DI SUSUN OLEH :
VINNA FITRIANA
(NIM.1911102412095)
B. Etiologi
Penyebab terjadinya urolithiasis secara teoritis dapat terjadi atau terbentuk diseluruh
salurah kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin
(statis urin) antara lain yaitu sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan
pada pelvikalis (stenosis uretro-pelvis), divertikel, obstruksi intravesiko kronik, seperti
Benign Prostate Hyperplasia (BPH), striktur dan buli-buli neurogenik merupakan keadaan-
keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu (Prabowo & Pranata, 2014).
Penyebab pasti pembentukan BSK belum diketahui, oleh karena banyak faktor yang
dilibatkannya, sampai sekarang banyak teori dan faktor yang berpengaruh terhadap
pembentukan BSK yaitu:
a) Teori Nukleasi
Teori ini menjelaskan bahwa pembentukan batu berasal dari inti batu yang
membentuk kristal atau benda asing. Inti batu yang terdiri dari senyawa jenuh yang
lama kelamaan akan mengalami proses kristalisasi sehingga pada urin dengan
kepekatan tinggi lebih beresiko untuk terbentuknya batu karena mudah sekali untuk
terjadi kristalisasi.
b) Teori Matriks Batu
Matriks akan merangsang pembentukan batu karena memacu penempelan partikel
pada matriks tersebut. Pada pembentukan urin seringkali terbentuk matriks yang
merupakan sekresi dari tubulus ginjal dan berupa protein (albumin, globulin dan
mukoprotein) dengan sedikit hexose dan hexosamine yang merupakan kerangka
tempat diendapkannya kristal-kristal batu.
c) Teori Inhibisi yang Berkurang
Batu saluran kemih terjadi akibat tidak adanya atau berkurangnya faktor inhibitor
(penghambat) yang secara alamiah terdapat dalam sistem urinaria dan berfungsi untuk
menjaga keseimbangan serta salah satunya adalah mencegah terbentuknya endapan
batu. Inhibitor yang dapat menjaga dan menghambat kristalisasi mineral yaitu
magnesium, sitrat, pirofosfat dan peptida. Penurunan senyawa penghambat tersebut
mengakibatkan proses kristalisasi akan semakin cepat dan mempercepat terbentuknya
batu (reduce of crystalize inhibitor). Batu terbentuk dari traktus urinarius ketika
konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat
meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat defisiensi subtansi tertentu,
seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urin. Kondisi lain yang
mempengaruhi laju pembentukan batu mencakup pH urin dan status cairan pasien
(batu cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).
C. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada adanya obsrtuksi, infeksi, dan edema. Iritasi batu
yang terus-menerus dapat mengakibatkan terjadinya infeksi (pielonefritis dan sistitis) yang
sering disertai dengan keadaan demam, mengggil dan disuria.
1) Batu di piala ginjal (Purnomo, 2011)
a) Menyebabkan rasa sakit yang dalam dan terus-menerus diarea
kostovertebral.
b) Dapat dijumpai hematuria dan piuria.
c) Kolik renal : Nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri tekan di seluruh
area kostovertebral, nyeri pinggang, biasanya disertai mual dan muntah
2) Batu di ureter (Purnomo, 2011)
a) Nyeri luar biasa, akut, kolik yang menyebar ke paha & genitalia
b) Sering merasa ingin berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar, dan
biasanya mengandung darah
3) Batu di kandung kemih (Purnomo, 2011)
a) Nyeri kencing/disuria hingga stranguri
b) Perasaan tidak enak sewaktu kencing
c) Kencing tiba-tiba terhenti kemudian menjadi lancar kembali dengan
perubahan posisi tubuh
d) Nyeri pada saat miksi seringkali dirasakan pada ujung penis, skrotum,
perineum, pinggang, sampai kaki.
4) Batu di uretra (Purnomo, 2011)
a) Miksi tiba-tiba berhenti hingga terjadi retensi urin
Nyeri dirasakan pada glans penis atau pada tempat batu berada.
b) Batu yang berada pada uretra posterior, nyeri dirasakan di perineum atau
rektum
c) Batu yang terdapat di uretra anterior seringkali dapat diraba oleh pasien
berupa benjolan keras di uretra pars bulbosa maupun pendularis atau
kadang-kadang tampak di meatus uretra eksterna
D. Patofisiologi Urolithiasis
Tugas utama ginjal adalah mengeluarkan produk samping metabolisme yang
meliputi kalsium, oksalat, dan asam urat. Ketika konsentrasi mineral tersebut
meningkat, maka batu dapat terbentuk di traktus urinarius. Secara teoritis batu dapat
terbentuk diseluruh saluran kemih terutama pada tempat-tempat yang sering mengalami
hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Ada
tidaknya zat inhibitor dalam urin, seperti magnesium, pirofosfat, sitrat dan substansi
lain juga menjadi faktor yang menentukan dalam pembentukan batu (Chang 2009),
karena substansi tersebut secara normal mencegah kristalisasi dalam urin (Smeltzer et.
al, 2002).
