Anda di halaman 1dari 18

Tugas Makalah Kelompok

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN GASTROINTESTINAL “HERNIA”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Medikal Bedah

Disusun oleh: Kelompok 10

1. Endah Cahyaningsih (18020)


2. M. Iqbal Alfarizi (18024)
3. Nada Nabilah Fasya (18028)

Dosen Pengajar : Ns Fazar, M.Kep.,Sp.KMB

AKADEMI KEPERAWATAN PELNI

JAKARTA

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah ini bisa tepat pada waktunya yang membahas tentang “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
GASTROINTESTINAL “HERNIA””.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua patner yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kami. Aamiin.

Jakarta, Oktober 2019

Penyusun

Kelompok 10

2
DAFTAR ISI

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa yang dimaksud dengan Hernia?
2. Bagaimana etilogi dari Hernia?
3. Bagaimana patofisiologi dari Hernia?
4. Bagaimana manifestasi klinik dari pasien dengan Hernia?
5. Bagaimana komplikasi dari pasien dengan Hernia?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis dan keperawatan pada pasien Hernia?
7. Bagaimana pengkajian dan pemeriksaan diagnostic pada pasien Hernia?
8. Bagaimana diagnose keperawatan pada pasien dengan Hernia?
9. Bagaimana perencanaan keperawatan pada pasien dengan Hernia?
10. Bagaimana pelaksanaan keperawatan pada pasien dengan Hernia?
11. Bagaimana evaluasi pada pasien dengan Hernia?
12. Bagaimana dokumentasi keperawatan pasien dengan Hernia?

1.3 TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Hernia.
2. Untuk mengetahui etiologi dari Hernia.
3. Untuk mengatahui patofisiologi dari Hernia.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinik dari pasien dengan Hernia.
5. Untuk mengetahui komplikasi dari pasien dengan Hernia.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dan keperawatan pada pasien
Hernia.
7. Untuk mengetahui pengkajian dan pemeriksaan diagnostic pada pasien
Hernia.
8. Untuk mengetahui diagnose keperawatan pada pasien dengan Hernia.

4
9. Untuk mengetahui perencanaan keperawatan pada pasien dengan Hernia.
10. Untuk mengetahui pelaksanaan keperawatan pada pasien dengan Hernia.
11. Untuk mengetahui evaluasi pada pasien dengan Hernia.
12. Untuk mengetahui dokumentasi keperawatan pasien dengan Hernia.

5
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN
Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui defek
atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan (Jong,2004).
Hernia adalah tonjolan keluarnya organ atau jaringan melalui dinding
rongga dimana rongga tersebut harusnya berada dalam keadaan normal tertutup
(Nanda,2006).

2.2 ETIOLOGI
Penyebab dari hernia adalah adanya peningkatan tekanan intra abdominal
akibat adanya tindakan valsava maneuver seperti batuk, mengejan, mengangkat
benda berat atau menangis.
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomaly congenital atau karena sebab
yang didapat. Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan pintu
masuk hernia pada anulus internus yang cukup lebar, sehingga dapat dilalui oleh
kantong dan isi hernia. Selain itu diperlukan pula faktor yang dapat mendorong
isi hernia melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar itu.
Faktor yang dipandang berperan kausal adalah adanya prosesus vaginalis
yang terbuka, peninggian tekanan di dalam rongga perut dan kelemahan otot
dinding perut karena usia. Tekanan intra abdominal yang meninggi serta kronik
seperti batuk kronik, hipertrofi prostat, konstipasi dan asites sering disertai
hernia inguinalis.
Anak yang menjalani operasi hernia pada waktu bayi mempunyai
kemungkinan mendapat hernia kontralateral pada usia dewasa (16%).
Bertambahnya umur menjadi faktor risiko, dimungkinkan karena meningkatnya
penyakit yang meninggikan tekanan intra abdomen dan berkurangnya kekuatan
jaringan penunjang.

