DISUSUN OLEH:
Dini Estri Mulianingsih G99172061
Lastry Wardani G99172101
Wahyu Yas Saputra G99182008
PEMBIMBING:
dr. Novi Primadewi, Sp.T.H.T.-K.L., M.Kes
0
BAB I
PENDAHULUAN
Pengertian Tinnitus
Tinitus barasal dari bahasa Latin tinnire yang berarti menimbulkan suara atau
dering. Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran berupa keluhan perasaan
mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi atau suara dari luar. Adapun
keluhan yang dialami ini seperti bunyi mendengung, mendesis, menderu, atau
berbagai variasi bunyi yang lain. Tinnitus merupakan salah satu masalah otologic
yang paling umum dan itu menyebabkan berbagai gangguan somatik dan psikologis
serta kualitas hidup.
1
BAB II
Anatomi Telinga
Sistem organ pendengaran perifer terdiri dari struktur organ pendengaran
yang berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga
dalam dan saraf kokhlearis sedangkan organ pendengaran sentral adalah struktur
yang berada di dalam batang otak dan otak yaitu nukleus koklearis, nukleus
olivatorius superior, lemnikus lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus
temporalis area wernicke (gambar 1).
2
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari
membran timpani, terdiri dari aurikulum, meatus akustikus eksternus (MAE) dan
membran timpani (MT) (gambar 2).
3
Aurikulum merupakan tulang rawan fibro elastis yang dilapisi kulit,
berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Melekat pada tulang temporal
melalui otot-otot dan ligamen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks, tragus,
antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak tulang rawan lobulus (gambar 3).
4
Gambar 4. Gambar kelenjar pada liang telinga.
5
Gambar 5. Gambar membran timpani.
6
Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid,
arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan
aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus.
Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau indera
pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua organ
tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut mengalami
gangguan maka yang lain akan terganggu.
TD disuplai oleh arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris
7
inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri.
1. Koklea
Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah siput
dengan dua dan satu setengah putaran pada aksis memiliki panjang lebih kurang 3,5
centimeter. Sentral aksis disebut sebagai modiolus dengan tinggi lebih kurang 5
milimeter, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis.
Struktur duktus koklea dan ruang periotik sangat kompleks membentuk suatu
sistem dengan tiga ruangan yaitu skala vestibuli, skala media dan skala timpani.
Skala vestibuli dan skala tympani berisi cairan perilim sedangkan skala media
berisi endolimf. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran
reissner, skala media dan skala timpani dipisahkan oleh membran (gambar 8).
2. Organon Corti
Organon corti (OC) terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks,
yang mengandung organel penting untuk mekanisme saraf pendengaran perifer.
terdiri bagi tiga bagian sel utama yaitu sel penunjang, selaput gelatin penghubung
dan sel-sel rambut yang dapat membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran suara (gambar 9).
8
Gambar 9 Organon Corti.
OC terdiri satu baris sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3 000 dan tiga
baris sel rambut luar yang berjumlah sekitar 12 Rambut halus atau silia menonjol
ke atas dari sel-sel rambut menyentuh atau tertanam pada permukaan lapisan gel
dari membran tektorial. Ujung atas sel-sel rambut terfiksasi secara erat dalam
struktur sangat kaku pada lamina retikularis. Serat kaku dan pendek dekat basis
koklea mempunyai kecenderungan untuk bergetar pada frekuensi tinggi sedangkan
serat panjang dan lentur dekat helikotrema mempunyai kecenderungan
untuk bergetar pada frekuensi rendah.
Saraf Koklearis
Sel-sel rambut di dalam OC diinervasi oleh serabut aferen dan eferen dari
saraf koklearis cabang dari nervus VIII, 88% Serabut aferen menuju ke sel
rambut bagian dalam dan 12 % sisanya menuju ke sel rabut luar. Serabut aferen dan
eferen ini akan membentuk ganglion spiralis yang selanjutnya menuju ke nuleus
koklearis yang merupakan neuron primer, dari nucleus koklearis neuron sekunder
berjalan kontral lateral menuju lemnikus lateralis dan ke kolikulus posterior dan
korpus genikulatum medialis sebagai neuron tersier, selanjutnya menuju ke pusat
pendengaran di lobus temporalis tepatnya di girus transversus.
9
Fisiologi Pendengaran
Aurikula berfungsi untuk mengetahui arah dan lokasi suara dan membedakan
tinggi rendah suara. Aurikula bersama MAE dapat menaikkan tekanan akustik pada
MT pada frekuensi 1,5 – 5 kHz yaitu daerah frekuensi yang penting untuk presepsi
bicara, selanjutnya gelombang bunyi ini diarahkan ke MAE menyebabkan naiknya
tekanan akustik sebesar 10-15 dB pada MT.
MAE adalah tabung yang terbuka pada satu sisi tertutup pada sisi yang lain.
MAE meresonansi ¼ gelombang. Frekuensi resonansi ditentukan dari panjang
tabung, lengkungan tabung tidak berpengaruh. Tabung 2,5 cm, frekuensi resonansi
kira-kira 3,5 kHz. Fo (frekuensi resonansi) = kecepatan suara (4 x panjang tabung)
Dimana : Kecepatan suara = 350 m/detik. Misal panjang tabung = 2,5 cm, maka : Fo
= 350 (4x2,5) = 3500 Hz = 3,5 kHz.
