Anda di halaman 1dari 98

i

M.A.S.T.E.R.P.L.A.N
KAWASAN PETERNAKAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Kerjasama

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM


dengan
PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
Jl. Airlangga Nomor 56. Mataram Telp. (0370) 621862.
Fax. (0370) 622658

2014
ii

HALAMAN PENGESAHAN

1. Judul: Masterplan Kawasan Peternakan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

2. Ketua Pelaksana
a. Nama dan gelar : Prof. drh. Adji Santoso Dradjat, M.Phil., PhD.
b. NIP : 195505041983031003
c. Pangkat/ Golongan : Guru besar/ IV-d
d. Jabatan : Profesor

3. Anggota Pelaksana
a. Dr. Ir. Hermansyah. MSi.
b. Dr. Ir. Mohammad Hasil Tamzil. MSi.
c. Ir. I Putu Sudrana. MS.
d. Ir. Uhud Abdullah MP.

Mataram, Nopember 2014

Fakultas Peternakan UNRAM Ketua,


Mengetahui,
Dekan

Prof. Ir. H. Yusuf Akhyar Sutaryono, PhD. Prof. drh. Adji S Dradjat, M.Phil., PhD.
NIP 196110251985031003 NIP 195505041983031003
iii

SUSUNAN TIM

Pelaksanaan penyusunan Masterplan Kawasan Peternakan di NTB ini


merupakan kerja sama antara Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB
dengan Fakultas Peternakan Universitas Mataram.
Adapun susunan tim pelaksana sebagai berikut:
Penanggung Jawab : Dekan Fakultas Peternakan Unram
Ketua Tim : Prof. Drh. Adji Santoso Dradjat, MPhil, Ph.D
Anggota 1 : Dr. Ir . Hermansyah, MSi
Anggota 2 : Dr. Ir. Mohammad Hasil Tamzil, MS.
Anggota 3 : Ir. I Putu Sudrana, MS.
Anggota 4 : Ir. Uhud Abdullah, MP.
iv

DAFTAR ISI

Halaman pengesahan ii
Susunan tim penyusun iii
Daftar isi iv
Daftar tabel v
Daftar gambar vii
Daftar lampiran viii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II METODE KAJIAN 4
BAB III GAMBARAN UMUM WILAYAH 9
BAB IV POTENSI PETERNAKAN NTB 16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28
BAB VI KESIMPULAN 74
Lampiran 76
v

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Ibu Kota, Luas Wilayah, dan Ketinggian Dari Permukaan Laut 9
Menurut Kabupaten/Kota.
Tabel 3.2 Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Provinsi Nusa Tenggara 10
barat tahun 2013.
Tabel 3.3 Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Padi Sawah dan Ladang 11
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Tabel 3.4 Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Jagung, Ubi Kayu dan 11
Ubi Jalar Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Tabel 3.5 Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Kacang Tanah, Kacang 12
Kedele Dan Kacang Hijau Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Tabel 3.6 Estimasi produksi dedak halus padi menurut kabupaten/kota di Nusa 13
Tenggara Barat
Tabel 3.7 Potensi Lahan Perkebunan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012 14
Tabel 3.8 Luas Kawasan Hutan Terhadap Daratan Menurut Kabupaten/Kota 15
Tahun 2012
Tabel 3.9 Produksi Ikan Menurut Kabupaten/Kota ahun 2008 – 2012 15
Tabel 4.1 Populasi ternak selama lima tahun terakhir di NTB 16
Tabel 4.2 Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2013 18
Tabel 4.3 Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2013 19
Tabel 4.4 Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2013 19
Tabel 4.5 Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012 20
Tabel. 4.6 Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 21
2012
Tabel 4.7 Populasi ternak unggas menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 22
2013
Tabel 4.8 Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012 23
Tabel 4.9. Perkembangan produksi daging lima tahun terakhir di NTB (dalam kg) 24
Tabel 5.1 Populasi ternak pemakan hijauan/herbivora (ekor) di 10 kabupaten/kota 28
di Provinsi NTB 2013
Tabel 5.2 Populasi ternak pemakan hijauan (UT) tahun 2013 di NTB 29
Tabel 5.3 Populasi Penduduk Provinsi NTB 30
Tabel 5.4 Nilai LQ Ternak Herbivora di Provinsi Nusa Tenggara Barat 31
Tabel 5.5 LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir. 33
Tabel 5.6 Nilai LQ Ayam Petelur di NTB Lima Tahun Terakhir 35
Tabel 5.7 Hasil Analisis LQ Ayam Pedaging di NTB 38
Tabel 5.8 Nilai LQ Itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat Lima Tahun Terakhir. 40
Tabel 5.9 Wilayah Potensial Pengembangan Ternak di NTB berdasarkan LQ 42
Tabel 5.10 Nilai RPr dan RPs Sapi di NTB antara tahun 2009-2013 44
Tabel 5.11 Nilai RPr dan RPs Kerbau di NTB tahun 2009-2013 45
Tabel 5.12 Nilai RPr dan RPs Kuda di NTB antara tahun 2009-2013 46
Tabel 5.13 Nilai RPr dan RPs Kambing di NTB antara tahun 2009-2013 47
Tabel 5.14 Nilai RPr dan RPs Domba di NTB antara tahun 2009-2013 48
Tabel 5.15 Rincian Potensi pengembangan ternak herbivora di Provinsi NTB 49
vi

Tabel 5.16 Hasil Analisis Overlay terhadap Sapi di NTB 53


Tabel 5.17 Hasil analisis overlay kerbau di NTB 54
Tabel 5.18 Hasil analisis overlay kuda di NTB 55
Tabel 5.19 Hasil analisis overlay ternak kambing di NTB 56
Tabel 5.20 Hasil analisis overlay ternak domba di NTB 56
Tabel 5.21. Tahapan pengembangan kawasan peternakan. 57
vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 5.1. Jumlah ternak herbivora di kabupaten/kota di NTB. 29


Gambar 5.2. Nilai LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir 34
Gambar 5.3. Hasil analisis LQ ayam petelur di NTB lima tahun terakhir. 36
Gambar 5.4. Hasil Perhitungan LQ Ayam Pedaging di NTB Lima Tahun 39
Terakhir.
Gambar 5.5: Grafik LQ Ternak Itik di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir 41
Gambar 5.6. Bagan tahapan pengembangan kawasan ternak di NTB 58
Gambar 5.7. Skema perguliran Pejantan Hasil Uji Performan 61
Gambar 5.8. Skema Perguliran Pejantan Langsung 61
Gambar 5.9.: Lokasi pilot proyek komoditas ternak di NTB sesuai hasil kajian. 73
viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran .1. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) 76
Kabupaten Lombok Utara.
Lampiran.2. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kabupaten 76
Lombok Utara.
Lampiran 3.Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) 77
wilayah Kota Mataram.
Lampiran 4. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan wilayah 77
Kota Mataram.
Lampiran. 5. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) 78
Kabupaten Lombok Barat
Lampiran 6. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. 78
Lombok Barat.
Lampiran 7. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 79
Kabupaten Lombok Tengah.
Lampiran 8. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di 79
Kabupaten Lombok Tengah.
Lampiran 9. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) 80
Kabupaten Lombok Timur
Lampiran 10. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. 80
Lombok Timur
Lampiran 11. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 81
Kabupaten Sumbawa Barat.
Lampiran 12. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di 81
Kabupaten Sumbawa Barat
Lampiran 13. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan di Kab 82
Sumbawa
Lampiran 14. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kab. 82
Sumbawa
Lampiran 15. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 83
Kabupaten Dompu.
Lampiran 16. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di 83
Kabupaten Dompu.
Lampiran 17. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan (ton BK) di 84
Kab. Bima.
Lampiran 18. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di 84
Kabupaten Bima.
Lampiran 19. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 85
Kota Bima.
Lampiran 20. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kota 85
Bima.
Lampiran 21. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 87
P Lombok
ix

Lampiran 22. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di 87


P Lombok.
Lampiran 23. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 88
wilayah P Sumbawa
Lampiran 24. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di wilayah 88
P Sumbawa.
Lampiran 25. Populsi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di 89
wilayah NTB
Lampiran 26. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan 89
x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dipanjatkan karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya, maka penyusunan Masterplan Kawasan Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Barat
(NTB) dapat terselesaikan. Masterplan ini disusun untuk menjadi panduan pengembangan
peternakan di Propinsi NTB.

Dengan terselesaikannya penyusunan Masterplan ini, tim penyusun mengucapkan terima


kasih kepada:

1. Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi NTB yang telah
memberikan kepercayaan kepada Fakultas Peternakan Unram untuk melaksanakan
kegiatan ini.
2. Dekan Fakultas Peternakan Unram yang telah menugaskan kepada kami sebagai tim
penyusun Masterplan.
3. Para dosen dan alumni Fakultas Peternakan Unram yang telah membantu dalam
pengumpulan data.

Kami berharap Masterplan ini dapat digunakan dan bermanfaat untuk penyusunan
rencana pengembangan peternakan NTB.

Mataram, Nopember 2014

Ketua tim penyusun ,

Prof. drh. Adji Santoso Dradjat, M.Phil., PhD.


1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia dengan penduduk 250 juta jiwa membutuhkan 750 juta piring nasi dan lauk
pauk untuk dikonsumsi setiap hari. Kualitas makanan tersebut tergantung dari ada-tidaknya
sayur dan daging atau telur pada makanan tersebut. Protein hewani sangat esensial bagi manusia
karena mengandung asam animo utama (essential amino acids). Asam amino utama pada
dasarnya tidak dapat disintesa oleh tubuh, oleh karena itu hasil Widyakarya Nasional Pangan dan
Gizi, menyatakan bahwa untuk mencukupi kebutuhan protein yang mengandung asam amino
esensial sebanyak 6 gram/ kapita/ hari, diperlukan produk peternakan yang dapat dipenuhi dari
3,87 gram daging, 1,54 gram telur dan 0,59 gram susu/ kapita/hari. Kebutuhan tersebut setara
dengan 10,1 kg daging, 4,7 kg telur dan 6,1 kg susu/kapita/tahun. Kebutuhan terhadap produk
peternakan berupa daging, susu dan telur meningkat dari tahun ke tahun, karena peningkatan
pendapatan, pengetahuan tentang gizi makanan, standar hidup dan perbaikan kesejahteraan.
Apabila suatu negara pada kurun waktu tertentu mengalami kekurangan protein hewani
maka akan terjadi dua hal. Pertama, anak-anak yang otaknya sedang dalam perkembangan akan
mengalami hambatan, sehingga apabila anak-anak tersebut mencapai usia dewasa otaknya tidak
berkembang sempurna. Implikasinya adalah negara tersebut akan mengalami kerugian yang
disebut dengan “loss generation”. Generasi tersebut ditandai oleh jaringan otaknya tidak
berkembang sempurna sehinga produktivitas dan etos kerjanya relatif rendah. Kedua, orang
dewasa yang mendapat asupan protein hewani yang rendah akan mempunyai etos kerja yang
rendah dan daya pikir yang relatif rendah pula. Kemajuan suatu negara tergantung dari kualitas
SDM-nya, dan kualitas SDM yang berkualitas tinggi pada saat pertumbuhan dan bekerja
tergantung dari kualitas gizi makanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fondasi
pengembangan SDM di samping ditentukan oleh unsur pendidikan juga sangat tergantung dari
kualitas gizi makanan yang dikonsumsi.
Kebutuhan gizi rakyat Indonesia yang esensial adalah kebutuhan protein hewani, yaitu
daging telur dan susu. Kebutuhan protein hewani yang sangat besar ini akan terpenuhi apabila
pengembangan peternakan dirancang dengan baik. Pengembangan peternakan dapat dirancang
apabila pengembangan dapat dilakukan berdasarkan daya dukung kawasan. Kawasan yang akan
2

dikembangkan sangat tergantung dari daya dukung, luas area berpotensi, sumberdaya manusia
setempat dan potensi komoditas peternakan yang ada. Komoditas ternak yang dikembangkan di
NTB adalah untuk hewan runinansia besar yaitu sapi dan kerbau, untuk hewan ruminansia kecil
kambing dan domba, untuk unggas ayam dan itik baik pedanging dan petelur.
Selama lima tahun terakhir populasi sapi terjadi peningkatan, akan tetapi populasi kerbau,
kuda dan domba selama periode yang sama mengalami fluktuasi, sementara populasi kambing
dan babi terjadi sedikit peningkatan. Disamping itu terjadi peningkatan populasi unggas baik
ayam kampung, ayam ras dan itik. Di sisi lain, populasi penduduk NTB cenderung meningkat
dari tahun ke tahun, sehingga kebutuhan sandang, pangan dan papan juga meningkat. Oleh
karena itu yang kemudian terjadi antara alih fungsi lahan, bahkan akan terjadi kompetisi
kapasitas daya tampung lahan yang dihuni manusia dengan lahan yang dijadikan basis produksi
peternakan.
Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani dikaitkan dengan peningkatan permintaan
produk hewani bagi manusia tersebut perlu diatur wilayah pengembangan kawasan sehingga
pengembangan peternakan dapat dilakukan secara maksimal, tanpa terganggu oleh alih fungsi
lahan.. Pemprov NTB memiliki lahan untuk pengembangan peternakan, yaitu terdapat di
lima kabupaten dan kota di Pulau Lombok serta di lima kabupaten dan kota di Pulau
Sumbawa. Pengembangan peternakan di NTB di kedua Pulau tersebut akan berhasil
apabila dilakukan melalui perencanaan pengembangan wilayah peternakan sesuai
dengan keunggulan komoditas yang dituangkan dalam Masterplan.

1.2. Tujuan Kajian


Penyusunan masterplan kawasan peternakan NTB bertujuan untuk:
a. Menganalisis potensi setiap kabupaten/kota dan mengindentifikasi potensi
pengembangan peternakan tiap daerah.
b. Menetapkan kawasan pengembangan peternakan.
c. Menyusun strategi pengembangan kawasan peternakan dan kegiatan ikutannya.
3

1.3. Manfaat Kajian

Manfaat dari kajian adalah:

a. Bagi Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB, Master Plan ini dapat
digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan perencanaan pengembangan
peternakan sesuai dengan potensi wilayah.
b. Bagi para peternak, dapat digunakan sebagai acuan untuk pengembangan dan
mamantapkan pola peternakan rakyat.
c. Bagi para pengusaha, dapat digunakan sebagai acuan dasar tentang potensi lahan,
ternak dan SDM guna pengembangan industri peternakan di NTB.

1.4. Keluaran Kajian


Keluaran dari kajian ini adalah dokumen hasil kajian yang intinya memuat
data potensi daerah yang ada saat ini, potensi pengembangan berbagai komoditas
ternak dan rencana pewilayahan pengembangan peternakan.
4

BAB II. METODE KAJIAN

Kajian penyusunan Master Plan Kawasan Peternakan ini dilakukan menggunakan


metode survei untuk menghimpun data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari
hasil wawancara dengan stakeholder dan observasi di lapangan. Data sekunder dihimpun
dari instansi terkait. Analisis data dilakukan secara diskriptif, analisis LQ, analisis daya
tampung wilayah, analisis MRP, analisis overlay dan dilanjutkan dengan analisis SWOT.
Rincian analisis penelitian adalah sebagai berikut:

2.1. Analisis Deskriptif

Analisis Deskriptif dilakukan terhadap data mengenai: a. sumberdaya ternak


(populasi, produksi, produktivitas), b. Sumberdaya manusia (peternak, pengusaha, dan
petugas pemerintah), c. Sumberdaya alam (sawah, tegal, kebun, padang
penggembalaan, hutan, dll); d. Kelembagaan (kelompok tani-ternak, penyuluh,
perkreditan, Puskeswan, dll).

2.2. Analisis LQ

Analisis LQ (Location Quotient) atau analisis keadaan wilayah (sektor basis


atau non basis). Dilakukan dengan menghitung perbandingan Si dan Ni. Si =
Perbandingan antara populasi ternak tertentu per kabupaten dengan penduduk di
wilayah yang sama, Ni = Perbandingan antara populasi ternak tertentu dengan jumlah
penduduk di NTB.

2.3. Analisis Daya Tampung Wilayah

Analisis daya tampung wilayah dilakukan dengan menghitung daya tampung


wilayah berdasarkan ketersediaan sumber pakan. Menggunakan rumus sebagai berikut.
a. PML = a LS + b LK + c LPR + d LH + e LKb. PML = daya tampung optimal
berdasarkan lahan sumber pakan, LS = lahan sawah, LK = lahan kering, LPR
= lahan padang rumput , LH = lahan hutan, LKb = lahan perkebunan.
b. PMKK = d KK, PMKK = potensi optimal berdasarkan rumah tangga petani-
5

peternak, KK = jumlah rumah tangga petani-peternak, d = koefisien jumlah ternak


yang dapat dipelihara per RTP.
c. PPT = PML – Pop, PPT = Potensi Pengembangan Ternak, PML = Potensi
Optimum Berdasarkan Lahan, Pop = Populasi riel.
d. PPTKK = PMKK – Pop, PPTKK = Potensi Pengembangan Ternak Berdasarkan
KK, PMKK = Potensi Optimum.

Dasar perhitungan hijauan pakan


1. Hijauan alam bersumber dari: pematang sawah, pingiran jalan, padang
penggembalaan, kawasan hutan dan lahan kosong
2. Limbah bersumber dari jerami padi (7,5 ton BK/ha), jagung (25 ton BK/ha),
Kacang tanah dan kacang kedelai (5 ton/ha) singkong 2,5 ton/ha
3. Penggunaan limbah baru diperhitungkan 35% dari total produksi
4. Perhitungan didasarkan atas pedoman dari Direktorat Pakan Ditjennakkeswan

2.4. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)

Model rasio pertumbuhan dibagi ke dalam dua rasio yakni rasio pertumbuhan
wilayah referensi (Provinsi NTB= RPl) dan rasio pertumbuhan wilayah studi
(kabupaten= RPs). RPl merupakan perbandingan antara pertumbuhan output (jumlah
populasi/komoditi) di wilayah studi (kabupaten) dibandingkan dengan pertumbuhan
total output (populasi) di wilayah referensi. Formula yang dipakai untuk menghitung
MRP adalah sebagai berikut:

∆ PiR / Pi Rt
RPl =
∆ PR / PRt

Keterangan:

∆ PiR = perubahan nilai total populasi ternak i di wilayah referensi (provinsi)


PiRt = nilai populasi ternak i pada awal periode penelitian
∆ PR = perubahan nilai populasi di provinsi
PRt = nilai populasi pada awal periode penelitian
6

PiR (t + n) – (Pi Rt)


∆ PiR =
Pi Rt

PR (1 + n) – PRt
∆ PR =
PRt

RPs adalah perbandingan antara pertumbuhan output (populasi) ternak i di


wilayah studi/kabupaten dengan pertumbuhan total output (populasi) ternak i di
wilayah referensi (provinsi) dengan persamaan sebagai berikut:

∆ PiJ / Pij (t)


RPs =
∆ PiR/PiR (t)

∆ Pij = perubahan jumlah populasi ternak di kabupaten


Pij(t) = populasi ternak i di kabupaten tertentu pada awal penelitian
∆ PiR = perubahan jumlah populasi ternak i di provinsi
PiR(t) = populasi ternak i di provinsi pada awal periode penelitian

Pij (t + n) – Pij (t)


∆ Pij =
Pij (t)

PiR (t+n) – PiRt


∆ PiR =
PiRt

Jika nilai RPr lebih dari 1 maka RPr dapat dikatakan (+) yang
menunjukkan bahwa populasi ternak tertentu dalam wilayah referensi (provinsi)
lebih tinggi dari pertumbuhan jumlah populasi total di wilayah penelitian
(kabupaten). Sebaliknya jika nilai PRt lebih kecil dari 1 maka PRr dikatakan (-)
7

yang berarti jumlah populasi ternak tertentu di wilayah referensi lebih sedikit
dibandingkan wilayah penelitian.
Begitu juga dengan nilai Rps yang lebih besar dari 1 maka RPs dikatakan
(+) yang menunjukkan pertumbuhan populasi ternak tertentu di wilayah studi
(kabupaten) lebih tinggi dari pertumbuhan nilai produksi komoditi yang sama di
wilayah referensi (provinsi) dan sebaliknya jika RPs lebih kecil dari 1 maka RPs
dikatakan negatif.
Dari analisis model ratio pertumbuhan (MRP) diperoleh nilai riil dan nilai
nominal. Selanjutnya dengan mengombinasikan kedua perbandingan nilai
tersebut akan diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi yang potensial pada tingkat
wilayah penelitian dengan empat klasifikasi, meliputi:
a. Klasifikasi I yakni RPr (+) dan RPs (+), artinya komoditi tersebut
pertumbuhannya dominan, baik pada wilayah kabupaten maupun pada
wilayah studi (provinsi).
b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), artinya komoditi tersebut
pertumbuhannya menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak
menonjol di wilayah studi (kabupaten).
c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya komoditi tersebut
mempunyai pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi)
namun potensial dikembangkan di wilayah studi (kabupaten).
d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), artinya komoditi tersebut tidak
mempunyai pertumbuhan yang memadai baik di wilayah referensi maupun
wilayah studi.

2.5. Analisis Overlay


Analisis Overlay adalah teknik yang digunakan peneliti untuk mengambil
sebuah kesimpulan dengan menggabungkan lebih dari satu hasil analisis yakni hasil
analisis Location Quition (LQ), analisis MRP dan analisis daya dukung wilayah dan
atau pakan. Penggabungan ketiga analisis itu kemudian diperoleh ternak yang karena
faktor tertentu populasinya berkembang baik serta ditopang daya dukung pakan yang
8

tersedia di wilayah tersebut hingga populasinya surplus, dan atau sebaliknya. Analisis
overlay dalam studi ini hanya mengkaji potensi pengembangan ternak pemakan
hijauan (herbivore), tidak menganalisis potensi ternak unggas.
Pada Analisis Overlay, terdapat beberapa kemungkinan hasil kombinasi, sbb:

A). DD (+), MRP (+), LQ >1 (+), ada kecenderungan komoditi tersebut punya daya
dukung, tumbuh dominan dan surplus.
B). DD (+), MRP (+), LQ >1 (-), ada kecenderungan komoditi tersebut punya daya
dukung dan tumbuh dominan
C). DD (+), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut punya daya dukung
dan surplus
D). DD (+), MRP (-), LQ >1 (-), komoditi tersebut hanya tercatat punya daya dukung
E). DD (-), MRP (+), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut tumbuh dominan
dan surplus.
F). DD (-), MRP (+), LQ >1 (-), komoditi tersebut hanya tumbuh dominan.
G). DD (-), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut mengalami surplus.

2.5. Analisis SWOT

Keempat dilakukan analisis SWOT. Data yang didapat dianalisis menggunakan


Analisis SWOT yang digunakan untuk menyusun strategi pengembangan kawasan
peternakan bagi seluruh kabupaten/kota di NTB.
9

BAB III. GAMBARAN UMUM WILAYAH

3.1. Kondisi Geografi


Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 280 buah pulau yang dua di
antaranya adalah pulau besar yakni Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, terletak antara
115046’ – 11905’ BT dan 8010’ – 905’ LS dengan luas wilayah 20.153,20 km2 serta
Mataram sebagai ibu kota. Dari letak geografi, wilayah NTB berbatasan dengan Laut
Jawa dan Laut Flores di bagian utara, Samudera Hindia di bagian selatan, Selat
Lombok/Propinsi Bali di bagian barat, dan di timur berbatasan dengan Selat
Sape/Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selain itu, NTB memiliki 16 buah gunung yang tersebar di Pulau Lombok
berjumlah 7 (tujuh) buah dengan Gunung Rinjani yang tertinggi (3.726 m dpl) dan 9
(sembilan) buah terdapat di Pulau Sumbawa dengan Gunung Tambora yang tertinggi
(2.851 m dpl).
NTB terdiri dari 10 wilayah administrasi kabupaten dan kota yang ibu kota, luas
wilayah, dan ketinggian dari permukaan laut tercantum pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Ibu Kota, Luas Wilayah, dan Ketinggian Dari Permukaan Laut Menurut
Kabupaten/Kota.
Luas Wilayah Tinggi
No. Kabupaten/Kota Ibu Kota 2
Km % (mdpl)
1. Lombok Barat Gerung 1.053,92 5,23 15
2. Lombok Tengah Praya 1.208,40 6,00 107
3. Lombok Timur Selong 1.605,55 7,97 166
4. Sumbawa Sumbawa Besar 6.643,98 32,97 18
5. Dompu Dompu 2.324,60 11,53 60
6. Bima Raba 4.389,40 21,78 21
7. Sumbawa Barat Taliwang 1.849,02 9,17 11
8. Lombok Utara Tanjung 809,53 4,02 12
9. Kota Mataram Mataram 61,30 0,30 27
10. Kota Bima Raba 207,50 1,03 21
Total 20.153,20 100

Sumber: BPS NTB, 2013.


