Anda di halaman 1dari 12

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kompos dan Proses Pengomposan


Kompos merupakan jenis pupuk yang berasal dari hasil akhir penguraian
sisa-sisa hewan maupun tumbuhan yang berfungsi sebagai penyuplai unsur hara
tanah sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki tanah secara fisik, kimiawi,
maupun biologis (Sutanto, 2002). Secara fisik, kompos mampu menstabilkan
agregat tanah, memperbaiki aerasi dan drainase tanah, serta mampu meningkatkan
kemampuan tanah menahan air. Secara kimiawi, kompos dapat meningkatkan
unsur hara tanah makro maupun mikro dan meningkatkan efisiensi pengambilan
unsur hara tanah. Sedangkan secara biologis, kompos dapat menjadi sumber
energi bagi mikroorganisme tanah yang mampu melepaskan hara bagi tanaman.
Kompos dapat dibuat dari berbagai bahan organik yang berasal dari limbah
hasil pertanian dan non pertanian (Harizena, 2012). Limbah hasil pertanian yang
dapat dijadikan sebagai kompos antara lain berupa jerami, dedak padi, kulit
kacang tanah, dan ampas tebu. Sedangkan, limbah hasil non pertanian yang dapat
diolah menjadi kompos berasal dari sampah organik yang dikumpulkan dari pasar
maupun sampah rumah tangga. Bahan-bahan organik tersebut selanjutnya
mengalami proses pengomposan dengan bantuan mikroorganisme pengurai
sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal ke lahan pertanian. Pada lingkungan
terbuka, proses pengomposan dapat berlangsung secara alami. Melalui proses
pengomposan secara alami, bahan-bahan organik tersebut dalam waktu yang lama
akan membusuk karena adanya kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca.
Proses tersebut dapat dipercepat dengan menambahkan mikroorganisme pengurai
sehingga dalam waktu singkat akan diperoleh kompos yang berkualitas baik
(Widarti et al., 2015).
Pengomposan merupakan proses perombakan (dekomposisi) bahan organik
oleh mikroorganisme dalam keadaan lingkungan yang terkontrol dengan hasil
akhir berupa humus dan kompos (Murbandono, 2008). Pengomposan bertujuan
untuk mengaktifkan kegiatan mikroba agar mampu mempercepat proses
dekomposisi bahan organik. Selain itu, pengomposan juga digunakan untuk
menurunkan nisbah C/N bahan organik agar menjadi sama dengan nisbah C/N

1
tanah (10-12) sehingga dapat diserap dengan mudah oleh tanaman. Agar proses
pengomposan berlangsung optimum, maka kondisi saat proses harus dikontrol.
Berdasarkan ketersediaan oksigen bebas, mekanisme proses pengomposan
dibagi menjadi 2, yaitu pengomposan secara aerobik dan anaerobik. Pengomposan
secara aerobik merupakan proses pengomposan yang memerlukan ketersediaan
oksigen. Oksigen diperlukan oleh mikroorganisme untuk merombak bahan
organik selama proses pengomposan berlangsung. Sedangkan pengomposan
secara anaerobik merupakan proses pengomposan yang tidak memerlukan
ketersediaan oksigen, namun hanya memerlukan tambahan panas dari luar
(Sutanto, 2002).
Kualitas kompos ditentukan oleh tingkat kematangan kompos seperti :
warna, tekstur, bau, suhu, pH, serta kualitas bahan organik kompos. Bahan
organik yang tidak terdekomposisi secara sempurna akan menimbulkan efek yang
merugikan bagi pertumbuhan tanaman. Penambahan kompos yang belum matang
ke dalam tanah dapat menyebabkan terjadinya persaingan penyerapan bahan
nutrient antara tanaman dan mikroorganisme tanah. Menurut Sutanto (2002),
keadaan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan tanaman.
Kompos yang berkualitas baik diperoleh dari bahan baku yang bermutu baik.
Kompos yang berkualitas baik secara visual dicirikan dengan warna yang cokelat
kehitaman menyerupai tanah, bertekstur remah, dan tidak menimbulkan bau
busuk.
Beragamnya bahan baku serta teknik pembuatan kompos tentunya sangat
berpengaruh terhadap kualitas serta kandungan kompos yang dihasilkan. Agar
kompos yang dihasilkan mempunyai kualitas baik, maka diperlukan adanya
standar yang digunakan sebagai acuan, salah satunya adalah SNI 19-7030-2004
tentang spesifikasi kompos. Berikut disajikan tabel tentang spesifikasi kompos
berdasarkan SNI 19-7030-2004.