6
Setelah apendektomi menjadi faktor risiko terjadi hernia inguinalis karena
kelemahan otot dinding perut antara lain terjadi akibat kerusakan nervus
ilioinguinalis dan nervus iliofemoralis.(Jong, 2004).
Hernia juga dapat disebabkan oleh beberapa :
1. Congenital
2. Obesitas
3. Kehamilan
4. Mengejan
5. Kelemahan dinding abdomen
6. Ppok
7. Trauma

2.3 PATOFISIOLOGI
Terjadinya hernia disebabkan oleh dua faktor yang pertama adalah
faktor kongenital yaitu kegagalan penutupan prosesus vaginalis pada waktu
kehamilan yang dapat menyebabkan masuknya isi rongga perut melalui
kanalis inguinalis, faktor yang kedua adalah faktor yang didapat seperti
hamil, batuk kronis, pekerjaan mengangkat benda berat dan faktor usia,
masuknya isi rongga perut melalui kanal ingunalis, jika cukup panjang maka
akan menonjol keluar dari anulus ingunalis eksternus. Apabila hernia ini
berlanjut tonjolan akan sampai ke skrotum karena kanal inguinalis berisi tali
sperma pada laki-laki, sehingga menyebakan hernia. Hernia ada yang dapat
kembali secara spontan maupun manual juga ada yang tidak dapat kembali
secara spontan ataupun manual akibat terjadi perlengketan antara isi hernia
dengan dinding kantong hernia sehingga isi hernia tidak dapat dimasukkan
kembali. Keadaan ini akan mengakibatkan kesulitan untuk berjalan atau
berpindah sehingga aktivitas akan terganggu. Jika terjadi penekanan
terhadap cincin hernia maka isi hernia akan mencekik sehingga terjadi
hernia strangulate yang akan menimbulkan gejala ileus yaitu gejala
obstruksi usus sehingga menyebabkan peredaran darah terganggu yang akan
menyebabkan kurangnya suplai oksigen yang bisa menyebabkan Iskemik.

7
Isi hernia ini akan menjadi nekrosis. Kalau kantong hernia terdiri atas usus
dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan abses lokal atau
prioritas jika terjadi hubungan dengan rongga perut. Obstruksi usus juga
menyebabkan penurunan peristaltik usus yang bisa menyebabkan
konstipasi. Pada keadaan strangulate akan timbul gejala ileus yaitu perut
kembung, muntah dan obstipasi pada strangulasi nyeri yang timbul letih
berat dan kontineu, daerah benjolan menjadi merah (Syamsuhidajat 2004).

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Pada umumnya keluhan orang dewasa berupa benjolan di inguinalis yang
timbul pada waktu mengedan, batuk, atau mengangkat beban berat dan
menghilang pada waktu istirahat berbaring. Pada inspeksi perhatikan keadaan
asimetris pada kedua inguinalis, skrotum, atau labia dalam posisi berdiri dan
berbaring. Pasien diminta mengedan atau batuk sehingga adanya benjolan atau
keadaan asimetris dapat dilihat. Palpasi dilakukan dalam keadaan ada benjolan
hernia, diraba konsistensinya, dan dicoba mendorong apakah benjolan dapat
direposisi. Setelah benjolan dapat direposisi dengan jari telunjuk, kadang
cincin hernia dapat diraba berupa anulus inguinalis yang melebar (Jong, 2004).

Gejala dan tanda klinis hernia banyak ditentukan oleh keadaaan isi hernia.
Pada hernia reponibel keluhan satu-satunya adanya benjolan di lipat paha yang
muncul pada waktu berdiri, batuk bersin, atau mengejan dan menghilang
setelah berbaring. Keluhan nyeri jarang dijumpai, kalau ada biasanya dirasakan
di daerah epigastrium atau paraumbilikal berupa nyeri viseral karena regangan
pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam kantong
hernia. Nyeri yang disertai mual atau muntah baru timbul kalau terjadi
inkarserasi karena ileus atau strangulasi karena nekrosis atau gangren.

Tanda klinis pada pemeriksaan fisik bergantung pada isi hernia. Pada
inspeksi saat pasien mengedan, dapat dilihat hernia inguinalis lateralis muncul
sebagai penonjolan di regio ingunalis yang berjalan dari lateral atas ke medial
bawah. Kantong hernia yang kosong kadang dapat diraba pada vunikulus

