Anda di halaman 1dari 701

TUGAS KELOMPOK

“ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN”


(PERATURAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN)

Dosen Pengampuh:
Agusriyadin, S.Si., M.Sc

OLEH :

KELOMPOK II

1. YUFITA (171320548) 10. ANSHURAYANTI (171320477)


2. TRIA VIVI NOVITA (171320544) 11. RISDAYANTI (171330658)
3. FITRI HANDAYANI (171320492) 12. SYAHRIANTIKA (171320542)
4. WA RITA (171310195) 13. RABIATUL AWALIA (171320526)
5. GUSTINA (171320494) 14. IRDA SEPTIYANI (16131460)
6. CICI PRATIWI (171330624) 15. VIVIN YULIA SARI (16131472)
7. SARINAWATI (171320536) 16. MARSISKA (171320514)
8. AYU ANDIRA (171320483) 17. HASNIAR (171320498)
9. NURMIDA (171310187)
18. MIFTATUL MARWAH 25. JUSMIATI (171320511)
(171320515) 26. NURUL AFIFAH (171320525)
19. YUMRAWATI (171320548) 27. NOVANI (171320521)
20. MUTMAINNAH AL 28. AYU ASRIANI (171320484)
FAUSYAH(171320520) 29. SUSRIYANTI (171330664)
21. ASRIANTI (171320481) 30. MERI ANDANI (171330639)
22. WIWIK WIDIA NINGSI 31. IRMA (171310175)
(171320547) 32. LULUH INDAH SARI (171310181)
23. FIRDAWATI (171310172) 33. INTAN (171310174)
24. HERLINDA (171320500)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEMBILANBELAS NOVEMBER KOLAKA
2019
Undang Undang No. 23 Tahun 1997
Tentang : Pengelolaan Lingkungan Hidup

Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


Nomor : 23 TAHUN 1997 (23/1997)
Tanggal : 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)
Sumber : LN 1997/68; TLN NO.3699

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan


Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang
bagi kehidupan dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan
Wawasan Nusantara;

b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk


memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup
berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan
memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa
depan;

c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup


untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan
hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang
terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;

d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka


pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat
kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta
perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan
hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa
sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup;

f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan


e di atas perlu ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;

Mengingat:

Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya,
yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup;
3. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan
hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk
menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan;
4. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan
kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam
membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan
hidup;
5. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup;
6. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain;
7. Pelestarian daya dukung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup terhadap tekanan
perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu
kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan
makhluk hidup lain;
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk
atau dimasukkan ke dalamnya;
9. Pelestarian daya tampung lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
10. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber
daya manusia, sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati, dan
sumber daya buatan;
11. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber
daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
12. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak
dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
13. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang;
14. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau
hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan;
15. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam
tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan
sumber daya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan
ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya;
16 Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan;
17. Bahan berbahaya dan beracun adalah setiap bahan yang karena sifat
atau konsentrasi, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak
langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan
hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup
lain;
18. Limbah bahan berbahaya dan beracun adalah sisa usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang
karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara
langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain;
19. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau
lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
20. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau
kegiatan;
21. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah kajian mengenai
dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan;
22. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang terbentuk
atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang
tujuan dan kegiatannya di bidang lingkungan hidup;
23. Audit lingkungan hidup adalah suatu proses evaluasi yang dilakukan
oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk menilai tingkat
ketaatan terhadap persyaratan hukum yang berlaku dan/atau
kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan;
24. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang,
dan/atau badan hukum;
25. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.

Pasal 2

Ruang lingkup lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara


Kesatuan Republik Indonesia yang berWawasan Nusantara dalam
melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yurisdiksinya.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN SASARAN

Pasal 3

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung


jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pasal 4

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :


a. tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
manusia dan lingkungan hidup;
b. terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang
memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup;
c. terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa
depan;
d. tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
f. terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak
usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 5

(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.

(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka


pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 6

(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan


hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan.

(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban


memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.

Pasal 7

(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya


untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
(2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
(3) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial;
(4) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.

BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 8

(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh Pemerintah.

(2) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Pemerintah:
a. mengatur dan mengembangkan kebijaksanaan dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup;
b. mengatur penyediaan, peruntukan, penggunaan, pengelolaan
lingkungan hidup, dan pemanfaatan kembali sumber daya alam,
termasuk sumber daya genetika;
c. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang
dan/atau subjek hukum lainnya serta perbuatan hukum
terhadap sumber daya alam dan sumber daya buatan, termasuk
sumber daya genetika;
d. mengendalikan kegiatan yang mempunyai dampak sosial;
e. mengembangkan pendanaan bagi upaya pelestarian fungsi
lingkungan hidup sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9

(1) Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan


lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan
nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat.

(2) Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh


instansi pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab
masing-masing, masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan
memperhatikan keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan
kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan


penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati,
perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan
perubahan iklim.

(4) Keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional


pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dikoordinasi oleh Menteri.

Pasal 10

Dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah berkewajiban:


(1) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kesadaran dan tanggung jawab para pengambil keputusan dalam
pengelolaan lingkungan hidup;

(2) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan


kesadaran akan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup;
(3) mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan
kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah dalam
upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

(4) mengembangkan dan menerapkan kebijaksanaan nasional pengelolaan


lingkungan hidup yang menjamin terpeliharanya daya dukung dan
daya tampung lingkungan hidup;

(5) mengembangkan dan menerapkan perangkat yang bersifat preemtif,


preventif, dan proaktif dalam upaya pencegahan penurunan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

(6) memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang akrab lingkungan


hidup;

(7) menyelenggarakan penelitian dan pengembangan di bidang


lingkungan hidup;

(8) menyediakan informasi lingkungan hidup dan menyebarluaskannya


kepada masyarakat;

(9) memberikan penghargaan kepada orang atau lembaga yang berjasa di


bidang lingkungan hidup.

Pasal 11

(1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan


secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh
Menteri.

(2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi


serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Pasal 12

(1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan


kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat:
a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup
kepada perangkat di wilayah;
b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu
Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan
hidup di daerah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah


dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah
menjadi urusan rumah tangganya.

(2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan


dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP

Pasal 14

(1) Untuk menjamin pelestarian fungsi lingkungan hidup, setiap usaha


dan/atau kegiatan dilarang melanggar baku mutu dan kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.

(2) Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan hidup, pencegahan dan


penanggulangan pencemaran serta pemulihan daya tampungnya
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,


pencegahan dan penanggulangan kerusakan serta pemulihan daya
dukungnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat


menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang


menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan


pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada
pihak lain.

(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 17

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan


pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan,


mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau
membuang.

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur


lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama Perizinan

Pasal 18

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.

(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diberikan pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan


persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya pengendalian
dampak lingkungan hidup.
Pasal 19

(1) Dalam menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib


diperhatikan:
a. rencana tata ruang;
b. pendapat masyarakat;
c. pertimbangan dan rekomendasi pejabat yang berwenang yang
berkaitan dengan usaha dan/atau kegiatan tersebut.

(2) Keputusan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib diumumkan.

Pasal 20

(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan


pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.

(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar
wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.

(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.

(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan
yang ditetapkan oleh Menteri.

(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 21

Setiap orang dilarang melakukan impor limbah bahan berbahaya dan


beracun.

Bagian Kedua Pengawasan

Pasal 22

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab


usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.

(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah


Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang
melakukan pengawasan.

Pasal 23

Pengendalian dampak lingkungan hidup sebagai alat pengawasan dilakukan


oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus untuk itu oleh Pemerintah.

Pasal 24

(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta
keterangan, membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu, mengambil
contoh, memeriksa peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat
transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang
bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan
petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda


pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan tersebut.

Bagian Ketiga Sanksi Administrasi

Pasal 25

(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan


pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta
menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran,
melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau
pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan
kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan
Peraturan Daerah Tingkat I.

(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan


kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan
pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.

(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan
pembayaran sejumlah uang tertentu.

Pasal 26

(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya
hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 27

(1) Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin


usaha dan/atau kegiatan.

(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.

(3) Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada


pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan
karena merugikan kepentingannya.

Bagian Keempat Audit Lingkungan Hidup

Pasal 28

Dalam rangka peningkatan kinerja usaha dan/atau kegiatan, Pemerintah


mendorong penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan
audit lingkungan hidup.
Pasal 29

(1) Menteri berwenang memerintahkan penanggung jawab usaha


dan/atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup apabila
yang bersangkutan menunjukkan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
yang diatur dalam Undang-undang ini.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diperintahkan untuk


melakukan audit lingkungan hidup wajib melaksanakan perintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak


melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.

(4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.

(5) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup sebagaimana


dimaksud pada ayat (1).

BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

Bagian Pertama Umum

Pasal 30

(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui


pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela
para pihak yang bersengketa.

(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup
sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.

(3) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di


luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh
apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau
para pihak yang bersengketa.

Bagian Kedua Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup


di Luar Pengadilan

Pasal 31

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan diselenggarakan


untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu guna menjamin tidak akan terjadinya
atau terulangnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.

Pasal 32

Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dapat digunakan jasa pihak ketiga,
baik yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang
memiliki kewenangan mengambil keputusan, untuk membantu
menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Pasal 33

(1) Pemerintah dan/atau masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia


jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat
bebas dan tidak berpihak.

(2) Ketentuan mengenai penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa


lingkungan hidup diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup


Melalui Pengadilan

Paragraf 1: Ganti Rugi

Pasal 34

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau


perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.

(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.

Paragraf 2 :Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 35

(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan


kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika
pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari


kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di
bawah ini:

a. adanya bencana alam atau peperangan; atau


b. adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau
c. adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi.

Paragraf 3 : Daluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Pasal 36

(1) Tenggang daluwarsa hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan


mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan
Hukum Acara Perdata yang berlaku, dan dihitung sejak saat korban
mengetahui adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggang daluwarsa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku terhadap pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun dan/atau menghasilkan
limbah bahan berbahaya dan beracun.

Paragraf 4 : Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup


Untuk Mengajukan Gugatan

Pasal 37

(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan


dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.

(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat


pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa
sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka
instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan
hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 38

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan lingkungan


hidup sesuai dengan pola kemitraan, organisasi lingkungan hidup
berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan hidup.

(2) Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


terbatas pada tuntutan untuk hak melakukan tindakan tertentu tanpa
adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum atau yayasan;
b. dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
Pasal 39

Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.

BAB VIII
PENYIDIKAN

Pasal 40

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan
lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.

(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum
yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan
hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak
pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.

(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil
penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.

(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan


Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 41

(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun dan
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 42

(1) Barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang


mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 43

(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan


yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi,
dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas
atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan,
melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut,
menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya,
padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).

(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja
memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau
menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam
kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum
atau nyawa orang lain.

(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan
denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 44

(1) Barang siapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan


yang berlaku, karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 45

Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46

(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.

(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.

(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,


perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di
tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan
yang tetap.

(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,


perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan
diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus menghadap sendiri di pengadilan.

Pasal 47

Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang


Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana
lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(4) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(6) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga
tahun.
Pasal 48

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini adalah kejahatan.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 49

(1) Selambat-lambatnya lima tahun sejak diundangkannya Undang-


undang ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin,
wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Undang-
undang ini.

(2) Sejak diundangkannya Undang-undang ini dilarang menerbitkan izin


usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan limbah bahan berbahaya
dan beracun yang diimpor.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 50

Pada saat berlakunya Undang-undang ini semua peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah
ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 51

Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 4


Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3215) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 52

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

SOEHARTO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

MOERDIONO

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

I. UMUM

(1) Lingkungan hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha


Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan
rahmatNya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya
agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat
dan bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan
dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Pancasila, sebagai dasar dan falsafah negara, merupakan kesatuan
yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada rakyat dan
bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika
didasarkan atas keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, baik
dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa maupun
manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia
sebagai pribadi, dalam rangka mencapai kemajuan lahir dan
kebahagiaan batin. Antara manusia, masyarakat, dan lingkungan
hidup terdapat hubungan timbal balik, yang selalu harus dibina dan
dikembangkan agar dapat tetap dalam keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan yang dinamis.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.
Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dinikmati generasi masa
kini dan generasi masa depan secara berkelanjutan.
Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan
memanfaatkan sumber daya alam untuk meningkatkan kemakmuran
rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun untuk
mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya
alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan
hidup.

(2) Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas


wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan
tetapi, lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus
jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang
dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia.
Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat
negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak
berdaulat serta yurisdiksinya. Dalam hal ini lingkungan hidup
Indonesia tidak lain adalah wilayah, yang menempati posisi silang
antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca
serta musim yang memberikan kondisi alam dan kedudukan dengan
peranan strategis yang tinggi nilainya sebagai tempat rakyat dan
bangsa Indonesia menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian,
wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup
Indonesia adalah Wawasan Nusantara.

(3) Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri atas


berbagai subsistem, yang mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi,
dan geografi dengan corak ragam yang berbeda yang mengakibatkan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang berlainan.
Keadaan yang demikian memerlukan pembinaan dan pengembangan
lingkungan hidup yang didasarkan pada keadaan
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup akan meningkatkan
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan subsistem, yang berarti
juga meningkatkan ketahanan subsistem itu sendiri. Dalam pada itu,
pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan
mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi ketahanan ekosistem secara keseluruhan. Oleh karena
itu, pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu
sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya. Untuk itu,
diperlukan suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup
yang harus dilaksanakan secara taat asas dan konsekuen dari pusat
sampai ke daerah.

(4) Pembangunan memanfaatkan secara terus-menerus sumber daya


alam guna meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup rakyat.
Sementara itu, ketersediaan sumber daya alam terbatas dan tidak
merata, baik dalam jumlah maupun dalam kualitas, sedangkan
permintaan akan sumber daya alam tersebut makin meningkat
sebagai akibat meningkatnya kegiatan pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan penduduk yang makin meningkat dan beragam. Di pihak
lain, daya dukung lingkungan hidup dapat terganggu dan daya
tampung lingkungan hidup dapat menurun.
Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan
fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat
rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan
merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan
pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan
kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan,
dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang
perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya
masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain-lain, untuk
memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup yang menjadi tumpuan keberlanjutan pembangunan.
Pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber
daya alam, menjadi sarana untuk mencapai keberlanjutan
pembangunan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Oleh karena itu,
lingkungan hidup Indonesia harus dikelola dengan prinsip melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang untuk
menunjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup bagi peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.

(5) Arah pembangunan jangka panjang Indonesia adalah pembangunan


ekonomi dengan bertumpukan pada pembangunan industri, yang di
antaranya memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radioaktif. Di
samping menghasilkan produk yang bermanfaat bagi masyarakat,
industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain dihasilkannya
limbah bahan berbahaya dan beracun, yang apabila dibuang ke dalam
media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup,
kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Secara global, ilmu pengetahuan dan teknologi telah meningkatkan
kualitas hidup manusia. Pada kenyataannya, gaya hidup masyarakat
industri ditandai oleh pemakaian produk berbasis kimia telah
meningkatkan produksi limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal itu
merupakan tantangan yang besar terhadap cara pembuangan yang
aman dengan risiko yang kecil terhadap lingkungan hidup, kesehatan,
dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Menyadari hal tersebut di atas, bahan berbahaya dan beracun beserta
limbahnya perlu dikelola dengan baik. Yang perlu diperhatikan adalah
bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus bebas dari
buangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari luar wilayah
Indonesia.

(6) Makin meningkatnya upaya pembangunan menyebabkan akan makin


meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup. Keadaan ini
mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian dampak
lingkungan hidup sehingga risiko terhadap lingkungan hidup dapat
ditekan sekecil mungkin.
Upaya pengendalian dampak lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan
dari tindakan pengawasan agar ditaatinya ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. Suatu perangkat
hukum yang bersifat preventif berupa izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan lain. Oleh karena itu, dalam izin harus dicantumkan secara
tegas syarat dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lainnya. Apa yang
dikemukakan tersebut di atas menyiratkan ikut sertanya berbagai
instansi dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga perlu
dipertegas batas wewenang tiap-tiap instansi yang ikut serta di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.

(7) Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai


negara hukum, pengembangan sistem pengelolaan lingkungan hidup
sebagai bagian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan
menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan
lingkungan hidup. Dasar hukum itu dilandasi oleh asas hukum
lingkungan hidup dan penaatan setiap orang akan norma hukum
lingkungan hidup yang sepenuhnya berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
No. 12, Tambahan Lembaran Negara No. 3215) telah menandai awal
pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya
pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai bagian integral dari
upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup. Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak
diundangkannya Undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan
hidup masyarakat telah meningkat dengan pesat, yang ditandai antara
lain oleh makin banyaknya ragam organisasi masyarakat yang
bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya
masyarakat. Terlihat pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam
pelestarian fungsi lingkungan hidup sehingga masyarakat tidak hanya
sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata.
Sementara itu, permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat memerlukan pengaturan dalam
bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain,
perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan
makin mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia.
Dalam mencermati perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu
untuk menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini memuat norma hukum lingkungan hidup. Selain itu,


Undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan
semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang
lingkungan hidup yang berlaku, yaitu peraturan perundang-undangan
mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, industri, permukiman, penataan
ruang, tata guna tanah, dan lain-lain.

Peningkatan pendayagunaan berbagai ketentuan hukum, baik hukum


administrasi, hukum perdata maupun hukum pidana, dan usaha untuk
mengefektifkan penyelesaian sengketa lingkungan hidup secara alternatif,
yaitu penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan untuk
mencapai kesepakatan antarpihak yang bersengketa. Di samping itu, perlu
pula dibuka kemungkinan dilakukannya gugatan perwakilan. Dengan cara
penyelesaian
sengketa lingkungan hidup tersebut diharapkan akan meningkatkan ketaatan
masyarakat terhadap sistem nilai tentang betapa pentingnya pelestarian dan
pengembangan kemampuan lingkungan hidup dalam kehidupan manusia
masa kini dan kehidupan manusia masa depan.
Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana
tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana
hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi
administrasi dan sanksi perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat
dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya
menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan mengantisipasi kemungkinan
semakin munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi,
dalam Undang-undang ini diatur pula pertanggungjawaban korporasi.
Dengan demikian, semua peraturan perundang-undangan tersebut di atas
dapat terangkum dalam satu sistem hukum lingkungan hidup Indonesia.
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1 sampai angka 25


Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3

Berdasarkan asas tanggung jawab negara, di satu sisi, negara menjamin


bahwa pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi
masa kini maupun generasi masa depan. Di lain sisi, negara mencegah
dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah
yurisdiksinya yang menimbulkan kerugian terhadap wilayah yurisdiksi
negara lain, serta melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar
wilayah negara. Asas keberlanjutan mengandung makna setiap orang
memikul kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang,
dan terhadap sesamanya dalam satu generasi. Untuk terlaksananya
kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan lingkungan
hidup, harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan hidup
menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari
hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada
asas kerterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan
nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di
samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantuan penaatan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.

Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun
dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan
kebijakan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 6

Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas
dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat mencerminkan harkat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut
mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya
memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan
budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di
bidang lingkungan hidup.

Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 7

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk
menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan
lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan
lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan
efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup

Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan
kemungkinan terjadinya dampak negatif.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Dengan meningkatnya ketanggapsegeraan akan meningkatkan kecepatan
pemberian informasi tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga
dapat segera ditindak lanjuti.

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang
berpengaruh terhadap kepentingan umum, baik secara kultural maupun
secara struktural.

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9

Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan
proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap masyarakat
adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang
terdapat di sekitarnya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 10

Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah
pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku
pembangunan lainnya.

Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia.

Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam
upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran
masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain
lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan.

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif
adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan
perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup.
Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan
pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup,
seperti ISO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif
dan proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab
lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan
hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja.

Huruf f sampai huruf i


Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi
berbagai sektor yang menjadi tanggung jawab berbagai departemen dan
instansi pemerintah. Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keaneragaman potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati, karakteristik kebhinekaan budaya
masyarakat, dan aspirasi dapat menjadi modal utama pembangunan
nasional. Untuk itu guna mencapai keterpaduan dan kesatuan pola pikir, dan
gerak langkah yang menjamin terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup
secara berdayaguna dan berhasilguna yang berlandaskan Wawasan
Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang tertentu
dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun
kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah
dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.

Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan.
Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan
tanggung jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13

Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah
Pusat dapat menyerahkan urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah
menjadi wewenang, tugas, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah
berdasarkan asas desentralisasi.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1) sampai ayat (3)


Cukup jelas

Pasal 15

Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan penting tersebut di


antaranya digunakan kriteria mengenai :
a besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha
dan/atau kegiatan;
b luas wilayah penyebaran dampak;
c intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e sifat kumulatif dampak;
f berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16

Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup
berupa terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat
bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan efek negatif.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha
di bidang pertambangan, atau izin usaha industri untuk usaha di bidang
industri.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban
yang berkenaan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana
pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus
dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu
limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban
yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan
swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan
analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai
dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan
permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan
pelaksanaan atas keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan tersebut memungkinkan peranserta masyarakat
khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan
keputusan izin.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada
umumnya limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu, limbah
yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses
pemanfaatan tersebut akan menghasilkan limbah, sebagai residu yang
tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan dibuang ke media
lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah
pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan
dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke dalam
media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan
limbah dan/atau bahan tersebut ke media lingkungan hidup akan
menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Sehingga dengan
ketentuan Pasal ini, ditentukan bahwa pada prinsipnya pembuangan
limbah ke media lingkungan hidup merupakan hal yang dilarang,
kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain
untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan
pimpinan instansi yang bersangkutan.

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Pasal 25
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda
mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah
pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot
untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga
masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 28

Audit lingkungan hidup merupakan suatu instrumen penting bagi


penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk meningkatkan efisiensi
kegiatan dan kinerjanya dalam menaati persyaratan lingkungan hidup yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pengertian ini, audit
lingkungan hidup dibuat secara sukarela untuk memverifikasi ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang berlaku,
serta dengan kebijaksanaan dan standar yang ditetapkan secara internal oleh
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 29
Ayat (1) Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini
merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai
upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan.

Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup
untuk menjamin kepastian hukum.

Pasal 31

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di luar


pengadilan dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang berkepentingan,
yaitu para pihak yang mengalami kerugian dan mengakibatkan kerugian,
instansi pemerintah yang terkait dengan subyek yang disengketakan, serta
dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan
lingkungan hidup.
Tindakan tertentu di sini dimaksudkan sebagai upaya memulihkan
fungsi lingkungan hidup dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat setempat.

Pasal 32

Untuk melancarkan jalannya perundingan di luar pengadilan, para


pihak yang berkepentingan dapat meminta jasa pihak ketiga netral yang
dapat berbentuk :
a. pihak ketiga netral yang tidak memiliki kewenangan mengambil
keputusan.
Pihak ketiga netral ini berfungsi sebagai pihak yang
memfasilitasi para pihak yang berkepentingan sehingga dapat
dicapai kesepakatan.
Pihak ketiga netral ini harus :
(1) disetujui oleh para pihak yang bersengketa;
(2) tidak memiliki hubungan keluarga dan/atau
hubungan kerja dengan salah satu pihak yang
bersengketa;
(3) memiliki ketrampilan untuk melakukan
perundingan atau penengahan;
(4) tidak memiliki kepentingan terhadap proses
perundingan maupun hasilnya.

b. pihak ketiga netral yang memiliki kewenangan mengambil


keputusan berfungsi sebagai arbiter, dan semua putusan
arbitrase ini bersifat tetap dan mengikat para pihak yang
bersengketa.

Pasal 33

Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini
dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar
pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan
mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan
sebagai pelayanan publik.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan
hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan
membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
memulihkan fungsi lingkungan hidup;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 35

Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Ayat (2)
Huruf a sampai huruf c
Cukup jelas

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini
merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang
dilakukan Pemerintah.

Pasal 36

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37

Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini
adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat
berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas
gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang
diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak
lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit
pengolah limbah.
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.

Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan
lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka
secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki
ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke
pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha
negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan
dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 42 sampai pasal 52

Cukup jelas

______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan hidup


sebagai upaya sadar dan berencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup,
perlu dijaga keserasian antar berbagai usaha dan/atau kegiatan;
b. bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah
pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat dipersiapkan
sedini mungkin;
c. bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang mempunyai
dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. bahwa dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
e. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN


HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :

1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak
besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan;
2. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar
yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
3. Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang merupakan hasil pelingkupan;
4. Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan;
5. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
6. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
7. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;
8. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan
keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat
pusat berada pada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan
di tingkat daerah berada pada Gubernur;
10. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina
secara teknis usaha dan/atau kegiatan dimaksud;
11. Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di
tingkat daerah oleh komisi penilai daerah;
12. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
13. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
14. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Gubernur Kepala Daerah
Istimewa atau Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Pasal 2

(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan
rencana usaha dan/atau kegiatan.

(2) Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan
pembangunan wilayah.

(3) Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat dilakukan melalui
pendekatan studi terhadap kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan.

Pasal 3

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya
alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati;
h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup;
i. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara.

(2) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terkait.

(3) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya dalam waktu 5 (lima) tahun.

(4) Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan.

(5) Pejabat dari instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
wajib mencantumkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan setelah mempertimbangkan masukan
dari instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 4

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak diwajibkan membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup lagi.

(2) Usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan untuk melakukan
pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
kawasan.

Pasal 5
(1) Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap
lingkungan hidup antara lain :

a. jumlah manusia yang akan terkena dampak;

b. luas wilayah persebaran dampak;

c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

d. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;

e. sifat kumulatif dampak;

f. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

(2) Pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
tidak perlu dibuat bagi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi suatu keadaan
darurat.

(2) Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu keadaan darurat.

Pasal 7

(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.

(2) Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang diberikan oleh
instansi yang bertanggungjawab.

(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan syarat dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang diterbitkannya.

(4) Ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemrakarsa, dalam menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya.

BAB II
KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8

(1) Komisi penilai dibentuk :

a. di tingkat pusat : oleh Menteri;

b. di tingkat daerah : oleh Gubernur.

(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :

a. di tingkat pusat berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak


lingkungan;
b. di tingkat daerah berkedudukan di instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan Daerah Tingkat I.

(3) Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

(4) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu
oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka acuan, analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.

(5) Dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dibantu oleh tim teknis dari masing-masing sektor.

(6) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan hasil penilaiannya kepada
instansi yang bertanggung jawab untuk dijadikan dasar keputusan atas kerangka acuan, analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.

(7) Ketentuan mengenai tata kerja komisi penilai dimaksud, baik pusat maupun daerah,
ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar dan memperhatikan saran/pendapat Menteri Dalam
Negeri dan Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait.

(8) Ketentuan mengenai tata kerja tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
lebih lanjut oleh Komisi Penilai Pusat.

Pasal 9

(1) Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-
unsur instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan,
instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan, instansi yang ditugasi bidang perencanaan
pembangunan nasional, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal, instansi yang ditugasi
bidang pertanahan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan, departemen dan/atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait, wakil
Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Wakil Kabupaten/Walikotamadya Daerah Tingkat
II yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi
lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat
terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 10

(1) Komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas
unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal daerah, instansi yang ditugasi
bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan daerah,
instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi pusat dan/atau daerah
yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di Propinsi
Daerah Tingkat I, wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, pusat studi
lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup,
ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup
sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, warga masyarakat yang terkena
dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.

Pasal 11

(1) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup
bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria :

a. usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau menyangkut ketahanan dan


keamanan negara;
b. usaha dan/atau kegiatan yang lokasinya meliputi lebih dari satu wilayah propinsi
daerah tingkat I;
c. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain;
d. usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah ruang lautan;
e. Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di lintas batas negara kesatuan
Republik Indonesia dengan negara lain;

(2) Komisi penilai daerah berwenang menilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi
jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang diluar kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 12

(1) Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi
teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur untuk komisi
penilai daerah tingkat I.

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
wajib memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana
pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan keamanan.

BAB III
TATA LAKSANA

Bagian Pertama
Kerangka Acuan

Pasal 14

(1) Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh
pemrakarsa.

(2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 15

(1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh
pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan ketentuan :

a. di tingkat pusat : kepada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak


lingkungan melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : kepada Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I.

(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka
acuan pembuatan analisis dampak lingkungan hidup.

Pasal 16

(1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama
dengan pemrakarsa untuk menyepakati ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan hidup
yang akan dilaksanakan.

(2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75
(tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).

(3) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap
menerima kerangka acuan dimaksud.

(4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam
kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang
kawasan.
Bagian Kedua
Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup,
dan rencana pemantauan lingkungan hidup

Pasal 17

(1) Pemrakarsa menyusun analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup, berdasarkan kerangka acuan yang telah
mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab.

(2) Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup, berpedoman pada pedoman penyusunan analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.

Pasal 18

(1) Analisis dampak lingkungan hidup,rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, diajukan oleh pemrakarsa kepada :

a. di tingkat pusat : Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan


melalui komisi penilai pusat;
b. di tingkat daerah : Gubernur melalui komisi penilai daerah tingkat I.

(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 19

(1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup dinilai :

a. di tingkat pusat : oleh komisi penilai pusat;

b. di tingkat daerah : oleh komisi penilai daerah.

(2) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

(3) Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicantumkan dasar pertimbangan

dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap saran, pendapat, dan tanggapan yang
diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).

Pasal 20
(1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).

(2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan dianggap layak lingkungan.

Pasal 21

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengembalikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada pemrakarsa
untuk diperbaiki apabila kualitas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup tidak sesuai dengan pedoman
penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.

(2) Perbaikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.

(3) Penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup,rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup serta pemberian keputusan kelayakan lingkungan hidup
atas usaha dan/atau kegiatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20.

Pasal 22

(1) Apabila hasil penilaian komisi penilai menyimpulkan bahwa :

a. dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau
b. biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar dari pada manfaat
dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan.

c. maka instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan bahwa rencana usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak layak lingkungan.

(2) Instansi yang berwenang menolak permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan apabila instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)

Pasal 23

Salinan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha
dan/atau kegiatan disampaikan oleh :

a. di tingkat pusat : instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan kepada


instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, instansi terkait yang berkepentingan, Gubernur dan Bupati/
Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
b. di tingkat daerah : Gubernur kepada Menteri, Kepala instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang berwenang menerbitkan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, dan instansi yang terkait.

Bagian Ketiga
Kadaluwarsa dan batalnya keputusan hasil
Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup

Pasal 24

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan
kadaluwarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila rencana usaha dan/atau
kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya
keputusan kelayakan tersebut.

(2) Apabila keputusan kelayakan lingkungan hidup dinyatakan kadaluwarsa


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka untuk melaksanakan rencana usaha
dan/atau kegiatannya, pemrakarsa wajib mengajukan kembali permohonan persetujuan
atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang bertanggung jawab.

(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang
bertanggung jawab memutuskan :

a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan
kembali; atau
b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 25

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal
atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha
dan/atau kegiatannya.