2
Tabel 1. Standar Kompos SNI 19-7030-2004
No Parameter Satuan Minimum Maksimum
1 Kadar Air % o
C 50
2 Temperatur Suhu air tanah
3 Warna Kehitaman
4 Bau Berbau tanah
5 Ukuran Partikel mm 0,55 25
6 Kemampuan Ikat Air % 58
7 pH 6,80 7,49
8 Bahan Asing % 1,5
9 Bahan organik % 27 58
10 Nitrogen % 0,40
11 Karbon % 9,80 32
12 Phosfor (P2O5) % 0,10
13 C/N-Rasio 10 20
14 Kalium (K2O) % 0,20
15 Arsen mg/Kg 13
16 Cadmium (Cd) mg/Kg 3
17 Cobalt (Co) mg/Kg 34
18 Chromium (Cr) mg/Kg 210
19 Tembaga (Cu) mg/Kg 100
20 Merkuri (Hg) mg/Kg 0,0
21 Nikel (Ni) mg/Kg 62
22 Timbal (Pb) mg/Kg 150
23 Selenium (Se) mg/Kg 2
24 Seng (Zn) mg/Kg 500
25 Calsium (Ca) % 25,50
26 Magnesium (Mg) % 0,60
27 Besi (Fe) % 2,00
28 Aluminium (Al) % 2,20
29 Mangan (Mn) % 0,10
30 Fecal Coli MPN/gr 1000
31 Salmonella sp. MPN/4gr 3
Sumber : SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan
2.2.1 Rasio C/N
Rasio C/N merupakan perbandingan dari unsur karbon (C) dengan nitrogen
(N) yang berkaitan dengan metabolisme mikroorganisme pengurai dalam proses
pengomposan. Selama proses pengomposan, mikroorganisme pengurai
membutuhkan karbon (C) sebagai sumber energi dan nitrogen (N) sebagai zat
pembentuk sel mikroorgnasime. Jika rasio C/N tinggi, maka aktivitas
mikroorganisme pengurai akan berjalan lambat untuk mendekomposisi bahan
organik kompos sehingga waktu pengomposan menjadi lebih lama. Sedangkan
apabila rasio C/N rendah, maka nitrogen yang merupakan komponen penting pada
kompos akan dibebaskan menjadi ammonia dan menimbulkan bau busuk pada
kompos (Djuarnani, 2005).

2.2.2 Ukuran Bahan


Ukuran bahan baku kompos berpengaruh terhadap proses pengomposan,
sebab ukuran partikel menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas).
Menurut Yuwono (2006), ukuran bahan yang baik digunakan untuk proses
pengomposan adalah 5-10 cm. Bahan kompos yang berukuran kecil akan cepat
didekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sehingga proses pengomposan
berjalan lebih cepat.

2.2.3 Mikroorganisme Pengurai


Pada proses pengomposan, mikroorganisme pengurai membutuhkan karbon
(C) serta nitrogen (N) untuk metabolismenya. Unsur karbon digunakan sebagai
sumber tenaga oleh mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan-bahan organik
kompos, sedangkan unsur nitrogen digunakan sebagai sumber makanan serta
nutrisi untuk pertumbuhan. Menurut Djuarnani (2005), mikroorganisme pengurai
mempunyai beberapa fungsi selama proses pengomposan berlangsung.
Berdasarkan fungsinya, mikroorganisme mesofilik yang hidup pada suhu rendah
(25-45oC) berfungsi untuk merombak bahan-bahan kompos menjadi ukuran yang
lebih kecil sehingga mempercepat proses pengomposan. Sedangkan
mikroorganisme termofilik yang hidup pada suhu tinggi (45-65oC) berfungsi
untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat
terdekomposisi dengan cepat.
2.2.4 Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) dalam tumpukan kompos berpengaruh terhadap
aktivitas mikroorganisme pengurai. Kisaran pH yang optimum pada proses
pengomposan aerob adalah 6,0-8,0. Jika nilai pH terlalu tinggi (basa) akan
menyebabkan nitrogen dalam tumpukan kompos hilang akibat proses volatilisasi
(perubahan menjadi ammonia). Sedangkan apabila nilai pH terlalu rendah (asam),
akan mengakibatkan sebagian mikroorganisme pengurai mati (Yuwono, 2006).