8
spermatikus sebagai gesekan dari dua lapis kantong yang memberikan sensasi
gesekan dua permukaan sutera. Tanda ini disebut tanda sarung tangan sutera,
tetapi umumnya tanda ini sukar ditentukan. Kalau kantong hernia berisi organ,
tergantung isinya, pada palpasi mungkin teraba usus,omentum (seperti karet),
atau ovarium. Dengan jari telunjuk atau kelingking pada anak, dapat dicoba
mendorong isi hernia dengan menekan kulit skrotum melalui anulus eksternus
sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau tidak. Dalam
hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus
eksternus, pasien diminta mengedan. Kalau ujung jari menyentuh hernia,
berarti hernia inguinalis lateralis, disebut hernia inguinalis lateralis karena
menonjol dari perut di lateral pembuluh epigastrika inferior. Disebut juga
indirek karena keluar melalui dua pintu dan saluran yaitu, anulus dan kanalis
inguinalis. Pada pemeriksaan hernia lateralis akan tampak tonjolan berbentuk
lonjong, sedangkan hernia medialis berbentuk tonjolan bulat. Dan kalau sisi
jari yang menyentuhnya, berarti hernia inguinalis medialis. Dan jika kantong
hernia inguinalis lateralis mencapai skrotum, disebut hernia skrotalis. Hernia
inguinalis lateralis yang mencapai labium mayus disebut hernia labialis.
Diagnosis ditegakkan atas dasar benjolan yang dapat direposisi, atau jika tidak
dapat direposisi, atas dasar tidak adanya pembatasan yang jelas di sebelah
cranial dan adanya hubungan ke cranial melalui anulus eksternus. Hernia ini
harus dibedakan dari hidrokel atau elefantiasis skrotum. Testis yang teraba
dapat dipakai sebagai pegangan untuk membedakannya.(Jong, 2004).

2.5 KOMPLIKASI
Komplikasi hernia bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia.
Isi hernia dapat tertahan dalam kantong, pada hernia ireponibel ini dapat terjadi
kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri atas omentum, organ
ekstraperitonial. Disini tidak timbul gejala klinis kecuali berupa benjolan. Dapat
pula terjadi isi hernia tercekik oleh cincin hernia sehingga terjadi hernia
strangulata yang menimbulkan gejala obstruksi usus yang sederhana. Sumbatan
dapat terjadi total atau parsial. Bila cincin hernia sempit, kurang elastis, atau

9
lebih kaku, lebih sering terjadi jepitan parsial. Jarang terjadi inkarserasi
retrograd, yaitu dua segmen usus terperangkap di dalam kantong hernia dan satu
segmen lainnya berada dalam rongga peritonium, seperti huruf “W”.
Jepitan cincin hernia akan menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi
hernia. Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga terjadi udem organ
atau struktur di dalam hernia dan transudasi ke dalam kantong hernia.
Timbulnya udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia makin bertambah,
sehingga akhirnya peredaran darah jaringan terganggu. Isi hernia terjadi
nekrosis dan kantong hernia berisi transudat berupa cairan serosanguinus. Kalau
isi hernia terdiri atas usus, dapat terjadi perforasi yang akhirnya dapat
menimbulkan abses local, fistel, atau peritonitis, jika terjadi hubungan dengan
dengan rongga perut (Jong, 2004).
Gambaran klinis hernia inguinalis lateralis inkarserata yang mengandung
usus dimulai dengan gambaran obstruksi usus dengan gangguan keseimbangan
cairan, elektrolit dan asam basa. Bila sudah terjadi strangulasi karena gangguan
vaskularisasi, terjadi keadaan toksik akibat gangren dan gambaran klinis
menjadi kompleks dan sangat serius. Penderita mengeluh nyeri lebih hebat di
tempat hernia. Nyeri akan menetap karena rangsangan peritoneal.
Pada pemeriksaan local ditemukan benjolan yang tidak dapat dimasukkan
kembali disertai nyeri tekan dan tergantung keadaan isi hernia, dapat dijumpai
tanda peritonitis atau abses local. Hernia strangulata merupakan keadaan gawat
darurat. Oleh karena itu, perlu mendapat pertolongan segera (Jong 2004).

2.6 PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


Penatalaksanaan medis dan keperawatan hernia ada dua mcam yaitu:
1. Konservatif
a. Reposisi
b. Suntikan
c. Sabuk Hernia
2. Operatif
Operasi merupakan tindakan paling baik dan dapat dilakukan pada:

10
a. Hernia reponibilis.
b. Hernia irreponibilis.
c. Hernia strangulasi.
d. Hernia incarserata.

Operasi hernia dilakukan dalam 3 tahap, yaitu:

a. Herniotomy
Membuka dan memotong kantong hernia serta mengembalikan isi
hernia ke cavum abdominalis.
b. Hernioraphy
Mulai dari mengikat leher hernia dan menggantungkannya pada
conjoint tendon (penebalan antara tepi bebas m.obliquus
intraabdominalis dan m.transversus abdominis yang berinsersio di
tuberculum pubicum).
c. Hernioplasty
Menjahitkan conjoint tendon pada ligamentum inguinale agar LMR
hilang/tertutup dan dinding perut jadi lebih kuat karena tertutup otot.

