Anda di halaman 1dari 36

Referensi Artikel

ANATOMI TELINGA DALAM YANG BERHUBUNGAN DENGAN


TINNITUS

DISUSUN OLEH:
Dini Estri Mulianingsih G99172061
Lastry Wardani G99172101
Wahyu Yas Saputra G99182008

PEMBIMBING:
dr. Novi Primadewi, Sp.T.H.T.-K.L., M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA, HIDUNG,
TENGGOROK, BEDAH KEPALA, DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018

0
BAB I
PENDAHULUAN

Pengertian Tinnitus

Tinitus barasal dari bahasa Latin tinnire yang berarti menimbulkan suara atau
dering. Tinitus adalah suatu gangguan pendengaran berupa keluhan perasaan
mendengarkan bunyi tanpa ada rangsangan bunyi atau suara dari luar. Adapun
keluhan yang dialami ini seperti bunyi mendengung, mendesis, menderu, atau
berbagai variasi bunyi yang lain. Tinnitus merupakan salah satu masalah otologic
yang paling umum dan itu menyebabkan berbagai gangguan somatik dan psikologis
serta kualitas hidup.

Sebuah studi berbasis populasi gangguan pendengaran pada orang dewasa


berusia 48 hingga 92 tahun menemukan bahwa tinnitus memiliki prevalensi 8,2%
pada awal dan kejadian 5,7% selama 5 tahun follow up. Prevalensi tinnitus meningkat
seiring bertambahnya usia. Tinnitus juga merupakan gejala umum di antara anak-
anak dengan gangguan pendengaran. Tinnitus adalah fenomena subyektif yang sulit
untuk dievaluasi secara obyektif, yaitu diukur, dan dijelaskan hanya berdasarkan
tanggapan pasien. Meskipun tinnitus dapat memiliki banyak penyebab berbeda, hal
yang paling sering menjadi penyebab adalah hasil dari gangguan otologis, dengan
penyebab umum yang sering ditemui yaitu disebabkan oleh kebisingan.

1
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN

Anatomi Telinga
Sistem organ pendengaran perifer terdiri dari struktur organ pendengaran
yang berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga
dalam dan saraf kokhlearis sedangkan organ pendengaran sentral adalah struktur
yang berada di dalam batang otak dan otak yaitu nukleus koklearis, nukleus
olivatorius superior, lemnikus lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus
temporalis area wernicke (gambar 1).

Gambar 1. Skema organ pendengaran perifer dan sentral.

2
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari
membran timpani, terdiri dari aurikulum, meatus akustikus eksternus (MAE) dan
membran timpani (MT) (gambar 2).

Gambar 2. Gambar anatomi telinga.

3
Aurikulum merupakan tulang rawan fibro elastis yang dilapisi kulit,
berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Melekat pada tulang temporal
melalui otot-otot dan ligamen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks, tragus,
antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak tulang rawan lobulus (gambar 3).

Gambar 3 : Anatomi Aurikulum.


Aurikulum dialiri arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis
superfisialis. Aliran vena menuju ke gabungan vena temporalis superfisialis, vena
aurikularis posterior dan vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus
cranial V, VII, IX dan X.
MAE merupakan tabung berbentuk S, dimulai dari dasar konka aurikula
sampai pada membran timpani dengan panjang lebih kurang 2,5 cm dan diameter
lebih kurang 0,5 cm. MAE dibagi menjadi dua bagian yaitu pars cartilage yang
berada di sepertiga lateral dan pars osseus yang berada di dua pertiganya. Pars
cartilage berjalan ke arah posterior superior , merupakan perluasan dari tulang
rawan daun telinga, tulang rawan ini melekat erat di tulang temporal, dilapisi oleh
kulit yang merupakan perluasan kulit dari daun telinga , kulit tersebut mengandung
folikel rambut, kelenjar serumen dan kelenjar sebasea. Kelenjar serumen
memproduksi bahan seperli lilin berwarna coklat merupakan pengelupasan lapisan
epidermis, bahan sebaseus dan pigmen disebut serumen atau kotoran telinga. Pars
osseus berjalan ke arah antero inferior dan menyempit di bagian tengah membentuk
ismus. Kulit pada bagian ini sangat tipis dan melekat erat bersama dengan lapisan
subkutan pada tulang. Didapatkan glandula sebasea dan glandula seruminosa, tidak
didapatkan folikel rambut (gambar 4).

4
Gambar 4. Gambar kelenjar pada liang telinga.

MAE dialiri arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior


serta arteri aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis
eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke lnn. aurikularis
anterior, posterior dan inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis dari n. vagus dan
cabang aurikulotemporalis dari n. mandibularis.
MT berbentuk kerucut dengan puncaknya disebut umbo , dasar MT tampak
sebagai bentukan oval. MT dibagi dua bagian yaitu pars tensa memiliki tiga lapisan
yaitu lapisan skuamosa, lapisan mukosa dan lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari
serat melingkar dan radial yang membentuk dan mempengaruhi konsistensi MT.
Pars flasida hanya memiliki dua lapis saja yaitu lapisan skuamosa dan lapisan
mukosa. Sifat arsitektur MT ini dapat menyebarkan energi vibrasi yang ideal
(gambar 5).

MT bagian medial disuplai cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh


ramus timpanikus cabang arteri aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena
maksilaris, jugularis eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus
aurikularis cabang nervus vagus, cabang timpanikus nervus glosofaringeus of
Jacobson dan nervus aurikulotemporalis cabang nervus mandibularis.

5
Gambar 5. Gambar membran timpani.

Anatomi Telinga Tengah


Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic
cavity. Dilapisi oleh membran mukosa, topografinya di bagian medial dibatasi oleh
promontorium, lateral oleh MT, anterior oleh muara tuba Eustachius, posterior oleh
aditus ad antrum dari mastoid, superior oleh tegmen timpani fossa kranii, inferior
oleh bulbus vena jugularis. Batas superior dan inferior MT membagi KT menjadi
epitimpanium atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum.

Telinga tengah terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar ke


dalam yaitu maleus, incus dan stapes yang saling berikatan dan berhubungan
membentuk artikulasi.. Prosesus longus maleus melekat pada membran timpani,
maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak tingkap

lonjong atau foramen ovale yang


berhubungan dengan koklea (gambar 6).
Gambar 6. Skema hubungan antara membran timpani osikel .
Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m.
stapedius. M tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan
berinsersio di bagian atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus.
Otot ini menyebabkan membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi
lebih tegang.dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan
melemahkan suara dengan frekuensi rendah. M. stapedius berorigo di dalam
eminensia pyramid dan berinsersio di ujung posterior kolumna stapes, hal ini
menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara dan meningkatkan
resonansi tulang-tulang pendengaran. Kedua otot ini berfungsi mempertahankan ,
memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras sehingga dapat
mencegah kerusakan organ koklea.
Telinga tengah berhubungan dengan nasopharing melalui tuba Eustahcius.

6
Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri timpani anterior, arteri stylomastoid,
arteri petrosal superficial, arteri timpani inferior. Aliran darah vena bersama dengan
aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus petrosal superior dan pleksus pterygoideus.

Anatomi Telinga Dalam


Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian
petrosa, di dalamnya dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD yaitu
labirin, merupakan suatu rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga TD
yang dilapisi epitel. Labirin terdiri dari labirin membran berisi endolim yang
merupakan satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan
rendah natrium. Labirin membran ini di kelilingi oleh labirin tulang ,di antara
labirin tulang dan membran terisi cairan perilim dengan komposisi elektrolit tinggi
natrium rendah kalium. Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior, pars
inferior dan pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran
semisirkularis, pars inferior terdiri dari sakulus dan koklea sedangkan pars
intermedia terdiri dari duktus dan sakus endolimpaticus (gambar 7).