2.2.5 Pembalikan Tumpukan Bahan


Pembalikan pada tumpukan bahan kompos bertujuan untuk mencampur
bahan baku kompos agar lebih homogen dan mencegah terjadinya penggumpalan
di permukaan tumpukan bahan kompos, sehingga proses pengomposan
berlangsung lebih cepat. Pembalikan sebaiknya dilakukan dengan cara
pemindahan lapisan atas ke lapisan tengah, lapisan tengah ke lapisan bawah dan
lapisan bawah ke lapisan atas. Maka dari itu, proses pembalikan perlu dilakukan
minimal 1 minggu sekali agar campuran bahan kompos tidak mengeras
(Sidabutar, 2012).
2.3 Metode Pengomposan
Berdasarkan cara pembuatannya, terdapat beberapa macam metode
pengomposan, yaitu metode indore, metode Barkeley, serta metode windrow
(Sugiarti, 2011).

2.3.1 Metode Indore

Metode indore cocok diterapkan pada daerah yang mempunyai curah


hujan tinggi. Bahan organik yang digunakan pada metode ini adalah campuran
sisa tanaman dan kotoran ternak, dimana lama waktu proses pengomposannya
yaitu 3 bulan. Proses pengomposan dengan metode indore dibagi menjadi dua
jenis, yaitu indore heap method (bahan dikomposkan di atas tanah) dan indore pit
method (bahan dipendam di dalam tanah).
Pada pengomposan dengan metode indore heap, bahan-bahan yang akan
dikomposkan ditimbun secara berlapis-lapis dengan ketebalan 10-25 cm per lapis,
dimana bagian atasnya ditutupi dengan kotoran ternak yang tipis untuk
mengaktifkan proses pengomposan. Sedangkan pengomposan dengan metode
indore pit, bahan dasar kompos yang digunakan adalah kotoran ternak dan disebar
secara merata di dalam lubang tanah dengan ketebalan 10-15 cm. bahan-bahan
kompos tersebut disusun secara berlapis-lapis dan dilakukan penambahan air
secukupnya yang bertujuan untuk menjaga kelembaban bahan.