(2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan di lokasi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 26

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal
atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau
proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong.

(2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), maka pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak
lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 27

(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal
atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang
sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.

(2) Apabila pemrakarsa hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1), maka pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak
lingkungan hidup baru sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IV
PEMBINAAN

Pasal 28

(1) lnstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan pembinaan


teknis terhadap komisi penilai pusat dan daerah.

(2) Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan melakukan pembinaan teknis
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari
izin.

Pasal 29

(1) Pendidikan, pelatihan, dan pengembangan di bidang analisis mengenai dampak


lingkungan hidup dilakukan dengan koordinasi instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan.

(2) Lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan
hidup diselenggarakan dengan koordinasi dari instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan dengan memperhatikan sistem akreditasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

Pasal 30

Kualifikasi penyusun analisis mengenai dampak lingkungan hidup dengan pemberian


lisensi/sertifikasi dan pengaturannya ditetapkan oleh instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan.

Pasal 31

Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau golongan
ekonomi lemah dibantu pemerintah, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah
memperhatikan saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.

BAB V
PENGAWASAN

Pasal 32
(1) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang
membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan dan Gubernur.

(2) lnstansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan :

a. pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang-undangan di bidang


analisis mengenai dampak lingkungan hidup;
b. pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
c. penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara
berkala, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan
kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin dan Gubernur.

BAB VI
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERAN MASYARAKAT

Pasal 33

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib
diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.

(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab dan pemrakarsa.

(3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan berhak
mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha
dan/atau kegiatan.

(4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara
tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab.

(5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan.

(6) Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara
penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.

Pasal 34

(1) Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka
acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

(2) Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 35

(1) Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan
tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan
kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum.

(2) Instansi yang bertanggung jawab wajib menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.

BAB VII
PEMBIAYAAN

Pasal 36

Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan
hidup dibebankan :

a. di tingkat pusat : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak


lingkungan;
b. di tingkat daerah : pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan daerah tingkat I

Pasal 37

Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup dibebankan kepada
pemrakarsa.

Pasal 38

(1) Biaya pembinaan teknis dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 32 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.

(2) Biaya pengumuman yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung jawab.

(3) Biaya pembinaan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibebankan pada
anggaran instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 39

Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan yang pada
saat diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini :

a. sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang bersangkutan; atau
b. sudah diajukan kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, tetap dinilai oleh komisi penilai instansi yang bersangkutan, dan harus
selesai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku secara
efektif.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 40

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 41

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538) dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 42

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal
diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

ttd.

AKBAR TANDJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 59


PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

UMUM

Pembangunan yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia bertujuan untuk meningkatkan


kesejahteraan dan mutu hidup rakyat. Proses pelaksanaan pembangunan di satu pihak
menghadapi permasalahan jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertambahan yang
tinggi, tetapi dilain pihak ketersediaan sumber daya alam bersifat terbatas. Kegiatan
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan meningkatkan permintaan atas
sumber daya alam, sehingga timbul tekanan terhadap sumber daya alam. Oleh karena itu,
pendayagunaan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan harus disertai dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan
hidup. Dengan demikian, pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup
generasi masa kini dan generasi masa depan adalah pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup.

Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang merupakan tujuan pengelolaan lingkungan hidup
menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, sejak awal
perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan perubahan rona lingkungan
hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan hidup yang baru, baik yang menguntungkan
maupun yang merugikan, yang timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau
kegiatan pembangunan. Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.

Dengan dimasukkannya analisis mengenai dampak lingkungan hidup ke dalam proses


perencanaan suatu usaha dan/atau kegiatan, maka pengambil keputusan akan memperoleh
pandangan yang lebih luas dan mendalam mengenai berbagai aspek usaha dan/atau kegiatan
tersebut, sehingga dapat diambil keputusan optimal dari berbagai alternatif yang tersedia.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan salah satu alat bagi pengambil
keputusan untuk mempertimbangkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup guna mempersiapkan langkah untuk
menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.

Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan


merupakan kepentingan seluruh masyarakat. Diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan akan
mengubah rona lingkungan hidup, sedangkan perubahan ini pada gilirannya akan menimbulkan
dampak terhadap masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan warga masyarakat yang akan
terkena dampak menjadi penting dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan hak
setiap orang untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat itu
meliputi peran dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini berarti bahwa warga masyarakat
wajib dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan atas analisis mengenai dampak
lingkungan hidup. Keterlibatan warga masyarakat itu merupakan pelaksanaan asas keterbukaan.
Dengan keterlibatan warga masyarakat itu akan membantu dalam mengindentifikasi persoalan
dampak lingkungan hidup secara dini dan lengkap, menampung aspirasi dan kearifan
pengetahuan lokal dari masyarakat yang seringkali justru menjadi kunci penyelesaian persoalan
dampak lingkungan hidup yang timbul.

Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup. Sebagai bagian dari studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Hal itu merupakan konsekuensi
dari kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Konsekuensinya
adalah bahwa syarat dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup harus dicantumkan sebagai
ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Angka 1

Cukup jelas

Angka 2

Dampak besar dan penting merupakan satu kesatuan makna dari arti dampak penting.

Angka 3

Cukup jelas

Angka 4

Cukup jelas

Angka 5

Cukup jelas

Angka 6

Cukup jelas

Angka 7

Cukup jelas

Angka 8

Cukup jelas

Angka 9
Cukup jelas

Angka 10

Cukup jelas

Angka 11

Cukup jelas

Angka 12

Cukup jelas

Angka 13

Cukup jelas

Angka 14

Cukup jelas

Pasal 2

Ayat (1)

Studi kelayakan pada umumnya meliputi analisis dari aspek teknis dan aspek ekonomis-
finansial. Dengan ayat ini, maka studi kelayakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup

meliputi komponen analisis teknis, analisis ekonomis-finansial, dan analisis mengenai


dampak lingkungan hidup.. Oleh karena itu, analisis mengenai dampak lingkungan hidup
sudah harus disusun dan mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab
sebelum kegiatan konstruksi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.

Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat digunakan sebagai masukan
bagi penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, di samping dapat
digunakan sebagai masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah.

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup khususnya dokumen rencana pengelolaan


lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup juga merupakan dasar
dalam sistem manajemen lingkungan (Environmental Management System) usaha
dan/atau kegiatan.

Ayat (2)

Karena analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari studi kelayakan
suatu usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi pada ekosistem tertentu, maka hasil analisis
mengenai dampak lingkungan hidup tersebut sangat penting untuk dijadikan sebagai masukan
dalam perencanaan pembangunan wilayah

Ayat (3)
Usaha dan/atau kegiatan tunggal adalah hanya satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang
kewenangan perizinan serta pembinaannya di bawah satu instansi yang berwenang.

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup kegiatan terpadu/multisektor adalah hasil kajian
mengenai dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup dan melibatkan lebih dari satu instansi yang berwenang membidangi
kegiatan dimaksud.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan terpadu meliputi :

a. berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut mempunyai keterkaitan dalam hal


perencanaan, pengelolaan, dan proses produksinya;
b. usaha dan/atau kegiatan tersebut berada dalam kesatuan hamparan ekosistem.

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup kegiatan kawasan adalah hasil kajian mengenai
dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup dalam satu
kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.

Kriteria usaha dan/atau kegiatan di zona pengembangan wilayah/kawasan meliputi:

a. berbagai usaha dan/atau kegiatan yang saling terkait perencanaannya antar satu dengan
yang lainnya;

b. berbagai usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak dalam/merupakan satu kesatuan


zona rencana pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan:

c. usaha dan/atau kegiatan tersebut terletak pada kesatuan hamparan ekosistem.

Pasal 3

Ayat (1)

Usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud dalam ayat ini merupakan kategori usaha
dan/atau kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian penyebutan kategori usaha dan/atau
kegiatan tersebut tidak bersifat limitatif dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebutan tersebut bersifat alternatif, sebagai contoh
seperti usaha dan/atau kegiatan :

a. pembuatan jalan, bendungan/dam, jalan kereta api, dan pembukaan hutan;


b. kegiatan pertambangan dan eksploitasi hutan;
c. pemanfaatan tanah yang tidak diikuti dengan usaha konservasi dan penggunaan energi
yang tidak diikuti dengan teknologi yang dapat mengefisienkan pemakaiannya;
d. kegiatan yang menimbulkan perubahan atau pergeseran struktur tata nilai, pandangan
dan/atau cara hidup masyarakat setempat;
e. kegiatan yang proses dan hasilnya menimbulkan pencemaran, kerusakan kawasan
konservasi alam, atau pencemaran benda cagar budaya;
f. introduksi suatu jenis tumbuh-tumbuhan baru atau jasad renik (mikro organisme) yang
dapat menimbulkan jenis penyakit baru terhadap tanaman, introduksi suatu jenis hewan
baru dapat mempengaruhi kehidupan hewan yang telah ada;
g. penggunaan bahan hayati dan non hayati mencakup pula pengertian pengubahan;
h. penerapan teknologi yang dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang. Oleh karena itu, jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang mendasarkan
diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu ditinjau kembali.

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 5

Ayat (1)

Kriteria yang menentukan adanya dampak besar dan penting dalam ayat ini ditetapkan
berdasarkan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Oleh karena itu, kriteria ini dapat
berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak bersifat
limitatif.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 6

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan atau kondisi yang sedemikian
rupa, sehingga mengharuskan dilaksanakannya tindakan segera yang mengandung
risiko terhadap lingkungan hidup demi kepentingan umum, misalnya pertahanan negara
atau penanggulangan bencana alam. Keadaan darurat ini tidak sama dengan keadaan
darurat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang keadaan darurat

Ayat (2)

Keadaan darurat yang tidak memerlukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup,
misalnya pembangunan bendungan/dam untuk menahan bencana lahar, ditetapkan oleh
menteri yang membidangi kegiatan dimaksud.

Pasal 7

Ayat (1)

Untuk melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan terdapat satu izin yang bersifat dominan, tanpa
izin tersebut seseorang tidak dapat melakukan usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud.
Misalnya izin usaha industri di bidang perindustrian, kuasa pertambangan di bidang
pertambangan, izin penambangan daerah di bidang penambangan bahan galian golongan C, izin
hak pengusahaan hutan di bidang kehutanan, izin hak guna usaha pertanian di bidang pertanian.
Sedangkan keputusan kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah
persyaratan yang diwajibkan untuk dapat menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Ayat (2)

Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari proses perizinan melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup. Izin merupakan suatu instrumen yuridis preventif. Oleh karena itu, keputusan kelayakan
lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, sebagaimana telah
diterbitkan oleh instansi yang bertanggungjawab wajib dilampirkan pada permohonan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 8

Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Ayat (7)

Cukup jelas

Ayat (8)

Cukup jelas

Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 10

Ayat (1)

Wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan lingkungan hidup di komisi penilai daerah dapat
berarti wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan wilayah dengan
maksud agar terdapat keterpaduan kebijaksanaan penggelolaan lingkungan hidup, khususnya
pengendalian dampak lingkungan hidup dengan kebijaksanaan dan program pengendalian
dampak
lingkungan hidup di daerah. Pengangkatan para ahli dari pusat studi lingkungan hidup perguruan
tinggi sebagai anggota komisi penilai daerah adalah untuk memantapkan kualitas hasil kajian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam penilaian analisis mengenai dampak
lingkungan. Adanya wakil yang ditunjuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan
instansi yang ditugasi dibidang pertanahan di daerah dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan
pengelolaan lingkungan hidup secara lintas sektor yang ada di daerah. Adapun wakil yang
ditunjuk dari bidang kesehatan di daerah dikarenakan pada akhirnya dampak semua kegiatan
selalu berakhir pada aspek kesehatan.

Duduknya wakil organisasi lingkungan hidup dalam komisi penilai merupakan aktualisasi hak
warga masyarakat untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan.

Duduknya wakil masyarakat terkena dampak suatu usaha dan/atau kegiatan diharapkan dapat
memberikan masukan tentang aspirasi masyarakat yang terkena dampak akibat dari usaha
dan/atau kegiatan tersebut.

Duduknya wakil instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan adalah
untuk memberikan penilaian secara teknis usaha dan/atau kegiatan yang dinilai.

Organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji adalah
lembaga swadaya masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 11

Ayat (1)

Huruf a

Usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau kegiatan yang menyangkut ketahanan dan
keamanan negara misalnya : pembangkit

listrik tenaga nuklir, pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga uap/panas bumi,
eksploitasi minyak dan gas, kilang minyak, penambangan uranium, industri petrokimia, industri
pesawat terbang, industri kapal, industri senjata, industri bahan peledak, industri baja, industri
alat-alat berat, industri telekomunikasi, pembangunan bendungan, bandar udara, pelabuhan dan
rencana usaha dan/atau kegiatan lainnya yang menurut instansi yang membidangi usaha
dan/atau kegiatan dianggap strategis.

Dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis ini menjadi bagian dari usaha
dan/atau kegiatan terpadu/multisektor, maka penilaian analisis mengenai dampak lingkungan
hidup menjadi wewenang komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup pusat.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c
Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain misalnya :
rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di Pulau Sipadan, Ligitan dan Celah Timor.

Huruf d

Cukup jelas

Huruf e

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 13

Cukup jelas

Pasal 14

Ayat (1)

Kerangka acuan bagi pembuatan analisis dampak lingkungan hidup merupakan


pegangan yang diperlukan dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan
hidup. Berdasarkan hasil pelingkupan, yaitu proses pemusatan studi pada hal-hal penting
yang berkaitan dengan dampak besar dan penting, kerangka acuan terutama memuat
komponen-komponen aspek usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup, serta komponen-komponen parameter
lingkungan hidup yang akan terkena dampak besar dan penting.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jeias

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Penetapan jangka waktu selama 75 hari kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada
pemrakarsa. Jangka waktu 75 hari kerja ini meliputi proses penyampaian dokumen kerangka
acuan ke instansi yang bertanggung jawab melalui komisi penilai, penilaian secara teknis,
konsultasi dengan warga masyarakat yang berkepentingan, penilaian oleh komisi penilai, sampai
ditetapkannya keputusan.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Menolak untuk memberikan keputusan atas kerangka acuan adalah untuk melindungi
kepentingan umum.

Kerangka acuan merupakan dasar bagi penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Kerangka acuan
yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menghasilkan analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan
hidup yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Sedangkan kewajiban untuk membuat analisis
mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan penting adalah untuk melindungi fungsi lingkungan hidup. Perlindungan fungsi
lingkungan hidup merupakan kepentingan umum.

Yang dimaksud dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan adalah Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat I, dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Tingkat II.

Yang dimaksud dengan rencana tata ruang kawasan yang ditetapkan adalah baik rencana tata
ruang kawasan tertentu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden maupun rencana tata
ruang kawasan perdesaan atau rencana tata ruang kawasan perkotaan sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Tingkat II. Termasuk dalam pengertian rencana tata ruang kawasan
adalah rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang meliputi
rencana terperinci (detail) tata ruang kawasan di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
II.

Pasal 17
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Dari analisis dampak lingkungan hidup dapat diketahui dampak besar dan penting yang akan
ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Dengan mengetahui
dampak besar dan penting itu dapat ditentukan :

a. cara mengendalikan dampak besar dan penting negatif dan mengembangkan dampak
besar dan penting positif, yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan dampak
lingkungan hidup; dan
b. cara memantau dampak besar dan penting tersebut, yang dicantumkan dalam rencana
pemantauan lingkungan hidup.

Apa yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup merupakan syarat dan kewajiban yang harus dilakukan pemrakarsa apabila
hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya.

Oleh karena itu, hasil penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup oleh Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menjadi dasar bagi instansi yang bertanggung jawab
dalam memberikan keputusan kepada instansi yang berwenang.

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)

Penetapan jangka waktu selama 75 hari kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian
kepada pemrakarsa. Jangka waktu 75 hari kerja ini meliputi proses penyampaian
dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup ke instansi yang bertanggung jawab melalui
komisi penilai, penilaian secara teknis, konsultasi dengan warga masyarakat yang
berkepentingan, penilaian oleh komisi penilai, sampai dengan diterbitkannya keputusan
kelayakan lingkungan hidup.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 22

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 23

Cukup jelas

Pasal 24

Ayat (1)

Sejalan dengan cepatnya pengembangan pembangunan wilayah, dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun kemungkinan besar telah terjadi perubahan rona lingkungan hidup, sehingga rona
lingkungan hidup yang semula dipakai sebagai dasar penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan hidup tidak cocok lagi digunakan untuk memprakirakan dampak lingkungan hidup
rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 26

Ayat (1)

Perubahan desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan
penolong bagi usaha dan/atau kegiatan akan menimbulkan dampak besar dan penting yang
berbeda. Oleh karena itu, keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup yang telah diterbitkan menjadi batal.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 27

Ayat (1)

Terjadinya perubahan lingkungan hidup secara mendasar berarti hilangnya atau berubahnya
rona lingkungan hidup awal yang menjadi dasar penyusunan analisis dampak lingkungan hidup.
Keadaan ini menimbulkan konsekuensi batalnya keputusan kelayakan lingkungan hidup
berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas
Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 30

Cukup jelas

Pasal 31

Bantuan yang dimaksud untuk golongan ekonomi lemah dapat berupa biaya penyusun
analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau tenaga ahli untuk penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau bantuan lainnya. Bantuan diberikan oleh
instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 32

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 33

Ayat (1)

Pengumuman merupakan hak setiap orang atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Ayat (2)

Pengumuman oleh instansi yang bertanggung jawab dapat dilakukan, misalnya, melalui media
cetak dan/atau media elektronik. Sedangkan pengumuman oleh pemrakarsa dapat dilakukan
dengan memasang papan pengumuman di lokasi akan diselengarakannya usaha dan/atau
kegiatan.

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)

Saran, pendapat dan tanggapan secara tertulis diperlukan agar terdokumentasi.

Ayat (5)

Semua saran dan pendapat yang diajukan oleh warga masyarakat harus tercermin dalam
penyusunan kerangka acuan, dikaji dalam analisis dampak lingkungan hidup dan diberikan
alternatif pemecahannya dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.

Ayat (6)

Dalam pengumuman akan diselenggarakannya usaha dan/atau kegiatan diberitahukan sekurang-


kurangnya, antara lain: tentang apa yang akan dihasilkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, jenis dan volume limbah yang dihasilkan serta cara penanganannya, kemungkinan
dampak lingkungan hidup yang akan ditimbulkan.

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

Biaya penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup antara lain
mencakup biaya untuk mendatangkan wakil-wakil masyarakat dan para ahli yang terlibat dalam
penilaian mengenai analisis dampak lingkungan hidup, menjadi tanggungan pemrakarsa.

Pasal 38
Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

Cukup jelas

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3838


SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 08 TAHUN 2006

TENTANG

PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI


DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal
17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-
14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09
Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;

b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:


KEP-14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor:
09 Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup saat ini tidak sesuai lagi dengan
perkembangan sehingga perlu diperbaharui;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3699);

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437);

-1-
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan


Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1

Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Pedoman
Penyusunan Ringkasan Eksekutif.

Pasal 2

(1) Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman
Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.

(2) Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan


Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Peraturan Menteri ini.

(3) Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan


Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
Peraturan Menteri ini.

(4) Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan


Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV
Peraturan Menteri ini.

(5) Ringkasan Eksekutif disusun berdasarkan Pedoman Penyusunan Ringkasan Eksekutif


sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri ini.

-2-
(6) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 3

Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang sedang dalam proses
dan/atau sudah diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini mengacu pada
Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sebelumnya.

Pasal 4

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka:

a. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-14/MENLH/3/1994


tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

b. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor : 09 Tahun


2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 5

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2006

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd.

Hoetomo, MPA.

-3-
Lampiran I : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006

PEDOMAN PENYUSUNAN
KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
(KA-ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian
Yang dimaksud Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.
Kerangka Acuan selanjutnya disebut KA-ANDAL adalah ruang lingkup studi analisis
dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan yang disepakati oleh
Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi Penilai AMDAL.
2. Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL
Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi penyusunan KA-
ANDAL baik KA-ANDAL kegiatan tunggal, KA-ANDAL kegiatan
terpadu/multisektor maupun KA-ANDAL kegiatan dalam kawasan.
3. Tujuan dan fungsi KA-ANDAL
3.1.Tujuan penyusunan KA-ANDAL adalah:
a. Merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL;
b. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai
dengan biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia.

3.2.Fungsi dokumen KA-ANDAL adalah:

a. Sebagai rujukan penting bagi pemrakarsa, instansi yang membidangi rencana


usaha dan/atau kegiatan, dan penyusun studi AMDAL tentang lingkup dan
kedalaman studi ANDAL yang akan dilakukan;
b. Sebagai salah satu bahan rujukan bagi penilai dokumen ANDAL untuk
mengevaluasi hasil studi ANDAL.
-4-
4. Dasar pertimbangan penyusunan KA-ANDAL

4.1.Keanekaragaman
ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Rencana usaha dan/atau
kegiatan dan rona lingkungan hidup pada umumnya sangat beraneka ragam.
Keanekaragaman rencana usaha dan/atau kegiatan dapat berupa keanekaragaman
bentuk, ukuran, tujuan, sasaran, dan sebagainya. Demikian pula rona lingkungan
hidup akan berbeda menurut letak geografi, keanekaragaman faktor lingkungan
hidup, pengaruh manusia, dan sebagainya. Karena itu, tata kaitan antara keduanya
tentu akan sangat bervariasi pula. Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan
hidup pun akan berbeda-beda. Dengan demikian KA-ANDAL diperlukan untuk
memberikan arahan tentang komponen usaha dan/atau kegiatan manakah yang
harus ditelaah, dan komponen lingkungan hidup manakah yang perlu diamati
selama menyusun ANDAL.
4.2.Keterbatasan sumber daya
Penyusunan ANDAL acap kali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya,
seperti antara lain: keterbatasan waktu, dana, tenaga, metode, dan sebagainya.
KA-ANDAL memberikan ketegasan tentang bagaimana menyesuaikan tujuan dan
hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumber daya tersebut tanpa
mengurangi mutu pekerjaan ANDAL. Dalam KA-ANDAL ditonjolkan upaya
untuk menyusun prioritas manakah yang harus diutamakan agar tujuan ANDAL
dapat terpenuhi meski sumber daya terbatas.
4.3.Efisiensi
Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu dibatasi pada
faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kebutuhan prakiraan dan evaluasi
dalam ANDAL sesuai hasil pelingkupan. Melalui cara ini ANDAL dapat
dilakukan secara efisien.
Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini kemudian
disusun dan dirumuskan dalam KA-ANDAL.

5. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL

Pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam penyusunan KA-ANDAL adalah


pemrakarsa, instansi yang bertanggung jawab, dan penyusun studi ANDAL. Namun
dalam pelaksanaan penyusunan KA-ANDAL (proses pelingkupan) harus senantiasa
melibatkan para pakar serta masyarakat yang berkepentingan sesuai Pasal 33, Pasal
34, dan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

KA-ANDAL ini merupakan dokumen penting untuk memberikan rujukan tentang


kedalaman studi ANDAL yang akan dicapai.

6. Pemakai hasil ANDAL dan hubungannya dengan penyusunan KA-ANDAL

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan Hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana
usaha dan/atau kegiatan. Bagian lain dari studi kelayakan rencana usaha dan/atau
kegiatan adalah aspek teknis dan aspek ekonomis-finansial.
-5-
Hasil studi kelayakan adalah untuk proses pengambilan keputusan dan dapat
digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Karena itu, dalam
menyusun KA-ANDAL untuk suatu ANDAL perlu dipahami bahwa hasilnya nanti
akan merupakan bagian dari studi kelayakan yang akan digunakan oleh pengambil
keputusan dan perencana. Sungguhpun demikian, berlainan dengan bagian studi
kelayakan yang menggarap faktor penunjang dan penghambat terlaksananya suatu
usaha dan/atau kegiatan ditinjau dari segi ekonomi dan teknologi, ANDAL lebih
menunjukkan pendugaan dampak yang bisa ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
tersebut terhadap lingkungan hidup.
Karena itu, penyusun KA-ANDAL perlu mengikuti diagram alir penyusunan ANDAL
di bawah ini sehingga akhirnya dapat memberikan masukan yang diperlukan oleh
perencana dan pengambil keputusan:

Pengumpulan data dan informasi tentang


• Rencana usaha dan/atau kegiatan
• Rona lingkungan hidup
• Kegiatan lain di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan
• Saran, tanggapan dan pendapat masyarakat

Proyeksi perubahan rona lingkungan hidup


sebagai akibat adanya rencana usaha dan/atau kegiatan

Penentuan besaran dan sifat penting dampak terhadap lingkungan


hidup yang ditimbulkan oleh rencana usaha dan/atau kegiatan

Evaluasi dampak penting terhadap lingkungan hidup

Rekomendasi/saran tindak lanjut untuk pengambil keputusan,


perencanaan dan pengelola lingkungan hidup berupa:
• Alternatif komponen usaha dan/atau kegiatan
• Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup

7. Wawasan KA-ANDAL

Dokumen KA-ANDAL harus mencerminkan secara jelas dan tegas wawasan


lingkungan hidup yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa faktor yang
harus diperhatikan:

-6-
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal
yang dianggap penting untuk ditelaah dalam studi ANDAL menurut pihak-pihak
yang terlibat;
b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam studi
ANDAL perlu ditelaah dan dievaluasi masing-masing alternatif dari komponen
rencana usaha dan/atau kegiatan yang dipandang layak baik dari segi lingkungan
hidup, teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk mencegah timbulnya
dampak negatif yang lebih besar;
c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya mengubah lingkungan
hidup, maka menjadi penting memperhatikan komponen-komponen lingkungan
hidup yang berciri:

i. Komponen lingkungan hidup yang ingin dipertahankan dan dijaga serta


dilestarikan fungsinya, seperti:

a) Hutan Lindung, Hutan Konservasi, dan Cagar Biosfer;


b) Sumber daya air;
c) Keanekaragaman hayati;
d) Kualitas udara;
e) Warisan alam dan warisan budaya;
f) Kenyamanan lingkungan hidup;
g) Nilai-nilai budaya yang berorientasi selaras dengan lingkungan hidup.

ii. Komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara mendasar dan
perubahan tersebut dianggap penting oleh masyarakat di sekitar suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti antara lain:

a) Fungsi ekosistem;
b) Pemilikan dan penguasaan lahan;
c) Kesempatan kerja dan usaha;
d) Taraf hidup masyarakat;
e) Kesehatan masyarakat.

d. Pada dasarnya dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan tidak berdiri sendiri, satu sama lain memiliki keterkaitan
dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat ini perlu dipahami sejak dini dalam
proses penyusunan KA-ANDAL agar studi ANDAL dapat berjalan lebih terarah
dan sistematis.

Keempat faktor tersebut harus menjadi bagian integral dalam penyusunan KA-
ANDAL terutama dalam proses pelingkupan.

8. Proses pelingkupan

Pelingkupan merupakan proses awal untuk menentukan lingkup permasalahan dan


mengidentifikasi dampak penting (hipotesis) yang terkait dengan rencana usaha
dan/atau kegiatan.

Pelingkupan merupakan proses terpenting dalam penyusunan KA-ANDAL karena


melalui proses ini dapat dihasilkan:

-7-
a. Dampak penting hipotetik terhadap lingkungan hidup yang dipandang relevan
untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL dengan meniadakan hal-hal
atau komponen lingkungan hidup yang dipandang kurang penting untuk ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan: batas
proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif;
c. Batas waktu kajian yang merupakan rentang waktu yang akan digunakan sebagai
dasar dalam melakukan prakiraan perubahan kualitas/kondisi lingkungan tanpa
adanya proyek dan dengan adanya proyek.
d. Kedalaman studi ANDAL antara lain mencakup metode yang digunakan, jumlah
sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang dibutuhkan sesuai dengan sumber daya
yang tersedia (dana dan waktu).

Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dari studi ANDAL yang
akan dilakukan.

8.1.Pelingkupan dampak penting


Pelingkupan dampak penting dilakukan melalui serangkaian proses berikut:
1) Identifikasi dampak potensial

Pada tahap ini kegiatan pelingkupan dimaksudkan untuk mengidentifikasi


segenap dampak lingkungan hidup (primer, sekunder, dan seterusnya) yang
secara potensial akan timbul sebagai akibat adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan. Pada tahapan ini hanya diinventarisasi dampak potensial yang
mungkin akan timbul tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau
penting tidaknya dampak. Dengan demikian pada tahap ini belum ada upaya
untuk menilai apakah dampak potensial tersebut merupakan dampak penting.

Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil konsultasi dan


diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab,
masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi dengan hasil pengamatan
lapangan (observasi). Selain itu identifikasi dampak potensial juga dapat
dilakukan dengan menggunakan metode-metode identifikasi dampak berikut
ini:

a) penelaahan pustaka; dan/atau


b) analisis isi (content analysis); dan/atau
c) interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan lain-lain);
dan/atau
d) metode ad hoc; dan/atau
e) daftar uji (sederhana, kuesioner, deskriptif); dan/atau
f) matrik interaksi sederhana; dan/atau
g) bagan alir (flowchart); dan/atau
h) pelapisan (overlay); dan/atau
i) pengamatan lapangan (observasi).

2) Evaluasi dampak potensial

Pelingkupan pada tahap ini bertujuan untuk menghilangkan/meniadakan


dampak potensial yang dianggap tidak relevan atau tidak penting, sehingga
diperoleh daftar dampak penting hipotesis yang dipandang perlu dan relevan
-8-
untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL. Daftar dampak
penting potensial ini disusun berdasarkan pertimbangan atas hal-hal yang
dianggap penting oleh masyarakat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan,
instansi yang bertanggungjawab, dan para pakar. Pada tahap ini daftar
dampak penting hipotesis yang dihasilkan belum tertata secara sistematis.

Metode yang digunakan adalah interaksi kelompok (rapat, lokakarya,


brainstorming). Kegiatan evaluasi dampak potensial ini terutama dilakukan
oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan (yang dalam hal ini dapat diwakili
oleh konsultan penyusun AMDAL), dengan mempertimbangkan hasil
konsultasi dan diskusi dengan pakar, instansi yang bertanggungjawab serta
masyarakat yang berkepentingan.

3) Klasifikasi dan prioritas dampak penting

Pelingkupan yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk


mengelompokkan/mengorganisir dampak penting yang telah dirumuskan dari
tahap sebelumnya dengan maksud agar diperoleh klasifikasi dan prioritas
dampak penting hipotetik yang akan dikaji lebih lanjut dalam dokumen
ANDAL. Dalam melakukan klasifikasi dan prioritas, perlu memperhatikan hal
berikut:

a) Kebijakan atau peraturan yang menjadi dasar untuk arahan kajian


AMDAL selanjutnya, seperti standar/baku mutu dan lain-lain.
b) Konsep saintifik dari kajian yang akan dilakukan.

Dampak penting hipotetik tersebut dirumuskan melalui 2 (dua) tahapan.


Pertama, segenap dampak penting dikelompokkan menjadi beberapa
kelompok menurut keterkaitannya satu sama lain. Kedua, dampak penting
yang berkelompok tersebut selanjutnya diurut berdasarkan kepentingannya.