Operasi hernia pada anak dilakukan tanpa hernioplasty, dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Anak berumur kurang dari 1 tahun: Menggunakan teknik Michele Benc.
b. Anak berumur lebih dari 1 tahun: Menggunakan teknik POTT.

2.7 PENGKAJIAN DAN PEMERIKSAAN DIAGNOSTIC


Pengkajian pasien Post Operatif (Doenges, 2000) meliputi:
a. Sirkulasi
Gejala: Riwayat masalah jantung, edema pulmonal, penyakit vascular
perifer, atau statis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus).
b. Integritas ego
Gejala: Perasaaan cemas, takut, marah, apatis, factor- factor stress
multiple. Misalnya financial dan hubungan gaya hidup.

11
Tanda: Tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/ peka rangsang,
stimulasi simpatis.
c. Makanan/ Cairan
Gejala: Insufisiensi pancreas/ DM (predisposisi untuk
hipoglikemia/ketoasidosis), malnutrisi (termasuk obesitas), membrane
mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan/periode puasa pra
operasi).
d. Aktivitas atau Istirahat
Tanda: Mengangkat beban berat, duduk, mengemudi dalam waktu lama,
membutuhkan papan matras untuk tidur, penurunan rentang gerak, tidak
mampu melakukan aktivitas seperti biasa, atrofi otot, gangguan dalam
berjalan.
e. Neurosensory
Gejala: Kesemutan, kekakuan, kelemahan tangan atau kaki, penurunan
reflek tendon dalam, nyeri tekan atau nyeri abdomen.
f. Pernafasan
Gejala: Infeksi, Kondisi yang kronis/batuk, merokok.
g. Keamanan
Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan
larutan.
Tanda:munculnya proses infeksi yang melelahkan, demam.
h. Kenyamanan
Gejala : nyeri seperti ditusuk-tusuk, fleksi pada kaki, keterbatasan
mobilisasi.
i. Pemeriksaan diagnostic
1) Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya kadar gas dalam
usus/ obstruksi usus.
2) Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah
putih dan ketidakseimbangan elektrolit.

12
2.8 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi dan distensi abdominal, ditandai
dengan adanya rasa nyeri, perilaku yang sangat hati-hati, melindungi bagian
tertentu, memusatkan diri, mempersempit fokus, perilaku distraksi (tegang,
mengerang, menangis, mondar-mandir, gelisah), raut wajah kesakitan (mata
kuyu, terlihat lelah, gerakan kaku, meringis), perubahan tonus otot, respons
autonom (diaforesis), perubahan tekanan darah dan nadi, dilatasi pupil,
penurunan atau peningkatan frekuensi nafas.Resiko infeksi berhubungan
dengan inkontinuitas jaringan sekunder terhadap tindakan invasive (insisi
bedah).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinuitas jaringan sekunder
terhadap tindakan invasive (insisi bedah).
3. Perubahan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan penurunan
peristaltic usus sekunder terhadap efek anesthesia yang ditandai dengan
feses keras, berbentuk, defekasi terjadi kurang dari 3 kali seminggu, bising
usus menurun, melaporkan adanya perasaan penuh pada rectum.
4. Imobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak.

2.9 PERENCANAAN KEPERAWATAN


1. Nyeri berhubungan dengan luka insisi.
a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan keperawatan 3X 24 jam pernafasan
normal
b. Intervensi :
1) Observasi nyeri, perhatian lokasi, intensitas (skala 1-10). Rasional:
Pengkajian nyeri mendasari bagi perencanaan intervasi keperawatan.
2) Latih klien menggunakan metode distraksi. Rasional: Latihan
pernafasan dan teknik relaksasi menurunkan konsumsi O2, frekuensi
jantung, ketegangan otot yang menghentikan siklus nyeri.
3) Ubah posisi yang nyaman, misalnya posisi semi flower dengan bagian
lutut ditopang dengan bantal. Rasional:Posisi yang tepat dapat
mengurangi stress pada area sinsisi.

