Anda di halaman 1dari 20

THREE MODELS OF REGIONAL DEVELOPMENT

1. Growth Poles
Exchange Economy
Development Through Concentrated
Investment Export From Growth Poles
Aglomeration In Urban Center
2. Functional Integration
Exchange Economy
Development Through Dispersed Investment
Linkages To Other Region
Hirarki Dan Fungsi Pusat-Pusat Sekunder
3. Decentalized Territorial
Use Economy
Development From Locally Dispersed
Investment Selective Closure

Universitas Gadjah Mada


Universitas Gadjah Mada
MODEL PEMBANGUNAN WILAYAH

Dalam perspektif doktrin pengembangan wilayah muncul beberapa alternatif strategi.


Dalam tulisan ini dibahas empat strategi, yaitu : (1) strategi kutub pertumbuhan (sebagai
pendalaman pendekatan pembangunan dari atas “development from above”);
(2) strategi agropolitan (sebagai pendalaman pendekatan pembangunan dari bawah
“deve!opment from below”); (3) strategi pengembangan ruang terintegrasi, yang
memadukan sektor perkotaan dan perdesaan; dan (4) strategi pengembangan kota-
kota kecil (dalam perspektif dekonsentrasi planologis). Empat alternatif strategi
tersebut mewakili beberapa aspek perdebatan pembangunan wilayah yang secara
umum mengalir dalam lima pokok perdebatan dikotomis, antara lain : (1) perkotaan-
perdesaan; (2) industri pertanian; (3) sentralisasi - desentralisasi sampai otonomi; (4)
pembangunan atas bawah; sampai (5) strategi pertumbuhan dan pemerataan. Secara
lebih detil keempat strategi tersebut diuraikan pada bagian berikutnya.

1. MODEL KUTUB PERTUMBUHAN

Growth Poles atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh Francois
Perroux (1950). Dengan tesisnya : “ ….Pertumbuhan tidak terjadi di sebarang tempat
dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi pertumbuhan terjadi pada titik-titik atau
kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu
menyebar sepanjang saluran yang beraneka ragam dan dengan pengaruh yang
dinamis terhadap perekonomian wilayah”

Pengertian kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini merupakan suatu
konsep ekonomi, sehingga tidak memiliki dimensi ruang. Untuk menjelaskan
pengertian tersebut, Perroux menciptakan suatu “ruang abstrak” atau ruang dalam
pengertian ekonomi, ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan ekonomi;

Pengertian Growth Pole yang terkait dengan ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan
ekonomi, yang didefinisikan oleh Perroux sebagai pusat (focii) memiliki gaya sentrifugal
yang memiliki kekuatan untuk “mendorong” dan gaya sentripetal yang memiliki kekuatan
untuk “menarik”. Setiap pusat mempunyai daya tarik dan daya tolak dalam suatu medan
daya tarik dan daya dorong bersama dengan pusat-pusat Iainnya.

Universitas Gadjah Mada


dengan pengertian ini berarti suatu Growth Poles akan berperan memacu (menarik dan
mendorong) perkembangan ekonomi di wilayah pengaruhnya.

Dalam konteks pertumbuhan, Perroux menyatakan bahwa yang menjadi medan


magnet adalah kegiatan industri. Menurutnya, untuk mencapai pertumbuhan yang
mantap dan berimbang diperlukan konsentrasi investasi pada sektor-sektor tertentu
yang unggul (leading sectors). Dalam perkembangan selanjutnya akan terjadi suatu
proses seleksi alam sehingga suatu sektor akan makin penting, sementara sektor
lainnya justru menghilang. Proses seleksi ini terkait dengan mekanisme pasar dan
inovasi wirausahawan yang sangat penting dalam proses pembangunan (Hansen,
1981 : 19). Industri-industri dan kegiatan-kegiatan yang akan berkembang dan
membentuk kutub pertumbuhan tersebut memiliki beberapa ciri sebagai Leading
Industries dan Propulsive Industries antara lain:

Karakteristik Leading Industries


1. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang
menginjeksikan iklim pertumbuhan ke dalam suatu daerah.
2. Permintaan terhadap produknya memiliki elastisitas pendapatan yang tinggi,
produk tersebut biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.
3. Mempunyai berbagai kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor
lainnya (input dan output). Kaitan-kaitan ini dapat bersifat forward maupun
backward.

Karakteristik Propulsive Industries.


1. Relatif besar.
2. Tingkat dominasinya tinggi, yaitu kebalikan dari tingkat ketergantungan
industri lain terhadap industri tersebut;
3. Menimbulkan dorongan-dorongan yang nyata kepada lingkungannya.
4. Mempunyai kemampuan berinovasi yang tinggi.Termasuk dalam suatu industri
yang sedang bertumbuh dengan cepat.

