Anda di halaman 1dari 13

PARASIT DAN PENYAKIT IKAN

Taura syndrome virus (TSV)

Oleh:

Naufal Abiyyu 165080507111018

M. Ulul Asfihani 165080507111021

PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN

JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2019
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Parasit dan Penyakit Ikan
tentang Taura syndrome virus (TSV).

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan


bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan
makalah ini. Selanjutnya kami menyampaikan ucapan terima kasih yang
teramat besar kepada pihak-pihak yang membantu membimbing,
memberikan nasehat, petunjuk dan saran yang senantiasa diberikan kepada
kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan atau
kesalahan, Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati kami
mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini kedepannya. Akhirnya kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Malang, 19 Oktober 2019

Penulis
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit ikan adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan
gangguan pada ikan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Gangguan terhadap ikan seperti penyakit dapat disebabkan oleh
mikroorganisme lain, pakan maupun kondisi lingkungan yang kurang
mendukung untuk kehidupan ikan. Maka dari itu, timbulnya serangan
penyakit ikan merupakan hasil interaksi yang tidak serasi antara ikan,
kondisi lingkungan dan organisme penyakit. Interaksi yang tidak serasi ini
telah menyebabkan stres pada ikan, sehingga mekanisme pertahanan diri
yang dimilikinya menjadi lemah dan akhirnya mudah diserang oleh penyakit
Organisme penyebab penyakit pada ikan sangatlah beragam, salah
satunya adalah virus. Virus adalah organisme penyakit dengan ukuran 20-
300 nanometer. Di dalam tubuh ikan, virus akan bersifat laten dan akan
meledak menjadi wabah ketika ikan berada pada kondisi lemah. Ikan yang
terserang virus biasanya disertai gejala klinis, tetapi infeksinya bisa
membuat jaringan tubuh ikan mengalami kerusakan, terjadi penurunan
pertumbuhan, menyebabkan hilangnya fungsi seluler, dan dapat
menyebabkan kematian (Saparinto, 2010).

Budidaya udang di Indonesia merupakan bisnis akuakultur yang


sudah dimulai sejak lama dan merupakan komoditas strategis yang dapat
meningkatkan devisa negara. Perkembangan budidaya udang banyak
dihadapkan pada permasalahan yaitu adanya penyakit yang disebabkan
oleh virus. Sejalan dengan perkembangan budidaya udang tersebut, maka
timbul masalah di antaranya infeksi penyakit virus yang masuk bersamaan
dengan komoditas udang vannamei. Kasus penyakit yang terjadi umumnya
disebabkan oleh patogen terutama jenis RNA virus dan berbahaya terhadap
L. vannamei di mana golongan RNA virus sangat mudah mutasi, sehingga
dapat berubah menjadi lebih ganas. Kasus mutasi ini terjadi pada strain
Taura Syndrome Virus (TSV) pada tahun 2010 dengan sifat yang lebih
ganas dibandingkan dengan tahun 1994-1998. (Aranguren et al., 2013).

TSV yang menyerang udang disebabkan oleh virus RNA tunggal TSV.
TSV adalah patogen penyebab penyakit virus paling merugikan secara
ekonomi yang mempengaruhi budidaya udang. Di antara spesies udang
yang dapat terserang antara lain Litopenaeus vannamei adalah inang utama
TSV. Spesies udang Amerika lainnya yang juga dapat terserang TSV adalah
P. stylirostris, P. schmitti, P. setiferus, P. duorarum, dan P. aztecus, serta
spesies udang di Asia P. monodon, P. japonicus, P. chinensis, dan
Metapenaeus ensis juga rentan terhadap TSV, meskipun mungkin tidak
menyebabkan kematian yang tinggi pada semua spesies (Dhar et al., 2010).

Gejala klinis yang muncul pada udang yang terserang yaitu terlihat
tidak nafsu makan, lemah dan berenang lambat tidak terarah, telson/ekor
terlihat pucat, kulit lunak dan pada infeksi alami terlihat kemerahan pada
ekor dan anggota gerak. Untuk mengetahui lebih banyak tentang TVS, cara
penyerangangnnya, cara reproduksi, gejala yang timbul pada inang, dan
cara penanggulangannya maka akan dibahas dalam makalah ini.