Gambar 7. Skema labirin.

Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau indera
pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua organ
tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut mengalami
gangguan maka yang lain akan terganggu.
TD disuplai oleh arteri auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris
7
inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri.
1. Koklea
Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah siput
dengan dua dan satu setengah putaran pada aksis memiliki panjang lebih kurang 3,5
centimeter. Sentral aksis disebut sebagai modiolus dengan tinggi lebih kurang 5
milimeter, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis.
Struktur duktus koklea dan ruang periotik sangat kompleks membentuk suatu
sistem dengan tiga ruangan yaitu skala vestibuli, skala media dan skala timpani.
Skala vestibuli dan skala tympani berisi cairan perilim sedangkan skala media
berisi endolimf. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh membran
reissner, skala media dan skala timpani dipisahkan oleh membran (gambar 8).

Gambar 8. Skema labirin.

2. Organon Corti
Organon corti (OC) terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks,
yang mengandung organel penting untuk mekanisme saraf pendengaran perifer.

terdiri bagi tiga bagian sel utama yaitu sel penunjang, selaput gelatin penghubung
dan sel-sel rambut yang dapat membangkitkan impuls saraf sebagai respon
terhadap getaran suara (gambar 9).

8
Gambar 9 Organon Corti.

OC terdiri satu baris sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3 000 dan tiga
baris sel rambut luar yang berjumlah sekitar 12 Rambut halus atau silia menonjol
ke atas dari sel-sel rambut menyentuh atau tertanam pada permukaan lapisan gel
dari membran tektorial. Ujung atas sel-sel rambut terfiksasi secara erat dalam
struktur sangat kaku pada lamina retikularis. Serat kaku dan pendek dekat basis
koklea mempunyai kecenderungan untuk bergetar pada frekuensi tinggi sedangkan
serat panjang dan lentur dekat helikotrema mempunyai kecenderungan
untuk bergetar pada frekuensi rendah.

Saraf Koklearis
Sel-sel rambut di dalam OC diinervasi oleh serabut aferen dan eferen dari
saraf koklearis cabang dari nervus VIII, 88% Serabut aferen menuju ke sel
rambut bagian dalam dan 12 % sisanya menuju ke sel rabut luar. Serabut aferen dan
eferen ini akan membentuk ganglion spiralis yang selanjutnya menuju ke nuleus
koklearis yang merupakan neuron primer, dari nucleus koklearis neuron sekunder
berjalan kontral lateral menuju lemnikus lateralis dan ke kolikulus posterior dan
korpus genikulatum medialis sebagai neuron tersier, selanjutnya menuju ke pusat
pendengaran di lobus temporalis tepatnya di girus transversus.

9
Fisiologi Pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun


telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea
Proses mendengar melalui tiga tahapan yaitu tahap pemindahan energi fisik berupa
stimulus bunyi ke organ pendengaran, tahap konversi atau tranduksi yaitu
pengubahan energi fisik stimulasi tersebut ke organ penerima dan tahap
penghantaran impuls saraf ke kortek pendengaran.

Gambar 10. Skema mekanisme pendengaran.

Mekanisme Pendengaran Telinga Luar dan Tengah

Aurikula berfungsi untuk mengetahui arah dan lokasi suara dan membedakan
tinggi rendah suara. Aurikula bersama MAE dapat menaikkan tekanan akustik pada
MT pada frekuensi 1,5 – 5 kHz yaitu daerah frekuensi yang penting untuk presepsi
bicara, selanjutnya gelombang bunyi ini diarahkan ke MAE menyebabkan naiknya
tekanan akustik sebesar 10-15 dB pada MT.

MAE adalah tabung yang terbuka pada satu sisi tertutup pada sisi yang lain.
MAE meresonansi ¼ gelombang. Frekuensi resonansi ditentukan dari panjang
tabung, lengkungan tabung tidak berpengaruh. Tabung 2,5 cm, frekuensi resonansi
kira-kira 3,5 kHz. Fo (frekuensi resonansi) = kecepatan suara (4 x panjang tabung)
Dimana : Kecepatan suara = 350 m/detik. Misal panjang tabung = 2,5 cm, maka : Fo
= 350 (4x2,5) = 3500 Hz = 3,5 kHz.

10
Gelombang suara kemudian diteruskan ke MT dimana pars tensa MT
merupakan medium yang ideal untuk transmisi gelombang suara ke rantai osikular.
Hubungan MT dan sistem osikuler menghantarkan suara sepanjang telinga telinga
tengah ke koklea. Tangkai maleus terikat erat pada pusat membran timpani, maleus
berikatan dengan inkus, inkus berikatan dengan stapes dan basis stapes berada pada
foramen ovale. Sistem tersebut sebenarnya mengurangi jarak tetapi meningkatkan
tenaga pergerakan 1,3 kali, selain itu luas daerah permukaan MT 55 milimeter
persegi sedangkan daerah permukaan stapes rata-rata 3,2 milimeter persegi. Rasio
perbedaan 17 kali lipat ini dibandingkan 1,3 kali dari dari sistem pengungkit ,
menyebabkan penekanan sekitar 22 kali pada cairan koklea. Hal ini diperlukan
karena cairan memiliki inersia yang jauh lebih besar dibandingkan udara, sehingga
dibutuhkan tekanan besar untuk menggetarkan cairan, selain itu didapatkan
mekanisme reflek penguatan, yaitu sebuah reflek yang timbul apabila ada suara yang
keras yang ditransmisikan melalui sistem osikuler ke dalam sistem saraf pusat, reflek
ini menyebabkan konstraksi pada otot stapedius dan otot tensor timpani. Otot tensor
timpani menarik tangkai maleus ke arah dalam sedangkan otot stapedius menarik
stapes ke arah luar. Kondisi yang berlawanan ini mengurangi konduksi osikular dari
suara berfrekuensi rendah dibawah 1 000 Hz. Fungsi dari mekanisme ini adalah
untuk melindungi koklea dari getaran merusak disebabkan oleh suara yang sangat
keras , menutupi suara berfrekuensi rendah pada lingkungan suara keras dan
menurunkan sensivitas pendengaran pada suara orang itu sendiri.

Mekanisme Pendengaran Telinga Dalam

Koklea mempunyai dua fungsi yaitu menerjemahkan energi suara ke suatu


bentuk yang sesuai untuk merangsang ujung saraf auditorius yang dapat memberikan
kode parameter akustik sehingga otak dapat memproses informasi dalam stimulus
suara.\6 Koklea di dalamnya terdapat proses transmisi hidrodinamik yaitu
perpindahan energi bunyi dari foramen ovale ke sel-sel bersilia dan proses transduksi
yaitu pengubahan pola energi bunyi pada OC menjadi potensial aksi dalam nervus
auditorius. Mekanisme transmisi terjadi karena stimuli bunyi menggetarkan perilim
dalam skala vestibuli dan endolim dalam skala media sehingga menggetarkan
membrana basilaris. Membrana basilaris merupakan suatu kesatuan yang berbentuk
lempeng-lempeng getar sehinga bila mendapat stimuli bunyi akan bergetar seperti
gelombang disebut traveling wave. Proses transduksi terjadi karena perubahan

11
bentuk membran basilaris. Perubahan tersebut karena bergesernya membrana
retikularis dan membrana tektorial akibat stimulis bunyi. Amplitudo maksimum
pergeseran tersebut akan mempengaruhi sel rambut dalam dan sel rambut luar
sehinga terjadi loncatan potensial listrik. Potensial listrik ini akan diteruskan oleh
serabut saraf aferen yang berhubungan dengan sel rambut sebagai impuls saraf ke
otak untuk disadari sebagai sensasi mendengar.6 Koklea di dalamnya terdapat 4 jenis
proses bioelektrik, yaitu : potensial endokoklea (endocochlear potential) , mikrofoni
koklea (cochlear microphonic) , potensial sumasi (summating potensial), dan
potensial seluruh saraf (whole nerve potensial). Potensial endokoklea selalu ada pada
saat istirahat, sedangkan potensial lainnya hanya muncul apabila ada suara yang
merangsang. Potensial endokoklea terdapat pada skala media bersifat konstan atau
direct current (DC) dengan potensial positif sebesar 80 – 100 mV. Stria vaskularis
merupakan sumber potensial endokoklea yang sangat sensitif terhadap anoksia dan
zat kimia yang berpengaruh terhadap metabolisme oksidasi.