Pembentukan batu urinarius juga dapat terjadi pada penyakit inflamasi usus dan
pada individu dengan ileostomi atau reseksi usus, karena individu ini mengabsorbsi
oksalat secara berlebihan. Batu terdiri atas kristal-kristal yang tersusun oleh bahan-
bahan organik maupun anorganik yang terlarut di dalam urin. Kristal-kristal tersebut
tetap berada dalam keadaan metastable (tetap terlarut) dalam urin, jika tidak ada
keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya presipitasi kristal.
Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk inti batu (nukleasi)
yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-bahan lain sehingga
menjadi kristal yang lebih besar. Meskipun ukuranya cukup besar, agregat kristal masih
rapuh dan belum cukup mapu membuntu saluran kemih. Oleh karena itu, agregat kristal
menempel pada epitel saluran kemih (membentuk retensi kristal) dan dari sini bahan-
bahan lain diendapkan pada agregat itu sehingga membentuk batu yang cukup besar
untuk menyumbat saluran kemih. Kondisi metastable dipengaruhi oleh suhu, PH
larutan, adanya koloid di dalam urin, konsentrasi solut di dalam urin, laju aliran urin
didalam saluran kemih, atau danya korpus alineum di dalam saluran kemih yang
bertindak sebagai inti batu (Purnomo 2011).
Apabila volume urin sedikit, bahan tersebut membuat urin sangat jenuh hingga
terbentuk kristal, sedangkan pH urin dan status cairan klien dapat mempengaruhhi laju
pembentukan batu karena batu cenderung terjadi pada klien dehidrasi. Selain karena
urin sangat jenuh, pembentukan batu dapat juga terjadi pada individu yang memiliki
riwayat batu sebelumnya atau pada individu yang stasis karena imobilitas (Chang
2009).
Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi menyebabkan peningkatan
tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal (hidronefrosis) dan ureter proksimal
(hidroureter). Ada pula beberapa batu yang menyebabkan sedikit gejala, namun secara
perlahan merusak unit fungsional (nefron) ginjal, sedangkan yang lain menyebabkan
nyeri yang luar biasa dan ketidaknyamanan. Nyeri yang berasal dari area renal
menyebar secara anterior dan pada wanita ke bawah mendekati kandung kemih,
sedangkan pada pria mendekati testis. Bila nyeri mendadak menjadi akut, disertai nyeri
tekan diseluruh area kostovertebral dan muncul mual dan muntah maka klien sedang
mengalami episode kolik renal (Smeltzer et. al, 2002).
Jenis nyeri ini disertai dengan rasa sakit menetap di daerah kostovertebral (titik
di bagian pungggung yang berhubungan dengan iga ke-12 dan tepi lateral muskulus
sakrospinalis). Gejala gastrointestinal seperti diare dan ketidaknyamanan abdominal
dapat terjadi akibat dari refleks renointestinal dan proksimal anatomik ginjal ke
lambung, pankreas dan usus besar. Gejala kolik ginjal dapat sangat hebat hingga timbul
respon saraf simpatik berupa mual, muntah, kulit pucat, dingin dan lembab (Chang
2009).
Batu yang terjebak di ureter menyebabkan gejala kolik ureteral berupa gelombang
nyeri yang luar biasa, akut dan kolik yang menyebar ke paha dan genitalia. Rasa nyeri
hebat dan bersifat hilang timbul karena spasme yang terjadi pada ureter ketika berupaya
untuk mendorong batu turun (Chang 2009).
Klien sering merasa ingin berkemih namun hanya sedikit urin yang keluar dan
biasanya mengandung darah akibat aksi abrasif batu. Inflamasi kontinu akibat
permukaan batu yang kasar dapat mengakibatkan infeksi ginjal (pielonefritis) atau
kandung kemih (sistitis) sehingga timbul demam, menggigil, sering berkemih,
hematuria, rasa sakit dan terbakar ketika berkemih. Jika batu menyebabkan obstruksi
pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urin (Smeltzer et. al, 2002).