Implikasi spasial 1dan konsep kutub pertumbuhan diperkenalkan oleh Boudeville


(1966) yang mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai aglomersi geografis
“sekelompok” industri propulsif yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu
daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke

Universitas Gadjah Mada


seluruh wilayah pengaruhnya. Melalui efek kumulatif. Kemampuan suatu industri untuk
menyebarkan pertumbuhan tersebut tergantung pada ‘multiplier effect’ yang
berhubungan dengan faktor-faktor input-output antar industri, misalnya efek ganda dari
tenaga kerja dan output pendapatan.

Dalam kutub pertumbuhan terdapat kecenderungan terkonsentrasinya kegiatan


ekonomi pada titik tertentu karena adanya faktor saling keterkaitan dan ketergantungan
aglomerasi (Munir, 1984 : 38). Konsentrasi dan kesalingterkaitan merupakan faktor
penting dalam setiap pusat pertumbuhan karena melalui faktor ini ongkos produksi,
termasuk transportasi pada kegiatan-kegiatan industri dapat diturunkan. (aspek
kesamaan bahan dan pasar). Ada tiga keuntungan aglomerasi, yaitu : Skala ekonomi
(scale economies), Localization economies dan Urbanization economies2. Hal ini
berarti bahwa jika kegiatan ekonomi (industri) yang saling berkaitan dikonsentrasikan
pada suatu tempat tertentu, maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang
bersangkutan akan dapat ditingkatkan dibandingkan kalau industri tersebar dan
terpencar ke seluruh pelosok wilayah.

Pengembangan wilayah melalul konsep ini secara nyata akan terlihat dari
perkembangan kota-kota sebagai kutub pertumbuhan-kutub pertumbuhan di suatu
wilayah. Kota-kota pusat pertumbuhan tersebut memiliki tingkat kemajuan berbeda dan
saling berinteraksi sehingga pada kondisi ideal dapat membentuk suatu pola kota yang
hirarkis. Dari hirarki kota ini diharapkan dapat terjadi proses penyebaran kemajuan
antar kota di wilayah tersebut yang pada dasarnya berlangsung dalam beberapa cara,
yaitu (Munir, 1984 : 39):
1. perluasan kegiatan ekonomi ke wilayah pasar yang baru yaitu dari pusat terbesar
kepada yang kecil;
2. perpindahan kegiatan berupah rendah dari pusat yang besar ke pusat yang Iebih
kecil karena meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar;

1
Pemberian dimensi ruang atau spasial pada konsep Growth Poles ini melahirkan istiah kutub-kutub pertumbuhan
(development poles), pusat-pusat pertumbuhan (growth centers), titik-titik pertumbuhan (growth points), daerah-
daerah pertumbuhan (growth areas), zona-zona pertumbuhan (growth zones), dan wilayah inti atau pusat (core
region) yang menyarankan pengembangan pusat pertumbuhan dalam memajukan atau mengembangkan wilayah
2
timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi dapat digunakan secara bersama-sama sehingga
pembebanan ongkos untuk masing-masing

Universitas Gadjah Mada


3. memberikan alternatif lokasi yang Iebih baik untuk kegiatan industri yang
mempunyai wilayah pasar dan kebutuhan prasarana yang berbeda sehingga
operasinya lebih efisien;
4. dorongan investasi dan wirausahawan yang disebarkan me!alui hirarki.

Friedman memperkaya konsep Growth Poles ini dengan mengemukakan konsep


Center-Periphery (Pusat-Pinggiran). Pengembangan wilayah menurut konsep
Friedman akan melahirkan kota utama dan wilayah sekitarnya yang menjadi Inti (Core)
dari sistem kota-kota nasional dan Pinggiran (Periphery) yang berada di luar serta
bergantung pada Inti. Perkembangan disebarkan dari inti ke pinggiran meaIui
pertukaran penduduk, barang, dan jasa. Kota sebagal inti berpengaruh atas wilayah
pinggirannya,

Hubungan antara Core atau pusat pertumbuhan dengan Periphery dilukiskan dengan
dua efek. Menurut, Myrdall (1957), pertama efek sebar ‘Spread Effect’ dan efek serap
balik ‘Backwash Effect’.
Spread Effect terjadi apabila ekspansi kegiatan ekonomi pada Core membutuhkan
input bahan baku dari daerah sekitarnya (mekanisme input-output). Sebaliknya
‘Backwash Effect’ terjadi jika industri propulsif tertentu, cenderung hanya akan menarik
modal dari daerah sekitarnya sehingga output akan tebih tinggi. Menurutnya,
‘backwash effect’ akan menjadi Iebih kuat dari ‘spread effect’ yang ditandai dengan
adanya penyerapan ekonomi wilayah sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah
tersebut, yang berakibat kesenjangan wilayah.

Hirschman (1958) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi pada pusat pertumbuhan


akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek polarisasi atau ‘Polarization
Effect’ dan efek penetesan ke bawah (Trickling Down Effect). Polarization effect tersebut
diperkuat dengan adanya pemusatan investasi pada pusat pertumbuhan, sedangkan
Trickling Down Effect dapat tumbuh dengan cara meningkatkan daya tarik wilayah
sekitarnya. Hirschman lebih optimis, sehingga Trickling Down Effect lebih besar dibanding
Polarization Effect. Kuncinya adalah komplementaritas.