10
Gelombang suara kemudian diteruskan ke MT dimana pars tensa MT
merupakan medium yang ideal untuk transmisi gelombang suara ke rantai osikular.
Hubungan MT dan sistem osikuler menghantarkan suara sepanjang telinga telinga
tengah ke koklea. Tangkai maleus terikat erat pada pusat membran timpani, maleus
berikatan dengan inkus, inkus berikatan dengan stapes dan basis stapes berada pada
foramen ovale. Sistem tersebut sebenarnya mengurangi jarak tetapi meningkatkan
tenaga pergerakan 1,3 kali, selain itu luas daerah permukaan MT 55 milimeter
persegi sedangkan daerah permukaan stapes rata-rata 3,2 milimeter persegi. Rasio
perbedaan 17 kali lipat ini dibandingkan 1,3 kali dari dari sistem pengungkit ,
menyebabkan penekanan sekitar 22 kali pada cairan koklea. Hal ini diperlukan
karena cairan memiliki inersia yang jauh lebih besar dibandingkan udara, sehingga
dibutuhkan tekanan besar untuk menggetarkan cairan, selain itu didapatkan
mekanisme reflek penguatan, yaitu sebuah reflek yang timbul apabila ada suara yang
keras yang ditransmisikan melalui sistem osikuler ke dalam sistem saraf pusat, reflek
ini menyebabkan konstraksi pada otot stapedius dan otot tensor timpani. Otot tensor
timpani menarik tangkai maleus ke arah dalam sedangkan otot stapedius menarik
stapes ke arah luar. Kondisi yang berlawanan ini mengurangi konduksi osikular dari
suara berfrekuensi rendah dibawah 1 000 Hz. Fungsi dari mekanisme ini adalah
untuk melindungi koklea dari getaran merusak disebabkan oleh suara yang sangat
keras , menutupi suara berfrekuensi rendah pada lingkungan suara keras dan
menurunkan sensivitas pendengaran pada suara orang itu sendiri.
11
bentuk membran basilaris. Perubahan tersebut karena bergesernya membrana
retikularis dan membrana tektorial akibat stimulis bunyi. Amplitudo maksimum
pergeseran tersebut akan mempengaruhi sel rambut dalam dan sel rambut luar
sehinga terjadi loncatan potensial listrik. Potensial listrik ini akan diteruskan oleh
serabut saraf aferen yang berhubungan dengan sel rambut sebagai impuls saraf ke
otak untuk disadari sebagai sensasi mendengar.6 Koklea di dalamnya terdapat 4 jenis
proses bioelektrik, yaitu : potensial endokoklea (endocochlear potential) , mikrofoni
koklea (cochlear microphonic) , potensial sumasi (summating potensial), dan
potensial seluruh saraf (whole nerve potensial). Potensial endokoklea selalu ada pada
saat istirahat, sedangkan potensial lainnya hanya muncul apabila ada suara yang
merangsang. Potensial endokoklea terdapat pada skala media bersifat konstan atau
direct current (DC) dengan potensial positif sebesar 80 – 100 mV. Stria vaskularis
merupakan sumber potensial endokoklea yang sangat sensitif terhadap anoksia dan
zat kimia yang berpengaruh terhadap metabolisme oksidasi.
Mikrofoni koklea adalah alternating current (AC) berada di koklea atau juga
di dekat foramen rotundum, dihasilkan area sel indera bersilia dan membrana tektoria
oleh pengaruh listrik akibat vibrasi suara pada silia atau sel inderanya. Potensial
sumasi termasuk DC tidak mengikuti rangsang suara dengan spontan, tetapi
sebanding dengan akar pangkat dua tekanan suara. Potensial sumasi dihasilkan sel-
sel indera bersilia dalam yang efektif pada intensitas suara tinggi. Sedangkan
mikrofoni koklea dihasilkan lebih banyak pada outer hair cell. Bila terdapat
rangsangan diatas nilai ambang, serabut saraf akan bereaksi menghasilkan potensial
aksi. Serabut saraf mempunyai penerimaan terhadap frekuensi optimum rangsang
suara pada nilai ambangnya, dan tidak bereaksi terhadap setiap intensitas. Potensial
seluruh saraf adalah potensial listrik yang dibangkitkan oleh serabut saraf auditori.
Terekam dengan elektroda di daerah foramen rotundum atau di daerah saraf auditori,
memiliki frekuensi tinggi dan onset yang cepat. 6 Rangsangan suara dari koklea
diteruskan oleh nervus kranialis VIII ke korteks melalui nukleus koklearis ventralis
dan dorsalis. Jaras tersebut merupakan sistem pendengaran sentral.
12
BAB III
TINITUS
Etiologi
Tinitus paling banyak disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga
dalam. Terutama kerusakan dari koklea. Secara garis besar, penyebab tinitus dapat
berupa kelainan yang bersifat somatik, kerusakan N. Vestibulokoklearis, kelainan
vascular, tinitus karena obat-obatan, dan tinitus yang disebabkan oleh hal lainnya.