E. Clinical Pathway (terlampir)
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan untuk mengetahui adanya batu ureter
(urolithiasis) menurut Umamy 2007 adalah sebagai berikut:
1) Uji Laboratorium
a) Analisa urin (Urinanalisis)
Analisa ini digunakan untuk menemukan faktor risiko pembentukan batu dan
menunjukkan hasil secara umum terkait dengan hal-hal berikut ini:
Tes urin lengkap
Kultur urin
Pemeriksaan ini dilakukan dengan indikasi kecurigaan pada klien
dengan adanya ISK karena berguna untuk mendeteksi adanya infeksi
sekunder ataupun infeksi saluran kemih (ISK) akibat adanya pertumbuhan
kuman pemecah vena seperti (Stapilococus aureus, Proteus, Klebsiela,
Pseudomonas).
Tes urin 24 jam
Tes ini berguna untuk mengetahui kadar pH urin, kreatinin, asam urat,
kalsium, fosfat, oksalat atau sistin yang mungkin meningkat
Kadar klorida, bikarbonat serum, serta hormon paratiroid
Peningkatan kadar klorida dan penurunan kadar bikarbonat
menunjukkan terjadinya asidosis tubulus ginjal.
b) Tes darah lengkap (DL)
Leukosit kemungkinan dapat meningkat, hal ini disebabkan adanya
infeksi/septikemia, eritrosit biasanya dalam kadar normal. Sedangkan Hb/Ht
menjadi abnormal bila klien mengalami dehidrasi berat atau polisitemia
(mendorong presipitasi pemadatan) atau anemia (pendarahan, disfungsi/ gagal
ginjal).
c) Analisa batu
Pemeriksaan ini juga disebut dengan tes mikroskopik urin untuk menunjukkan
adanya sel dan benda berbentuk partikel lainnya seperti bakteri, virus maupun
bukan karena infeksi (perdarahan, gagal ginjal).
2) Tes Radiologi
a) Foto polos abdomen (BOF, KUB)
Radiologi ini dapat dipakai untuk menunjukkan adanya kalkuli dan atau
perubahan anatomik pada area ginjal maupun sepanjang ureter. Plain-film
radiografi dari ginjal, ureter, dan kandung kemih (KUB) hanya dapat
mendokumentasikan ukuran dan lokasi batu kemih radiopak pada batu kalsium
oksalat dan kalsium fosfat, karena memiliki kandungan kalsium mereka paling
mudah dideteksi oleh radiografi.
b) IVP (Intra Vena Pielografi) / IVU (Intravenous Urography)
Menunjukkan abnormalitas pada struktur anatomik (distensi ureter) dan garis
bentuk kalkuli. IVU/IVP menyediakan informasi yang berguna mengenai ukuran
batu, lokasi, dan radio density. Anatomi Calyceal, derajat obstruksi, serta unit
ginjal kontra lateral juga dapat dinilai dengan akurasi.
c) Sistoureteroskopi
Visualisasi langsung kandung kemih dan ureter dapat menunjukkan batu dan
atau efek obstruksi
d) CT-scan
Pemindaian CT-scan akan menghasilkan gambar yang lebih jelas tentang
ukuran dan lokasi batu. Pemeriksaan ini dipakai untuk mengidentifikasi kalkuli
dan masa lain; ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih (Borley 2006).
Indikasinya meliputi obstruksi saluran kemih, BSK (Batu saluran kemih), trauma
urinari, alkuli ureter, dan distensi bladder
e) Ultrasound ginjal (USG)
USG ginjal digunakan untuk menunjukkan perubahan obstruksi, lokasi batu.
Indikasinya meliputi suspek urolithiasis, kolik ginjal, batu ginjal, hidronefrosis,
obstruksi saluran kemih, batu asam urat, dan yeri ginekologi
f) Sistoskopi
Sistoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan menyisipkan sebuah tabung
kecil fleksibel melalui uretra, yang memuat sebuah lensa dan sistem pencahayaan
yang membantu dokter untuk melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih
untuk mengetahui kelainan dalam kandung kemih dan saluran kemih bawah.