Universitas Gadjah Mada


POSITIP : GROWTH POLE
1. Konsep kutub pertumbuhan memberikan peluang untuk mendekatkan dua
cabang penting dalam analisis regional yaitu analisis mengenai pertumbuhan
ekonomi regional dan analisis struktur ruang regional.
2. Konsep kutub pertumbuhan memberikan kemungkinan pemakaian dan
pengembangan teknik-teknik analisis seperti analisis input-output, analisis
aglomerasi, dan sebagainya.
3. Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi intervensi
oleh pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi
bagi pembangunan daerah.

NEGATIP : GROWTH POLE


1. Kerangka permasalahan dikembangkan dalam setting masyarakat industri dan
cenderung tidak melihat problem spesifik wilayah, khususnya wilayah pedesaan
yang didominasi sektor pertanian.
2. Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik (backwash effect) sering bekerja
Iebih cepat daripada efek pemancaran (spread effect), sehingga kesenjangan
wilayah semakin melebar. Kondisi ini terjadi karena (a) kurang jelasnya hirarki
kota-kota; (b) wilayah pinggiran tidak memiliki kekuasaan untuk mengendalikan
sumber dayanya (Firman, 1989 : 14.18);
3. Rendahnya kapasitas penyerapan tenaga kerja karena industri yang
dikembangkan di pusat-pusat pertumbuhan merupakan industri padat modal,
sehingga kenaikan dalam kapasitas produksi tidak menciptakan kesempatan
kerja yang seimbang;
4. Konsep ini tidak mempertimbangkan hubungan dualisme sektoral, antara sektor
informal-formal atau perkotaan-pedesaan dalam pengembangan wilayah.

2. MODEL DECENTRALIZED TERRITORIAL (STRATEGI AGROPOLITAN):

Muncul sebagai respon kegagalan development from above, seperti kutub pertumbuhan.
Menurut strategi ini pengertian pembangunan tidak hanya kemajuan ekonomi yang
sentralistik, tetapi memberikan kesempatan bagi individu-individu, kelompok-kelompok
sosial dan organisasi masyarakat untuk “memobilisasi” kemampuan dan sumberdaya
lokal bagi kemajuannya. Pendekatan ini menitikberatkan pada upaya untuk menciptakan
dorongan bagi pembangunan dinamis

Universitas Gadjah Mada


di wilayah-wilayah (pedesaan) yang relatif terbelakang. Dengan demikian strategi ini
Iebih berpihak kepada daerah pedesaan. Pembangunan di suatu wilayah harus
berdasarkan pada mobilisasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan
institusi Iokal yang berkembang di wilayah tersebut.
Alasan munculnya strategi agropolitan atau tipe-tipe pembangunan dari bawah antara
lain:
 Kegagalan strategi development from above, yang berakibat pada ketimpangan
wilayah, karena terkonsentrasi pada program pembangunan skala besar (large
scale);

 Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses penerapan
strategi pembangunan.

 konsep pembangunan hendaknya berasal dari masyarakat itu sendiri dengan
mempertimbangkan sumberdaya Iokal dan partisipasi.

 Sistem ekonomi lokal harus berperan dalam membentuk pola interaksi ekonomi
antar wilayah. Sehingga dapat meningkatkan nilai tambah (value added).

Agropolitan merupakan pendekatan pengembangan wilayah yang menitikberatkan


pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan dinamis di wilayah-
wilayah pedesaan dan wilayah yang relatif terbelakang. Dalam pendekatan agropolitan
upaya untuk mempercepat pembangunan di perdesaan dilakukan dengan
memasukkan kegiatan non primer seperti industri, perdagangan, jasa dan lain-lain,
yang menunjang perkembangan sektor pertanian. Hal ini berarti bahwa agropolitan
adalah suatu wilayah pertanian yang struktur perekonomiannya tidak hanya bertumpu
pada sektor pertanian. Sektor non pertanian yang dikembangkan ialah sektor industri
yang memiliki linkages secara Iangsung, yaitu menghasilkan alat pertanian dan
mengolah hasil pertanian (agroindustri). Untuk menunjang pemasaran, dikembangkan
pula sektor perdagangan dan jasa. Dalam konteks ruang (Friedmann, 1976 : 37), perlu
ditentukan satuan-satuan ruang yang Iebih besar dan unit desa sebagai dasar bagi
pembangunan desa yang progresif. Dan menata perencanaan dan pembangunan atas
dasar wilayah (teritorial).