2.3.2 Metode Barkeley

Pengomposan dengan metode Barkeley menggunakan bahan-bahan


organik dengan rasio C/N tinggi, seperti jerami dan serbuk gergaji. Bahan-bahan
tersebut dikombinasikan dengan bahan organik yang mempunyai rasio C/N
rendah, selanjutnya bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis dengan ukuran
2,4 x 2,2 x 1,5 m. Lapisan paling bawah adalah bahan organik dengan rasio C/N
rendah, dan diatasnya ditumpuk dengan bahan organik yang mempunyai rasio
C/N tinggi.
2.3.3 Metode Windrow
Pada proses pengomposan dengan metode windrow, bahan baku kompos
ditumpuk memanjang dengan tinggi tumpukan 0,6-1 meter, lebar 2-5 meter, serta
panjang 40-50 meter. Metode ini memanfaatkan sirkulasi udara secara alami,
dimana optimalisasi tinggi, lebar, dan panjang tumpukan kompos dipengaruhi
oleh keadaan bahan baku, kelembaban, ruang pori, serta sirkulasi udara untuk
mencapai bagian tengah tumpukan kompos. Tumpukan kompos tersebut harus
dapat melepaskan panas agar dapat mengimbangi pengeluaran panas yang
ditimbulkan sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme
pengurai. Pada metode windrow ini, dilakukan proses pembalikan secara periodik
dengan tujuan untuk menjaga kestabilan suhu dan kelembaban bahan kompos.
2.4 Komposisi Bahan Baku Kompos
Komposisi bahan baku kompos yang terdiri dari pencampuran bebagai
bahan organik merupakan faktor penting untuk menghasilkan kompos dengan
kualitas baik serta mempunyai kandungan unsur hara yang lengkap. Material
bahan organik yang ditambahkan dapat berbentuk substrat basah yang berasal dari
lumpur, jerami, serbuk gergaji, serta sampah organik.
Menurut Indriani (2011), pengomposan dari beberapa macam bahan organik
dapat mempercepat laju dekomposisi kompos serta menambah kandungan unsur
hara dari kompos yang dihasilkan. Pengomposan bahan organik yang berasal dari
limbah tanaman dapat berlangsung lebih cepat apabila ditambahkan dengan
kotoran hewan. Beberapa limbah tanaman, seperti jerami memiliki kandungan
karbon, selulosa, serta lignin yang tinggi sehingga membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk didekomposisi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Budiarta
(2016) yang menyatakan bahwa proses pengomposan limbah tanaman padi
(jerami) yang hanya ditambahkan larutan bioaktivator tanpa adanya campuran
bahan organik lain membutuhkan waktu dekomposisi selama 84 hari, sehingga
penambahan kotoran hewan yang mengandung nitrogen tinggi penting dilakukan
agar proses pengomposan dapat berlangsung lebih cepat. Menurut Atmaja (2016),
pengomposan limbah tanaman padi (jerami) yang ditambahkan dengan kotoran
ayam membutuhkan waktu dekomposisi selama 63 hari.
Selain mempercepat waktu pengomposan, penambahan bahan organik juga
bertujuan untuk menghasilkan kompos dengan rasio C/N yang sesuai dengan rasio
C/N tanah (10-12). Menurut Yuwono (2006), hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara membuat perbandingan yang bervariasi, misalnya satu bagian bahan yang
mempunyai kandungan unsur karbon tinggi dengan 2 bagian bahan yang
mengandung karbon rendah.

2.4.1 Jerami
Jerami adalah hasil sampingan dari usaha pertanian berupa tangkai dan
batang tanaman serealia yang telah kering, setelah biji-bijinya dipisahkan. Jerami
merupakan limbah pertanian terbesar yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
bahan organik tambahan pada tanah. Namun, jerami sering dipandang menjadi
permasalahan bagi petani, sehingga solusi yang sering dilakukan adalah dengan
membakar limbah tersebut atau hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak
alternatif saat musim kering akibat sulitnya mendapatkan hijauan.
Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang berpotensi
dimanfaatkan sebagai penambah unsur hara apabila dikembalikan ke dalam tanah.
Menurut Ekawati (2003), jerami padi memiliki kandungan hara yang berguna
untuk meningkatkan kesuburan tanah. Kandungan hara yang terkandung dalam
jerami padi disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Hara Jerami padi

No. Parameter Kadar


1 Selulosa (%) 36,65
2 Lignin (%) 6,55
3 pH 6,98
4 Kadar C-organik (%) 41,30
5 Kadar N (%) 1,02
6 Rasio C/N 40,49
Sumber : Ekawati (2003)

Jerami padi tergolong bahan organik yang memiliki rasio C/N tinggi. Bahan
organik yang mempunyai rasio C/N tinggi memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap perubahan sifat-sifat fisik tanah. Namun, bahan organik dengan rasio
C/N tinggi membutuhkan waktu yang lebih lama mengalami proses pengomposan
sehingga membutuhkan campuran bahan organik lain seperti kotoran ternak yang
mempunyai rasio C/N rendah agar proses pengomposan dapat berjalan optimal.
Selain rasio C/N tinggi, jerami padi juga memiliki kandungan selulosa dan
lignin yang tinggi sehingga sulit didekomposisi oleh mikroorganisme. Maka dari
itu, diperlukan suatu dekomposer yang mempunyai aktivitas selulolitik tinggi
dengan dikeluarkannya enzim selulose. Penambahan jerami yang sudah diolah
menjadi kompos secara konsisten dalam jangka panjang dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah.

