teknologi mensyaratkan
itu dalam perdagangan internasional selama tingkat kemampuan intelektual manusia, keterampilan fisik,
kecanggihan teknologi itu memang bisa dijual dengan dan keseimbangan antara kebijaksanaan dan
harga yang bersaing (Kompas, 1988). kemampuan penalaran manusia. Meskipun ilmu dan

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 25
teknologi telah membawa kesejahteraan dan keamanan informasi yang tersedia dan yang diterima. Oleh karena
umat manusia, penggunaan dan penyalahgunaan ilmu itu menjadi tergantung pada kemampuan belajar
dan teknologi dapat membatasi lapangan kerja, (learning capasity). Kemampuan atau kapasitas belajar
membahayakan lingkungan hidup, dan bahkan dipahami sebagai suatu proses komunikasi yang
mengakibatkan patologi-patologi untuk pembangunan tergantung pada arus informasi, kapasitas saluran
itu sendiri. Oleh karena itu, ilmu dan teknologi informasi, dan efisiensi mekanisme-mekanisme
hendaknya dipandang sebagai suatu instrumen untuk kontrol.
memecahkan masalah sehingga tergantung manusia Jika proses belajar berjalan baik, yaitu pada
sendiri dalam penggunaannya. keadaannya yang optimal, sistem modernisme mampu
Dalam perspektif epistemologi Habermasian, mengatasi permasalahan yang dihadapi serta
anggapan-anggapan di atas se-sungguhnya berasal dari meningkatkan kemampuan belajarnya secara terus
klaim validitas universal dari ilmu-ilmu empiris- menerus. Sebaliknya, jika mekanismenya terganggu
analitis, yang telah berhasil menyajikan kenyataan maka kemampuan belajar sistem akan menurun.
modernitas, yang selanjutnya sangat membantu dalam Misalnya karena informasi-informasi tertentu yang
menyebarkan ideologi masyarakat industri. Klaim berasal dari lingkungan atau sistem itu sendiri.
validitas universal tersebut niscaya didukung oleh Keadaan optimal suatu sistem modernisme tergantung
universalisasi kepentingan-kepentingan teknis. Hal ini pada keseimbangan ideal antara stabilitas dan adaptasi.
tentunya dengan memberikan nilai tertinggi pada kerja Sedangkan patologinya lebih disebabkan adanya
manusia dan konsekuensinya, membenarkan ideologi penafsiran yang berlebihan (over-valuasi) antara
industri yang berorientasi pada penguasaan serta stabilitas dan adaptasi, misalnya terlampau
kontrol teknis atas alam dan manusia. Perkembangan mengutamakan stabilitas sistem.
ilmiah, pertumbuhan kapitalisme, penetapan negara Dengan demikian, untuk mencapai ketahanan
konstitusional, dan administrasi modern dikaji sebagai sistem maka sistem di dalam dirinya sendiri cenderung
fenomena empiris dan diferensiasi struktural sistem- konservatif. Hal ini berpengaruh terhadap kapasitas
sistem sosial yang mempengaruhi pembangunan belajar yang mengalami konservatisasi. Kekuatan
nasional. sistem terletak pada prioritasnya terhadap pengeluaran
Menurut Habermas (1990), rasionalitas yang (out put) dan bukannya pengambilan (intake). Sehingga
mendasarinya adalah rasionalitas kerja, atau gerak sistem modernisme dan ilmu-ilmu modern
rasionalitas tujuan (zweckrationalitat) di dalam sebagai alat menuju tujuan lebih cenderung
paradigma sistem. Teknik dan teknologi adalah menghasilkan informasi daripada mendengarnya; lebih
pemanfaatan rasionalitas tujuan untuk melakukan, suka “berbicara” daripada “mendengar” (Kleden,
menguasai, dan mengendalikan kenyataan modernitas. 1987). Konsekuensinya, kekuatan dan sekaligus faktor
Pada tahap lebih lanjut, rasionalitas-tujuan tampil krisis sistem modernisme ditentukan oleh
sebagai teori pengambilan keputusan. Teori kemampuannya untuk tidak belajar. Dengan demikian,
pengambilan keputusan mengacu pada perhitungan sistem modernisme menyajikan dirinya secara
teknis, tujuan yang direncanakan, dan sistem nilai yang paradoks. Bila kekuatan sistem terlalu kecil, sistem
ditetapkan. Pada rasionalitas ini sistem nilai bukannya akan tidak berdaya terhadap lingkungan. Sebaliknya,
suatu sistem norma yang imperatif yang berhubungan jika kemampuan sistem terlalu besar maka kemampuan
dengan kebutuhan subjektif dan normatif. Sistem nilai belajarnya akan berkurang atau malah makin
dalam rasionalitas ini hanyalah data. Konsekuensinya, menghilang.
sistem nilai tidak lebih dari sistem peraturan yang Prinsip rasionalitas-tujuan adalah
memungkinkan untuk melakukan prediksi. Kreterium penyederhanaan, yaitu pembatasan dan formalisasi
nilai bukan “benar dan tidaknya” atau “baik dan rasionalitas manusia untuk kepentingan suatu tujuan
buruknya”, tetapi akibat dan konsekuensi dari suatu tertentu. Di dalam paradigma sistem, rasionalitas-
tindakan rasional. tujuan mendapatkan sinerginya di dalam teori-teori
Nilai dalam paradigma sistem hanya kibernetika. Dalam hubungannya dengan tujuan,
mempunyai makna informasi belaka. Dengan demikian rasionalitas ini berfungsi untuk memperlancar proses-
pengambilan keputusan hanyalah kalkulasi biasa proses manuju tercapainya tujuan sistem dan tidak lagi
tentang saling pengaruh antara variabel-variabel teknik, mempermasalahkan tujuan yang sudah ditetapkan
tujuan, dan nilai (Kleden, 1987). Padahal hakikat (Suseno, 1990). Sedangkan caranya merujuk pada
keputusan niscaya disertai untuk kebebasan yang kriterium efektivitas, sebagaimana yang tampil secara
berdasarkan data yang ada (on the basis of the data) radikal dalam kritik-kritik pascamodernisme terhadap
atau bertentangan dengan data (inspite of the data). modernisme.
Terdapat kecenderungan yang kuat pada rasionalitas- Rasionalitas-tujuan mengarahkan masifnya
tujuan bahwa pengambilan keputusan hanyalah perkembangan ilmu dan teknologi dalam gerak
masalah teknis dan mengabaikan kepentingan praksis. modernisasi. Dengan memahami rasio yang juga
Dengan rasionalitas-tujuan, sistem nilai berdimensi komunikatif, Habermas tidak setuju jika
modernisme disederhanakan sebagai nilai dasar yang rasionalitas-tujuan atau rasio kerja yang semata-mata
biologis, yaitu penyesuaian diri (self-preservation) dan menentukan gerak modernisasi. Modernisasi bukanlah
survival. Rasionalitas-tujuan mengabaikan keragaman sekedar kemajuan sistemik tekno-ekonomi, melainkan
modernisme itu sendiri, apa lagi di dalam kritik-kritik terlebih-lebih ditentukan oleh proses belajar dimensi
pascamodernisme. Secara manajerial, pengaturan dan praktis yang komunikatif.
pengendalian akan tergantung pada jumlah dan jenis