13
3. Tinitus karena kelainan vaskular
Tinitus yang di dengar biasanya bersifat tinitus yang pulsatil. Akan didengar
bunyi yang simetris dengan denyut nadi dan detak jantung. Kelainan vaskular yang
dapat menyebabkan tinitus diantaranya:
a. Atherosklerosis
Dengan bertambahnya usia, penumpukan kolesterol dan bentuk-
bentuk deposit lemak lainnya, pembuluh darah mayor ke telinga tengah
kehilangan sebagian elastisitasnya. Hal ini mengakibatkan aliran darah
menjadi semakin sulit dan kadang-kadang mengalami turbulensi sehingga
memudahkan telinga untuk mendeteksi iramanya.
b. Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan gangguan vaskuler
pada pembuluh darah koklea terminal.
c. Malformasi kapiler
Sebuah kondisi yang disebut AV malformation yang terjadi antara
koneksi arteri dan vena dapat menimbulkan tinitus.
d. Tumor pembuluh darah
Tumor pembuluh darah yang berada di daerah leher dan kepala juga
dapat menyebabkan tinitus. Misalnya adalah tumor karotis dan tumor glomus
jugulare dengan ciri khasnya yaitu tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi
tanpa adanya gangguan pendengaran. Ini merupakan gejala yang penting pada
tumor glomus jugulare.
14
pusat. Multiple sclerosis dapat menimbulkan berbagai macam gejala, di antaranya
kelemahan otot, indra penglihatan yang terganggu, perubahan pada sensasi, kesulitan
koordinasi dan bicara, depresi, gangguan kognitif, gangguan keseimbangan dan
nyeri, dan pada telinga akan timbul gejala tinitus.
15
10. Tinitus akibat infeksi
Disebabkan oleh infeksi rubella, neurosyphilis, lyme disease, measles,
meningitis. Infeksi-infeksi tersebut dapat menyebabkan kelainan dan peradangan di
nervus vestibulocochlearis.
16
Gambar 11. Penyebab-penyebab tinnitus berdasarkan anatomi telinga
Patofisiologi
Pada tinitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditoris yang menimbulkan
perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal
yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam
tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan
telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah
seperti bergemuruh atau nada tinggi seperti berdenging. Tinitus dapat terus menerus
atau hilang timbul.
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi
karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi,
biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi
dengung ini terasa berdenyut (tinitus pulsatil).
Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi
pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media,
otosklerosis dan lain-lainnya. Tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa
gangguan pendengaran merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus
jugulare.
Tinitus objektif sering ditimnbulkan oleh gangguan vaskuler. Bunyinya
seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma dan aterosklerosis. Gangguan
mekanis dapat juga mengakibatkan tinitus objektif, seperti tuba eustachius terbuka,
sehingga ketika bernapas membran timpani bergerak dan terjadi tinitus.
17
Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius, serta otot-
otot palatum dapat menimbulkan tinitus objektif. Bila ada gangguan vaskuler di
telinga tengah, seperti tumor karotis (carotid body tumor), maka suara aliran darah
akan mengakibatkan tinitus juga.
Pada intoksikasi obat seperti salisilat, kina, streptomisin, dehidro-
streptomisin, garamisin, digitalis, kanamisin, dapat terjadi tinitus nada tinggi, terus
menerus atupun hilang timbul. Pada hipertensi endolimfatik, seperti penyakit
meniere dapat terjadi tinitus pada nada rendah atau tinggi, sehingga terdengar
bergemuruh atau berdengung. Gangguan ini disertai dengan vertigo dan tuli
sensorineural.
Gangguan vaskuler koklea terminal yang terjadi pada pasien yang stres akibat
gangguan keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme
atau saat hamil dapat juga timbul tinitus dan gangguan tersebut akan hilang bila
keadaannya sudah normal kembali.
Patofisiologi munculnya tinnitus masih belum dapat dikethui secara rinci.
Tetapi sudah banyak teori yang dikemukakan untuk mengetahui patofisiologi
sebenarnya dari tinnitus tersebut, seperti teori spontaneous otoacoustic emmissions
(SOAEs), teori discordant, teori dorsalis cochlea nuclei, sistem saraf ototnom dan
limbic, dan sistem somatosensorik. Berikut adalah beberapa contoh teori
patofisiologi munculnya tinnitus:
1. Spontaneous otoacoustic emmissions (SOAEs)
Koklea normal dapat memproduksi suara meskipun tidak ada
stimulasi suara. Spontaneous otoacoustic emmissions (SOAEs) merupakan
sinyal akustik kecil dihasilkan oleh aktivitas elektrik-mekanik dari OHCs di
cochlea dan diperbanyak ke kanalis akustikus externus. SOAEs diproduksi
oleh koklea dapat dipersepsikan sebagai tinnitus, oleh karena itu disebut juga
tinitus koklea mekanik. SOAEs biasanya tidak dapat didengar, tapi dapat
menjadi didengar bila ada ketidak stabilan. Tinnitus yang disebabkan SOAEs
biasanya tingan dan lebih sering pada orang dengan pendengaran normal dan
hanya pada pasien dengan kelainan/penyakit telinga tengah. SOAEs menurun
seiring dengan penurunan pendengaran oleh karena itu emisi otoakustik ini
jarang menyebabkan tinnitus ketika terdapat penurunan pendengaran 35dB
atau lebih.
18
2. Discordant theory
Organ of corti merupakan reseptor organ yang terletak di koklea.
Organ ini memiliki sel rambut, membran basiler, membran tektorial dan
menyokong sel yang menyediakan transduksi auditorik yang mana mengubah
sinyal suara menjadi elektrik. IHCs merupakan sel reseptor untuk transduksi
suara dan hampir seluruh neuron afferent (neuron tipe 1) menginervasi IHCs.