2.4.2 Kotoran Ayam


Kotoran ayam merupakan limbah yang dihasilkan dari aktivitas peternakan
ayam, baik itu jenis ayam pedaging maupun ayam petelur. Komposisi kotoran
ayam dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti sifat fisiologis ayam, lingkungan
kandang termasuk suhu dan kelembaban, serta ransum yang dimakan. Dalam
pemeliharaan ayam menghasilkan limbah berupa kotoran yang mempunyai
kandungan hara serta nutrisi yang cukup tinggi. Kotoran ayam memiliki
kandungan unsur nitrogen dan mineral tinggi khususnya pada urin, sedangkan
pada buangan padat mempunyai kandungan protein yang tinggi. Menurut
Sidabutar (2012), unsur protein yang tinggi pada kotoran ayam merupakan media
yang sangat baik untuk perkembangan mikroorganisme. Berikut disajikan tabel
tentang kandungan hara kotoran ayam.

Tabel 3. Komposisi Hara Kotoran Ayam

No. Parameter Kadar


1 pH 7,09
2 Kadar C-organik (%) 38,93
3 Kadar N (%) 6,11
4 Rasio C/N 6,37
Sumber : Tufaila (2014)

Kotoran ayam merupakan salah satu bahan organik yang berpengaruh


terhadap sifat fisik, kimia, dan pertumbuhan tanaman (Tufaila, 2014). Kotoran
ayam mempunyai kadar unsur hara dan bahan organik yang tinggi serta kadar air
yang rendah. Menurut Suryani (2010), jumlah kotoran yang dihasilkan setiap
harinya oleh satu ekor ayam adalah 0,06 kg, dengan kandungan bahan kering
sebanyak 26%. Menurut Sidabutar (2012), pakan yang diberikan pada ayam
mempunyai kandungan gizi yang terdiri dari protein (28%), lemak (2,5%), serat
kasar (4%), kalsium (1%), dan posfor (0,9%). Pakan dengan kualitas gizi tersebut
menghasilkan limbah berupa feses yang mempunyai nilai nutrisi tinggi, selain itu
sistem pencernaan unggas lambung tunggal dan proses penyerapan berjalan cepat
dan tidak sempurna sehingga banyak kandungan nutrisi yang belum terserap dan
dibuang bersama dengan feses.
Penggunaan bahan organik kotoran ayam memiliki beberapa keuntungan
diantaranya mampu meningkatkan kadar N, P, K pada tanah masam berkadar
bahan organik rendah. Selain itu, menurut Widowati (2005), penggunaan kompos
kotoran ayam selalu memberikan respon tanaman terbaik pada musim pertama.
Hal tersebut terjadi karena kompos kotoran ayam mengalami dekomposisi yang
lebih cepat jika dibandingkan dengan kompos dari kotoran ternak lainnya.
2.5 Suhu pada Proses Pengomposan
Suhu merupakan indikator yang menunjukkan aktivitas mikroorganisme
pengurai selama proses pengomposan. Aktivitas mikroorganisme pengurai dalam
proses pengomposan berpengaruh terhadap perubahan suhu dalam tumpukan
bahan kompos. Panas dihasilkan oleh mikroorganisme saat proses perombakan
bahan organik. Ketika proses dekomposisi bahan organik diawal fase
pengomposan semakin cepat, maka panas yang dihasilkan akan meningkat
semakin cepat. Pada saat proses pengomposan berakhir, bahan organik yang
didekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sudah habis sehingga terjadi
penurunan suhu pada tumpukan kompos. Menurut Isroi (2008), pada proses
pengomposan secara aerob akan terjadi peningkatan suhu yang cukup kuat selama
3-5 hari pertama dan suhu tumpukan kompos dapat mencapai 30-60oC. Kisaran
suhu tersebut merupakan yang terbaik bagi pertumbuhan mikroorganisme, dimana
mikroorganisme pengurai dapat berkembangbiak sampai tiga kali lipat sehingga
aktivitas perombakan bahan organik menjadi semakin cepat.
Secara umum, kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan, yaitu
tahap aklimasi, tahap termofilik, serta tahap pematangan kompos. Proses
pengomposan diawali dengan tahap aklimasi, yaitu proses penyesuaian suhu
bahan kompos, dimana pada tahap ini terjadi peningkatan suhu pada campuran
bahan organik yang digunakan sebagai kompos. Tahap selanjutnya adalah tahap
termofilik, dimana mikroorganisme yang terlibat pada tahap ini dapat hidup pada
suhu 40-60oC dan bertujuan untuk mendegradasikan bahan organik secara cepat
dengan cara mengkonsumsi karbohidrat dan protein. Pada tahap ini proses
dekomposisi mulai melambat dan ditandai dengan tercapainya suhu puncak
sehingga bahan organik lebih mudah didekomposisikan. Tahap terakhir adalah
tahap pematangan kompos. Pada tahap ini mikroorganisme termofilik akan
mengalami kematian akibat kenaikan suhu diatas 60oC dan digantikan oleh
mikroorganisme mesofilik. Apabila suhu maksimum sudah tercapai serta seluruh
aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses dekomposisi terhenti, maka
suhu akan turun kembali sampai mencapai kisaran suhu awal. Pada tahap ini
kompos sudah terbentuk dan siap digunakan (Djuarnani, 2005).