Dengan prosedur ini, batu ginjal dapat diambil dari ureter, kandung kemih atau
uretra, dan biopsi jaringan dapat dilakukan. Indikasi pemeriksaan ini yaitu klien
dengan kelainan anomali bladder, saluran kemih, dan batu ginjal.
g) Uroflowmetry dan Urodinamik
Berguna untuk mengukur kecepatan pengeluaran urin, tekanan bladder dan
tekanan abdominal. Serta untuk mendeteksi pancaran kencing sehingga dapat
mengetahui ada tidaknya kelainan pada saluran kencing bawah, seperti adanya
kelainan prostat (BPH) maupun kelainan striktur uretra. Indikasi pemeriksaan ini
adalah BPH (Benign Prostatic Hyperplasia), striktur uretra, dan kelainan saluran
kencing bagian bawah.
h) Magnetic Resonance Urography (MRU)
Magnetic resonance urography (MRU) memberikan alternatif untuk NCCT
dalam pengaturan klinis tertentu, termasuk klien anak-anak dan ibu hamil. (Pearl
dan Nakada, 2009).Indikasi pemeriksaan ini adalah hidronefrosis, batu saluran
kemih (BSK), obstruksi saluran kemih, dan striktur uretra.
i) Renogram
Pemeriksaan yang dikhususkan untuk klien yang terkena staghorn stone.
Berguna untuk menilai fungsi ginjal (Umamy 2007).
G. Penatalaksanaan Urolithiasis
Tujuan utama penatalaksanaan ini adalah untuk menghilangkan batu, mencegah
kerusakan nefron, dan mengendalikan infeksi, serta mengurangi obstruksi yang terjadi.
Ada beberapa penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada batu saluran empedu
diantaranya:
1. Terapi konservatif
1) Terapi diet
Terapi diet ini terdiri dari terapi nutrisi dan terapi cairan. Terapi nutrisi
berperan penting dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat serta
menghindari makanan tertentu dalam diet juga dapat mencegah pembentukan
batu. Setiap klien yang memiliki riwayat batu renal harus minum paling sedikit 8
gelas air (+ 2-3 liter) dalam sehari untuk mempertahankan urin encer, kecuali
dikontraindikasikan. Natrium selulosa fosfat telah diteliti lebih efektif dalam
mencegah batu kalsium.
2) Terapi farmakologi
(1) Antispasmodik
Propantelin dapat digunakan untuk mengatasi spasme ureter.
(2) Antibiotik
Pemberian antibiotik dilakukan apabila terdapat infeksi saluran kemih
atau pada pengangkatan batu untuk mencegah infeksi sekunder.
(3) Analgesik
Opioid (injeksi morfin sulfat, petidin hidroklorida) atau obat AINS
(NSAID’s) seperti ketorolak dan naproxen dapat diberikan tergantung pada
intensitas nyeri.
3) Terapi kimiawi
(1) Mempertahankan pH urin agar tidak terjadi kristalisasi batu
a. NaCO3- : Membuat urin lebih alkali pada asam
b. Asam askorbat : Membuat urin lebih asam pada alkali pencetus
(2) Mengurangi ekskresi dari substansi pembentuk batu
a. Diuretik (tiazid) : Menurunkan eksresi kalsium ke dalam urin dan
menurunkan kadar parathormon. Efek samping
gangguan metabolik, dermatitis, purpura.
b. Alupurinol (zyloprim): Mengatasi batu asam dengan menurunkan
kadar asam urat plasma dan ekskresi asam
urat ke dalam urin. Efek samping mual,
diare, vertigo, mengantuk, sakit kepala.
2. Terapi non invasif
1) Pelarutan Batu
Jenis batu yang dapat dilarutkan adalah jenis batu asam urat. Batu ini hanya
terjadi pada keadaan pH air kemih yang asam (pH 6,2) sehingga hanya dengan
pemberian Natrium Bikarbonat (NaCO3-) disertai dengan makanan alkalis maka
batu akan larut bersama urin. Namun, beberapa penelitian telah membuktikan
bahwa dengan pemberian NaCO3- bersamaan Allopurinol akan memberikan hasil
yang baik dengan menurunkan kadar asam urat air kemih.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
4. Risiko Infeksi
5. Retensi urine b.d peningkatan tekanan uretra
DAFTAR PUSTAKA
Chang, Esther. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktek Keperawatan. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif dan Kumala Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta: Salemba Medika
Mehmed, M.M., & Ender , O. 2015. Effect of urinary stone disease and its treatment on renal
function. WORLD j Nephrol :4(2) 271-276
Purnomo, Basuki B. 2011. Dasar-dasar Urologi. Ed: 3. Jakarta: Sagung Seto
Prabowo dan Pranata, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G. Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC
Umamy, V. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga by Pierce A. Grace & Neil R. Borley.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI
PATHWAY