OHCs berfungsi untuk membesarkan/meliparkan suara melalui getaran aktif
dari badan sel, sehingga disebut electromotility. Proses aktif OHCs memiliki
peran signifikan sebagai penguat koklea dengan meningkatkan hingga 50dB
dan OHCs memiliki kemampuan untuk mengontrol sensitivitas IHCs. OHCs
lebih rentan dbanding IHC terhadap suara dan agen ototoxic.
Di hampir seluuruh kasus OHCs lebih rusak dibanding IHCs, yang
mengakibatkan disinhibisi dari neuron di Dorsalis Cochlea Nuclei (DCNs).
Aktivitas spontan meningkat ketika neuron di DCN menerima eksitasi dari
IHCs tapi tidak dari OHC yang rusak, dan hal ini dipersepsikan sebagai
tinnitus. Normalnya ada gap kecil antara ujung atas cillia dari IHCs dan
bawah dari membran tektorial, tapi di area dimana OHCs rusak dan IHCs
intak, membran tektoria bisa menyentuh cillia IHCs yang menyebabkan IHCs
terdepolarisasi. Peningkatan input afferent dari IHCs dapat berperan
signifikan dalam pembentukan tinnitus.
Pada hilangnya motilitas OHCs dapat menurunkan kemampuan untuk
mengatur sensitivitas IHCs yang menyebabkan input suara virtual sehingga
aktivitas normal yang tidak dapat terdengar ini dapat dipersepsikan sebagai
tinnitus. OHCs normalnya kembali membaik dalam beberapa hari, tetapi bisa
juga terhambat higga beberapa bulan. Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa
tinnitus merupaan konsekuensi dari mekanisme adaptasi central gain ketika
sistem pendengaran dihadapkan dengan penurunan pendengaran. Teori
diskordan menjelaskan kenapa banyak orang dengan tinnitus memiliki
pendengaran normal jika hanya kerusakan parsial OHCs (karena hanya 30%
dari OHCs yang mungkin rusak tanpa penuruan pendengaran).
Discordance tidak ada pada individu tuli total yang mana terdapa
kerusaan di OHCs dan IHCs, oleh karena itu tinnitus tidak terinduksi. Jika
terdaptat peningkatan input dalam CNS, tinnitus dapat muncul pada individu
tuli. Begitu pula pada noise induced tinnitus yang disebabkan oleh diskordan
19
kerusakan antara OHCs da IHCs. 2 tipe noise induced tinnitus yang sudah
teridentifikasi adalah: tonal dan complex. Tonal tinnitus merupakan hasil dari
disfungsi diskordan dari OHCs dan IHCs yang bermanifestasi di 1 area saja,
sedangkan complex tinnitus dihasilkan dari berbagai area dskordant. Ketika
pasien jelas memiliki tinnitus tipe sentral, seperti setelah transeksi nervus
akustikus, konsep OHCs tidak dapat diaplikasikan dan mekanisme alternatif
harus dipertimbangkan.
Klasifikasi Tinitus
Tinitus terjadi akibat adanya kerusakan ataupun perubahan pada telinga luar,
tengah, telinga dalam ataupun dari luar telinga. Berdasarkan letak dari sumber
masalah, tinitus dapat dibagi menjadi tinitus otik dan tinitus somatik. Jika kelainan
terjadi pada telinga atau saraf auditoris, kita sebut tinitus otik, sedangkan kita sebut
tinitus somatik jika kelainan terjadi di luar telinga dan saraf tetapi masih di dalam
area kepala atau leher.
20
disebabkan oleh proses iritatif dan perubahan degeneratif traktus auditoris mulai sel-
sel rambut getar sampai pusat pendengaran.
Tinitus subjektif bervariasi dalam intensitas dan frekuensi kejadiannya.
Beberapa pasien dapat mengeluh mengenai sensasi pendengaran dengan intensitas
yang rendah, sementara pada orang yang lain intensitas suaranya mungkin lebih
tinggi.
Diagnosis Tinitus
Protokol dalam mendiagnostik Tinitus antara lain anamnesis,
pemeriksaan fisik, identifikasi kondisi psikologis atau psikiatrik
(menggunakan pengukuran derajat beratnya dan keparahan tinitus, dan
pengukuran kecemasan dan depresi), dan pengukuran psikoakustik dari
tinitus.
21
Tidak ada tes objektif untuk kebanyakan kasus tinitus, dan
diagnosis dibuat hanya berdasarkan anamnesis dan penilaian terhadap
kondisi pasien dan keluarganya. Pertanyaan penting seputar tinitus antara
lain; lokasi dan karakteristik tinitus, dengan komponen ritmik atau pulsatil.
Tinitus pulsatil termasuk kasus yang jarang dan dapat dideteksi dengan
auskultasi. Pertanyaan penting seputar akibat dari tinitus termasuk efek
terhadap tidur dan konsentasi. Beberapa kuesioner kesehatan menilai efek
dari tinitus, antara lain; tinnitus handicap inventory dan tinnitus functional
index. Kuesioner untuk menilai gejala yang berkaitan seperti hiperakusis
dan distres psikologis. Audiometri nada murni seharusnya dilakukan, dan
karena beberapa pasien mengeluhkan sensasi tersumbat pada telinga,
timpanometri juga dapat diterapkan. Pasien dengan tinitus asimetris,
pendengaran asimetris dengan audiometri nada-murni, atau gejala dan tanda
yang berkaitan dengan kelainan neurologis perlu digali lebih lanjut, dan
umumnya memerlukan modalitas MRI.