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159


IJER, 2 (1), 2017, 26
Kemajuan tekno-ekonomi barulah merupakan Ketiga, secara paradigmatis, epistemologi
kekuatan perubahan setelah diapresiasikan secara Habermas dapat berperan sebagai jembatan untuk
praktis oleh para individu dengan membangun menghubungkan paradigma sistem dengan paradigma
institusi-institusi baru yang sesuai. Masifnya dunia-kehidupan yang komunikatif. Di dalam wilayah-
modernisasi yang ekonomistis-teknologis justru wilayah pendidikan, paradigma dunia-kehidupan
mengandung bahaya disintegrasi sosial jika tidak menghubungkan paradigma sistem yang berorientasi
diimbangi dengan sosialisasi kepentingan praktis yang teknis ke permasalahan kemanusiaan. Sedangkan
komunikatif. Dengan perkataan lain, pembangunan paradigma sistem, yang berkemampuan untuk
ilmu dan teknologi, betapapun untuk keunggulan merekayasa lingkungan material kehidupan manusia,
kompetitif bangsa, tidak mendominasi dunia-kehidupan memungkinkan untuk mengungkap kualitas kehidupan
(Lebenswelt) pem-bangunan itu sendiri. Kekuatan yang sesuai dengan pilihan nilai ataupun justru
modernisme terletak pada perimbangan antara mencegah nilai-nilai yang tidak dikehendaki.
paradigma sistem dengan paradigma dunia kehidupan Keempat, dalam proses peningkatan
yang komunikatif. Implikasinya terhadap kapasitas kemampuan pembangunan, nilai-nilai transendental
bangsa untuk belajar adalah perimbangan antara proses Pancasila yang mencerahkan dan komunikatif di dalam
belajar dimensi teknis yang niscaya menjadi kebijakan praksis pendidikan merupakan keharusan untuk
pembangunan ilmu dan teknologi dengan proses mengembangkan kekuatan pendidikan nasional dan
belajar dimensi praktis yang komunikatif. Atau dalam kapasitas bangsa untuk belajar.
kosa kata Habermasian, pemberdayaan paradigma
komunikasi adalah negasi tetap komunikatif. Daftar Pustaka