1.2 TUJUAN
1. Mempelajari bagaimana TSV menyerang terhadap inangnya
2. Mempelajari bagaimana cara TSV bereproduksi
3. Mempelajari bagaimana gejala yang timbul pada inang yang
terserang TSV
4. Mempelajari bagaimana cara menanggulangi udang yang terserang
TSV
1.3 MANFAAT
1. Mengetahui cara TSV menyerang inangnya
2. Mengetahui sistem reproduksi TSV
3. Mengetahui gejala yang timbul pada inang yang terserang TSV
4. Mengetahui cara menanggulangi udang yang terserang TSV
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Klasifikasi
Menurut Bonami et al., 1997 Berdasarkan karakteristik biologis dan
fisik, virus Taura syndrome diklasifikasikan sebagai anggota dari ordo
Picornaviridae. Kemudian direklasifikasi dalam famili Dicistroviridae, genus
Cripavirus. Setelah itu dipindahkan ke genus kedua dalam keluarga yang
sama yaitu Aparavirus.
Group : Group IV ((+)ssRNA)
Ordo : Picornavirales
Family : Dicistroviridae
Genus : Aparavirus
Species : Taura syndrome virus

2.2 Morfologi
Virus ini termasuk virus berukuran kecil dengan genome single strand
RNA, virion berukuran diameter 32 nm terdiri dari 10.205
nukleotida (termasuk 3 'ekor poli-A), bentuk ikosahedral yakni berbentuk
seperti bulat, tetapi kalau dilihat secara dekat akan nampak ikosahedron
yang terdiri dari segitiga sama sisi menyatu bersama-sama dalam bentuk
bola. Bahan genetik sepenuhnya tertutup di dalam kapsid. Virus dengan
struktur ikosahedral yang dilepaskan ke lingkungan ketika sel mati, pecah,
sehingga melepaskan virion. Partikel-partikel TSV berdiameter 32 nm,
terdapat icosahedron yang tidak diselimuti dan memiliki kepadatan apung
1,338 g ml – 1 dalam CsCl. Genom TSV terdiri dari nukleotida RNA 10.205
beruntai tunggal linear, dan terdapat ekor poli-A 3. ORF 1 berisi urutan
untaian protein nonstruktural, seperti helicase, protease dan RNA
polimerase yang bergantung pada RNA. ORF 2 berisi sekuens untuk protein
struktural TSV, termasuk tiga protein kapsid utama VP1, VP2 dan
VP3.(masing-masing 55, 40, dan 24 kDa). Virus bereplikasi dalam
sitoplasma sel inang (Robles-Sikisaka et al., 2001).
Gambar 1. Histologi Taura Syndrome Virus

2.3 Infeksi TSV Pada Udang


Pada budidaya udang, TSV dapat menyebabkan angka kematian
yang tinggi dalam kurun waktu 15-40 hari pada saat mulai dilakukan stoking
dalam kolam. Diperkirakan penyakit akan muncul pada fase akut kemudian
berangsur menjadi kronik sampai lebih dari 120 hari. Infeksi TSV ada 2
(dua) fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada fase akut akan terjadi kematian
massal. Udang yang bertahan hidup dari serangan penyakit TSV, akan
mengalami fase kronis. Pada fase kronis, udang mampu hidup dari tumbuh
relatif normal, namun udang tersebut merupakan pembawa (carrier) TSV
yang dapat ditularkan ke udang lain yang sehat.
Gejala klinis timbul pada awal penyakit sekitar 7 hari setelah infeksi,
kadang 4-7 hari. Udang terlihat tidak nafsu makan, lemah dan berenang
lambat tidak terarah. Telson/ekor terlihat memucat, kulit lunak dan pada
infeksi alami terlihat kemerahan pada ekor dan anggota gerak. Angka
kematian pada fase ini dapat mencapai 95%. Fase akut tersebut bila dilihat
secara histologi terlihat adanya karyopiknosis dan karyoreksis (inti sel
memadat dan pecah) dan terlihat adanya “inklusion bodi” pada sitoplasma
(materi kemerahan padat) pada sel epitel kutikula. Pada fase transisional,
terlihat adanya melanisasi pada kutikula daerah kepala dan dada serta ekor.
Hal tersebut mungkin terjadinya proses kesembuhan atau adanya infeksi
sekunder oleh bakteri. Pada pemeriksaan molekuler daerah tersebut negatif
TSV. Proses melanisasi tersebut berjalan menuju penyakit kronis pada fase
berikutnya. Fase kronis terlihat pada 6 hari setelah infeksi dan
berlanjut sampai sekitar 12 bulan dalam komdisi penelitian. Fase ini dapat
dilihat secara histologis dengan menghilangnya lesi gejala akut dengan
ditemukannya limfoid vakuolisasi.