10

Untuk kelancaran pergerakan atau perpindahan setiap objek antar provinsi di


Indonesia atau mancanegara maupun dalam provinsi NTB, NTB memiliki sarana dan
prasarana transportasi baik udara maupun laut.

3.2. Wilayah Administrasi

Secara administrasi, NTB terdiri dari 2 (dua) kota, 8 (delapan) kabupaten (Tabel
3.2) dan 1.146 desa/kelurahan.

Tabel 3.2. Jumlah Kecamatan dan Desa/Kelurahan di Provinsi Nusa Tenggara Barat
tahun 2013.
Jumlah
No Kabupaten/Kota
Kecamatan Desa/Kelurahan
1. Lombok Barat 10 122
2. Lombok Tengah 12 139
3. Lombok Timur 20 254
4. Sumbawa 24 166
5. Dompu 8 81
6. Bima 18 198
7. Sumbawa Barat 8 65
8. Lombok Utara 5 33
9. Kota Mataram 6 50
10. Kota Bima 5 38
Sumber, BPS NTB, 2013

3.3. Pertanian

Luas panen, rata-rata prodduksi dan produksi padi sawah dan ladang disajikan
pada Tabel 3.4. Terlihat bahwa produksi padi di NTB mencapai 1,7 juta - 2,1 juta ton
dengan produksi 46-53 kwintal/ha sawah. Berikutnya rata-rata produksi jagung, ubi
kayu dan ubi jalar tertera pada Tabel 3.5. Produksi kacang tanah, kedelai dan kacang
hijau disajikan pada Tabel 3.6. Luas sawah yang yang ditanami dua kali dan satu kali,
tidak ditanami dan yang ditanami dengan tanaman lain disajikan pada Tabel 3.3, dan
luas kebun yang belum dimanfaatkan disajikan pada Tabel 3.4.
11

Tabel 3.3. Luas Panen, Rata-rata Produksi dan Produksi Padi Sawah dan Ladang
Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Luas anen Rata2 Produksi Produksi
No Kabupaten/Kota
(Ha) (Kw/Ha) (Ton)
1 Lombok Barat 32.086 49,07 157.445
2 Lombok Tengah 88.356 48,84 431.549
3 Lombok Timur 71.423 50,34 359.564
4 Sumbawa 86.024 48,65 418.489
5 Dompu 35.435 46,98 166.459
6 Bima 69.135 51,80 358.127
7 Sumbawa Barat 17.884 53,43 95.548
8 Kota Mataram 5.115 53,43 27.328
9 Kota Bima 7.471 51,12 38.189
10 Lombok Utara 12.519 49,15 61.533
Jumlah 425.448 49,69 2.114.231
Tahun 2011 418.062 49,45 2.067.137
Tahun 2010 374.284 47,41 1.774.499
Tahun 2009 374.279 49,98 1.870.775
Tahun 2008 359.714 48,67 7.750.677
Sumber: BPS NTB, 2013; dimodifikasi

Tabel 3.4. Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Jagung, Ubi Kayu dan Ubi
Jalar Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar
Luas Rata2 Luas Rata2 Luas Rata2
No Kabupaten/Kota Produksi Produksi Produksi
Panen Produksi Panen Produksi Panen Produksi
(Ton) (Ton) (Ton)
(Ha) (Kw/Ha (Ha) (Kw/Ha (Ha) (Kw/Ha
1 Lombok Barat 4.515 53,07 23.960 428 129,83 5.557 240 120,83 2.900
2 Lombok Tengah 3.100 54,92 17.025 835 129,84 10.841 131 127,02 1.664
3 Lombok Timur 15.163 56,69 85.960 1.132 134,43 15.217 246 117,95 2.902
4 Sumbawa 35.234 54,60 192.391 321 131,95 4.236 79 126,65 1.001
5 Dompu 27.905 54,94 153.305 55 130,52 718 94 115,12 1.082
6 Bima 18.273 55,54 101.482 1.012 131,21 13.279 57 118,62 676
7 Sumbawa Barat 5.113 53,71 27.462 104 132,34 1.376 10 119,60 119
8 Kota Mataram -- -- -- -- -- -- -- -- --
9 Kota Bima 1.351 56,15 7.586 94 128,79 1.211 5 113,53 57
10 Lombok Utara 6.376 52,54 33.503 1.998 135,32 27.037 328 118,98 2.832
Jumlah 117.030 54,92 642.674 5.979 132,92 79.472 1.100 120,30 13.233

Sumber: BPS NTB, 2013; dimodifikasi


12

Adapun luas panen dan produksi tanaman kacang tanah, kacang kedele dan
kacang hijau menurut kabupaten/kota tahun 2012 adalah seperti tersaji pada Tabel 3.5.
Berdasarkan data pada Tabel 3.5. nampak bahwa kacang tanah terutama diproduksi
petani di Kabupaten Bima, Lombok Utara dan Lombok Tengah. Kemudian kedele
terutama diproduksi petani di Kabupaten Bima, Lombok Tengah dan di Kabupaten
Dompu. Adapun tanaman kacang hijau kebanyakan dihasilkan petani di Kabupaten
Sumbawa, Dompu dan Sumbawa Barat. Selengkapnya mengenai produksi ketiga
komoditas holtikultura NTB tersebut tersaji pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Luas Panen, Rata-Rata Produksi dan Produksi Kacang Tanah, Kacang
Kedele Dan Kacang Hijau Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012
Kacang Tanah Kacang Kedele Kacang Hijau
No Kabupaten/Kota Luas Rata2 Produksi Luas Rata2 Produksi Luas Rata2 Produksi
Panen Produksi (Ton) Panen Produksi (Ton) Panen Produksi (Ton)
(Ha) (Kw/Ha (Ha) (Kw/Ha (Ha) (Kw/Ha
1 Lombok Barat 1.705 17,57 2.996 2.851 11,66 3.323 371 11,62 431
2 Lombok Tengah 4.182 15,23 6.370 19.473 12,58 24.501 347 11,36 394
3 Lombok Timur 1.137 15,59 1.772 839 13,62 1.142 730 11,70 854
4 Sumbawa 937 10,60 990 1.128 10,00 3.128 17.311 12,40 21.457
5 Dompu 457 12,77 583 10.607 11,18 11.862 5,330 11,79 6.282
6 Bima 9.902 13,59 13.453 21.659 11,54 24.995 1,771 13,00 2.302
7 Sumbawa Barat 166 9,69 161 1.469 9,92 1.457 1,871 12,72 2.381
8 Kota Mataram -- -- -- 379 10,56 400 3 11,38 3
9 Kota Bima 217 13,93 302 2.480 13,48 3.343 13 10,35 13
10 Lombok Utara 6.808 18,01 12.263 3 10,56 3 28 12,42 35
Jumlah 25.508 15,25 38.890 62.888 11,79 74.154 27.775 12.30 34.152
Tahun 2011 26.319 14,42 37.964 75,042 11.74 88.100 45.351 10.99 50.702
Tahun 2010 25.044 13,44 33.666 86,649 10.75 93.122 45.511 9.78 50.012
Tahun 2009 28.750 13.43 38.615 87,920 10.90 95.846 34.536 9.93 33.774
Tahun 2008 25.541 12.67 32.348 76,154 12.49 95.106 40.017 11.18 39.756

Sumber, BPS NTB, 2013 dimodifikasi

3.3.1. Potensi Sumber Daya Pakan Unggas

Daerah Nusa Tenggara Barat mempunyai potensi yang cukup besar untuk
penyediaan bahan pakan untuk pengembangan ternak unggas (ayam ras petelur, ayam
ras pedaging, ayam buras dan ternak itik). Bahan utama pakan sumber energi ternak
13

unggas adalah dedak dan jagung, sedangkan bahan utama sumber protein adalah
tepung ikan dan tepung atau bungkil kedelai.

3.3.1.1. Potensi Dedak Halus


Dedak halus merupakan limbah dari penggilingan gabah menjadi beras.
Jumlah dedak halus yang dihasilkan mencapai angka 2,5%. Dengan demikian potensi
pengadaan dedak halus sebagai sumber energi sangat tinggi. Data statistik tahun 2012
melaporkan bahwa luas panen padi pada tahun 2012 mencapai 56.688 Ha dengan
rata-rata produksi per Ha mencapai 37,77 kw dengan total produksi padi mencapai
2.114.231ton (Tabel 3.4). Bila diasumsikan bahwa produksi dedak halus rata-rata
2,5% maka pada tahun 2012 daerah Nusa Tenggara Barat menghasilkan dedak halus
sebesar 10.636,2 ton (Tabel 3.6).

Tabel 3.6. Estimasi produksi dedak halus padi menurut kabupaten/kota di NTB
Kabupaten/Kota Produksi Dedak (ton)
Lombok Barat 802,15
Lombok Tengah 2.208,9
Lombok Timur 1.785,575
Sumbawa 2.150,6
Dompu 8.85,875
Bima 1.728,375
Sumbawa Barat 447,1
Kota Mataram 127,875
Kota Bima 186,775
Lombok Utara 312,975
Total 10.636,2

3.3.1.2. Potensi Jagung


Produksi jagung NTB meningkat sejak 2008, dan pada tahun 2013 produksi
jagung NTB mencapai 633.773 ton. Rincian produksi jagung NTB tahun 2012 per
kabupaten/kota disajikan pada Tabel 3.4. Data ini memberikan informasi bahwa
produksi jagung tertinggi di NTB terdapat di Kabupaten Sumbawa, Dompu, Bima,
Lombok Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, Lombok Barat, Lombok Tengah
dan Kota Bima. Mataram tidak mempunyai berkontribusi memproduksi jagung.
14

3.3.1.3. Potensi Kedelai


Tepung kedelai atau bungkil kedelai merupakan bahan utama penyusunan
pakan unggas sebagai sumber protein nabati. Produksi kedelai pada tahun 2008 di
Nusa Tenggara Barat mencapai 95.106 ton, dan pada tahun 2009 mengalami
peningkatan menjadi 95.846 ton, namun pada tahun 2010 menurun menjadi 94.122
ton, tahun 2011 menurun menjadi 88.100 ton. Produksi kedelai NTB tahun 2012
disajikan pada Tabel 3.5. Data pada Tabel 3.5 menunjukkan bahwa sentra utama
penghasil kedelai NTB berturut-turut adalah Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu
dengan angka produksi mencapai 50% lebih dari total produksi kedelai di NTB.

3.4. Perkebunan
Potensi perkebunan NTB tersaji pada Tabel 3.7. berikut:

Tabel 3.7. Potensi Lahan Perkebunan Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2012


Dimanfaatkan (Ha)
No Kabupaten/Kota Total
Belum Sudah
Ha %*
1 Lombok Barat 69.312,81 24.024,19 25,73 93.377,00
2 Lombok Tengah 54.828,23 42.251,77 43,52 97.080,00
3 Lombok Timur 10.030,17 51.164,83 32,97 155.195,00
4 Sumbawa 145.470,38 22.317,12 13,30 167.787,50
5 Dompu 33.506,91 17.663,84 34,52 51.170,75
6 Bima 43.606,88 23.406,12 53,68 67.013,00
7 Sumbawa Barat 26.255,25 4.275,50 14,00 30.530,75
8 Kota Mataram 899,26 50,74 5,34 950,00
9 Kota Bima 370,23 1.879,77 83,54 2.250,00
10 Lombok Utara 0.00 31.311,29 100.00 31.311,29
Jumlah 478.280,12 218.345,17 31.34 696.625,29
Tahun 2011 484.054.16 211.724,65 30.43 695.778,81
Tahun 2010 447.737.56 217.576,44 32.70 665.314,00
Tahun 2009 451.592.00 213.721,00 32.12 665.313,00
Tahun 2008 457,441.90 207,872.10 31.24 665,314.00
Sumber: BPS NTB, 2013 *dari luas total

Tanaman perkebunan yang ditanam adalah jarak pagar, jarak kepyar, tembakau,
wijen, tebu, kemiri, lontar, vanili, lada, kapuk, asam, kakao, pinang, mete, cengkeh,
kelapa dan kopi.
15

3.5. Kehutanan
Luas hutan di NTB meliputi 53.18% dari luas daratan. Hutan kritis lebih 400 ribu ha.

Tabel 3.8. Luas Kawasan Hutan Terhadap Daratan Menurut Kabupaten/Kota Thn.2012
Luas (Ha) Persen Luas Lahan Hutan
No Kabupaten/Kota (%) Kritis (Ha)
Daratan Hutan
1 Lombok Barat 105.392,00 41.981,94 39.83 12.147,41
2 Lombok Tengah 120.840,00 20.334,30 16.83 8.356,06
3 Lombok Timur 160.555,00 64.508,67 40.18 26.528,27
4 Lombok Utara 80.953,00 36.518,12 45.11 14.638,89
5 Sumbawa Barat 184.902,00 125.335,76 67.78 28.534,37
6 Sumbawa 664.398.00 389.675,35 58.65 129.275,57
7 Dompu 232.460.00 139.892,98 60.18 63.841,22
8 Bima 438.940.00 250.396,42 57.05 157.193,23
9 Kota Bima 20.750.00 3.079,33 14.84 3.849,17
10 Kota Mataram 6.130.00 0 0 0
Jumlah 2.015.320,00 1.071.722,87 53,18 444.409,19
Sumber: BPS NTB, 2013 dimodifikasi

3.6. Perikanan
Pada bidang perikanan (Tabel 3.9), dapat dilihat bahwa produksi ikan di NTB
mencapai 98 ribu ton per tahun dan produksi yang tertinggi di Kabupaten Sumbawa,
diikuti Bima, berikutnya Lombok Barat dan Lombok Timur.

Tabel 3.9. Produksi Ikan Menurut Kabupaten/Kota tahun 2008 – 2012


Tahun
No Kabupaten/Kota
2012 2011 2010 2009 2008
1 Lombok Barat 9,361.6 9,202.4 9,211.1 9,174.8 13,785.2
2 Lombok Tengah 1,662.4 1,645.7 1,469.4 1,442.0 1,173.5
3 Lombok Timur 12,585.2 13,095.3 15,683.5 15,402.8 13,683.8
4 Sumbawa 44,536.0 43,176.6 41,099.0 38,785.9 36,987.4
5 Dompu 21,940.2 37,659.6 6,631.7 5,328.1 2,075.2
6 Bima 29,200.9 21,986.8 24,592.9 17,786.4 20,860.9
7 Kota Mataram 1,521.0 1,764.2 1,706.9 1,605.7 2,843.6
8 Kota Bima 2,062.8 1,483.7 1,373.5 1,305.9 3,965.5
9 Sumbawa Barat 3,337.3 3,084.3 3,133.6 3,016.0 2,875.6
10 Lombok Utara 6,640.6 7,071.3 6,980.9 5,411.94 0
Jumlah 132,648.0 140,169.9 111,882.4 99,259.4 98,979.7
Sumber: BPS NTB, 2013
16

BAB IV. POTENSI PETERNAKAN NTB

2.5. Populasi dan Komoditas Ternak Di NTB


Komoditas peternakan di NTB dapat dikelompokkan menjadi hewan besar,
hewan kecil dan unggas. Hewan besar terdiri dari kuda, sapi dan kerbau, hewan kecil
meliputi kambing, domba dan babi. Unggas terdiri dari ayam buras (bukan rasa atau
ayam kampung), ayam ras dan itik. Data Statistik NTB dalam Angka 2013
menunjukkan populasi hewan besar yaitu kuda sebanyak 75.293 ekor, sapi 1.002.731
ekor dan kerbau 138.393 ekor dan populasi hewan kecil yaitu kambing 584.149 ekor,
domba sebesar 31.160 ekor dan babi sebesar 55.615 ekor (Tabel 4.1). Untuk unggas
ayam buras sebesar 5.486.144 ekor, ayam ras 5.221.478 ekor dan itik 1.088.350 ekor.

Tabel 4.1. Populasi ternak selama lima tahun terakhir di NTB


Jenis ternak 2009 2010 2011 2012 2013 R
Kuda 77,837 76,622 72,909 77,520 75,293 -0.74
Sapi 592,875 695,951 784,019 916,560 1,002,731 14.09
Kerbau 155,307 155,904 141,511 144,261 138,393 -2.74
Kambing 439,989 490,830 579,250 627,282 584,149 7.75
Domba 25,878 29,539 37,500 37,875 31,160 6.09
Babi 49,316 54,066 48,051 62,766 55,615 4.43
Ayamburas 4,335,130 4,493,288 4,358,440 5,014,749 5,486,144 6.28
Ayam Ras 1,894,146 3,209,632 3,428,656 3,846,085 5,221,478 31.05
Itik 520,221 568,122 605,362 831,010 1,088,350 21.00
Keterangan: r = pertumbuhan rata-rata per tahun
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014)

Peningkatan perkembangan populasi yang sangat cepat terjadi pada unggas di


NTB. Peningkatan populasi yang tertinggi selam lima tahun berturut turut yaitu ayam
ras, diikuti ayam buras dan itik. Peningkatan populasi pada hewan besar terlihat pada
sapi dan pada hewan kecil pada kambing, walaupun terjadi penurunan pada tahun
terakhir. Pada tahun 2013 jumlah ruminansia besar di NTB, yaitu sapi sebesar
1.002.731 ekor, jumlah kerbau 138.393 ekor, jumlah kuda sebesar 75.293 ekor.
Jumlah ternak kecil seperti kambing sebesar 584.149 ekor, domba 31.160 ekor, babi
17

55.615 ekor. Berikutnya jumlah unggas di NTB tahun 2013 yang terdiri dari ayam
buras 5.486.144, ayam ras petelur (layer) 201.127 ekor, ayam broiler berjumlah
5.020.351ekor dan itik sebesar 1.088.350 ekor.
Tabel 4.1 menunjukkan semua jenis ternak mengalami perkembangan positif,
kecuali kuda dan kerbau. Ternak yang perkembangan populasinya cukup tinggi lima
tahun terakhir (2009-2013) adalah ayam ras 31,05%, itik 21%, ayam buras 6,28%, sapi
14,09% dan kambing 7,75%. Populasi ternak yang relatif kecil pertumbuhannya adalah
domba 6,09% dan babi 4,43%. Populasi kuda menurun 0,74% dan kerbau 2,74%.
Pertumbuhan populasi kerbau dan kuda menurun tidak terlepas dari adanya
program Bumi Sejuta Sapi (BSS) yang dimulai tahun 2009. Oleh karena sebagian
besar sumberdaya dikonsentrasikan pada pengembangan sapi maka ternak kerbau dan
kuda kurang mendapat perhatian. Oleh karena itu kedua jenis ternak ini, ke depan juga
perlu mendapat perhatian, minimal guna menjaga kestabilan populasinya. Pulau
Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk pengembangan kerbau sehingga
Kabupaten Sumbawa ditetapkan sebagai salah satu lokasi pengembangan ternak
kerbau nasional. Untuk kambing, diarahkan pada peningkatan produktivitas dalam
rangka meningkatkan produksi daging dan susu. Kuda lebih diarahkan pada
peningkatan produktivitas baik sebagai ternak kerja, ternak perah, maupun ternak
potong, bukan peningkatan populasinya.
Ayam buras perlu diperhatikan perkembangannya, karena selain ayam buras
sebagai sumber produksi telur juga merupakan bahan baku restoran ayam Taliwang
yang merupakan makanan khas di Pulau Lombok. Disisi lain, ayam buras merupakan
ternak peliharaan rumah tangga pedesaan sebagai pendukung ketahanan ekonomi
rumah tangga, karena mudah pemeliharaannya, mudah diuangkan, dan dapat dikatakan
tanpa biaya produksi. Itik juga perlu mendapat perhatian karena itik adalah sumber
produksi telur sebagai bahan baku industri telur asin. Sebagaimana diketahui telur
asin merupakan makanan khas sebagai cinderamata/oleh-oleh baik bagi wisatawan
domestik yang berkunjung ke Lombok maupun bagi warga NTB yang berkunjung ke
sanak keluarga ke luar daerah. Dengan kata lain peternakan itik dan juga ayam buras
sangat penting peranannya dalam mendukung pariwisata di NTB. Kondisi di lapangan
18

menunjukkan bahwa ketersediaan telur itik untuk bahan baku telur asin semakin
berkurang. Demikian pula ketersediaan ayam buras sebagai bahan baku restoran
“Ayam Taliwang” dirasakan semakin berkurang. Hal ini karena kurangnya program
pengembangan perunggasan, khususnya itik dan ayam buras, pada Dinas/Instansi
terkait baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Populasi sapi meningkat cukup besar setiap tahun sejak tahun 2008.
Peningkatan populasi sapi sesuai dengan tujuan program BSS-NTB untuk mencapai
populasi lebih dari satu juta ekor pada tahun 2013. Pertumbuhan populasi ternak
kerbau dan kuda nampak datar cenderung menurun yang menunjukkan bahwa populasi
ternak tersebut cenderung mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ternak kerbau
perlu mendapat perhatian karena selain dapat mensubstitusi ternak sapi, ternak kerbau
merupakan ternak khas Kabupaten Sumbawa yang telah menjadi aset nasional.
Perkembangan populasi ternak sangat dipengaruhi oleh perbandingan antara
populasi ternak jantan dan betina. Untuk menghasilkan populasi yang maksimal, harus
diupayakan agar perbandingan jumlah pejantan dan betina induk optimal. Sebagai
contoh, apabila program pengembangan sapi dilakukan dengan sistem perkawinan
alam, maka perbandingan antara jumlah induk dan jumlah pejantan sebaiknya sekitar
20:1. Populasi sapi, kerbau, kambing, dan domba yang berjenis kelamin betina
mencapai antara 64-76%. Hal ini cukup kondusif untuk perkembangan populasi ternak
tersebut. Dengan semakin banyak ternak betina diharapkan jumlah anak-beranaknya
akan semakin banyak sehingga secara langsung akan meningkatkan populasi.

Tabel 4.2. Populasi ternak menurut jenis kelamin tahun 2013


Jantan Betina Jantan & Betina
Jenis Ternak
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Sapi 331.061 36,12 585.499 63,88 916.560
Kerbau 50.448 34,97 93.813 65,03 144.261
Kuda 35.907 46,32 41.613 53,68 77.520
Kambing 212.272 33,84 415.010 66,16 627.282
Domba 9.196 24,28 28.679 75,72 37.875
Babi 31.320 49,90 31.446 50,10 62.766
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
19

Selain jenis kelamin, struktur umur juga menentukan perkembangan populasi


ternak. Populasi ternak di NTB menurut struktur umur tertera pada Tabel 4.3

Tabel 4.3. Populasi ternak menurut struktur umur di NTB tahun 2013

Anak Muda Dewasa Jumlah


Jenis Ternak
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Sapi 230.698 25,17 240.964 26,29 444.990 48,55 916.560
Kerbau 32.834 22,76 35.632 24,7 75.795 52,54 144.261
Kuda 11.868 15,31 13.721 17,7 51.938 67,00 77.520
Kambing 184.484 29,41 170.307 27,15 272.429 43,43 627.282
Domba 8.245 21,77 8.333 22 21.297 56,23 37.875
Babi 27.234 43,39 24.184 38,53 11.348 18,08 62.766
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014)

Tabel 4.3 menunjukkan ternak dewasa menempati proporsi terbanyak, yaitu


sekitar 50%, sedangkan ternak muda dan anak relatif sama, masing-masing sekitar
25%. Khusus pada sapi, ternak dewasa 48,55%; muda 26, 29% dan anak 25,17%.
Struktur umur ini cukup ideal untuk perkembangan populasi tahun-tahun mendatang.
Pada Tabel 4.4 disajikan data populasi ternak betina menurut umur. Data ini
sangat menentukan perkembangan populasi ternak di masa mendatang.

Tabel 4.4. Populasi ternak betina menurut umur di NTB tahun 2013

Anak Muda Dewasa Jumlah


Jenis ternak
(ekor) (%) (ekor) (%) (ekor) (%) (ekor)
Sapi 119.886 20,47 114.662 19,58 351.042 59,95 585.590
Kerbau 17.441 18,59 19.908 21,22 56.464 60,19 93.813
Kuda 6.163 14,81 7.093 17,05 28.357 68,15 41.613
Kambing 105.509 25,42 103.188 24,86 206.313 49,71 415.010
Domba 4.776 16,65 6.700 23,36 17.203 59,98 28.679
Babi 11.800 37,53 12.126 38,56 7.519 23,91 31.446
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014)
20

Semakin besar proporsi ternak betina dewasa semakin banyak pula jumlah anak
yang dihasilkan. Data pada Tabel 4.4 menunjukkan bahwa kecuali ternak babi,
proporsi populasi ternak terbanyak (sekitar 60%) adalah induk, sekitar 20% muda
(bibit) dan 20% adalah anak. Proporsi demikian cukup baik untuk perkembangan
populasi ke depan, dengan catatan ternak muda yang berkualitas diprioritaskan sebagai
ternak bibit pengganti induk atau pengganti pejantan. Oleh karena itu, kebijakan
pengendalian pengeluaran ternak betina bibit perlu mendapat perhatian.