Sebagai contoh :
Rencana pembuangan limbah cair dari industri petrokimia ke sungai akan
menimbulkan dampak penting hipotetik berupa peningkatan kadar BOD,
COD, dan TSS, sementara dari proses produksi akan menimbulkan dampak
penting hipotetik berupa emisi SO2 dan NOx. Dampak penting hipotetik dari
masing-masing parameter tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi;
penurunan kualitas air sungai dan penurunan kualitas udara ambien.
Selanjutnya terhadap 2 (dua) dampak penting tersebut diurut berdasarkan
kepentingannya, misalnya: (1) Penurunan kualitas udara ambien, (2)
Penurunan kualitas air sungai.

8.2.Pelingkupan wilayah studi dan batas waktu kajian

Penetapan lingkup wilayah studi dimaksudkan untuk membatasi luas wilayah


studi ANDAL sesuai hasil pelingkupan dampak penting, dan dengan
memperhatikan keterbatasan sumber daya, waktu dan tenaga, serta saran pendapat
dan tanggapan dari masyarakat yang berkepentingan.

a. Lingkup wilayah studi ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan batas-


batas ruang sebagai berikut:

-9-
1) Batas proyek

Batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
akan melakukan kegiatan pra-konstruksi, konstruksi dan operasi. Dari
ruang rencana usaha dan/atau kegiatan inilah bersumber dampak terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya, termasuk dalam hal ini alternatif lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan. Posisi batas proyek ini agar dinyatakan
juga dalam koordinat.

2) Batas ekologis

Batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan menurut media transportasi limbah (air, udara), dimana
proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan
mengalami perubahan mendasar. Termasuk dalam ruang ini adalah ruang
di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang secara ekologis memberi
dampak terhadap aktivitas usaha dan/atau kegiatan.

3) Batas sosial

Batas sosial adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang
merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem
dan struktur sosial), sesuai dengan proses dinamika sosial suatu kelompok
masyarakat, yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar
akibat suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.

Batas sosial ini sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam studi
ANDAL, mengingat adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
kehidupan sosial ekonomi dan budayanya akan mengalami perubahan
mendasar akibat aktivitas usaha dan/atau kegiatan. Mengingat dampak
lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan menyebar tidak merata, maka batas sosial ditetapkan dengan
membatasi batas-batas terluar dengan memperhatikan hasil identifikasi
komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas proyek, ekologis serta
komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan ekologis
namun berpotensi terkena dampak yang mendasar dari rencana usaha
dan/atau kegiatan melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas
umum dan fasilitas sosial.

4) Batas administratif

Batas administrasi adalah ruang dimana masyarakat dapat secara leluasa


melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam ruang tersebut.

Batas ruang tersebut dapat berupa batas administrasi pemerintahan atau


batas konsesi pengelolaan sumber daya oleh suatu usaha dan/atau kegiatan
(misalnya, batas HPH, batas kuasa pertambangan).

-10-
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan
mempertimbangkan kendala-kendala teknis yang dihadapi (dana, waktu,
dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah studi yang
dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai.

5) Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL

Batasan ruang lingkup wilayah studi ANDAL adalah ruang yang


merupakan kesatuan dari keempat wilayah di atas, namun penentuannya
disesuaikan dengan kemampuan pelaksana yang biasanya memiliki
keterbatasan sumber data, seperti waktu, dana, tenaga, teknik, dan metode
telaahan.

Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik tolak pada
ruang bagi rencana usaha dan/atau kegiatan, kemudian diperluas ke ruang
ekosistem, ruang sosial dan ruang administratif yang lebih luas.

b. Lingkup batasan waktu kajian ANDAL ditetapkan berdasarkan pertimbangan


batasan waktu pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.

Batasan waktu kajian adalah batas waktu kajian yang akan digunakan dalam
melakukan prakiraan dan evaluasi dampak dalam kajian ANDAL. Batas waktu
tersebut minimal dilakukan selama umur rencana usaha dan/atau kegiatan
berlangsung. Penentuan batas waktu kajian ini selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk melakukan penentuan perubahan rona lingkungan tanpa adanya
rencana usaha dan/atau kegiatan atau dengan adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan.

Sebagai catatan, batas waktu yang digunakan dalam kajian AMDAL bukan
merupakan batas waktu untuk menyatakan kadaluarsa atau tidaknya suatu
kajian AMDAL.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN

BAB I. PENDAHULUAN

Bab pendahuluan mencakup :

1.1 Latar belakang

Uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Uraikan tujuan dan manfaat mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus
dilaksanakan. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a. Identifikasi kebutuhan-kebutuhan saat ini yang melatarbelakangi diperlukannya


rencana usaha dan/atau kegiatan,
b. Tentukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan atas
kekurangan-kekurangan yang ada saat ini,
-11-
c. Tetapkan secara jelas sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut.

Uraian di atas merupakan dasar untuk menentukan alternatif-alternatif, pemenuhan


kebutuhan, termasuk di dalamnya rencana usaha dan/atau kegiatan yang
disampaikan oleh pemrakarsa.

Sebagai catatan, bagian ini “bukan” menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukannnya
studi AMDAL, namun menjelaskan tujuan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dikaji dan manfaat yang akan dipenuhi dengan adanya rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut. Sebagai contoh: untuk proyek-proyek transportasi,
kebutuhan didasarkan atas adanya keterbatasan sistem transportasi yang ada.
Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi adalah untuk meningkatkan
keselamatan lalu lintas, mengatasi keterbatasan kapasitas tampung volume lalu
lintas, atau kebutuhan untuk menjaga kualitas udara regional.

1.3 Peraturan

Sebutkan peraturan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan beserta
alasan singkat mengapa peraturan tersebut digunakan sebagai acuan.

BAB II. RUANG LINGKUP STUDI

2.1 Lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah dan alternatif
komponen rencana usaha dan/atau kegiatan.

a. Status dan lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah

1. Uraikan secara singkat status studi AMDAL, apakah dilaksanakan secara


terintegrasi, bersamaan atau setelah studi kelayakan teknis dan ekonomis.
Uraian ini diperlukan sebagai dasar untuk menentukan kedalaman informasi
yang diperlukan dalam kajian AMDAL.
2. Uraikan secara singkat kesesuaian lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
dengan rencana tata ruang setempat;
3. Uraikan secara singkat mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan penyebab
dampak sesuai dengan jenis-jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang
akan dibangun. Uraian ini dibuat sesuai dengan tahapan kegiatan;
4. Uraikan secara singkat mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di sekitar
rencana lokasi beserta dampak-dampak yang ditimbulkannya terhadap
lingkungan hidup.

Penjelasan ini agar dilengkapi dengan peta yang dapat menggambarkan


lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan beserta kegiatan-kegiatan lain yang
berada di sekitarnya.

b. Alternatif-alternatif yang akan dikaji dalam ANDAL

Kajian AMDAL merupakan studi kelayakan dari aspek lingkungan hidup, maka
komponen rencana usaha dan/atau kegiatan harus memiliki beberapa alternatif,
antara lain alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau sarana
pendukung. Alternatif-alternatif yang dikaji dalam AMDAL dapat merupakan
-12-
alternatif-alternatif yang telah direncanakan sejak semula atau yang dihasilkan
selama proses kajian AMDAL berlangsung.

Adapun fungsi dan manfaat dari kajian alternatif dalam AMDAL adalah:

1. Memastikan bahwa pertimbangan lingkungan telah terintegrasi dalam proses


pemilihan alternatif selain faktor ekonomis dan teknis.
2. Memastikan bahwa pemrakarsa dan pengambil keputusan telah
mempertimbangkan dan menerapkan prinsip-prinsip pencegahan
pencemaran (pollution prevention) dalam rangka pengelolaan lingkungan.
3. Memberi peluang kepada pemangku kepentingan yang tidak terlibat secara
penuh dalam proses pengambilan keputusan, untuk mengevaluasi berbagai
aspek dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan dan bagaimana proses dari
suatu keputusan yang akhirnya disetujui.
4. Memberikan kerangka kerja untuk pengambilan keputusan yang transparan
dan berdasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan ilmiah.

Dokumen Kerangka Acuan ANDAL berisi penjelasan secara ringkas kerangka


kerja proses pemilihan alternatif tersebut. Penjelasan pada bagian ini belum
terlalu rinci namun dapat memberikan gambaran secara sistematis dan logis
terhadap proses dihasilkannya alternatif-alternatif yang akan dikaji yang
mencakup:

1. penjelasan dasar pemikiran dalam penentuan faktor-faktor yang


dipertimbangkan dalam mengkaji alternatif (misalnya apakah lokasi rencana
usaha dan/atau kegiatan akan melewati kawasan lindung, permukiman
penduduk, memotong jembatan dan sungai dan lain-lain),
2. penjelasan prosedur yang akan digunakan untuk melakukan pemilihan
terhadap alternatif-alternatif yang tersedia, termasuk cara identifikasi,
prakiraan dan dasar pemikiran yang digunakan untuk memberikan
pembobotan, skala atau peringkat serta cara-cara untuk mengintepretasikan
hasilnya,
3. penjelasan alternatif-alternatif yang telah dipilih yang akan dikaji lebih
lanjut dalam dokumen ANDAL,
4. pencantuman pustaka-pustaka yang akan atau sudah digunakan sebagai
sumber informasi dalam pemilihan alternatif.

2.2 Lingkup rona lingkungan hidup awal

Uraikan dengan singkat rona lingkungan hidup di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan. Deskripsi rona lingkungan hidup menguraikan data yang terkait atau
relevan dengan dampak yang mungkin terjadi dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Deskripsi ini didasarkan data sekunder yang bersifat aktual dan didukung oleh hasil
observasi lapangan.

Dalam hal terdapat beberapa alternatif lokasi, maka uraian rona lingkungan hidup
tersebut dilakukan untuk masing-masing alternatif lokasi.

-13-
2.3 Pelingkupan

a. Proses Pelingkupan

Pelingkupan merupakan suatu proses awal untuk menentukan lingkup


permasalahan dan mengidentifikasi dampak penting hipotesis yang terkait
dengan rencana kegiatan.

Pelibatan masyarakat merupakan bagian proses pelingkupan. Prosedur pelibatan


masyarakat dalam proses AMDAL harus mengacu pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pelingkupan umumnya dilakukan melalui tiga tahap yaitu: identifikasi dampak,


evaluasi dampak, dan klasifikasi dan prioritas (lihat gambar 1). Dalam
melakukan proses tersebut sebaiknya menggunakan metode dari berbagai
literatur.

Deskripsi
Rencana
Kegiatan

Prioritas
Dampak Dampak Dampak
Potensial Penting Penting
Hipotetik Hipotetik
Rona
Lingkungan
Hidup

Identifikasi Evaluasi
Dampak Dampak Klasifikasi &
Potensial Potensial Prioritas

Gambar 1. Contoh bagan alir proses pelingkupan

Dalam proses pelingkupan, beberapa hal berikut sudah harus teridentifikasi


secara jelas: komponen rencana usaha dan/atau kegiatan, komponen
lingkungan yang terkena dampak serta interaksi kedua komponen tersebut,
dampak potensial yang akan terjadi (termasuk urutan dampak: primer,
sekunder, tersier dan lain-lain), sifat dampak, parameter-parameter dari
komponen lingkungan yang terkena dampak, sumber data rona lingkungan
untuk masing-masing parameter komponen lingkungan yang terkena dampak,
lokasi pengambilan contoh uji (sampel) dan data, metode-metode yang akan
digunakan untuk melakukan pengumpulan data, analisis data, prakiraan
dampak dan evaluasi dampak, tenaga ahli yang dibutuhkan serta waktu
pelaksanaan studi AMDAL.

Dalam proses pelingkupan terhadap suatu rencana usaha dan/atau kegiatan


yang diidentifikasi berpotensi menimbulkan risiko terhadap lingkungan, maka
-14-
proses pelingkupannya difokuskan pada potensi risikonya terhadap
lingkungan, dan dapat ditetapkan suatu kajian tambahan berupa kajian risiko
lingkungan (environmental risk assessment) yang merupakan bagian dari
dokumen AMDAL.

Dalam proses pelingkupan tersebut, harus dijelaskan juga dasar penentuan


dampak penting hipotetik, batas wilayah studi dan batas waktu kajian.
Dampak-dampak potensial yang tidak dikaji lebih lanjut, juga harus dijelaskan
alasan-alasannya dengan dasar argumentasi yang kuat kenapa dampak
potensial tersebut tidak dikaji lebih lanjut.

Proses pelingkupan harus dilakukan untuk masing-masing alternatif


komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi, alternatif
tata letak bangunan atau sarana pendukung atau alternatif teknologi proses
produksi).

b. Hasil proses pelingkupan

Hasil proses pelingkupan mencakup dampak penting hipotetik, lingkup


wilayah studi dan batas waktu kajian.

1. Dampak Penting Hipotetik

Berisi uraian mengenai dampak penting hipotetik akibat rencana usaha


dan/atau kegiatan yang akan dikaji dalam ANDAL sesuai hasil
pelingkupan.

2. Lingkup wilayah studi dan batas waktu kajian

Wilayah studi ini merupakan resultante dari batas wilayah proyek,


ekologis, sosial dan administratif setelah mempertimbangkan kendala
teknis yang dihadapi. Batasan ruang lingkup wilayah studi penentuannya
disesuaikan dengan kemampuan pelaksana yang biasanya memiliki
keterbatasan sumber data, seperti waktu, dana, tenaga, teknis, dan metode
telaahan. Setiap penentuan masing-masing batas wilayah (proyek,
ekologis, sosial dan administratif) harus dilengkapi dengan justifikasi yang
kuat.

Bab ini harus dilengkapi dengan peta batas wilayah studi yang dapat
menggambarkan batas wilayah proyek, ekologis, sosial dan administratif.

Dalam proses pelingkupan, harus teridentifikasi secara jelas batas waktu


kajian yang akan digunakan dalam melakukan prakiraan dan evaluasi
dampak dalam kajian ANDAL. Batas waktu tersebut minimal dilakukan
selama umur rencana usaha dan/atau kegiatan berlangsung. Penentuan
batas waktu kajian ini selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk
melakukan penentuan perubahan rona lingkungan tanpa adanya rencana
usaha dan/atau kegiatan atau dengan adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan.

-15-
Sebagai catatan, batas waktu yang digunakan dalam kajian AMDAL
“bukan” merupakan batas waktu untuk menyatakan kadaluarsa atau
tidaknya suatu kajian AMDAL.

BAB III. METODE STUDI

Bab ini berisi metode-metode yang digunakan untuk pelaksanaan studi ANDAL yang
dapat menjawab berbagai dampak penting hipotetik hasil proses pelingkupan.

3.1 Metode pengumpulan dan analisis data

Bagian ini berisi metode pengumpulan data primer dan sekunder yang sahih serta
dapat dipercaya (reliable) untuk digunakan sebagai masukan dalam melakukan
prakiraan besaran dan sifat penting dampak.

Metode pengumpulan dan analisis data harus relevan dengan metode prakiraan
dampak yang digunakan, sehingga data yang dikumpulkan relevan dan representatif
dengan dampak penting hipotetik yang akan dianalisis dalam proses prakiraan
dampak yaitu :

a. Cantumkan secara jelas metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data
berikut dengan jenis peralatan, instrumen, dan tingkat ketelitian alat yang
digunakan dalam pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang digunakan
harus sesuai Standar Nasional Indonesia atau sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Uraikan metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran.
Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses
analisis data. Khusus untuk analisis data primer yang memerlukan pengujian di
laboratorium, maka harus dilakukan di laboratorium yang terakreditasi.

3.2 Metode prakiraan dampak penting

Bagian ini menjelaskan metode prakiraan dampak yang digunakan untuk


memprakirakan besaran dan sifat penting dampak dalam studi ANDAL untuk
masing-masing dampak penting hipotetik, termasuk rumus-rumus dan asumsi
prakiraan dampaknya disertai argumentasi/alasan pemilihan metode tersebut.

Metode prakiraan besaran dampak yang dapat digunakan antara lain:

a. Metode perhitungan matematis

Jika menggunakan metode perhitungan matematis, maka:

1. Harus dapat dijelaskan sumber data yang digunakan dan tunjukkan bahwa
sumber data yang digunakan tersebut benar-benar valid.
2. Jelaskan kesahihan dari model matematis yang digunakan dengan
menyampaikan uraian bahwa model matematis tersebut telah memperoleh
pengakuan dari berbagai literatur profesional yang relevan.

-16-
b. Percobaan/eksperimen

Jika percobaan digunakan, maka uraikan secara jelas setiap tahapan percobaan.
Di samping itu, rancangan percobaan harus representatif dengan rencana usaha
dan/atau kegiatan yang dikaji.

c. Model simulasi visual dan peta

Jika menggunakan model simulasi visual dan peta, maka harus ada deskripsi
tertulis yang menjelaskan keterkaitan hasil simulasi atau perubahan dampak
terhadap fungsi ruang dan waktu.

d. Metode analogi
Jika menggunakan metode analogi, maka:

i. Uraikan secara jelas bahwa analogi yang digunakan tersebut benar-benar


terjadi.
ii. Jelaskan bahwa karakteristik dari kegiatan yang dianalogikan sesuai dengan
karakteristik dari rencana usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji.

e. Penilaian ahli (Professional Judgement)

Jika menggunakan penilaian ahli, maka harus ada penjelasan secara ilmiah,
data-data pendukung, kualifikasi dan pengalaman dari ahli yang memberikan
penilaian dalam memprakirakan besaran dampak.

Metode yang digunakan untuk memprakirakan sifat penting dampak agar


menggunakan pedoman penentuan dampak penting sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

3.3 Metode evaluasi dampak penting

Bagian ini menguraikan metode-metode yang lazim digunakan dalam studi ANDAL
untuk mengevaluasi dampak penting yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup secara holistik (seperti antara lain: matrik, bagan alir,
overlay). Metode-metode tersebut digunakan secara triangulasi untuk digunakan
sebagai:

a. dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari berbagai alternatif usaha
dan/atau kegiatan;
b. identifikasi dan perumusan arah pengelolaan dampak penting lingkungan hidup
yang ditimbulkan.

BAB IV. PELAKSANAAN STUDI

4.1. Pemrakarsa

Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai
pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan, nama dan alamat lengkap penanggung
jawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
-17-
4.2. Penyusun studi AMDAL

Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan, nama
dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun AMDAL, nama dan keahlian dari
masing-masing anggota penyusun AMDAL. Perlu diketahui bahwa Ketua tim
penyusun studi AMDAL harus bersertifikat AMDAL Penyusun dan sesuai
ketentuan yang berlaku, sedangkan anggota tim penyusun lainnya harus mempunyai
keahlian yang sesuai dengan lingkup studi AMDAL yang akan dilakukan.

4.3. Biaya studi

Bagian ini menguraikan prosentase jenis-jenis biaya yang dibutuhkan dalam rangka
penyusunan studi AMDAL termasuk komponen biaya untuk pelaksanaan konsultasi
masyarakat. Uraian tersebut juga harus mencerminkan perbandingan antara biaya
studi AMDAL dan biaya investasi keseluruhan rencana usaha dan/atau kegiatan.

4.4. Waktu studi

Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL sejak tahap
persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang bertanggung jawab.

DAFTAR PUSTAKA

Bagian ini menguraikan pustaka atau literatur yang digunakan untuk keperluan
penyusunan dokumen KA-ANDAL. Pengambilan (pencuplikan) sumber referensi harus
mengikuti tata cara penulisan akademis yang dikenal secara luas. Hal ini termasuk
konsistensi uraian pada bab-bab sebelumnya dan daftar pustaka.

LAMPIRAN

Bagian ini melampirkan informasi tambahan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dimaksud seperti penjelasan rinci proses pelingkupan, pengumuman studi
AMDAL, butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang
terlibat (masyarakat berkepentingan) dan pengolahan data hasil konsultasi, foto-foto rona
lingkungan hidup. Disamping itu, lampiran harus mencantumkan biodata singkat personil
penyusun AMDAL dan surat pernyataan bahwa personil tersebut benar-benar melakukan
penyusunan dan ditandatangani di atas materai, serta copy sertifikat pelatihan AMDAL.
Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian KA-
ANDAL dilampirkan pada laporan akhir.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Salinan sesuai dengan aslinya Ir. Rachmat Witoelar.


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.
-18-
Lampiran II : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006

PEDOMAN PENYUSUNAN
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
(ANDAL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian
Yang dimaksud Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.

Analisis Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut ANDAL adalah telaahan


secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.

2. Fungsi pedoman penyusunan dokumen ANDAL

Pedoman penyusunan ANDAL digunakan sebagai dasar penyusunan ANDAL, baik


AMDAL kegiatan tunggal, AMDAL kegiatan terpadu/multisektor maupun AMDAL
kegiatan dalam kawasan.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN


HIDUP (ANDAL)
Dokumen ANDAL harus disertai dengan abstrak lebih kurang 2 (dua) halaman yang
berisi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan berbagai kemungkinan dampak penting
baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi, operasi maupun pasca operasi.

Abstrak juga harus mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi pengambilan
keputusan, perencana, dan pengelola rencana usaha dan/atau kegiatan.

-19-
BAB I. PENDAHULUAN

Bab Pendahuluan mencakup :

1.1 Latar belakang

Uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Uraikan tujuan dan manfaat mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus
dilaksanakan. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:

a. Identifikasi kekurangan-kekurangan kondisi saat ini yang melatarbelakangi


diperlukannya rencana usaha dan/atau kegiatan,
b. Tentukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan atas
kekurangan-kekurangan yang ada saat ini,
c. Tetapkan secara jelas sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut.

Uraian di atas merupakan dasar untuk menentukan alternatif-alternatif, pemenuhan


kebutuhan, termasuk di dalamnya rencana usaha dan/atau kegiatan yang
disampaikan oleh pemrakarsa.

Sebagai catatan, bagian ini bukan menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukannnya
studi AMDAL, namun menjelaskan tujuan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dikaji dan manfaat yang akan dipenuhi dengan adanya rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut. Sebagai contoh: untuk proyek-proyek transportasi,
kebutuhan didasarkan atas adanya keterbatasan sistem transportasi yang ada.
Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi adalah untuk meningkatkan
keselamatan lalu lintas, mengatasi keterbatasan kapasitas tampung volume lalu
lintas, atau kebutuhan untuk menjaga kualitas udara regional.

1.3 Peraturan

Sebutkan peraturan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan beserta
alasan singkat mengapa peraturan tersebut digunakan sebagai acuan.

BAB II. RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN

2.1 Identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL


Isi uraian mengenai identitas pemrakarsa dan penyusun ANDAL terdiri dari :

a. Pemrakarsa :

1. Nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai pemrakarsa rencana


usaha dan/atau kegiatan;
2. Nama dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.

-20-
b. Penyusun ANDAL :
1. Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi
dan rujukannya;
2. Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL.

2.2 Uraian rencana usaha dan/atau kegiatan

Uraian rencana usaha dan/atau kegiatan memuat tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan yang harus dilaksanakan.

a. Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana usaha
dan/atau kegiatan harus dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan dapat
memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata letak antara lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dengan usaha dan/atau kegiatan lainnya, seperti pemukiman
(lingkungan hidup binaan manusia umumnya), dan lingkungan hidup alami yang
terdapat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan. Hutan lindung, cagar alam,
suaka alam, suaka marga satwa, sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung
lainnya yang terletak dekat lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan harus
diberikan tanda istimewa dalam peta;

b. Hubungan antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan
tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati dan sumber daya
alam non hayati serta sumber daya manusia yang diperlukan oleh rencana usaha
dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini beroperasi. Hubungan ini
perlu dikemukakan dalam peta dengan skala memadai;

c. Tata letak usaha dan/atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala
memadai, yang memuat informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya
yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, serta
hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang sudah ada di
sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (jalan raya, jalan kereta api, dermaga
dan sebagainya);

d. Tahap pelaksanaan usaha dan/atau kegiatan tahap pra-konstruksi, konstruksi,


jangka waktu masa operasi, hingga rencana waktu pasca operasi.

1. Tahap pra-konstruksi/persiapan

Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pra-konstruksi. Uraikan secara mendalam difokuskan
pada kegiatan selama masa persiapan (pra-konstruksi) yang menjadi
penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.

2. Tahap konstruksi

(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha
dan/atau kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.

-21-
Misalnya:
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat asal
tenaga kerja, dan kualifikasi pendidikan;
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan, listrik, air) dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(3) Kegiatan pengangkutan dan penimbunan bahan atau material yang
dapat menimbulkan dampak lingkungan hidup;
(4) Jenis-jenis dan tipe peralatan yang digunakan.

(b) Uraikan tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana
pengendalian dampak (misal: unit pengolahan limbah), bila unit atau
sarana dimaksud direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa. Di
samping itu, bila ada, jelaskan pula upaya-upaya untuk mengatasi
berbagai masalah lingkungan hidup yang timbul selama masa konstruksi;

(c) Uraikan tentang rencana pemulihan kembali bekas-bekas material/bahan,


gudang, jalan-jalan darurat dan lain-lain setelah usaha dan/atau kegiatan
konstruksi berakhir.

3. Tahap Operasi

(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha
dan/atau kegiatan pada tahap operasi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.

Misalnya:
(1) Identifikasi bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam
proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak penting
lingkungan hidup serta cara pengangkutan dan penyimpanannya
(misal: pestisida serta bahan berbahaya dan beracun lainnya);
(2) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja yang akan
diserap langsung oleh rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap
operasi;
(3) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau masalah
selama operasi baik yang bersifat fisik maupun sosial;
(4) Karakteristik limbah yang dihasilkan baik limbah padat, cair
maupun gas dan rencana-rencana pengelolaannya. Dalam kaitan ini
perlu diuraikan pula sifat-sifat limbah B3 maupun non B3.

(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan


selama masa operasi. Termasuk dalam hal ini rencana pengoperasian
unit atau sarana pengendalian dampak yang telah dibangun pada masa
konstruksi.

4. Tahap Pasca Operasi

Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pasca operasi.

-22-
Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan
bahan/material, bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan sebagainya;
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan
setelah masa operasi berakhir;
(c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
untuk tujuan lain bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir;
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha
dan/atau kegiatan berakhir.

2.3 Alternatif-alternatif yang dikaji dalam ANDAL


Kajian AMDAL merupakan studi kelayakan dari aspek lingkungan lingkungan
hidup, maka komponen rencana usaha dan/atau kegiatan dapat memiliki beberapa
alternatif, antara lain alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau
sarana pendukung. Alternatif-alternatif yang dikaji dalam AMDAL dapat
merupakan alternatif-alternatif yang telah direncanakan sejak semula atau yang
dihasilkan selama proses kajian AMDAL berlangsung. Sebagaimana dalam
dokumen KA-ANDAL, bagian ini menjelaskan proses pemilihan alternatif-alternatif
dan uraian rinci komponen rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dikaji lebih
lanjut dalam ANDAL sebagai berikut :
a. Dokumen ANDAL harus menjelaskan secara lebih rinci proses pemilihan
alternatif. Penjelasan disini harus dapat memberikan gambaran secara sistematis
dan logis terhadap proses dihasilkannya alternatif-alternatif yang dikaji. Bagian
ini menguraikan identifikasi terhadap alternatif-alternatif yang telah
dipertimbangkan pada dokumen KA-ANDAL. Alternatif-alternatif yang tidak
akan dikaji lebih lanjut dalam studi ANDAL dijelaskan alasan-alasannya secara
singkat mengapa alternatif-alternatif tersebut tidak dikaji lebih lanjut.
b. Bagian selanjutnya menjelaskan secara rinci dan mendalam alternatif-alternatif
yang telah dipilih. Kajian dilakukan secara mendalam, objektif dan seimbang
untuk masing-masing alternatif. Kajian tersebut dilakukan pada bab prakiraan
dan evaluasi dampak dan harus dapat dipahami dengan jelas perbandingan
masing-masing alternatif tersebut.

2.4 Keterkaitan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan kegiatan lain disekitarnya

Uraikan mengenai kegiatan-kegiatan yang berada di sekitar rencana lokasi beserta


dampak-dampak yang ditimbulkannya, baik dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan terhadap kegiatan-kegiatan yang sudah ada atau sebaliknya, termasuk
dampak kumulatifnya.

Dalam hal terdapat beberapa alternatif rencana lokasi, maka uraian kegiatan-
kegiatan yang berada di sekitar lokasi dilakukan untuk masing-masing alternatif
lokasi tersebut.

BAB III. RONA LINGKUNGAN HIDUP

Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rona lingkungan hidup selengkap mungkin.
Dalam hal terdapat beberapa alternatif lokasi, maka uraian rona lingkungan hidup tersebut
dilakukan untuk masing-masing alternatif. Uraian rona lingkungan hidup meliputi:

-23-
(1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang
mengungkapkan secara mendalam komponen-komponen lingkungan hidup yang
berpotensi terkena dampak penting usaha dan/atau kegiatan. Uraian rona lingkungan
hidup agar menggunakan data yang mewakili setidak-tidaknya kondisi 2 (dua) musim.
Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan ekonomis
perlu mendapat perhatian;

(2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang ada di wilayah
studi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik yang sudah atau yang akan dimanfaatkan
maupun yang masih dalam bentuk potensi. Penyajian kondisi sumber daya alam ini
perlu dikemukakan dalam peta dan atau label dengan skala memadai dan bila perlu
harus dilengkapi dengan diagram, gambar, grafik atau foto;

(3) Data dan informasi rona lingkungan hidup


Uraikan secara singkat rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau
kegiatan. Rona lingkungan hidup yang diuraikan pada butir ini agar dibatasi pada
komponen-komponen lingkungan hidup yang berkaitan dengan, atau berpotensi
terkena dampak penting.

BAB IV. RUANG LINGKUP STUDI

Bab ruang lingkup studi mencakup tentang kajian dampak penting yang ditelaah serta
wilayah studi berdasarkan hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL (termasuk bila ada
alternatif-alternatif) serta hal-hal lain yang ditemukan selama melakukan studi ANDAL,
seperti perubahan jumlah dampak penting yang ditelaah, atau batas wilayah studi.

Masing-masing butir yang diuraikan pada bab ruang lingkup studi ini disusun dengan
mengacu pada hasil pelingkupan dalam dokumen Kerangka Acuan.

4.1. Dampak penting yang ditelaah

Uraikan secara singkat mengenai dampak penting yang akan ditelaah dalam
dokumen ANDAL mengacu pada hasil pelingkupan dalam dokumen KA-ANDAL

Uraian dalam bagian ini agar menginformasikan kronologi proses pelingkupan


dimulai dari identifikasi sampai akhirnya dihasilkan dampak penting yang ditelaah.
Uraian tersebut agar dilengkapi dengan bagan alir proses pelingkupan.

4.2. Wilayah studi dan batas waktu kajian

Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah
studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil pengamatan
di lapangan.

Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan pada peta dengan skala yang
memadai.

-24-
Batas waktu kajian mengacu pada batas waktu hasil pelingkupan sebagaimana
ditentukan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL.