TUJUAN AGROPOLITAN

1. Mengubah wilayah perdesaan dengan memperkenalkan kegiatan-kegiatan non


primer dan gaya hidup kota (urbanism life) yang telah disesuaikan dengan

Universitas Gadjah Mada


Iingkungan pedesaan. Mobilitas penduduk ke kota menjadi berkurang dan terjadi
akumulasi modal di perdesaan.
2. Membentuk ruang sosial-ekonomi dan politik antar desa sehingga membentuk
kesatuan ruang yang lebih luas yang dinamakan distrik agropolitan (agropolitan
district):
3. Menyeimbangkan pendapatan desa dan kota dengan memperbanyak kesempatan
kerja produktif dan memadukan kegiatan-kegiatan pertanian dengan kegiatan non
pertanian;
4. Menggunakan tenaga kerja secara efektif dengan memanfaatkan sumberdaya
alam termasuk peningkatan hasil pertanian, peningkatan industri yang berkaitan
dengan pertanian (agroindustri), memperluas pemberian jasa-jasa untuk
perdesaan dan pembangunan sarana dan prasarana;
5. Merangkai distrik agropolitan menjadi jaringan regional, dengan cara membangun
dan memperbaiki sarana untuk menciptakan hubungan antar wilayah agropolitan
dan antara wilayah agropolitan dengan kota-kota yang lebih besar;
6. Memberikan otonomi pada aparat pemerintah di wilayah agropolitan sehingga
mereka dapat merencanakan pembangunan berdasarkan sumberdaya wilayahnya
sendiri.
7. Memperbaiki sistem keuangan termasuk memperbaiki nilai tukar barang-barang
antara desa dan kota sehingga tercipta kesesuaian harga yang saling
menguntungkan.

KUNCI STRATEGI AGROPOLITAN

1. Wilayah agropolitan tersebut harus merupakan wilayah yang tertutup. Hal ini terkait
dengan kebijaksanaan untuk memanfaatkan sumberdaya lokal dan melawan
sistem perdagangan bebas dan mekanisme pasar yang eksploitatif. Melalui
perusahaan-perusahaan multinasional. Ekspresi kemampuan masyarakat untuk
mengembangkan wilayah dengan kemampuannya sendiri (self relience);
2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan wilayah tersebut
sehingga terjadi akumulasi perkembangan di dalam wilayah itu sendiri;
3. Aksesibilitas penduduk yang sama terbadap kekuatan sosial dan faktor produksi.
Basis untuk akumulasi kekuatan sosial ini diantaranya ialah aset produktif dan
faktor produksi seperti tanah, air dan alat produksi Iainnya, sumberdaya finansial,
informasi, pengetahuan dan ketrampilan, organisasi sosial-politik.

Universitas Gadjah Mada


Pemerintah memainkan beberapa peranan yang penting. Pertama, bertindak sebagai
pelindung terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar wilayah yang bersifat
“menghisap” kekayaan ekonomi wilayah yang bersangkutan (local economic). Kedua,
berperan didalam mengkoordinasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional untuk
perubahan struktural dan pertumbuhan, dan mengembangkan proyek-proyek yang
bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan ekonomi wilayah agropolitan. ketiga,
mendukung wilayah agropolitan untuk merealisasikan proyek-proyek pembangunan
berdasarkan sumberdayanya. Keempat, menjaga supaya perubahan-perubahan
kemajuan tidak merusak sistem sosial yang ada di masyarakat wilayah agropolitan.
Kelima, menyebarkan kemajuan dengan mengalirkan kelebihan sumberdaya di suatu
bagian wilayah ke bagian wilayah lainnya yang relatif kekurangan (Friedmann, 1979 :
203).

KRITIK STRATEGI AGROPOLI TAN

 Pemutusan hubungan antara sektor perkotaan dengan perdesaan, karena


khawatir akan terjadinya ekaploitasi (tidak melihat segi positip perkotaan).

 Sistem wilayah tertutup hampir mustahil dilakukan.

 Dikaitkan dengan kewenangan daerah, pendekatan ini menyarankan otonomi
daerah yang seluas-Iuasnya oleh masyarakat setempat sulit diterapkan.

3. MODEL INTEGRASI SPASIAL (FUNCTIONAL SPATIAL INTEGRATION)

Strategi integrasi spasial merupakan jalan tengah antara pendekatan sentralisasi yang
menekankan pertumbuhan pada wilayah perkotaan (metropolitan) dan desentralisasi yang
menekankan penyebaran investasi dan sumberdaya pembangunan pada kota-kota kecil
dan pedesaan. Dengan argumen ini Rondinelli menganjurkan pembentukan sistem spasial
yang mengintegrasikan pembangunan perkotaan dan pedesaan. Hal ini dilakukan dengan
menciptakan suatu jaringan produksi, distribusi dan pertukaran yang mantap mulai dari
desa - kota kecil - kota menengah - kota besar (metropolitan).