Keadaan populasi berdasarkan pulau dan kabupaten/kota sangat diperlukan


untuk penyusunan perencanaan pengembangan ternak sesuai dengan daya dukung
wilayah. Populasi ternak besar, ternak kecil, dan unggas di NTB adalah sebagai
berikut:

Tabel 4.5. Populasi ternak besar menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2012

No Kab./Kota/Pulau Sapi (ekor) Kerbau (ekor) Kuda (ekor)


1 Mataram 1.994 22 754
2 Lombok Barat 80.881 8.564 4.026
3 Lombok Utara 76.086 435 612
4 Lombok Tengah 137.200 18.894 2.361
5 Lombok Timur 110.979 4.864 5.277
Jumlah P. Lombok 407.140 32.779 13.030
6 Sumbawa Barat 54.393 13.264 5.787
7 Sumbawa 197.141 54.022 39.660
8 Dompu 96.205 20.411 8.119
9 Bima 148.089 23.072 8.483
10 Kota Bima 13.592 713 2.441
Jumlah P. Sumbawa 509.420 111.482 64.490
TOTAL 916.560 144.261 77.520
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa populasi ternak besar di Pulau Sumbawa lebih
banyak dibandingkan di Pulau Lombok. Populasi ternak sapi di Pulau Sumbawa
sebanyak 509.420 ekor (55,58%) sedangkan di Pulau Lombok 407.140 ekor (44,42%).
Ternak kerbau di Pulau Sumbawa sebanyak 111.482 ekor (77,28%) sedangkan di P.
Lombok sebanyak 32.779 ekor (22,72%). Ternak kuda juga jauh lebih banyak di P.
21

Sumbawa 64.490 ekor (83,19%) dari pada di Pulau Lombok 13.030 ekor (16,81%).
Hal ini menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki keunggulan komparatif untuk
pengembangan ternak besar di NTB karena masih terdapat padang penggembalaan
yang luas. Populasi ternak kecil di NTB adalah sebagai berikut (Tabel 4.6 ).

Tabel. 4.6. Populasi ternak kecil menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB
No Kab./Kota/Pulau Kambing (ekor) Domba (ekor) Babi (ekor)
1 Mataram 2.346 11 1.692
2 Lombok Barat 40.297 2.955 34.196
3 Lombok Utara 28.208 - 8.089
4 Lombok Tengah 76.076 632 1.250
5 Lombok Timur 77.263 7.623 25
Jumlah P. Lombok 224.190 11.221 45.252
6 Sumbawa Barat 16.149 1.711 500
7 Sumbawa 38.368 1.617 7.764
8 Dompu 62.889 78 4.154
9 Bima 270.332 21.458 -
10 Kota Bima 15.355 571 -
Jumlah P. Sumbawa 403.093 25.435 12.418
TOTAL 627.282 37.875 62.766
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)

Seperti halnya pada ternak besar, populasi ternak kecil (kambing dan domba) di
Pulau Sumbawa juga lebih banyak dibandingkan di Pupau Lombok (Tabel 4.6).
Populasi kambing di Pulau Sumbawa tercatat 403.093 ekor (64,26%) sedangkan di P.
Lombok 224.190 ekor (3574%). Demikian pula populasi domba di Kabupaten
Sumbawa juga lebih banyak dibandingkan di Pulau Lombok. Di Pulau Sumbawa
populasi domba tercatat 25.435 ekor (697,16%) sedangkan di P. Lombok 11.221 ekor
(29,63%). Untuk ternak babi, sebagian besar (80%) berada di P. Lombok terutama di
Kabupaten Lombok Barat dan 20% lainnya ada di Pulau Sumbawa. Dari sisi populasi,
menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki potensi lebih besar dari pada Pulau
Lombok untuk pengembangan ternak pemakan hijauan.
Kebalikan dari ternak besar dan ternak kecil, populasi ternak unggas di Pulau
Lombok jauh lebih banyak dari pada di Pulau Sumbawa. Populasi ternak unggas
menurut Pulau dan Kabupaten/Kota di NTB tertera pada Tabel 4.7. Populasi ayam
22

buras di Pulau Lombok 3.559.056 ekor (70,97%) dan di Pulau Sumbawa 1.455.693
ekor (29,03%). Ayam ras petelur di Pulau Lombok tercatat 184.562 ekor (99,95%) dan
di Sumbawa 90 ekor (0,05%). Ayam ras pedaging di Pulau Lombok 2.474.686 ekor
(67,59%) sedangkan di Pulau Sumbawa 1.186.747 ekor (32,41%). Populasi itik di
Lombok 675.508 ekor (81,29%) dan di Pulau Sumbawa 155.502 ekor (18,71%).

Tabel 4.7. Populasi ternak unggas menurut Kabupaten/Kota dan Pulau di NTB 2013
Buras Petelur Pedaging
No Kab./Kota/Pulau Itik (ekor)
(ekor) (ekor) (ekor)
1 Mataram 72.202 2.513 22.150 19.164
2 Lombok Barat 804.098 121.760 491.630 133.661
3 Lombok Utara 126.562 4.902 3.659 6.503
4 Lombok Tengah 1.449.838 30.753 628.393 389.409
5 Lombok Timur 1.106.356 24.634 1.328.854 126.771
Jumlah P. Lombok 3.559.056 184.562 2.474.686 675.508
6 Sumbawa Barat 85.149 - 2.000 8.006
7 Sumbawa 678.451 - 332.800 11.693
8 Dompu 184.426 - 75.355 33.895
9 Bima 443.144 90 282.613 85.129
10 Kota Bima 64.523 - 493.979 16.779
Jumlah P. Sumbawa 1.455.693 90 1.186.747 155.502
TOTAL 5.014.749 184.652 3.661.433 831.010
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2014)

Penyebab populasi unggas lebih banyak di Pulau Lombok adalah karena: (1)
ketersediaan pakan unggas di Pulau Lombok lebih banyak, lebih murah, dan lebih
mudah didapat, (2) pangsa pasar produk unggas di Pulau Lombok lebih besar, dan (3)
jumlah rumah tangga pedesaan di Pulau Lombok lebih banyak dibandingkan di Pulau
Sumbawa. Sebagaimana diketahui, ternak unggas terutama ayam buras merupakan
ternak peliharaan utama bagi rumah tangga pedesaan.
Data populasi ternak, terutama ternak pemakan hijauan, menjadi lebih
bermanfaat apabila dinyatakan dalam Unit Ternak karena Unit Ternak dapat digunakan
sebagai dasar perhitungan dalam perencanaan usaha peternakan, misalnya untuk
23

menghitung daya dukung wilayah (carryng capacity). Populasi ternak di NTB dalam
unit ternak adalah tersaji pada Tabel 4.8. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa
perbandingan populasi di NTB dalam UT antara sapi, kerbau, kuda, dan kambing-
domba adalah 73,80%, 11,96%, 7,16%, dan 7,09%. Proporsi ini menunjukkan bahwa
sapi merupakan ternak yang memiliki potensi pengembangan terbesar di NTB,
sehingga sangat tepat jika ternak sapi menjadi ternak unggulan. Ditinjau per pulau,
antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa memiliki proporsi, untuk sapi adalah
44,5% dan 55,6%, kerbau 23% dan 77%, kuda 17% dan 83%, kambing dan domba
35% dan 65%. Apabila dibuat klasifikasi berdasarkan populasi per kabupaten/kota,
maka Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Bima, dan Sumbawa dapat
dikategorikan ke dalam kabupaten yang memiliki potensi besar, yaitu dengan populasi
ternak pemakan hijauan di atas 100.000 UT. Kabupaten Lombok Barat, Lombok
Timur, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Dompu, masuk dalam kategori sedang,
dengan populasi di atas 50.000 sampai 100.000 UT. Kota Bima dan Kota Mataram
masuk kategori kecil, dengan populasi di bawah 50.000 UT.

Tabel 4.8. Populasi ternak pemakan hijauan dalam Unit Ternak (UT) 2012

No Kab./Kota/Pulau Sapi Kerbau Kuda Kb+Db Jumlah


1 Mataram 1.356 15 588 212 2.413
2 Lombok Barat 54.999 5.995 3.140 3.893 69.137
3 Lombok Utara 51.738 305 477 2.539 55.009
Lombok
4 93.296 13.226 1.842 6.904 116.419
Tengah
5 Lombok Timur 75.466 3.405 4.116 7.640 93.505
Jumlah P. Lombok 276.855 22.945 10.163 21.187 336.483
6 Sumbawa Barat 36.987 9.285 4.514 1.607 54.363
7 Sumbawa 134.056 37.815 30.935 3.599 209.269
8 Dompu 65.419 14.288 6.333 5.667 94.424
9 Bima 100.701 16.150 6.617 26.261 148.289
10 Kota Bima 9.243 499 1.904 1.433 13.479
Jumlah P. Sumbawa 346.406 78.037 50.302 38.568 519.825
TOTAL 623.261 100.983 60.466 59.864 856.308
Sumber : Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan NTB (2013)
24

Tabel 4.8 juga nampak bahwa populasi ternak pemakan hijauan (sapi, kerbau,
kuda, kambing dan domba) mencapai 856.308 UT, sama dengan populasi tahun 2011.
Namun ternak sapi meningkat dari 597.266 UT menjadi 623.261 UT atau naik sekitar
6%. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak tersebut, berarti setiap hari harus
tersedia pakan hijauan kurang lebih 29.970.780 kg atau 10.939.335 ton per tahun.
Dengan asumsi bahwa 1 ha lahan sumber pakan dapat menampung 1,5 UT,
maka pada kondisi sekarang diperlukan lahan sumber pakan sebanyak 570.872 ha.
Lahan tersebut dapat terdiri atas sawah, tegal, kebun, ladang, padang penggembalaan,
wilayah pinggiran hutan, dan lahan-lahan lain yang potensial sebagai sumber pakan
ternak. Pertanyaannya, apakah dengan kondisi penggunaan lahan seperti sekarang,
NTB masih memiliki daya dukung lahan untuk memenuhi kebutuhan pakan hijauan
ternak? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan studi lapangan yang
mendalam. Jika ternyata daya dukung lahan secara alamiah sudah tidak mendukung,
maka harus diintroduksi teknologi pakan ternak dan pengelolaan padang
penggembalaan secara intensif.

2.6. Perkembangan Produksi Daging Ternak di NTB

Perkembangan produksi daging di NTB selama lima tahun terakhir tersaji pada
Tabel 4.9.

Tabel 4.9. Perkembangan produksi daging lima tahun terakhir di NTB (dalam kg)

Jenis ternak 2009 2010 2011 2012 2013 r (%)


Kuda 245069 300832 334399 297707 306141 6.44
Sapi 5253746 8025429 10958111 12431831 13884310 28.61
Kerbau 1262607 1680134 1878542 2385107 2259540 16.64
Kambing 2255511 2804264 4622849 5070365 4935270 24.05
Domba 126088 187616 285723 230597 187857 15.82
Babi 1373551 1987022 2473067 2542467 2884990 21.35
AyamBuras 7179028 8669106 6898583 10160840 40969400 87.71
Ayam Ras 3363423 5934320 9211887 26170000 11342450 64.77
Itik 268616 450929 619076 841777 1148970 44.41
Jumlah 21327639 30039652 37282235 60130682 77918928 38.96
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi NTB (2013)
25

Tabel 4.9 memperlihatkan, selama lima tahun terakhir semua produksi daging
dari semua jenis ternak menunjukkan peningkatan positif setiap tahunnya. Khusus
ternak sapi sejalan dengan program BSS, peningkatan produksi daging sapi sangat
signifikan, yaitu rata-rata 28,61% per tahun. Untuk ternak kambing, domba, dan babi
terlihat mengalami peningkatan tajam yaitu di atas 100%. Hal tersebut diduga karena
kesalahan pencacatan.

2.7. Inseminasi Buatan pada Sapi


Inseminasi buatan telah dilakukan sejak 30 tahun yang lalu di NTB dengan
maksud untuk meningkatkan reproduktivitas dan reproduktivitas sapi Bali, namun
demikian hingga sekarang produktivitas dan reproduktivitas sapi di NTB masih relatif
rendah. Untuk pelaksanaan inseminasi fasilitas dan infrastruktur pendukung
semestinya sudah tersedia dengan pengembangan pelaksanaan yang telah dikerjakan
selama 30 tahun. Di samping itu semen beku sapi Bali dan semen sapi impor tersedia
di NTB untuk mendukung pelaksanaan inseminasi buatan. Bila dibanding dengan
hasil kelahiran pedet jumlah realisasi inseminasi dan jumlah akseptor relatif sangat
tinggi, oleh karena itu diperkirakan masih terdapat ruang untuk meningkatkan jumlah
anak yang lahir dari hasil IB.
Berdasarkan data pelaksanaan inseminasi buatan di NTB menunjukkan terjadi
penurunan target pelaksanaan inseminasi buatan di NTB pada tiga tahun terakhir. Pada
tahun 2011 target IB 71.298 dosis straw, lalu tahun 2012 turun menjadi 48.087 dosis
straw dan tahun 2013 menjadi 35.730 dosis straw. Nampak dilihat bahwa terjadi
penurunan tajam dari target, realisasi, akseptor dan kelahiran hanya 20-50% dari
target. Pada tahun 2011 realisasi pelaksanaan IB mencapai 62.514 dosis straw semen
beku dengan akseptor 59.366 ekor sapi betina dan jumlah pedet yang lahir sebanyak
32.046 ekor. Pada tahun 2012 realisasi pelaksanaan IB mencapai 45.674 dosis straw
semen beku dengan jumlah akseptor sebanyak 26.013 ekor sapi betina dan pedet yang
lahir dari hasil IB sebanyak 9.387 ekor. Pada tahun 2013 target IB lebih rendah namun
akseptor sapi lebih banyak dari tahun 2012 sehingga terjadi peningkatan jumlah anak
yang lahir. Pada tahun 2013 tersebut realisasi pelaksanaan IB mencapai 31.372 straw
26

semen beku dengan akseptor 29.818 ekor sapi betina dan jumlah pedet yang lahir
16.064 ekor.
Inseminasi buatan telah dilaksanakan di seluruh kabupaten di NTB, namun
target, realisasi, akseptor dan anak sapi yang lahir hasil IB di Pulau Lombok jauh lebih
tinggi dibanding dengan Pulau Sumbawa. Pelaksanaan IB mungkin lebih sulit
dilaksanakan di Pulau Sumbawa dibanding dengan di Pulau Lombok, karena sapi di
Sumbawa kebanyakan dipelihara secara ekstensif sementara di Lombok dipelihara
secara intensif.
Kegiatan IB telah dilaksanakan secara luas di Kabupaten Lombok Tengah,
Lombok Timur , Lombok Barat dan Lombok Utara. Di Kabupaten Lombok Barat dan
Lombok Tengah realisasi IB lebih rendah dari target, namun di kabupaten lain realisasi
IB melampaui target. Realisasi IB tertinggi di Kabupaten Lombok Timur, berikutnya
Lombok Tengah dan Lombok Barat. Angka kelahiran dari IB terbanyak terjadi di
Kabupaten Lombok Timur, kemudian di Lombok Tengah dan berikutnya Lombok
Utara.
Pelaksanaan inseminasi yang tertinggi di tiga kabupaten yaitu di Lombok
Timur, Lombok Tengah dan Lombok Barat, tetapi akseptor terbanyak yaitu berada di
Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Utara. Perbedaan program dan
pelaksanaan IB di masing-masing daerah tersebut kemungkinan disebabkan oleh
kondisi lapangan setempat, iklim dan pola pemeliharaan. Kabupaten Lombok Timur
paling unggul baik dari realisasi inseminasi, jumlah akseptor dan pedet yang
dihasilkan.
Dalam pelaksanaan IB di NTB tersedia semen beku dari berbagai bangsa sapi
yaitu sapi Bali, Simental, Limousin, Brangus, Angus, Brahman, Ongole dan sapi FH.
Delapan jenis bangsa sapi tersebut tersedia di NTB baik diproduksi di dalam negeri
dan didatangkan dari luar negeri. Pelaksanaan inseminasi umumnya menggunakan
semen beku sapi Bali, diikuti sapi Simental dan Limousin. Tingkat kelahiran dibanding
dengan jumlah semen beku yang diinseminasikan yang tertinggi adalah semen beku
asal sapi Bali, kemudian Limousin dan Simental.
27

Inseminasi yang telah dilakukan di NTB sebanyak 30.000 kali suntikan,


menghasilkan kebuntingan dan melahirkan pedet 15.000 ekor sapi dan jumlah
peternak pemilik sapi yang terlibat 25.000 orang. Dari data tersebut kebuntingan
melalui pelaksanaan IB lebih dari dua kali. Data tersebut menunjukkan bahwa sapi
dengan IB jarak beranaknya lebih panjang dibandingkan kawin alam. Data tersebut
berdasarkan laporan pada tahun 2008, di mana pada tahun tersebut relatif sangat kecil
produksinya dibandingkan dengan periode sesudahnya.
28

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan kajian ini diuraikan sesuai dengan tipe dan jenis analisis yang
digunakan, meliputi hasil kajian berdasarkan Analisis Location Qoetion (LQ), Analisis
Model Rasio Pertumbuhan (MRP), Analisis Potensi Pengembangan Berdasarkan Daya
Tampung, Analisis Overlay dan Analisis SWOT. Uraian tentang potensi ternak di Provinsi
NTB berdasarkan masing-masing jenis analisis tersaji berikut ini.

5.1. LQ Ternak Herbivora

Pemetaan kawasan dilakukan menggunakan analisis LQ, yang metode kajiannya


diuraikan pada Bab IV. Hasil analisis LQ penelitian ini membandingkan antara jumlah
populasi ternak besar dan ternak kecil pemakan herbivore di setiap wilayah
kabupaten/kota dengan populasi penduduk di masing-masing kabupaten/kota . Berikut
ini pada Tabel 5.1. tersaji rincian populasi ternak pemakan herbivora (dalam ekor) di
Provinsi NTB, tahun 2013.

Tabel 5.1.: Populasi ternak pemakan hijauan/herbivora (ekor) di 10 kabupaten/kota


di Provinsi NTB 2013

No Kabupaten/Kota Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba


1 Mataram 2.181 26 665 1.984 60
2 Lombok Barat 88.485 6.634 3.819 40.714 1.341
3 Lombok Utara 83.239 415 623 29.929 0
4 Lombok Tengah 150.099 19.083 2.365 89.026 824
5 Lombok Timur 121.413 5.081 5.241 87.135 9.565
Jumlah P. Lombok 445.417 31.239 12.713 248.788 11.790
6 Sumbawa Barat 59.507 13.275 5.783 16.681 1.687
7 Sumbawa 215.675 50.857 38.282 35.002 1.840
8 Dompu 105.250 22.078 9.580 70.271 134
9 Bima 162.012 20.483 7.969 197.157 15.543
10 Kota Bima 14.870 461 966 16.250 166
Jumlah P. Sumbawa 557.314 107.154 62.580 335.361 19.370
TOTAL 1.002.731 138.393 75.293 584.149 31.160
Sumber: Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan, NTB, 2014.
29

Adapun jumlah ternak pemakan hijauan berdasarkan unit ternak (UT) per
kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2013 adalah seperti tercantum pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2.: Populasi ternak pemakan hijauan (UT) tahun 2013 di NTB
No Kabupaten/Kota Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Jumlah
1 Mataram 1.661 23 532 249 7 2.472
2 Lombok Barat 67.408 5.920 3.055 5.106 147 81.636
3 Lombok Utara 63.411 370 498 3.753 0 68.033
4 Lombok Tengah 114.345 17.030 1.892 11.164 90 144.521
5 Lombok Timur 92.492 4.534 4.193 10.927 1.049 113.196
Jumlah P. Lombok 339.319 45.332 11.847 4.626 2.092 185
6 Sumbawa Barat 164.301 45.385 30.626 4.389 202 244.903
7 Sumbawa 80.179 19.702 7.664 8.812 15 116.373
8 Dompu 123.421 18.279 6.375 24.723 1.705 174.504
9 Bima 11.328 411 773 2.038 18 14.568
10 Kota Bima 763.880 123.502 60.234 73.252 2.125 1.024.287
Jumlah P. Sumbawa 424.562 1.661 23 532 249 7
TOTAL 763.880 67.408 5.920 3.055 5.106 147

Jika data ternak herbivora pada Tabel 5.2. dibuat dalam ilustrasi tersendiri,
hasilnya nampak pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1. Jumlah ternak herbivora di kabupaten/kota di NTB.


30

Berdasarkan data pada Tabel 5.2. ternak sapi menempati peringkat pertama dari
segi jumlah ternak pemakan hijauan di NTB dengan total 763.880 unit ternak (UT).
Menyusul setelah sapi adalah kerbau dengan populasi 123.502 UT, kemudian kambing
73.252 UT, kuda 60.234 UT dan domba 3.418 UT. Data pada Table 5.1. dan Tabel 5.2.
juga menunjukkan bahwa Pulau Sumbawa memiliki populasi ternak herbivora lebih
banyak dibandingkan dengan populasi ternak sejenis di Pulau Lombok. Jumlah
populasi ternak herbivora di Pulau Sumbawa mencapai 557.314 UT sedangkan
populasi ternak sejenis di Pulau Lombok hanya 445.417 UT.
Hasil analisis LQ ternak herbivora dalam penelitian ini diperoleh dengan
membandingkan antara jumlah populasi ternak herbivora dengan populasi penduduk di
setiap kabupaten/kota di NTB. Adapun jumlah penduduk kabupaten/kota di NTB
diperoleh dari Badan Pusat Statistik NTB, 2013.

Adapun populasi penduduk kabupaten/kota di Provinsi NTB tahun 2013 tertera


pada Tabel 5.3.

Tabel 5.3. Populasi Penduduk Provinsi NTB

Kabupaten/Kota Laki-laki Perempuan Jumlah


Mataram 204.676 208.534 413.210
Lombok Barat 300.364 312.797 613.161
Lombok Utara 100.500 103.064 203.564
Lombok Tengah 414.602 460.629 875.231
Lombok Timur 524.126 599.362 1.123.488
Sumbawa Barat 1.544.268 1.684.386 3.228.654
Sumbawa 60.201 58.407 118.608
Dompu 216.066 206.963 423.029
Bima 113.164 110.514 223.678
Kota Bima 222.883 224.403 447.286
Sumber: BPS NTB, 2013.

Rincian mengenai hasil analisis LQ ternak herbivora di Provinsi Nusa Tenggara


Barat tahun 2013 tersaji pada Tabel 5.4.
31

Tabel 5.4. Nilai LQ Ternak Herbivora di Provinsi Nusa Tenggara Barat


Kab/Kota Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba
Mataram 0.02 0.002 0.10 0.04 0.03
Lombok Barat 0.66 0.36 0.38 0.52 0.52
Lombok Utara 1.87 0.07 0.19 1.15 -
Lombok Tengah 0.78 0.72 0.16 0.80 0.22
Lombok Timur 0.49 0.15 0.28 0.61 2.02
Sumbawa Barat 2.30 3.71 2.97 1.10 3.37
Sumbawa 2.33 3.99 5.51 0.65 1.03
Dompu 2.15 3.27 2.61 2.47 0.14
Bima 1.66 1.52 1.09 3.46 8.23
Kota Bima 0.46 0.10 0.40 0.87 0.27
Sumber: Disnak dan Keswan NTB, BPS NTB, 2013

Tabel 5.4. menunjukkan bahwa Kabupaten Sumbawa merupakan daerah basis


ternak sapi di Provinsi NTB dengan nilai LQ sebesar 2,33; diikuti Kabupaten
Sumbawa Barat (LQ=2,30); kemudian Kabupaten Dompu (LQ=2,15); Lombok Utara
(1,87) dan Kabupaten Bima dengan nilai LQ 1,66. Dengan demikian, berdasarkan hasil
analisis LQ, ternak sapi di Provinsi NTB memiliki keunggulan untuk dikembangkan
terutama di Pulau Sumbawa. Persaingan populasi ternak dengan jumlah penduduk
yang relatif masih longgar di Pulau Sumbawa memungkinkan pengembangan sapi
dilakukan di daerah ini dibandingkan jika dilakukan di Pulau Lombok. Pengembangan
sapi di Pulau Lombok memiliki kecenderungan baik bila lebih diarahkan ke kegiatan
penggemukan yakni untuk tujuan peningkatan bobot badan per satuan ternak.
Masuknya Provinsi NTB ke dalam kawasan strategis pengembangan sapi
potong nasional sebagaimana tertera dalam Permentan No 50/2012, merupakan kabar
baik terutama bagi peternak. Hal itu dikuatkan terbitnya Perpres No. 50/2014 tentang
kawasan peternakan sapi potong. Dengan demikian semakin besar kewenangan Dinas
Peternakan dan Keswan NTB menata wilayah yang dimaksudkan terutama terhadap
pengembangan sapi potong di wilayah Pulau Sumbawa (minus Kota Bima), serta
pengembangan hal sama di Kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur untuk
wilayah Pulau Lombok. Meskipun nilai LQ sapi Lombok Tengah relatif rendah,
32

namun daerah ini strategis bagi pengembangan sapi karena sukses menjadi pilot
proyek pengembangan sapi di bawah dua lembaga asing (ACIAR dan JICA).

