Anda di halaman 1dari 4

Dongeng Kapten Morgel; Pandangan Carbon Terhadap Kesultanan Banten

Dalam naskah tua Mertasinga Cirebon, ada dongeng tentang Kapten Morgel.
Dongeng ini dimuat dalam Pupuh XVII.10-XVII.24, XVIII.02-XVIII.07, LII.12-LII.18,
LV.17-LV.22, LVIII.12-LVIII.16, LIX.07-LIX.11, LIX.11-LIX.16, LIX.16-LIX.20, dan
LXX.20-LXXI.11. Dongeng orang Belanda keturunan Sunda-Pajajaran yang
ditakdirkan mengalahkan Kesultanan Banten dan menguasai raja-raja Jawa.

Kapten Morgel atau sekarang lebih sering disebut Kapten Mur (Mor), berasal dari
kata Portugis; Capitao Mor. Kapten Morgel adalah sebutan untuk panglima
tertinggi. Di era VOC di Hindia Belanda, Kapten Morgel adalah sebutan untuk
pejabat Gubernur Jenderal. Misalnya Kapten Mur Jangkung atau Kapten Morgel
Jangkung yang berasal dari nama Jan Coen yang dibaca Jangkung.

Kapten Morgel di era Hindia Belanda (VOC), tentunya tidak satu. Karena Gubernur
Jenderal Hindia Belanda banyak. Kapten Morgel yang diceritakan naskah
Mertasinga kemungkinan mulai dari Pieter Both, Gerard Reynst, Lauren Reael dan
Jan Pieterszoon Coen (Jangkung).

Dalam Pupuh LXX.20-LXXI.11 disebutkan seorang Belanda bernama Kapten Morgel


yang mendamaikan peperangan antara Kesultanan Banten dengan Kerajaan
Mataram. Peperangan ini disebabkan pengangkatan Pangeran Ratu menjadi Sultan
Banten oleh Sultan Mekah (Syarif Mekah sebagai otorisasi Kesultanan Turki dengan
gelar Sultan Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir).

Raja Mataram murka dan tidak menerima pengangkatan Sultan Banten ini. Dalam
pandangannya, setiap pengangkatan Sultan harus ada izin dari Mataram. Maka
terjadilah peperangan Banten dan Mataram dalam beberapa tahun yang kemudian
didamaikan Kapten Morgel.

Atas jasa mendamaikan ini, Kapten Morgel meminta upah sebidang tanah di
Jayakarta untuk mendirikan gudang dan rumah. Permintaan ini dikabulkan
Kesultanan Banten dan Mataram. Sementara Kesultanan Banten sendiri diwajibkan
mengirimkan pasukan penjaga setiap tahunnya ke Mataram. Pasukan ini disebut
pasukan Tugur.

Ketidak-cocokan Peristiwa
Di sini sebenarnya terjadi ketidak-cocokan peristiwa. Pengangkatan Pangeran Ratu
menjadi Sultan di Banten oleh Syarief Mekah terjadi tahun 1638. Sedangkan
pendirian pos dagang VOC di Jayakarta terjadi tahun 1610 oleh Pieter Both, Kapten
Morgel pertama atau Gubernur Jenderal Hindia Belanda pertama.

Peperangan Banten dan Mataram yang diwakilkan pasukan Carbon terjadi tahun
1648. Sepuluh tahun setelah pengangkatan Sultan Banten. Alasan peperangan pun
akibat penolakan Sultan Banten untuk takluk ke Mataram. Peperangan ini
dimenangkan Banten. Sekitar 500 pasukan Carbon tewas.

Sedangkan peperang Banten dan Mataram sebelum pengangkatan Sultan Banten


oleh Syarief Mekah, terjadi saat wafatnya Maulana Yusuf tahun 1580. Sebenarnya
bukan perang antara Banten dan Mataram, tapi lebih tepatnya perang antara
Banten dan Jepara.

Saat itu, Maulana Muhammad pengganti Maulana Yusuf baru berumur 5-7 tahun.
Pangeran Jepara bin Pati Unus, ipar Maulana Yusuf merasa lebih berhak atas tahta
Kesultanan Banten ketimbang membentuk Wali Raja. Maka datanglah Pangeran
Jepara ke Banten bersama pasukannya, termasuk Kiai Demang Laksamana yang ikut
perang melawan Portugis di Malaka.