Pendekatan alternatif ini didasari pemikiran bahwa dengan adanya integrasi sistem
pusat-pusat pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik fungsionalnya,
maka pusat-pusat tersebut akan dapat memacu penyebaran pembangunan wilayah
(Rondinelli, 1983:4). Pendekatannya adalah memacu perkembangan sektor pertanian

Universitas Gadjah Mada


yang diintegrasikan dengan sektor industri pendukungnya. Berdasarkan asumsi
tersebut, sasaran dan strategi ini adalah meningkatkan produksi pertanian,
memperluas lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan bagi sebagian besar
penduduk, terutama penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Dengan perhatian utama pada sektor pertanian, maka pendekatan ini juga
menjelaskan pentingnya transformasi pola pertanian subsisten menjadi pertanian
komersialisasi dalam pengembangan wilayah. Peningkatan produktivitas harus diikuti
oleh pengembangan sektor industri yang seimbang sehingga kelebihan tenaga kerja
sektor pertanian dapat tertampung. Aktivitas pengolahan dan distribusi produk
pertanian harus mantap dan industri harus dikembangkan untuk menghasilkan input-
output produksi yang berharga murah bagi petani. Pada tahap selanjutnya
dikembangkan berbagai prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar
(basic needs) penduduk pedesaan seperti sarana kesehatan dan pendidikan.
Untuk mendukung perkembangan pertanian sehingga nilai komersial produk pertanian
meningkat di pedesaan, maka permukiman-permukiman harus membentuk suatu sistem
yang terintegrasi sehingga pelayananan sarana dan prasarana dapat berlokasi secara
efisien dan penduduk perdesaan memiliki akses yang baik terhadap sarana tersebut,
sehingga mampu diakses oleh semua lapisan masyarakat pedesaan. Tanpa akses
terhadap pusat-pusat pasar yang terintegrasi maka penduduk pedesaan (petani) akan
mengalami kesulitan di dalam pemasaran hasil pertanian, sulit mendapatkan input-output
produksi, modernisasi pola-pola pertanian, penyesuaian produk terhadap selera pasar
(konsumen) dan mendapatkan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk meningkatkan
kualitas hidup dipedesaan (Rondinelli, 1983 :5).

SISTER PERMUKIMAN YANG TERINTEGRASI DAN HIRARKIS

Menurut Brian Berry dalam Rondinelli (1983) seiring dengan pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah maka pusat-pusat (central places yaitu permukiman-permukiman yang
juga melayani penduduk di sekitarnya) akan menyebar dan membentuk suatu sistem
yang terintegrasi. Pusat-pusat yang diarahkan berdasarkan pendekatan ini haruslah
merupakan pusat-pusat yang terintegrasi secara hirarki. Dengan demikian perlu
diciptakan suatu sistem yang dapat mengintegrasikan pusat-pusat pelayanan,
perdagangan dan produksi yang berhirarki. Adanya integrasi ini akan memberikan
berbagai manfaat baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di sekitar pusat

Universitas Gadjah Mada


tersebut. Fisher dan Rusthon (dalam Rondinelll, 1983 : 5-6) mengemukakan berbagai
manfaat tersebut yaitu:
1. Efisien bagi konsumen karena berbagai kebutuhan dapat dipebuhi dalam satu kali
bepergian (trip) keluar dari desanya;
2. Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan antar
desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai altematif jalur hubungan (link)
sehingga dapat diketahui jalur hubungan yang paling penting dan kemampuan
pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan
secara optimal;
3. Mengurangi panjang jalan yang memerlukan peningkatan karena jalur yang paling
penting bagi setiap desa diketahui sehingga dapat ditentukan prioritas
pengembangan jaringan jalan;
4. Dengan keuntungan aglomerasi, biaya penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan
bagi fasilitas-fasilitas akan dapat dikurangi karena biaya tersebut akan ditanggung
secara bersama;
5. Karena berbagai fasilitas tersebut berada di lokasi yang sama maka upaya untuk
memonitoring berbagai aktivitas di pusat tersebut menjadi Iebih mudah;
6. Memudahkan interaksi antar individu termasuk pertukaran informasi yang akan
berguna dalam proses modernisasi;
7. Lokasi-lokasi yang memiliki keunggulan akan dapat berkembang secara spontan
sebagai respon terhadap kebutuhan wilayah belakangnya (hinterland).

Dalam aktualisasinya pengembangan pusat-pusat tersebut merupakan


pengembangan sistem permukiman, sehingga pendekatan ini memberikan perhatian
utama pada penataan sistem permukiman sehingga terintegrasi dalam ruang.
Suatu sistem permukiman yang terintegrasi akan memberikan akses yang potensial
bagi penduduk di seluruh wilayah terhadap pasar yang beragam, berbagai fasilitas
perkotaan dan input yang berguna bagi pengembangan pertanian. Penyebaran
konsentrasi investasi di permukiman yang mempunyai ukuran dan karakteristik yang
berbeda merupakan salah satu elemen penting dalam pendekatan ini. Penyebaran
investasi di permukiman-permukiman yang berjenjang ini menurut Rondinelli dan
Ruddle akan memberikan manfaat yakni (Rondinelli, 1983 : 7-8):
1. Dengan adanya efek pemancaran (spead effect) dan skala ekonomi (economic of
scale), pusat-pusat diharapkan dapat berperan dalam menyebarkan kemajuan bagi
penduduk di sekitarnya (daerah hinterland);