13
4) Pantau tanda vital tiap 4 jam. Rasional: Untuk mengetahui perubahan
KU pasien.
5) Berikan tindakan kenyamanan (sentuhan terapeutik, pengubahan
posisi, dan pijatan punggung).
2. Resiko infeksi berhubungan dengan inkontiunitas jaringan sekunder
terhadap tindakan intervasive/insisi pembedahan.
a. Tujuan: Klien terbebas dari infeksi selama proses penyembuhan dengan
kriteria tidak ada tanda infeksi.
b. Intervensi:
1) Observasi adanya tanda-tanda infeksi. Rasional: sebagai respon
jaringan terhadap infiltrasi pathogen dengan peningkatan darah dan
aliran limfe, penurunan epitelisasi, peningkatan suhu tubuh oleh
rangsangan hipotalamus.
2) Pantau tanda vital, perhatikan demam ringan menggigil, nadi dan
pernafasan cepat, gelisah, peka, disorientasi. Rasional: untuk
mengetahui perubahan KU pasien.
3) Ganti balutan secara sering dengan tehnik steril. Rasional: dapat
mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam luka dan
mengurangi resiko transmisi infeksi pada orang lain.
4) Sarankan klien untuk tidak menyentuh area luka operasi. Rasional:
tanpa cuci tangan dan sarung tangan menambah resiko infeksi pada
luka.
5) Anjurkan klien untuk makan TKTP. Rasional: untuk memperbaiki
jaringan tubuh harus meningkatkan masukan protein dan karbohidrat
serta hidrasi adekuat untuk transport vaskuler dari oksigen dan zat
sampah.
6) Kolaborasi pemberian antibiotik. Rasional: sebagai penghambat
pertumbuhan dan pembunuh mikroorganisme pada luka, sehingga
luka bersih dan terbebas dari infeksi.

14
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus sekunder
terhadap efek anesthesia.
a. Tujuan: Klien mempunyai pola eliminasi fekal yang normal dengan
kriteria mampu buang air besar dan bising usus normal.
b. Intervensi
1) Observasi adanya distensi, nyeri, dan pembatasan pasien dalam
melakukan mobilisasi.
2) Sarankan klien untuk melakukan mobilisasi secara dini. Rasional:
gerak fisik miring kanan/kiri merangsang eliminasi usus dengan
memperbaiki tonus otot abdomen dan merangsang nafsu makan
dan peristaltic usus.
3) Sarankan untuk makan makanan tinggi serat segera setelah
peristaltic aktif kembali. Rasional: diit seimbang tinggi serat
merangsang peristaltic.
4) Sarankan klien minum banyak sesuai anjuran dokter. Rasional:
minum yang cukup perlu untuk mempertahankan pola BAB dan
meningkatkan konsistensi feses.
4. Imobilitas fisik berhubungan dengan keterbatasan gerak
a. Tujuan: Pasien dapat beraktivitas dengan nyaman dengan kriteria
hasil menunjukkan mobilitas yang aman, meningkatkan kekuatan
dan fungsi bagian tubuh yang sakit.
b. Intervensi
1) Berikan aktivitas yang disesuaikan dengan pasien. Rasional:
Imobilitas yang dipaksakan dapat memperberat keadaan.
2) Anjurkan pasien untuk beraktivitas sehari-hari dalam
keterbatasan pasien. Rasional: partisipasi pasien akan
meningkatkan kemandirian pasien.
3) Anjurkan keluarga dalam melakukan meningkatkan
kemandirian pasien. Rasional: keterbatasan aktivitas
bergantung pada kondisi yang khusus tetapi biasanya
berkembang dengan lambat sesuai toleransi.

15
4) Kolaborasi dalam pemberian obat. Rasional: obat dapat
meningkatkan rasa nyaman dan kerja sama pasien selama
melakukan aktivitas (Doengoes, 2000).
2.10 PELAKSANAAN KEPERAWATAN
Melakukan tindakan sesuai dengan intervensi yang sudah direncanakan sebelum
ke pasien.

2.11 EVALUASI KEPERAWATAN


Dx I
1. Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi.
2. Skala nyeri 1 – 3 ( 0 - 10 )
3. Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan
nyeri.
4. Pasien tidak gelisah
Dx II
1. Klien dapat mengeluarkan eces dengan konsistensi lembek.
2. Bising usus normal ( 12 – 35 x / menit )
Dx III
1. Nutrisi adekuat sesuai dengan kebutuhan
2. BB bertambah 3 kg
3. Tidak mual dan muntah
Dx IV
1. Pasien tidak cemas
2. Pasien dapat tidur dengan nyenyak
3. Pasien tidak gelisah
Dx V
1. Jahitan dilepas pada hari ke- 12 tanpa adanya tanda-tanda infeksi dan
peradangan pada area luka pembedahan.
2. Leukosit dalam batas normal.
3. Dalam batas normal

16
BAB III

PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN

17
DAFTAR PUSTAKA

18

Anda mungkin juga menyukai