22
Riwayat kasus Penilaian beratnya tinitus Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan Audiologi
(lihat gambar 2.6) (lihat gambar 2.7) Pemeriksaan otologi Audiometri dan speech
Tinnitus handicap inventory Auskultasi audiometry
+ Tinnitus questionnaire + Pemeriksaan kraniomandibular + Tinnitus matching
Tinnitus handicap dan leher Minimum masking level
questionnaire Timpanometri
Tinnitus functional index
Debilitating tinnitus?
Tinitus akut dengan
kehilangan pendengaran Tidak Tidak perlu ditindaklanjuti
mendadak akut?
Tinitus post – trauma?
Tinitus pulsatil akut?
Tinitus akut dengan Tinitus dengan Tinitus Tinitus Tinitus dengan Tinitus dengan Tinitus post Diagnosa
kehilangan gangguan dengan dengan komorbiditas komponen – traumatik neurovaskuler,
pendengaran akut pendengaran vertigo nyeri kepala psikiatrik somatosensorik jantung
Terapi awal Tinitus dengan Terapi Terapi Terapi spesifik Terapi spesifik Terapi spesifik Terapi spesifik
kehilangan hearing aid, spesifik, spesifik jika komorbiditas sekuele trauma penyakit
cochlear implant, Meniere’
pendengaran akut dll s disease mungkin psikiatrik vaskuler
23
Cognitive behavioural therapy Stimulasi akustik atau terapi suara Neuromodulasi atau neurostimulasi
Gambar 12. Algoritma untuk diagnosa dan manajemen terapi pasien dengan tinitus
Tabel 1. Hal – hal yang berkaitan dengan riwayat pasien tinitus
Latar belakang Usia dan jenis kelamin
Riwayat keluarga dengan tinitus (orang tua, saudara, anak)
Riwayat tinitus Durasi
Onset awal: berangsur – angsur atau mendadak? Adakah hal
yang berkaitan dengan tinitus? Perubahan pendengaran?
Trauma akustik? Otitis media, trauma kepala, whiplash,
terapi gigi, stress, dan lainnya?
Pola: pulsatil? Intermiten atau konstan? Fluktuan atau non –
fluktuan? Lainnya?
Sisi: telinga kanan? Telinga kiri? Kedua telinga (simetris)?
Di dalam kepala?
Kencangnya suara: skala 1 – 100. Terburuk dan terbaik?
Kualitas suara: nada murni atau noise? Tidak pasti atau
polifonik?
Tingginya nada: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah?
Proporsi waktu terganggu dengan tinitus
Terapi tinitus sebelumnya (tidak ada, beberapa, atau banyak)
Modifikasi Masking alamiah? Musik, suara sehari – hari, suara lainnya?
pengaruh Dipicu oleh suara keras?
Diubah oleh pergerakan kepala dan leher atau sentuhan
terhadap kepala atau tungkai atas?
Efek tidur malam hari dan istirahat siang terhadap tinitus?
Efek stress?
Efek obat – obatan?
Kondisi yang Gangguan pendengaran?
berkaitan Alat bantu pendengaran (tidak ada, telinga kiri, telinga kanan,
atau kedua telinga; efek terhadap tinitus)?
Suara mengganggu atau intoleransi? Suara yang menginduksi
nyeri? Hiperakusis?
Vertigo atau pusing
Gangguan temporomandibular?
24
Nyeri leher?
Sindrom nyeri lainnya?
Dibawah terapi gangguan psikiatri?
Tidak Tingkat I
Apakah tinitus anda mengganggu?
Tidak mengganggu
Ya
Tingkat II
Apakah tinitus anda memiliki Sedikit mengganggu
dampak negatif terhadap hidup Tidak Terkadang menggganggu dalam
anda? beberapa kondisi – seperti dalam
suasana sepi atau dalam situasi
Ya stres
Tidak
Tingkat IV
Gangguan berat
Gangguan berat dalam kehidupan
dan pekerjaan, tidak dapat bekerja
Tinitus dapat menjadi sebuah gejala dari banyak patologi mendasar dan
diikuti oleh banyak variasi komorbid. Oleh karena itu, pendekatan terintegrasi dan
multidisipliner diperlukan untuk mendiagnosis tinitus secara komprehensif. Tinitus
dapat menjadi tanda awal dari penyakit yang berpotensial untuk mengancam
kehidupan seperti stenosis karotis atau vestibular schwannoma. Kondisi tinitus yang
tidak terdiagnosis dan diterapi akan mengancam kehidupan jika diikuti dengan
depresi berat dan kecenderungan bunuh diri, namun hal ini jarang terjadi. Diagnosis
banding tinitus seharusnya juga difokuskan pada subgroup spesifik dari tinitus
dengan penyebab yang berasal dari terapi spesifik seperti pengeluaran serumen prop
25
dari liang telinga, implan koklea pada tuli unilateral, dan bunyi tinitus seperti mesin
ketik yang disebabkan oleh penggunaan karbamazepin dan disebabkan oleh
kompresi vaskuler dari saraf auditorik.