Universitas Gadjah Mada


2. Menata ekonomi pedesaan melalui mekanisme ekonomi (penawaran dan
permintaan), sistem administrasi, dan sistem pelayanan sehingga kesempatan
kerja dapat tercipta dan semakin beragam;
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya individu-individu yang kreatif dan
inovatif;
4. Investasi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk tujuan wilayah dan
menciptakan keunggulan komparatif lokasi dari pusat-pusat;
5. Meningkatkan permintaan berbagai fasilitas pelayanan dan infrastruktur baru
sehingga pertumbuhan wilayah dapat terus dipacu.
6. Menciptakan interaksi (fisik-ekonomi) antar berbagai permukiman dan antara
permukiman dengan wilayah belakangnya yang akan meningkatkan aksesibilitas
tempat pusat;
7. Menarik aktivitas sosial-ekonomi yang berhubungan sehingga dapat membentuk
pasar baru bagi berbagai komoditi wilayah.

Dengan adanya hirarki dan spesialisasi fungsi masing-masing sistem


permukiman di atas maka diharapkan terjadi keterkaitan yang dapat mendorong
pertumbuhan sector-sektor ekonomi dan pembukaan lapangan kerja terutama di sektor
non pertanian. Dengan demikian arahan pengembangan pusat-pusat permukiman
harus berada dalam kerangka pengembangan kegiatan sosial-ekonomi yang akan
dikembangkan (berkembang) di suatu wilayah. Karena sektor ekonomi utama di daerah
pedesaan adalah sektor pertanian, maka arahan pengembangan pusat-pusat
permukiman harus terkait dengan upaya pengembangan sektor pertanian dan sektor-
sektor pendukung Iainnya, sepert sektor industri.

MEMBANGUN POLA KETERKAITAN SPASIAL

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya keterkaitan spasial merupakan
elemen kunci dari pendekatan integrasi spasial. Selain itu perkembangan pada suatu
wilayah dipengaruhi oleh perkembangan dan perbedaan fungsi permukiman serta
keterkaitan antar permukiman maupun antara permukiman dengan wilayah
pengaruhnya (pelayanannya). Kenyataan memperlihatkan bahwa suatu wilayah bukan
hanya dibentuk oleh sistem permukiman yang terpisah dengan fungsi masing-masing,
namun juga oleh jaringan dan interaksi sosial, ekonomi, dan fisik. Proses interaksi
tersebut dimungkinkan oleh adanya keterkaitan antar permukiman.

Universitas Gadjah Mada


Dengan adanya keterkaitan spasial ini penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan memiliki
aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan, fasilitas, infrastruktur, dan kegiatan
perekonomian yang berlokasi di pusat-pusat desa, kota pasar (kecamatan), maupun pusat
wilayah (regional). MeIaui hubungan keterkaitan ini pula, diharapkan penduduk pedesaan
dapat memperoleh input yang dibutuhkannya untuk meningkatkan produktivitas pertanian
dan mendukung kegiatan pemasaran dan berbagai produk yang dihasilkan, terutama
produk pertanian dan industri skala kecil (rumah tangga).

Rondinelli, membedakan menjadi 7 (tujuh) keterkaitan (spatial linkages) , yaitu: (1)


Keterkaitan fisik (jaringan transportasi); (2) Keterkaitan ekonomi, keterkaitan produksi
ke depan (forward linkages) dan ke belakang (backward linkages). (3) Keterkaitan
pergerakan penduduk (migrasi) dan tenaga kerja, (4). Keterkaitan teknologi, (5).
Keterkaitan sosial. (6). Keterkaitan pelayanan sosial. (7) Keterkaitan administrasi,
politik dan kelembagaan.

KUNCI DALAM STRATEGI INTEGRASI SPASIAL

1. Adanya hirarki dan keterkaitan (linkages) antar kelompok masyarakat atau


organisasi yang berlokasi pada komunitas yang tersebar.
2. Terciptanya transformasi struktur tata ruang, organisasi, tingkah laku, kelembagaan
sosial-ekonomi dan kultur sehingga elemen-elemen tersebut menjadi suatu instrumen
yang produktif dalam proses pertumbuhan dan perubahan.
3. Perbaikan sistem administrasi dan kepemihakan dari pemerintah terutama bagi
wilayah-wilayah yang belum berkembang, serta koordinasi antar lembaga.

KRITIK DAN KEGAGALAN STRATEGI INTEGRASI SPASIAL

 Pendekatan ini terlalu ideal sehingga jauh dari kenyataan. Pengembangan sektor
secara serentak pada kenyataannya sulit dilakukan karena keterbatasan
sumberdaya.