Mikrofoni koklea adalah alternating current (AC) berada di koklea atau juga
di dekat foramen rotundum, dihasilkan area sel indera bersilia dan membrana tektoria
oleh pengaruh listrik akibat vibrasi suara pada silia atau sel inderanya. Potensial
sumasi termasuk DC tidak mengikuti rangsang suara dengan spontan, tetapi
sebanding dengan akar pangkat dua tekanan suara. Potensial sumasi dihasilkan sel-
sel indera bersilia dalam yang efektif pada intensitas suara tinggi. Sedangkan
mikrofoni koklea dihasilkan lebih banyak pada outer hair cell. Bila terdapat
rangsangan diatas nilai ambang, serabut saraf akan bereaksi menghasilkan potensial
aksi. Serabut saraf mempunyai penerimaan terhadap frekuensi optimum rangsang
suara pada nilai ambangnya, dan tidak bereaksi terhadap setiap intensitas. Potensial
seluruh saraf adalah potensial listrik yang dibangkitkan oleh serabut saraf auditori.
Terekam dengan elektroda di daerah foramen rotundum atau di daerah saraf auditori,
memiliki frekuensi tinggi dan onset yang cepat. 6 Rangsangan suara dari koklea
diteruskan oleh nervus kranialis VIII ke korteks melalui nukleus koklearis ventralis
dan dorsalis. Jaras tersebut merupakan sistem pendengaran sentral.

12
BAB III

TINITUS

Etiologi
Tinitus paling banyak disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga
dalam. Terutama kerusakan dari koklea. Secara garis besar, penyebab tinitus dapat
berupa kelainan yang bersifat somatik, kerusakan N. Vestibulokoklearis, kelainan
vascular, tinitus karena obat-obatan, dan tinitus yang disebabkan oleh hal lainnya.

1. Tinitus karena kelainan somatik daerah leher dan rahang


a. Trauma kepala dan Leher
Pasien dengan cedera yang keras pada kepala atau leher mungkin
akan mengalami tinitus yang sangat mengganggu. Tinitus karena cedera leher
adalah tinitus somatik yang paling umum terjadi. Trauma itu dapat berupa
Fraktur tengkorak, Whisplash injury.
b. Artritis pada sendi temporomandibular (TMJ)
Berdasarkan hasil penelitian, 25% dari penderita tinitus di Amerika
berasal dari artritis sendi temporomandibular.4 Biasanya orang dengan artritis
TMJ akan mengalami tinitus yang berat. Hampir semua pasien artritis TMJ
mengakui bunyi yang di dengar adalah bunyi menciut. Tidak diketahui secara
pasti hubungan antara artritis TMJ dengan terjadinya tinitus.

2. Tinitus akibat kerusakan n. Vestibulokoklearis


Tinitus juga dapat muncul dari kerusakan yang terjadi di saraf yang
menghubungkan antara telinga dalam dan kortex serebri bagian pusat pendengaran.
Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan dari n.
Vestibulokoklearis, diantaranya infeksi virus pada n.VIII, tumor yang mengenai
n.VIII, dan Microvascular compression syndrome (MCV). MCV dikenal juga
dengan vestibular paroxysmal. MCV menyebabkan kerusakan n.VIII karena adanya
kompresi dari pembuluh darah. Tapi hal ini sangat jarang terjadi.

13
3. Tinitus karena kelainan vaskular
Tinitus yang di dengar biasanya bersifat tinitus yang pulsatil. Akan didengar
bunyi yang simetris dengan denyut nadi dan detak jantung. Kelainan vaskular yang
dapat menyebabkan tinitus diantaranya:
a. Atherosklerosis
Dengan bertambahnya usia, penumpukan kolesterol dan bentuk-
bentuk deposit lemak lainnya, pembuluh darah mayor ke telinga tengah
kehilangan sebagian elastisitasnya. Hal ini mengakibatkan aliran darah
menjadi semakin sulit dan kadang-kadang mengalami turbulensi sehingga
memudahkan telinga untuk mendeteksi iramanya.
b. Hipertensi
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan gangguan vaskuler
pada pembuluh darah koklea terminal.
c. Malformasi kapiler
Sebuah kondisi yang disebut AV malformation yang terjadi antara
koneksi arteri dan vena dapat menimbulkan tinitus.
d. Tumor pembuluh darah
Tumor pembuluh darah yang berada di daerah leher dan kepala juga
dapat menyebabkan tinitus. Misalnya adalah tumor karotis dan tumor glomus
jugulare dengan ciri khasnya yaitu tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi
tanpa adanya gangguan pendengaran. Ini merupakan gejala yang penting pada
tumor glomus jugulare.

4. Tinitus karena kelainan metabolik


Kelainan metabolik juga dapat menyebabkan tinitus. Seperti keadaan
hipertiroid dan anemia (keadaan dimana viskositas darah sangat rendah) dapat
meningkatkan aliran darah dan terjadi turbulensi. Sehingga memudahkan telinga
untuk mendeteksi irama, atau yang kita kenal dengan tinitus pulsatil.
Kelainan metabolik lainnya yang bisa menyebabkan tinitus adalah defisiensi
vitamin B12, begitu juga dengan kehamilan dan keadaan hiperlipidemia.

5. Tinitus akibat kelainan neurologis


Yang paling umum terjadi adalah akibat multiple sclerosis. multiple sclerosis
adalah proses inflamasi kronik dan demyelinisasi yang mempengaruhi system saraf

14
pusat. Multiple sclerosis dapat menimbulkan berbagai macam gejala, di antaranya
kelemahan otot, indra penglihatan yang terganggu, perubahan pada sensasi, kesulitan
koordinasi dan bicara, depresi, gangguan kognitif, gangguan keseimbangan dan
nyeri, dan pada telinga akan timbul gejala tinitus.

6. Tinitus akibat kelainan psikogenik


Keadaan gangguan psikogenik dapat menimbulkan tinitus yang bersifat
sementara. Tinitus akan hilang bila kelainan psikogeniknya hilang. Depresi, anxietas
dan stress adalah keadaan psikogenik yang memungkinkan tinitus untuk muncul.

7. Tinitus akibat obat-obatan


Obat-obatan yang dapat menyebabkan tinitus umumnya adalah obat-obatan
yang bersifat ototoksik. Diantaranya :
a. Analgetik, seperti aspirin dan AINS lainnya
b. Antibiotik, seperti golongan aminoglikosid (mycin), kloramfenikol, tetrasiklin,
minosiklin.
c. Obat-obatan kemoterapi, seperti Belomisisn, Cisplatin, Mechlorethamine,
methotrexate, vinkristin
d. Diuretik, seperti Bumatenide, Ethacrynic acid, Furosemide
e. lain-lain, seperti Kloroquin, quinine, Merkuri, Timah

8. Tinitus akibat gangguan mekanik


Gangguan mekanik juga dapat menyebabkan tinitus objektif, misalnya pada
tuba eustachius yang terbuka sehingga ketika kita bernafas akan menggerakkan
membran timpani dan menjadi tinitus. Kejang klonus muskulus tensor timpani dan
muskulus stapedius serta otot-otot palatum juga akan menimbulkan tinitus.

9. Tinitus akibat gangguan konduksi


Gangguan konduksi suara seperti infeksi telinga luar (sekret dan oedem),
serumen impaksi, efusi telinga tengah dan otosklerosis juga dapat menyebabkan
tinitus. Biasanya suara tinitusnya bersifat suara dengan nada rendah.

15
10. Tinitus akibat infeksi
Disebabkan oleh infeksi rubella, neurosyphilis, lyme disease, measles,
meningitis. Infeksi-infeksi tersebut dapat menyebabkan kelainan dan peradangan di
nervus vestibulocochlearis.

11. Tinitus akibat sebab lainnya


a. Tuli akibat bising
Disebabkan terpajan oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka
waktu yang cukup lama. Biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja.
Umumnya terjadi pada kedua telinga. Terutama bila intensitas bising
melebihi 85db, dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran
korti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat korti
untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000Hz sampai dengan 6000Hz.
Yang terberat kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi
4000Hz.
b. Presbikusis
Tuli saraf sensorineural tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun,
simetris kanan dan kiri, presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000Hz atau
lebih. Umumnya merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga
berhubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme,
aterosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor.
Menurunnya fungsi pendengaran berangsur dan kumulatif. Progresivitas
penurunan pendengaran lebih cepat pada laki-laki disbanding perempuan.
c. Sindrom Meniere
Penyakit ini gejalanya terdiri dari tinitus, vertigo dan tuli
sensorineural. Etiologi dari penyakit ini adalah karena adanya hidrops
endolimf, yaitu penambahan volume endolimfa, karena gangguan biokimia
cairan endolimfa dan gangguan klinik pada membrane labirin

16
Gambar 11. Penyebab-penyebab tinnitus berdasarkan anatomi telinga

Patofisiologi

Pada tinitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditoris yang menimbulkan
perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal
yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam
tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan
telinga. Tinitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinitus dengan nada rendah
seperti bergemuruh atau nada tinggi seperti berdenging. Tinitus dapat terus menerus
atau hilang timbul.
Tinitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi
karena gangguan konduksi. Tinitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi,
biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi
dengung ini terasa berdenyut (tinitus pulsatil).
Tinitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi
pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media,
otosklerosis dan lain-lainnya. Tinitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa
gangguan pendengaran merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus
jugulare.
Tinitus objektif sering ditimnbulkan oleh gangguan vaskuler. Bunyinya
seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma dan aterosklerosis. Gangguan
mekanis dapat juga mengakibatkan tinitus objektif, seperti tuba eustachius terbuka,
sehingga ketika bernapas membran timpani bergerak dan terjadi tinitus.

17
Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius, serta otot-
otot palatum dapat menimbulkan tinitus objektif. Bila ada gangguan vaskuler di
telinga tengah, seperti tumor karotis (carotid body tumor), maka suara aliran darah
akan mengakibatkan tinitus juga.
Pada intoksikasi obat seperti salisilat, kina, streptomisin, dehidro-
streptomisin, garamisin, digitalis, kanamisin, dapat terjadi tinitus nada tinggi, terus
menerus atupun hilang timbul. Pada hipertensi endolimfatik, seperti penyakit
meniere dapat terjadi tinitus pada nada rendah atau tinggi, sehingga terdengar
bergemuruh atau berdengung. Gangguan ini disertai dengan vertigo dan tuli
sensorineural.
Gangguan vaskuler koklea terminal yang terjadi pada pasien yang stres akibat
gangguan keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme
atau saat hamil dapat juga timbul tinitus dan gangguan tersebut akan hilang bila
keadaannya sudah normal kembali.
Patofisiologi munculnya tinnitus masih belum dapat dikethui secara rinci.
Tetapi sudah banyak teori yang dikemukakan untuk mengetahui patofisiologi
sebenarnya dari tinnitus tersebut, seperti teori spontaneous otoacoustic emmissions
(SOAEs), teori discordant, teori dorsalis cochlea nuclei, sistem saraf ototnom dan
limbic, dan sistem somatosensorik. Berikut adalah beberapa contoh teori
patofisiologi munculnya tinnitus:
1. Spontaneous otoacoustic emmissions (SOAEs)
Koklea normal dapat memproduksi suara meskipun tidak ada
stimulasi suara. Spontaneous otoacoustic emmissions (SOAEs) merupakan
sinyal akustik kecil dihasilkan oleh aktivitas elektrik-mekanik dari OHCs di
cochlea dan diperbanyak ke kanalis akustikus externus. SOAEs diproduksi
oleh koklea dapat dipersepsikan sebagai tinnitus, oleh karena itu disebut juga
tinitus koklea mekanik. SOAEs biasanya tidak dapat didengar, tapi dapat
menjadi didengar bila ada ketidak stabilan. Tinnitus yang disebabkan SOAEs
biasanya tingan dan lebih sering pada orang dengan pendengaran normal dan
hanya pada pasien dengan kelainan/penyakit telinga tengah. SOAEs menurun
seiring dengan penurunan pendengaran oleh karena itu emisi otoakustik ini
jarang menyebabkan tinnitus ketika terdapat penurunan pendengaran 35dB
atau lebih.

18
2. Discordant theory
Organ of corti merupakan reseptor organ yang terletak di koklea.
Organ ini memiliki sel rambut, membran basiler, membran tektorial dan
menyokong sel yang menyediakan transduksi auditorik yang mana mengubah
sinyal suara menjadi elektrik. IHCs merupakan sel reseptor untuk transduksi
suara dan hampir seluruh neuron afferent (neuron tipe 1) menginervasi IHCs.
OHCs berfungsi untuk membesarkan/meliparkan suara melalui getaran aktif
dari badan sel, sehingga disebut electromotility. Proses aktif OHCs memiliki
peran signifikan sebagai penguat koklea dengan meningkatkan hingga 50dB
dan OHCs memiliki kemampuan untuk mengontrol sensitivitas IHCs. OHCs
lebih rentan dbanding IHC terhadap suara dan agen ototoxic.
Di hampir seluuruh kasus OHCs lebih rusak dibanding IHCs, yang
mengakibatkan disinhibisi dari neuron di Dorsalis Cochlea Nuclei (DCNs).
Aktivitas spontan meningkat ketika neuron di DCN menerima eksitasi dari
IHCs tapi tidak dari OHC yang rusak, dan hal ini dipersepsikan sebagai
tinnitus. Normalnya ada gap kecil antara ujung atas cillia dari IHCs dan
bawah dari membran tektorial, tapi di area dimana OHCs rusak dan IHCs
intak, membran tektoria bisa menyentuh cillia IHCs yang menyebabkan IHCs
terdepolarisasi. Peningkatan input afferent dari IHCs dapat berperan
signifikan dalam pembentukan tinnitus.
Pada hilangnya motilitas OHCs dapat menurunkan kemampuan untuk
mengatur sensitivitas IHCs yang menyebabkan input suara virtual sehingga
aktivitas normal yang tidak dapat terdengar ini dapat dipersepsikan sebagai
tinnitus. OHCs normalnya kembali membaik dalam beberapa hari, tetapi bisa
juga terhambat higga beberapa bulan. Oleh karena itu, dihipotesiskan bahwa
tinnitus merupaan konsekuensi dari mekanisme adaptasi central gain ketika
sistem pendengaran dihadapkan dengan penurunan pendengaran. Teori
diskordan menjelaskan kenapa banyak orang dengan tinnitus memiliki
pendengaran normal jika hanya kerusakan parsial OHCs (karena hanya 30%
dari OHCs yang mungkin rusak tanpa penuruan pendengaran).
Discordance tidak ada pada individu tuli total yang mana terdapa
kerusaan di OHCs dan IHCs, oleh karena itu tinnitus tidak terinduksi. Jika
terdaptat peningkatan input dalam CNS, tinnitus dapat muncul pada individu
tuli. Begitu pula pada noise induced tinnitus yang disebabkan oleh diskordan

19
kerusakan antara OHCs da IHCs. 2 tipe noise induced tinnitus yang sudah
teridentifikasi adalah: tonal dan complex. Tonal tinnitus merupakan hasil dari
disfungsi diskordan dari OHCs dan IHCs yang bermanifestasi di 1 area saja,
sedangkan complex tinnitus dihasilkan dari berbagai area dskordant. Ketika
pasien jelas memiliki tinnitus tipe sentral, seperti setelah transeksi nervus
akustikus, konsep OHCs tidak dapat diaplikasikan dan mekanisme alternatif
harus dipertimbangkan.

Klasifikasi Tinitus
Tinitus terjadi akibat adanya kerusakan ataupun perubahan pada telinga luar,
tengah, telinga dalam ataupun dari luar telinga. Berdasarkan letak dari sumber
masalah, tinitus dapat dibagi menjadi tinitus otik dan tinitus somatik. Jika kelainan
terjadi pada telinga atau saraf auditoris, kita sebut tinitus otik, sedangkan kita sebut
tinitus somatik jika kelainan terjadi di luar telinga dan saraf tetapi masih di dalam
area kepala atau leher.

Berdasarkan objek yang mendengar, tinitus dapat dibagi menjadi tinitus


objektif dan tinitus subjektif.
a. Tinitus Objektif
Tinitus objektif adalah tinitus yang suaranya juga dapat di dengar oleh
pemeriksa dengan auskultasi di sekitar telinga. Tinitus objektif biasanya bersifat
vibratorik, berasal dari transmisi vibrasi sistem muskuler atau kardiovaskuler di
sekitar telinga.
Umumnya tinitus objektif disebabkan karena kelainan vaskular, sehingga
tinitusnya berdenyut mengikuti denyut jantung. Tinitus berdenyut ini dapat dijumpai
pada pasien dengan malformasi arteriovena, tumor glomus jugular dan aneurisma.
Tinitus objektif juga dapat dijumpai sebagai suara klik yang berhubungan dengan
penyakit sendi temporomandibular dan karena kontraksi spontan dari otot telinga
tengah atau mioklonus palatal. Tuba Eustachius paten juga dapat menyebabkan
timbulnya tinitus akibat hantaran suara dari nasofaring ke rongga tengah.
b. Tinitus Subjektif
Tinnitus objektif adalah tinnitus yang suaranya hanya dapat didengar oleh
penderita saja. Jenis ini sering sekali terjadi.tinitus subjektif bersifat nonvibratorik,

20
disebabkan oleh proses iritatif dan perubahan degeneratif traktus auditoris mulai sel-
sel rambut getar sampai pusat pendengaran.
Tinitus subjektif bervariasi dalam intensitas dan frekuensi kejadiannya.
Beberapa pasien dapat mengeluh mengenai sensasi pendengaran dengan intensitas
yang rendah, sementara pada orang yang lain intensitas suaranya mungkin lebih
tinggi.

Berdasarkan kualitas suara yang didengar pasien ataupun pemeriksa, tinitus


dapat dibagi menjadi tinitus pulsatil dan tinitus nonpulsatil.
a. Tinitus Pulsatil
Tinitus pulsatil adalah tinitus yang suaranya bersamaan dengan suara denyut
jantung. Tinitus pulsatil jarang dimukan dalam praktek sehari-hari. Tinitus pulsatil
dapat terjadi akibat adanya kelainan dari vaskular ataupun di luar vaskular.
Kelaianan vaskular digambarkan dengan sebagai bising mendesis yang sinkron
dengan denyut nadi atau denyut jantung. Sedangkan tinitus nonvaskular digambarkan
sebagai bising klik, bising goresan atau suara pernapasan dalam telinga. Pada kedua
tipe tinitus ini dapat kita ketahui dengan mendengarkannya menggunakan stetoskop.
b. Tinitus Nonpulsatil
Tinitus jenis ini bersifat menetap dan tidak terputuskan. Suara yang dapat
didengar oleh pasien bervariasi, mulai dari suara yang berdering, berdenging,
berdengung, berdesis, suara jangkrik, dan terkadang pasien mendengarkan bising
bergemuruh di dalam telinganya.
Biasanya tinitus ini lebih didengar pada ruangan yang sunyi dan biasanya
paling menganggu di malam hari sewaktu pasien tidur, selama siang hari efek
penutup kebisingan lingkungan dan aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan pasien
tidak menyadari suara tersebut.

Diagnosis Tinitus
Protokol dalam mendiagnostik Tinitus antara lain anamnesis,
pemeriksaan fisik, identifikasi kondisi psikologis atau psikiatrik
(menggunakan pengukuran derajat beratnya dan keparahan tinitus, dan
pengukuran kecemasan dan depresi), dan pengukuran psikoakustik dari
tinitus.

21
Tidak ada tes objektif untuk kebanyakan kasus tinitus, dan
diagnosis dibuat hanya berdasarkan anamnesis dan penilaian terhadap
kondisi pasien dan keluarganya. Pertanyaan penting seputar tinitus antara
lain; lokasi dan karakteristik tinitus, dengan komponen ritmik atau pulsatil.
Tinitus pulsatil termasuk kasus yang jarang dan dapat dideteksi dengan
auskultasi. Pertanyaan penting seputar akibat dari tinitus termasuk efek
terhadap tidur dan konsentasi. Beberapa kuesioner kesehatan menilai efek
dari tinitus, antara lain; tinnitus handicap inventory dan tinnitus functional
index. Kuesioner untuk menilai gejala yang berkaitan seperti hiperakusis
dan distres psikologis. Audiometri nada murni seharusnya dilakukan, dan
karena beberapa pasien mengeluhkan sensasi tersumbat pada telinga,
timpanometri juga dapat diterapkan. Pasien dengan tinitus asimetris,
pendengaran asimetris dengan audiometri nada-murni, atau gejala dan tanda
yang berkaitan dengan kelainan neurologis perlu digali lebih lanjut, dan
umumnya memerlukan modalitas MRI.

22
Riwayat kasus Penilaian beratnya tinitus Pemeriksaan Klinis Pemeriksaan Audiologi
(lihat gambar 2.6) (lihat gambar 2.7)  Pemeriksaan otologi  Audiometri dan speech
 Tinnitus handicap inventory  Auskultasi audiometry
+  Tinnitus questionnaire +  Pemeriksaan kraniomandibular +  Tinnitus matching
 Tinnitus handicap dan leher  Minimum masking level
questionnaire  Timpanometri
 Tinnitus functional index

 Debilitating tinnitus?
 Tinitus akut dengan
kehilangan pendengaran Tidak Tidak perlu ditindaklanjuti
mendadak akut?
 Tinitus post – trauma?
 Tinitus pulsatil akut?

Tinitus non – pulsatil Ya Tinitus pulsatil


Konseling

Tinitus akut dengan Tinitus dengan Tinitus Tinitus Tinitus dengan Tinitus dengan Tinitus post Diagnosa
kehilangan gangguan dengan dengan komorbiditas komponen – traumatik neurovaskuler,
pendengaran akut pendengaran vertigo nyeri kepala psikiatrik somatosensorik jantung

Diagnostik Diagnosa Diagnosa Diagnostik Diagnosa


vestibular banding banding fungsional leher banding
nyeri kepala dan mandibular

Terapi awal Tinitus dengan Terapi Terapi Terapi spesifik Terapi spesifik Terapi spesifik Terapi spesifik
kehilangan hearing aid, spesifik, spesifik jika komorbiditas sekuele trauma penyakit
cochlear implant, Meniere’
pendengaran akut dll s disease mungkin psikiatrik vaskuler

Jika pasien masih mengidap tinitus: terapi berorientasi pada gejala

23
Cognitive behavioural therapy Stimulasi akustik atau terapi suara Neuromodulasi atau neurostimulasi

Gambar 12. Algoritma untuk diagnosa dan manajemen terapi pasien dengan tinitus
Tabel 1. Hal – hal yang berkaitan dengan riwayat pasien tinitus
Latar belakang  Usia dan jenis kelamin
 Riwayat keluarga dengan tinitus (orang tua, saudara, anak)
Riwayat tinitus  Durasi
 Onset awal: berangsur – angsur atau mendadak? Adakah hal
yang berkaitan dengan tinitus? Perubahan pendengaran?
Trauma akustik? Otitis media, trauma kepala, whiplash,
terapi gigi, stress, dan lainnya?
 Pola: pulsatil? Intermiten atau konstan? Fluktuan atau non –
fluktuan? Lainnya?
 Sisi: telinga kanan? Telinga kiri? Kedua telinga (simetris)?
Di dalam kepala?
 Kencangnya suara: skala 1 – 100. Terburuk dan terbaik?
 Kualitas suara: nada murni atau noise? Tidak pasti atau
polifonik?
 Tingginya nada: sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah?
 Proporsi waktu terganggu dengan tinitus
 Terapi tinitus sebelumnya (tidak ada, beberapa, atau banyak)
Modifikasi  Masking alamiah? Musik, suara sehari – hari, suara lainnya?
pengaruh  Dipicu oleh suara keras?
 Diubah oleh pergerakan kepala dan leher atau sentuhan
terhadap kepala atau tungkai atas?
 Efek tidur malam hari dan istirahat siang terhadap tinitus?
 Efek stress?
 Efek obat – obatan?
Kondisi yang  Gangguan pendengaran?
berkaitan  Alat bantu pendengaran (tidak ada, telinga kiri, telinga kanan,
atau kedua telinga; efek terhadap tinitus)?
 Suara mengganggu atau intoleransi? Suara yang menginduksi
nyeri? Hiperakusis?
 Vertigo atau pusing
 Gangguan temporomandibular?

24
 Nyeri leher?
 Sindrom nyeri lainnya?
 Dibawah terapi gangguan psikiatri?

Tidak Tingkat I
Apakah tinitus anda mengganggu?
Tidak mengganggu
Ya
Tingkat II
Apakah tinitus anda memiliki Sedikit mengganggu
dampak negatif terhadap hidup Tidak Terkadang menggganggu dalam
anda? beberapa kondisi – seperti dalam
suasana sepi atau dalam situasi
Ya stres

Apakah anda dapat bekerja?


Tingkat III
Dapatkah anda mengerjakan
Ya Gangguan permanen dengan
pekerjaan rumah?
gangguan dalam area khusus dan
Dapatkah anda merawat keluarga
profesional
anda?

Tidak

Tingkat IV
Gangguan berat
Gangguan berat dalam kehidupan
dan pekerjaan, tidak dapat bekerja

Gambar 13. Menilai derajat beratnya tinitus

Tinitus dapat menjadi sebuah gejala dari banyak patologi mendasar dan
diikuti oleh banyak variasi komorbid. Oleh karena itu, pendekatan terintegrasi dan
multidisipliner diperlukan untuk mendiagnosis tinitus secara komprehensif. Tinitus
dapat menjadi tanda awal dari penyakit yang berpotensial untuk mengancam
kehidupan seperti stenosis karotis atau vestibular schwannoma. Kondisi tinitus yang
tidak terdiagnosis dan diterapi akan mengancam kehidupan jika diikuti dengan
depresi berat dan kecenderungan bunuh diri, namun hal ini jarang terjadi. Diagnosis
banding tinitus seharusnya juga difokuskan pada subgroup spesifik dari tinitus
dengan penyebab yang berasal dari terapi spesifik seperti pengeluaran serumen prop

25
dari liang telinga, implan koklea pada tuli unilateral, dan bunyi tinitus seperti mesin
ketik yang disebabkan oleh penggunaan karbamazepin dan disebabkan oleh
kompresi vaskuler dari saraf auditorik.
Langkah – langkah pendekatan managemen tinitus secara klinis dapat
menggunakan (lihat gambar 12). Langkah – langkah diagnostik dasar yang
direkomendasikan untuk semua pasien yaitu: menggali riwayat kasus (lihat tabel 1),
menilai derajat beratnya tinitus (lihat gambar 13), pemeriksaan klinis telinga, dan
pengukuran audiologi tinitus dan fungsi telinga.
Untuk beberapa pasien langkah diagnostik awal seperti ini cukup untuk
diagnosa, dan konseling cukup membantu dalam terapi. Langkah diagnostik
kedepannya disarankan jika penemuan diagnostik dasar mengindikasikan tinitus
akut, dengan kondisi mendasar yang membahayakan (seperti diseksi karotis), terapi
yang memungkinkan menjadi penyebab. Tindakan segera diperlukan pada tinitus
dengan kehilangan pendengaran secara mendadak pada tinitus post-traumatik akut;
dan pada kasus dengan kecenderungan untuk bunuh diri.
Langkah berikutnya dalam hirarki algoritma diagnostik adalah
membedakan antara tinitus pulsatil dan non – pulsatil. Pada tinitus pulsatil, persepsi
suara sejalan dengan irama detak jantung dan pemeriksaan neurovaskuler
diperlukan. Penyakit seperti malformasi arterivena, trombosis sinus vena, hipertensi
intrakranial jinak, dan tekanan jugularis yang tinggi dapat menyebabkan tinitus
pulsatil. Tinitus non – pulsatil lebih sering terjadi dibandingkan dengan tinitus non –
pulsatil dan harus dibedakan menurut durasi, gejala, dan faktor peenyebabnya.
Tinitus akut yang diikuti oleh kehilangan pendengaran akut, diagnostik dan prosedur
terapi akan difokuskan pada kehilangan pendengarannya dan seharusnya tidak
ditunda.
Tinitus paroksismal dapat menjadi sebuah gejala kompresi saraf auditorik,
sindrom dehisensi kanal superior, penyakit Ménière, mioklonus palatum, migraine,
atau epilepsi. Untuk diagnosis banding, MRI, auditory evoked potentials, tes
vestibuler, dan elektroensefalografi dapat diindikasikan.
Tinitus non – pulsatil yang bersifat konstan dapat diikuti oleh kehilangan
pendengaran konduktif atau sensorineural. Gangguan pendengaran konduktif dapat
disebabkan oleh otosklerosis, bentuk lain dari otitis, atau disfungsi tuba eustasius.
Pada gangguan pendengaran sensorineural, prosedur diagnostik kedepannya
diindikasikan untuk mengidentifikasi penyebab pastinya, termasuk MRI dan
26
otoacoustic emissions untuk menilai fungsi sel rambut luar. Tinitus dapat terjadi
bersamaan dengan vertigo yang mengindikasikan abnormalitas patologi, seperti
penyakit Ménière, dehisensi kanalis superior, atau kerusakan sistem
vestibulokoklear, dan memerlukan penilaian mendetil dari fungsi vestibuler.
Jika tinitus muncul bersamaan dengan nyeri kepala, space – occupying
lesions, hipertensi intrakranial jinak, gangguan sirkulasi CSF, dan anomaly
kranioservikal seharusnya dieksklusi dengan MRI. Pada kasus nyeri kepala dengan
lateralisasi bersamaan dengan tinitus pada sisi yang sama dan dengan waktu yang
sama, sindrom nyeri kepala trigemino – autonomal seharusnya dipertimbangkan dan,
jika benar, harus diterapi secara spesifik.
Gangguan psikiatri yang dapat muncul secara bersamaan, seperti depresi,
kecemasan, dan insomnia, seharusnya dicari tahu dan diterapi secara spesifik jika
ada, karena gangguan tersebut berperan dalam penting dalam tinitus yang
mengganggu kualitas hidup. Hiperakusis dan fonofobia sering bersamaan dengan
tinitus dan terkadang mengindikasikan gangguan kecemasan. Rujukan ke psikiatri
segera diperlukan ketika pasien memiliki ide bunuh diri.
Ketika tinitus berkaitan dengan disfungsi leher atau temporomandibuler
atau nyeri, seharusnya diperiksa lebih lanjut oleh dokter gigi dan psikoterapi.
Tes diagnostik spesifik jika tinitus terjadi atau memburuk dalam waktu tiga
bulan setelah kejadian traumatis. Kejadian trauma dapat menyebabkan tinitus dalam
berbagai cara. Indikasi untuk prosedur diagnostik lanjutan tergantung dari
mekanisme trauma; trauma telinga, kepala, leher, atau trauma emosional, atau
kombinasi trauma tersebut seharusnya dipertimbangkan untuk pemeriksaan lanjutan.
Pada kasus tinitus pulsatil post – traumatik, pemeriksaan diagnosis mendalam untuk
perubahan patologis vaskuler (terutama diseksi karotis) diperlukan segera.

27
Tabel 2 Ringkasan panduan dalam diagnostik tinitus
Pernyataan Tindakan Kekuatan
Anamnesis Klinisi seharusnya melakukan anamnesis dan Direkomendasikan
dan pemeriksaan fisik yang terarah untuk evaluasi
pemeriksaan awal pasien dengan tinitus primer untuk
fisik mengidentifikasi kondisi apabila memerlukan
identifikasi dan managemen segera dalam
meringankan tinitus
Pemeriksaan Klinisi seharusnya melakukan pemeriksaan Direkomendasikan
audiologi audiologi komprehensif segera pada pasien
segera dengan tinitus unilateral, menetap (≥ 6 bulan),
atau berkaitan dengan gangguan mendengar
Pemeriksaan Klinisi dapat melakukan pemeriksaan audiologi Pilihan
audiologi awal secara komprehensif pada pasien dengan
rutin tinitus
Pemeriksaan Klinisi seharusnya tidak melakukan Sangat
radiologis pemeriksaan radiologis kepala dan leher pada direkomendasikan
pasien dengan tinitus, terutama untuk
mengevaluasi tinitus, kecuali pasien tersebut
memiliki satu atau lebih gejala berikut: tinitus
yang terlokalisir pada satu telinga, tinitus
pulsatil, abnormalitas neurologis fokal, atau
kehilangan pendengaran asimetris

Tatalaksana Tinitus
Penatalaksanaan tinitus merupakan masalah yang kompleks dan merupakan
fenomena psikoakustik murni sehingga tidak dapat diukur. Perlu diketahui penyebab
tinitus agar dapat diobati sesuai penyebabnya. Terapi definitif untuk menghilangkan
tinitus sampai saat ini belum ada. Tujuan dari tatalaksana tinitus saat ini adalah
untuk menurunkan gangguan yang diakibatkan oleh tinitus sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup. Pendekatan manajemen tinitus saat ini berupa
gabungan dari beberapa pendekatan yaitu psikologis, stimulasi auditorik,
farmakologi, dan stimulasi otak. Pendekatan – pendekatan ini telah diteliti mampu

28
mengurangi tingkat keparahan dan memperbaiki kualitas hidup dari penderita tinitus.
(Gambar 12)
1. Terapi Psikologis
 Konseling dan Psikoedukasi
Konseling dilakukan oleh audiologis atau otologis mengenai
penjelasan informasi tentang tinitus. Penjelasan informasi yang diberikan
biasanya berupa anatomi dan patologi koklea, hilang pendengaran, proses
mekanisme bagaimana suara dapat didengar, mekanisme tinitus, stress,
serta manajemennya. Pentingnya melakukan konseling ini sebelum
memulai terapi lain agar pasien mendapatkan penjelasan yang baik
mengenai gejala ini sehingga termotivasi pula dalam program yang akan
dijalankan.
 Tinnitus Retraining Therapy (TRT)
Penatalaksanaan terkini yang dikemukakan oleh Jastreboff,
berdasar pada model neurofisiologi adalah kombinasi konseling terpimpin,
terapi akustik, dan medikamentosa bila diperlukan. Metode ini dikenal
dengan Tinnitus Retraining Therapy (TRT). Tujuan dari TRT adalah
memicu dan menjaga reaksi habituasi dan persepsi tinitus dan atau suara
lingkungan yang mengganggu. Habituasi diperoleh sebagai hasil dari
modifikasi hubungan sistem auditorik ke sistem limbik dan sistem saraf
otonom. TRT walau tidak dapat menghilangkan tinitus dengan sempurna,
tetapi dapat memberikan perbaikan yang bermakna berupa penurunan
toleransi terhadap suara.
TRT dimulai dengan anamnesis awal untuk mengidentifikasi
masalah dan keluhan pasien, menentukan pengaruh tinitus dan penurunan
toleransi terhadap suara di sekitarnya, mengevaluasi kondisi emosional dan
derajat stres pasien, mendapatkan informasi untuk memberikan konseling
yang tepat dan membuat data dasar yang akan digunakan untuk evaluasi
terapi.
 Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan suatu pendekatan
untuk membantu mengubah pola pikir penderita terhadap tinitus dengan
cara meminimalisir pikiran negatif penderita terhadap gejala tinitus.

29
Pendekatan ini terutama dilakukan dengan bantuan psikolog dan harus rutin
dijalankan beberapa waktu. Beberapa literatur menunjukkan bahwa dengan
gabungan antara CBT dan sound therapy/stimulasi auditorik menunjukkan
peningkatan kualitas hidup pada pasien yang terganggu.

2. Stimulasi Auditorik
 Sound Therapy
Baik suara dari lingkungan atau suara yang dibuat sendiri
keduanya dapat dipakai untuk penanganan tinitus. Penghasil suara
lingkungan merupakan suatu alat kecil yang menghasilkan suara alam
seperti bunyi ombak, air terjun, hujan, dan bunyi lainnya yang bertujuan
untuk merelaksasi dan menurunkan persepsi pasien terhadap suara tinnitus.
 Alat Bantu Dengar
Alat bantu dengar sudah banyak dipakai untuk tatalaksana pasien
tinitus yang disertai dengan kehilangan pendengaran (baik unilateral atau
derajat ringan) untuk mengkompensasi input auditorik pada batas frekuensi
yang terganggu. Namun, suara amplifikasi yang dihasilkan oleh alat bantu
dengar terbatas pada frekuensi tinggi dan tidak dapat memunculkan input
auditorik pada beberapa kasus kehilangan rambut organ korti. Sebuah studi
observasi menunjukkan manfaat dari penggunaan alat bantu dengar pada
pasien dengan tinitus hanya dapat kurang dari 6000 Hz dan harus di dalam
jarak amplifikasi alat bantu dengar. Masih dibutuhkan studi – studi dengan
randomized controlled trial untuk membuktikan efekasi dari alat bantu
dengar ini.
 Cochlear Implants
Pada pasien dengan sensorineural hearing loss disertai tinitus,
sebuah penelitian melaporkan penurunan dari derajat tinitus dengan
dilakukannya cochlear implant. Studi lain juga membuktikan manfaat
implan koklear pada kasus berkurangnya pendengaran sebelah dengan. Hal
ini membuktikan implantasi koklear menawarkan supresi tinitus yang
bersifat jangka panjang pada pasien dengan SNHL berat dengan cara
merestorasi input auditorik ke sistem pendengaran pusat.

30
3. Farmakologi
Saat ini belum ada terapi medikamentosa untuk tinitus. Terapi
farmakologis yang ada bertujuan untuk meringankan gejala tambahan
seperti stres dan cemas yang diakibatkan oleh tinitus dengan penggunaan
obat golongan benzodiazepine atau carbamazepine. Beberapa penelitian
menyebutkan obat – obatan tersebut juga meningkatkan reaksi individu
tersebut terhadap tinitus, namun karena efek samping dan ketergantungan
maka tidak disarankan obat – obatan tersebut untuk menjadi terapi primer
bagi tinitus.
Pada penderita tinitus penggunaan berlebih dari alkohol, kafein,
atau obat yang merangsang sistem saraf pusat harus dihindari. Beberapa
obat yang sering dipakai sehari – hari seperti aspirin, juga diketahui dapat
menyebabkan tinitus.

4. Stimulasi Otak
Stimulasi otak terapetik memungkinkan modulasi fokal dari
aktivitas neuronal dan diteliti dapat menormalisasi tinitus yang terkait
dengan abnormalitas dari aktivitas neuronal. Repetitive transcranial
magnetic stimulation dalam sebuah studi randomized trial menunjukkan
penurunan derajat keparahan tinitus setelah dilakukan terapi ini.
Kekurangan dari tatalaksana ini adalah variasi efek antar individu yang
tinggi, durasi dari efek yang sangat singkat sehingga harus dilakukan secara
berulang dengan biaya yang cukup mahal.
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
merekomendasikan beberapa hal dalam guideline mengenai manajemen
pada tinitus. (Tabel 3)

31
Tabel 3. Rekomendasi manajemen dan tatalaksana tinitus

Pemakaian imaging untuk mendiagnosis tinitus sangat tidak


disarankan kecuali pasien memiliki salah satu dari gejala seperti tinitus
yang terlokalisasi pada 1 telinga, tinitus pulsatil, adanya defisit fokal
neurologis, atau kehilangan pendengaran sebelah. Dimana gejala – gejala
tersebut menunjukkan suatu tinitus objektif yang jika dihilangkan
penyebabnya, dapat menghilangkan gejala tinitus dari pasien. Pemakaian
obat – obatan seperti antidepresan, antikonvulsan, anti cemas atau medikasi
intratimpani tidak disarankan untuk pengobatan primer tinitus persisten.
Suplemen seperti Ginkgo biloba, melatonin, zinc, juga tidak disarankan
karena belum jelas manfaatnya secara signifikan dalam menurunkan gejala
tinitus serta masih sedikitnya penelitian yang dilakukan mengenai zat – zat

32
tersebut. Terapi akupuntur juga masih belum direkomendasikan oleh
literatur. Pemakaian Transcranial Magnetic Stimulation (TMS) tidak
disarankan untuk pengobatan rutin, karena sedikitnya manfaat yang
diterima dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan.

33
BAB III
PENUTUP

Telinga dibagi menjadi tiga bagian, di antaranya telinga luar, tengah dan dalam.
Telinga dalam terdiri dari koklea dan 3 kanalis semisirkularis. Secara garis besar, fisiologi
pendengaran dimulai dari gelombang bunyi yang ditangkap oleh daun telinga dan diteruskan
ke dalam liang telinga. Gelombang bunyi akan diteruskan ke telinga tengah dengan
menggetarkan gendang telinga, tulang pendengaran. Kemudian getaran diteruskan ke koklea,
sehingga menggetarkan endolimfa, yang nanti akan menyebabkan terjadinya depolarisasi
yang mengubah getaran menjadi energi listrik. Impuls tadi akan diteruskan kekorteks serebri
dan diterjemahkan oleh otak.
Tinitus adalah persepsi suara yang bukan merupakan rangsangan dari luar. Tinitus ada
yang bersifat subjektif dan objektif. Subjektif berarti tinitus hanya dapat didengar oleh pasien
dan objektif berarti tinitus dapat didengar juga oleh pemeriksa. Berdasarkan kualitas suara
yang didengar, tinitus ada yang bersifat pulsatil yang berarti berdenyut dan nonpulsatil yang
berarti tidak berdenyut.
Hingga sekarang, penyebab dari tinitus masih banyak dibicarakan. Tetapi banyak
sekali pendapat mengenai etiologi tinitus diantaranya, kelainan somatik daerah leher dan
rahang, , kerusakan n. Vestibulokoklearis, kelainan vaskular, dan lain lain. Teori-teori yang
sudah pernah dikemukakan adalah teori SOAEs, teori diskordan dan lain lain.
Dalam mendiagnosis tinitus diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang efektif dan lengkap. Dengan melakukan anamnesis yang efektif,
maka diharapkan dapat mengetahui garis besar etiologi dari tinitus yang dialami pasien.
Karena penatalaksanaan yang baik dari tinitus akan dapat berlangsung jika etiologinya dapat
diketahui dengan baik.

34
Daftar Pustaka

Baguley DM. Mechanisms of tinnitus. Br Med Bull 2002;63:195-212.

Dobie RA. Overview: suffering from tinnitus. In: snow JB. Tinnitus: theory and management.
Ontario: BC Decker Inc, 2004;1-7.

Han BI, Lee HW, Kim TY, Lim JS, Shin KS. Tinnitus: characteristics, causes, mechanisms,
and treatments. J Clin Neurol 2009;5:11-9.

Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke6. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Jae Ho Chung, et al. the pathophysiologic mechanism of tinnitus. Hanyang Med Rev
2016;36:81-85

Jastreboff PJ. 25 years of tinnitus retraining therapy. Hno 2015;63:307-11.

Jastreboff PJ. Phantom auditory perception (tinnitus): mechanisms of generation and


perception. Neurosci Res 1990;8:221-54.

Langguth B, et al. Tinnitus: causes and clinical management. The Lancet Neurology
2013;12:920-930
Levine RA, Oron Y. Tinnitus. Handb Clin Neurol 2015;129:409-31.

Nugroho PS, Wiyadi HMS. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer. Jurnal THT-KL
2009;2:76 – 85
Shore SE, Roberts LE, Langguth B. Maladaptive plasticity in tinnitus - triggers, mechanisms
and treatment. Nat Rev Neurol 2016;12:150-60

35

Anda mungkin juga menyukai