Langkah – langkah pendekatan managemen tinitus secara klinis dapat
menggunakan (lihat gambar 12). Langkah – langkah diagnostik dasar yang
direkomendasikan untuk semua pasien yaitu: menggali riwayat kasus (lihat tabel 1),
menilai derajat beratnya tinitus (lihat gambar 13), pemeriksaan klinis telinga, dan
pengukuran audiologi tinitus dan fungsi telinga.
Untuk beberapa pasien langkah diagnostik awal seperti ini cukup untuk
diagnosa, dan konseling cukup membantu dalam terapi. Langkah diagnostik
kedepannya disarankan jika penemuan diagnostik dasar mengindikasikan tinitus
akut, dengan kondisi mendasar yang membahayakan (seperti diseksi karotis), terapi
yang memungkinkan menjadi penyebab. Tindakan segera diperlukan pada tinitus
dengan kehilangan pendengaran secara mendadak pada tinitus post-traumatik akut;
dan pada kasus dengan kecenderungan untuk bunuh diri.
Langkah berikutnya dalam hirarki algoritma diagnostik adalah
membedakan antara tinitus pulsatil dan non – pulsatil. Pada tinitus pulsatil, persepsi
suara sejalan dengan irama detak jantung dan pemeriksaan neurovaskuler
diperlukan. Penyakit seperti malformasi arterivena, trombosis sinus vena, hipertensi
intrakranial jinak, dan tekanan jugularis yang tinggi dapat menyebabkan tinitus
pulsatil. Tinitus non – pulsatil lebih sering terjadi dibandingkan dengan tinitus non –
pulsatil dan harus dibedakan menurut durasi, gejala, dan faktor peenyebabnya.
Tinitus akut yang diikuti oleh kehilangan pendengaran akut, diagnostik dan prosedur
terapi akan difokuskan pada kehilangan pendengarannya dan seharusnya tidak
ditunda.
Tinitus paroksismal dapat menjadi sebuah gejala kompresi saraf auditorik,
sindrom dehisensi kanal superior, penyakit Ménière, mioklonus palatum, migraine,
atau epilepsi. Untuk diagnosis banding, MRI, auditory evoked potentials, tes
vestibuler, dan elektroensefalografi dapat diindikasikan.
Tinitus non – pulsatil yang bersifat konstan dapat diikuti oleh kehilangan
pendengaran konduktif atau sensorineural. Gangguan pendengaran konduktif dapat
disebabkan oleh otosklerosis, bentuk lain dari otitis, atau disfungsi tuba eustasius.
Pada gangguan pendengaran sensorineural, prosedur diagnostik kedepannya
diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab pastinya, termasuk MRI dan
26
otoacoustic emissions untuk menilai fungsi sel rambut luar. Tinitus dapat terjadi
bersamaan dengan vertigo yang mengindikasikan abnormalitas patologi, seperti
penyakit Ménière, dehisensi kanalis superior, atau kerusakan sistem
vestibulokoklear, dan memerlukan penilaian mendetil dari fungsi vestibuler.
Jika tinitus muncul bersamaan dengan nyeri kepala, space – occupying
lesions, hipertensi intrakranial jinak, gangguan sirkulasi CSF, dan anomaly
kranioservikal seharusnya dieksklusi dengan MRI. Pada kasus nyeri kepala dengan
lateralisasi bersamaan dengan tinitus pada sisi yang sama dan dengan waktu yang
sama, sindrom nyeri kepala trigemino – autonomal seharusnya dipertimbangkan dan,
jika benar, harus diterapi secara spesifik.
Gangguan psikiatri yang dapat muncul secara bersamaan, seperti depresi,
kecemasan, dan insomnia, seharusnya dicari tahu dan diterapi secara spesifik jika
ada, karena gangguan tersebut berperan dalam penting dalam tinitus yang
mengganggu kualitas hidup. Hiperakusis dan fonofobia sering bersamaan dengan
tinitus dan terkadang mengindikasikan gangguan kecemasan. Rujukan ke psikiatri
segera diperlukan ketika pasien memiliki ide bunuh diri.
Ketika tinitus berkaitan dengan disfungsi leher atau temporomandibuler
atau nyeri, seharusnya diperiksa lebih lanjut oleh dokter gigi dan psikoterapi.
Tes diagnostik spesifik jika tinitus terjadi atau memburuk dalam waktu tiga
bulan setelah kejadian traumatis. Kejadian trauma dapat menyebabkan tinitus dalam
berbagai cara. Indikasi untuk prosedur diagnostik lanjutan tergantung dari
mekanisme trauma; trauma telinga, kepala, leher, atau trauma emosional, atau
kombinasi trauma tersebut seharusnya dipertimbangkan untuk pemeriksaan lanjutan.
Pada kasus tinitus pulsatil post – traumatik, pemeriksaan diagnosis mendalam untuk
perubahan patologis vaskuler (terutama diseksi karotis) diperlukan segera.