 Disamping kritik tersebut, sistem permukiman sebagai pembentuk integrasi spasial
sering tidak dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan. Kegagalan permukiman
untuk mendukung terbentuknya integrasi spasial ini diantaranya disebabkan:

Universitas Gadjah Mada


1. Jumlah pusat-pusat dan permukiman yang skalanya Iebih kecil tidak memadai
sehingga tidak terbentuk hirarki permukiman. Keadaan ini disebabkan oleh dua
kondisi, yakni:
a) jumlah penduduk terlalu sedikit sehingga penyediaan prasarana menjadi
tidak efisien;
b) secara spasial letak (lokasi) permukiman-permukiman tersebut berjauhan
sehingga tidak dapat membentuk suatu sistem pelayanan.
2. Distribusi fasilitas dan pelayanan diantara permukiman-permukiman tidak
memadai, bahkan untuk fasilitas pelayanan dan infrastruktur “dasar” seperti
kesehatan dan pendidikan.
3. Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antar pusat permukiman maupun antar
permukiman dengan wilayah pelayanannya.

Untuk menciptakan suatu sistem permukiman (sistem keruangan) yang terintegrasi,


terdapat berbagai instrumen intervensi yang dapat dilakukan, antara lain : pertama,
pengembangan kapasitas pelayanan (fasilitas) dan pusat-pusat permukiman yang ada;
kedua, pembentukan dan penguatan keterkaitan spasial antar pusat permukiman dan
antara pusat permukiman tersebut dengan wilayah pelayanannya (belakang); ketiga,
pengembangan wilayah belakang.

4. MODEL PENGEMBANGAN KOTA-KOTA KECIL


(DEKONSENTRASI PLANOLOGIS)

Strategi ini didasarkan anggapan bahwa di negara berkembang pengembangan dari


atas, yang menitikberatkan pembangunan industri di kota besar (metropolitan), tidak
akan dapat dijalarkan ke seluruh wilayah. Kota-kota ukuran sedang atau menengah
tidak mampu menciptakan eksternal ekonomi yang dibutuhkan untuk menjalarkan
pertumbuhan dari kota-kota besar (Hansen, 1981 : 318). Hal ini didukung fakta bahwa
pertumbuhan kota-kota kecil dan sedang (20.000 - 100.000 jiwa) rendah, sebaliknya
kota-kota besar makin tumbuh sehingga cenderung membentuk pola primate.

Disamping itu pemusatan dan pembauran berbagai fungsi dan kegiatan perkotaan,
baik fungsi primer maupun sekunder di pusat kota (kota induk) telah menyebabkan
timbulnya berbagai macam permasalahan, diantaranya terjadinya pemusatan
(tekanan) penduduk terutama akibat derasnya arus migrasi penduduk yang datang ke

Universitas Gadjah Mada


pusat kota. Dalam konteks ini pusat kota cenderung berkembang meluas menjadi
metropolitan atau mega urban yang meraksasa dan seolah-olah meraup sumberdaya
daerah disekitarnya.

Pengembangan kota-kota kecil dan kota sekunder adalah salah satu upaya
dekonsentrasi planologis, yaitu mengembangkan pusat-pusat baru di dalam suatu
wilayah kota besar atau metropolitan, dengan tujuan untuk meratakan perkembangan
di dalam wilayah tersebut. Selanjutnya strategi ini tidak hanya berorientasi kepada
pembangunan perdesaan saja tetapi juga menjalarkan inovasi dan pelayanan bagi
aliran produksi pertanian dan industri ringan dari perdesaan ke kota kecil dan kota yang
lebih besar, sehingga perluasan sistem kota-kota dikaitkan langsung dengan
peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan sejak awal proses pembangunan.
Secara teoritis bentuk pengembangan tersebut adalah upaya mengembangkan pusat-
pusat pertumbuhan baru dalam ruang. Konsep ini pada dasarnya merupakan
pengembangan Iebih lanjut daripada konsep ‘Growth Poles’.

Dalam pengembangan kota-kota kecil dan pusat-pusat pertumbuhan yang baru terjadi
proses integrasi antara sektor pertanian dan industri. Strategi ini diharapkan mampu
mengembangkan kesempatan kerja yang luas (60-80%) untuk menahan penduduknya
sendiri maupun penduduk di daerah belakangnya (hinterland) sehingga mereka tidak
bermigrasi ke kota utama (urbanisasi dari bawah). OIeh karena itu pusat-pusat
pertumbuhan baru paling tidak harus mempunyai unsur-unsur (entitas) yang mampu
mempengaruhi perkembangan kawasan ekonomi pengaruhnya. Umumnya unsur ini
adalah kegiatan industri pendorong (Propulsive Industry) yang dapat membangkitkan
tumbuhnya berbagai kegiatan Iain, seperti industri pelayanan, perdagangan, jasa dan
sebagainya.

Pengembangan dekonsentrasi planologis ada dua macam, yaitu pengembangan kota-kota


baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru. Pada prinsipnya, kedua macam pengembangan
dekonsentrasi tersebut mempunyai tugas dan peranan yang sama, yaitu mengurangi beban
kota utama. Pengembangan kota baru dibangun selengkapnya pada lahan yang masih
kosong, sedangkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru adalah pengembangan
pusat-pusat yang sudah ada di sekitar kota utama (Hansen, 1972). Dalam konteks
pembangunan wilayah kota sebagai suatu sistem wilayah, pengembangan kota-kota kecil
di sekitar kota utama merupakan

Universitas Gadjah Mada


bentuk pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru dalam rangka memenuhi
tingkat kebutuhan penduduknya dan mengurangi beban kota utama.

