Disusun Oleh:
BANDUNG
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi yang telah melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, karena berkat rahmat-Nya pula saya dapat
menyelesaikan makalah kecil yang berjudul “Implementasi kepada Qada dan Qadar”.
Salawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Besar Nabi
Muhammad Saw, beserta keluarga dan kerabatnya sampai umat akhir zaman.
Dengan segala kerendahan hati, saya mencoba membuat suatu makalah yang sederhana
ini, semoga dapat bermanfaat terutama bagi saya sendiri sebagai penyusun, maupun bagi semua
pembaca makalah ini.
Penulis yakin, bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh untuk dikatakan
sempurna, karena masih banyak kekurangan, baik dalam p
embahasan maupun dalam segi pemahaman dan penggunaan literatur yang sifatnya terbatas
pada kemampuan.
Tujuan pembuatan makalah ini semata-mata hanya untuk memenuhi syarat mengikuti
Uji Kompetensi di Kementerian Agama Propinsi Jawa Barat. Selain itu, diharapkan
bermanfaat untuk memperluas pengetahuan kita tentang iman kepada qada dan qodar di mana
kita dapat memahami apa yang disebut qada dan qodar serta fungsinya, juga berusaha
mengimani dengan cara melaksanakan ibadah, seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan,
shalat sunah dan sebagainya.
Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini, serta mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB 1 IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
A. Pengertian Iman Kepada Qada dan Qadar..................................
1. Pengertian Qada......................................................................
2. Pengertian qadar .....................................................................
B. Hubungan antara Qada dan Qadar..............................................
BAB 1 1 IKHTIAR DAN TAWAKKAL
A. Pengertian Ikhtiar........................................................................
B. Pengertian Tawakal......................................................................
C. Fungsi Iman kepada Qada dan Qadar.........................................
BAB I
IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
Artinya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusanyang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Q.S. An-Nisa : 65).
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra
:23).
c. Qada dalam arti kehendak
Artinya: “Maryam berkata: "Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak,
padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun." Allah berfirman (dengan
perantaraan Jibril): "Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila
Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya:
"Jadilah", lalu jadilah dia.” (QS. Ali Imran : 47).
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang
mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu
pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang
yang berbuat kebajikan.” (Q.S. Al-Baqarah : 236)
b. Qadar dalam arti ketentuan atau kepastian
Artinya : “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di
lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan
dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada
(pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang
benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya;
adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah
membuat perumpamaan-perumpamaan.”(Q.S. Ar Ra’d :17).
dengan mengatur serta menentukan suatu menurut batas-batasnya
Artnya: “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam
empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” (Q.S. Fussilat
: 10).
B. HUBUNGAN ANTARA QADA DAN QADAR
TERHADAP MANUSIA
Iman kepada qada dan qadar dalam ungkapan sehari-hari lebih populer dengan sebutan
iman kepada takdir. Iman kepada takdir berarti percaya bahwa segala apa yang terjadi di alam
semesta ini, seperti adanya siang dan malam, adanya tanah yang subur dan yang tandus, hidup
dan mati, rezeki dan jodoh seseorang merupakan kehendak dan ketentuan Allah
SWT.[9] Takdir adalah Merenungkan dan memikirkan untuk menyamakan sesuatu.
Hukum beriman kepada takdir adalah fardu’ain. Seseorang yang mengaku islam, tetapi
tidak beriman pada takdir dapat di anggap murtad (kafir). Rasulullah SAW bersabda yang
artinya:
“Tidaklah beriman seseoarng sebelum ia beriman kepada Qadar, qadar yang baik maupun yang
buruk. Dan tidaklah ia beriman mengetahui sesungguhnya apa saja yang sudah dipastikan akan
menimpanya, tentu tidak akan meleset darinya.Dan sesungguhnya apa saja yang dipastikan
meleset dari dirinya pasti tidak akan menimpanya.” (H.R. At-Tirmidzi dari Jabir)
Hadits di atas menjelaskan bahwa pengakuan iman seseorang tidak diterima Allah
apabila:
a. Tidak beriman kepada Qada dan Qadar
b. Belum meyakini bahwa segala sesuatu yang dikehendaki Allah (baik tertimpa maupun
terhindar dari sesuatu) pasti itulah yang terjadi.
Ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang iman kepada takdir cukup banyak,
antara lain :
Artinya : “Apabila Allah hendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata
kepadanya : “jadilah”, lalu jadilah dia.” (Q.S. Ali Imran, 3 : 47).
Artinya : “Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” (Q.S. Al Ahzab,
33 : 38).
Selain itu, ada pula ulama yang berpendapat bahwa hubungan antara qada dan qadar
merupakan dwi tunggal, karena dapat dikatakan bahwa pengertian qada sama dengan
pengertian qadar.
Menurut ulama Asy’ariah, bahwa hubungan qada dengan qadar merupakan satu
kesatuan, karena qada merupakan kehendak Allah SWT, sedangkan qadar merupakan
perwujudan dari kehendak itu. Qada bersifat Qadim (lebih dulu ada) sedangkan qadar bersipat
hadis (baru).