BAB V. PRAKIRAAN DAMPAK PENTING

Dalam bab ini dilakukan prakiraan terhadap besaran dan sifat penting dampak. Dalam
melakukan prakiraan besaran dampak, maka hal yang perlu diperhatikan adalah
penggunaan data yang menunjukkan perubahan kualitas lingkungan dari waktu ke waktu
(time series data).

Dalam bab ini hendaknya dimuat:


(1) Prakiraan secara cermat besaran dampak usaha dan/atau kegiatan pada saat pra-
konstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi terhadap lingkungan hidup.
Telaahan ini dilakukan dengan cara menganalisis perbedaan antara kondisi kualitas
lingkungan hidup yang diprakirakan dengan adanya usaha dan/atau kegiatan, dan
kondisi kualitas lingkungan hidup yang diprakirakan tanpa adanya usaha dan/atau
kegiatan dalam batas waktu yang telah ditetapkan, dengan menggunakan metode
prakiraan dampak;
(2) Penentuan sifat penting dampak mengacu pada pedoman penentuan dampak penting
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Dalam melakukan telaahan butir 1 dan 2 tersebut perlu diperhatikan dampak yang
bersifat langsung dan atau tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang
ditimbulkan secara langsung oleh adanya usaha dan/atau kegiatan. Sedang dampak
tidak langsung adalah dampak yang timbul sebagai akibat berubahnya suatu
komponen lingkungan hidup dan/atau usaha atau kegiatan primer oleh adanya rencana
usaha dan/atau kegiatan. Dalam kaitan ini maka perlu diperhatikan mekanisme aliran
dampak pada berbagai komponen lingkungan hidup sebagai berikut:

a. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen


sosial;
b. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen
fisik-kimia, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan berturut-turut
terhadap komponen biologi dan sosial;
c. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen
biologi, kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada komponen
sosial;
d. Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada aspek fisik-
kimia dan selanjutnya membangkitkan dampak pada komponen sosial;
e. Dampak penting berlangsung saling berantai di antara komponen sosial itu
sendiri;
f. Dampak penting pada butir a, b, c dan d yang telah diutarakan selanjutnya
menimbulkan dampak balik pada rencana usaha dan/atau kegiatan.

(4) Mengingat rencana usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misalnya: alternatif lokasi,
alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau alternatif teknologi proses
produksi), maka telaahan sebagaimana dimaksud pada bab V angka 1 dan 2 di atas
dilakukan untuk masing-masing alternatif yang terdapat dalam bab II angka 2.3.
huruf b;

-25-
(5) Dalam melakukan analisis prakiraan besaran dampak penting agar digunakan metode-
metode formal secara matematis. Penggunaan metode non formal hanya dilakukan
bilamana dalam melakukan analisis tersebut tidak tersedia formula-formula matematis
atau hanya dapat didekati dengan metode non formal.

BAB VI. EVALUASI DAMPAK PENTING

Dalam bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak penting dari
masing-masing alternatif rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya
menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk memutuskan kelayakan
lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan, sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.

6.1 Telaahan terhadap dampak penting

a. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan hidup yang


diprakirakan mengalami perubahan mendasar sebagaimana dikaji pada Bab VI,
dilakukan dengan menggunakan metode-metode evaluasi yang lazim (antara lain
metode matrik -Leopold, Lohani & Thanh, Sorensen, Battelle, Fisher & Davies,
metode overlay dan metode lainnya yang memiliki dasar referensi) dan sesuai
dengan kaidah metode evaluasi dampak penting dalam AMDAL sesuai
keperluannya;

b. Evaluasi dampak yang bersifat holistik adalah telaahan secara totalitas terhadap
beragam dampak penting hipotetik lingkungan hidup yang dimaksud pada Bab V,
dengan sumber usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak. Beragam komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak penting tersebut (baik positif maupun
negatif) ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling pengaruh-
mempengaruhi, sehingga diketahui sejauhmana perimbangan dampak penting
yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif;

c. Dampak-dampak penting hipotetik yang dihasilkan dari evaluasi disajikan sebagai


dampak-dampak penting yang harus dikelola.

d. Mengingat rencana usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi,
alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau alternatif teknologi
proses produksi), maka telaahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c di
atas dilakukan untuk masing-masing alternatif.

6.2 Pemilihan alternatif terbaik

Dalam hal kajian AMDAL memberikan beberapa alternatif komponen rencana usaha
dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi, alternatif tata letak bangunan atau sarana
pendukung atau alternatif teknologi proses produksi), maka dalam sub bab ini sudah
harus memberikan rekomendasi pilihan alternatif terbaik serta dasar pertimbangan
pemilihan alternatif terbaik tersebut.

-26-
6.3 Telaahan sebagai dasar pengelolaan

Dalam bagian ini, telaahan sebagai dasar pengelolaan dilakukan untuk alternatif
terbaik yang terpilih pada bab VI angka 6.2 di atas. Telaahan tersebut meliputi:

a. Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona
lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang mungkin timbul.
Misalnya, mungkin saja dampak penting timbul dari rencana usaha dan/atau
kegiatan terhadap rona lingkungan hidup, karena rencana usaha dan/atau kegiatan
itu dilaksanakan di suatu lokasi yang terlalu padat manusia, atau pada tingkat
pendapatan dan pendidikan yang terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak
sesuai dan sebagainya;

b. Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam arti apakah
dampak penting baik positif atau negatif akan berlangsung terus selama rencana
usaha dan/atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau antara dampak-dampak satu
dengan dampak yang lainnya akan terdapat hubungan timbal balik yang
antagonistis dan sinergistis. Apabila dimungkinkan, uraikan kejelasan tentang
waktu ambang batas (misal: baku mutu lingkungan) dampak penting mulai timbul.
Apakah ambang batas tersebut akan mulai timbul setelah rencana usaha dan/atau
kegiatan dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa pra-konstruksi dan
akan berakhir bersama selesainya rencana usaha dan/atau kegiatan. Atau mungkin
akan terus berlangsung, umpamanya lebih dari satu generasi;

c. Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan kelompok yang
akan terkena dampak positif. Identifikasi kesenjangan antara perubahan yang
diinginkan dan perubahan yang mungkin terjadi akibat usaha dan/atau kegiatan
pembangunan;

d. Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting ini, apakah
hanya akan dirasakan dampaknya secara lokal, regional, nasional, atau bahkan
internasional, melewati batas negara Republik Indonesia;

e. Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha dan/atau kegiatan berada
di dalam daerah bencana alam atau di dekat sumber bencana alam.

Dalam sub bab ini harus menyampaikan arahan yang jelas mengenai rencana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang akan dilakukan berdasarkan
hasil evaluasi dampak penting terhadap alternatif terbaik yang dipilih. Arahan
pengelolaan dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan yang menimbulkan
dampak, baik komponen kegiatan yang paling banyak memberikan dampak turunan
(dampak yang bersifat strategis) maupun komponen kegiatan yang tidak banyak
memberikan dampak turunan. Arahan pemantauan dilakukan terhadap komponen
lingkungan yang relevan untuk digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi
penaatan (compliance), kecenderungan (trendline) dan tingkat kritis (critical level)
dari suatu pengelolaan lingkungan hidup.

-27-
6.4 Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan

Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan merupakan pernyataan secara jelas


terhadap kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan dari suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan yang didasarkan atas hasil evaluasi dampak dan arahan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup untuk alternatif terbaik pada bab VI angka 6.2 dan 6.3.

DAFTAR PUSTAKA

Dalam hal ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan-pernyataan penting
yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta disajikan dalam suatu
daftar pustaka dengan penulisan yang baku.

LAMPIRAN

Lampiran berisikan hal-hal sebagai berikut:

1. Ringkasan dasar-dasar teori, asumsi-asumsi yang digunakan, tata cara, rincian proses
dan hasil perhitungan-perhitungan yang digunakan dalam prakiraan besaran dan sifat
penting dampak serta evaluasi dampak.
2. Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian
AMDAL dilampirkan pada laporan akhir.
3. Surat izin/rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai dengan saat akan
disusun dokumen ANDAL, RKL dan RPL;
4. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan hidup, usulan rencana usaha
dan/atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang
hubungan timbal balik serta kemungkinan dampak lingkungan hidup penting yang
akan ditimbulkannya;
5. Diagram, peta, gambar, grafik, hasil analisis laboratorium, data hasil kuesioner dan
tabel lain yang belum tercantum dalam dokumen;
6. Hal lain yang dianggap perlu atau relevan yang dimuat dalam lampiran ini.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.


Salinan susuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

-28-
Lampiran III : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006

PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
(RKL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian

Analisis Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut ANDAL adalah telaahan


secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.

Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RKL adalah upaya


penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari
rencana usaha dan/atau kegiatan.

Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RPL adalah upaya


pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat dari
rencana usaha dan/atau kegiatan.

2. Lingkup rencana pengelolaan lingkungan hidup

Dokumen RKL merupakan dokumen yang memuat upaya-upaya mencegah,


mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan hidup yang bersifat
negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan. Dalam pengertian tersebut upaya pengelolaan
lingkungan hidup mencakup 4 (empat) kelompok aktivitas :

a. Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah


dampak negatif lingkungan hidup melalui pemilihan atas alternatif, tata letak (tata
ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek;

b. Pengelolaan lingkungan hidup yang bertujuan untuk menanggulangi,


meminimisasi, atau mengendalikan dampak negatif baik yang timbul di saat usaha
dan/atau kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha dan/atau kegiatan
berakhir (misalnya: rehabilitasi lokasi proyek);

c. Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat meningkatkan dampak positif


sehingga dampak tersebut dapat memberikan manfaat yang lebih besar baik
-29-
kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang turut menikmati
dampak positif tersebut;

d. Pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi


lingkungan sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak
dapat pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi dan atau ekologis)
sebagai dasar untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak dapat pulih,
hilang atau rusak (baik dalam arti sosial ekonomi dan atau ekologis) sebagai
akibat usaha dan/atau kegiatan.

3. Kedalaman rencana pengelolaan lingkungan hidup

Mengingat dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan merupakan bagian dari


studi kelayakan, maka dokumen RKL hanya akan bersifat memberikan pokok-pokok
arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan untuk
pencegahan/penanggulangan/pengendalian dampak. Bila dipandang perlu dapat
dilengkapi dengan acuan literatur tentang "basic design" untuk
pencegahan/penanggulangan/pengendalian dampak. Hal ini tidak lain disebabkan
karena :

a. Pada taraf studi kelayakan informasi tentang rencana usaha dan/atau kegiatan
(proyek) relatif masih umum, belum memiliki spesifikasi teknis yang rinci, dan
masih memiliki beberapa alternatif. Hal ini tidak lain karena pada tahap ini
memang dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana proyek dipandang patut atau
layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis dan ekonomi; sebelum investasi,
tenaga, dan waktu terlanjur dicurahkan lebih banyak. Keterbatasan data dan
informasi tentang rencana usaha atau kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh
pada bentuk kegiatan pengelolaan yang dapat dirumuskan dalam dokumen RKL;

b. Pokok- pokok arahan, prinsip-prinsip, kriteria atau persyaratan pengelolaan


lingkungan hidup yang tertuang dalam dokumen RKL selanjutnya akan
diintegrasikan atau menjadi dasar pertimbangan bagi konsultan rekayasa dalam
menyusun rancangan rinci rekayasa.

Di samping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan hidup yang
tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam
arti komponen lingkungan hidup yang dikelola adalah yang hanya mengalami
perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL.

4. Rencana pengelolaan lingkungan hidup

Rencana pengelolaan lingkungan hidup dapat berupa pencegahan dan


penanggulangan dampak negatif, serta peningkatan dampak positif yang bersifat
strategis. Rencana pengelolaan lingkungan hidup harus diuraikan secara jelas,
sistimatis, serta mengandung ciri-ciri pokok sebagai berikut :
a. Rencana pengelolaan lingkungan hidup memuat pokok-pokok arahan, prinsip-
prinsip, kriteria pedoman, atau persyaratan untuk mencegah, menanggulangi,
mengendalikan atau meningkatkan dampak penting baik negatif maupun positif
yang bersifat strategis; dan bila dipandang perlu, lengkapi pula dengan acuan
literatur tentang rancang bangun penanggulangan dampak dimaksud;

-30-
b. Rencana pengelolaan lingkungan hidup dimaksud perlu dirumuskan sedemikian
rupa sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pembuatan rancangan
rinci rekayasa, dan dasar pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
c. Rencana pengelolaan lingkungan hidup mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan karyawan pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan
dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui kursus-kursus yang diperlukan
pemrakarsa berikut dengan jumlah serta kualifikasi yang akan dilatih;
d. Rencana pengelolaan lingkungan hidup juga mencakup pembentukan unit
organisasi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk
melaksanakan RKL. Aspek- aspek yang perlu diutarakan sehubungan dengan hal
ini antara lain adalah struktur organisasi, lingkup tugas dan wewenang unit, serta
jumlah dan kualifikasi personalnya.

5. Pendekatan pengelolaan lingkungan hidup


Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat
menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini
dikenal seperti: teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi.

6. Format dokumen RKL


Mengingat dokumen RKL disusun sekaligus dengan dokumen ANDAL dan RPL, dan
ketiganya dinilai sekaligus maka format dokumen RKL langsung berorientasi pada
keempat pokok rencana pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana pada butir 1 di
atas.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PENGELOLAAN


LINGKUNGAN HIDUP

Pernyataan pelaksanaan

Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan RKL dan RPL yang ditandatangani di atas
kertas bermaterai.

BAB I. PENDAHULUAN

1. Pernyataan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan RKL dan RPL secara umum dan
jelas. Pernyataan ini harus dikemukakan secara sistematis, singkat dan jelas;
2. Pernyataan kebijakan lingkungan. Uraian tentang komitmen pemrakarsa usaha
dan/atau kegiatan untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan yang relevan, serta komitmen untuk melakukan
penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkelanjutan dalam
bentuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan-kegiatannya serta melakukan pelatihan bagi karyawannya di
bidang pengelolaan lingkungan hidup;
3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya rencana pengelolaan lingkungan.

-31-
BAB II. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat
menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini kita
kenal seperti : teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi.

a. Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola
dampak penting lingkungan hidup.

b. Pendekatan sosial ekonomi


Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa dalam upaya
menanggulangi dampak penting melalui tindakan-tindakan yang berlandaskan pada
interaksi sosial, dan bantuan peran pemerintah.

c. Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa
dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan hidup.

Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup secara berkala kepada pihak-pihak


yang berkepentingan

BAB III. RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh
satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut:

3.1 Dampak penting dan sumber dampak penting


a. Uraikan secara singkat dan jelas komponen atau parameter lingkungan hidup yang
diprakirakan mengalami perubahan mendasar menurut hasil ANDAL.
b. Sumber Dampak
Utarakan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting :
1. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat langsung dari rencana usaha
dan/atau kegiatan, maka uraikan secara singkat jenis usaha dan/atau kegiatan
yang merupakan penyebab timbulnya dampak penting;
2. Apabila dampak penting timbul sebagai akibat berubahnya komponen
lingkungan hidup yang lain, maka jelaskan secara singkat komponen dampak
penting tersebut.

3.2 Tolok ukur dampak

Jelaskan tolok ukur dampak yang akan digunakan untuk mengukur komponen
lingkungan hidup yang akan terkena dampak akibat rencana usaha dan/atau kegiatan
berdasarkan baku mutu standar (ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan);
keputusan para ahli yang dapat diterima secara ilmiah, lazim digunakan, dan/atau
telah ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Tolok ukur yang diutarakan adalah
yang digunakan dalam ANDAL.

-32-
3.3 Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup

Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak penting yang bersifat strategis
berikut dengan dampak turunannya yang otomatis akan turut
tercegah/tertanggulangi/terkendali.

3.4 Pengelolaan Lingkungan hidup

Jelaskan secara rinci upaya-upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dapat


dilakukan melalui pendekatan teknologi, sosial ekonomi, dan/atau institusi.

3.5 Lokasi pengelolaan lingkungan hidup

Jelaskan rencana lokasi kegiatan pengelolaan lingkungan hidup dengan


memperhatikan sifat persebaran dampak penting yang dikelola. Lengkapi pula dengan
peta/sketsa/gambar dengan skala yang memadai.

3.6 Periode pengelolaan lingkungan hidup

Uraikan secara singkat rencana tentang kapan dan berapa lama kegiatan pengelolaan
lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan: sifat dampak penting yang dikelola
(lama berlangsung, sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya dampak).

3.7 Institusi pengelolaan lingkungan hidup

Pada setiap rencana pengelolaan lingkungan hidup cantumkan institusi atau


kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik di tingkat nasional maupun daerah, Peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
meliputi :

a. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan


hidup;
b. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan;
c. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh sektor terkait;
d. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota;
e. Peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi
pengelolaan lingkungan hidup.

Institusi pengelolaan lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :

a. Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup


Cantumkan institusi pelaksana yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan
sebagai penyandang dana kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Apabila dalam
melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup pemrakarsa menugaskan
atau bekerjasama dengan pihak lain, maka cantumkan pula institusi dimaksud;

-33-
b. Pengawas pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya
RKL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi
sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

c. Pelaporan hasil pengelolaan lingkungan hidup


Cantumkan instansi-instansi yang akan dilaporkan hasil kegiatan pengelolaan
lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang
bersangkutan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Pada bagian ini jelaskan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan
RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil
penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara
penulisan pustaka.

LAMPIRAN

Pada bagian ini lampirkan tentang :

1. Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut:
Jenis Dampak, Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak, Tujuan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lokasi Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Institusi
Pengelolaan Lingkungan Hidup;

2. Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL seperti peta-peta
(lokasi kegiatan, lokasi pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain), rancangan
teknik (engineering design), matrik serta data utama yang terkait dengan rencana
pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RKL.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan susuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

-34-
Lampiran IV : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006

PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
(RPL)

A. PENJELASAN UMUM

1. Pengertian

Analisis Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut ANDAL adalah telaahan


secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.

Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RPL adalah upaya


pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak penting akibat dari
rencana usaha dan/atau kegiatan.

Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup selanjutnya disebut RKL adalah upaya


penanganan dampak penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari
rencana usaha dan/atau kegiatan.

2. Lingkup rencana pemantauan lingkungan hidup

Pemantauan lingkungan hidup dapat digunakan untuk memahami fenomena-


fenomena yang terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat proyek (untuk
memahami perilaku dampak yang timbul akibat usaha dan/atau kegiatan), sampai ke
tingkat kawasan atau bahkan regional; tergantung pada skala masalah yang dihadapi.

Pemantauan merupakan kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus, sistematis


dan terencana. Pemantauan dilakukan terhadap komponen lingkungan yang relevan
untuk digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi penaatan (compliance),
kecenderungan (trendline) dan tingkat kritis (critical level) dari suatu pengelolaan
lingkungan hidup.

3. Kedalaman rencana pemantauan lingkungan hidup

Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen rencana
pemantauan lingkungan hidup, yakni :

-35-
(a) Komponen/parameter lingkungan hidup yang dipantau hanyalah yang mengalami
perubahan mendasar, atau terkena dampak penting.

(b) Aspek-aspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak penting yang
dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan dampak lingkungan hidup yang
dirumuskan dalam dokumen RKL;

(c) Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan/atau terhadap
komponen/parameter lingkungan hidup yang terkena dampak. Dengan memantau
kedua hal tersebut sekaligus akan dapat dinilai/diuji efektivitas kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup yang dijalankan;

(d) Pemantauan lingkungan hidup harus layak secara ekonomi. Walau aspek-aspek
yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja (seperti diuraikan
pada butir (a) sampai (c), namun biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu
diperhatikan mengingat kegiatan pemantauan senantiasa berlangsung sepanjang
usia usaha dan/atau kegiatan;

(e) Rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu dipantau,
mencakup :

1) Jenis data yang dikumpulkan;


2) Lokasi pemantauan;
3) Frekuensi dan jangka waktu pemantauan;
4) Metode pengumpulan data (termasuk peralatan dan instrumen yang
digunakan untuk pengumpulan data);
5) Metode analisis data.

(f) Dokumen RPL perlu memuat tentang kelembagaan pemantauan lingkungan


hidup. Kelembagaan pemantauan lingkungan hidup yang dimaksud di sini adalah
institusi yang bertanggungjawab sebagai penyandang dana pemantauan, pelaksana
pemantauan, pengguna hasil pemantauan, dan pengawas kegiatan pemantauan.

B. SISTEMATIKA PENYUSUNAN DOKUMEN RENCANA PEMANTAUAN


LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

BAB I. PENDAHULUAN

Pendahuluan mencakup :

1.1.Latar belakang pemantauan lingkungan hidup

a. Pernyataan tentang latar belakang perlunya dilaksanakan rencana pemantauan


lingkungan hidup baik ditinjau dari kepentingan pemrakarsa, pihak-pihak yang
berkepentingan maupun untuk kepentingan umum dalam rangka menunjang
program pembangunan;

-36-
b. Uraikan secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan pemantauan
lingkungan hidup yang akan diupayakan pemrakarsa sehubungan dengan
pengelolaan rencana usaha dan/atau kegiatan;

c. Uraikan tentang kegunaan dilaksanakannya pemantauan lingkungan hidup baik


bagi pemrakarsa usaha atau kegiatan, pihak-pihak yang berkepentingan, maupun
bagi masyarakat.

BAB II . RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh
satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut :

a. Dampak penting yang dipantau


Cantumkan secara singkat :

1. Jenis komponen atau parameter lingkungan hidup yang dipandang strategis untuk
dipantau;
2. Indikator dari komponen dampak penting yang dipantau.

b. Sumber dampak

Uraikan secara singkat sumber penyebab timbulnya dampak penting.

c. Parameter lingkungan hidup yang dipantau

Uraikan secara jelas tentang parameter lingkungan hidup yang dipantau. Parameter ini
dapat meliputi parameter dari aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial, serta aspek
kesehatan masyarakat.

d. Tujuan rencana pemantauan lingkungan hidup

Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak penting lingkungan hidup,
dengan memperhatikan dampak penting yang dikelola, bentuk rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan dampak penting turunan yang ditimbulkannya.

e. Metode pemantauan lingkungan hidup

Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau indikator
dampak penting, yang mencakup :

1. Metode pengumpulan dan analisis data

Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam proses
pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen, atau formulir isian
yang digunakan. Cantumkan pula tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam
pengumpulan data sehubungan dengan tingkat ketelitian yang disyaratkan dalam
Baku Mutu Lingkungan Hidup.

-37-
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil
pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan
dalam proses analisis data. Selain itu uraikan pula tolok ukur yang digunakan
untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup yang dipantau, dan sebagai
umpan balik untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Perlu diperhatikan
bahwa metode pengumpulan dan analisis data sejauh mungkin konsisten dengan
metode yang digunakan disaat penyusunan ANDAL.

2. Lokasi pemantauan lingkungan hidup

Cantumkan lokasi pemantauan yang tepat disertai dengan peta berskala yang
memadai dan menunjukkan lokasi pemantauan dimaksud. Perlu diperhatikan
bahwa lokasi pemantauan sejauh mungkin konsisten dengan lokasi pengumpulan
data disaat penyusunan ANDAL.

3. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan

Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut dengan
frekuensinya per satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan
ditetapkan dengan mempertimbangkan sifat dampak penting yang dipantau
(instensitas, lama dampak berlangsung, dan sifat kumulatif dampak).

f. Institusi pemantauan lingkungan hidup

Pada setiap rencana pemantauan lingkungan hidup cantumkan institusi atau


kelembagaan yang akan berurusan, berkepentingan, dan berkaitan dengan kegiatan
pemantauan lingkungan hidup, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku baik ditingkat nasional maupun daerah. Peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang pemantauan lingkungan hidup meliputi :

1. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan


Hidup;
2. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh sektor terkait;
3. Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah;
4. Keputusan Gubernur, Bupati/Walikota;
5. Keputusan-keputusan lain yang berkaitan dengan pembentukan institusi
pemantauan lingkungan hidup.

Institusi pemantau lingkungan hidup yang perlu diutarakan meliputi :

1. Pelaksana pemantauan lingkungan hidup


Cantumkan institusi yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan sebagai
penyandang dana kegiatan pemantauan lingkungan hidup;

2. Pengawas pemantauan lingkungan hidup


Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya
RPL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi
sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

-38-
3. Pelaporan hasil pemantauan lingkungan hidup;
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan pemantauan
lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang
bersangkutan.

DAFTAR PUSTAKA

Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan
RPL baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil
penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara
penulisan pustaka.

LAMPIRAN

Pada bagian ini lampirkan tentang :

1. Ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut:
Dampak Penting Yang Dipantau, Sumber Dampak, Tujuan Pemantauan Lingkungan
Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (yang meliputi Metode Pengumpulan
Data, Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup, Jangka Waktu dan Frekuensi
Pemantauan Lingkungan Hidup, serta Metode Analisis), dan Institusi Pemantau
Lingkungan Hidup.

2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena menunjang isi
dokumen RPL.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.


Salinan susuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

-39-
Lampiran V : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006

PEDOMAN PENYUSUNAN
RINGKASAN EKSEKUTIF

PENYUSUNAN DOKUMEN RINGKASAN EKSEKUTIF

BAB I PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Kegiatan

Pada bagian ini uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan
ditinjau dari tujuan dan manfaat proyek. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:

1 Identifikasi kekurangan-kekurangan kondisi saat ini yang melatarbelakangi


diperlukannya rencana usaha dan/atau kegiatan;
2 Tentukan kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi berdasarkan atas
kekurangan-kekurangan yang ada saat ini;
3 Tetapkan secara jelas sasaran-sasaran dan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan tersebut.

Uraian di atas merupakan dasar untuk menentukan alternatif-alternatif, pemenuhan


kebutuhan, termasuk di dalamnya rencana usaha dan/atau kegiatan yang disampaikan oleh
pemrakarsa.

b. Rencana Usaha dan/atau Kegiatan


Pada bagian ini uraikan secara singkat rencana kegiatan yang meliputi lokasi kegiatan, jenis
kegiatan, besaran kegiatan dan tahapan kegiatan.

c. Alternatif-alternatif yang dikaji dalam ANDAL


Pada bagian ini uraikan secara singkat alternatif-alternatif rencana kegiatan (antara lain
alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau sarana pendukung), termasuk
proses pemilihan alternatif terbaik. Uraikan secara sistematis dan logis terhadap proses
dihasilkannya alternatif terbaik.

-40-
d. Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan
Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan merupakan pernyataan secara jelas terhadap
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang
didasarkan atas hasil evaluasi dampak dan arahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup untuk alternatif terbaik yang terpilih.

e. Waktu pelaksanaan
Pada bagian ini tuliskan waktu pelaksanaan atau jadual rencana kegiatan untuk setiap jenis
kegiatan dan tahapan kegiatan (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi).

f. Pemrakarsa kegiatan
Pada bagian ini tuliskan nama pemrakarsa yang meliputi: nama dan alamat lengkap
instansi/perusahaan dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.

BAB II DAMPAK PENTING TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

Pada bagian ini uraikan secara singkat dan jelas dampak penting yang harus dikelola sesuai hasil
evaluasi dampak.

BAB III UPAYA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP

Pada bagian ini uraikan secara singkat dan jelas pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
yang dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak-dampak penting lingkungan hidup yang
ditimbulkan sebagaimana dimaksud pada bab II.

Uraian tersebut dapat dibuat dalam bentuk tabel dengan rincian sebagai berikut:
a. Pengelolaan lingkungan hidup (Jenis Dampak, Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak,
Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Teknik Pengelolaan, Lokasi Pengelolaan, Waktu
Pengelolaan dan Pelaksana Pengelolaan).

b. Pemantauan lingkungan hidup (Jenis Dampak, Sumber Dampak, Parameter Lingkungan


Hidup Yang Dipantau, Metode Pemantauan, Lokasi Pemantauan, Waktu Pemantauan,
Pelaksana Pemantauan, Pengawas Pemantauan dan Pelaporan Hasil Pemantauan).

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Salinan sesuai dengan aslinya Ir. Rachmat Witoelar.


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.
-41-
SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 11 TAHUN 2006

TENTANG

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN


YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan


Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis
Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17


Tahun 2001 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib
Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan, sehingga dipandang perlu diadakan perubahan terhadap
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun
2001;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam


huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang
Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup;

1
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,


Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI DENGAN
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

Pasal 1

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan
Menteri ini.

Pasal 2

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I Peraturan
Menteri ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

Pasal 3

Dalam hal skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil daripada
skala/besaran yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini akan tetapi atas
dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan serta
tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan hidup,
maka Bupati atau Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut sebagai Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.

2
Pasal 4

Bupati atau Walikota atau Gubernur dan/atau masyarakat dapat mengajukan usulan
secara tertulis kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup mengenai jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, untuk ditetapkan sebagai jenis
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.

Pasal 5

Menteri Negara Lingkungan Hidup mempertimbangkan penetapan jenis rencana usaha


dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup terhadap usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 6

Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
bagi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran I
Peraturan Menteri ini berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Peraturan Menteri ini setelah mendengar dan memperhatikan saran serta
pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
terkait.

Pasal 7

(1) Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
Peraturan Menteri ini dapat berkurang dalam hal:
a. dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat ditanggulangi
berdasarkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
b. dalam kenyataannya jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.

(2) Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b tidak diwajibkan dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.

(3) Dalam menentukan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri wajib mempertimbangkan saran dan masukan
dari sektor terkait dan pendapat para ahli.

3
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang
dikecualikan dari jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Pasal 8

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri
ini dapat ditinjau kembali paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 9

Khusus untuk bidang rekayasa genetika, ketentuan tentang jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf M Peraturan Menteri ini berlaku sampai
dengan ditetapkannya Peraturan Presiden yang mengatur Komisi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik.

Pasal 10

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang
Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 11

Peraturan Menteri ini mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 02 Oktober 2006

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Salinan sesuai dengan aslinya Ir. Rachmat Witoelar.


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

4
Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 11 Tahun 2006
Tanggal : 02 Oktober 2006

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI


DENGAN ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP
1. Pendahuluan

Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ditetapkan berdasarkan:
a. Potensi dampak penting
Sesuai Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, jenis usaha
dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan AMDAL. Potensi dampak penting
bagi setiap jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut ditetapkan berdasarkan:
(1) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun 1994 tentang Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting.
(2) Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai
landasan kebijakan tentang AMDAL.
b. Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi
dampak penting negatif yang akan timbul.

2. Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

A. Bidang Pertahanan

Secara umum, kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas militer dengan


skala/besaran sebagaimana tercantum dalam tabel di bawah ini berpotensi
menimbulkan risiko lingkungan dengan terjadinya ledakan serta keresahan sosial
akibat kegiatan operasional dan penggunaan lahan yang cukup luas.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1 Pembangunan Pangkalan TNI Kelas A dan B ƒ Kegiatan pengerukan dan
AL reklamasi berpotensi
mengubah ekosistem laut
dan pantai.
ƒ Kegiatan pangkalan
berpotensi menyebabkan
dampak akibat limbah cair
dan sampah padat.
2 Pembangunan Pangkalan TNI Kelas A dan B ƒ Kegiatan pangkalan
AU berpotensi menyebabkan

5
dampak akibat limbah cair,
sampah padat dan
kebisingan pesawat.
3 Pembangunan Pusat Latihan ƒ Bangunan pangkalan dan
Tempur fasilitas pendukung,
- Luas > 10.000 ha termasuk daerah
penyangga, tertutup bagi
masyarakat.
ƒ Kegiatan latihan tempur
berpotensi menyebabkan
dampak akibat limbah cair,
sampah padat dan
kebisingan akibat ledakan.