Secara pragmatis, dekonsentrasi planologis dapat dikatakan sebagai upaya


penyebaran satu atau beberapa fungsi dari kota inti ke kota-kota kecil di sekitamya.
beberapa fungsi penting kota utama sengaja dipindah atau dikeluarkan serta
ditempatkan di beberapa kota kecil disekitarnya, Misalnya relokasi industri ke daerah
pinggiran kota. Selain itu ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari strategi
dekonsentrasi panologis, antara lain:
1. Memberikan kesempatan pertumbuhan bagi kota kecil
2. Mendorong lingkungan kehidupan kekotaan (urbanized) secara lebih merata
3. Mengurangi beban masalah kota besar
4. Menahan laju pertumbuhan pertumbuhan kota-kota besar yang tidak terkendali
5. Menciptakan hubungan fungsional kota-kota yang lebih baik dalam sistem
perkotaan

Untuk melaksanakan strategi ini, selain dilakukan pengembangan fasilitas pada kota
kecil tersebut Iebih penting lagi adalah pengembangan berbagai prasarana yang akan
mendukung pengembangan pertanian, serta kebijaksanaan lain yang menguntungkan
petani, seperti kebijaksanaan harga, pajak, bantuan kredit, dan sebagainya.
Kebijaksanaan lain yang diperlukan adalah desentralisasi kewenangan yang memadai
untuk pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal.

Lebih lanjut strategi dekonsentrasi planologis ini bisa dijabarkan dan diperluas dalam
bentuk counter magnet strategy, kota kecil, kota baru, kota satelit, dormitory town, dan
sebagainya. Pada dasarnya konsep counter magnet asal mulanya dilhami oleh
rencana pengembangan garden city.

Counter magnet strategy adalah pengembangan kota-kota kecil dan menengah untuk dapat
menandingi perkembangan dari kota utama (primate city) agar lebih dapat mendifusikan
aspek-aspek kota secara keruangan (Townroe, 1982). Strategi ini dalam operasionalnya
didukung oleh teori pengembangan wilayah seperti Konsep Kutub Pertumbuhan (The
Conceps of Growth Poles), Teori ajang Pusat (The Theory of Central Places), dan lain
sebagainya. Selain aspek spasial, strategi ini juga memiliki

Universitas Gadjah Mada


fokus pada pemecahan masalah-masalah pokok non spasial seperti kemiskinan,
pengangguran, dan ketidakmerataan (inequality).

Universitas Gadjah Mada


KESIMPULAN DAN KOMPARASI
ANALISIS KESESUAIAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH TERHADAP KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN
NASIONAL
KEBIJAKSANAAN PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN
PENGEMBANGAN PENGEMBANGAN
No. PEMBANGUNAN KUTUB RUANG
AGROPOLITAN KOTA-KOTA KECIL
NASIONAL PERTUMBUHAN TERINTEGRASI
Menitikberatkan Pembangunan
pembangunan ekonomi Pembangunan ekonomi,
1. dan terpenuhiya Pembangunan Ekonomi Pembangunan Sosial Ekonomi terpenuhinya
kebutuhan pokok kebutuhan pokok

2. Pemerataan dengan Pertumbuhan dahulu Pemerataan, dan Pertumbuhan dengan Pemerataan dahulu,
pertumbuhan tujuan sosial lain pemerataan baru pertumbuhan

Keseimbangan dan Menitikberatkan Pembangunan Integrasi Keseimbangan kota


3. kesesuaian hubungan pembangunan di kota perdesaan pembangunan kota - desa dan kota kecil
kota-desa dan desa

4. Integrasi sistem ekonomi Integrasi Ketertutupan, Integrasi Mengarah kepada


nasional keberdikarian distrik integrasi

5. Keseimbangan sektor Titik berat pada industri Titik berat pada Keseimbangan Pertanian dan
Industri dan Pertanian pertanian industri dan pertanian industri kecil
Keterkaitan sektor modem Titik berat pada sekfor Titik berat pada Kaitan sektor modern Titik berat sektor
6.
dan tradisional sejak mula modern pertanian dan tradisional tradisional, local
7. Pembangunan ‘dari atas’ Dari atas Dari bawah Dari atas dan dari Dari bawah

Universitas Gadjah Mada


dan ‘dari bawah’ bawah

Terbuka terhadap sistem Secara tidak langsung Pemutusan


pasar dunia, dan mensyaratkan
ketergantungan,
8. mengurangi keterbukaan, dengan ketertutupan Tidak mensyaratkan Tidak mensyaratkan
ketergantungan secara ketergantungan yang atau berdikari
bertahap besar

Universitas Gadjah Mada

Anda mungkin juga menyukai