Apakah manusia itu musayyar (di paksakan oleh kekuatan Allah) atau mukhayyar (di
beri kebebasan untuk menentukan pilihannya sendiri)? Tidak benar kalau di sana manusia itu
mutlak musayyar, tetapi juga keliru jika di katakan manusia itu mutlak mukhayyar.
Hal –hal yang musayyar misalnya, setiap manusia yang hidup di bumi tubuhnya tidak
bisa terbebas dari gaya tarik bumi, beberapa organ tubuh manusia seperti paru-paru, jantung,
alat pernapasan, dan peredaran darah bekerja secara otomatis diluar kesadaran atau perasaan,
bahkan ketika manusia tidur sekalipun.
Adapun hal yang mukhayyar misalnya, manusia mempunyai kebebasan untuk memilih
dan berbuat sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk. Allah SWT melalui Rasulnya telah
memberikan petunjuk tentang jalan yang lurus, yang harus di tempuh manusia, kalau ia ingin
masuk surga, dan jalan yang sesat yang harus dijauhi manusia jika ia tidak ingin masuk neraka.
Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan kami telah menunjukan kepada dua jalan (jalan kebajikan dan jalan
kejahatan).” (Q.S. Al-Balad, 90 : 10).
Bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan dalam berbuat. Hal
itu tersirat dalam peristiwa berikut yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan Khalifah Umar
bin Khatab RA.
Qadha dan qadar adalah dua perkara yang beriringan, salah satunya tidak terpisah dari
yang lainnya, karena salah satunya berkedudukan sebagai pondasi, yaitu qadar, dan yang
lainnya berkedudukan sebagai bangunannya yaitu qadha. Barang siapa bermaksud untuk
memisahkan di antara keduanya, maka dia bermaksud menghancurkan dan merobohkan
bangunan tersebut.[10]
Dikatakan pula sebaliknya, bahwa qadha' ialah ilmu Allah yang terdahulu, yang
dengannya Allah menetapkan sejak azali. Sedangkan qadar ialah terjadinya penciptaan sesuai
timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya.[11]
Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha'
adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah
bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut”[12] Jika keduanya berhimpun,
maka keduanya berbeda, di mana masing-masing dari keduanya mempunyai pengertian
sebagaimana yang telah diutarakan dalam dua pendapat sebelumnya. Jika keduanya terpisah,
maka keduanya berhimpun, di mana jika salah satu dari kedunya disebutkan sendirian, maka
yang lainnya masuk di dalam (pengertian) nya.
BAB III
IKHTIAR DAN TAWAKAL
A. Ikhtiar
Melakukan berbagai macam usaha (ikhtiar) yang halal baik secara zhahir (yaitu
langkah-langkah yang ditempuh dengan bekerja) maupun bathin (langkah-langkah yang
ditempuh dengan do’a) dengan maksud untuk mengubah nasib atau terhindar dari suatu
bencana, merupakan perintah Allah dan Rasulnya. Manusi wajib berikhtiar, artinya manusia
wajib untuk berusaha mewujudkan mimpi atau keinginannya sekuat tenaga. Usaha manusia
juga menjadi faktor atau penyebab akan hasil yang ditetapkan oleh Allah SWT. Allah SWT
berfirman:
4Ótëy™ $tB žwÎ) Ç`»|¡SM~Ï9 }§øŠ©9 br&ur
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah
diusahakannya” (Q.S.An-Najm: 39)
Rasulullah bersabda, “berusahalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup
selama-lamanya dan berusahalah untuk akheratmu seolah-olah kamu akan mati besok.” (H.R
Ibnu Asakir).
Apakah setiap usaha (iktiar) manusia pasti berhasil? Tidak setiap usaha manusia
berhasil. Kadang-kadang usaha tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan dalam suatu usaha
itu antara lain disebabkan karena keterbatasan – keterbatasan dan kekurangan-kekurangan yang
terdapat dalam diri manusia sendiri. Setiap muslim atau muslimat apabila gagal dalam suatu
usaha hendaknya bersabar. Orang yang bersabar tidak akan gelisah dan berkeluh kesah, apabila
berputus asa, sebagaimana firman Allah
Artinya: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa
dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Q.S. Yusuf, 12 : 87)
Malah ia akan meningkatkan kegiatan usahanya, agar pada usaha selanjutnya tidak
mengalami kegagalan.
Ada beberapa cara yang harus ditempuh agar suatu usaha berhasil, di antaranya :
a. Menguasai bidang usaha yang dilaksanakannya
b. Berusaha dengan sungguh-sungguh
c. Melandasi usahanya dengan niat ikhlas karena Allah
d. Berdoa kepada Allah agar memperoleh pertolongannya.
Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya, dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian
akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada
Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu).” (Q.S. An-Najam, 53 : 39-42)
B. Tawakkal
Tawakkal artinya berserah diri kepada Allah setelah berusaha. Setiap orang wajib
berusaha untuk mewujudkan keinginan dan kehendaknya. Setelah usaha sebaik mungkin,
barulah orang tersebut menyerahkan segala hasil dan keputusan kepada Allah. Usaha yang
dilakukan oleh seseorang bukan hanya usaha lahiriah saja, tetapi seseorang wajib memanjatkan
do’a kepada Allah, supaya apa yang telah diusahakan dapat dikabulkan oleh Allah.
Kemudian, apakah Islam mengajarkan manusia hanya berdo’a saja?
Tentu tidak, tawakkal yang benar adalah tawakal yang disertai dengan usaha dan do’a.
Islam melarang setiap pemeluknya untuk menganut fatalisme, yaitu paham atau ajaran
yang mengharuskan berserah diri pada nasib dan tidak perlu berikhtiar, karena hidup manusia
dikuasai dan ditentukan oleh nasib. Fatalisme adalah paham yang keliru, menyimpang dari
ajaran tentang iman pada takdir, penghambat kemajuan dan penyebab kemunduran umat.
Setiap muslim (muslimat) yang betul-betul beriman kepada takdir, selain wajib untuk
berikhtiar, juga wajib bertawakkal kepada Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT berfirman
sebagai berikut :
Artinya : “Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
di tetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang
yang beriman harus bertawakal.” (Q.S. At-Taubah, 9 : 51).
Seorang muslim (muslimat) yang betul-betul bertawakkal pada Allah, tentu akan
berusaha agar senantiasa bersikap dan berprilaku sesuai dengan kehendak Allah SWT. yaitu
melaksanakan semua perintahnya dan meninggalkan semua apa yang dilarangnya.
Muslim/muslimat yang selama hidupnya betul-betul bertawakkal kepada Allah SWT dan
beriman kepada Qadha dan Qadar, tentu akan memperoleh banyak hikmah antara lain sebagai
berikut :
Dicintai oleh Allah SWT. (Seperti dalam Q.S. Ali Imran, 3 : 159)
Dianugerahi rezeki yang cukup, Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan
(keperluannya)….” (Q.S. At-Talaq, 65 : 3).
Dianugerahi ketentraman hidup, tidak akan gelisah dan berkeluh kesah, apalagi putus asa. Hal
ini disebabkan karena orang yang bertawakkal pada Allah akan bersyukur bila berada dalam
situasi yang menyenangkan, dan berusaha sabar apabila dalam kesusahan.
Artinya : “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Al-Hadid, 57 : 22-23).
Disenangi oleh orang banyak, karena budi pekertinya yang terpuji dan hidupnya yang
bermanfaat.
Berjiwa Qana’ah. Orang yang Qana’ah tidak tamak atau rakus dalam melihat sesuatu. Dia
merasa cukup dengan pemberian Allah. Seperti dalam Firman Allah (Q.S. At-Thalaq : 3)
Berani menghadapi persoalan hidup, karena yakin Allah member beban kepadanya sesuai
dengan kadar kemampuannya. Firman Allah (Q.S. Al-Baqarah : 286)
Memiliki keberanian untuk berjuang di jalan Allah.
Memiliki jiwa yang tenang, tidak sombong, iri dan dengki.
Mampu mengendalikan dirinya disaat suka maupun duka.
Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri”,
\
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Allah Dia-lah
Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Hadid, 57 : 21-24).
5. Mendorong umat manusia (umat islam) untuk berusaha agar kualitas hidupnya meningkat,
sehingga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Umat
manusia (umat islam) jika betul-betul beriman kepada takdir, tentu dalam hidupnya di dunia
yang sebenar ini tidak akan berpangku tangan. Mereka akan berusaha dan bekerja dengan
sungguh-sungguh di bidangnya masing-masing, sesuai dengan kemampuannya yang dimiliki
dan telah diusahakan secara maksimal, sehingga menjadi manusia yang paling bermanfaat.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “sebaik-baiknya manusia ialah yang lebih bermanfaat
kepada manusia.” (H.R. At-Tabrani).
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syaikhu
1988 Penerbit Pustaka Ibntu Katsir
Nn
1998 Cempaka putih
Fat-hul Baari
Ibnu Qutaibah
Ta-wiil Musykilil Qur-aan, Ibnu Qutaibah, Lisaanul ‘Arabal-Qaamuus
Ibnu Atsir
An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits
Muhammad TH
1984 Kedudukaan Ilmu dalam Islam. Al-Ikhlas, Surabaya.
M. Quraisy Shihab
1998 Tafsir al-Mishbah, pesan, kesan dan keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Jakarta.
Nu’man bin Ibrahim az-Zarnuji
1990 Metode Belajar efektif untuk menjadi Kyai-Ulama (terj). CV. Bahagia, Pekalongan.
Oemar Bakrie
1990 Akhlak Muslim. Angkasa, Bandung.
Yusuf Qardawi
1998 Qur’an berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. (terj) Gema Insani press, Jakarta.