27
Tabel 2 Ringkasan panduan dalam diagnostik tinitus
Pernyataan Tindakan Kekuatan
Anamnesis Klinisi seharusnya melakukan anamnesis dan Direkomendasikan
dan pemeriksaan fisik yang terarah untuk evaluasi
pemeriksaan awal pasien dengan tinitus primer untuk
fisik mengidentifikasi kondisi apabila memerlukan
identifikasi dan managemen segera dalam
meringankan tinitus
Pemeriksaan Klinisi seharusnya melakukan pemeriksaan Direkomendasikan
audiologi audiologi komprehensif segera pada pasien
segera dengan tinitus unilateral, menetap (≥ 6 bulan),
atau berkaitan dengan gangguan mendengar
Pemeriksaan Klinisi dapat melakukan pemeriksaan audiologi Pilihan
audiologi awal secara komprehensif pada pasien dengan
rutin tinitus
Pemeriksaan Klinisi seharusnya tidak melakukan Sangat
radiologis pemeriksaan radiologis kepala dan leher pada direkomendasikan
pasien dengan tinitus, terutama untuk
mengevaluasi tinitus, kecuali pasien tersebut
memiliki satu atau lebih gejala berikut: tinitus
yang terlokalisir pada satu telinga, tinitus
pulsatil, abnormalitas neurologis fokal, atau
kehilangan pendengaran asimetris
Tatalaksana Tinitus
Penatalaksanaan tinitus merupakan masalah yang kompleks dan merupakan
fenomena psikoakustik murni sehingga tidak dapat diukur. Perlu diketahui penyebab
tinitus agar dapat diobati sesuai penyebabnya. Terapi definitif untuk menghilangkan
tinitus sampai saat ini belum ada. Tujuan dari tatalaksana tinitus saat ini adalah
untuk menurunkan gangguan yang diakibatkan oleh tinitus sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup. Pendekatan manajemen tinitus saat ini berupa
gabungan dari beberapa pendekatan yaitu psikologis, stimulasi auditorik,
farmakologi, dan stimulasi otak. Pendekatan – pendekatan ini telah diteliti mampu
28
mengurangi tingkat keparahan dan memperbaiki kualitas hidup dari penderita tinitus.
(Gambar 12)
1. Terapi Psikologis
Konseling dan Psikoedukasi
Konseling dilakukan oleh audiologis atau otologis mengenai
penjelasan informasi tentang tinitus. Penjelasan informasi yang diberikan
biasanya berupa anatomi dan patologi koklea, hilang pendengaran, proses
mekanisme bagaimana suara dapat didengar, mekanisme tinitus, stress,
serta manajemennya. Pentingnya melakukan konseling ini sebelum
memulai terapi lain agar pasien mendapatkan penjelasan yang baik
mengenai gejala ini sehingga termotivasi pula dalam program yang akan
dijalankan.
Tinnitus Retraining Therapy (TRT)
Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff,
berdasar pada model neurofisiologi adalah kombinasi konseling terpimpin,
terapi akustik, dan medikamentosa bila diperlukan. Metode ini dikenal
dengan Tinnitus Retraining Therapy (TRT). Tujuan dari TRT adalah
memicu dan menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara
lingkungan yang mengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil dari
modifikasi hubungan sistem auditorik ke sistem limbik dan sistem saraf
otonom. TRT walau tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna,
tetapi dapat memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan
toleransi terhadap suara.
TRT dimulai dengan anamnesis awal untuk mengidentifikasi
masalah dan keluhan pasien, menentukan pengaruh tinitus dan penurunan
toleransi terhadap suara di sekitarnya, mengevaluasi kondisi emosional dan
derajat stres pasien, mendapatkan informasi untuk memberikan konseling
yang tepat dan membuat data dasar yang akan digunakan untuk evaluasi
terapi.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan suatu pendekatan
untuk membantu mengubah pola pikir penderita terhadap tinitus dengan
cara meminimalisir pikiran negatif penderita terhadap gejala tinitus.
29
Pendekatan ini terutama dilakukan dengan bantuan psikolog dan harus rutin
dijalankan beberapa waktu. Beberapa literatur menunjukkan bahwa dengan
gabungan antara CBT dan sound therapy/stimulasi auditorik menunjukkan
peningkatan kualitas hidup pada pasien yang terganggu.
2. Stimulasi Auditorik
Sound Therapy
Baik suara dari lingkungan atau suara yang dibuat sendiri
keduanya dapat dipakai untuk penanganan tinitus. Penghasil suara
lingkungan merupakan suatu alat kecil yang menghasilkan suara alam
seperti bunyi ombak, air terjun, hujan, dan bunyi lainnya yang bertujuan
untuk merelaksasi dan menurunkan persepsi pasien terhadap suara tinnitus.
Alat Bantu Dengar
Alat bantu dengar sudah banyak dipakai untuk tatalaksana pasien
tinitus yang disertai dengan kehilangan pendengaran (baik unilateral atau
derajat ringan) untuk mengkompensasi input auditorik pada batas frekuensi
yang terganggu. Namun, suara amplifikasi yang dihasilkan oleh alat bantu
dengar terbatas pada frekuensi tinggi dan tidak dapat memunculkan input
auditorik pada beberapa kasus kehilangan rambut organ korti. Sebuah studi
observasi menunjukkan manfaat dari penggunaan alat bantu dengar pada
pasien dengan tinitus hanya dapat kurang dari 6000 Hz dan harus di dalam
jarak amplifikasi alat bantu dengar. Masih dibutuhkan studi – studi dengan
randomized controlled trial untuk membuktikan efekasi dari alat bantu
dengar ini.