B. Bidang Pertanian

Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas
air akibat kegiatan pembukaan lahan, persebaran hama, penyakit dan gulma pada
saat beroperasi, serta perubahan kesuburan tanah akibat penggunaan
pestisida/herbisida. Disamping itu sering pula muncul potensi konflik sosial dan
penyebaran penyakit endemik.

Skala/besaran yang tercantum dalam tabel di bawah ini telah memperhitungkan


potensi dampak penting kegiatan terhadap ekosistem, hidrologi, dan bentang alam.
Skala/besaran tersebut merupakan luasan rata-rata dari berbagai ujicoba untuk
masing-masing kegiatan dengan mengambil lokasi di daerah dataran rendah, sedang,
dan tinggi.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


Budidaya tanaman pangan
1. Kegiatan akan berdampak
dan hortikultura
terhadap ekosistem,
a.Semusim dengan atau tanpa
hidrologi dan bentang alam.
unit pengolahannya
- Luas > 2.000 ha
b.Tahunan dengan atau tanpa
unit pengolahannya
- Luas > 5.000 ha
2. Budidaya tanaman perkebunan
a.Semusim dengan atau tanpa
unit pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya
non kehutanan, luas > 3.000 ha
- Dalam kawasan budidaya
kehutanan, luas Semua besaran

6
b.Tahunan dengan atau tanpa
unit pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya
non kehutanan, luas > 3.000 ha
- Dalam kawasan budidaya
kehutanan, luas Semua besaran

C. Bidang Perikanan

Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tambak udang,
ikan adalah perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi, dan bentang alam.
Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis dan kelimpahan
dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berada di kawasan tersebut.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Usaha budidaya perikanan
a.Budidaya tambak udang/ikan ƒ Rusaknya ekosistem
tingkat teknologi maju dan mangrove yang menjadi
madya dengan atau tanpa unit tempat pemijahan dan
pengolahannya pertumbuhan ikan (nursery
- Luas > 50 ha areas) akan mempengaruhi
tingkat produktivitas daerah
setempat.
ƒ Beberapa komponen
lingkungan yang akan
terkena dampak adalah:
kandungan bahan organik,
perubahan BOD, COD,
DO, kecerahan air, jumlah
phytoplankton maupun
peningkatan virus dan
bakteri.
ƒ Semakin tinggi penerapan
teknologi maka produksi
limbah yang diindikasikan
akan menyebabkan dampak
negatif terhadap
perairan/ekosistem di
sekitarnya.
b.Usaha budidaya perikanan ƒ Perubahan kualitas
terapung (jaring apung dan perairan.
pen system): ƒ Pengaruh perubahan arus
- Di air tawar (danau) dan penggunaan ruang
ƒ Luas, atau > 2,5 ha perairan.
ƒ Jumlah > 500 unit ƒ Pengaruh terhadap estetika
perairan.

7
- Di air laut ƒ Mengganggu alur
ƒ Luas, atau > 5 ha pelayaran.
ƒ Jumlah > 1.000 unit

D. Bidang Kehutanan

Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap


ekosistem hutan, hidrologi, keanekaragaman hayati, hama penyakit, bentang alam
dan potensi konflik sosial.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan
a.Usaha Pemanfaatan Hasil Semua besaran ƒ Pemanenan pohon dengan
Hutan Kayu (UPHHK) dari diameter tertentu berpotensi
Hutan Alam (HA) merubah struktur dan
komposisi tegakan.
ƒ Mempengaruhi kehidupan
satwa liar dan habitatnya.

b.Usaha Pemanfaatan Hasil > 5.000 ha/etat Usaha hutan tanaman


Hutan Kayu (UPHHK) dari dilaksanakan melalui sistem
Hutan Tanaman (HT) silvikultur Tebang Habis
Permudaan Buatan (THPB)
berpotensi menimbulkan
dampak erosi serta perubahan
komposisi tegakan (menjadi
homogen), satwa liar dan
habitatnya.

E. Bidang Perhubungan

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Pembangunan Jaringan Jalan Berpotensi menimbulkan
Kereta Api dampak berupa emisi,
- Panjang > 25 km gangguan lalu lintas,
kebisingan, getaran, gangguan
pandangan, ekologis dan
dampak sosial.
2. Konstruksi bangunan jalan rel Semua besaran Berpotensi menimbulkan
di bawah permukaan tanah dampak berupa perubahan
kestabilan lahan (land
subsidence), air tanah serta
gangguan berupa dampak
terhadap emisi, lalu lintas,

8
kebisingan, getaran, gangguan
pandangan, gangguan jaringan
prasarana sosial (gas, listrik,
air minum, telekomunikasi)
dan dampak sosial di sekitar
kegiatan tersebut.
3. Pembangunan terminal terpadu Berpotensi menimbulkan
Moda dan Fungsi dampak berupa emisi,
- Luas • 2 ha gangguan lalu lintas,
kebisingan, getaran, ekologis,
tata ruang dan sosial.
4. a.Pengerukan perairan dengan Berpotensi menimbulkan
Capital Dredging dampak penting terhadap
- Volume > 500.000 m3 sistem hidrologi dan ekologis
yang lebih luas dari batas
tapak kegiatan itu sendiri,
b.Pengerukan perairan sungai Semua besaran perubahan batimetri,
dan/atau laut dengan capital ekosistem, dan mengganggu
dredging yang memotong proses-proses alamiah di
material karang dan/atau batu daerah perairan (sungai dan
laut) termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang
dapat menimbulkan dampak
sosial. Kegiatan ini juga akan
menimbulkan gangguan
terhadap lalu lintas pelayaran
perairan.
5. Pembangunan pelabuhan ƒ Kunjungan kapal yang
dengan salah satu fasilitas cukup tinggi dengan bobot
berikut: sekitar 5.000-10.000 DWT
a.Dermaga dengan bentuk serta draft kapal minimum
konstruksi sheet pile atau 4-7 m sehingga kondisi
open pile kedalaman yang dibutuhkan
- Panjang, atau > 200 m menjadi –5 s/d –9 m LWS.
- Luas > 6.000 m2 ƒ Berpotensi menimbulkan
dampak penting terhadap
b.Dermaga dengan konstruksi Semua besaran perubahan arus
masif pantai/pendangkalan dan
sistem hidrologi, ekosistem,
kebisingan dan dapat
ƒ mengganggu proses-proses
alamiah di daerah pantai
(coastal processes).
c.Penahan gelombang (talud) Berpotensi menimbulkan
dan/ atau pemecah dampak terhadap ekosistem,
gelombang (break water) hidrologi, garis pantai dan

9
- Panjang > 200 m batimetri serta mengganggu
proses-proses alamiah yang
terjadi di daerah pantai.
d.Prasarana pendukung Berpotensi menimbulkan
pelabuhan (terminal, gudang, dampak berupa emisi,
peti kemas, dan lain-lain) gangguan lalulintas,
- Luas > 5 ha aksesibilitas transportasi,
kebisingan, getaran, gangguan
pandangan, ekologis, dampak
sosial dan keamanan disekitar
kegiatan serta membutuhkan
area yang luas.
e.Single Point Mooring Boey Kunjungan kapal yang cukup
- Untuk kapal > 10.000 DWT tinggi dengan bobot sekitar
5.000 – 10.000 DWT serta
draft kapal minimum 4-7m
sehingga kondisi kedalaman
yang dibutuhkan menjadi –5
s/d –9 m LWS.
Berpotensi menimbulkan
dampak berupa gangguan alur
pelayaran, perubahan
batimetri, ekosistem, dan
mengganggu proses-proses
alamiah di daerah pantai
terutama apabila yang
dibongkar muat minyak
mentah yang berpotensi
menimbulkan pencemaran laut
dari tumpahan minyak.
6. Reklamasi (pengurugan): Berpotensi menimbulkan
- Luas, atau > 25 ha dampak terhadap sistem
- Volume > 500.000 m3 geohidrologi,
hidrooseanografi, dampak
sosial, ekologis, perubahan
garis pantai, kestabilan lahan,
lalu lintas serta mengganggu
proses-proses alamiah di
daerah pantai.
7. Kegiatan penempatan hasil Menyebabkan terjadinya
keruk (dumping) di darat: perubahan bentang lahan yang
- Volume, atau > 500.000 m3 akan mempengaruhi ekologis,
- Luas area dumping > 5 ha hidrologi setempat.

10
8. Pembangunan bandar udara Semua besaran ƒ Termasuk kegiatan yang
baru beserta fasilitasnya (untuk kelompok bandar berteknologi tinggi, harus
fixed wing maupun rotary udara (A, B, dan C) memperhatikan ketentuan
wing) beserta hasil studi keselamatan penerbangan
rencana induk yang dan terikat dengan konvensi
telah disetujui internasional.
ƒ Berpotensi menimbulkan
dampak berupa kebisingan,
getaran, dampak sosial,
keamanan negara, emisi
dan kemungkinan
bangkitan transportasi baik
darat dan udara.
ƒ Adanya ketentuan KKOP
(Kawasan Keselamatan
Operasi Penerbangan) yang
membatasi pemanfaatan
ruang udara serta
berpotensi menimbulkan
dampak sosial.
9. Pengembangan bandar udara ƒ Termasuk kegiatan
beserta salah satu fasilitas berteknologi tinggi, harus
berikut: memenuhi aturan
a.Landasan pacu keselamatan penerbangan
- Panjang > 200 m dan terikat dengan konvensi
b.Terminal penumpang atau internasional.
terminal kargo ƒ Berpotensi menimbulkan
- Luas > 2000 m2 dampak kebisingan,
c.Pengambilan air tanah • 50 liter/detik getaran, dampak sosial,
(dari 1 sumur keamanan negara, emisi
sampai dengan 5 dan kemungkinan
sumur dalam satu bangkitan transportasi baik
area < 10 ha) darat dan udara, mobilisasi
penumpang meningkat.
ƒ Dampak potensial berupa
limbah padat, limbah cair,
udara, dan bau yang dapat
mengganggu kesehatan.
ƒ Pengoperasian jenis
pesawat yang dapat
dilayani oleh bandara.

10. Perluasan bandar udara ƒ Termasuk kegiatan


beserta/atau fasilitasnya: berteknologi tinggi, harus
a.- Pemindahan penduduk, atau > 200 KK memenuhi aturan
- Pembebasan lahan > 100 ha keselamatan penerbangan

11
b.Reklamasi pantai: dan terikat dengan konvensi
- Luas, atau > 25 ha internasional.
- Volume urugan > 100.000 m3 ƒ Berpotensi menimbulkan
c.Pemotongan bukit dan dampak kebisingan,
pengurugan lahan dengan getaran, dampak sosial,
volume ≥ 500.000 m3 keamanan negara, emisi
dan kemungkinan
bangkitan transportasi baik
darat dan udara.

F. Bidang Teknologi Satelit

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Pembangunan fasilitas Semua besaran ƒ Kegiatan ini memerlukan
peluncuran satelit persyaratan lokasi yang
khusus (sepi penduduk, di
daerah katulistiwa/ekuator,
dekat laut), teknologi
canggih, dan tingkat
pengamanan yang tinggi.
ƒ Bangunan peluncuran
satelit dan fasilitas
pendukung, termasuk
daerah penyangga, tertutup
bagi masyarakat.

G. Bidang Perindustrian

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Industri semen (yang dibuat Semua besaran Industri semen dengan Proses
melalui produksi klinker) Klinker adalah industri semen
yang kegiatannya bersatu
dengan kegiatan
penambangan, dimana
terdapat proses penyiapan
bahan
baku, penggilingan bahan
baku (raw mill process),
penggilingan batubara (coal
mill) serta proses pembakaran
dan pendinginan klinker
(Rotary Kiln and Clinker
Cooler).
Umumnya dampak yang
ditimbulkan disebabkan oleh:

12
ƒ Debu yang keluar dari
cerobong.
ƒ Penggunaan lahan yang
luas.
ƒ Kebutuhan air cukup besar
(3,5 ton semen
membutuhkan 1 ton air).
ƒ Kebutuhan energi cukup
besar baik tenaga listrik
(110 – 140 kWh/ton) dan
tenaga panas (800 – 900
Kcal/ton).
ƒ Tenaga kerja besar (+ 1-2
TK/3000 ton produk).
ƒ Potensi berbagai jenis
limbah: padat (tailing),
debu (CaO, SiO2, Al2O3,
FeO2) dengan radius 2-3
km, limbah cair (sisa
cooling mengandung
minyak lubrikasi/pelumas),
limbah gas (CO2, SOx,
NOx) dari pembakaran
energi batubara, minyak
dan gas.
2. Industri pulp atau industri Semua besaran Proses pembuatan pulp
kertas yang terintegrasi dengan meliputi kegiatan penyiapan
industri pulp, kecuali pulp dari bahan baku, pemasakan
kertas bekas dan pulp untuk serpihan kayu, pencucian
kertas budaya pulp, pemutihan pulp
(bleaching) dan pembentukan
lembaran pulp yang dalam
prosesnya banyak
menggunakan bahan-bahan
kimia, sehingga berpotensi
menghasilkan limbah cair
(BOD, COD, TSS), limbah
gas (H2S, SO2, NOx, Cl2) dan
limbah padat (ampas kayu,
serat pulp, lumpur kering).

Umumnya dampak yang


ditimbulkan disebabkan oleh:
ƒ Penggunaan lahan yang
luas (0,2 ha/1000 ton
produk).

13
ƒ Tenaga kerja besar.
ƒ Kebutuhan energi besar
(0,2 MW/1000 ton produk).
3. Industri petrokimia hulu Semua besaran Industri petrokimia hulu
adalah industri yang
mengolah hasil tambang
mineral (kondensat) terdiri
dari Pusat Olefin yang
menghasilkan Benzena,
Propilena dan Butadiena serta
Pusat Aromatik yang
menghasilkan Benzena,
Toluena, Xylena, dan
Etil Benzena.

Umumnya dampak yang


ditimbulkan disebabkan oleh:
ƒ Kebutuhan lahan yang luas.
ƒ Kebutuhan air cukup besar
(untuk pendingin 1
l/dt/1000 ton produk).
ƒ Tenaga kerja besar.
ƒ Kebutuhan energi relatif
besar (6-7 kW/ton produk)
disamping bersumber dari
listrik juga energi gas.
ƒ Potensi berbagai limbah:
gas (SO2 dan NOx), debu
(SiO2), limbah cair (TSS,
BOD, COD, NH4Cl) dan
limbah sisa katalis bekas
yang bersifat B3.
4. Kawasan Industri (termasuk Semua besaran Kawasan industri (industrial
komplek industri yang estate) merupakan lokasi yang
terintegrasi) dipersiapkan untuk berbagai
jenis industri manufaktur
yang masih prediktif,
sehingga dalam
pengembangannya
diperkirakan akan
menimbulkan berbagai
dampak penting antara lain
disebabkan:
ƒ Kegiatan grading
(pembentukan muka tanah)
dan run off (air larian).

14
ƒ Pengadaan dan
pengoperasian alat-alat
berat.
ƒ Mobilisasi tenaga kerja (90
– 110 TK/ha).
ƒ Kebutuhan pemukiman dan
fasilitas sosial.
ƒ Kebutuhan air bersih
dengan tingkat kebutuhan
rata-rata 0,55 – 0,75 l/dt/ha.
ƒ Kebutuhan energi listrik
cukup besar baik dalam
kaitan dengan jenis
pembangkit ataupun trace
jaringan (0,1 MW/ha).
ƒ Potensi berbagai jenis
limbah dan cemaran yang
masih prediktif terutama
dalam hal cara
pengelolaannya.
ƒ Bangkitan lalu lintas.
5. Industri galangan kapal dengan • 50.000 DWT Sistem graving dock adalah
sistem graving dock galangan kapal yang
dilengkapi dengan kolam
perbaikan dengan ukuran
panjang 150 m, lebar 30 m,
dan kedalaman 10 m dengan
sistem sirkulasi.
Pembuatan kolam graving ini
dilakukan dengan mengeruk
laut yang dikhawatirkan akan
menyebabkan longsoran
ataupun abrasi pantai.

Perbaikan kapal berpotensi


menghasilkan limbah cair (air
ballast, pengecatan lambung
kapal dan bahan kimia B3)
maupun limbah gas dan debu
dari kegiatan sand blasting
dan pengecatan.

6. Industri amunisi dan bahan Semua besaran Industri amunisi dan bahan
peledak peledak merupakan industri
yang dalam proses
produksinya menggunakan

15
bahan-bahan kimia yang
bersifat B3, disamping
kegiatannya membutuhkan
tingkat keamanan yang tinggi.
7. Kegiatan industri yang tidak Besaran untuk masing-masing
termasuk angka 1 s/d 6 tipologi kota diperhitungkan
berdasarkan:
Penggunaan areal: ƒ Tingkat pembebasan lahan.
a.Urban: ƒ Daya dukung lahan; seperti
- Metropolitan, luas > 5 ha daya dukung tanah,
- Kota besar, luas > 10 ha kapasitas resapan air tanah,
- Kota sedang, luas > 15 ha tingkat kepadatan
- Kota kecil, luas > 20 ha bangunan per hektar, dan
lain-lain.
b.Rural/pedesaan, luas > 30 ha Umumnya dampak yang
ditimbulkan berupa:
ƒ Bangkitan lalu lintas.
ƒ Konflik sosial.
ƒ Penurunan kualitas
lingkungan.

H. Bidang Pekerjaan Umum

Beberapa kegiatan pada bidang Pekerjaan Umum mempertimbangkan skala/besaran


kota yang menggunakan ketentuan berdasarkan jumlah populasi, yaitu:
ƒ kota metropolitan : > 1.000.000 jiwa
ƒ kota besar : 500.000-1.000.000 jiwa
ƒ kota sedang : 200.000-500.000 jiwa
ƒ kota kecil : 20.000-200.000 jiwa

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Pembangunan ƒ Termasuk dalam kategori
Bendungan/Waduk atau Jenis “large dam” (bendungan
Tampungan Air lainnya: besar).
- Tinggi, atau > 15 m ƒ Pada skala ini dibutuhkan
spesifikasi khusus baik
bagi material dan desain
konstruksinya.
ƒ Pada skala ini diperlukan
quarry/burrow area yang
besar, sehingga berpotensi
menimbulkan dampak.
ƒ Dampak pada hidrologi.

- Luas genangan > 200 ha ƒ Kegagalan bendungan


pada luas genangan

16
sebesar ini berpotensi
mengakibatkan genangan
yang cukup besar dibagian
hilirnya.
ƒ Akan mempengaruhi pola
iklim mikro pada kawasan
sekitarnya dan ekosistem
daerah hulu dan hilir
bendungan/waduk.
ƒ Dampak pada hidrologi.

2. Daerah Irigasi ƒ Mengakibatkan perubahan


a.Pembangunan baru dengan pola iklim mikro dan
luas > 2.000 ha ekosistem kawasan.
ƒ Selalu memerlukan
bangunan utama
(headworks) dan bangunan
pelengkap (oppurtenants
structures) yang besar dan
sangat banyak sehingga
berpotensi untuk
mengubah ekosistem yang
ada.
ƒ Mengakibatkan mobilisasi
tenaga kerja yang
signifikan pada daerah
sekitarnya, baik pada saat
pelaksanaan maupun
setelah pelaksanaan.
ƒ Membutuhkan
pembebasan lahan yang
besar sehingga berpotensi
menimbulkan dampak
sosial.

b.Peningkatan dengan luas > 1.000 ha ƒ Berpotensi menimbulkan


tambahan dampak negatif akibat
perubahan ekosistem pada
kawasan tersebut.
ƒ Memerlukan bangunan
tambahan yang berpotensi
untuk mengubah ekosistem
yang ada.
ƒ Mengakibatkan mobilisasi
manusia yang dapat

17
menimbulkan dampak
sosial.
c. Pencetakan sawah, luas > 500 ha ƒ Memerlukan alat berat
(perkelompok) dalam jumlah yang cukup
banyak.
ƒ Perubahan Tata Air.
3. Pengembangan Rawa: > 1.000 ha ƒ Berpotensi mengubah
Reklamasi rawa untuk ekosistem dan iklim mikro
kepentingan irigasi pada kawasan tersebut dan
berpengaruh pada kawasan
di sekitarnya.
ƒ Berpotensi mengubah
sistem tata air yang ada
pada kawasan yang luas
secara drastis.
4. Pembangunan Pengaman ƒ Pembangunan pada
Pantai dan perbaikan muara rentang kawasan pantai
sungai: selebar > 500 m berpotensi
- Jarak dihitung tegak lurus mengubah ekologi
pantai > 500 m kawasan pantai dan muara
sungai sehingga
berdampak terhadap
keseimbangan ekosistem
yang ada.
ƒ Gelombang pasang laut
(tsunami) di Indonesia
berpotensi menjangkau
kawasan sepanjang 500 m
dari tepi pantai, sehingga
diperlukan kajian khusus
untuk pengembangan
kawasan pantai yang
mencakup rentang lebih
dari 500 m dari garis
pantai.
5. Normalisasi Sungai (termasuk ƒ Terjadi timbunan tanah
sodetan) dan Pembuatan Kanal galian di kanan kiri sungai
Banjir yang menimbulkan
a.Kota besar/metropolitan dampak lingkungan,
- Panjang, atau > 5 km dampak sosial, dan
- Volume pengerukan > 500.000 m3 gangguan.
ƒ Mobilisasi alat besar dapat
menimbulkan gangguan
dan dampak.

18
b.Kota sedang ƒ Terjadi timbunan tanah
- Panjang, atau > 10 km galian di kanan kiri sungai
- Volume pengerukan > 500.000 m3 yang menimbulkan
dampak lingkungan,
dampak sosial, dan
gangguan.
ƒ Mobilisasi alat besar dapat
menimbulkan gangguan
dan dampak.
c.Pedesaan ƒ Terjadi timbunan tanah
- Panjang, atau > 15 km galian di kanan kiri sungai
- Volume pengerukan > 500.000 m3 yang menimbulkan
dampak lingkungan,
dampak sosial, dan
gangguan.
ƒ Mobilisasi alat besar dapat
menimbulkan gangguan
dan dampak.

6. Pembangunan Jalan Tol > 5 km Bangkitan lalu lintas, dampak


kebisingan, getaran, emisi
yang tinggi, gangguan visual
dan dampak sosial.
7. Pembangunan dan/atau Bangkitan lalu lintas, dampak
peningkatan jalan dengan kebisingan, getaran, emisi
pelebaran yang membutuhkan yang tinggi, gangguan visual
pengadaan tanah dan dampak sosial.
a.Kota besar/metropolitan
- Panjang, atau > 5 km
- Pembebasan lahan > 5 ha
b.Kota sedang
- Panjang, atau • 10 km
- Pembebasan lahan • 10 ha
c.Pedesaan
- Panjang, atau • 30 km
- Pembebasan lahan • 30 ha
8 a.Pembangunan Berpotensi menimbulkan
subway/underpass, dampak berupa perubahan
terowongan/tunnel > 2 km kestabilan lahan (land
subsidence), air tanah serta
gangguan berupa dampak
terhadap emisi, lalu lintas,
kebisingan, getaran,
gangguan pandangan,
b.Pembangunan jembatan > 500 m gangguan jaringan prasarana
sosial (gas, listrik, air minum,

19
telekomunikasi) dan dampak
sosial di sekitar kegiatan
tersebut.
9. Persampahan
a.Pembangunan TPA sampah
domestik Pembuangan
dengan sistem control
landfill/ sanitary landfill
termasuk instalasi
penunjangnnya Dampak potensial adalah
- Luas kawasan TPA, atau > 10 ha pencemaran gas/udara, risiko
- Kapasitas total > 10.000 ton kesehatan masyarakat dan
b.TPA di daerah pasang surut, pencemaran dari leachate
- Luas landfill, atau > 5 ha Dampak potensial berupa
- Kapasitas total > 5.000 ton pencemaran dari leachate,
c.Pembangunan transfer udara, bau, vektor penyakit
station dan gangguan kesehatan.
- Kapasitas > 1.000 ton/hari
Dampak potensial berupa
pencemaran udara, bau,
vektor penyakit dan
gangguan kesehatan.

d.Pembangunan Instalasi Dampak potensial berupa


Pengolahan sampah terpadu pencemaran dari leachate
- Kapasitas • 500 ton/hari (lindi), udara, bau, gas
beracun, dan gangguan
kesehatan.
e.Pengolahan dengan Dampak potensial berupa fly
insinerator ash dan bottom ash,
- Kapasitas • 500 ton/hari pencemaran udara, emisi
biogas (H2S, NOx, SOx, COx,
dioxin), air limbah, cooling
water, bau dan gangguan
kesehatan.
f. Composting Plant Dampak potensial berupa
- Kapasitas • 100 ton/hari pencemaran dari bau dan
gangguan kesehatan.
g.Transportasi sampah dengan Dampak potensial berupa
kereta api pencemaran dari air sampah
- Kapasitas • 500 ton/hari dan sampah yang tercecer,
bau, gangguan kesehatan dan
aspek sosial masyarakat di
daerah yang dilalui kereta api

20
10 Pembangunan Besaran untuk masing-
Perumahan/Permukiman masing tipologi kota
a.Kota metropolitan, luas > 25 ha diperhitungkan berdasarkan:
b.Kota besar, luas > 50 ha ƒ Tingkat pembebasan lahan.
c.Kota sedang dan kecil, ƒ Daya dukung lahan; seperti
luas > 100 ha daya dukung tanah,
kapasitas resapan air tanah,
tingkat kepadatan
bangunan per hektar.
ƒ Tingkat kebutuhan air
sehari-hari.
ƒ Limbah yang dihasilkan
sebagai akibat hasil
kegiatan perumahan dan
pemukiman.
ƒ Efek pembangunan
terhadap lingkungan
sekitar (mobilisasi material
dan manusia).
ƒ KDB (koefisien dasar
bangunan) dan KLB
(koefisien luas bangunan).
11 Air Limbah Domestik ƒ Setara dengan layanan
a.Pembangunan Instalasi untuk 100.000 orang.
Pengolahan Lumpur Tinja ƒ Dampak potensial berupa
(IPLT), termasuk fasilitas bau, gangguan kesehatan,
penunjangnya lumpur sisa yang tidak
- Luas, atau • 2 ha diolah dengan baik dan
- Kapasitasnya • 11 m3/hari gangguan visual.

b.Pembangunan Instalasi ƒ Setara dengan layanan


Pengolahan Air Limbah untuk 100.000 orang.
(IPAL) limbah domestik
termasuk fasilitas
penunjangnya
- Luas, atau • 3 ha
- Beban organik • 2,4 ton/hari
c.Pembangunan sistem ƒ Setara dengan layanan
perpipaan air limbah, luas 100.000 orang.
layanan ƒ Setara dengan 20.000 unit
- Luas layanan, atau • 500 ha sambungan air limbah.
- Debit air limbah • 16.000 m3/hari ƒ Dampak potensial berupa
gangguan lalu lintas,
kerusakan prasarana
umum, ketidaksesuaian
atau nilai kompensasi

21
12. Pembangunan saluran drainase Berpotensi menimbulkan
(primer dan/atau sekunder) di gangguan lalu lintas,
permukiman kerusakan prasarana dan
a.kota besar/ metropolitan, sarana umum, pencemaran di
panjang • 5 km daerah hilir, perubahan tata
b.kota sedang, panjang • 10 km air di sekitar jaringan,
bertambahnya aliran puncak
dan perubahan perilaku
masyarakat
di sekitar jaringan.
Pembangunan drainase
sekunder di kota sedang yang
melewati permukiman padat
13. Jaringan air bersih di kota
besar/metropolitan Berpotensi menimbulkan
a.Pembangunan jaringan dampak hidrologi dan
distribusi persoalan keterbatasan air.
- Luas layanan > 500 ha
b.Pembangunan jaringan
transmisi
- Panjang > 10 km
14. Pengambilan air dari danau, ƒ Setara kebutuhan air bersih
sungai, mata air permukaan, 200.000 orang.
atau sumber air permukaan ƒ Setara kebutuhan kota
lainnya sedang.
- Debit pengambilan > 250 l/dt
15. Pembangunan Pusat Besaran diperhitungkan
Perkantoran, Pendidikan, berdasarkan:
Olahraga, Kesenian, Tempat ƒ Pembebasan lahan.
Ibadah, Pusat perdagangan/ ƒ Daya dukung lahan.
perbelanjaan relatif ƒ Tingkat kebutuhan air
terkonsentrasi sehari-hari.
- Luas lahan, atau > 5 ha ƒ Limbah yang dihasilkan.
- Bangunan >10.000 m2 ƒ Efek pembangunan
terhadap lingkungan
sekitar (getaran,
kebisingan, polusi udara,
dan lain-lain).
ƒ KDB (koefisien dasar
bangunan) dan KLB.
(koefisien luas bangunan)
ƒ Jumlah dan jenis pohon
yang mungkin hilang.

Khusus bagi pusat


perdagangan/perbelanjaan

22
relatif terkonsentrasi dengan
luas tersebut diperkirakan
akan menimbulkan dampak
penting:
ƒ Konflik sosial akibat
pembebasan lahan
(umumnya berlokasi dekat
pusat kota yang memiliki
kepadatan tinggi).
ƒ Struktur bangunan
bertingkat tinggi dan
basement menyebabkan
masalah dewatering dan
gangguan tiang-tiang
pancang terhadap akuifer
sumber air sekitar.
ƒ Bangkitan pergerakan
(traffic) dan kebutuhan
permukiman dari tenaga
kerja yang besar.
ƒ Bangkitan pergerakan dan
kebutuhan parkir
pengunjung.
ƒ Produksi sampah.
16. Pembangunan kawasan Berpotensi menimbulkan
pemukiman untuk pemindahan dampak yang disebabkan
penduduk/transmigrasi oleh:
(Pemukiman Transmigrasi ƒ Pembebasan lahan.
Baru Pola Tanaman Pangan) ƒ Tingkat kebutuhan air.
- Luas lahan > 2000 ha ƒ Daya dukung lahan; seperti
daya dukung tanah,
kapasitas resapan air tanah,
tingkat kepadatan
bangunan per hektar, dan
lain-lain.

I. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


MINERAL, BATUBARA,
A
DAN PANAS BUMI
1 Mineral, Batubara, dan panas ƒ Dampak penting terhadap
bumi lingkungan antara lain:
- Luas perizinan (KP), atau • 200 ha merubah bentang alam,
- Luas daerah terbuka untuk • 50 ha ekologi dan hidrologi.
pertambangan (kumulatif/tahun) ƒ Lama kegiatan juga akan

23
memberikan dampak
penting terhadap kualitas
udara, kebisingan, getaran
apabila menggunakan
peledak, serta dampak dari
limbah yang dihasilkan.
2. Tahap eksploitasi: Berpotensi menimbulkan
a.Eksploitasi dan dampak terhadap air, udara,
pengembangan uap panas • 55 MW flora, fauna, sosial, ekonomi,
bumi dan/atau dan budaya masyarakat
Pengembangan panas bumi sekitar.
b.Batubara/gambut Jumlah pemindahan material
- Kapasitas, dan/atau • 1.000.000 berpengaruh terhadap
- Jumlah material penutup ton/tahun intensitas dampak yang akan
yang dipindahkan • 4.000.000 ton terjadi.
c.Bijih Primer Jumlah pemindahan material
- Kapasitas, dan/atau • 400.000 ton/tahun berpengaruh terhadap
- Jumlah material penutup • 1.000.000 ton intensitas dampak yang akan
yang dipindahkan terjadi.
d. Bijih Sekunder/Endapan Jumlah pemindahan material
Alluvial berpengaruh terhadap
- Kapasitas, dan/atau • 300.000 ton/tahun intensitas dampak yang akan
- Jumlah material penutup • 1.000.000 ton terjadi.
yang dipindahkan
e.Bahan galian bukan logam Jumlah pemindahan material
atau bahan galian golongan C berpengaruh terhadap
- Kapasitas, dan/atau • 250.000 intensitas dampak yang akan
m3/tahun terjadi.
- Jumlah material penutup • 1.000.000 ton
yang dipindahkan
f. Bahan galian radioaktif, Semua besaran Sampai saat ini bahan
termasuk pengolahan, radioaktif digunakan sebagai
penambangan dan pemurnian bahan bakar reaktor nuklir
maupun senjata nuklir. Oleh
sebab itu, selain dampak
penting yang dapat
ditimbulkan, keterkaitannya
dengan masalah pertahanan
dan keamanan menjadi alasan
mengapa kegiatan ini wajib
dilengkapi AMDAL untuk
semua besaran.

24
g.Pengambilan air bawah tanah • 50 liter/detik (dari Potensi perubahan dan
(sumur tanah dangkal, sumur 1 sumur sampai gangguan sistem
tanah dalam, dan mata air) dengan 5 sumur hidrogeologi.
dalam satu area <
10 ha)
h.Tambang di laut Semua besaran Berpotensi menimbulkan
dampak berupa perubahan
batimetri, ekosistem pesisir
dan laut, mengganggu alur
pelayaran dan proses-proses
alamiah di daerah pantai
termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang
dapat menimbulkan dampak
sosial, ekonomi, dan
kesehatan terhadap nelayan
dan masyarakat sekitar.
3. Melakukan penempatan tailing Semua besaran Memerlukan lokasi khusus
di bawah laut (Submarine dan berpotensi menimbulkan
Tailing Disposal) dampak berupa perubahan
batimetri, ekosistem pesisir
dan laut, mengganggu alur
pelayaran dan proses-proses
alamiah di daerah pantai
termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang
dapat menimbulkan dampak
sosial, ekonomi, dan
kesehatan terhadap nelayan
dan masyarakat sekitar.
4. Melakukan pengolahan bijih Semua besaran Sianida dan air raksa
dengan proses sianidasi atau merupakan Bahan Berbahaya
amalgamasi dan Beracun (B3) yang
berpotensi menimbulkan
pencemaran air permukaan,
air tanah dan udara.

B. MINYAK DAN GAS BUMI


Eksploitasi Migas dan
1.
Pengembangan Produksi
a Di darat:
- Lapangan minyak • 5.000 BOPD ƒ Potensi menimbulkan
limbah B3 dari lumpur
pengeboran.
ƒ Potensi ledakan.

25
ƒ Pencemaran udara, air dan
tanah.
ƒ Potensi kerusakan
ekosistem.
ƒ Pertimbangan ekonomis.
- Lapangan gas • 30 MMSCFD ƒ Potensi menimbulkan
limbah B3 dari lumpur
pengeboran.
ƒ Potensi ledakan.
ƒ Pencemaran udara, air dan
tanah.
ƒ Pertimbangan ekonomis.
. b Di laut ƒ Potensi menimbulkan
- Lapangan Minyak • 15.000 BOPD limbah B3 dari lumpur
- Lapangan Gas • 90 MMSCFD pengeboran.
jumlah total ƒ Potensi ledakan.
lapangan semua ƒ Pencemaran udara, air.
sumur ƒ Pertimbangan ekonomis.
ƒ Perubahan Ekosistem laut.
2. Transmisi MIGAS di laut ƒ Termasuk distribusinya
- Panjang, atau • 100 km dilakukan dari rumah ke
- Bertekanan • 16 bar rumah.
ƒ Pemanfaatan lahan yang
tumpang tindih dengan
aktifitas nelayan dianggap
cukup luas lintas
kabupaten/kota juga dapat
mengganggu aktivitas
nelayan.
ƒ Penyiapan area konstruksi
dapat menimbulkan
gangguan terhadap daerah
sensitif.
ƒ Pengoperasian pipa rawan
terhadap gangguan
aktivitas lalu lintas kapal
buang sauh, penambangan
pasir.
ƒ Tekanan operasi pipa
cukup tinggi sehingga
berbahaya terhadap
kegiatan/aktifitas nelayan,
tambang pasir dan alur
pelayaran.

26
3. Pembangunan kilang: ƒ Potensi konflik sosial.
- LPG ≥ 50 MMSCFD ƒ Merupakan industri
- LNG ≥ 550 MMSCFD strategis.
- Minyak ≥ 10.000 BOPD ƒ Potensi dampak dari
sarana penunjang khusus.
ƒ Proses pengolahan
menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan
limbah yang bersifat
turunan.
ƒ Berpotensi menghasilkan
limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
ƒ Membutuhkan area yang
cukup luas.
ƒ Khusus LNG, berpotensi
menghasilkan limbah gas
H2S.
ƒ Potensi perubahan dan
gangguan sistem
geohidrologi.
ƒ Berpotensi mengubah
ekosistem yang lebih luas.
4. Kilang minyak pelumas bekas ≥ 10.000 ton/tahun ƒ Potensi konflik sosial.
(termasuk fasilitas penunjang) ƒ Merupakan industri
strategis.
ƒ Potensi dampak dari
sarana penunjang khusus.
ƒ Proses pengolahan
menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan
limbah yang bersifat
turunan.
ƒ Berpotensi menghasilkan
limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
ƒ Membutuhkan area yang
cukup luas.
ƒ Potensi perubahan dan
gangguan sistem
geohidrologi.

C. LISTRIK DAN
PEMANFAATAN ENERGI
1. Pembangunan jaringan > 150 kV ƒ Keresahan masyarakat
transmisi karena harga tanah turun

27
ƒ Adanya medan magnet
dan medan listrik.
ƒ Aspek sosial, ekonomi dan
budaya terutama pada
pembebasan lahan dan
keresahan masyarakat.
2. Pembangunan Berpotensi menimbulkan
a. PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU • 100 MW (dalam dampak pada:
satu lokasi) ƒ Aspek fisik kimia,
terutama pada kualitas
udara (emisi, ambient dan
kebisingan) dan kualitas
air (ceceran minyak
pelumas, limbah bahang)
serta air tanah.
ƒ Aspek sosial, ekonomi dan
budaya, terutama pada saat
pembebasan lahan dan
pemindahan penduduk.

b.Pembangunan PLTP • 55 MW Berpotensi menimbulkan


(pengembangan Panas Bumi) dampak pada:
ƒ Aspek fisik-kimia,
terutama pada kualitas
udara (bau dan kebisingan)
dan kualitas air.
ƒ Aspek flora fauna.
ƒ Aspek sosial, ekonomi dan
budaya, terutama pada
pembebasan lahan.

c. Pembangunan PLTA dengan: ƒ Perubahan fungsi lahan.


- Tinggi bendung, atau • 15 m ƒ Berpotensi menimbulkan
- Luas genangan, atau • 200 ha dampak pada:
- Kapasitas daya (aliran • 50 MW - Aspek fisik-kimia,
langsung) terutama pada kualitas
udara (bau dan
kebisingan) dan
kualitas air.
- Aspek flora fauna.
- Aspek sosial, ekonomi
dan budaya, terutama
pada pembebasan
lahan.
ƒ Termasuk dalam kategori
“large dam” (bendungan
besar).

28
ƒ Kegagalan bendungan
(dam break), akan
mengakibatkan gelombang
banjir (flood surge) yang
sangat potensial untuk
merusak lingkungan di
bagian hilirnya.
ƒ Pada skala ini dibutuhkan
spesifikasi khusus baik
bagi material dan desain
konstruksinya.
ƒ Pada skala ini diperlukan
quarry/burrow area yang
besar, sehingga berpotensi
menimbulkan dampak.
ƒ Dampak pada hidrologi.

d.Pembangunan pembangkit • 10 MW ƒ Membutuhkan areal yang


listrik dari jenis lain (antara sangat luas.
lain: OTEC (Ocean Thermal ƒ Dampak visual (pandang).
Energy Conversion), Surya, ƒ Dampak kebisingan.
Angin, Biomassa, ƒ Khusus penggunaan
Gambut,dan lain-lain) gambut berpotensi
menimbulkan gangguan
terhadap ekosistem
gambut.

J. Bidang Pariwisata

Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap


ekosistem, hidrologi, bentang alam dan potensi konflik sosial.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. a.Kawasan Pariwisata Semua besaran Berpotensi menimbulkan
b.Taman Rekreasi > 100 ha dampak berupa perubahan
fungsi lahan/kawasan,
gangguan lalu lintas,
pembebasan lahan, dan
sampah.
2. Lapangan golf Semua besaran Berpotensi menimbulkan
(tidak termasuk driving range) dampak dari penggunaan
pestisida/herbisida, limpasan
air permukaan (run off), serta
kebutuhan air yang relatif
besar.

29
K. Bidang Pengembangan Nuklir

Secara umum, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan dan


penggunaan teknologi nuklir selalu memiliki potensi dampak dan risiko radiasi.
Persoalan kekhawatiran masyarakat yang selalu muncul terhadap kegiatan-kegiatan
ini juga menyebabkan kecenderungan terjadinya dampak sosial.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1 Pembangunan dan
pengoperasian reaktor nuklir:
a.Reaktor Penelitian Potensi dampak
- Daya > 100 kW pengoperasian reaktor
penelitian dengan daya < 100
kW terbatas pada lokasi
reaktor.
b.Reaktor Daya (PLTN) Semua instalasi ƒ Keamanan konstruksi.
ƒ Berisiko tinggi.
ƒ Dampak radiasi pada tahap
decomisioning (pasca
operasi).
ƒ Transportasi,
penyimpanan, pengelolaan
dan pembuangan bahan
bakar bekas dan limbah
bahan radioaktif.
2. Pembangunan dan
pengoperasian instalasi nuklir
non reaktor
a.Fabrikasi bahan bakar nuklir
- Produksi > 125 elemen
bakar/tahun

b.Pengolahan dan pemurnian ƒ Efluen gas radioaktif yang


uranium terlepas dapat terakumulasi
- Produksi > 100 ton yellow dalam berbagai komponen
cake/tahun ekosistem.
c.Pengelolaan limbah Semua instalasi
radioaktif
(mencakup penghasil,
penyimpan, dan pengolahan)
d.Pembangunan Iradiator ƒ Membutuhkan air
(Kategori II s/d IV) pendingin yang telah
- Aktivitas sumber > 37.000 TBq didemineralisasi dalam
(100.000 Ci) kolam beton. Air pendingin
juga berfungsi sebagai
perisai radiasi. Jika air

30
pendingin berkurang, akan
terjadi pengurangan perisai
terhadap radiasi. Jika air
pendingin kualitasnya
menurun, akan terjadi
korosi yang dapat
menyebabkan terlepasnya
zat radioaktif ke dalam air.
e.Produksi Radioisotop Semua instalasi ƒ Semua tahapan dalam
proses berpotensi
mencemari dan
membahayakan lingkungan
dalam bentuk paparan
radiasi.

L. Bidang Pengelolaan Limbah B3

Kegiatan yang menghasilkan limbah B3 berpotensi menimbulkan dampak terhadap


lingkungan dan kesehatan manusia, terutama kegiatan yang dipastikan akan
mengkonsentrasikan limbah B3 dalam jumlah besar sebagaimana tercantum dalam
tabel. Kegiatan-kegiatan ini juga secara ketat diikat dengan perjanjian internasional
(konvensi basel) yang mengharuskan pengendalian dan penanganan yang sangat
seksama dan terkontrol.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Pengumpulan, pemanfaatan,
pengolahan dan/atau Berpotensi menimbulkan
penimbunan limbah Bahan dampak terhadap lingkungan
Berbahaya dan Beracun (B3) dan kesehatan manusia.
sebagai kegiatan utama
a.Setiap kegiatan pengumpulan Semua besaran
limbah B3 sebagai kegiatan
utama, tidak termasuk
kegiatan skala kecil seperti
pengumpul minyak kotor dan
slope oil, timah dan flux
solder, minyak pelumas
bekas, aki bekas, solvent
bekas, limbah kaca
terkontaminasi limbah B3.
b.Setiap kegiatan pemanfaatan Semua besaran
limbah B3 sebagai kegiatan
utama.
c.Setiap kegiatan pengolahan
limbah B3 sebagai kegiatan
utama.

31
- Pengolahan dengan Semua besaran
insinerator.
- Pengolahan secara biologis Semua besaran
(land farming, biopile,
composting, bioventing,
biosparging, bioslurping,
alternate electron
acceptors, fitoremediasi).
e.Setiap kegiatan penimbunan Semua besaran
limbah B3 sebagai kegiatan
utama.

M. Bidang Rekayasa Genetika

Kegiatan-kegiatan yang menggunakan hasil rekayasa genetik berpotensi


menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia dan keseimbangan ekosistem.

No Jenis Kegiatan Skala/Besaran Alasan Ilmiah Khusus


1. Introduksi jenis-jenis tanaman, Semua besaran Lihat penjelasan diatas.
hewan, dan jasad renik produk
bioteknologi hasil rekayasa
genetika
2. Budidaya produk bioteknologi Semua besaran Lihat penjelasan diatas.
hasil rekayasa genetika

32
Daftar Singkatan:

m = meter
m2 = meter persegi
m3 = meter kubik
km = kilometer
km2 = kilometer persegi
ha = hektar
l = liter
dt = detik
kW = kilowatt
kWh = kilowatt hour
kV = kilovolt
MW = megawatt
TBq = Terra Becquerel
BOPD = barrel oil per day = minyak barrel per hari
MMSCFD = million metric square cubic feet per day = juta metrik persegi kaki
kubik per hari
DWT = dead weight tonnage = bobot mati
KK = kepala keluarga
LPG = Liquiefied Petroleum Gas = gas minyak bumi yang dicairkan
LNG = Liquiefied Natural Gas = gas alam yang dicairkan
ROW = right of way = daerah milik jalan (damija)
BOD = biological oxygen demand = kebutuhan oksigen biologis
COD = chemical oxygen demand = kebutuhan oksigen kimiawi
DO = dissolved oxygen = oksigen terlarut
TSS = total suspended solid = total padatan tersuspensi
TDS = total dissolved solid = total padatan terlarut

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

33
Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 11 Tahun 2006
Tanggal : 02 Oktober 2006

DAFTAR KAWASAN LINDUNG

Kawasan Lindung yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Pasal 37 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,
adalah sebagai berikut:

1. Kawasan Hutan Lindung.


2. Kawasan Bergambut.
3. Kawasan Resapan Air.
4. Sempadan Pantai.
5. Sempadan Sungai.
6. Kawasan Sekitar Danau/Waduk.
7. Kawasan Sekitar Mata Air.
8. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Wisata,
Daerah Perlindungan Plasma Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa).
9. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk perairan laut, perairan
darat, wilayah pesisir, muara sungai, gugusan karang atau terumbu karang dan atol
yang mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan ekosistem).
10. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove).
11. Taman Nasional.
12. Taman Hutan Raya.
13. Taman Wisata Alam.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

34
Lampiran III
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 11 Tahun 2006
Tanggal : 02 Oktober 2006

KRITERIA PENAPISAN JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN


YANG TIDAK TERMASUK DALAM DAFTAR JENIS USAHA DAN/ATAU
KEGIATAN YANG WAJIB DILENGKAPI ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP

Penapisan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak terdapat dalam daftar jenis
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1

Lakukan pengisian terhadap daftar pertanyaan berikut, terkait lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan:
Apakah lokasi rencana usaha dan/atau Ya/Tidak/Ragu-ragu Apakah hal tersebut akan
kegiatan: Jelaskan secara ringkas berdampak penting?
Ya/Tidak/Ragu-ragu
Kenapa?
1. Akan mengubah tata guna lahan
yang ada?
2. Akan mengubah kelimpahan,
kualitas dan daya regenerasi
sumber daya alam yang berada di
lokasi?
3. Akan mengubah kapasitas
absorbsi lingkungan alami,
khususnya daerah berikut?
a. Lahan basah
b.Daerah pesisir
c. Area pegunungan dan hutan
d.Kawasan lindung alam dan
taman nasional
e. Kawasan yang dilindungi oleh
peraturan perundangan yang
berlaku
f. Daerah yang memiliki kualitas
lingkungan yang telah
melebihi batas ambang yang
ditetapkan
g.Daerah berpopulasi padat
h.Lansekap yang memiliki nilai
penting sejarah, budaya atau
arkeologi

35
Langkah 2

Lakukan pengisian terhadap daftar pertanyaan berikut untuk menilai karakteristik rencana
usaha dan/atau kegiatan.

Apakah rencana usaha dan/atau Ya/Tidak/Ragu-ragu Apakah hal tersebut akan


kegiatan: Jelaskan secara ringkas berdampak penting?
Ya/Tidak/Ragu-ragu
Kenapa?
1. Akan mengubah bentuk lahan dan
bentang alam?
2. Akan mengeksploitasi sumber
daya alam, baik yang terbaharui
maupun yang tak terbaharui?
3. Dalam proses dan kegiatannya
akan menimbulkan pemborosan,
pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup, serta
kemerosotan sumber daya alam
dalam pemanfaatannya?
4. Proses dan kegiatan yang hasilnya
dapat mempengaruhi lingkungan
alam, lingkungan buatan, serta
lingkungan sosial dan budaya?
5. Proses dan kegiatan yang hasilnya
akan mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya
alam dan/atau perlindungan cagar
budaya?
6. Akan mengintroduksi jenis
tumbuh-tumbuhan, jenis hewan,
dan jasad renik?
7. Akan membuat dan menggunakan
bahan hayati dan non-hayati?
8. Akan menerapkan teknologi yang
diperkirakan mempunyai potensi
besar untuk mempengaruhi
lingkungan hidup?
9. Akan mempunyai risiko tinggi,
dan/atau mempengaruhi
pertahanan negara?

Jawaban “YA” merupakan indikasi bahwa jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut
wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

36
Langkah 3

Lakukan penentuan dampak penting untuk setiap jawaban ”YA” dari daftar pertanyaan
pada Langkah 1 dan Langkah 2 menggunakan kriteria penentuan dampak penting berikut:

1. jumlah manusia yang akan terkena dampak;


2. luas wilayah persebaran dampak;
3. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
4. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak;
5. sifat kumulatif dampak; dan
6. berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.

Langkah 4

Pelajari apakah dalam 10 tahun terakhir hasil implementasi pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup dari jenis usaha dan/atau kegiatan dimaksud menunjukkan bahwa:
a. usaha dan/atau kegiatan dimaksud senantiasa menimbulkan dampak penting negatif
yang hampir serupa di seluruh wilayah Indonesia.
b. tidak tersedia ilmu pengetahuan dan teknologi, tata cara atau tata kerja untuk
mengelola dampak penting negatif usaha dan/atau kegiatan dimaksud, baik yang
bersifat terintegrasi dengan proses produksi maupun terpisah dari proses produksi.

Langkah 5

Bila hasil analisis langkah 4 menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir dampak
lingkungan usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak dikenali karakter dampaknya dan tidak
tersedia ilmu pengetahuan, teknologi dan tata cara untuk mengatasi dampak penting
negatifnya, maka usaha dan/atau kegiatan dimaksud yang semula tergolong tidak wajib
AMDAL dapat digolongkan sebagai usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan AMDAL.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Hoetomo, MPA.

37
SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 05 TAHUN 2008
TENTANG
TATA KERJA KOMISI PENILAI
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,
Menimbang: a. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman Tata Kerja
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup yang merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 8
ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
saat ini dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan sehingga dipandang perlu untuk dilakukan
penyempurnaan;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, perlu penjabaran lebih lanjut
ketentuan yang berkaitan dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4548);

1
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG TATA KERJA KOMISI PENILAI ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya
disingkat AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
2. Kerangka acuan yang selanjutnya disingkat KA adalah ruang
lingkup kajian AMDAL yang merupakan hasil pelingkupan.
3. Analisis dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang
dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4. Rencana pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
RKL adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan.

2
5. Rencana pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan.
6. Komisi Penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen
AMDAL.
7. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan
hidup kabupaten/kota.
8. Instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan
hidup provinsi.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup.

BAB II
PEMBENTUKAN, TUGAS, DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN
KOMISI PENILAI

Bagian Pertama
Pembentukan Komisi Penilai

Pasal 2
(1). Komisi penilai dibentuk oleh:
a. Menteri untuk komisi penilai pusat;
b. gubernur untuk komisi penilai provinsi;
c. bupati/walikota untuk komisi penilai kabupaten/kota.
(2). Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh:
a. tim teknis komisi penilai yang selanjutnya disebut tim teknis;
dan
b. sekretariat komisi penilai.
(3). Tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibentuk
oleh:
a. pejabat setingkat eselon I yang membidangi AMDAL di
Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk tim teknis pusat;
b. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup provinsi
untuk tim teknis provinsi;
c. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang berbentuk badan atau sekretaris daerah
kabupaten/kota bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
yang berbentuk kantor untuk tim teknis kabupaten/kota.

Bagian Kedua
Susunan Keanggotaan Komisi Penilai

Pasal 3
(1) Keanggotaan komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) terdiri dari:
a. ketua merangkap anggota;

3
b. sekretaris merangkap anggota; dan
c. anggota.
(2) Ketua komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dijabat oleh:
a. pejabat setingkat eselon I yang membidangi AMDAL di
Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai
pusat;
b. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup provinsi
untuk komisi penilai provinsi;
c. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang berbentuk badan atau sekretaris daerah
kabupaten/kota bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
yang berbentuk kantor untuk komisi penilai kabupaten/kota.
(3) Sekretaris komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dijabat oleh:
a. pejabat setingkat eselon II yang membidangi AMDAL di
Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai
pusat;
b. pejabat setingkat eselon III yang membidangi AMDAL di instansi
lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai provinsi;
c. pejabat setingkat eselon III yang membidangi AMDAL di instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota untuk komisi penilai
kabupaten/kota.
(4) Keanggotaan komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdiri atas:
a. komisi penilai pusat, dengan keanggotaan dari unsur-unsur
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Dalam
Negeri, instansi di bidang kesehatan, instansi di bidang
pertahanan keamanan, instansi di bidang penanaman modal,
instansi di bidang pertanahan, instansi di bidang ilmu
pengetahuan, departemen dan/atau lembaga pemerintah non
departemen yang membidangi usaha dan/atau lembaga
pemerintah non departemen yang terkait, wakil provinsi yang
bersangkutan, dan/atau wakil kabupaten/kota yang
bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang
yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan
bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat
terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu;
b. komisi penilai provinsi, dengan keanggotaan dari unsur-unsur
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi, instansi
lingkungan hidup provinsi, instansi di bidang penanaman modal
daerah, instansi di bidang pertanahan di daerah, instansi di
bidang pertahanan keamanan di daerah, instansi di bidang
kesehatan daerah provinsi, wakil instansi pusat dan/atau
daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, wakil instansi terkait di provinsi, wakil dari
kabupaten/kota yang bersangkutan, pusat studi lingkungan
hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di
bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan,

4
organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan
hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang
dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota
lain yang dipandang perlu;
c. komisi penilai kabupaten/kota, dengan keanggotaan dari unsur-
unsur wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
wakil dari instansi di bidang lingkungan hidup daerah, wakil
dari instansi di bidang penanaman modal daerah, wakil dari
instansi di bidang pertanahan daerah, wakil dari instansi di
bidang kesehatan daerah, wakil dari instansi-instansi terkait
lainnya di daerah, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di
bidang rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan,
wakil dari organisasi lingkungan yang terkait dengan rencana
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil dari
masyarakat yang terkena dampak, dan anggota-anggota lain
yang dipandang perlu.

Pasal 4
Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
terdiri atas:
a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh sekretaris komisi penilai; dan
b. anggota yang terdiri atas:
1. wakil dari instansi lingkungan hidup;
2. wakil dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
3. ahli terkait usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; dan
4. ahli terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan dari usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Tugas Komisi Penilai

Pasal 5
(1) Komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menilai KA, ANDAL, RKL, dan RPL; dan
b. memberikan masukan dan dasar pertimbangan dalam
pengambilan keputusan KA dan kelayakan lingkungan hidup
atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada:
1. Menteri untuk komisi penilai pusat;
2. gubernur untuk komisi penilai provinsi;
3. bupati/walikota untuk komisi penilai kabupaten/kota.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
komisi penilai wajib mengacu pada:
a. kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
b. rencana tata ruang wilayah; dan
c. kepentingan pertahanan keamanan.

5
Pasal 6
(1) Ketua komisi penilai bertugas melakukan koordinasi proses
penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL.
(2) Sekretaris komisi penilai bertugas:
a. membantu tugas ketua dalam melakukan koordinasi proses
penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL; dan
b. menyusun rumusan hasil penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL
yang dilakukan komisi penilai.
(3) Anggota komisi penilai bertugas memberikan saran, pendapat dan
tanggapan berupa:
a. kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal
dari instansi Pemerintah;
b. kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah,
bagi anggota yang berasal dari pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota;
c. pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi anggota
yang berasal dari perguruan tinggi;
d. pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi ahli;
e. kepentingan lingkungan hidup, bagi anggota yang berasal dari
organisasi lingkungan/lembaga swadaya masyarakat;
f. aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi anggota yang
berasal dari wakil masyarakat yang diduga terkena dampak dari
rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 7
(1) Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
mempunyai tugas menilai secara teknis KA, ANDAL, RKL, dan RPL
berdasarkan permintaan komisi penilai.
(2) Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kesesuaian lokasi dengan rencana tata ruang wilayah;
b. kesesuaian dengan pedoman umum dan/atau pedoman teknis
di bidang AMDAL;
c. kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan di bidang
teknis sektor bersangkutan;
d. ketepatan dalam penerapan metoda penelitian/analisis;
e. kesahihan data yang digunakan;
f. kelayakan desain, teknologi dan proses produksi yang
digunakan; dan
g. kelayakan ekologis.

Pasal 8
Sekretariat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b mempunyai tugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan,
penyediaan informasi pendukung, dan tugas lain yang diberikan oleh
komisi penilai.

6
Pasal 9
(1) Sekretariat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf b berkedudukan di:
a. unit kerja eselon II yang membidangi AMDAL di Kementerian
Negara Lingkungan Hidup untuk sekretariat komisi penilai
pusat;
b. instansi lingkungan hidup provinsi untuk sekretariat komisi
penilai provinsi;
c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk sekretariat
komisi penilai kabupaten/kota.
(2) Sekretariat komisi penilai dipimpin oleh seorang kepala yang
bertanggung jawab kepada ketua komisi penilai yang dijabat oleh
pejabat eselon setingkat lebih rendah daripada sekretaris komisi
penilai.

BAB III
KEWENANGAN KOMISI PENILAI

Bagian Pertama
Komisi Penilai Pusat

Pasal 10
(1) Komisi penilai pusat berwenang menilai dokumen AMDAL bagi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a. jenis usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis dan/atau
menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai pusat sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau
b. jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV yang berlokasi:
1. lebih dari satu wilayah provinsi;
2. di wilayah sengketa dengan negara lain;
3. di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau
4. di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
negara lain.
(2) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada gubernur.

Bagian Kedua
Komisi Penilai Provinsi

Pasal 11
Komisi penilai provinsi berwenang menilai dokumen AMDAL bagi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a. jenis usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai provinsi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak

7
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau
b. jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III dan Lampiran IV yang berlokasi:
1. lebih dari satu wilayah kabupaten/kota;
2. di lintas kabupaten/kota; dan/atau
3. di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan
untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten/kota.

Bagian Ketiga
Komisi Penilai Kabupaten/Kota

Pasal 12
(1) Komisi penilai kabupaten/kota berwenang menilai dokumen
AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di
wilayah kabupaten/kota dan memenuhi kriteria:
a. jenis usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai kabupaten/kota
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
dan/atau
b. jenis usaha dan/atau kegiatan yang penilaiannya dilakukan oleh
komisi penilai kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(2) Kewenangan penilaian AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku bagi komisi penilai kabupaten/kota yang
memiliki lisensi sesuai dengan ketentuan dalam peraturan menteri
yang mengatur mengenai tata laksana lisensi komisi penilai AMDAL
kabupaten/kota.

Bagian Keempat
Penyelenggaraan Kewenangan

Pasal 13
(1) Kewenangan komisi penilai pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
terhadap dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan
yang menggunakan pendekatan studi AMDAL kawasan atau
AMDAL terpadu didasarkan atas kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(2) Kewenangan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang di
dalamnya terdapat rencana usaha dan/atau kegiatan yang
kewenangannya berada pada lebih dari 1 (satu) komisi penilai,
kewenangan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan dimaksud diselenggarakan oleh:

8
a. komisi penilai provinsi, dalam hal rencana usaha dan/atau
kegiatan merupakan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota;
atau
b. komisi penilai pusat, dalam hal rencana usaha dan/atau
kegiatan merupakan kewenangan pusat dan provinsi dan/atau
kabupaten/kota.

Pasal 14
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kewenangan penilaian
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL, kepala
instansi lingkungan hidup provinsi dan/atau kepala instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota mengajukan permohonan klarifikasi
secara tertulis kepada Menteri untuk mendapatkan penetapan
kewenangan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan dimaksud.

Pasal 15
(1) Instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang bertindak sebagai pemrakarsa, wakil instansi
yang bersangkutan tidak dapat melakukan penilaian dokumen
AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal instansi lingkungan hidup bertindak sebagai pemrakarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur/bupati/walikota
menunjuk ketua dan sekretaris komisi penilai dari instansi lain di
daerah yang bersangkutan yang menduduki jabatan setara dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat
(3), untuk melakukan penilaian dokumen AMDAL.
(3) Dalam hal penilaian dokumen AMDAL dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sekretariat komisi penilai tetap
berkedudukan di instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pasal 16
Anggota tim teknis dan/atau anggota komisi penilai yang menyusun
dokumen AMDAL tidak dapat melakukan penilaian terhadap dokumen
AMDAL yang disusunnya.

Pasal 17
(1) Kabupaten/kota yang belum memiliki lisensi atau lisensinya
dicabut, untuk sementara penilaian dokumen AMDAL
diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi dan keputusan atas
kelayakan lingkungan hidup diterbitkan oleh gubernur.
(2) Komisi penilai kabupaten/kota yang telah memiliki lisensi namun
belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, atas permintaan bupati/walikota untuk
sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi
penilai provinsi dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup
tetap diterbitkan oleh bupati/walikota.