2.4 Kontrol dan pencegahan


2.4.1 Agen penghambat
Resistansi terhadap infeksi dengan TSV dilaporkan dengan ekspresi
protein TSNA antisense di mantel Zygotes P. vannamei. juvenile transgenik
yang dipelihara dari zigot yang dilindungi dengan cara ini menunjukkan
peningkatan resistensi terhadap serangan TSV (Lu & Sun, 2005). Hasil
serupa telah diproduksi dengan menyuntikkan sekuens RNAi untai ganda
acak pendek ke juvenile P. Vannamei. Dengan menyuntikan sekuens RNAi
tersebut dapat meningkatkan resistensi terhadap serangan TSV.
2.4.2 Disinfeksi telur dan larva
Briggs et al., TSV dapat ditransmisikan secara vertikal (transmisi
transovarian). Desinfeksi telur dan larva baik praktik manajemen untuk
potensinya untuk mengurangi kontaminasi TSV pada telur yang dilahirkan
dan larva dihasilkan. Dengan mengdisinfeksi telur dan larva sebelum ditebar
dapat mengurangi serangan dari TSV.
2.4.3 Praktek umum budidaya
Briggs et al., Beberapa praktek pengendalian dan manajemen
budidaya dan telah berhasil digunakan untuk mengurangi risiko infeksi
dengan TSV yang terjadi selama pembesaran. Ini termasuk penerapan uji
PCR untuk melakukan pra-seleksi induk liar atau pemeliharaan kolam atau
telur / nauplii dan membuang udang yang sudah positif terinfeksi TSV lalu
untuk pencegahan dapat dilakukan dengan pengembangan stok udang
specific patogen free (SPF) dari P. vannamei dan P. Stylirostris.
2.5 Penyebaran awal TSV
Dhar et al, TSV juga memiliki dampak dramatis di Asia. Itu penyakit
mungkin telah menyebar dari Amerika Selatan ke Asia melalui impor P.
vannamei hidup yang terinfeksi, yang telah menjadi spesies budaya utama
di Asia selama 1990-an. Wabah TS pertama di Asia dilaporkan terjadi pada
Taiwan selama tahun 1998, dan selanjutnya, penyakit ini menyebar ke Cina,
Thailand dan Korea. Pada tahun 2003, TS pertama wabah dikonfirmasi di
Thailand. Pada 2004, misal kematian akibat TS dilaporkan di tambak udang
yang membudidayakan P. vannamei di pantai barat Korea.

2.6 Dampak dan Gejala penyakit TSV


Sukenda 2009. Hasil histopatologis yang teramati pada pengamatan
TSV adalah badan inklusi feulgen-negatif yang muncul dan lebih bersifat
eosinofil daripada basofil, terjadi nekrosis di dalam sitoplasma dari sel.
Dalam jumlah banyak, badan inklusi akan tampak berwarna hitam anggur.

Gambar 2. Sel normal pada hepatopankreas udang Litopenaeus


vannamei yang tidak terinfeksi oleh virus

Gambar 3. Sel yang mengalami inklusi sitoplasmik pada hepatopankreas


udang vaname Litopenaeus vannamei yang terinfeksi TSV,
Koes 2015. Gejala infeksi TSV yaitu adanya melanisasi pada kulit
yang disebut dengan penyakit kulit ‘shell diseases’ keadaan ini terus
berlanjut hingga muncul adanya gejala IMNV pada lokasi yang sama dan
terjadi pada umur < dari 70 hari.