4. Kesimpulan Boediono. (1994). Pendidikan, Perubahan Strukturaal


Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik dan Investasi di Indonesia. Jakarta: Prisma.
kesimpulan bahwa; Pertama, proses-belajar Braaten, J. (1991). Habermas's critical theory of
masyarakat (sosial learning process) yang menjadi society. New York: State University of New
daya dorong evolusi sosial, berkaitan dengan York Press.
kompetensi individu-individu masyarakat yang secara Buchori, M. (1994). Pendidikan dalam pembangunan.
kreatif menyumbangkan berbagai potensi untuk Yogyakarta: Tiara Wacana.
menyelesaikan permasalahan kelangsungan hidup Habermas, J. (1990). Technik und Wissenschaft als
masyarakat. Potensi berupa berbagai kompetensi baik Ideologie, diterjemahkan bahasa Indonesia oleh
dalam bidang kognitif teknis maupun moral praktis. Hassan Basari: Ilmu dan Teknologi Sebagai
Proses belajar masyarakat yang demikian ini dalam Ideologi. Jakarta: LP3ES.
kacamata filsafat sosial dapat ditarik pada Hardiman, B. (1990). Kritik ideologi. Yogyakarta:
keseimbangan antara asas subsidiaritas dan solidaritas. Kanisius.
Individu sebagai anggota masyarakat tidak bisa Hardiman, B. (1993). Menuju masyarakat komunikatif.
demikian saja dipandang “terbenam” dalam Yogyakarta: Kanisius.
kolektivitas. Kecenderungan untuk “menyeragamkan” Kleden, I. (1987). Sikap ilmiah dan kritik kebudayan.
individu-individu pada akhirnya akan tidak Jakarta: LP3ES.
menguntungkan bagi kelangsungan suatu masyarakat. Kompas. (1988). Pilihan teknologi bukan demi
Kedua, bahwa konteks pemikiran Habermas teknologi itu sendiri. Jakarta: Kompas.
adalah Barat yang kapitalis-lanjut adalah bias yang Kuntoro, S. (1995). Pengembangan Masyarakat Belajar
harus dikaji secara dialektis, yaitu dengan dalam Kerangka Pembangunan. Karya Ilmiah
mengeksplorasi paradigma komunikasi Habermasian di yang disampaikan didepan Rapat Senat FIP
dalam konstruksi teori pembangunan di Indonsia IKIP Yogyakarta (hal. 6). Yogyakarta: IKIP
dengan mengacu pada filsafat Pancasila. Sebagai Yogyakarta.
eksplorasi awal mengenai implikasi epistemologi Nasikun. (1995). Industrialisasi, Pengembangan Iptek,
Habermas terhadap praksis pendidikan di Indonesia, dan Orientasi Pendidikan Tinggi di Masa
studi ini mengharuskan acuan Pancasila. Pancasila Depan. Seminar Bulanan P3PK UGM (hal. 18).
merupakan kriterium, terutama dengan memperhatikan Yogyakarta: UGM Press.
bahwa epistemologi Habermas merupakan pemikiran Sudarsana, I. K. (2016). Pemikiran tokoh pendidikan
yang berlatar Barat. Dengan demikian, acuan Pancasila dalam buku lifelong learning: policies,
adalah untuk mempertahankan konteks dan practices, and programs (Perspektif Peningkatan
kepentingan-kepentingan ke Indonesiaan dalam proses Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal
kapitalisasi global. Secara epistemologi, yakni Penjaminan Mutu, (2016), 44-53.
bagaimana menderivatifkan paradigma komunikasi Panuju, R. (1987). Sistem Komunikasi Indonesia.
Habermas di dalam konstruksi teori pendidikan Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Konsekuensi Soedjatmoko. (1983). Dimensi manusia dalam
logisnya, bagaimana menyelenggarakan praksis pembangunan. Jakarta: LP3ES.
pendidikan yang tetap menawarkan perimbangan Soekanto, S. (1982). Sosiologi suatu pengantar.
antara kepentingan teknis dengan kepentingan praktis Jakarta: CV Rajawali.
di dalam wilayah-wilayah pendidikan (domains of Suseno, F. M. (1992a). Berfilsafat dari konteks.
learning). Jakarta:Gramedia.

Copyright © 2017, IJER, p-ISSN 2541-2132, e-ISSN: 2541-2159

Anda mungkin juga menyukai