Nilai LQ kerbau juga relatif mirip dengan fenomena yang ditampilkan sapi.
Yakni bahwa Kabupaten Sumbawa juga merupakan basis ternak kerbau di Provinsi
NTB dengan nilai LQ sebesar 3,99; diikuti Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) dengan
nilai LQ kerbau 3,71; kemudian Kabupaten Dompu dengan LQ sebesar 3,22; dan
Kabupaten Bima dengan LQ nilai 1,52. Tampilnya Pulau Sumbawa mendominasi
kawasan basis pengembangan kerbau terutama terkait dua hal. Yakni perbandingan
jumlah ternak dengan populasi manusia yang belum begitu ketat di wilayah itu. Selain
itu juga disebabkan karena persyaratan teknis bagi pengembangan kerbau seperti
tersedianya kawasan berrawa relatif masih banyak terhampar di Pulau Sumbawa
dibandingkan di Pulau Lombok. Sejauh yang tergambar dalam Tabel 5.4. dapat
disimpulkan bahwa Pulau Lombok relatif kurang tepat bagi pengembangan kerbau.
Hal ini terkait relatif padatnya jumlah penduduk di wilayah ini.
Basis pengembangan kuda di Provinsi Nusa Tenggara Barat juga terkonsentrasi
di Pulau Sumbawa dengan rincian wilayah pengembangan berturut-turut adalah
Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima. Sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa
basis pengembangan ternak besar di Provinsi NTB berlokasi di Pulau Sumbawa.
Pengembangan kambing di NTB berdasarkan analisis LQ terkonsentrasi di
Kabupaten Bima dengan nilai LQ 3,46; diikuti Dompu (LQ= 2,47); Lombok Utara
(LQ = 1,15) dan Sumbawa Barat (LQ= 1,10). Domba terkonsentrasi Kabupaten Bima
dengan nilai LQ sebesar 8,23, Sumbawa Barat (nilai LQ= 3,37); Kabupaten Lombok
Timur dengan nilai LQ sebesar 2,27 dan Kabupaten Sumbawa (nilai LQ= 1,03).

5.2. LQ Unggas

Ternak unggas yang dibahas pada kajian ini meliputi ayam bukan ras (buras),
ayam petelur, ayam pedaging dan itik. LQ unggas dihitung berdasarkan jumlah
populasi masing-masing jenis unggas di suatu wilayah kabupaten/kota dibandingkan
dengan total populasi unggas di wilayah referensi. Rincian LQ unggas di NTB sbb:
33

5.2.1. Ayam Buras

Hasil perhitungan LQ ayam buras di Provinsi Nusa Tenggara Barat selama lima
tahun terakhir adalah seperti nampak pada Tabel 5.5. dan Gambar 5.2.
Fenomena menarik terjadi pada hasil perhitungan LQ ayam buras. Hanya dua
daerah yakni Kota Bima dan Lombok Tengah yang nilai LQ ayam burasnya tahun
2013 berada di bawah satu (LQ<1). Fakta itu mengindikasikan ayam buras digemari
dipelihara warga NTB, sehingga merupakan ternak idola yang patut didorong
pengembangannya.

Tabel 5.5. LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir.


Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013
Mataram 0.96 0.494 1.29 1.20 1.22
Lombok Barat 0.90 1.062 1.13 1.00 1.08
Lombok Utara 1.46 1.745 1.83 1.73 1.90
Lombok Tengah 0.97 1.160 1.11 1.12 0.83
Lombok Timur 1.08 0.799 0.83 0.83 1.17
Sumbawa Barat 1.31 1.718 1.61 1.73 1.90
Sumbawa 1.07 1.386 1.32 1.28 1.44
Dompu 1.17 1.302 1.27 1.21 1.31
Bima 0.88 0.782 0.86 1.06 1.06
Kota Bima 0.77 0.591 0.20 0.22 0.24
Sumber: BPS, diolah

Meskipun demikian, ada catatan khusus menyangkut pengembagan ayam buras


di NTB. Yakni semakin kuatnya kecenderungan warga Lombok Tengah meningkatkan
populasi ayam buras, khususnya ayam Arab, seperti dilakukan warga Kecamatan
Janapria dan Pujut (Desa Teruwai). Wilayah yang disebutkan terakhir belakangan
berkembang menjadi sentra perbibitan ayam Arab di level NTB sejalan membaiknya
permintaan pasar. Artinya, meskipun nilai LQ ayam buras di kawasan ini tergolong
rendah, hal itu bisa disiasati dengan menata pasokan pakan sehingga memungkinkan
Lombok Tengah berkembang menjadi sentra bibit ayam buras. Sentra ayam buras di
Lombok Tengah masih bisa diperbesar lagi sejauh tersedia pakan dalam jumlah dan
mutu memadai, kelancaran transportasi serta adanya serapan produk oleh pasar.
34

Pengembangan ayam buras di NTB berturut-turut di Sumbawa Barat dan KLU


dengan nilai LQ masing-masing 1,9, lalu Sumbawa (LQ=1,44), Dompu (1,33) dan
Mataram (1,22). Potensi pengembangan ayam Buras di KLU berlokasi di Kayangan
dan Jenggala; Sumbawa Barat di semua kecamatan. Rincian LQ ayam buras
kabupaten/kota se NTB tersaji pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2. Nilai LQ Ayam Buras di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir

Kabupaten Lombok Tengah merupakan kabupaten wilayah yang memiliki


kelompok peternak ayam buras tertinggi di Nusa Tenggara Barat. Tercatat 25
kelompok peternak ayam buras di Lombok Tengah yang sudah menjalankan aktivitas
usaha dengan baik. Tingginya jumlah kelompok peternak ayam buras di Lombok
Tengah dapat dianggap sebagai kekuatan, sehingga ke depan Lombok Tengah dapat
dikembangkan menjadi sentra penghasil ayam buras untuk wilayah NTB.

5.2.2. Ayam Petelur

Adapun nilai LQ ayam petelur di Provinsi Nusa Tenggara Barat selama lima
tahun terakhir tertera pada Tabel 5.6 dan Gambar 5.4. Kabupaten Lombok Barat
merupakan daerah basis pengembangan ayam petelur di Provinsi NTB. Hal itu
35

ditunjukkan oleh nilai LQ ternak ini selama lima tahun terakhir yang selalu berada di
atas 4 (terakhir pada 2013 nilai LQ ayam petelur Lombok Barat mencapai 4,35). Kota
Mataram dan Kabupaten Lombok Utara semakin memperlihatkan potensi diri sebagai
daerah basis ayam petelur seperti terlihat dari nilai LQ ayam petelur kedua daerah pada
tahun 2013 masing-masing sebesar 3,29 untuk Kota Mataram dan 2,12 untuk
Kabupaten Lombok Utara. Ayam petelur, dengan demikian layak lebih dikembangkan
di wilayah ini.

Tabel 5.6. Nilai LQ Ayam Petelur di NTB Lima Tahun Terakhir


Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013
Mataram 0.02 2.66 1.36 1.14 3.29
Lombok Barat 4.98 4.25 4.49 4.12 4.35
Lombok Utara 0.01 0.01 0.01 1.82 2.12
Lombok Tengah 0.29 1.09 1.35 0.65 0.46
Lombok Timur 0.48 0.11 0.12 0.50 0.77
Sumbawa Barat 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sumbawa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Dompu 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Bima 0.18 0.00 0.00 0.01 0.00
Kota Bima 0.00 0.67 0.67 0.00 0.00
Sumber: BPS NTB, diolah

Adapun Kabupaten Lombok Tengah cenderung menjauh dari posisi sebagai


kawasan basis ayam petelur sebagaimana terlihat dari penurunan nilai LQ ternak itu
yang pada tahun 2011 sebesar 1,35 menurun menjadi 0,65 pada tahun 2012 dan pada
2013 nilai LQ ayam petelur di Lombok Tengah merosot lagi menjadi 0,46. Enam
kabupaten di Pulau Sumbawa memperlihatkan nilai LQ teramat rendah untuk ayam
petelur sehingga bisa disimpulkan bahwa Pulau Sumbawa bukanlah wilayah basis bagi
peternakan ayam petelur bagi Provinsi NTB. Kondisi wilayah Pulau Sumbawa yang
relatif kering serta ketersediaan saprodi yang agak terbatas disinyalir menjadi faktor
pembatas sulit berkembangnya ayam petelur di Pulau Sumbawa. Dalam hidupnya,
ayam petelur memiliki kecenderungan membaik produktivitasnya jika dipelihara di
36

lokasi yang berudara sejuk


Postur LQ ayam petelur 10 kabupaten di NTB pada Gambar 5.3 sekaligus
menunjukkan ayam petelur potensial dikembangkan di Pulau Lombok kecuali di
Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur

Gambar 5.3. Hasil analisis LQ ayam petelur di NTB lima tahun terakhir.

Secara keseluruhan berdasarkan hasil analisi LQ, kawasan yang paling


potensial untuk pengembangan ayam ras petelur di Nusa Tenggara Barat terkonsentrasi
di Pulau Lombok. Hal ini terkait dengan sifat ayam ras petelur yang tergolong hewan
berdarah panas (homeothermic) dengan suhu tubuh berkisar antara 40,5 sampai dengan
42,5oC, hampir seluruh bagian tubuhnya ditutupi bulu dan tidak memiliki kelenjar
keringat. Ayam ras petelur merupakan jenis ayam yang diseleksi dan dikembangkan di
daerah beriklim dingin, sehingga bila dipelihara di daerah panas rentan terhadap
bahaya stress panas. Untuk dapat hidup nyaman dan berproduksi optimal ternak ayam
ras petelur harus dipelihara pada daerah yang sejuk (comfort zone) dengan kisaran
suhu berkisar antara 21 sampai dengan 27oC, bila tidak ayam ras petelur tidak akan
dapat berproduksi dengan baik. Agar dapat mencapai suhu nyaman (comfort zone),
dapat dilakukan dengan menggunakan kandang tertutup (closed house) atau
37

penggunaan kandang terbuka yang dibangun pada daerah dataran tinggi yang bersuhu
sejuk.

Berdasarkan hal tersebut maka direkomendasikan sentra pengembangan ayam


ras petelur dipusatkan di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Utara,
terutama di daerah-daerah dataran tinggi yang bersuhu sejuk. Kota Mataram, meskipun
dari hasil analisis potensinya menempati rangking ke 2, namun karena Kota Mataram
adalah kota pemukiman padat penduduk serta berlokasi di daerah pantai dengan suhu
yang relatif tinggi, sehingga Kota Mataram kurang layak direkomendasikan sebagai
lokasi untuk pengembangan ayam ras petelur.

5.2.3.Ayam Pedaging

Hasil analisis LQ ayam pedaging 10 kabupaten yang ada di Provinsi Nusa


Tenggara Barat menarik dicermati. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu wilayah
kabupaten-kota di NTB yang secara konsisten menjadi daerah basis ayam pedaging,
setidaknya berdasarkan analisis LQ selama lima tahun terakhir. Rincian mengenai
hasil analisis LQ ayam petelur di NTB tersaji pada Tabel 5.7 dan Gambar 5.4.
Nilai LQ ayam pedaging di Kota Bima yang pada tahun 2011 dan tahun 2012
relatif tinggi yakni masing-masing 2,20 dan 2,27; lalu pada tahun 2013 melorot
menjadi 0,97. Artinya, dalam waktu relatif singkat Kota Bima beralih dari berstatus
konsentrasi ayam pedaging menjadi non basis komoditas itu. Perlu ada penelitian
tersendiri untuk menggali penyebab melorotnya posisi Bima sebagai basis ayam
pedaging.
Fenomena serupa terjadi di Lombok Timur yakni LQ ayam pedagingnya tahun
2011 sebesar 1,32; naik menjadi 1,36 setahun kemudian dan pada tahun 2013 nilai LQ-
nya adalah sebesar 0,73. Kabupaten Bima lain lagi, yakni pada tahun 2011 nilai LQ-
nya sebesar 1,18; kemudian turun menjadi 0,92 pada tahun 2012 dan tiba-tiba LQ-nya
melonjak menjadi 2,02 pada tahun 2013.
Fenomena nilai LQ yang naik tajam lalu merosot lagi setiap pergantian tahun
dan atau sebaliknya juga terjadi di hampir seluruh daerah di NTB. Diduga hal itu
38

terjadi sebagai akibat fluktuasi nilai ayam pedaging yang relatif tajam dari suatu
periode pemeliharaan ke periode berikutnya. Pemeliharaan ayam pedaging yang relatif
padat modal membuat peternak harus cermat dan jeli memperhatikan fluktuasi harga
pasar input dan harga jual ayam potong. Kelalaian memperhatikan fluktuasi harga dan
ketidak pekaan mempergunakan insting dalam berdagang ayam pedaging membuat
peternak berpotensi merugi dan pada gilirannya kapok mengusahakan ternak ini bila
salah perhitungan.

Tabel 5.7. Hasil Analisis LQ Ayam Pedaging di NTB


Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013
Mataram 0.88 1.68 0.48 0.51 0.62
Lombok Barat 1.05 0.73 0.66 0.84 0.83
Lombok Utara 0.05 0.03 0.02 0.07 0.08
Lombok Tengah 1.05 0.62 0.65 0.67 1.17
Lombok Timur 0.84 1.40 1.32 1.36 0.73
Sumbawa Barat 0.33 0.02 0.32 0.06 0.06
Sumbawa 1.07 0.65 0.12 0.86 0.75
Dompu 0.43 0.46 0.57 0.68 0.65
Bima 1.22 1.34 1.18 0.92 2.02
Kota Bima 1.74 1.73 2.20 2.27 0.97
Sumber: BPS NTB, diolah.

Sebaliknya pengusahaan ayam potong akan memberikan laba relatif


menjanjikan bila kalkulasi hitung dagang komoditas ini ternyata tepat. Hal inilah yang
membuat seseorang dengan gampang keluar-masuk mengusahakan komoditas ayam
potong di setiap daerah dan kemudian berimplikasi pada tampilan LQ masing-masing
wilayah dalam konteks sebagai daerah basis-non basis.

Kekuatan Lombok Tengah sebagai pusat pengembangan ayam broiler adalah


dekat dengan pusat sapronak (sarana produksi peternakan) seperti bibit, pakan dan
obat-obatan, serta dapat berperan sebagai pusat suplayer daging untuk kebutuhan
Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa bagian barat (Kabupaten Sumbawa Barat dan
Kabupaten Sumbawa).
39

Gambar 5.4. Hasil Perhitungan LQ Ayam Pedaging di NTB Lima Tahun Terakhir.

Kota Bima dipandang sebagai daerah yang sangat strategis untuk pengadaan
daging khususnya untuk melayani kebutuhan warga Kota Bima, Kabupaten Bima dan
Kabupaten Dompu, serta untuk memenuhi kebutuhan daging warga di wilayah
Provinsi NTT bagian barat (Pulau Flores dan Pulau Sumba).

5.2.4. Itik

Perkembangan LQ itik di NTB lima tahun terakhir tertera pada Tabel 5.8 dan
Gambar 5.5. Hal unik terkait LQ itik adalah cenderung berbaliknya beberapa daerah
dari semula menjadi basis ternak itik menjadi wilayah non basis. Setidaknya hal itu
terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Kota Mataram, Dompu dan di Kabupaten Bima.
LQ itik di Kabupaten Lombok Tengah, pada tahun 2011, misalnya, mencapai 2,02,
lalu LQ-nya merosot menjadi 1,82 pada tahun 2012 serta turun lagi menjadi 1,15 pada
tahun 2013. Hal serupa terjadi di Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima.
Fenomena sebaliknya dialami Kabupaten Lombok Timur ditandai melonjaknya
nilai LQ itik dari semula 0,68 pada tahun 2011, menurun menjadi 0,57 setahun
kemudian serta pada tahun 2013 nilai LQ itik di Kabupaten Lombok Timur adalah
40

sebesar 1,48. Fenomena LQ ternak itik seperti dialami Lombok Timur terjadi juga di
Kota Bima (lihat Tabel 5.8).

Tabel 5.8. Nilai LQ Itik di Provinsi Nusa Tenggara Barat Lima Tahun Terakhir.

Kabupaten/Kota 2009 2010 2011 2012 2013


Mataram 1.92 0.87 1.63 1.93 1.22
Lombok Barat 0.87 0.99 0.99 1.00 0.77
Lombok Utara 0.43 0.58 0.56 0.54 0.51
Lombok Tengah 1.25 1.72 2.02 1.82 1.15
Lombok Timur 0.95 0.71 0.68 0.57 1.48
Sumbawa Barat 0.76 0.84 0.55 0.98 0.96
Sumbawa 0.41 0.14 0.15 0.13 0.11
Dompu 1.65 1.79 1.61 1.35 1.22
Bima 1.39 1.20 1.30 1.22 0.31
Kota Bima 0.71 0.43 0.37 0.34 1.00

Sumber: BPS NTB, diolah

Sama seperti fenomena yang terjadi pada ayam pedaging, daerah basis ternak itik
juga diduga rentan terhadap fluktuasi harga produk yang dihasilkan komoditas ini.
Oleh karena itu diperlukan sikap kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah sosial-
ekonomi yang terjadi di seputar usaha peternakan itik di NTB.
Kesimpulan lain terhadap hasil analisis LQ itik adalah bahwa Kota Mataram,
Lombok Timur dan Lombok Tengah sejauh ini dapat dikategorikan sebagai kawasan
basis ternak itik untuk Pulau Lombok. Adapun Kabupaten Dompu di Pulau Sumbawa,
berdasarkan hasil analisis LQ, merupakan basis pengusahaan itik. Oleh karena itu,
konsentrasi pengembangan ternak itik agar diarahkan ke daerah yang menjadi
basisnya.
Meskipun Kota Mataram potensial bagi pengembangan itik, namun karena
daerah ini berpenduduk padat maka pengembangan ternak itik di daerah ini perlu
dipertimbangkan karena bisa mengganggu kenyamanan penduduk, karena pengaruh
bau yang tidak sedap yang ditimbulkannya.
41

Gambar 5.5: Grafik LQ Ternak Itik di Provinsi NTB Lima Tahun Terakhir

Adapun Kabupaten Dompu meskipun berdasarkan hasil analisis LQ potensial


bagi pengembangan itik, namun karena daerah ini sebagian besar wilayahnya relatif
kering, secara ekologis perlu dipertimbangkan dengan matang jika hendak
dikembangkan sebagai sentra ternak itik. Oleh sebab itu pengembangan itik ke depan
layak dipusatkan di Kabupaten Lombok Timur.
Sistem budidaya ternak itik selama ini memberikan kontribusi besar dalam
pengadaan telur konsumsi bahan baku telur asin. Daerah persawahan dengan dua kali
panen padi dalam setahun merupakan daerah penghasil dedak (bahan pakan sumber
energi), serta merupakan daerah berkembangnya biota akuatik seperti keong mas, ikan
sapu-sapu, duckweed dan lain sebaginya sebagai bahan pakan sumber protein bagi
ternak itik.
Pengembangan itik di Lombok Timur didukung tersedianya daerah persawahan
berpengairan teknis dengan dua kali panen padi setiap tahun dengan areal panen
21.911 Ha. Tingginya luas daerah persawahan ini berkontribusi langsung pada
pengadaan dedak halus sebagai bahan pakan sumber energi, dengan produksi
diestimasi mencapai 1.785.575 ton per tahun. Kabupaten Lombok Timur juga strategis
sebagai sentra budidaya ternak itik di masa mendatang selaras dengan meningkatnya
42

luas lahan basah yang dapat ditanami padi sebagai akibat beroperasinya bendungan
Pandanduri yang kini dalam proses penyelesaian. Bendungan tersebut diprediksi
mampu mengairi minimal lima kecamatan di Kabupaten Lombok Timur dan satu
kecamatan di wilayah Lombok Tengah yang selama ini tergolong daerah kering.
Kawasan di Lombok Timur yang dapat dialiri oleh bendungan Pandanduri adalah
Kecamatan Sakra, Sakra Timur, Sakra Barat, Keruak dan Jerowaru. Sedangkan
wilayah Lombok Tengah adalah Kecamatan Praya Timur (Mujur).

5.2.5.Trend LQ Ternak di NTB

Berdasarkan Analisis LQ berbagai jenis ternak di NTB tersusun wilayah


potensial bagi pengembangan masing-masing ternak, seperti nampak pada Tabel 5.9.
berikut ini

Tabel 5.9. Wilayah Potensial Pengembangan Ternak di NTB berdasarkan LQ

Komoditas Wilayah Potensial Pengembangan Ternak di NTB berturut-turut:


Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Utara, dan Kabupaten
Sapi
Bima
Kerbau Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima
Kuda Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima
Kambing Kabupaten Bima, Dompu, Lombok Utara dan Sumbawa Barat
Domba Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Sumbawa
Lombok Utara, Sumbawa Barat, Kota Bima, Sumbawa, Dompu,
Ayam Buras
Mataram, Lombok Barat, Bima
Pedaging Lombok Barat, Mataram, Lombok Utara
Petelur Kota Bima, Lombok Tengah
Itik Lombok Timur, Mataram, Dompu, Lombok Tengah, Kota Bima
Sumber: BPS NTB, Disnak dan Keswan NTB 2013, diolah.

Berdasarkan data hasil analisis LQ di semua kabupaten/kota di NTB nampak


bahwa wilayah potensial bagi pengembangan sapi di NTB berturut-turut adalah di
Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Utara, dan Kabupaten Bima.
43

Pengembangan kerbau potensial dilakukan di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat,


Dompu dan Bima; sedangkan ternak kuda juga direkomendasikan dilakukan di
Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima.
Ternak kecil seperti kambing potensial diarahkan pemeliharaannya di Kabupaten
Bima, Dompu, Lombok Utara dan Sumbawa Barat. Adapun domba cocok
dikembangkan di Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Lombok Timur dan Sumbawa.
Pengembangan ternak unggas seperti ayam buras diarahkan ke Kabupaten Lombok
Utara, Sumbawa Barat, Kota Bima, Sumbawa, Dompu, Mataram, Lombok Barat dan
Kabupaten Bima. Adapun ayam pedaging disarankan dikembangkan di Kabupaten
Lombok Barat, Mataram dan Lombok Utara. Kemudian, ayam petelur sebaiknya
diusahakan di Kota Bima dan Lombok Tengah. Adapun ternak itik sebaiknya
diternakkan di Kabupaten Lombok Timur, Mataram, Dompu, Lombok Tengah dan
Kota Bima.

5.3. Analisis Model Rasio Pembagunan (MRP)

Model rasio pertumbuhan dibagi ke dalam dua rasio yakni rasio pertumbuhan
wilayah referensi (provinsi = RPr) dan rasio pertumbuhan wilayah studi (kabupaten =
RPs). RPr merupakan perbandingan antara pertumbuhan output (jumlah populasi
/komoditas) di wilayah referensi dibandingkan dengan pertumbuhan output (populasi)
di wilayah referensi.
RPr dengan nilai lebih dari 1 dapat dikatakan (+), menunjukkan bahwa populasi
ternak tertentu di wilayah referensi (provinsi) lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan
populasinya di wilayah penelitian (kabupaten). Sebaliknya jika nilai PRt <1 maka PRr
bernilai (-) yang berarti populasi ternak tertentu di wilayah referensi (provinsi) lebih
rendah dibandingkan di wilayah penelitian.

5.3.1. Hasil Analisis MRP Sapi

Berdasarkan data pada Tabel 5.12. diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi


beternak sapi yang potensial pada tingkat wilayah studi dengan 4 klasifikasi sbb:
44

a) Klasifikasi I yakni RPr (+) dan RPs juga (+) menunjukkan populasi sapi Bali
bertumbuh baik di wilayah referensi (provinsi) dan di wilayah studi. Wilayah
yang termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah Mataram, Lombok Utara, Lombok
Tengah, Sumbawa Barat, Dompu dan Kabupaten Bima.

Tabel 5.10. Nilai RPr dan RPs Sapi di NTB antara tahun 2009-2013

Kabupaten/kota RPr Nominal RPs Nominal


Mataram 2.83 + 2.42 +
Lombok Barat 1.25 + 0.67 -
Lombok Utara 1.04 + 1.05 +
Lombok Tengah 1.39 + 2.13 +
Lombok Timur 16.50 + 0.37 -
Sumbawa Barat 1.44 + 2.20 +
Sumbawa -8.45 - 0.23 -
Dompu 1.13 + 1.41 +
Bima 1.88 + 2.47 +
Kota Bima 0.39 - -0.29 -
NTB 1.70 + 1.00 +

b) Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi
sapi menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah
studi. Lombok Barat dan Lombok Timur masuk ke dalam klasifikasi ini.
c) Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya sapi mempunyai pertumbuhan
tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tumbuh baik di wilayah
studi (kabupaten). Penelitian ini tidak menemukan adanya wilayah NTB dengan
klasifikasi seperti ini.
d) Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna sapi tidak memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kabupaten
Sumbawa dan Kota Bima termasuk ke dalam klasifikasi IV.