Gambar 4. Gejala infeksi TSV: melanisasi atau kromatofor dan nekrosis


pada permukaan kulit

2.7 Tanda tanda infeksi TSV


2.7.1 Perubahan tingkah laku
Menurut Lightner & Tang-Nelson Hanya udang dengan penyakit TS
fase akut yang menunjukkan perubahan perilaku. Biasanya, udang menjadi
hipoksia dan pindah ke tepi kolam atau permukaan tambak tempat oksigen
terlarut levelnya lebih tinggi. Udang tersebut dapat menarik burung laut
dalam jumlah besar. Dalam banyak wabah penyakit TS, sejumlah besar
burung laut tertarik pada udang yang hampir mati yang pertama kali
menunjukkan adanya a wabah penyakit serius (yang sering terjadi TS atau
WSD ketika burung laut diamati)
3.5 Fase fase TSV
Menurut Lightner & Tang-Nelson Penyakit TS memiliki tiga fase yang
berbeda, akut, transisi, dan kronis. Fase akut: tanda-tanda ditampilkan
dengan hampir mati/sekarat nya P. vannamei dengan fase akut TS
membuat ekspansi kromatofora menjadi merah pucat keseluruhan dan
membuat ekor dan pleopoda berwarna merah.
Fase transisi: meskipun hanya terjadi selama beberapa hari selama
tahap epizootics, tanda-tanda yang disajikan oleh udang dalam fase transisi
dapat memberikan diagnosis tentatif infeksi TSV. Selama fase transisi,
membuat lesi kutikula melanised, multifokal, berbentuk tidak teratur pada
udang yang terinfeksi.
Fase kronis: setelah berhasil berganti kulit, udang dalam fase transisi
pindah ke fase kronis di mana udang yang terinfeksi terus-menerus tidak
menunjukkan tanda-tanda penyakit yang jelas. Namun, udang yang
terinfeksi TSV kronis mungkin kurang tahan terhadap lingkungan stressor
normal (mis. penurunan salinitas mendadak) dari udang yang tidak
terinfeksi.
Penutup
4.1 Kesimpulan
Sindrom Taura merupakan salah satu penyakit yang sangat serius
mempengaruhi udang budidaya di seluruh dunia. Taura syndrome virus
menyerang pada kutikle epidermis kulit luar (outer exoskeleton) pada
udang. Virus ini termasuk virus berukuran kecil dengan genome single
strand RNA, virion berukuran diameter 32nm terdiri dari 10.205 nukleotida
(termasuk 3 'ekor poli-A), bentuk icosahedral. Taura Syndrom pada
umumnya menyerang juvenil P.vannamei 0.1 – 5 gram pada saat 2 – 4
minggu setelah tebar pada tambak atau bak kultur. Infeksi TSV ada 2 (dua)
fase, yaitu fase akut dan kronis. Pada budidaya udang, TSV dapat
menyebabkan angka kematian yang tinggi dalam kurun waktu 15-40 hari
pada saat mulai dilakukan stoking dalam kolam.
Gejala klinis penyakit timbul sekitar 7 hari setelah infeksi, kadang 4-
7 hari. Salah satu gejala yang timbul yaitu udang terlihat tidak nafsu makan,
lemah dan berenang lambat tidak terarah. Langkah utama pengendalian
penyakit TSV harus dimulai dari upaya mencegah masuknya patogen ke
dalam sistem budidaya udang melalui regulasi dan teknis yang terintegrasi
dan berkesinambungan. Cara menanggulangi penyakit ini pada umumnya
tidak ada obatnya. Hanya bisa dicegah atau diperlakukan dengan beberapa
cara seperti menghindari stres dan mengurangi pakan hingga 50%.
4.2 Saran
Pemantauan secara rutin pada kegiatan budidaya udang perlu
dilakukan terhadap infeksi penyakit, baik yang disebabkan oleh virus atau
patogen lainnya. Kewaspadaan dan regulasi terhadap kegiatan impor udang
harus lebih diperketat, agar tidak terjadi introduksi penyakit baru.
Daftar Pustaka

Aranguren, L.F., Salazar, M., Tang, K., Caraballo, X., and Lightner, D.V.
2013. Characterization of a new strain of Taura syndrome virus (TSV)
from Colombian shrimp farms and the implication in the selection of
TSV resistant lines. Journal of Invertebrate Pathology, 112: 68-73
Bonami, Jean-R., Hasson, K.W., Mari, J., Poulos, B.T and Lightner, D.V.
1997. Taura syndrome of marine penaeid shrimp: characterization of
the viral agent. Journal of General Virology, 78:313-319.
Dhar A. K., D. K. Lakshman, K. Amundsen, R. Robles-Sikisaka, K. N. Kaizer,
S. Roy, K. W. Hasson, and F. C. T. Allnutt. 2010. Characterization of
a Taura syndrome virus isolate originating from the 2004 Texas
epizootic in cultured shrimp. Researchgate. 155:315–327.
Robles-Sikisaka R., Garcia D.K., Klimpel K.R. & Dhar A.K. 2001. Nucleotide
sequence of 3’-end of the genome of Taura syndrome virus of shrimp
suggests that it is related to insect picornaviruses. Arch. Virol.
146:941– 952.
Saparinto, Cahyo.2010. Budidaya Ikan di Kolam Terpal. Jakarta : Niaga
Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai