Anda di halaman 1dari 7

C.

Qiyas

1. Pengertian Qiyas

Secara harfiah, qiyas memiliki makna mengukur dan menyamakan.


Dalam istilah ushul fiqh, qiyas didefinisikan sebagai berikut :

ْ‫صفل لففعللةة تمكجممحعهحمماَ ففيِ الححككم‬ ‫س هحمو مردد الفمكر ف‬


‫ع لفلم ك‬ ‫القفمياَ ح‬

Qiyas adalah mengembalikan far (kasus cabang) pada ashl (kasus induk)
sebab adanya 'illat (titik temu) yang menyatukan keduanya dalam hukum.1
Menurut istilah, banyak rumusan para ulama dapat ditemukan, antara lain:

a. Menurut Shadr al-Syari'ah, qiyas adalah memberlakukan hukum


asal pada hukum cabang disebabkan kesatuan 'illat yang tidak
dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja.

b. Menurut mayoritas ulama Syafi'iyah, qiyas adalah membawa


hukum yang belum diketahui kepada hukum yang diketahui dalam
rangka menetapkan hukum bagi keduanya atau meniadakan hukum
bagi keduanya, baik hukum, maupun sifatnya.

c. Menurut Wahbah al-Zuhaili, Qiyas adalah:

‫الحاَق أمر غير منصموص علمى حكيمممه الشمر عمميِ بمأمر منصموص علمى حكمممه‬
ْ‫لشاتراكهماَ فيِ علة الحكم‬

Artinya:" menyamakan kasus yang belum ada ketetapan


hukumnya berdasarkan nash kepada kasus yang
sudah ada ketetapan hukumnya berdasarkan nash,
disebabkan kesatuan 'illat hukum diantara
keduanya".

Dari definisi diatas, tampak bahwa ulama klasik dan kontemporer


sepakat bahwa penetapan hukum melalui qiyas bukanlah penetapan hukum

1
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Syarh 'ala al-Waraqat, Surabaya: Al-Hidayah, tt. (cetakan
pinggir an-Nafahat) hal. 137
dari awal sebagaimana nash, melainkan hanya menyingkap dan
menjelaskan hukum saja (kasyf wa izhar al-hukum).2

2. Syarat-syarat Qiyas

Adapun syarat-syarat qiyas, sepanjang keterangan para ahli ushul fiqh,


antara lain sebagai berikut:

a. Ashal dan hukumnya hendaklah ada dari keterangan syara', yaitu


yang telah tersebut dalam A-Qur'an dan sunnah.

b. Hendaklah ashal itu satu perkara yang termasuk perkara-perkara,


yang dapat difikirkan oleh akal akan sebab-sebabnya.

c. Hendaklah sebab-sebab yang ada pada ashal itu ada pula pada fara'
(cabang)

d. Janganlah cabang itu sudah mempunyai hukum sendiri, sebelum


diberi hukum dengan qiyas

e. Sesudah diberi hukum dengan qiyas, janganlah cabang itu


bertentangan dengan hukum yang lain.

3. Pengertian 'Illat

a. 'Illat dalam Qiyas

Qiyas menurut ulama ushul ialah menghubungkan suatu


kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada
nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena
adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.

Apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai


suatu kejadian dan telah diketahui illat hukum itu dengan metode
diantara metode-metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian
terdapat nashnya dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu,
maka kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang ada

2
Suwarjin, Ushul fiqh, (Yogyakarta:Teras,2012), hlm.75-76.
nashnya dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu,
sehingga kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang
ada nashnya dalam hukumnya dengan dasar menyamakan dua
kejadian tersebut dalam illatnya karena hukum itu dapat ditemukan
ketika telah ditemukan illatnya.3

b. Definisi Illat4

Secara etimologi 'illat berati nama bagi sesuatu yang


menyebabkan berubahnya keadaan sesuatu yang lain dengan
keberadaannya. Secara terminologi ada beberapa definisi yang
dikemukakan ulama, antara lain:

"Illat adalah satu sifat yang nyata yang terang tidak bergeser-geser
yang dijadikan pergantungan sesuatu hukum yang ada munasabah
antaranya dengan hukum itu". Asy-Syaitibi, menuliskan pengertian
illat sebagai berikut: Illat adalah kemaslahatan atau kemanfaatan
yang dipelihara atau diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu
pekerjaan atau mencegahnya. Mayoritas ulama' hanabilah dan
Imam Baidhawi mendefiniskan illat dengan: "suatu sifat (yang
berfungsi) sebagai pengenal bagi suatu hukum".

Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat dengan:

‫المؤثرفيِ الحكمْ بجعله تعاَلى ل باَ لدات‬

Sifat yang berpengaruh terhadap hukum, bukan karena zatnya,


melainkan atas perbuatan syari'. 'Illat adalah suatu sifat yang ada
pada ashl yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum
ashl serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum
ditetapkan hukumnya.5

3
Prof.Dr.Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Yogyakarta: CV.Rajawali,1988), hlm.76

4
Ibid.,hlm.95

5
Drs. Totok Jumantoro, M.A dan Drs. Samsul Munir Amin, M.Ag. Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Amzah,2005),
hlm.120-121
Illat adalah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar
hukum. Dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam cabang,
seperti "memabukkan" adalah sifat yang terdapat pada khomar
yang dijadikan dasar keharamannya. Dan dengan itu diketahui
wujudnya keharaman dalam setiap arak yang memabukkan.
"penganiayaan" adalah sifat yang terdapat pada penjualan
seseorang atas penjualan seseorang yang lain dijadikan dasar atas
keharamannya.