9
(3) Penilaian dokumen AMDAL oleh komisi penilai provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan
di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Komisi penilai provinsi dalam penyelenggaraan penilaian dokumen
AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan bersama-sama dengan anggota komisi penilai
kabupaten/kota dengan komposisi yang mengutamakan unsur-
unsur komisi penilai kabupaten/kota yang bersangkutan.
(5) Gubernur wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian
dokumen AMDAL kepada bupati/walikota apabila komisi penilai
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2)
telah memiliki lisensi dan mampu menyelenggarakan penilaian
dokumen AMDAL setelah dilakukan pembinaan.

Pasal 18
(1) Komisi penilai provinsi yang belum mampu menyelenggarakan
penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, atas
permintaan gubernur untuk sementara penilaian dokumen AMDAL
diselenggarakan oleh komisi penilai pusat dan keputusan atas
kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh gubernur.
(2) Penilaian dokumen AMDAL oleh komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di wilayah provinsi yang
bersangkutan.
(3) Komisi penilai pusat dalam menyelenggarakan penilaian dokumen
AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama-
sama dengan anggota komisi penilai provinsi dengan komposisi
yang mengutamakan unsur-unsur komisi penilai provinsi yang
bersangkutan.
(4) Menteri wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian
dokumen AMDAL kepada gubernur apabila komisi penilai provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mampu
menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL setelah dilakukan
pembinaan.

Pasal 19
(1) Provinsi daerah pemekaran yang belum mempunyai komisi penilai
untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh
komisi penilai provinsi daerah induk.
(2) Komisi penilai provinsi daerah pemekaran yang telah memiliki
komisi penilai namun belum mampu menyelenggarakan penilaian
dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, untuk
sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi
penilai provinsi induk daerah yang bersangkutan.
(3) Gubernur provinsi induk wajib menyerahkan kembali
penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada gubernur
provinsi daerah pemekaran apabila komisi penilai provinsi daerah
pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah
mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL.

10
Pasal 20
(1) Kabupaten/kota daerah pemekaran yang belum memiliki lisensi,
untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh
komisi penilai kabupaten/kota induk daerah yang bersangkutan
yang telah memiliki lisensi dan keputusan atas kelayakan
lingkungan hidup diterbitkan oleh bupati/walikota daerah induk.
(2) Komisi penilai kabupaten/kota daerah pemekaran yang telah
memiliki lisensi namun belum mampu menyelenggarakan penilaian
dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, atas permintaan
bupati/walikota untuk sementara penilaian dokumen AMDAL
diselenggarakan oleh komisi penilai kabupaten/kota induk daerah
yang bersangkutan yang memiliki lisensi dan keputusan atas
kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh bupati/walikota
daerah pemekaran.
(3) Bupati/walikota daerah induk wajib menyerahkan kembali
penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada
bupati/walikota daerah pemekaran apabila komisi penilai
kabupaten/kota daerah pemekaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) telah memiliki lisensi dan mampu
menyelenggarakan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12.

Pasal 21
(1) Kabupaten/kota daerah induk yang belum memiliki lisensi, untuk
sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi
penilai provinsi.
(2) Kabupaten/kota daerah induk yang telah memiliki lisensi namun
belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).

BAB IV
TATA KERJA KOMISI PENILAI

Bagian Pertama
Penilaian Dokumen KA

Paragraf 1
Prosedur Penerimaan

Pasal 22
(1) KA yang dinilai oleh:
a. komisi penilai pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Menteri
melalui sekretariat komisi penilai pusat;
b. komisi penilai provinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada
gubernur melalui sekretariat komisi penilai provinsi; dan

11
c. komisi penilai kabupaten/kota, diajukan oleh pemrakarsa
kepada bupati/walikota melalui sekretariat komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Sekretariat komisi penilai memeriksa kelengkapan administrasi
dokumen KA.
(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan
kepada pemrakarsa terhadap dokumen KA yang telah memenuhi
kelengkapan administrasi dan sudah digandakan sejumlah anggota
komisi penilai yang diundang.
(4) Tanda bukti penerimaan dokumen KA sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dilengkapi dengan hari dan tanggal penerimaan
dokumen.
(5) Dokumen KA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib
dilakukan penilaian oleh komisi penilai dan pengambilan
keputusan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota atas hasil
penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung
sejak tanggal tanda bukti penerimaan dokumen KA sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).

Paragraf 2
Penilaian oleh Tim Teknis

Pasal 23
(1) Tim teknis melakukan penilaian KA atas permintaan ketua komisi
penilai.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat tim teknis yang dipimpin oleh ketua tim teknis.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat tim
teknis paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal ketua tim teknis tidak dapat memimpin rapat penilaian
KA, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk oleh ketua tim
teknis.
(5) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat
oleh petugas dari sekretariat komisi penilai.
(6) Hasil penilaian KA oleh tim teknis disampaikan pada rapat komisi
penilai.

Paragraf 3
Penilaian oleh Komisi Penilai

Pasal 24
(1) Ketua komisi penilai mengundang anggota untuk menilai KA.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat komisi penilai yang dipimpin oleh ketua komisi
penilai.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat komisi
penilai paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

12
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi
penilai, rapat dipimpin oleh sekretaris komisi penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat
memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh anggota yang
ditunjuk secara tertulis oleh ketua komisi.

Pasal 25
(1) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2) wajib dihadiri oleh:
a. pemrakarsa atau wakil yang ditunjuk oleh pemrakarsa yang
memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan; dan
b. tim penyusun dokumen AMDAL.
(2) Dalam hal terdapat anggota tim penyusun dokumen AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat
menghadiri rapat tim teknis dan rapat komisi penilai, anggota tim
yang bersangkutan wajib menyampaikan surat keterangan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
(3) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai dapat dibatalkan oleh
pimpinan rapat apabila pemrakarsa dan/atau tim penyusun
dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir.

Pasal 26
(1) Semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapat
dalam rapat komisi penilai.
(2) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan
tanggapan dari masyarakat dalam proses penentuan ruang lingkup
kajian ANDAL.
(3) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat komisi penilai
dapat memberikan masukan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah hari rapat komisi penilai.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai
dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai
dan dituangkan dalam berita acara rapat penilaian.
(5) Dalam melaksanakan penilaian, komisi penilai wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).

Paragraf 4
Perbaikan oleh Pemrakarsa

Pasal 27
(1) Pemrakarsa wajib menanggapi dan menyempurnakan KA
berdasarkan hasil penilaian komisi penilai dan menyerahkan
kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat komisi penilai
sebagaimana yang ditetapkan dalam berita acara rapat penilaian
atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak hari dan
tanggal berita acara rapat penilaian komisi penilai diterima.
(2) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan perbaikan

13
berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi setelah mendengarkan
saran-saran tim teknis berhak meminta pemrakarsa untuk
memperbaiki kembali dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja.
(3) Waktu yang digunakan oleh pemrakarsa untuk menanggapi dan
menyempurnakan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), tidak termasuk dalam hitungan 75 (tujuh puluh lima) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5).
(4) Dalam hal pemrakarsa tidak menanggapi dan menyempurnakan KA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya dokumen dimaksud
kepada pemrakarsa oleh komisi penilai untuk dilakukan
penyempurnaan, dokumen KA tersebut dinyatakan kadaluarsa.

Paragraf 5
Penolakan

Pasal 28
Dalam hal rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan
terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan dan/atau peraturan
perundang-undangan, komisi penilai wajib menolak KA dimaksud.

Paragraf 6
Keputusan

Pasal 29
(1) Keputusan kesepakatan KA diterbitkan oleh:
a. Menteri untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat;
b. gubernur untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
provinsi; dan
c. bupati/walikota untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Penerbitan keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempertimbangkan hasil rapat penilaian
komisi penilai.
(3) Keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat kesepakatan tentang ruang lingkup kajian ANDAL yang
akan dilaksanakan.

Paragraf 7
Penyampaian Salinan Keputusan dan Publikasi

Pasal 30
(1) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang
penilaiannya dilakukan komisi penilai pusat disampaikan oleh
Menteri kepada:
a. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;

14
b. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
c. gubernur yang bersangkutan;
d. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
e. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
f. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(2) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai provinsi disampaikan
oleh gubernur kepada:
a. Menteri;
b. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
d. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
e. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(3) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang
penilaiannya dilakukan komisi penilai kabupaten/kota
disampaikan oleh bupati/walikota kepada:
a. gubernur yang bersangkutan;
b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota;
d. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota;
(4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota menjamin keputusan
kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) beserta dokumennya dapat diakses oleh masyarakat.

Bagian Kedua
Penilaian Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL

Paragraf 1
Prosedur Penerimaan Dokumen

Pasal 31
(1) ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh:
a. komisi penilai pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Menteri
melalui sekretariat komisi penilai pusat;
b. komisi penilai provinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada
gubernur melalui sekretariat komisi penilai provinsi;
c. komisi penilai kabupaten/kota, diajukan oleh pemrakarsa
kepada bupati/walikota melalui sekretariat komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Sekretariat komisi penilai memeriksa kelengkapan administrasi
dokumen ANDAL, RKL, dan RPL.
(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan
kepada pemrakarsa terhadap dokumen ANDAL, RKL, dan RPL yang
telah memenuhi kelengkapan administrasi dan sudah digandakan

15
sejumlah anggota komisi penilai yang diundang.
(4) Tanda bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilengkapi dengan hari dan tanggal penerimaan dokumen.
(5) Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dilakukan penilaian dan pengambilan keputusan atas hasil
penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung
sejak tanggal tanda bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).

Paragraf 2
Penilaian oleh Tim Teknis

Pasal 32
(1) Tim teknis melakukan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL atas
permintaan ketua komisi penilai.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat tim teknis yang dipimpin oleh ketua tim teknis.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat tim
teknis paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal ketua tim teknis tidak dapat memimpin rapat tim teknis
ANDAL, RKL, dan RPL, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk
oleh ketua tim teknis.
(5) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat
oleh petugas dari sekretariat komisi penilai.
(6) Hasil penilaian ANDAL, RKL, dan RPL oleh tim teknis disampaikan
pada rapat komisi penilai.

Paragraf 3
Penilaian oleh Komisi Penilai

Pasal 33
(1) Ketua komisi penilai mengundang anggota untuk menilai ANDAL,
RKL, dan RPL.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat komisi penilai yang dipimpin oleh ketua komisi
penilai.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat komisi
penilai paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi
penilai, rapat dipimpin oleh sekretaris komisi penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat
memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh anggota yang
ditunjuk secara tertulis oleh ketua komisi.

Pasal 34
(1) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) wajib dihadiri oleh:

16
a. pemrakarsa atau wakil yang ditunjuk oleh pemrakarsa yang
memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan; dan
b. tim penyusun dokumen AMDAL.
(2) Dalam hal terdapat anggota tim penyusun dokumen AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat
menghadiri rapat tim teknis dan rapat komisi penilai, anggota tim
yang bersangkutan wajib menyampaikan surat keterangan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
(3) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai dapat dibatalkan oleh
pimpinan rapat apabila pemrakarsa dan/atau tim penyusun
dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir.

Pasal 35
(1) Semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapat
dalam rapat komisi penilai.
(2) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
(3) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat komisi penilai
dapat memberikan masukan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah hari rapat komisi penilai.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai
dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai
dan dituangkan dalam berita acara rapat penilaian.
(5) Dalam melaksanakan penilaian, komisi penilai wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).

Paragraf 4
Perbaikan oleh Pemrakarsa

Pasal 36
(1) Pemrakarsa wajib menanggapi dan menyempurnakan ANDAL, RKL,
dan RPL berdasarkan hasil penilaian komisi penilai dan
menyerahkan kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat
komisi penilai sebagaimana yang ditetapkan dalam berita acara
rapat penilaian atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak hari dan tanggal berita acara rapat penilaian komisi penilai
diterima.
(2) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan perbaikan
berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi penilai setelah
mendengarkan saran-saran tim teknis berhak meminta pemrakarsa
untuk memperbaiki kembali dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja.
(3) Waktu yang digunakan oleh pemrakarsa untuk menanggapi dan
menyempurnakan ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), tidak termasuk dalam hitungan 75
(tujuh puluh lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (5).

17
(4) Dalam hal pemrakarsa tidak menanggapi dan menyempurnakan
ANDAL, RKL dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
ayat (2), paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya
dokumen dimaksud kepada pemrakarsa oleh komisi penilai untuk
dilakukan penyempurnaan, dokumen ANDAL, RKL, dan RPL
dimaksud dinyatakan kadaluarsa.

Paragraf 5
Penyampaian Berita Acara Rapat
Penilaian dan Dokumen

Pasal 37
(1) Ketua komisi penilai menyampaikan berita acara rapat penilaian
dan dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) kepada:
a. Menteri, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi
penilai pusat;
b. gubernur, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi
penilai provinsi; dan
c. bupati/walikota, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh
komisi penilai kabupaten/kota.
(2) Berita acara dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan kelayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Paragraf 6
Keputusan

Pasal 38
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan diterbitkan oleh:
a. Menteri, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat;
b. gubernur, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
provinsi; dan
c. bupati/walikota, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan:
a. dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan; dan
b. pertimbangan terhadap saran, pendapat dan tanggapan yang
diajukan oleh warga masyarakat.

Pasal 39
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Menteri ini apabila:
a. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai
kabupaten/kota yang belum memiliki lisensi;

18
b. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai
kabupaten/kota yang lisensinya dicabut; dan/atau
c. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai pusat,
provinsi, atau kabupaten/kota yang melakukan penilaian tidak
sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12.
(2) Keputusan kelayakan lingkungan hidup dapat dibatalkan oleh
Menteri dan/atau gubernur apabila diterbitkan atas dasar
rekomendasi dari komisi penilai kabupaten/kota yang mengalami
perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan lisensi dan tidak dilakukan pemberitahuan secara
tertulis kepada instansi lingkungan hidup provinsi.

Paragraf 7
Penyampaian Salinan Keputusan dan Publikasi

Pasal 40
(1) Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL
beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai
pusat disampaikan oleh Menteri kepada:
a. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
b. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
c. gubernur yang bersangkutan;
d. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
e. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
f. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(2) Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL
beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai
provinsi disampaikan oleh gubernur kepada:
a. Menteri;
b. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
d. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
e. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(3) Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL
beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai
kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada:
a. gubernur yang bersangkutan;
b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota; dan
d. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota.

19
(4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota menjamin keputusan
kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) beserta dokumennya
dapat diakses oleh masyarakat.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 41
Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat
komisi penilai dibebankan pada:
a. anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi
penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai pusat;
b. anggaran instansi lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai,
tim teknis, dan sekretariat komisi penilai provinsi; dan
c. anggaran instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk komisi
penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai kabupaten/kota.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 42
Penilaian dokumen AMDAL suatu usaha dan/atau kegiatan yang
sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai pusat, provinsi atau
kabupaten/kota atau telah diajukan kepada Menteri, gubernur atau
bupati/walikota, namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10,
Pasal 11, dan Pasal 12, tetap dinilai oleh komisi penilai pusat, provinsi
atau kabupaten/kota sampai ditetapkannya keputusan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1994
tentang Pelingkupan;
2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 54 Tahun 1995
tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Terpadu/Multisektor dan Regional;
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 55 Tahun 1995
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 57 Tahun 1995
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha dan/atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor; dan

20
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 tahun 2000
tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 44
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 Juli 2008

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR.

Salian sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

21
Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERSIFAT STRATEGIS


DAN PERTAHANAN KEAMANAN YANG PENILAIANNYA DILAKUKAN OLEH
KOMISI PENILAI PUSAT

A. Bidang Pertahanan

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Pembangunan Pangkalan TNI AL Kelas A dan B
2. Pembangunan Pangkalan TNI AU Kelas A dan B
3. Pembangunan Pusat Latihan Tempur
- Luas > 10.000 ha

B. Bidang Perhubungan

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Pembangunan pelabuhan internasional
dengan salah satu fasilitas berikut:
a. Dermaga dengan bentuk konstruksi
sheet pile atau open pile
- Panjang, atau > 200 m
- Luas > 6.000 m2
b. Dermaga dengan konstruksi masif Semua besaran
c. Penahan gelombang (talud) dan/
atau pemecah gelombang (break
water) > 200 m
- Panjang
d. Prasarana pendukung pelabuhan
(terminal, gudang, peti kemas, dan
lain-lain) > 5 ha
- Luas
e. Single Point Mooring Boey
- Untuk kapal > 10.000 DWT
2. Pembangunan bandar udara Semua besaran
internasional baru beserta fasilitasnya kelompok bandar udara
(untuk fixed wing maupun rotary wing) (A, B, dan C) beserta
hasil studi rencana
induk yang telah
disetujui
3. Pengembangan bandar udara
internasional beserta salah satu
fasilitas berikut:
a. Landasan pacu
- Panjang > 200 m
b. Terminal penumpang atau terminal
kargo > 2000 m2
- Luas

22
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
c. Pengambilan air tanah ≥ 50 liter/detik
(dari 1 sumur sampai
dengan 5 sumur dalam
satu area < 10 ha)
4. Perluasan bandar udara internasional
beserta/atau fasilitasnya:
a. - Pemindahan penduduk, atau > 200 KK
- Pembebasan lahan > 100 ha
b. Reklamasi pantai:
- Luas, atau > 25 ha
- Volume urugan > 100.000 m3
c. Pemotongan bukit dan pengurugan
lahan dengan volume ≥ 500.000 m3

C. Bidang Teknologi Satelit

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Pembangunan fasilitas peluncuran Semua besaran
satelit

D. Bidang Perindustrian

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Industri amunisi dan bahan peledak Semua besaran

E. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS
A.
BUMI
1. Mineral, Batubara, dan Panas Bumi
yang berlokasi di hutan lindung:
- Luas perizinan (KP), atau ≥ 200 ha
- Luas daerah terbuka untuk ≥ 50 ha
pertambangan (kumulatif/tahun)
2. Tahap eksploitasi yang berlokasi di
hutan lindung:
a. Eksploitasi dan pengembangan uap ≥ 55 MW
panas bumi dan/atau
Pengembangan panas bumi
b. Batubara/gambut
- Kapasitas, dan/atau ≥ 1.000.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 4.000.000 ton
dipindahkan
c. Bijih Primer
- Kapasitas, dan/atau ≥ 400.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan

23
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial
- Kapasitas, dan/atau
- Jumlah material penutup yang ≥ 300.000 ton/tahun
dipindahkan ≥ 1.000.000 ton
e. Bahan galian bukan logam atau
bahan galian golongan C
- Kapasitas, dan/atau ≥ 250.000 m3/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
3. Tahap eksploitasi bahan galian Semua besaran
radioaktif, termasuk pengolahan,
penambangan dan pemurnian
4. Melakukan penempatan tailing di Semua besaran
bawah laut (Submarine Tailing Disposal)

B. MINYAK DAN GAS BUMI


1. Eksploitasi MIGAS dan Pengembangan
Produksi:
a. Di darat: ≥ 5.000 BOPD
- Lapangan minyak ≥ 30 MMSCFD
- Lapangan gas
b. Di laut
- Lapangan Minyak ≥ 15.000 BOPD
- Lapangan Gas ≥ 90 MMSCFD
jumlah total lapangan
semua sumur
2. Transmisi MIGAS di laut
- Panjang, atau ≥ 100 km
- Bertekanan ≥ 16 bar
3. Pembangunan kilang:
- LPG ≥ 50 MMSCFD
- LNG ≥ 550 MMSCFD
- Minyak ≥ 10.000 BOPD
4. Kilang minyak pelumas bekas ≥ 10.000 ton/tahun
(termasuk fasilitas penunjang)

F. Bidang Pengembangan Nuklir

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Pembangunan dan pengoperasian
reaktor nuklir:
a. Reaktor Penelitian
- Daya > 100 kW
b. Reaktor Daya (PLTN) Semua instalasi
2. Pembangunan dan pengoperasian
instalasi nuklir non reaktor
a. Fabrikasi bahan bakar nuklir
- Produksi > 125 elemen
bakar/tahun

24
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
b. Pengolahan dan pemurnian
uranium > 100 ton yellow cake/
- Produksi tahun
c. Pengelolaan limbah radioaktif Semua instalasi
(mencakup penghasil, penyimpan,
dan pengolahan)
d. Pembangunan Iradiator (Kategori II
s/d IV)
- Aktivitas sumber > 37.000 TBq (100.000
Ci)
e. Produksi Radioisotop Semua instalasi

G. Bidang Pengelolaan Limbah B3

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Setiap kegiatan pengolahan limbah B3
sebagai kegiatan utama.
- Pengolahan dengan insinerator. Semua besaran
- Pengolahan secara biologis (land Semua besaran
farming, biopile, composting,
bioventing, biosparging, bioslurping,
alternate electron acceptors,
fitoremediasi).
2. Setiap kegiatan penimbunan limbah B3 Semua besaran
sebagai kegiatan utama.

H. Bidang Rekayasa Genetika

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Introduksi jenis-jenis tanaman, hewan, Semua besaran
dan jasad renik produk bioteknologi
hasil rekayasa genetika
2. Budidaya produk bioteknologi hasil Semua besaran
rekayasa genetika

Catatan:
1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL tersebut di
atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai perubahan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

Salinan sesuai dengan aslinya RACHMAT WITOELAR.


Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

25
Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERSIFAT STRATEGIS


YANG PENILAIANNYA DILAKUKAN OLEH KOMISI PENILAI PROVINSI

A. Bidang Kehutanan

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
a. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Semua besaran
Kayu (UPHHK) dari Hutan Alam(HA)
b. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan > 5.000 ha/etat
Kayu (UPHHK) dari Hutan Tanaman
(HT)

B. Bidang Perhubungan

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Pembangunan pelabuhan nasional
dan/atau regional dengan salah satu
fasilitas berikut:
a. Dermaga dengan bentuk konstruksi
sheet pile atau open pile
- Panjang, atau > 200 m
- Luas > 6.000 m2
b. Dermaga dengan konstruksi masif Semua besaran
c. Penahan gelombang (talud) dan/
atau pemecah gelombang (break
water) > 200 m
- Panjang
d. Prasarana pendukung pelabuhan
(terminal, gudang, peti kemas, dan
lain-lain) > 5 ha
- Luas
e. Single Point Mooring Boey
- Untuk kapal > 10.000 DWT
2. Pembangunan bandar udara baru di Semua besaran
luar kategori internasional beserta kelompok bandar udara
fasilitasnya (untuk fixed wing maupun (A, B, dan C) beserta
rotary wing) hasil studi rencana
induk yang telah
disetujui
3. Pengembangan bandar udara di luar
kategori internasional beserta salah
satu fasilitas berikut:
a. Landasan pacu
- Panjang > 200 m
b. Terminal penumpang atau terminal
kargo > 2000 m2

26
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
- Luas

c. Pengambilan air tanah ≥ 50 liter/detik


(dari 1 sumur sampai
dengan 5 sumur dalam
satu area < 10 ha)
4. Perluasan bandar udara di luar
kategori internasional beserta/atau
fasilitasnya:
a. - Pemindahan penduduk, atau > 200 KK
- Pembebasan lahan > 100 ha
b. Reklamasi pantai:
- Luas, atau > 25 ha
- Volume urugan > 100.000 m3
c. Pemotongan bukit dan pengurugan
lahan dengan volume ≥ 500.000 m3

C. Bidang Perindustrian

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Industri pulp atau industri kertas yang Semua besaran
terintegrasi dengan industri pulp,
kecuali pulp dari kertas bekas dan
pulp untuk kertas budaya
2. Industri petrokimia hulu Semua besaran

D. Bidang Pekerjaan Umum

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


1. Pembangunan Bendungan/Waduk
atau Jenis Tampungan Air lainnya:
- Tinggi, atau > 15 m
- Luas genangan > 200 ha

E. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


A. LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI
1. Pembangunan PLTA dengan:
- Tinggi bendung, atau ≥ 15 m
- Luas genangan ≥ 200 ha
2. Pembangunan pembangkit listrik dari ≥ 10 MW
Gambut

F. Bidang Pengelolaan Limbah B3

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Setiap kegiatan pengumpulan limbah Semua besaran
B3 skala provinsi sebagai kegiatan
utama, tidak termasuk kegiatan skala

27
No. Jenis Kegiatan Skala/besaran
kecil seperti pengumpul minyak kotor
dan slope oil, timah dan flux solder,
minyak pelumas bekas, aki bekas,
solvent bekas, limbah kaca
terkontaminasi limbah B3.
2. Setiap kegiatan pemanfaatan limbah Semua besaran
B3 sebagai kegiatan utama.

Catatan:

1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib


dilengkapi AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis
Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai
perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang
Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

Salian sesuai dengan aslinya RACHMAT WITOELAR.


Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

28
Lampiran III
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG BERSIFAT STRATEGIS


YANG PENILAIANNYA DILAKUKAN OLEH KOMISI PENILAI KABUPATEN/KOTA

A. Bidang Perhubungan

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Pembangunan pelabuhan lokal dengan
salah satu fasilitas berikut:
a. Dermaga dengan bentuk konstruksi
sheet pile atau open pile
- Panjang, atau > 200 m
- Luas > 6.000 m2
b. Dermaga dengan konstruksi masif Semua besaran
c. Penahan gelombang (talud) dan/
atau pemecah gelombang (break
water) > 200 m
- Panjang
d. Prasarana pendukung pelabuhan
(terminal, gudang, peti kemas, dan
lain-lain) > 5 ha
- Luas
e. Single Point Mooring Boey
- Untuk kapal > 10.000 DWT

B. Bidang Perindustrian

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Industri semen (yang dibuat melalui Semua besaran
produksi klinker)
2. Kawasan Industri (termasuk komplek Semua besaran
industri yang terintegrasi)
3. Industri galangan kapal dengan sistem Semua besaran
graving dock

C. Bidang Pekerjaan Umum

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Pembangunan Jalan Tol Semua besaran

D. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral

No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran


MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS
A.
BUMI
1. Mineral, Batubara, dan Panas Bumi

29
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
yang berlokasi di luar hutan lindung:
- Luas perizinan (KP), atau ≥ 200 ha
- Luas daerah terbuka untuk ≥ 50 ha
pertambangan (kumulatif/tahun)
2. Tahap eksploitasi yang berlokasi di luar
hutan lindung:
a. Eksploitasi dan pengembangan uap ≥ 55 MW
panas bumi dan/atau
Pengembangan panas bumi
b. Batubara/gambut
- Kapasitas, dan/atau ≥ 1.000.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 4.000.000 ton
dipindahkan
c. Bijih Primer
- Kapasitas, dan/atau ≥ 400.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial
- Kapasitas, dan/atau ≥ 300.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
e. Tambang di laut Semua besaran

B. LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI


1. Pembangunan jaringan transmisi > 150 kV
2. a. Pembangunan ≥ 100 MW (dalam satu
PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU lokasi)
b. Pembangunan PLTP (pengembangan ≥ 55 MW
Panas Bumi)
c. Pembangunan PLTA dengan ≥ 50 MW
Kapasitas daya (aliran langsung)
d. Pembangunan pembangkit listrik ≥ 10 MW
dari jenis lain (antara lain: OTEC
(Ocean Thermal Energy Conversion),
Surya, Angin, Biomassa, dan lain-
lain)

E. Bidang Pengelolaan Limbah B3

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Setiap kegiatan pengumpulan limbah Semua besaran
B3 skala kabupaten/kota sebagai
kegiatan utama, tidak termasuk
kegiatan skala kecil seperti
pengumpul minyak kotor dan slope oil,
timah dan flux solder, minyak pelumas
bekas, aki bekas, solvent bekas, limbah
kaca terkontaminasi limbah B3.

30
Catatan:

1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi


AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai
perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun
2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR.