Keinginan Pengaren Jepara ini dimentahkan oleh koalisi Kadhi, Senapati Pontang,
Dipati Jayanegara, Ki Waduaji dan Ki Wijamanggala yang membentuk lembaga Wali
Raja. Perang pun terjadi di luar tembok benteng Keraton. Wali Raja memenangkan
peperangan ini. Pangeran Jepara mundur kembali ke Jepara.

Awal Batavia
Walau pun peperangan yang dimaksud dalam naskah Mertasinga itu tidak tepat,
namun berdirinya pos dagang Belanda (VOC) di Jayakarta (1610) memang di era
Pangeran Ratu jadi Raja Banten; belum jadi sultan. Lebih tepatnya di era Wali Raja
Pangeran Ranamanggala (1609-1624). Karena Pangeran Ratu masih kecil. Saat
diangkat jadi raja Banten(1596), Pangeran Ratu masih berumur bulanan (bayi).

Pos dagang VOC berupa bangunan kayu berpondasi batu ini, tahun 1911
dikembangkan pergudangan dan pemukiman. Kapten Morgel (Pieter Both) menyewa
lahan 1,5 hektar ke Pangeran Jayakarta.

Ketika Jan P Coen diangkat jadi Gubernur Hindia Belanda di tahun 1618, Wali Raja
Pangeran Ranamanggala sedang melancarkan pelarangan dagang lada di Banten.
Maka pos dagang VOC di Jayakarta menjadi tumpuan utama pedagang-pedagang
China untuk menjual lada.

Kapten Morgel Jangkung pun melancarkan strategi: Menghentikan pembelian lada


dari Banten dan mengancam memindahkan pabrik-pabrik VOC di Banten. Para
pedagang China panik, sehingga mau menerima penjualan lada dengan harga 50%
saja.

Dampak tindakan Kapten Morgel ini tentu merugikan perdagangan Inggris. Maka
kapal-kapal Banten dan Inggris bersepakat menyerang kapal-kapal China yang
menuju Jayakarta. Kapten Morgel memandang hal ini sebagai tindakan awal Inggris
mengusir VOC di Jawa. Maka Kapten Morgel pun memerintahkan secara diam-diam
mengubah pos dagang menjadi benteng batu. Lalu menyerang benteng pertahanan
Jayakarta dan menghancurkan pos dagang Inggris di dekatnya.

Hal ini diketahui Pangeran Jayakarta yang kemudian meminta bantuan Inggris
untuk membantu menghancurkan benteng VOC di Jayakarta. 11 Kapal Inggris
memblokade Teluk Jayakarta. Dilawan 7 kapal VOC. Pertempuran terjadi selama 3
jam. VOC kalah dan Kapten Morgel mundur ke Maluku, pusat kegiatan VOC.

Di darat, ribuan pasukan gabungan Jayakarta dan Inggris mengepung benteng VOC
yang dijaga hanya sekitar 100 orang. Kemenangan pasukan gabungan ini sudah di
depan mata. Tiba-tiba pasukan Banten datang. Jumlah berlipat kali pasukan
gabungan. Bukannya membantu menghancurkan benteng VOC, pasukan Banten
malah menyatakan Jayakarta sebagai daerah kekuasaannya.

Benteng VOC pun selamat dari kehancuran. Raja Jayakarta dicopot dari jabatannya
dan pasukan Inggris mundur kebingungan.

28 Mei 1619, Kapten Morgel Jangkung kembali dari Maluku ke benteng VOC di
Jayakarta; Batavia. 2 hari kemudian dengan 1.000 pasukan menaklukan Jayakarta.
Korbannya hanya 1 tentara tewas. Jayakarta pun jatuh ke dalam kekuasaan VOC.

Kapten Morgel memindah pusat kegiatan VOC di Hindia Belanda ke benteng


Batavia. Dari sini, secara bertahap VOC menguasai dan menaklukan raja-raja di
Nusantara. Kesultanan Banten, Mataram, termasuk Carbon.

Pandangan Carbon
Dongeng Kapten Morgel diduga merupakan pendapat penulis naskah Mertasinga
terhadap kekuasaan Belanda (VOC) di Nusantara. Penulis naskah Mertasinga
sepertinya menyalahkan Kesultanan Banten. Karena tindakan pasukan Banten yang
melindung benteng Batavia itu yang menjadi cikal bakal berkuasanya Belanda
(VOC) di Nusantara.