Cochlear Implants
Pada pasien dengan sensorineural hearing loss disertai tinitus,
sebuah penelitian melaporkan penurunan dari derajat tinitus dengan
dilakukannya cochlear implant. Studi lain juga membuktikan manfaat
implan koklear pada kasus berkurangnya pendengaran sebelah dengan. Hal
ini membuktikan implantasi koklear menawarkan supresi tinitus yang
bersifat jangka panjang pada pasien dengan SNHL berat dengan cara
merestorasi input auditorik ke sistem pendengaran pusat.
30
3. Farmakologi
Saat ini belum ada terapi medikamentosa untuk tinitus. Terapi
farmakologis yang ada bertujuan untuk meringankan gejala tambahan
seperti stres dan cemas yang diakibatkan oleh tinitus dengan penggunaan
obat golongan benzodiazepine atau carbamazepine. Beberapa penelitian
menyebutkan obat – obatan tersebut juga meningkatkan reaksi individu
tersebut terhadap tinitus, namun karena efek samping dan ketergantungan
maka tidak disarankan obat – obatan tersebut untuk menjadi terapi primer
bagi tinitus.
Pada penderita tinitus penggunaan berlebih dari alkohol, kafein,
atau obat yang merangsang sistem saraf pusat harus dihindari. Beberapa
obat yang sering dipakai sehari – hari seperti aspirin, juga diketahui dapat
menyebabkan tinitus.
4. Stimulasi Otak
Stimulasi otak terapetik memungkinkan modulasi fokal dari
aktivitas neuronal dan diteliti dapat menormalisasi tinitus yang terkait
dengan abnormalitas dari aktivitas neuronal. Repetitive transcranial
magnetic stimulation dalam sebuah studi randomized trial menunjukkan
penurunan derajat keparahan tinitus setelah dilakukan terapi ini.
Kekurangan dari tatalaksana ini adalah variasi efek antar individu yang
tinggi, durasi dari efek yang sangat singkat sehingga harus dilakukan secara
berulang dengan biaya yang cukup mahal.
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
merekomendasikan beberapa hal dalam guideline mengenai manajemen
pada tinitus. (Tabel 3)
31
Tabel 3. Rekomendasi manajemen dan tatalaksana tinitus
32
tersebut. Terapi akupuntur juga masih belum direkomendasikan oleh
literatur. Pemakaian Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) tidak
disarankan untuk pengobatan rutin, karena sedikitnya manfaat yang
diterima dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.
33
BAB III
PENUTUP
Telinga dibagi menjadi tiga bagian, di antaranya telinga luar, tengah dan dalam.
Telinga dalam terdiri dari koklea dan 3 kanalis semisirkularis. Secara garis besar, fisiologi
pendengaran dimulai dari gelombang bunyi yang ditangkap oleh daun telinga dan diteruskan
ke dalam liang telinga. Gelombang bunyi akan diteruskan ke telinga tengah dengan
menggetarkan gendang telinga, tulang pendengaran. Kemudian getaran diteruskan ke koklea,
sehingga menggetarkan endolimfa, yang nanti akan menyebabkan terjadinya depolarisasi
yang mengubah getaran menjadi energi listrik. Impuls tadi akan diteruskan kekorteks serebri
dan diterjemahkan oleh otak.
Tinitus adalah persepsi suara yang bukan merupakan rangsangan dari luar. Tinitus ada
yang bersifat subjektif dan objektif. Subjektif berarti tinitus hanya dapat didengar oleh pasien
dan objektif berarti tinitus dapat didengar juga oleh pemeriksa. Berdasarkan kualitas suara
yang didengar, tinitus ada yang bersifat pulsatil yang berarti berdenyut dan nonpulsatil yang
berarti tidak berdenyut.
Hingga sekarang, penyebab dari tinitus masih banyak dibicarakan. Tetapi banyak
sekali pendapat mengenai etiologi tinitus diantaranya, kelainan somatik daerah leher dan
rahang, , kerusakan n. Vestibulokoklearis, kelainan vaskular, dan lain lain. Teori-teori yang
sudah pernah dikemukakan adalah teori SOAEs, teori diskordan dan lain lain.
Dalam mendiagnosis tinitus diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang efektif dan lengkap. Dengan melakukan anamnesis yang efektif,
maka diharapkan dapat mengetahui garis besar etiologi dari tinitus yang dialami pasien.
Karena penatalaksanaan yang baik dari tinitus akan dapat berlangsung jika etiologinya dapat
diketahui dengan baik.
34
Daftar Pustaka
Dobie RA. Overview: suffering from tinnitus. In: snow JB. Tinnitus: theory and management.
Ontario: BC Decker Inc, 2004;1-7.
Han BI, Lee HW, Kim TY, Lim JS, Shin KS. Tinnitus: characteristics, causes, mechanisms,
and treatments. J Clin Neurol 2009;5:11-9.
Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Jae Ho Chung, et al. the pathophysiologic mechanism of tinnitus. Hanyang Med Rev
2016;36:81-85
Langguth B, et al. Tinnitus: causes and clinical management. The Lancet Neurology
2013;12:920-930
Levine RA, Oron Y. Tinnitus. Handb Clin Neurol 2015;129:409-31.
Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer. Jurnal THT-KL
2009;2:76 – 85
Shore SE, Roberts LE, Langguth B. Maladaptive plasticity in tinnitus - triggers, mechanisms
and treatment. Nat Rev Neurol 2016;12:150-60
35