2.6 Kadar Air pada Proses Pengomposan


Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat
dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berat kering (dry basis).
Banyaknya kadar air dalam suatu bahan dapat diketahui bila suatu bahan
dipanaskan pada suhu 1050C. Menurut Djuarnani (2005), kandungan kadar air
timbunan kompos secara menyeluruh sekitar 40-60%. Kandungan kadar air
optimum sangat diperlukan dalam proses pengomposan. Apabila kondisi jumlah
kadar air terlalu tinggi pada tumpukan kompos, maka pertumbuhan
mikroorganisme pengurai dapat terhambat karena molekul air akan mengisi
rongga udara sehingga terjadi kondisi anaerobik yang akan menimbulkan bau.
Sedangkan jika kadar air pada tumpukan kompos terlalu rendah, maka dapat
mengakibatkan berkurangnya populasi mikroorganisme pengurai (Kusuma, 2012).
Kadar air merupakan salah satu faktor yang menunjukkan bahwa proses
pengomposan berjalan cepat atau lambat (Som et al, 2009). Kadar air mempunyai
peranan dalam rekayasa pengomposan karena dekomposisi bahan-bahan organik
tergantung pada ketersediaan kandungan air, maka dari itu kadar air menjadi
faktor penting pada proses pengomposan. Apabila kandungan kadar air terlalu
tinggi maupun rendah akan mengurangi efisiensi proses pengomposan. Menurut
Murbandono (2008), kadar air optimal pada proses pengomposan berkisar antara
50-60%. Jika kadar air melebihi 60%, maka laju dekomposisi bahan organik
menjadi melambat, sedangkan apabila kadar air dibawah 40% akan menyebabkan
aktivitas mikroorganisme yang terlibat selama proses pengomposan terhenti.
Kandungan kadar air pada kompos dapat diukur secara gravimetri dengan
menentukan penurunan berat sampel setelah ditempatkan pada oven dalam waktu
tertentu. Pada metode gravimetri, diasumsikan bahwa terjadi kehilangan sejumlah
air selama proses pengeringan. Menurut Murbandono (2008), prinsip metode
gravimetri menyatakan bahwa air yang terkandung dalam kompos akan
mengalami penguapan apabila bahan kompos tersebut dipanaskan pada suhu
105oC selama waktu tertentu sampai tercapai berat konstan. Selisih antara berat
kompos sebelum dan sesudah dipanaskan merupakan kadar air yang terkandung
dalam kompos. Secara matematis, rumus perhitungan kadar air dengan metode
gravimetri adalah sebagai berikut :

(w 0−w 1)
Kadar Air (%) = x100%
w0
Keterangan : W0 = berat sampel bahan baku awal (gram)
W1 = berat sampel bahan baku akhir (gram)

Anda mungkin juga menyukai