Alasan tudingan ini adalah karma pendiri Kesultanan Banten, Syeh Maulana yang
merebut tahta Banten dari Pucuk Umum. Seperti diceritakan dalam Pupuh XVII.10-
XVII.24, Syeh Maulana yang bergelar Prabu Gelereng Erang, Arya Lumajang dan
Raja Lahut (Penguasa Jayakarta/Pangeran Jayakarta) mendatangi Pasowan Jaba
tempat tinggal Pucuk Umum.

Ketika Pucuk Umum akan kabur, tiba-tiba saja sudah dijepit jempol Syeh Maulana.
Akhirnya Pucuk Umum menyerah, lalu masuk Islam. Begitu juga dengan bala
tentaranya. Maka berakhirlah ajaran Buddha di tanah Pajajaran.

Tapi adiknya Pucuk Umum, Dewi Mandapa dapat meloloskan diri. Dendam kesumat
menggelorakan dalam dirinya. Syeh Maulana, Arya Lumajang dan Raja Lahut dan
keturunannya harus mendapat ganjaran yang sama. Dijajah.

Dendam ini membawa Dewi Mandapa tiba di Gunung Padang, tempat tinggal Ki
Ajar Sukarsa. Oleh Ki Ajar, Dewi Mandapa disuruh bertapa di pohon Pinang yang
dijalari pohon Sirih. Tapa hingga ada daun Sirih kering yang jatuh ke pusarnya.

“Makanlah daun itu. Ananda akan hamil dan melahirkan bayi. Berilah nama Dewi
Tanuran Gagang. Ia akan tumbuh jadi putri yang cantik jelita. Tapi tak seorang pun
bisa menyetubuhinya. Karena saat akan disetubuhi, parjinya akan mengeluarkan
hawa panas yang berkobar-kobar. Kecuali seorang Belanda. Inilah jalan Belanda
memerintah dan menguasai raja-raja Jawa,” ujar Ki Ajar (Pupuh XVIII.02-XVIII.07).

Ki Ajar Sukarsa menjodohkan Dewi Tanuran Gagang dengan Pangeran Tlutur, anak
Raja Lahut. Sayangnya hubungan suami-istri Tlutur dan Dewi Tanuran terganggu.
Seperti ucapan Ki Ajar, Dewi Tanuran tidak bisa disetubuhi. Dewi Tanuran
mengikuti Pangeran Tlutur ke Carbon, Tlutur pun merelakan Dewi Tanuran
disunting Pangeran Carbon, cucu Sinuhun.
Hal yang sama pun mengganggu hubungan suami-istri Pangeran Carbon dan Dewi
Tanuran. Sewaktu seba ke Mataram, Dewi Tanuran ditukar dengan Ratu Sidapulin.
Dari Ratu Sidapulin ini, Pangeran Carbon beranak Pangeran Manis dan Ratu Setu.

Tidak bisa disetubuhinya Dewi Tanuran sungguh mengganggu Sunan Mataram.


Niatnya Dewi Tanuran akan dibunuh. Atas saran Sunan Kalijaga, Dewi Tanuran
dijual ke pedagang Belanda. Dewi Tanuran ditukar dengan 3 buah meriam; Ki
Sapujagat yang disimpan di Mataram, Ki Antu di Carbon dan Ki Amuk di Betawi.

Di Belanda pun, masalah yang sama terjadi. Sehingga Dewi Tanuran harus berganti-
ganti suami. Akhirnya bertemulah dengan Raja Ngladiwasa, orang Belanda yang
tinggal di Inggris. Dari Raja Ngladiwasa inilah, Dewi Tanuran mempunyai keturunan
yang kemudian menjadi Kapten Morgel.

Kapten Morgel ini yang mendirikan kekuasaan (baca: jajahan) Belanda di


Nusantara. Apakah itu Pieter Both? Jan P Coen? Atau Speelman? Entahlah. Karena
tak satu pun naskah atau dokumen ada Gubernur Jenderal Hinda yang keturunan
Sunda.

= disadur secara bebas dari Naskah Mertasinga, Amman N Wahju; Banten: Sejarah
dan Peradaban Abad X-XVII, C Guillot; Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Benny G
Setiono; Nusantara: Sejarah Indonesia, Bernard HM Viekke; Historia id dan lainnya.

#Togogisme

Anda mungkin juga menyukai