5.3.2. Hasil Analisis MRP Kerbau

Data pada Tabel 5.11. mendeskripsi kegiatan ekonomi ternak kerbau yang
perkembangan dan pertumbuhan populasinya terurai dalam paparan berikut:
45

a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan komoditas kerbau lebih baik
pertumbuhan populasinya di wilayah studi dan di wilayah referensi (provinsi).
Tidak ada kabupaten/kota di NTB yang masuk ke dalam klasifikasi I.

Tabel 5.11. Nilai RPr dan RPs Kerbau di NTB tahun 2009-2013

Kabupaten/kota RPr Nominal RPs Nominal


Mataram -2.41 - 1.20 +
Lombok Barat -3.61 - 1.11 +
Lombok Utara -2.07 - 1.21 +
Lombok Tengah -1.20 - 1.07 +
Lombok Timur -81.93 - 1.05 +
Sumbawa Barat -1.11 - 0.98 -
Sumbawa 50.76 + 0.82 -
Dompu -1.44 - 1.03 +
Bima -1.28 - 0.97 -
Kota Bima 1.94 + 0.82 -
NTB -2.94 - 1.0 +

b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi
kerbau menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di
wilayah studi. Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima masuk ke dalam kriteria
sebagaimana tercantum dalam klasifikasi II.
c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya kerbau mempunyai
pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh
baik di wilayah studi (kabupaten). Klasifikasi wilayah seperti ini terjadi di
Mataram, Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, KLU dan Dompu.
d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna sapi tidak memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kabupaten
Sumbawa Barat dan Kabupaten Bima termasuk ke dalam klasifikasi ini.

5.3.3. Hasil Analisis MRP Kuda

Perkembangan populasi ternak kuda dalam analisis MRP sbb (Tabel 5.12):
46

a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan komoditas kuda lebih baik
pertumbuhan populasinya di wilayah referensi (provinsi) maupun di wilayah
studi. Kabupaten Sumbawa dan Kota Bima masuk dalam klasifikasi ini.
b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi
menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi
(kabupaten). Tidak ada kabupaten/kota di Provinsi NTB yang masuk ke dalam
klasifikasi III.
c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya ternak kuda mempunyai
pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh
baik di wilayah studi (kabupaten). Kabupaten-kota di NTB yang masuk ke dalam
klasifikasi III adalah Mataram, Lombok Utara, Lombok Timur dan Kabupaten
Bima.
d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna kuda tidak memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kabupaten
Lombok Barat, Sumbawa Barat, Lombok Tengah dan Dompu termasuk ke dalam
klasifikasi IV.

Tabel 5.12. Nilai RPr dan RPs Kuda di NTB antara tahun 2009-2013
Kabupaten/Kota RPr Nominal RPs Nominal
Mataram -1.01 - 1.70 +
Lombok Barat -0.58 - 0.61 -
Lombok Utara -1.04 - 2.06 +
Lombok Tengah 0.00 - 0.01 -
Lombok Timur -65.97 - 2.88 +
Sumbawa Barat 0.16 - 0.49 -
Sumbawa 22.21 + 22.21 +
Dompu 0.57 - 1.40 -
Bima -0.61 - 1.57 +
Kota Bima 2.62 + 3.76 +

5.3.4. Hasil Analisis MRP Kambing

Data pada Tabel 5.13. mendeskripsi kegiatan ekonomi beternak kambing yang
47

perkembangan pertumbuhan potensinya terurai dalam klasifikasi berikut:


a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan komoditas kambing lebih baik
pertumbuhan populasinya di wilayah studi dan di wilayah referensi (provinsi).
Mataram, Lombok Tengah, KLU, Sumbawa Barat dan Dompu masuk dalam
klasifikasi ini.

Tabel 5.13. Nilai RPr dan RPs Kambing di NTB antara tahun 2009-2013

Kabupaten/Kota RPr Nominal RPs Nominal


Mataram 4.45 + 2.42 +
Lombok Barat 1.83 + 0.67 -
Lombok Utara 1.07 + 1.05 +
Lombok Tengah 1.25 + 2.13 +
Lombok Timur 3.55 + 0.37 -
Sumbawa Barat 1.36 + 2.20 +
Sumbawa 15.89 + 0.23 -
Dompu 1.04 + 1.41 +
Bima 1.68 - 2.47 +
Kota Bima 0.45 - -0.29 -
Total 1.53 + 1.0 +

b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi
menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah studi.
Kabupaten Sumbawa, Lombok Barat dan Lombok Timur masuk ke dalam
klasifikasi II.
c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya kambing mempunyai
pertumbuhan tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh
baik di wilayah studi (kabupaten). Daerah yang masuk ke dalam klasifikasi ini
adalah Kabupaten Bima.
d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna kambing tidak memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kota Bima berada
dalam klasifikasi ini.

5.3.5. Hasil Analisis MRP Domba

Berdasarkan data pada Tabel 5.14. diperoleh deskripsi kegiatan ekonomi ternak
48

domba yang potensial pada tingkat wilayah studi dengan klasifikasi sbb:
a. Klasifikasi I yakni RPr (+), RPs (+) menunjukkan domba lebih baik pertumbuhan
populasinya di wilayah studi dan di wilayah referensi (provinsi). Klasifikasi ini
tidak terisi kabupaten kota manapun di NTB.
b. Klasifikasi II yaitu RPr (+) dan RPs (-), mengindikasikan pertumbuhan populasi
domba menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun tidak menonjol di wilayah
studi. Hanya Kota Bima yang masuk ke dalam klasifikasi ini.
c. Klasifikasi III yakni RPr (-) dan RPs (+), artinya domba mempunyai pertumbuhan
tidak menonjol di wilayah referensi (provinsi) namun bertumbuh baik di wilayah
studi (kabupaten). Tidak ada kabupaten-kota di NTB yang tercatat dalam
klasifikasi ini.
d. Klasifikasi IV yakni RPr (-) dan RPs (-), bermakna domba tidak memiliki
pertumbuhan baik di wilayah referensi maupun wilayah studi. Kecuali Kota Bima,
sembilan daerah NTB lainnya masuk ke dalam kriteria ini.

Tabel 5.14. Nilai RPr dan RPs Domba di NTB antara tahun 2009-2013
Kabupaten/Kota Riel Nominal Riel Nominal
Mataram -72.16 - -2.07 -
Lombok Barat -5.28 - 1.93 -
Lombok Utara -2.15 - 2.09 -
Lombok Tengah -1.08 - 1.84 -
Lombok Timur -17.62 - 1.82 -
Sumbawa Barat -1.05 - 1.69 -
Sumbawa -95.40 - 1.41 -
Dompu -1.32 - 1.78 -
Bima -1.14 - 1.68 -
Kota Bima 2.19 + 1.42 -
Total -2.65 - 1.00 +

5.4. Analisis Potensi Pengembangan

Dasar perhitungan hijauan pakan untuk ternak herbivora di Provinsi Nusa


Tenggara Barat mengacu pada standar penggunaan pakan sebagaimana
49

direkomendasikan Direktorat Pakan, Ditjen Peternakan dan Keswan, yakni pemakaian


limbah pertanian diperhitungkan sebanyak 35% dari total produksi limbah. Adapun
hijauan alam bersumber antara lain dari pematang sawah, pinggiran jalan, padang
penggembalaan, kawasan hutan dan lahan kosong.
Khusus untuk limbah pertanian, sumber utama pengadaannya adalah dari
jerami padi dengan produksi sekitar 7,5 ton berat kering (BK) per hektar, jagung
sebanyak 25 ton BK/Ha, kacang tanah dan kacang kedelai masing-masing 5 ton/ha dan
ketela pohon dengan produksi limbah 2,5 ton/ha. Data ketersediaan limbah tersebut
merujuk pada rekomendasi Ditjen Peternakan dan Keswan Kementerian Pertanian.

Tabel 5.15: Rincian Potensi pengembangan ternak herbivora di Provinsi NTB


Peluang
Jml
Kabupaten Pengembangn Kecamatan
Kec
Populasi (UT)
KLU 4,407,18 Bayan 5
Sandubaya, Mataram, Sekarbela,
Mataram 1.528,84 6
Selaparang, Cakranegara
Lombok Barat -16.097,33 Kuripan, Kediri, Labuapi 10
Lombok Batu Kliang Utara, Praya Barat Daya, Praya
-8.088,23 12
Tengah Timur, Praya,Praya Barat
Pringgabaya, Jerowaru, Sakra Timur, Sakra
Lombok
-8.586,47 Barat, Wanasaba, Sambelia, Keruak, 20
Timur
Sukamulia,
Sumbawa Barat -3.165,88 Poto Tano, Brang Rea, Sekongkang 8
Labangka, Lenangguar, Lunyuk, Rhee,
Sumbawa 146.745,30 Plampang, Alas Barat, Batu Lanteh, Alas, 24
Buer, Ropang
Dompu -1.474,85 Kilo, Dompu, Pajo, Hu'u, Woja 8
Kabupaten Wera, Sanggar, Langgudu, Tambora, Sape,
122.090,53 18
Bima Palibelo, Wawo, Lambitu, Belo, Parado
Kota Bima -1.687,99 Rasanae Timur, Rasanae Barat 5
Sumber: BPS NTB, diolah.
Catatan: Baris yang diblok merah muda adalah wilayah potensial bagi pengembangan
ternak herbivore, sedangkan baris yang tidak diblok kurang memungkinkan bagi
pengembangan ternak herbivore (crowded), namun jika dipaksakan bisa dilakukan
dengan meningkatkan porsi penggunaan limbah dengan cara aplikasi teknologi tepat
guna dalam bidang pengolahan pakan.
50

Berdasarkan analisis potensi pengembangan ternak yang didasarkan atas


ketersediaan lahan dalam penyediaan pakan, khusus untuk pengembangan ternak
pemakan hijauan (herbivora meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba) dapat
dilakukan di empat kabupaten dari 10 kabupaten-kota yang ada di Provinsi NTB
(Lampiran 1-26). Potensi pengembangan terbesar berada di Kabupaten Sumbawa yang
mampu menampung 146.745 unit ternak (UT) (Tabel 5.15). Wilayah Sumbawa yang
potensial bagi pengembangan ternak herbivora meliputi Kecamatan Labangka,
Lenangguar, Lunyuk, Rhee, Plampang, Alas Barat, Batu Lanteh, Alas, Buer dan
Kecamatan Ropang. Berdasarkan analisis potensi pengembangan wilayah, adalah tepat
penetapan Kabupaten Sumbawa sebagai kawasan peternakan sapi potong di NTB
sesuai Perpres No 56/2014.
Wilayah lain yang potensial bagi pengembangan ternak herbivora di NTB
adalah Kabupaten Bima dengan potensi pengembangan sekitar 122.090 UT.
Kecamatan yang potensial bagi pengembangan ternak herbivora di Kabupaten Bima
meliputi Wera, Sanggar, Langgudu, Tambora, Sape, Palibelo, Wawo, Lambitu, Belo
dan Parado.
Potensi pengembangan herbivora juga dapat dilakukan di Kabupaten Lombok
Utara dengan peluang potensi ternak yang masih mungkin dikembangkan 4.407 UT,
terkonsentrasi di Kecamatan Bayan. Wilayah lain yang juga potensial untuk
pengembangan ternak herbivora adalah Kota Mataram dengan peluang pengembangan
yang tersisa untuk sekitar 1.528 unit ternak. Wilayah Mataram yang potensial untuk itu
meliputi Kecamatan Sandubaya, Mataram, Sekarbela, Selaparang dan Cakranegara.
Pengembangan ternak herbivora di Kota Mataram riskan dilakukan. Kalaupun
upaya ini ditempuh, sedapat mungkin dilaksanakan dengan penuh perhitungan karena
komposisi limbah dan hijauan pakan di Kota Mataram relatif tidak berimbang.
Produksi limbah pertanian di Kota Mataram diperkirakan bisa untuk menampung
7.172 unit ternak herbivora, sementara produksi hijauan hanya bisa menampung 1.387
unit ternak. Data tersebut dapat dimaknai bahwa penambahan jumlah populasi ternak
herbivora di Kota Mataram potensial berimplikasi mengganggu keberadaan tanaman
penghijauan di dalam kota khususnya hutan dan kawasan penghijauan di dalam kota
51

Mataram yang tersebar di ruang terbuka hijau. Tanaman tersebut potensial terganggu
dan gejala ke arah itu menonjol terutama pada musim kering yang dilakukan peternak
dengan memotong tanaman penghijauan di dalam kota pada sore maupun malam hari.
Adapun enam kabupaten/kota lain di NTB relatif kurang potensial bagi
pengembangan ternak pemakan hijauan karena wilayah tersebut berstatus over/
kelebihan populasi dibandingkan daya dukungnya. Wilayah yang dimaksudkan adalah
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur untuk wilayah Pulau
Lombok. Kemudian di Kabupaten Sumbawa Barat, Dompu, Kota Bima untuk wilayah
Pulau Sumbawa. Namun demikian, meskipun telah kelebihan populasi, tercatat ada
beberapa kecamatan yang masih berpeluang bagi pengembangan ternak pemakan
herbivora, meliputi Kuripan, Kediri dan Labuapi di Kabupaten Lombok Barat.
Kemudian Kecamatan Batu Kliang Utara, Praya Barat Daya, Praya Timur, Praya,
Praya Barat di Kabupaten Lombok Tengah. Kecamatan Pringgabaya, Jerowaru, Sakra
Timur, Sakra Barat, Wanasaba, Sambelia, Keruak dan Sukamulia di Kabupaten
Lombok Timur.
Sebagai catatan, daerah yang tidak potensial lagi bagi pengembangan ternak
herbivora sebaiknya dilakukan peningkatan produktivitas per unit ternak karena tidak
memungkin lagi bagi penambahan jumlah populasi. Sebaliknya bagi daerah yang
ketersediaaan daya dukung lahan dan pakan masih longgar bisa diprioritaskan bagi
pengembangan populasi ternak herbivora dengan tidak mengabaikan perbaikan
produktivitas melaui peningkatan mutu genetik.
Pengembangan ternak herbivora untuk Pulau Sumbawa meliputi Kecamatan
Poto Tano, Brang Rea dan Sekongkang untuk wilayah Kabupaten Sumbawa Barat, lalu
Kecamatan Kilo, Dompu, Pajo, Hu'u dan Woja untuk Kabupaten Dompu serta di
Kecamatan Rasanae Timur, Rasanae Barat di Kota Bima. Kecamatan lain di luar itu
sudah kelebihan jumlah ternak pemakan herbivora dibandingkan daya dukungnya.
Khusus untuk pengembangan ternak unggas, tidak dilakukan analisis daya
dukung secara khusus karena pengusahaan ternak ini relatif tidak membutuhkan areal
untuk pakan secara khusus seperti terjadi pada ternak herbivora. Pemeliharaan ternak
52

unggas dapat dilakukan di lahan relatif sempit termasuk dengan memanfaatkan


pekarangan rumah bahkan dilakukan di bagian tertentu dari rumah penduduk.

5.5. Analisis Overlay

Analisis Overlay digunakan untuk mengambil kesimpulan dengan


menggabungkan beberapa hasil analisis yakni hasil analisis daya tampung, analisis
Location Quetion (LQ) dan analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP). Analisis
overlay dalam studi ini hanya mengkaji potensi pengembangan ternak pemakan
hijauan (herbivora) dan tidak menganalisis potensi ternak unggas.
Ada tujuh kombinasi kemungkinan yang terjadi pada hasil analisis Overlay sbb:
A. DT (+), MRP (+), LQ >1 (+), ada kecenderungan komoditi tersebut memiliki
potensi pengembangan, tumbuh dominan dan surplus.
B. DT (+), MRP (+), LQ >1 (-), ada kecenderungan komoditi tersebut memiliki potensi
pengembangan dan tumbuh dominan.
C. DT (+), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut memiliki potensi
pengembangan dan surplus
D. DT (+), MRP (-), LQ >1 (-), komoditi tersebut memang memiliki potensi
pengembangan
E. DT (-), MRP (+), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut tumbuh dominan
dan surplus
F. DT (-), MRP (+), LQ >1 (-), komoditi tersebut tumbuh dominan
G. DT (-), MRP (-), LQ >1 (+), kecenderungan komoditi tersebut adalah surplus.

5.6.1.Overlay Ternak Besar

Overlay ternak besar dipisahkan satu per satu meliputi sapi, kerbau dan kuda
dengan rincian sebagai berikut:

A. Analisis Overlay Sapi

Hasil analisis overlay ternak sapi yang ada di Provinsi NTB tercantum pada
Tabel 5.16.
53

Tabel 5.16. Hasil Analisis Overlay terhadap Sapi di NTB

No Kabupaten/kota LQ MRP DD Kecenderungan


1 Mataram - + + tumbuh dominan, potensi pengembangan
2 Lombok Barat - - - -
3 Lombok Utara surplus, tumbuh dominan, potensi
+ + +
pengembangan
4 Lombok Tengah - + - surplus, tumbuh dominan
5 Lombok Timur - - - -
6 Sumbawa Barat + + - surplus, tumbuh dominan
7 Sumbawa + - + surplus, potensi pengembangan
8 Dompu + + - surplus, tumbuh dominan
9 Bima surplus, tumbuh dominan, potensi
+ + +
pengembangan
10 Kota Bima - - - -

Berdasarkan hasil analisis overlay, sapi terindikasi sebagai komoditas


unggulan dalam peta peternakan NTB dan memiliki potensi besar untuk tumbuh
dominan dalam pengembangannya dibandingkan herbivora lain. Indikasi itu
nampak dari trend nilai hasil overlay sapi yang memiliki potensi relatif merata guna
diusahakan di sejumlah daerah. Sapi surplus di Sumbawa, KSB, Dompu, Kabupaten
Bima dan Lombok Utara. Sapi juga tumbuh doniman di enam daerah (Mataram,
Lombok Utara, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Dompu dan Bima). Hal
mendasar lainnya adalah potensi pengembangan lahan bagi sapi terkonsentrasi di
Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Bima, Lombok Utara dan di Kota Mataram.
Kota Mataram kurang direkomendasikan bagi pengembangan ternak
herbivora dan sebaiknya lebih ditujukan ke arah perbaikan produktivitas ternak
yakni peningkatan bobot badan per satuan ternak. Hal ini disebabkan karena
ketersediaan lahan relatif terbatas di samping alih fungsi lahan berlangsung cepat di
ibukota NTB ini.

B. Analisis Overlay Kerbau

Analisis overlay terhadap kerbau di NTB hasilnya tersaji pada Tabel 5.17.
54

Tabel 5.17. Hasil analisis overlay kerbau di NTB

No Kabupaten/kota LQ MRP DD Kecenderungan


1 Mataram - - + potensi pengembangan
2 Lombok Barat - - - -
3 Lombok Utara - - + potensi pengembangan
4 Lombok Tengah - - - -
5 Lombok Timur - - - -
6 Sumbawa Barat + - - surplus
surplus, tumbuh dominan, potensi
7 Sumbawa + + +
pengembangan
8 Dompu + - - surplus
9 Bima + - + Surplus, potensi pengembangan
10 Kota Bima - + - tumbuh dominan
Sumber: data sekunder diolah, 2013

Data pada Tabel 5.17. menunjukkan bahwa kerbau sangat potensial


dikembangkan di Kabupaten Sumbawa karena memiliki semua persyaratan yang
diperlukan bagi pengembangan potensinya, terutama ketersedian lahan dan kawasan
berawa. Adapun Kabupaten Bima berdasarkan ketersediaan lahan untuk daya
tampung kerbau, pada dasarnya masih terbuka peluang pengembangan ternak ini di
Bima. Adapun Kota Mataram, meskipun tersedia lahan bagi pengembangan kerbau
namun perlu pertimbangan cermat untuk mengusahakan ternak ini di Mataram karena
terbentur kondisi dan kepemilikan lahan serta dari segi estetika. Sebab kerbau
memerlukan areal berawa/berlumpur. Adapun Lombok Utara, meskipun daya dukung
lahannya tersedia memadai terutama di Bayan, namun ada kecenderungan warga di
sana kurang menyukai memelihara kerbau. Di Kota Bima, kerbau tumbuh dominan.

C. Analisis Overlay Kuda

Hasil Analisis Overlay terhadap kuda menunjukkan bahwa kuda surplus,


tumbuh dominan dan memiliki daya tampung dikembangkan di Kabupaten
Sumbawa. Kuda Sumbawa juga memang dikenal luas sebagai “moyangnya” kuda
yang ada di Indonesia yang penyebarannya terjadi pada awal abad ke 19 ke berbagai
55

pelosok Indonesia. Adapun Mataram, Lombok Utara dan Kabupaten Bima juga
memiliki daya tampung dan prospektif bagi pengembangan kuda (Tabel 5.18).

Tabel 5.18.: Hasil analisis overlay kuda di NTB


No Kabupaten/kota LQ MRP DD Kecenderungan
1 Mataram - - + potensi pengembangan
2 Lombok Barat - - - -
3 Lombok Utara - - + potensi pengembangan
4 Lombok Tengah - - - -
5 Lombok Timur - - - -
6 Sumbawa Barat + - - surplus
surplus, tumbuh dominan, potensi
7 Sumbawa + + +
pengembangan
8 Dompu + - - surplus
9 Bima + - + Surplus, potensi pengembangan
10 Kota Bima - + - tumbuh dominan
Sumber: data sekunder diolah, 2013

5.6.2. Overlay Ternak Kecil

Adapun rincian mengenai hasil analisis overlay ternak kecil yang meliputi
kambing, domba dan babi terurai sebagai berikut:

D. Analisis Overlay Kambing

Ternak kambing menunjukkan fenomena menarik, yakni hanya Lombok Barat


yang keberadaan kambingnya kurang menjanjikan baik dari segi potensi
pengembangan lahan, trend pertumbuhan dan sebagai lokasi konsentrasi populasi.
Lombok Utara merupakan wilayah NTB yang paling menarik bagi
pengembangan kambing karena surplus, tumbuh dominan dan memiliki potensi lahan
untuk pengembangannya. Kabupaten Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Dompu,
Kabupaten Bima dan Kota Mataram tercatat memiliki potensi pengembangan
kambing lebih baik dibandingkan Kota Bima, Sumbawa dan Lombok Timur yang
prospek pengembangan kambingnya relatif lebih rendah. Meskipun Kabupaten
Sumbawa memiliki populasi kambing terbatas namun prospek pengembangannya
paling besar karena daya dukungnya paling menjanjikan (Tabel 5.19).
56

Tabel 5.19. Hasil analisis overlay ternak kambing di NTB

Kab/kota LQ MRP DD Kecenderungan


tumbuh dominan, potensi
1 Mataram - + +
pengembangan
2 Lombok Barat - - - -
Surplus, tumbuh dominan, potensi
3 Lombok Utara + + +
pengembangan
4 Lombok Tengah + + - surplus, tumbuh dominan
5 Lombok Timur + - - Surplus
6 Sumbawa Barat + + - surplus, tumbuh dominan
7 Sumbawa - - + potensi pengembangan
8 Dompu + + - surplus, tumbuh dominan
9 Bima + - + surplus, potensi pengembangan
10 Kota Bima + - - Surplus
Sumber: data sekunder diolah, 2013

E. Analisis overlay Domba

Domba tidak menunjukkan dominasi sama sekali terhadap keberadaan ternak


herbivora di 10 kabupaten/kota di NTB. Hal yang bisa dicatat dari keberadaan domba
di NTB adalah bahwa ternak ini potensial dikembangkan di Kabupaten Sumbawa dan
di Kabupaten Bima. Selain itu pengembangan domba kurang prosepektif diusahakan
di Lombok Barat, Lombok tengah dan di Kota Bima (Tabel 5.20).

Tabel 5.20. Hasil analisis overlay ternak domba di NTB

Kab/kota LQ MRP DT Kecenderungan


1 Mataram - - + potensi pengembangan
2 Lombok Barat - - - -
3 Lombok Utara - - + potensi pengembangan
4 Lombok Tengah - - - -
5 Lombok Timur + - - surplus
6 Sumbawa Barat + - - surplus
7 Sumbawa + - + Surplus, potensi pengembangan
8 Dompu - - - -
9 Bima + - + Surplus, potensi pengembangan
10 Kota Bima - - - -
Sumber: data sekunder diolah, 2013
57

5.7. Tahapan dan Pola Pengembangan Kawasan

5.7.1. Tahapan Pengembangan Kawasan

Pengembangan kawasan dilakukan dengan memetakan areal yang ada menjadi


kawasan non land base farming dan land base farming menjadi kawasan intensif dan
industri. Tahapan pengembangan kawasan tertera pada Tabel 5.21.

Tabel 5.21. Tahapan pengembangan kawasan peternakan.

Tahap Tahun Kegiatan Catatan

I 2014 Penyusunan Masterplan Kawasan


Pengembangan model peternakan berbasis
2015- Dibahas dalam
II komoditas. Kriteria: efisien, produktivitas
2017 detil plan
tinggi dan ramah lingkungan (green farming)
2017- Pelatihan, deseminasi, TTG dan
Bagi semua
III implementasi untuk hasilkan yang terbaik.
2018 kabupaten/ kota
Disesuaikan
2020-
IV Replikasi dan pembinaan di se kab/ kota dengan komoditas
2025
prioritas
Terciptanya kawasan peternakan efisien, Industri
2025-
V produktivitas tinggi dan ramah lingkungan peternakan
2030
modern

Pengembangan kawasan dilakukan secara bertahap misalnya dengan merubah


pola pengembangan dari pendekatan kawasan secara ekstensif menuju kawasan
industri, begitu seterusnya. Fase pengembangan kawasan peternakan NTB tertera
pada Gambar 5.7.
Model tersebut dimantapkan dan kemudian direplikasikan ke kabupaten lain
sehingga pemeliharaan ternak dapat diimplementasikan dalam skala besar, tenaga
relatif sedikit dalam skala industri. Perbaikan managemen industri peternakan
dilakukan dengan memberikan feed back pada perbaikan pengembangan industri
peternakan. Dalam waktu 15 tahun diharapkan industri peternakan di kawasan
sampel dapat terealisir.
58

PENYUSUNAN
MASTERPLAN
KAWASAN (2014)
PILOT PROYEK
DI KABUPATEN/
PERBAIKAN KOTA
MODEL MELALUI (Peternakan: efisien,
UMPAN BALIK produktif dan ramah
(2020-2030) lingkungan (2015)

REPLIKASI DI
JUMLAH BESAR
KABUPATEN
INDUSTRI
DAN KOTA DI
(2030)
NTB (2020)

Gambar 5.7. Bagan tahapan pengembangan kawasan ternak di NTB

Produktivitas ternak dapat diukur secara individual dan secara kelompok


melalui strategi perbaikan mutu genetic dan/atau perbaikan mutu lingkungan.
Idealnya, peningkatan produktivitas ternak dilakukan secara bersamaan antara
perbaikan mutu genetik dan perbaikan mutu lingkungan.
Strategi perbaikan mutu genetik ternak tergantung pada kebijakan pemuliaan
(breeding policy) dan tujuan pemuliaan. Arah kebijakan pemuliaan sapi Bali di NTB
adalah menjadikan NTB sumber bibit dan sentra pengembangan sapi Bali potong.
Cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan pejantan unggul dari luar kelompok
seperti dari UPT Serading. Rasio induk dibandingkan pejantan sekitar 25–30 ekor
untuk seekor pejantan dengan lama penggunaan untuk pembiakan dua tahun. Hal itu
dimaksudkan agar pejantan tidak sempat mengawini anak betinanya sehingga efek
inbreeding tidak terjadi. Selanjutnya pejantan ini dapat dipakai peternak lain untuk
memacek sapi betina yang tidak memiliki hubungan kekerabatan (di atas 6 generasi).
Pengadaan pejantan menjadi tanggung jawab pemerintah. Kewajiban peternak
adalah memelihara, merawat, dan menggunakan secara baik dan benar selama 2 (dua)
tahun. Setelah dua tahun, pejantan itu ditarik untuk digulirkan ke peternak lain.
Selanjutnya, setelah digunakan oleh 2 (dua) peternak, pejantan ditarik pemerintah
untuk dijual dan membeli pejantan baru yang jauh hubungan kekerabatannya,
59

demikian seterusnya. Untuk menghindari inbreeding anak ternak jantan dari


keturunan pejantan yang digulirkan digemukkan untuk dijadikan ternak potong.
Strategi pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) diarahkan
pada terbentuknya usaha rakyat yang maju dan mandiri. Untuk tujuan tersebut
pengusaha dan calon pengusaha harus mendapat pendampingan yang intensif disertai
dengan pengadaan modal yang mudah dan murah.
Pengembangan ayam buras secara spesifik diarahkan pada pengembangan
ayam kampung unggul hasil seleksi Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, yaitu ayam
KUB (Kampung Unggul Balitnak) serta ayam Arab. Kelebihan kedua jenis ayam ini
adalah produksi telurnya mencapai 60% lebih dibandingkan ayam kampung.
Tingginya produksi ini merupakan modal untuk melipat-gandakan populasi sehingga
keterbatasan produksi daging ayam kampung dapat tertanggulangi.
Bibit ayam KUB bisa didatangkan dari Stasiun Riset di Ciawi Bogor atau dari
BPTP Narmada yang sudah ditunjuk sebagai suplayer untuk NTB. Adapun bibit
ayam Arab dan itik diambil dari peternak lokal yang ada di sentra peternakan ayam
buras dan itik yang ada sekarang. Beberapa sentra ayam Arab di Jawa sudah menjalin
hubungan dengan peternak NTB guna pengembangan perbibitan ternak ini di NTB.
Pengembangan kawasan dapat dilakukan dengan memetakan kawasan NTB
menjadi kawasan ekstensif, semi intensif, intensif dan kawasan industri.
Pengembangan kawasan dengan berbagai pola pemeliharaan tersebut bisa dilakukan
secara bertahap misalnya dengan merubah pola pengembangan dari kawasan
ekstensif menuju kawasan industri, begitu seterusnya.

5.7.2. Pengembangan Produktivitas Ternak

Produktivitas ternak dapat diukur secara individual dan secara kelompok


melalui strategi perbaikan mutu genetik dan/atau perbaikan mutu lingkungan.
Idealnya, peningkatan produktivitas ternak dilakukan secara bersamaan antara
perbaikan mutu genetik ternak dengan perbaikan mutu lingkungan ternak.
Peningkatan produktivitas ternak secara individual dilakukan dengan
meningkatkan kemampuan produksi per ekor ternak, sedangkan peningkatan
60

produktivitas secara kelompok dilakukan melalui peningkatan angka reproduksi (calf


crop) dan/atau peningkatan produktivitas individual sehingga dapat mewakili suatu
wilayah. Idealnya, peningkatan produktivitas kelompok dilakukan melalui perbaikan
reproduksi dan peningkatan kemampuan individual ternak secara bersamaan.

5.7.3. Perbaikan Lingkungan Ternak

Faktor lingkungan sangat berperan dalam menentukan seberapa besar


kemampuan berproduksi masing-masing ternak. Dari sekian banyak faktor
lingkungan yang berperan, pakan menyumbang angka terbesar dalam biaya produksi.
Oleh karena itu, perlu disusun suatu strategi agar kualitas dan kuantitas pakan
tersedia secara kontinyu dengan harga yang terjangkau peternak.
Faktor lingkungan yakni kebijakan dan dukungan pemerintah juga berperan
untuk meningkatkan produktivitas ternak. Dukungan pemerintah bersifat kontinyu
dan sesuai dengan kondisi dan masalah yang dihadapi peternak, terutama bagi
peternak yang ditetapkan sebagai wilayah perbaikan mutu genetik ternak.
Kepemilikan ternak per kepala keluarga yang rendah/kecil dengan ketidak-mampuan
peternak memelihara ternak sehingga kualitasnya terjaga, menyebabkan upaya
perbaikan mutu genetik ternak tidak berjalan sesuai rencana.

5.7.4. Perbaikan Mutu Genetik

Strategi perbaikan mutu genetic ternak bergantung pada kebijakan pemuliaan


(breeding policy) dan tujuan pemuliaan suatu rumpun ternak. Untuk sapi Bali di
NTB, kebijakan pemuliaan yang ditetapkan adalah menjadikan NTB sebagai sumber
sapi Bali bibit dengan tujuan untuk dikembangkanbiakan maupun untuk dipotong.
Hal ini memberikan petunjuk bahwa tujuan pemuliaan sapi Bali di NTB adalah
peningkatan bobot atau ADG. Dengan demikian maka strategi perbaikan mutu
genetik diutamakan melalui seleksi yang diikuti pengaturan perkawinan antar-ternak
sedemikian rupa agar tingkat silang menjadi seminimal mungkin.
Pejantan yang digulirkan di kelompok, perlu diuji performannya di UPT/BPT
milik pemerintah untuk memastikan kualitas genetiknya. Jika tidak memungkinkan
61

uji performan dilakukan oleh kelompok peternak penggemukan yang disepakati di


bawah kordinasi pemerintah atau perguruan tinggi. Selanjutnya, jika kelompok
penggemukan belum/tidak terbentuk maka pengadaan pejantan berasal dari
kelompok yang penggulirannya tetap dipantau pemerintah atau perguruan tinggi.
Pejantan terpilih baik untuk uji performan maupun yang akan digulirkan
langsung harus memiliki prestasi terbaik yang diketahui melalui recording. Secara
skematis Gambar 5.8 menunjukkan pola SUP (stasiun uji performance) yang dikelola
pemerintah atau penggemukan dan Gambar 5.9 adalah pola penggunaan pejantan
secara langsung.

Gambar 5.8. Skema perguliran Pejantan Hasil Uji Performan

Gambar 5.9. Skema Perguliran Pejantan Langsung


62

Pada sistem pemeliharaan ekstensif perbaikan mutu genetik serupa dengan di


wilayah intensif. Perbedaannya, pada pola ekstensif ternak lebih dominan tidak
berada di kandang dan dipelihara oleh peternak secara individual namun dalam
jumlah yang lebih banyak sehingga perguliran pejantan antar pemilik sulit dikontrol.
Oleh karena itu, cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan sejumlah
pejantan unggul dari luar kelompok seperti dari hasil seleksi pejantan di UPT
Serading. Karena sistem ekstensif, maka rasio induk dibandingkan pejantan sekitar
25–30 ekor untuk seekor pejantan dengan lama penggunaan 2 (dua) tahun. Hal itu
dimaksudkan agar pejantan tidak sempat mengawini anak betinanya sehingga efek
silang (inbreeding) dapat dihindari. Selanjutnya, pejantan ini dapat digunakan pada
peternak lain yang ternak betinanya baik yang dara maupun induk yang sudah jauh
(di atas 6 generasi) tidak ada hubungan kekeluargaanya.
Pengadaan pejantan menjadi tanggung jawab pemerintah. Urusan peternak
adalah memelihara, merawat, dan menggunakan secara baik dan benar selama 2 (dua)
tahun. Setelah dua tahun, pejantan tersebut ditarik pemerintah untuk digulirkan ke
peternak berikut. Selanjutnya, setelah digunakan oleh 2 (dua) peternak, pejantan
ditarik untuk dijual guna membeli pejantan baru yang hubungan kekerabatannya
jauh. Demikian seterusnya. Untuk menghindari inbreeding anak ternak jantan dari
keturunan pejantan yang digulirkan, digemukkan untuk dijadikan ternak potong.

5.7.5. Pengembangan Unggas

Strategi pengembangan unggas dibagi menjadi dua bagian yaitu pengembangan


unggas lokal dan pengembangan ayam ras (ayam pedaging dan petelur). Unggas
lokal adalah ayam buras dan ternak itik. Strategi pengembangan unggas lokal (ayam
buras dan ternak itik) diarahkan pada terbentuknya usaha rakyat yang maju dan
mandiri. Untuk tujuan itu pengusaha dan calon pengusaha harus mendapat
pendampingan intensif disertai dengan pengadaan modal yang mudah dan murah.
Pendampingan teknis dapat dilakukan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
NTB, Disnak Keswan kabupaten/kota, perguruan tinggi serta Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Sedangkan pendampingan permodalan dilakukan Dinas
63

Koperasi, Usaha kecil dan Menengah dan lembaga keuangan mikro.


Pengembangan ayam buras diarahkan pada ayam kampung unggul hasil seleksi
oleh Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, yaitu ayam KUB (Kampung Unggul
Balitnak) serta ayam Arab. Kelebihan kedua jenis ayam ini adalah produksi telurnya
dapat mencapai 60% lebih dibandingkan ayam kampung. Tingginya produksi ini
merupakan modal untuk melipat-gandakan populasi, sehingga keterbatasan produksi
daging asal ayam kampung dapat tertanggulangi.
Bibit ayam KUB bisa didatangkan dari Stasiun Riset di Ciawi Bogor atau dari
BPTP Narmada yang sudah ditunjuk sebagai suplayer untuk NTB. Sedangkan bibit
ayam arab dan itik diambil dari peternak lokal yang ada di sentra peternakan ayam
buras dan itik yang ada sekarang. Beberapa sentra ayam arab di Jawa sudah menjalin
hubungan dengan peternak NTB guna pengembangan perbibitan ternak ini di NTB.
Pada pengembangan unggas lokal (ayam buras dan ternak itik) peternak
diarahkan membentuk kelompok. Setiap kelompok usaha ayam kampung dan ayam
arab agar mendapat pembinaan intensif kalau perlu hingga daerah tersebut
berkembang menjadi Kampung Unggas yang maju dan mandiri. Pada tahap
selanjutnya dikembangkan kelompok usaha ternak itik, di mana peternak berperan
sebagai penghasil telur tetas, penghasil bibit (penetasan), pembuat telur asin
(prosessing), penjual daging itik, telur konsumsi dan telur asin, serta penyedia sarana
produksi. Bentuk pembinaan sama dengan pada kelompok usaha ayam buras yang
mengarah pada terbentuknya kampung unggas berbasis itik.
Komoditi ayam ras (ayam pedaging dan petelur) umumnya sudah relatif mapan
sehingga pengembangannya diserahkan pada dunia usaha.

5.8. Analisis SWOT

Secara garis besar, analisis SWOT pada kajian ini dibagi menjadi tiga bagian
yakni analisis SWOT bagi ternak besar (sapi, kerbau, kuda), ternak kecil (kambing,
domba, babi) dan unggas (ayam buras, ayam pedaging, ayam petelur dan itik), sbb:

1). Analisis SWOT Sapi Bali


64

Analisis SWOT ternak sapi khusus difokuskan ke arah pengembangan sapi Bali
yang dominan dipelihara penduduk, yakni melingkupi sekitar 97,6 persen dari total
populasi ternak sapi di NTB. Analisis SWOT sapi Bali dilakukan dengan
mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap ternak ini, sbb:

Kekuatan:

 Bibit sapi Bali yang diproduksi peternak NTB paling banyak dicari karena
merupakan sapi dengan klasifikasi terbaik di level nasional.
 Fertilitas sapi Bali tinggi dan tahan terhadap depresi inbreeding
 Persentase karkas tinggi dan dagingnya lebih disukai dibandingkan daging spesies
ternak besar lokal lainnya.
 Daya adaptasinya baik terhadap lingkungan, tahan terhadap parasit internal dan
bebas penyakit jembrana.

Kelemahan
 Sifat alami sapi Bali adalah liar dan dapat muncul jika dipelihara di alam bebas.
 Cenderung terjadi penurunan mutu genetik baik karena inbreeding maupun
disebabkan seleksi negatif.
 Persilangannya dengan bangsa sapi jenis lain menghasilkan sapi jantan infertil atau
majir/mandul (F1).
 Angka kematian pedet relatif tinggi.

Peluang
 Permintaan sapi Bali dari luar NTB belum terpenuhi.
 Potensi wilayah NTB masih memungkinkan untuk pengembangan ternak sapi Bali.
 Harga sapi Bali menarik, trend harganya naik terus.
 Kultur masyarakat NTB suka memelihara sapi Bali.
 Daerah pesaing relatif terbatas, bahkan dapat dikatakan tidak ada.

Ancaman
 Angka pencurian ternak relatif tinggi.
 Alih fungsi lahan menyebabkan penyempitan area peternakan.
65

 Ketersediaan pakan pada bulan-bulan tertentu sangat terbatas.


 Impor sapi hidup maupun impor daging.
 Ketersediaan sarana pendukung untuk pemasaran ke luar daerah terbatas.
 Kultur beternak di kalangan anak muda cenderung menurun.

Strategi Pengembangan Sapi Bali

Pengembangan ternak sapi, khususnya sapi Bali di Provinsi NTB merupakan


hal yang dibahas sebagai isu strategis di samping dikaji pula kebijakan dan kegiatan
yang dilakukan. Strategi pengembangan sapi Bali di NTB terurai sbb:

A. Isu Strategis
a. Permintaan bibit sapi Bali asal NTB terus meningkat dan semakin sulit dipenuhi.
b. Standar bobot badan sapi Bali yang diantarpulaukan cenderung menurun.
c. Minat beternak sapi masyarakat NTB tinggi.
d. Pencurian ternak masih merupakan masalah dalam kegiatan beternak.
e. Pemotongan sapi Bali betina produktif masih belum bisa dikendalikan.

B. Kebijakan

a. Perlu perhitungan cermat mengenai perkembangan populasi untuk menata


jumlah pengeluaran, pemotongan, replacement dan lainnya.
b. Perlu pelaksanaan aturan secara konsisten tentang penentuan grade sapi bibit dan
sapi potong secara ketat.
c. Perlu mengedepankan kesesuaian daya dukung dan figur calon penerima dalam
penyaluran bantuan.
d. Penerapan kandang kelompok dengan diperkuat oleh komitmen aparat terkait.
e. Penegakan aturan secara konsisten terhadap pemotongan betina produktif.

C. Kegiatan
a. Pendataan dan registrasi sapi seperti dilakukan di Kabupaten Sumbawa agar
diperluas ke wilayah lain dan dilakukan secara berkesinambungan.
b. Sosialisasi informasi harga sapi bibit (SK Gubernur NTB No 166/2013).
66

c. Penyediaan dan penggunaan pejantan unggul dan teknologi IB untuk menekan


rendahnya angka kebuntingan di kandang kolektif terutama di Pulau Lombok.
d. Penguatan peran kelompok peternak untuk mengakomodir penjualan sapi secara
kolektif.
e. Penggunaan timbangan dalam jual beli sapi untuk menjamin kepastian harga.
f. Seleksi penerima bantuan sapi agar tepat sasaran (kelompok maupun orangnya).
g. Meneruskan bantuan kandang kolektif bagi peternak untuk lebih menjamin
keamanan sapi.
h. Perlu adanya perlakuan khusus di daerah endemik penyakit.
i. Pelatihan petugas dan penyediaan obat dalam jumlah memadai untuk mencegah
penyakit zoonosis.
j. Perlu memberikan peran lebih besar bagi Puskewan untuk mencegah penyebaran
penyakit hewan ke manusia seperti adanya new emerging desease.
k. Pengaturan musim kawin untuk menekan angka kematian pedet dan menghindari
inbreeding.
l. Revitalisasi dan perbanyakan instalasi IB baik sarana (kontainer dan
kelengkapan) maupun prasarananya (kendaraan operasional).
m. Penerapan teknologi agar pakan tetap tersedia sepanjang tahun.
n. Pembatasan pengeluaran pejantan unggul.
o. Peningkatan populasi ternak dilakukan di daerah yang daya dukung lahan dan
pakannya masih potensial.
p. Sosialisasi dan penegakan hukum bagi pelaku pemotongan betina produktif.
q. Pengembangan sektor hilir antara lain dengan merevitalisasi rumah potong
hewan dan pengolahan pasca panen.
r. Inventarisasi dan sertifikasi lahan lar dan so.

2). Analisis SWOT Kerbau

Hasil analisis SWOT terhadap kerbau di NTB tersaji pada uraian berikut:

Kekuatan:
 Kualitas kerbau NTB termasuk ke dalam grade unggul di level nasional.
67

 Bertemperamen jinak.
 Ternak kerbau termasuk ternak multi fungsi.
 Kerbau belang dan karapan harganya lebih mahal dibandingkan kerbau biasa.

Kelemahan
 Peka terhadap keseimbangan kalsium dan fosfor pakan, sehingga terjadi gangguan
perkembangan otak (enchephalo malacia).
 Cenderung terjadi depresi inbreeding dan seleksi negatif.
 Reproduksi berlangsung relatif lama.
 Kelahiran umumnya terjadi pada musim kering sehingga berimplikasi pada
tingginya tingkat kematian pedet.
 Memerlukan ketersediaan air untuk berkubang dan mengatasi cekaman panas.

Peluang
 Permintaan dari luar NTB tinggi.
 Potensi wilayah bagi pengembangannya masih dimungkinkan
 Harganya menarik, trend harganya naik terus
 Kelompok masyarakat tertentu suka memeliharanya

Ancaman
 Ancaman pencurian tinggi
 Ketersediaan pakan di musim kering terbatas
 Alih fungsi lahan lar dan so mengakibatkan areal pengembangannya terus terdesak
 Prasarana pendukung untuk pemasaran terbatas.

Strategi Pengembangan Kerbau

Pengembangan kerbau di NTB terutama difokuskan di Pulau Sumbawa dan


sebagian kecil di Pulau Lombok bagian selatan. Rincian pengembangan kerbau sbb:

A. Isu Strategis
a. Jumlah permintaan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan produksi.
68

b. Angka pencurian ternak kerbau tinggi.


c. Terjadi kecenderungan peternak kerbau beralih mengusahakan sapi.
d. Alih fungsi lahan kawasan lar dan so mengakibatkan lokasi pemeliharaan kerbau
semakin menyusut.

B. Kebijakan
a. Peningkatan populasi dan produksi ternak kerbau.
b. Pengetatan sistem keamanan di wilayah pantai barat pulau Sumbawa.
c. Penguatan dan pembentukan kelompok peternak kerbau.
d. Penentuan kawasan pengembangan agar ternak kerbau tidak terus terdesak.

C. Kegiatan
a. Pengaturan keseimbangan pakan untuk menghindari munculnya penyakit
enchephalo malacia (bara otak).
b. Penyebarluasan informasi strandar harga bibit kerbau (SK Gubernur NTB
No.166/2013) dan kerbau potong.
c. Pendataan populasi secara tepat untuk pengambilan keputusan dan kebijakan.
d. Penguatan fungsi kelompok peternak termasuk untuk mengakomodir penjualan
ternak secara berkelompok.
e. Penyediaan dan penetapan lokasi khusus bagi pemeliharan kerbau dan ternak
besar lain agar habitatnya tidak terus tergusur.
f. Revitalisasi peran Puskeswan
g. Instensifikasi kawin alam dan kawin suntik (IB).
h. Penerapan teknologi pakan perlu dilakukan agar tetap tersedia sepanjang tahun.
i. Pembatasan pengeluaran pejantan unggul.
j. Peningkatan produktivitas ternak melalui perbaikan manajemen perkawinan.

D. Analisis SWOT Kambing/domba

Analisis SWOT kambing dan domba dilakukan dengan mengidentifikasi


kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang melingkupi ternak ini, sebagai berikut:
69

Kekuatan:
 Anak yang dilahirkan lebih dari 1 ekor setiap kelahiran (bersifat polytocus/prolifik)
 Sesuai kondisi alam Indonesia, tahan penyakit
 Mampu hidup dengan memanfaatkan pakan bermutu rendah
 Daging kambing dan domba disukai kalangan tertentu, dikesankan baik untuk

menjaga stamina.

 Bisa menghasilkan susu.


 Pupuk kompos produk kambing lebih disukai bagi penanaman holtikultura.
 Pangsa pasar bagus.

Kelemahan

 Kurang tahan lembab.


 Image yang berkembang adalah daging kambing mengandung kolesterol tinggi.
 Penyakit Malignant Catarrhal Fever (MCF) pada sapi Bali bila domba dipelihara
bersama sapi Bali.
 Bila dipelihara dengan cara dilepas di alam bebas, keberadaannya sulit dikontrol
karena memiliki sifat merusak yang besar.
 Variasi jenis bibit kambing yang tersedia terbatas.

Peluang
 Angka permintaan terhadap kambing/domba di dalam maupun luar negeri (Timur
Tengah) tergolong tinggi.
 Harganya menarik dengan trend terus naik.
 Kebutuhan pakan tidak banyak sehingga bisa dipelihara petani di lahan sempit.
 Modal usaha yang dibutuhkan relatif terjangkau kalangan bawah.

Ancaman
 Ancaman pencurian tinggi
 Ketersediaan pakan di paruh akhir musim kering agak terbatas.
 Kampanye swasembada daging cenderung ditujukan pada sapi dan kerbau saja.
70

 Serangan anjing liar seperti di Pulau Sumbawa masih sering terjadi.

Strategi Pengembangan Kambing dan Domba


Pengembangan kambing dan domba di NTB adalah dengan rincian sbb:

Isu Strategis
a. Permintaan tinggi, jauh melampaui kemampuan penyediaan oleh peternak.
b. Penurunan mutu genetik kambing bermutu unggul seperti kambing Boer dan Ettawa
yang dilepas di masyarakat.
c. Belum ada pemisahan wilayah pemeliharaan domba dan sapi Bali yang bisa
mengakibatkan penyakit ingusan (MCF) yang mematikan pada sapi Bali.
d. Tidak tersedia lahan permanen untuk pengembangan semua jenis ternak, termasuk
untuk kambing dan domba.

Kebijakan
a. Peningkatan populasi dan produktivitas per satuan ternak.
b. Perlu pengadaan dan penyediaan bibit kambing dan domba unggul.
c. Perlu pemisahan zonasi pemeliharaan ternak domba dan sapi.
d. Penetapan kawasan yang bersifat permanen bagi semua ternak.