4. Pembagian Qiyas6

Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa aspek yang terdapat


didalamnya, antara lain:

a. Dari segi kekuatan 'illat yang terdapat pada ashl dan far'un. Qiyas
dibagi menjadi tiga, yaitu:

1) Qiyas Aulawi, yaitu qiyas dimana 'illat yang terdapat pada


far'un lebih kuat dibanding 'illat yang terdapat pada ashl,
seperti: mengqiyaskan keharaman memukul orang tua
dengan keharaman berkata "uff" kepadanya. Illatnya adalah
sama-sama menyakitkan. Tetapi pada kasus memukul orang
tua 'illat menyakitkannya lebih kuat dibanding 'illat yang
menyakitkannya pada kasus berkata 'uff'.

2) Qiyas Musawi, yaitu qiyas di mana 'illat hukum yang


terdapat pada far'un sama kuatnya dengan 'illat yang
terdapat pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan keharaman
membakar harta anak yatim dengan keharaman memakan
harta anak yatim. 'Illat hukum pada kedua kasus ini sama
jenisnya, yaitu sama-sama memusnahkan harta anak yatim
dan sama kuatnya.

6
Suwarjin. Ushul fiqh (Yogyakarta: Teras,2012), hlm 77-78
3) Qiyas Adna, yaitu qiyas dimana 'illat yang terdapat pada
far'un lebih lemah dibanding 'illat hukum yang terdapat
pada ashl. Misalnya, mengqiyaskan apel kepada gandum
dalam menetapkan berlakunya riba fadhli dalam hal tukar
menukar barang sejenis. 'Illatnya adalah sama-sama
makanan.

b. Dari segi kejelasan 'illatnya, dibagi menjadi dua yaitu :

1) Qiyas Jali, yaitu qiyas yang 'illat hukumnya ditetapkan


dalam nash bersamaan dengan penetapan hukum pada ashl
atau illat tersebut tidak ditetapkan dalam nash, namun tidak
ada perbedaan antara ashl dan far'un dapat dipastikan ada
pengaruhnya. Qiyas Jali ini meliputi Qiyas Aulawi dan
Qiyas Musawi.

2) Qiyas Khafi, yaitu Qiyas yang 'illat hukumnya tidak


disebutkan dalam nash, tetapi diistinbathkan dari hukum
ashl, yang memungkinkan kedudukan 'illatnya bersifat
zhonni. Misalnya megqiyaskan pembunuhan dengan benda
berat kepada pembunuhan dengan benda tajam secara
melawan hukum. 'Illat ini lebih jelas kedudukannya pada
ashl dibanding kedudukannya pada far'un. Yang termasuk
Qiyas Khafi dan Qiyas Adna.

c. Dari segi keserasian 'illatnya dengan hukum, ada dua yaitu:7

1) Qiyas Muatstsir, yaitu qiyas yang 'illat penghubung antara


ashal dan furu' ditetapkan dengan nash yang sharih atau
ijma'. Misalnya, mengqiyaskan kewalian nikah anak
dibawah umur kepada kewalian atas hartanya dengan 'illat
belum dewasanya. 'Illat ini ditetapkan berdasarkan ijma'.

7
Amir Syarifuddin, Ushul, I, hlm 201
2) Qiyas Mulaim, yaitu qiyas yang 'illat hukum ashal dalam
hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk
munasib mulaim. Misalnya, qiyas pembunuhan dengan
benda berat kepada pembunuhan dengan benda berat
kepada pembunuhan dengan benda tajam yang 'illatnya
pada ashal dalam hubungannya dengan hukum pada ashal
adalah dalam bentuk munasib mulaim.

d. Dari segi dijelaskan atau tidaknya 'illat pada qiyas itu, ada tiga
yaitu:8

1) Qiyas al-ma'na atau qiyas makna ashal, yaitu qiyas yang


meskipun 'illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun
antara ashal dengan furu' tidak dapat dibedakan, sehingga
furu' itu seolah-olah ashal itu sendiri.

2) Qiyas 'illat, yaitu qiyas yang 'illatnya dijelaskan dan 'illat


tersebut merupakan pendorong bagi berlakunya hukum
ashal

3) Qiyas al-dilalah, yaitu qiyas yang 'illatnya bukan pendorong


bagi penetapan hukum itu sendiri, namun ia merupakan
keharusan (kelaziman) bagi 'illat yang memberi petunjuk
akan adanya 'illat.

5. Perbedaan Ulama Tentang Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara'

Memang tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan


bahwa qiyas dapat dijadikan sebagai dalil syara' untuk menetapkan hukum.
Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid menetapkan hukum
syara' diluar apa yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat
perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara'.

8
Ibid, hlm 175-176. Muhammad Abu Zahrah, Ushul. Hlm. 189-190: lihat pula A.Hanafie, Ushul
Fiqh, (Jakarta:Widjaya, 1993). Hlm.130
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum
syara'. Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga hal, yaitu:

a. Kelompok Jumhur Ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil


syara'. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat
hukumnya dalam nash al-Qur'an atau sunnah dan dalam ijma'
ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan
tidak melampaui batas kewajaran.

b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak


penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak 'illat
atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan
ditetapkannya suatu hukum syara'.

c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.


Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat
kesamaan 'illat diantara keduanya kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur'an atau sunnah.9

Argumentasi ketiga kelompok tersebut, dapat dikelompokkan lagi ke dalam


dua kelompok yaitu kelompok yang menerima dan kelompok yang menolak
penggunaan qiyas. Masing-masing kelompok mengemukakan Qur'an,
sunnah, ijma' ulama atau sahabat dan dalil aqli.

9
Muhammad Abu Zahrah,Ushul. Hlm.175

Anda mungkin juga menyukai