Kegiatan
a. Penyediaan pejantan unggul dan induk untuk peningkatan angka kelahiran di setiap
kawasan.
b. Pembentukan sentra pembibitan kambing dan domba di wilayah potensial.
c. Perbanyakan sumber pakan kambing dan domba melalui program penanaman
legume pohon.
d. Sistem pemeliharaan kambing menggunakan system kandang panggung
e. Penetapan pemisahan zonasi pemeliharaan ternak domba dan sapi Bali.
f. Penguatan kelembagaan peternak kambing dan domba.
g. Optimalisasi pemanfaatan limbah kambing/domba seperti pembuatan pupuk.
h. Penyelenggaraan kontes kambing dan domba unggul.
i. Peningkatan peran serta ibu dan remaja untuk memelihara kambing.
71

D. Analisis SWOT Unggas (Ayam Buras dan Itik)

Kekuatan:
 Tahan terhadap pola pemeliharaan sederhana.
 Tidak sepenuhnya tergantung pada pakan pabrikan.
 Bahan baku masakan/kuliner tradisional dengan cita rasa produknya khas.
 Pengusahaannya tidak membutuhkan lahan yang luas.

Kelemahan
 Pertumbuhan lambat
 Produktivitas telur rendah
 Tidak tersedia perusahaan pembibitan unggul
 Rentan terhadap flu burung dan penyakit ND (tetelo).
 Kualitas bibit itik/ayam buras yang tersedia relative rendah.

Peluang
 Pasar masih terbuka luas
 Harganya menarik, trend harganya cenderung naik terus.
 Modal untuk pengusahaannya relatif kecil.
 Pengusahaan komoditi ini belum berada di tangan pengusaha besar.

Ancaman
 Masuknya produk unggas dari luar.
 Ketersediaan pakan terbatas.
 Pengaruh gaya hidup, ada kecenderungan anak-anak meninggalkan masakan
berbasis ayam buras dan itik.
 Kehadiran kuliner cepat saji berbahan baku ayam (McDonald, KFC dll.)
 Serangan penyakit ND dan zoonosis pada unggas.

Berdasarkan kekuatan, kelemahan, ancaman, dan peluang yang melingkupi itik


dan ayam buras dapat diuraikan isu dan masalah strategis serta kebijakan dan kegiatan
yang bisa dilakukan untuk menjawab persoalan kedua jenis unggas itu di NTB meliputi:
72

Strategi Pengembangan Ayam dan Itik

Isu strategis:

a. Terjadi kesenjangan besar antara permintaan dan penawaran (daging dan telur)
b. Kualitas dan kuantitas bibit ayam buras dan itik rendah sehingga produktivitasnya
rendah.
c. Rumah potong ayam (RPA) belum ada, dan higienitas tempat pemotongan ayam
(TPA) dan itik sangat rendah.
d. Serangan penyakit ND dan zoonosis yang tinggi pada unggas.

Kebijakan:
a. Penciptaan iklim usaha yang lebih kondusif agar lebih banyak pelaku terlibat.
b. Penciptaan dan penyediaan bibit unggul ayam buras dan itik antara lain dengan
mendorong lebih banyak berdirinya kampung unggas.
c. Perbaikan penanganan masalah pakan.
d. Penanganan masalah pemotongan
e. Penanganan masalah kesehatan hewan.

Kegiatan:
a. Penyediaan paket kredit dan atau bantuan khusus untuk usaha perunggasan.
b. Spesialisasi dalam bidang usaha perunggasan.
c. Penyatuan berbagai jenis kegiatan usaha perunggasan dalam suatu wilayah terpadu
yang disebut sebagai kampung unggas.
d. Pembentukan sentra pembibitan.
e. Perbanyakan sentra pengembangan ayam Kampung Unggul Balitnak (KUB)
f. Pendirian RPA di tempat strategis serta TPA yang lebih higienis.
g. Pelatihan tenaga operasional RPA dan TPA untuk menghasilkan daging halal dan
higienis.
h. Pengadaan vaksin ND dan AI yang memadai.

Pengembangan ayam broiler dan ayam petelur diserahkan ke kalangan dunia


usaha. Pemerintah sebaiknya berfungsi sebagai pembina pada sektor hilir (pemotongan
73

terutama yang berskala rumah tangga) guna menghindari pencemaran lingkungan,


sehingga dalam studi ini analisis SWOT ayam broiler dan ayam petelur diabaikan.
Adapun peta lokasi pilot proyek rencana pengembangan kawasan peternakan
Provinsi NTB tertera pada Gambar 5.10. Rencana pengembangan tersebut dibuatkan
beberapa pertimbangan teknis.

Kuda Sapi Kerbau Kambing Domba

Ayam buras Itik Ayam petelur Ayam potong

Gambar 5.10.: Lokasi pilot proyek komoditas ternak di NTB sesuai hasil kajian.
74

BAB VI. KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan

Kesimpulan Masterplan Kawasan Pengembangan Peternakan NTB ini merujuk


pada ketersediaan dan potensi lahan serta sumberdaya lain yang dimiliki masing-
masing kabupaten/kota di NTB, dengan rincian kesimpulan sbb:

6.1.1. Berdasarkan hasil analisis overlay sapi prospektif dikembangkan di Kabupaten


Bima dan Lombok Utara. Ternak kerbau prospektif dikembangkan di
Kabupaten Sumbawa dan Bima. Kuda juga potensial dikembangkan di
Kabupaten Sumbawa. Ternak kecil seperti kambing potensial dikembangkan di
Lombok Utara, Kabupaten Bima, Sumbawa, Mataram dan Dompu. Domba
tidak memiliki daerah spesifik bagi pengembangannya.
6.1.2. Berdasarkan analisis ketersediaan pakan dan daya dukung lahan bagi ternak
pemakan rumput (meliputi sapi, kerbau, kuda, kambing, dan domba), potensi
pengembangan terbesar Provinsi NTB adalah di Kabupaten Sumbawa dengan
daya tampung potensial 146.745 unit ternak (UT). Sebaran wilayah potensial
bagi herbivora di Sumbawa meliputi Kecamatan Labangka, Lenangguar,
Lunyuk, Rhee, Plampang, Alas Barat, Batu Lanteh, Alas, Buer dan Ropang.
Selanjutnya adalah Kabupaten Bima dengan daya tampung potensial 122.090
UT berlokasi di Kecamatan Wera, Sanggar, Langgudu, Tambora, Sape,
Palibelo, Wawo, Lambitu, Belo dan Parado. Wilayah potensial lain adalah
KLU dengan daya tampung 4.407 UT terfokus di Kecamatan Bayan; serta Kota
Mataram dengan daya tampung potensial 1.528 UT, meliputi wilayah
Sandubaya, Mataram, Sekarbela, Selaparang, dan Cakranegara. Sebaliknya
wilayah NTB yang kelebihan daya tampung ternak herbivora berturut-turut
adalah Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa Barat, Kota
Bima dan Kabupaten Dompu.
6.1.3. Merujuk pada hasil analisis LQ, wilayah potensial bagi pengembangan sapi di
NTB berturut-turut di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok
Utara, dan Kabupaten Bima. Kerbau di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat,
75

Dompu dan Bima. Kuda di Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu dan
Bima. Kambing di Kabupaten Bima, Dompu, Lombok Utara dan Sumbawa
Barat. Domba di Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Lombok Timur dan
Sumbawa. Ayam Buras di Kabupaten Lombok Utara, Sumbawa Barat, Kota
Bima, Sumbawa, Dompu, Mataram, Lombok Barat, Bima. Ayam pedaging di
Kabupaten Lombok Barat, Mataram, Lombok Utara. Ayam petelur di Kota
Bima dan Kabupaten Lombok Tengah. Itik di Kabupaten Lombok Timur,
Mataram, Dompu, Lombok Tengah, Kota Bima

6.2. Saran

6.2.1. Strategi pengembangan ternak sebagaimana terurai dalam pembahasan


penelitian ini dalam penjabarannya tidak sepenuhnya harus dilakukan secara
kaku dan mengikat karena daya dukung bagi pengembangan sesuatu jenis
ternak bisa diperbaiki misalnya dengan memperbaikan pola penanganan jumlah
dan mutu pakan.

6.2.2. Strategi pengembangan kawasan peternakan dilakukan secara bertahap yang


didahului dengan pengembangan model peternakan yang efisien,
berprodukitivitas tinggi dan ramah lingkungan. Best bet model tersebut
selanjutnya dapat diimplementasikan ke kabupaten dan kota lain di NTB.

6.2.3. Pengembangan ternak herbivora di Kota Mataram (dan juga Kota Bima) agar
memperhatikan aspek kecepatan pertumbuhan alih fungsi lahan karena daerah
ini selain menjadi ibukota Kota Mataram juga sekaligus merupakan ibukota
Provinsi NTB.
76

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Daya dukung wilayah Kabupaten Lombok Utara.


Lampiran .1. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten
Lombok Utara.
Ketersediaan Populasi Kebutuhan Selisih
No Kecamatan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun ton/th UT
1 Pemenang 3,205.80 3,485.70 6,691.50 8,515.44 19,425.84 -12,734.35 -5,582.18
2 Tanjung 5,037.62 5,079.00 10,116.62 10,584.64 24,146.20 -14,029.58 -6,149.96
3 Gangga 6,509.33 10,655.40 17,164.73 9,926.72 22,645.34 -5,480.61 -2,402.46
4 Kayangan 11,652.45 5,620.80 17,273.25 15,791.49 36,024.34 -18,751.09 -8,219.65
5 Bayan 32,310.73 79,850.85 112,161.58 22,405.29 51,112.07 61,049.51 26,761.43
6 KLU 58,715.93 104,691.75 163,407.68 67,223.58 153,353.79 10,053.89 4,407.18

Lampiran.2. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Utara.
Hijauan Limbah
Ketersediaan Kebutuhan Selisih (ton
Bln alam (ton pertanian Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) BK)
BK) (ton BK)
Jan 8,724.31 326.63 9,050.95 67,223.58 13,024.57 -3,973.62 -20,509.02
Feb 8,724.31 731.87 9,456.18 67,223.58 11,764.13 -2,307.95 -12,733.50
Mar 8,724.31 7,356.80 16,081.11 67,223.58 13,024.57 3,056.54 15,775.70
Apr 8,724.31 19,565.94 28,290.26 67,223.58 12,604.42 15,685.84 83,657.79
Mei 8,724.31 9,027.25 17,751.56 67,223.58 13,024.57 4,726.99 24,397.38
Jun 8,724.31 - 8,724.31 67,223.58 12,604.42 -3,880.11 -20,693.91
Jul 8,724.31 756.47 9,480.78 67,223.58 13,024.57 -3,543.79 -18,290.51
Agst 8,724.31 11,458.40 20,182.71 67,223.58 13,024.57 7,158.14 36,945.26
Sept 8,724.31 - 8,724.31 67,223.58 12,604.42 -3,880.11 -20,693.91
Okt 8,724.31 - 8,724.31 67,223.58 13,024.57 -4,300.26 -22,194.87
Nop 8,724.31 689.90 9,414.21 67,223.58 12,604.42 -3,190.21 -17,014.44
Des 8,724.31 8,802.66 17,526.98 67,223.58 13,024.57 4,502.41 23,238.24
Jml 104,691.75 58,715.93 163,407.68 67,223.58 153,353.79 10,053.89 4,407.18
77

Daya dukung wilayah Kota Mataram.

Lampiran 3. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) wilayah Kota
Mataram.

Ketersediaan Populasi Selisih


No Kecamatan Kebutuhan
UT ton/tahun UT
Limbah Hijauan Total
1 Ampenan 600.05 145.70 745.76 496.88 1,133.51 -387.75 -169.97
2 Sekarbela 1,711.92 269.25 1,981.17 587.07 1,339.25 641.92 281.39
3 Mataram 1,254.42 268.20 1,522.62 248.20 566.21 956.41 419.25
4 Selaparang 848.66 178.43 1,027.08 215.09 490.68 536.40 235.14
5 Cakranegara 712.03 141.51 853.54 197.11 449.65 403.89 177.05
6 Sandubaya 2,044.99 383.95 2,428.93 478.74 1,092.13 1,336.80 585.99
Kota Mataram 7,172.07 1,387.04 8,559.11 2,223.09 5,071.43 3,487.68 1,528.84

Lampiran 4. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan wilayah Kota
Mataram.
Limbah
Hijauan alam Ketersediaan Ternak Kebutuhan Selisih Selisih
Bln pertanian
(ton BK) (ton BK) (UT) (ton BK) (ton BK) (UT)
(ton BK)
Jan 115.59 - 115.59 2,223.09 430.72 -315.14 -1,626.52
Feb 115.59 12.05 127.63 2,223.09 389.04 -261.41 -1,442.26
Mar 115.59 220.83 336.41 2,223.09 430.72 -94.31 -486.77
Apr 115.59 311.35 426.94 2,223.09 416.83 10.11 53.90
Mei 115.59 375.87 491.46 2,223.09 430.72 60.73 313.46
Jun 115.59 109.27 224.85 2,223.09 416.83 -191.98 -1,023.88
Jul 115.59 356.42 472.01 2,223.09 430.72 41.28 213.08
Agst 115.59 423.86 539.45 2,223.09 430.72 108.73 561.17
Sept 115.59 157.99 273.58 2,223.09 416.83 -143.25 -764.02
Okt 115.59 75.21 190.80 2,223.09 430.72 -239.93 -1,238.34
Nop 115.59 565.71 681.30 2,223.09 416.83 264.47 1,410.49
Des 115.59 370.81 486.39 2,223.09 430.72 55.67 287.32
Jumlah 1,387.04 2,979.36 4,366.40 2,223.09 5,071.43 -705.03 -309.06
78

Daya Dukung Wilayah Kabupaten Lombok Barat

Lampiran. 5. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten
Lombok Barat.
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT
1 GunungSari 4,296.53 3,302.70 7,599.23 6,726.85 15,345.63 -7,746.39 -3,395.68
2 Batu Layar 1,402.10 3,178.80 4,580.90 4,519.66 10,310.48 -5,729.58 -2,511.60
3 Lingsar 7,336.43 1,530.15 8,866.58 6,482.05 14,787.19 -5,920.60 -2,595.33
4 Narmada 8,633.48 2,472.15 11,105.63 6,129.62 13,983.20 -2,877.57 -1,261.40
5 Labuapi 6,378.98 4,039.50 10,418.48 1,447.10 3,301.19 7,117.29 3,119.91
6 Kediri 6,042.77 7,940.70 13,983.47 2,339.31 5,336.55 8,646.92 3,790.43
7 Kuripan 5,370.89 9,272.70 14,643.59 2,350.81 5,362.78 9,280.81 4,068.30
8 Gerung 14,867.46 6,745.65 21,613.11 11,376.53 25,952.70 -4,339.60 -1,902.29
9 Lembar 10,304.84 3,532.05 13,836.89 20,231.84 46,153.88 -32,316.99 -14,166.35
10 Sekotong 17,382.89 25,015.80 42,398.69 19,829.04 45,235.01 -2,836.31 -1,243.32
Kab. Lobar 82,016.36 67,030.20 149,046.56 81,432.81 185,768.59 -36,722.03 -16,097.33

Lampiran 6. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Barat.
Hijauan Limbah Ketersedia
Ternak Kebutuhan Selisih (ton Selisih
Bulan alam (ton pertanian an (ton
(UT) (ton BK) BK) (UT)
BK) (ton BK) BK)
Jan 5,585.85 1,515.23 7,101.08 81,432.81 5,777.61 -8,676.52 -44,782.05
Feb 5,585.85 2,737.34 8,323.19 81,432.81 14,250.74 -5,927.56 -33,871.75
Mar 5,585.85 23,180.88 28,766.73 81,432.81 15,777.61 12,989.12 67,040.64
Apr 5,585.85 11,312.19 16,898.04 81,432.81 15,268.65 1,629.39 8,690.10
Mei 5,585.85 1,524.51 7,110.36 81,432.81 15,777.61 -8,667.25 -44,734.18
Jun 5,585.85 1,161.91 6,747.76 81,432.81 15,268.65 -8,520.89 -45,444.73
Jul 5,585.85 12,698.69 18,284.54 81,432.81 15,777.61 2,506.94 12,939.03
Agst 5,585.85 9,116.51 14,702.36 81,432.81 15,777.61 -1,075.24 -5,549.64
Sept 5,585.85 1,147.40 6,733.25 81,432.81 15,268.65 -8,535.40 -45,522.13
Okt 5,585.85 6,862.12 12,447.97 81,432.81 15,777.61 -3,329.64 -17,185.22
Nop 5,585.85 9,408.36 14,994.21 81,432.81 15,268.65 -274.44 -1,463.69
Des 5,585.85 1,351.20 6,937.05 81,432.81 15,777.61 -8,840.56 -45,628.67
Jumlah 67,030.20 82,016.36 149,046.56 81,432.81 185,768.59 -36,722.03 -16,097.33
79

Daya dukung wilayang di Kabupaten Lombok Tengah

Lampiran 7. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kabupaten
Lombok Tengah.
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT
1 Praya Barat 20,193.99 19,974.90 40,168.89 16,918.75 38,595.91 1,572.98 689.53
2 Praya Barat Daya 22,708.02 16,083.75 38,791.77 13,679.75 31,206.93 7,584.84 3,324.86
3 Pujut 20,134.06 31,139.25 51,273.31 32,519.34 74,184.75 -22,911.44 -10,043.37
4 Praya Timur 11,606.62 7,729.80 19,336.42 5,461.57 12,459.20 6,877.21 3,014.67
5 Janapria 8,856.59 6,440.10 15,296.69 8,940.61 20,395.76 -5,099.07 -2,235.21
6 Kopang 9,444.09 7,640.55 17,084.64 8,505.78 19,403.81 -2,319.17 -1,016.62
7 Praya 8,591.95 6,639.15 15,231.10 5,630.22 12,843.95 2,387.15 1,046.42
8 Praya Tengah 11,453.86 6,447.45 17,901.31 11,728.19 26,754.93 -8,853.61 -3,881.04
9 Jonggat 17,610.57 8,915.55 26,526.12 13,663.56 31,169.99 -4,643.87 -2,035.67
10 Pringgarata 11,787.14 6,462.75 18,249.89 8,474.14 19,331.63 -1,081.74 -474.19
11 Batukliang 7,338.38 6,051.75 13,390.13 7,585.20 17,303.73 -3,913.60 -1,715.55
12 Batukliang Utara 5,794.00 27,757.35 33,551.35 9,469.50 21,602.31 11,949.05 5,237.94
13 Lombok Tengah 155,519.27 151,282.35 306,801.62 142,576.62 325,252.90 -18,451.28 -8,088.23

Lampiran 8. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten


Lombok Tengah.
Hijauan Limbah
Ketersediaan Ternak Kebutuhan Selisih (ton Selisih
Bulan alam (ton pertanian
(ton BK) (UT) (ton BK) BK) (UT)
BK) (ton BK)
Jan 12,606.86 0.00 12,606.86 142,576.62 7,624.22 -15,017.36 -77,508.94
Feb 12,606.86 303.53 12,910.40 142,576.62 24,950.91 -12,040.51 -66,430.41
Mar 12,606.86 17,051.04 29,657.90 142,576.62 27,624.22 2,033.68 10,496.42
Apr 12,606.86 4,717.01 17,323.87 142,576.62 26,733.12 -9,409.25 -50,182.64
Mei 12,606.86 4,302.70 16,909.56 142,576.62 27,624.22 -10,714.66 -55,301.45
Jun 12,606.86 349.88 12,956.74 142,576.62 26,733.12 -13,776.38 -73,474.01
Jul 12,606.86 4,082.82 16,689.68 142,576.62 27,624.22 -10,934.54 -56,436.31
Agst 12,606.86 4,026.12 16,632.98 142,576.62 27,624.22 -10,991.24 -56,728.96
Sept 12,606.86 3,790.47 16,397.33 142,576.62 26,733.12 -10,335.78 -55,124.18
Okt 12,606.86 8,418.20 21,025.07 142,576.62 27,624.22 -6,599.15 -34,060.14
Nop 12,606.86 22,846.55 35,453.41 142,576.62 26,733.12 8,720.30 46,508.25
Des 12,606.86 3,103.33 15,710.19 142,576.62 27,624.22 -11,914.03 -61,491.76
Jumlah 151,282.35 72,991.65 224,274.00 142,576.62 325,252.90 -100,978.91 -44,264.73
80

Daya dukung Kawasan Kabupaten Lombok Timur

Lampiran 9. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) Kabupaten
Lombok Timur
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT
1 Keruak 2,912.76 2,658.15 5,570.91 2,105.64 4,803.49 767.42 336.41
2 Jeroaru 6,739.11 15,470.55 22,209.66 4,998.80 11,403.51 10,806.15 4,736.94
3 Sakra 3,355.25 1,641.00 4,996.25 2,434.15 5,552.90 -556.65 -244.01
4 Sakra Barat 7,055.00 2,197.20 9,252.20 3,156.84 7,201.54 2,050.67 898.92
5 Sakra Timur 4,362.54 2,499.15 6,861.69 1,453.57 3,315.95 3,545.74 1,554.30
6 Terara 5,177.43 2,787.75 7,965.18 7,126.08 16,256.37 -8,291.19 -3,634.50
7 MontongGading 5,058.09 1,615.20 6,673.29 5,399.83 12,318.36 -5,645.07 -2,474.55
8 Sikur 5,040.75 2,292.00 7,332.75 5,562.27 12,688.93 -5,356.18 -2,347.91
9 Masbagik 5,061.48 1,752.30 6,813.78 5,642.08 12,871.00 -6,057.22 -2,655.22
10 Pringgasela 3,766.83 4,203.15 7,969.98 11,197.21 25,543.63 -17,573.65 -7,703.52
11 Sukamulia 1,703.28 743.25 2,446.53 760.08 1,733.93 712.61 312.37
12 Suralaga 3,855.74 1,661.85 5,517.59 3,647.08 8,319.91 -2,802.32 -1,228.41
13 Selong 2,979.63 1,993.35 4,972.98 3,721.81 8,490.38 -3,517.39 -1,541.87
14 Labuhan Haji 7,610.79 2,338.95 9,949.74 5,615.30 12,809.91 -2,860.17 -1,253.77
15 Pringgabaya 21,019.38 6,951.75 27,971.13 6,216.91 14,182.33 13,788.80 6,044.40
16 Suela 14,240.77 7,445.85 21,686.62 6,446.81 14,706.79 6,979.83 3,059.65
17 Aikmel 21,750.46 4,397.40 26,147.86 13,139.05 29,973.46 -3,825.60 -1,676.97
18 Wanasaba 13,257.56 3,006.45 16,264.01 6,636.94 15,140.52 1,123.49 492.49
19 Sembalun 2,496.20 7,772.10 10,268.30 6,130.96 13,986.26 -3,717.96 -1,629.79
20 Sambelia 14,169.96 7,063.95 21,233.91 8,939.45 20,393.12 840.80 368.57
Kab. Lotim 151,613.02 80,491.35 232,104.37 110,330.86 251,692.27 -19,587.89 -8,586.47

Lampiran 10. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan Kab. Lombok Timur
Limbah
Hijauan alam Ketersediaan Ternak Kebutuhan Selisih Selisih
Bln pertanian
(ton BK) (ton BK) (UT) (ton BK) (ton BK) (UT)
(ton BK)
Jan 6,707.61 - 6,707.61 110,330.86 21,376.60 -14,668.99 -75,710.92
Feb 6,707.61 758.84 7,466.45 110,330.86 19,307.90 -11,841.45 -65,332.15
Mar 6,707.61 33,780.47 40,488.08 110,330.86 21,376.60 19,111.48 98,639.89
Apr 6,707.61 37,127.60 43,835.21 110,330.86 20,687.04 23,148.18 123,456.95
Mei 6,707.61 26,572.35 33,279.96 110,330.86 21,376.60 11,903.36 61,436.67
Jun 6,707.61 2,083.08 8,790.70 110,330.86 20,687.04 -11,896.34 -63,447.15
Jul 6,707.61 10,628.27 17,335.88 110,330.86 21,376.60 -4,040.72 -20,855.34
Agst 6,707.61 3,444.44 20,152.05 110,330.86 1,376.60 -1,224.55 -6,320.26
Sept 6,707.61 3,239.73 9,947.34 110,330.86 20,687.04 -10,739.69 -57,278.36
Okt 6,707.61 618.62 7,326.23 110,330.86 21,376.60 -14,050.37 -72,518.04
Nop 6,707.61 4,262.12 20,969.73 110,330.86 20,687.04 282.70 1,507.72
Des 6,707.61 7,927.64 14,635.25 110,330.86 21,376.60 -6,741.35 -34,794.08
Jml 80,491.35 150,443.15 230,934.50 110,330.86 251,692.27 -20,757.76 -9,099.29
81

Daya dukung lahan untuk hewan ruminansia di Kabupaten Sumbawa Barat

Lampiran 11. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di
Kabupaten Sumbawa Barat.
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT
1 Sekongkang 1,348.81 7,550.70 8,899.51 3,515.19 8,019.03 880.48 385.96
2 Jereweh 1,737.30 14,553.00 16,290.30 7,827.00 17,855.35 -1,565.05 -686.05
3 Maluk 521.76 1,489.95 2,011.71 2,450.31 5,589.76 -3,578.05 -1,568.46
4 Taliwang 9,229.76 6,341.40 15,571.16 12,336.19 28,141.92 -12,570.76 -5,510.47
5 Brang Ene 1,709.57 1,980.60 3,690.17 3,906.93 8,912.68 -5,222.51 -2,289.32
6 Brang Rea 5,844.34 9,353.10 15,197.44 5,970.03 13,619.14 1,578.30 691.86
7 Seteluk 10,327.05 13,858.05 24,185.10 14,465.53 32,999.48 -8,814.38 -3,863.84
22,069.8
8 Poto Tano 3,955.00 44,425.50 48,380.50 11,533.46 26,310.70 9,674.43
0
KSB 34,673.60 99,552.30 134,225.90 62,004.64 141,448.07 -7,222.17 -3,165.88

Lampiran 12. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten
Sumbawa Barat
Hijauan Limbah Ketersedia
Ternak Kebutuhan Selisih Selisih
Bln alam (ton pertanian an (ton
(UT) (ton BK) (ton BK) (UT)
BK) (ton BK) BK)
Jan 8,296.03 - 8,296.03 62,004.64 12,013.40 -3,717.37 -19,186.44
Feb 8,296.03 1,204.50 9,500.53 62,004.64 10,850.81 -1,350.29 -7,449.85
Mar 8,296.03 8,057.83 16,353.86 62,004.64 12,013.40 4,340.46 22,402.37
Apr 8,296.03 10,328.53 18,624.56 62,004.64 11,625.87 6,998.69 37,326.35
Mei 8,296.03 3,906.47 12,202.50 62,004.64 12,013.40 189.10 976.00
Jun 8,296.03 895.52 9,191.55 62,004.64 11,625.87 -2,434.32 -12,983.04
Jul 8,296.03 921.41 9,217.44 62,004.64 12,013.40 -2,795.96 -14,430.78
Agst 8,296.03 3,009.33 11,305.35 62,004.64 12,013.40 -708.05 -3,654.44
Sept 8,296.03 1,680.95 9,976.97 62,004.64 11,625.87 -1,648.90 -8,794.12
Okt 8,296.03 347.73 8,643.75 62,004.64 12,013.40 -3,369.65 -17,391.72
Nop 8,296.03 1,739.72 10,035.74 62,004.64 11,625.87 -1,590.13 -8,480.67
Des 8,296.03 2,581.61 10,877.63 62,004.64 12,013.40 -1,135.77 -5,862.01
Jumlah 99,552.30 34,673.60 134,225.90 62,004.64 141,448.07 -7,222.17 -3,165.88
82

Daya dukung wilayah Kabupaten Sumbawa (ton BK)


Lampiran 13. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan di Kab Sumbawa
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT
1 Lunyuk 11,721.46 79,395.30 91,116.76 11,662.15 26,604.29 64,512.47 28,279.44
2 Orong Telu 2,153.84 9,378.60 11,532.44 5,236.15 11,944.97 -412.53 -180.84
3 Alas 4,349.87 13,765.35 18,115.22 3,095.27 7,061.08 11,054.15 4,845.65
4 Alas Barat 6,295.44 31,469.70 37,765.14 5,639.23 12,864.50 24,900.64 10,915.35
5 Buer 2,954.17 11,901.75 14,855.92 3,488.18 7,957.40 6,898.52 3,024.01
6 Utan 7,554.41 16,421.85 23,976.26 11,791.71 26,899.83 -2,923.57 -1,281.57
7 Rhee 2,348.01 37,292.81 39,640.82 4,058.73 9,258.97 30,381.85 13,318.07
8 Batulanteh 4,352.73 28,222.80 32,575.53 4,180.83 9,537.51 23,038.02 10,098.86
9 Sumbawa 2,959.03 5,862.21 8,821.24 5,238.51 11,950.35 -3,129.11 -1,371.66
10 Labuhan Badas 6,003.88 847.08 6,850.96 9,502.55 21,677.70 -14,826.74 -6,499.39
11 Unter Iwes 5,354.18 13,170.29 18,524.46 8,201.41 18,709.47 -185.01 -81.10
12 Moyo Hilir 15,661.43 18,562.95 34,224.38 21,715.31 49,538.04 -15,313.67 -6,712.84
13 Moyo Utara 4,183.90 4,688.40 8,872.30 10,426.35 23,785.10 -14,912.80 -6,537.12
14 Moyo Hulu 9,801.61 43,788.98 53,590.59 24,507.64 55,908.05 -2,317.46 -1,015.87
15 Ropang 9,909.06 4,268.18 14,177.23 6,023.94 13,742.11 435.12 190.74
16 Lenangguar - 85,541.10 85,541.10 7,133.01 16,272.18 69,268.92 30,364.46
17 Lantung - 168.75 168.75 3,013.51 6,874.57 -6,705.82 -2,939.54
18 Lape 9,565.06 171.90 9,736.96 9,112.44 20,787.76 -11,050.80 -4,844.18
19 Lopok 9,548.56 15,885.75 25,434.31 16,634.28 37,946.95 -12,512.65 -5,485.00
20 Plampang 18,344.81 43,878.30 62,223.11 16,251.82 37,074.46 25,148.65 11,024.07
21 Labangka 38,440.59 80,335.80 118,776.39 6,425.97 14,659.24 104,117.16 45,640.40
22 Maronge 6,087.90 3,875.85 9,963.75 7,264.46 16,572.05 -6,608.30 -2,896.79
23 Empang 14,076.42 2,448.75 16,525.17 19,066.34 43,495.08 -26,969.91 -11,822.43
24 Tanaro 4,529.93 13,921.65 18,451.58 12,174.03 27,772.01 -9,320.43 -4,085.67
Kab. Sumbawa 196,196.29 667,460.10 863,656.39 231,843.80 528,893.68 334,762.71 146,745.30

Lampiran 14. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kab. Sumbawa
Hijauan alam Limbah pertan Ketersediaan Kebutuhan Selisih
Bln Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) (ton BK) (ton BK) (ton BK)
Jan 55,621.68 - 55,621.68 231,843.80 44,919.74 10,701.94 55,235.81
Feb 55,621.68 - 55,621.68 231,843.80 40,572.67 15,049.01 83,029.02
Mar 55,621.68 25,882.85 81,504.53 231,843.80 44,919.74 36,584.79 188,824.71
Apr 55,621.68 95,853.33 151,475.00 231,843.80 43,470.71 108,004.29 576,022.86
Mei 55,621.68 135,798.30 191,419.97 231,843.80 44,919.74 146,500.24 756,130.26
Jun 55,621.68 152,011.68 207,633.35 231,843.80 43,470.71 164,162.64 875,534.07
Jul 55,621.68 3,007.13 58,628.81 231,843.80 44,919.74 13,709.07 70,756.48
Agst 55,621.68 13,768.36 69,390.04 231,843.80 44,919.74 24,470.30 126,298.32
Sept 55,621.68 9,536.08 65,157.76 231,843.80 43,470.71 21,687.04 115,664.22
Okt 55,621.68 2,665.50 58,287.17 231,843.80 44,919.74 13,367.44 68,993.22
Nop 55,621.68 9,156.48 64,778.15 231,843.80 43,470.71 21,307.44 113,639.67
Des 55,621.68 14,132.93 69,754.61 231,843.80 44,919.74 24,834.87 128,179.97
Jumlah 667,460.10 461,812.63 1,129,272.73 231,843.80 528,893.68 600,379.05 263,179.86
83

Ketersediaan pakan di Kabupaten Dompu


Lampiran 15. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di
Kabupaten Dompu.
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan UT Kebutuhan
Limbah Hijauan Total ton/tahun UT

1 Hu'u 5,845.85 12,372.90 18,218.75 5,046.22 11,511.70 6,707.06 2,940.08


2 Pajo 4,951.51 13,483.50 18,435.01 4,718.22 10,763.43 7,671.58 3,362.88
3 Dompu 12,523.49 22,846.80 35,370.29 12,136.69 27,686.82 7,683.48 3,368.10
4 Woja 12,312.42 22,933.65 35,246.07 15,060.56 34,356.90 889.17 389.77
5 Kilo 2,558.17 27,387.30 29,945.47 9,249.03 21,099.35 8,846.11 3,877.75
6 Kempo 4,766.63 43,183.35 47,949.98 28,579.83 65,197.74 -17,247.76 -7,560.66
7 Manggalewa 8,657.69 23,071.65 31,729.34 13,951.42 31,826.68 -97.34 -42.67
8 Pekat 8,385.99 27,800.70 36,186.69 23,672.76 54,003.48 -17,816.79 -7,810.10
Kab.Dompu 60,001.76 193,079.85 253,081.61 112,414.73 256,446.11 -3,364.50 -1,474.85

Lampiran 16. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten
Dompu.
Hijauan Limbah
Ketersediaan Kebutuhan Selisih (ton
Bln alam (ton pertanian Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) BK)
BK) (ton BK)

Jan 16,089.99 - 16,089.99 112,414.73 21,780.35 -5,690.37 -29,369.64


Feb 16,089.99 3,167.84 19,257.82 112,414.73 19,672.58 -414.76 -2,288.31
Mar 16,089.99 9,033.70 25,123.68 112,414.73 21,780.35 3,343.33 17,255.89
Apr 16,089.99 15,869.23 31,959.22 112,414.73 21,077.76 10,881.46 58,034.43
Mei 16,089.99 11,892.13 27,982.12 112,414.73 21,780.35 6,201.76 32,009.09
Jun 16,089.99 4,678.23 20,768.22 112,414.73 21,077.76 -309.55 -1,650.92
Jul 16,089.99 3,009.30 19,099.29 112,414.73 21,780.35 -2,681.07 -13,837.76
Agst 16,089.99 4,654.49 20,744.48 112,414.73 21,780.35 -1,035.88 -5,346.47
Sept 16,089.99 882.02 16,972.01 112,414.73 21,077.76 -4,105.75 -21,897.36
Okt 16,089.99 15.41 16,105.40 112,414.73 21,780.35 -5,674.95 -29,290.09
Nop 16,089.99 3,831.89 19,921.87 112,414.73 21,077.76 -1,155.89 -6,164.75
Des 16,089.99 2,967.54 19,057.53 112,414.73 21,780.35 -2,722.83 -14,053.30
Jumlah 193,079.85 60,001.76 253,081.61 112,414.73 256,446.11 -3,364.50 -1,474.85
84

Daya dukung lahan di Kabupaten Bima


Lampiran 17. Populasi ternak herbivora (UT) & ketersediaan pakan (ton BK) di Kab.
Bima.
Ketersediaan Populasi Selisih
No Kecamatan Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT

1 Monta 13,814.04 12,232.95 26,046.99 8,213.44 18,736.92 7,310.07 3,204.41


2 Parado 2,337.29 6,208.05 8,545.34 2,979.32 6,796.57 1,748.77 766.58
3 Bolo 10,528.51 1,865.55 12,394.06 9,131.82 20,831.96 -8,437.91 -3,698.81
4 Mada Pangga 15,031.08 6,193.35 21,224.43 12,735.08 29,051.90 -7,827.48 -3,431.22
5 Woha 7,463.13 3,089.55 10,552.68 4,811.15 10,975.43 -422.74 -185.31
6 Belo 3,428.95 14,993.10 18,422.05 7,274.84 16,595.72 1,826.32 800.58
7 Palibelo 7,474.46 13,719.30 21,193.76 4,345.36 9,912.84 11,280.92 4,945.06
8 Langgudu 7,056.81 50,003.10 57,059.91 8,309.80 18,956.73 38,103.17 16,702.76
9 Wawo 11,809.73 17,531.10 29,340.83 9,238.09 21,074.40 8,266.43 3,623.64
10 Lambitu 1,464.29 9,195.75 10,660.04 2,836.99 6,471.89 4,188.15 1,835.90
11 Sape 5,500.57 39,989.40 45,489.97 13,205.54 30,125.13 15,364.84 6,735.27
12 Lambu 12,658.55 6,948.45 19,607.00 9,721.51 22,177.20 -2,570.21 -1,126.67
13 Wera 8,805.63 193,549.35 202,354.98 17,618.77 40,192.81 162,162.17 71,084.79
14 Ambalawi 3,990.85 6,756.90 10,747.75 10,379.53 23,678.30 -12,930.55 -5,668.18
15 Donggo 14,510.77 6,794.25 21,305.02 9,805.98 22,369.89 -1,064.87 -466.79
16 Soromandi 1,943.26 9,194.40 11,137.66 16,785.29 38,291.43 -27,153.77 -11,903.02
17 Sanggar 5,377.24 99,764.10 105,141.34 14,757.35 33,665.21 71,476.13 31,332.00
18 Tambora 8,442.61 26,111.85 34,554.46 7,607.62 17,354.88 17,199.59 7,539.54
Kab. Bima 141,637.77 524,140.50 665,778.27 169,757.48 387,259.24 278,519.03 122,090.53

Lampiran 18. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kabupaten Bima
Hijauan alam Limbah pertan Ketersediaan Kebutuhan Selisih (ton
Bln Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) (ton BK) (ton BK) BK)
Jan 43,678.38 - 43,678.38 169,757.48 32,890.51 10,787.86 55,679.30
Feb 43,678.38 - 43,678.38 169,757.48 29,707.56 13,970.82 77,080.37
Mar 43,678.38 18,074.84 61,753.22 169,757.48 32,890.51 28,862.71 148,968.81
Apr 43,678.38 31,065.34 74,743.72 169,757.48 31,829.53 42,914.19 228,875.69
Mei 43,678.38 31,805.25 75,483.62 169,757.48 32,890.51 42,593.11 219,835.41
Jun 43,678.38 11,224.27 54,902.65 169,757.48 31,829.53 23,073.12 123,056.64
Jul 43,678.38 2,799.13 46,477.51 169,757.48 32,890.51 13,587.00 70,126.43
Agst 43,678.38 13,932.21 57,610.59 169,757.48 32,890.51 24,720.08 127,587.50
Sept 43,678.38 7,127.76 50,806.14 169,757.48 31,829.53 18,976.61 101,208.59
Okt 43,678.38 - 43,678.38 169,757.48 32,890.51 10,787.86 55,679.30
Nop 43,678.38 11,744.48 55,422.86 169,757.48 31,829.53 23,593.33 125,831.11
Des 43,678.38 13,864.47 57,542.84 169,757.48 32,890.51 24,652.33 127,237.85
Jumlah 524,140.50 141,637.77 665,778.27 169,757.48 387,259.24 278,519.03 122,090.53
85

Daya dukung lahan di Kota Bima

Lampiran 19. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di Kota
Bima.
Ketersediaan Populasi Kebu Selisih
No Kecamatan UT
Limbah Hijauan Total tuhan ton/tahun UT
1 Rasanae Barat 3,107.54 677.85 3,785.39 710.09 1,619.90 2,165.49 949.26
2 Mpunda 0.00 0.00 0.00 1,696.85 3,870.93 -3,870.93 -1,696.85
3 Rasanae Timur 13,291.61 6,220.35 19,511.96 5,240.16 11,954.12 7,557.84 3,313.03
4 Raba 0.00 0.00 0.00 2,914.01 6,647.58 -6,647.58 -2,914.01
5 Asakota 3,055.86 1,805.85 4,861.71 3,470.58 7,917.27 -3,055.55 -1,339.42
Kota Bima 19,455.02 8,704.05 28,159.07 14,031.69 32,009.80 -3,850.73 -1,687.99

Lampiran 20. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di Kota Bima.
Limbah
Hijauan alam Ketersediaan Kebutuhan Selisih (ton
Bln pertanian (ton Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) (ton BK) BK)
BK)

Jan 725.34 - 725.34 14,031.69 2,718.64 -1,993.30 -10,288.01


Feb 725.34 903.38 1,628.71 14,031.69 2,455.55 -826.83 -4,561.84
Mar 725.34 2,555.55 3,280.89 14,031.69 2,718.64 562.25 2,901.93
Apr 725.34 3,423.86 4,149.19 14,031.69 2,630.94 1,518.25 8,097.34
Mei 725.34 4,160.47 4,885.80 14,031.69 2,718.64 2,167.16 11,185.36
Jun 725.34 581.77 1,307.11 14,031.69 2,630.94 -1,323.83 -7,060.44
Jul 725.34 972.85 1,698.18 14,031.69 2,718.64 -1,020.46 -5,266.88
Agst 725.34 1,603.32 2,328.66 14,031.69 2,718.64 -389.98 -2,012.81
Sept 725.34 1,333.48 2,058.82 14,031.69 2,630.94 -572.13 -3,051.34
Okt 725.34 176.02 901.36 14,031.69 2,718.64 -1,817.28 -9,379.51
Nop 725.34 1,695.71 2,421.04 14,031.69 2,630.94 -209.90 -1,119.45
Des 725.34 2,048.62 2,773.96 14,031.69 2,718.64 55.32 285.53
Jumlah 8,704.05 19,455.02 28,159.07 14,031.69 32,009.80 -3,850.73 -1,687.99
86

Daya dukung lahan di P Lombok

Lampiran 21. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di P
Lombok
Ketersediaan Kebutuhan Selisih
No Kabupaten
Limbah Hijauan Total Populasi UT ton/tahun UT

1 KLU 58,715.93 104,691.75 163,407.68 67,223.58 153,353.79 10,053.89 4,407.18


2 Mataram 7,172.07 1,387.04 8,559.11 2,223.09 5,071.43 3,487.68 1,528.84
3 Lobar 82,016.36 67,030.20 149,046.56 81,432.81 185,768.59 -36,722.03 -16,097.33
4 Loteng 155,519.27 151,282.35 306,801.62 142,576.62 325,252.90 -18,451.28 -8,088.23
5 Lotim 151,613.02 80,491.35 232,104.37 110,330.86 251,692.27 -19,587.89 -8,586.47

P. Lombok 455,036.65 404,882.69 859,919.34 403,786.95 921,138.98 -61,219.64 -26,836.01

Lampiran 22. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di P Lombok.
Hijauan
Limbah pertan Ketersediaan Kebutuhan Selisih (ton
Bln alam (ton Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) (ton BK) BK)
BK)
Jan 33,740.22 1,841.87 35,582.09 403,786.95 78,233.72 -42,651.63 -220,137.45
Feb 33,740.22 4,543.62 38,283.84 403,786.95 70,662.72 -32,378.88 -178,642.08
Mar 33,740.22 81,590.01 115,330.24 403,786.95 78,233.72 37,096.52 191,465.89
Apr 33,740.22 73,034.10 106,774.32 403,786.95 75,710.05 31,064.27 165,676.10
Mei 33,740.22 41,802.67 75,542.90 403,786.95 78,233.72 -2,690.82 -13,888.12
Jun 33,740.22 3,704.14 37,444.36 403,786.95 75,710.05 -38,265.69 -204,083.69
Jul 33,740.22 28,522.68 62,262.90 403,786.95 78,233.72 -15,970.82 -82,430.05
Agst 33,740.22 38,469.34 72,209.56 403,786.95 78,233.72 -6,024.16 -31,092.43
Sept 33,740.22 8,335.59 42,075.82 403,786.95 75,710.05 -33,634.24 -179,382.60
Okt 33,740.22 15,974.15 49,714.38 403,786.95 78,233.72 -28,519.34 -147,196.61
Nop 33,740.22 47,772.64 81,512.87 403,786.95 75,710.05 5,802.81 30,948.33
Des 33,740.22 21,555.64 55,295.86 403,786.95 78,233.72 -22,937.86 -118,388.96
Jumlah 404,882.69 367,146.45 772,029.13 403,786.95 921,138.98 -149,109.85 -65,363.22
87

Daya dukung di wilayah P Sumbawa

Lampiran 23. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di wilayah
P Sumbawa
No Ketersediaan Populasi Selisih
Kabupaten Kebutuhan UT
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun

1 SumbawaBarat 34,673.60 99,552.30 134,225.90 62,004.64 141,448.07 -7,222.17 -3,165.88


2 Sumbawa 196,196.29 667,460.10 863,656.39 231,843.80 528,893.68 334,762.71 146,745.30
3 Dompu 60,001.76 193,079.85 253,081.61 112,414.73 256,446.11 -3,364.50 -1,474.85
4 Bima 141,637.77 524,140.50 665,778.27 169,757.48 387,259.24 278,519.03 122,090.53
5 Kota Bima 19,455.02 8,704.05 28,159.07 14,031.69 32,009.80 -3,850.73 -1,687.99
P. Sumbawa 451,964.44 1,492,936.80 1,944,901.24 590,052.34 1,346,056.90 598,844.34 262,507.11

Lampiran 24. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan di wilayah P
Sumbawa.
Limbah
Hijauan alam Ketersediaan Ternak Kebutuhan Selisih (ton
Bln pertanian Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) (UT) (ton BK) BK)
(ton BK)

Jan 124,411.40 - 124,411.40 590,052.34 114,322.64 10,088.76 52,071.01


Feb 124,411.40 5,275.71 129,687.11 590,052.34 103,259.16 26,427.95 145,809.38
Mar 124,411.40 63,604.77 188,016.17 590,052.34 114,322.64 73,693.53 380,353.72
Apr 124,411.40 156,540.29 280,951.69 590,052.34 110,634.81 170,316.87 908,356.66
Mei 124,411.40 187,562.61 311,974.01 590,052.34 114,322.64 197,651.37 1,020,136.12
Jun 124,411.40 169,391.47 293,802.87 590,052.34 110,634.81 183,168.06 976,896.32
Jul 124,411.40 10,709.82 135,121.22 590,052.34 114,322.64 20,798.58 107,347.51
Agst 124,411.40 36,967.71 161,379.11 590,052.34 114,322.64 47,056.47 242,872.10
Sept 124,411.40 20,560.29 144,971.69 590,052.34 110,634.81 34,336.87 183,130.00
Okt 124,411.40 3,204.66 127,616.06 590,052.34 114,322.64 13,293.42 68,611.20
Nop 124,411.40 28,168.27 152,579.67 590,052.34 110,634.81 41,944.86 223,705.91
Des 124,411.40 35,595.17 160,006.57 590,052.34 114,322.64 45,683.93 235,788.03
Jumlah 1,492,936.80 717,580.78 2,210,517.58 590,052.34 1,346,056.90 864,460.68 378,941.67
88

Daya dukung di wilayah NTB


Lampiran 25. Populasi ternak herbivora (UT) dan ketersediaan pakan (ton BK) di wilayah
NTB
Ketersediaan Populasi Selisih
No Pulau Kebutuhan
Limbah Hijauan Total UT ton/tahun UT
1 Lombok 455,036.65 404,882.69 859,919.34 403,786.95 921,138.98 -61,219.64 -26,836.01
2 Sumbawa 451,964.44 1,492,936.80 1,944,901.24 590,052.34 1,346,056.90 598,844.34 262,507.11
NTB 907,001.10 1,897,819.49 2,804,820.58 993,839.29 2,267,195.88 537,624.70 235,671.10

Lampiran 26. Sebaran perkiraan Produksi pakan dan kebutuhan pakan


Hijauan Limbah
Ketersediaan Kebutuhan Selisih (ton
Bln alam (ton pertan (ton Ternak (UT) Selisih (UT)
(ton BK) (ton BK) BK)
BK) BK)

Jan 158,151.62 1,841.87 159,993.49 993,839.29 192,556.36 -32,562.87 -168,066.44


Feb 158,151.62 9,819.33 167,970.95 993,839.29 173,921.88 -5,950.93 -32,832.70
Mar 158,151.62 145,194.79 303,346.41 993,839.29 192,556.36 110,790.05 571,819.61
Apr 158,151.62 229,574.39 387,726.01 993,839.29 186,344.87 201,381.14 1,074,032.76
Mei 158,151.62 229,365.29 387,516.91 993,839.29 192,556.36 194,960.55 1,006,248.00
Jun 158,151.62 173,095.61 331,247.24 993,839.29 186,344.87 144,902.37 772,812.63
Jul 158,151.62 39,232.50 197,384.12 993,839.29 192,556.36 4,827.76 24,917.46
Agst 158,151.62 75,437.05 233,588.67 993,839.29 192,556.36 41,032.31 211,779.67
Sept 158,151.62 28,895.88 187,047.50 993,839.29 186,344.87 702.64 3,747.40
Okt 158,151.62 19,178.81 177,330.44 993,839.29 192,556.36 -15,225.92 -78,585.42
Nop 158,151.62 75,940.91 234,092.54 993,839.29 186,344.87 47,747.67 254,654.24
Des 158,151.62 57,150.81 215,302.43 993,839.29 192,556.36 22,746.07 117,399.07
Jumlah 1,897,819.49 1,084,727.23 2,982,546.71 993,839.29 2,267,195.88 715,350.83 313,578.45

Anda mungkin juga menyukai