Salian sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

31
Lampiran IV
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008

JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG MERUPAKAN


KEWENANGAN KOMISI PENILAI KABUPATEN/KOTA

A. Bidang Pertanian

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


Budidaya tanaman pangan dan
1.
hortikultura
a. Semusim dengan atau tanpa unit
pengolahannya
- Luas > 2.000 ha
b. Tahunan dengan atau tanpa unit
pengolahannya
- Luas > 5.000 ha
2. Budidaya tanaman perkebunan
a. Semusim dengan atau tanpa unit
pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya non > 3.000 ha
kehutanan, luas
- Dalam kawasan budidaya Semua besaran
kehutanan, luas
b. Tahunan dengan atau tanpa unit
pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya non
kehutanan, luas > 3.000 ha
- Dalam kawasan budidaya
kehutanan, luas Semua besaran

B. Bidang Perikanan

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Usaha budidaya perikanan
a. Budidaya tambak udang/ikan
tingkat teknologi maju dan madya
dengan atau tanpa unit
pengolahannya > 50 ha
- Luas
b. Usaha budidaya perikanan
terapung (jaring apung dan pen
system):
- Di air tawar (danau) > 2,5 ha
ƒ Luas, atau > 500 unit
ƒ Jumlah
- Di air laut
ƒ Luas, atau > 5 ha
ƒ Jumlah > 1.000 unit

32
C. Bidang Perhubungan

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Pembangunan Jaringan Jalan Kereta
Api > 25 km
- Panjang
2. Konstruksi bangunan jalan rel di Semua besaran
bawah permukaan tanah
3. Pembangunan terminal terpadu Moda
dan Fungsi
- Luas ≥ 2 ha
4. a. Pengerukan perairan dengan
Capital Dredging
- Volume > 500.000 m3
b. Pengerukan perairan sungai Semua besaran
dan/atau laut dengan capital
dredging yang memotong material
karang dan/atau batu
5. Reklamasi (pengurugan):
- Luas, atau > 25 ha
- Volume > 500.000 m3
6. Kegiatan penempatan hasil keruk
(dumping) di darat:
- Volume, atau > 500.000 m3
- Luas area dumping > 5 ha

D. Bidang Perindustrian

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Kegiatan industri yang tidak termasuk
termasuk kegiatan industri wajib
AMDAL yang menggunakan areal:
a. Urban:
- Metropolitan, luas > 5 ha
- Kota besar, luas > 10 ha
- Kota sedang, luas > 15 ha
- Kota kecil, luas > 20 ha
b. Rural/pedesaan, luas > 30 ha

E. Bidang Pekerjaan Umum

No Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. Daerah Irigasi
a. Pembangunan baru dengan luas > 2.000 ha
b. Peningkatan dengan luas tambahan > 1.000 ha
c. Pencetakan sawah, luas > 500 ha
(perkelompok)
2. Pengembangan Rawa:
Reklamasi rawa untuk kepentingan > 1.000 ha
irigasi

33
No Jenis Kegiatan Skala/besaran
3. Pembangunan Pengaman Pantai dan
perbaikan muara sungai:
- Jarak dihitung tegak lurus pantai > 500 m
4. Normalisasi Sungai (termasuk sodetan)
dan Pembuatan Kanal Banjir
a. Kota besar/metropolitan
- Panjang, atau > 5 km
- Volume pengerukan > 500.000 m3
b. Kota sedang
- Panjang, atau > 10 km
- Volume pengerukan > 500.000 m3
c. Pedesaan
- Panjang, atau > 15 km
- Volume pengerukan > 500.000 m3
5. Pembangunan dan/atau peningkatan
jalan dengan pelebaran yang
membutuhkan pengadaan tanah
a. Kota besar/metropolitan
- Panjang, atau > 5 km
- Pembebasan lahan > 5 ha
b. Kota sedang
- Panjang, atau ≥ 10 km
- Pembebasan lahan ≥ 10 ha
c. Pedesaan
- Panjang, atau ≥ 30 km
- Pembebasan lahan ≥ 30 ha
6. a. Pembangunan subway/underpass, > 2 km
terowongan/tunnel
b. Pembangunan jembatan > 500 m
7. Persampahan
a. Pembangunan TPA sampah domestik
Pembuangan dengan sistem control
landfill/ sanitary landfill termasuk
instalasi penunjangnnya
- Luas kawasan TPA, atau > 10 ha
- Kapasitas total > 10.000 ton
b. TPA di daerah pasang surut,
- Luas landfill, atau > 5 ha
- Kapasitas total > 5.000 ton
c. Pembangunan transfer station
- Kapasitas > 1.000 ton/hari
d. Pembangunan Instalasi Pengolahan
sampah terpadu
- Kapasitas ≥ 500 ton/hari
e. Pengolahan dengan insinerator
- Kapasitas ≥ 500 ton/hari
f. Composting Plant
- Kapasitas ≥ 100 ton/hari
g. Transportasi sampah dengan kereta
api ≥ 500 ton/hari
- Kapasitas

34
No Jenis Kegiatan Skala/besaran
8. Pembangunan
Perumahan/Permukiman > 25 ha
a. Kota metropolitan, luas > 50 ha
b. Kota besar, luas > 100 ha
c. Kota sedang dan kecil, luas
9. Air Limbah Domestik
a. Pembangunan Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPLT), termasuk
fasilitas penunjangnya
- Luas, atau ≥ 2 ha
- Kapasitasnya ≥ 11 m3/hari
Pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) limbah domestik
termasuk fasilitas penunjangnya
- Luas, atau ≥ 3 ha
- Beban organik ≥ 2,4 ton/hari
b. Pembangunan sistem perpipaan air
limbah, luas layanan
- Luas layanan, atau ≥ 500 ha
- Debit air limbah ≥ 16.000 m3/hari
10. Pembangunan saluran drainase (primer
dan/atau sekunder) di permukiman
a. kota besar/ metropolitan, panjang ≥ 5 km
b. kota sedang, panjang ≥ 10 km
11. Jaringan air bersih di kota
besar/metropolitan
a. Pembangunan jaringan distribusi
- Luas layanan > 500 ha
b. Pembangunan jaringan transmisi
- Panjang > 10 km
12. Pengambilan air dari danau, sungai,
mata air permukaan, atau sumber air
permukaan lainnya
- Debit pengambilan > 250 l/dt
13. Pembangunan Pusat Perkantoran,
Pendidikan, Olahraga, Kesenian,
Tempat Ibadah, Pusat perdagangan/
perbelanjaan relatif terkonsentrasi
- Luas lahan, atau > 5 ha
- Bangunan >10.000 m2
14. Pembangunan kawasan pemukiman
untuk pemindahan
penduduk/transmigrasi (Pemukiman
Transmigrasi Baru Pola Tanaman
Pangan) > 2000 ha
- Luas lahan

35
F. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


MINERAL, BATUBARA, DAN PANAS
A.
BUMI
1. Bahan galian bukan logam atau bahan
galian golongan C
- Kapasitas, dan/atau ≥ 250.000 m3/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
2. Pengambilan air bawah tanah (sumur ≥ 50 liter/detik (dari 1
tanah dangkal, sumur tanah dalam, sumur sampai dengan
dan mata air) 5 sumur dalam satu
area < 10 ha)
3. Melakukan pengolahan bijih dengan Semua besaran
proses sianidasi atau amalgamasi

G. Bidang Pariwisata

No. Jenis Kegiatan Skala/besaran


1. a. Kawasan Pariwisata Semua besaran
b. Taman Rekreasi > 100 ha
2. Lapangan golf (tidak termasuk driving Semua besaran
range)

Catatan:

1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi


AMDAL tersebut di atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai
perubahan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun
2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR.

Salian sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

36
SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 06 TAHUN 2008
TENTANG
TATA LAKSANA LISENSI KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN/KOTA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan


penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang
menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan Pasal 9
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota dilakukan sesuai dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup;
b. bahwa kualitas dan kapasitas komisi penilai analisis
mengenai dampak lingkungan hidup kabupaten/kota dalam
melakukan penilaian dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup yang menjadi kewenangannya belum
memadai;
c. bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas dan
kapasitas komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam
huruf b perlu dilakukan standarisasi komisi penilai analisis
mengenai dampak lingkungan hidup kabupaten/kota
melalui pemberian lisensi sebagai persyaratan untuk dapat
melakukan penilaian dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata
Laksana Lisensi Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);

1
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2006;
7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05
Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG TATA LAKSANA LISENSI KOMISI PENILAI ANALISIS
MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
KABUPATEN/KOTA.
2
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
2. Lisensi adalah tanda bukti telah dipenuhinya persyaratan lisensi komisi
penilai AMDAL kabupaten/kota untuk dapat melakukan penilaian
dokumen AMDAL.
3. Tata laksana lisensi adalah serangkaian kegiatan yang meliputi
permohonan, verifikasi, penerbitan, dan pencabutan lisensi.
4. Komisi penilai AMDAL kabupaten/kota yang selanjutnya disebut komisi
penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL sesuai
dengan kewenangannya.
5. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup
kabupaten/kota.
6. Instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup
provinsi.
7. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup.

BAB II
PERSYARATAN LISENSI KOMISI PENILAI

Pasal 2
(1) Komisi penilai wajib memiliki lisensi yang diterbitkan oleh instansi
lingkungan hidup provinsi.
(2) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. ketua komisi penilai dipimpin oleh pejabat minimal setingkat eselon II;
b. memiliki sekretariat komisi penilai yang berkedudukan di instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota;
c. memiliki tim teknis dengan sumber daya manusia yang telah lulus
pelatihan penyusunan AMDAL paling sedikit 2 (dua) orang, dan
pelatihan penilaian AMDAL paling sedikit 3 (tiga) orang;
d. keanggotaan komisi penilai minimal mencakup tenaga ahli di bidang
biogeofisik-kimia, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, perencanaan
pembangunan wilayah, dan lingkungan hidup;
e. adanya organisasi lingkungan hidup atau lembaga swadaya
masyarakat sebagai salah satu anggota komisi penilai; dan
3
f. adanya kerjasama dengan laboratorium yang terakreditasi, atau yang
mempunyai kemampuan menguji contoh uji kualitas lingkungan
hidup, paling sedikit untuk parameter air dan udara.

BAB III
TATA LAKSANA LISENSI KOMISI PENILAI

Pasal 3
(1) Komisi penilai wajib memiliki lisensi sebagai persyaratan untuk dapat
melakukan penilaian dokumen AMDAL.
(2) Lisensi komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
instansi lingkungan hidup provinsi dengan dibantu oleh tim terpadu yang
terdiri atas:
a. wakil dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional setempat;
b. wakil dari instansi yang melakukan penunjukkan dan/atau
memberikan rekomendasi terhadap laboratorium lingkungan; dan
c. wakil dari pusat studi lingkungan perguruan tinggi setempat.

Pasal 4
(1) Instansi lingkungan hidup provinsi dalam memberikan lisensi dilakukan
sesuai dengan tata laksana lisensi komisi penilai.
(2) Tata laksana lisensi komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada bagan alir tata laksana lisensi komisi penilai
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 5
(1) Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota mengajukan permohonan
lisensi kepada instansi lingkungan hidup provinsi dengan menggunakan
formulir permohonan lisensi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(2) Berkas permohonan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan surat pernyataan dari kabupaten/kota yang menyatakan
keabsahan dari kelengkapan dokumen dimaksud.
(3) Instansi lingkungan hidup provinsi memberikan tanda bukti penerimaan
permohonan lisensi dengan mencantumkan hari dan tanggal diterimanya
berkas permohonan lisensi.

Pasal 6
(1) Berkas permohonan lisensi diverifikasi oleh instansi lingkungan hidup
provinsi dengan dibantu oleh tim terpadu.
(2) Berkas permohonan lisensi yang telah memenuhi persyaratan
administrasi, apabila dipandang perlu dilakukan verifikasi lapangan oleh
instansi lingkungan hidup provinsi dengan dibantu oleh tim terpadu.

4
(3) Instansi lingkungan hidup provinsi dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal yang tertera dalam tanda
bukti diterimanya permohonan lisensi wajib:
a. menerbitkan lisensi kepada instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
yang telah memenuhi persyaratan lisensi; atau
b. mengeluarkan surat penolakan kepada instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang tidak memenuhi persyaratan lisensi.
(4) Bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang permohonannya
ditolak dapat mengajukan kembali permohonan lisensi.
(5) Dalam hal instansi lingkungan hidup provinsi tidak menerbitkan lisensi
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), komisi penilai
yang bersangkutan dianggap telah disetujui permohonannya dan memiliki
lisensi.
(6) Ketentuan mengenai format lisensi tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 7
(1) Lisensi berlaku selama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui.
(2) Permohonan pembaharuan lisensi diajukan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sebelum berakhirnya masa berlaku lisensi.

Pasal 8
(1) Komisi penilai yang telah memiliki lisensi wajib menyampaikan secara
tertulis setiap perubahan terhadap pemenuhan persyaratan lisensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada instansi lingkungan
hidup provinsi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak terjadinya
perubahan dimaksud.
(2) Instansi lingkungan hidup provinsi setelah menerima informasi secara
tertulis mengenai perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberikan kesempatan kepada komisi penilai untuk memenuhi
persyaratan lisensi dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 9
(1) Lisensi dapat dicabut, apabila:
a. terdapat bukti bahwa salah satu persyaratan dalam berkas
permohonan lisensi yang diajukan adalah palsu;
b. terjadi perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan lisensi dan perubahan tersebut tidak diberitahukan secara
tertulis kepada instansi lingkungan hidup provinsi;
c. dalam waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) persyaratan lisensi tidak dipenuhi; dan/atau
d. setelah dilakukan pembinaan dan pengawasan minimal selama 1 (satu)
tahun oleh gubernur dan/atau Menteri ditemukan 5 (lima) dokumen
AMDAL yang telah ditetapkan kelayakan lingkungan hidupnya
berkualitas buruk sampai sangat buruk berdasarkan uji mutu
dokumen AMDAL dan/atau melanggar administrasi proses AMDAL.

5
(2) Pencabutan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
tertulis oleh instansi lingkungan hidup provinsi.
(3) Dalam hal lisensi komisi penilai dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dapat mengajukan kembali
permohonan lisensi.

Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pada proses lisensi, bupati/walikota
dapat menyampaikan pengaduan kepada Menteri.
(2) Menteri melakukan verifikasi atas pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
(3) Menteri mengeluarkan keputusan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. perintah kepada provinsi untuk menerbitkan lisensi;
b. persetujuan atas penolakan yang dilakukan oleh provinsi; atau
c. teguran terhadap provinsi atau kabupaten/kota atas penyimpangan
pada proses lisensi.

BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 11
(1) Untuk mendorong terbentuknya komisi penilai yang memenuhi
persyaratan lisensi, peningkatan kapasitas komisi penilai yang telah
memiliki lisensi, dan pembaharuan lisensi komisi penilai, dilakukan
pembinaan dan pengawasan oleh gubernur dan/atau Menteri.
(2) Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh gubernur dan/atau
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a . mutu dokumen AMDAL; dan
b . administrasi proses AMDAL.
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap mutu dokumen AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a . kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan; dan
b . konsistensi, keharusan, relevansi dan kedalaman mutu dokumen
AMDAL.
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi proses AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. proses dan waktu keterlibatan masyarakat dan keterbukaan
informasi dalam proses AMDAL;
b. persyaratan administrasi dokumen AMDAL meliputi persyaratan tim
penyusun AMDAL dan kesesuaian format dokumen AMDAL;
c. proses dan prosedur pelaksanaan penilaian AMDAL; dan

6
d. keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dari
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
(5) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan Menteri
yang mengatur pembinaan dan pengawasan komisi penilai.

Pasal 12
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap instansi
lingkungan hidup provinsi dalam melakukan proses pemberian lisensi
komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tata laksana
lisensi komisi penilai sesuai dengan kewenangannya.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 13
(1) Biaya untuk pelaksanaan proses penerbitan lisensi komisi penilai
dibebankan pada anggaran instansi lingkungan hidup provinsi.
(2) Biaya untuk proses pemenuhan persyaratan lisensi komisi penilai
dibebankan pada anggaran instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(3) Biaya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan oleh gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dan Pasal 12 ayat (2) dibebankan
pada anggaran instansi lingkungan hidup provinsi.
(4) Biaya pelaksanaan verifikasi pengaduan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2), biaya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan oleh
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dan Pasal 12 ayat (1)
dibebankan pada anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 14
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

7
Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal
ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 Juli 2008

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

8
Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 06 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
BAGAN ALIR TATA LAKSANA LISENSI KOMISI PENILAI

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

Salian sesuai dengan aslinya RACHMAT WITOELAR.


Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

9
Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 06 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008

FORMULIR PERMOHONAN LISENSI

No. PERSYARATAN ADMINISTRASI LAMPIRAN*)


1. a. Ketua komisi penilai. a. Surat keputusan pengangkatan sebagai
b. Kelembagaan instansi pejabat eselon II.
lingkungan hidup b. Peraturan daerah dan/atau surat
kabupaten/kota. keputusan bupati/walikota mengenai
pembentukan instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota.
c. Surat keputusan pembentukan komisi
penilai.
2. Sekretariat berkedudukan di a. Foto ruangan dan peralatan untuk
instansi lingkungan hidup penyelenggaraan rapat penilaian
kabupaten/kota dokumen AMDAL.
b. Beberapa standard operating procedure
(SOP) terkait pelaksanaan tugas dan
fungsi sekretariat komisi penilai.
3. Tim teknis beranggotakan a. Surat keputusan pembentukan tim
setidaknya sumber daya manusia teknis.
bersertifikat: b. Sertifikat pelatihan AMDAL penyusun
a. AMDAL Penyusun (2 orang). dan penilai.
b. AMDAL Penilai (3 orang).
4. Ketersediaan tenaga ahli: Surat penyataan kesediaan menjadi tenaga
a. Biogeofisik-kimia. ahli dari masing-masing ahli bersangkutan.
b. Ekonomi, sosial & budaya.
c. Kesehatan.
d. Perencanaan pembangunan.
5. Ketersediaan organisasi a. Surat pernyataan dari organisasi
lingkungan atau lembaga swadaya lingkungan atau lembaga swadaya
masyarakat masyarakat yang bersedia untuk
dilibatkan dalam proses AMDAL.
b. Anggaran dasar/anggaran rumah tangga
organisasi lingkungan atau lembaga
swadaya masyarakat bersangkutan.
6. Kerjasama dengan laboratorium a. Surat pernyataan kerjasama antara
lingkungan. laboratorium lingkungan dengan
instansi di bidang lingkungan hidup
kabupaten/kota, atau
b. Bukti kepemilikan laboratorium
lingkungan.
Catatan:
*) Lampiran dapat disesuaikan dengan kebutuhan data untuk proses lisensi.

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
Salian sesuai dengan aslinya RACHMAT WITOELAR.
Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

10
Lampiran III
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 06 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008

KETENTUAN MENGENAI FORMAT LISENSI (CONTOH)

dengan warna dasar


NAMAHIJAU MUDA.
INSTANSI LINGKUNGAN HIDUP
PROVINSI........................

LISENSI
Logo Nomor :..........
Provinsi
Diberikan kepada:

Komisi Penilai AMDAL Kabupaten/Kota ..............

Bukti ini menyatakan bahwa komisi penilai dimaksud telah memenuhi persyaratan lisensi dan
dapat melakukan proses penilaian AMDAL di wilayah kerjanya. Bukti lisensi ini berlaku selama
2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal ...... bulan ..... tahun ....... sampai dengan tanggal ......
bulan ..... tahun .......

Nama Kota, Tanggal,


Bulan, Tahun

Kepala (nama instansi


lingkungan hidup)
Provinsi ...............
Catatan:
Lisensi wajib diperbaharui setelah
masa berlaku lisensi habis
(..................................)

Halaman 1

Keterangan :
Latar belakang bukti lisensi berwarna dasar hijau muda

11
Lisensi diberikan berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan lisensi yang diterima tanggal ........
Bulan...........Tahun .............yang berisi lampiran:

No. PERSYARATAN
1 a. Ketua komisi penilai
b. Kelembagaan instansi di bidang lingkungan hidup kabupaten/kota
2 Sekretariat berkedudukan di instansi di bidang lingkungan hidup Kabupaten/Kota
3 Tim teknis beranggotakan setidaknya sumber daya manusia bersertifikat:
a. AMDAL Penyusun (2 orang)
b. AMDAL Penilai (3 orang)
4 Ketersediaan tenaga ahli:
a. Biogeofisik-kimia
b. Ekonomi, sosial & budaya
c. Kesehatan
d. Perencanaan pembangunan
5 Ketersediaan organisasi lingkungan atau lembaga swadaya masyarakat
6 Kerjasama dengan laboratorium lingkungan

Nama Kota, Tanggal,


Bulan, Tahun
Pemeriksa,

(....................................)

Halaman 2
Keterangan :
Latar belakang bukti lisensi berwarna dasar hijau muda

MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum,

ttd

Nadjib Dahlan, SH.


NIP. 180 002 198

12
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2000
TENTANG
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,


Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 9 dan Pasal 12 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, perlu
dibentuk Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim
Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 72; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 1/5


6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun
1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40
Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI
DAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP PUSAT.
Pertama : Susunan keanggotaan komisi penilai dan tim teknis Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat adalah
sebagaimana dimaksud dalam lampiran I dan II dalam
Keputusan ini.
Kedua : Setiap anggota komisi penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Pusat mempunyai kewenangan
pengambilan keputusan dari instansi/organisasi/masyarakat
yang diwakilinya.
Ketiga : Ketua komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup Pusat dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
Keempat : Ketua tim teknis dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Ketua komisi penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat.
Kelima : Anggota komisi penilai dan tim teknis dalam melaksanakan
tugasnya wajib memperhatikan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman
Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
Keenam : Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November
2000.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 2/5


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Nopember 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 3/5


LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TANGGAL : 6 Nopember 2000
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT
No. Jabatan/Instansi Kedudukan
1. Deputi Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Ketua merangkap anggota
yang membidangi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup
2. Kepala Direktorat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Sekretaris merangkap anggota
Hidup, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
3. Wakil dari Departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Anggota
Departemen yang membidangi usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan
4. Wakil dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Anggota
5. Wakil dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Anggota
6. Wakil dari Departemen Dalam Negeri Anggota
7. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang kesehatan Anggota
8. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertahanan Anggota
9. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang perencanaan Anggota
pembangunan nasional
10. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang penanaman modal Anggota
11. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertanahan Anggota
12. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan Anggota
13. Wakil dari departemen dan/atau lembaga pemerintah non Anggota
departemen yang terkait
14. Wakil dari Propinsi yang bersangkutan Anggota
15. Wakil dari Kabupaten/Kota yang bersangkutan Anggota
16. Ahli di bidang lingkungan hidup Anggota
17. Ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana usaha Anggota
dan/atau kegiatan
18. Wakil dari organisasi lingkungan hidup/ Lembaga Swadaya Anggota
Masyarakat sesuai dengan bidang usaha dan/atau
kegiatan yang dikaji
19. Wakil dari masyarakat terkena dampak Anggota
20. Anggota lain yang dianggap perlu Anggota

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 4/5


LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TANGGAL : 6 Nopember 2000
SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP PUSAT
No. Jabatan/Instansi Kedudukan
1. Ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau Ketua merangkap anggota
kegiatan yang paling dominan
2. Ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau Anggota
kegiatan yang bersangkutan lainnya
3. Ahli dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Anggota
4. Ahli lain di bidang ilmu yang terkait Anggota
5. Ahli lain di bidang kegiatan yang bersangkutan Anggota

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 5/5


Keputusan Kepala Bapedal No. 56 Tahun 1994
Tentang : Pedoman Mengenai Dampak Penting

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Menimbang :

Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993


tentang Analisis Dampak Lingkungan perlu ditetapkan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Mengenai
Ukuran Dampak Penting

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan (Lembaran Negara Nomor 12 Tahun
1982, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara RI Nomor 49
Tahun 1982, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara RI Nomor 115 Tahun 1992, Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 3501);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang analisis
Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Nomor 84 Tahun 1993,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3538);
5. Keputusan Presiden RI Nomor 23 Tahun 1990 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.

Memutuskan:

Menetapkan :
Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting

Pertama

Pedoaman Mengenai Ukuran Dampak Penting adalah sebagaimana


dimaksud dalam lampiran keputusan ini

Kedua

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan bilamana


dikemudian hari terdapat kekeliruan , maka keputusan ini akan ditinjau
kembali.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 18 Maret 1994

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

Ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 56 Tahun 1994 Tanggal 18 Maret 1994

PEDOMAN MENGENAI UKURAN DAMPAK PENTING

I. PENGERTIAN

1. Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat


mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan; Pasal 16
UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap rencana
kegiatan yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting
terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL.
2. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal
16 UU Nomor 4 Tahun 1982, dan Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51
Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor berikut:
a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak,
b. Luas wilayah persebaran dampak,
c. Lamanya dampak berlangsung,
d. Intensitas dampak,
e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena
dampak,
f. Sifat kumulatif dampak,
g. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak.
3. Masing-masing faktor sebagaimana dimaksud datam butir 2 tersebut
memiliki seperangkat kriteria dampak penting, yakni ukuran, standar
tertentu atau prinsip-prinsip tertentu. Ukuran dampak penting
tersebut digunakan untuk menilai apakah suatu rencana usaha atau
kegiatan dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan
atau tidak.
4. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting sebagaimana dimaksud
dalam Keputusan ini merupakan petunjuk dasar yang memberi arah
apakah suatu rencana usaha atau kegiatan mempunyai dampak
penting terhadap lingkungan.
5. Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting digunakan untuk
keperluan penapisan rencana usaha atau kegiatan dan penyusunan
Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), termasuk bagi keperluan
AMDAL kegiatan Terpadu/Multisektor, AMDAL kawasan dan AMDAL
Regional.
6. Untuk menentukan penting tidaknya dampak lingkungan akibat
dilaksanakannya suatu rencana usaha atau kegiatan perlu juga
diperhatikan peraturan perundangan yang berlaku baik di dalam
maupun diluar wilayah negara Republik Indonesia.
7. Suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan dibangun di kawasan
lindung yang telah berubah peruntukkannya atau lokasi rencana
usaha atau kegiatan tersebut berbatasan langsung dengan kawasan
lindung, termasuk dalam kategori menimbulkan dampak penting.
Yang dimaksud dengan kawasan lindung menurut Penjelasan Pasal 7
UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang adalah sebagai
berikut :
a. Kawasan Hutan Lindung
b. Kawasan Bergambut
c. Kawasan Resapan Air
d. Sempadan Pantai
e. Sempadan Sungai
f. Kawasan Sekitar Danau/Waduk
g. Kawasan Sekitar Mata Air
h. Kawasan Suaka Alam (terdiri dari Cagar Alam, Suaka
Margasatwa, Hutan Wisata, Daerah Perlindungan Plasma
Nutfah, dan Daerah Pengungsian Satwa)
i. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya (termasuk
perairan laut, perairan darat, wilayah pesisir, muara.sungai,
gugusan karang atau terumbu karang, dan atol yang
mempunyai ciri khas berupa keragaman dan/atau keunikan
ekosistem)
j. Kawasan Pantai Berhutan Bakau (mangrove)
k. Taman Nasional
l. Taman Hutan Raya
m. Taman Wisata Alam
n. Kawasan Cagar Budaya dan ilmu Pengetahuan (termasuk
daerah karst berair, daerah dengan budaya masyarakat
istimewa, daerah lokasi situs purbakala atau peninggalan
sejarah bernilai tinggi)
o. Kawasan Rawan Bencana Alam

II. UKURAN DAMPAK PENTING TERHADAP LINGKUNGAN

1. Ukuran dampak penting terhadap lingkungan, perlu disertai dengan


dasar pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan
berkaitan secara relatif dengan besar kecilnya rencana usaha
atau kegiatan, hasil guna dan daya gunanya, bila rencana
usaha atau kegiatan tersebut dilaksanakan.
b. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan
dapat pula didasarkan pada dampak usaha atau kegiatan
tersebut terhadap salah satu aspek lingkungan saja, atau
dapat juga terhadap kesatuan dan tata kaitannya dengan
aspek-aspek lingkungan lainnya dalam batas wilayah studi
yang telah ditentukan.
c. Bahwa penilaian pentingnya dampak terhadap lingkungan atas
dasar kemungkinan timbulnya dampak positif atau dampak
negatif tak boleh dipandang sebagai faktor yang masing-
masing berdiri sendiri, melainkan harus diperhitungkan
bobotnya guna dipertimbangkan hubungan timbal baliknya
untuk mengambil keputusan.
2. Pedoman mengenai ukuran dampak penting
a. Jumlah Manusia yang Akan Terkena Dampak
Setiap rencana usaha atau kegiatan mempunyai sasaran
sepanjang menyangkut jumlah manusia yang diperkirakan
akan menikmati manfaat dari rencana usaha atau kegiatan itu
bila nanti usaba atau kegiatan tersebut dilaksanakan.
Namun demikian, dampak lingkungan, baik yang bersikap
negatif maupun positif yang mungkin ditimbulkan oleh suatu
usaha atau kegiatan, dapat dialami oleh baik sejumlah manusia
yang termasuk maupun yang tak termasuk dalam sasaran
rencana usaha atau kegiatan.
Mengingat pengertian manusia yang akan terkena dampak
mencakup aspek yang luas, maka kriteria dampak penting
dikaitkan dengan sendi-sendi kehidupan yang dikalangan
masyarakat luas berada dalam posisi atau mempunyai nilai
yang penting.
Karena itu, dampak lingkungan suatu rencana usaha atau
kegiatan, yang penentuannya didasarkan pada perubahan
sendi-sendi kehidupan pada masyarakat tersebut dan jumlah
manusia yang terkena dampak menjadi penting bila manusia di
wilayah studi ANDAL yang terkena dampak lingkungan tetapi
tidak menikmati manfaat dari usaha atau kegiatan, jumlahnya
sama atau lebih besar dari jumlah manusia yang menikmati
manfaat dari usaha atau kegiatan di wilayah studi.
Adapun yang dimaksud dengan manfaat dari usaha atau
kegiatan adalah manusia yang secara langsung menikmati
produk suatu rencana usaha atau kegiatan dan atau yang
diserap secara langsung sebagai tenaga kerja pada rencana
usaha atau kegiatan.
b. Luas Wilayah Persebaran Dampak
Luas wilayah persebaran dampak merupakan salah satu faktor
yang dapat menentukannya pentingnya dampak terhadap
lingkungan.
Dengan demikian dampak lingkungan suatu rencana usaha
atau kegiatan bersifat penting bila : rencana usaha atau
kegiatan meng akibatkan adanya wilayah yang mengalami
perubahan mendasar dari segi intensitas dampak, atau tidak
berbaliknya dampak, atau segi kumulatif dampak.
c. Lamanya Dampak Berlangsung
Dampak lingkungan suatu rencana usaha atau kegiatan dapat
berlangsung pada suatu tahap tertentu atau pada berbagai
tahap dari kelangsungan usaha atau kegiatan.
Dengan kata lain dampak suatu usaha atau kegiatan ada yang
beriangsung relatif singkat, yakni hanya pada tahap tertentu
dari sikius usaha atau kegiatan (perencanaan, konstruksi,
operasi, pasca operasi); namun ada pula yang berlangsung
relatif lama, sejak tahap konstruksi hingga masa pasca operasi
usaha atau kegiatan.
Berdasarkan pengertian ini dampak lingkungan bersifat penting
bila : rencana usaha atau kegiatan mengakibatkan timbulnya
perubahan mendasar dari segi intensitas dampak atau tidak
berbaliknya dampak, atau segi kumulatif dampak yang
berlangsung hanya pada satu atau lebih tahapan kegiatan.

d. Intensitas Dampak
Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan
lingkungan yang timbul bersifat hebat, atau drastis.
Serta berlangsung di area yang relatif luas, dalam kurun waktu
yang relatif singkat. Dengan demikian dampak lingkungan
tergolong penting bila:

1. Rencana usaha atau kegiatan akan menyebabkan


perubahan pada sifat-sifat fisik dan atau hayati
lingkungan yang melampaui baku mutu lingkungan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Rencana usaha atau kegiatan akan menyebabkan
perubahan mendasar pada komponen lingkungan yang
melampaui kriteria yang diakui, berdasarkan
pertimbangan ilmiah.
3. Rencana usaha atau kegiatan akan mengakibatkan
spesies-spesies yang langka dan atau endemik, dan atau
dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku terancam punah; atau habitat alaminya
mangalami kerusakan.
4. Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan kerusakan
atau gangguan terhadap kawasan lindung (hutan
lindung, cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa,
dan sebagainya) yang telah ditetapkan menurut
peraturan perundang-undangan;
5. Rencana usaha atau kegiatan akan merusak atau
memusnahkan benda-benda dan bangunan peninggalan
sejarah, yang bernilai tinggi;
6. Rencana usaha atau kegiatan akan mengakibatkan
konflik atau kontroversi dengan masyarakat,
pemerintah, daerah, atau pemerintah pusat, dan atau
menimbulkan konflik atau kontroversi di kalangan
masyarakat, pemerintah daerah atau pemerintah pusat;
7. Rencana usaha atau kegiatan mengubah atau
memodifikasi areal yang mempunyai nilai keindahan
alami yang tinggi;

e. Banyaknya Komponen Lingkungan Lain Yang Terkena


Dampak
Mengingat komponen lingkungan hidup pada dasarnya tidak
ada yang berdiri sendiri, atau dengan kata lain satu sama
lain saling terkait dan pengaruh mempengaruhi, maka
dampak pada suatu komponen lingkungan umumnya
berdampak lanjut pada komponen lingkungan lainnya.
Atas dasar pengertian ini dampak tergolong penting bila:
Rencana usaha atau kegiatan menimbulkan dampak
sekunder dan dampak lanjutan lainnya yang jumlah
komponennya lebih atau sama dengan komponen
lingkungan yang terkena dampak primer.

f. Sifat Kumulatif Dampak


Kumulatif mengandung pengertian bersifat bertambah,
bertumpuk, atau bertimbun.
Dampak suatu usaha atau kegiatan dikatakan bersifat
kumulatif bila pada awalnya dampak tersebut tidak tampak
atau tidak dianggap penting, tetapi karena aktivitas tersebut
bekerja berulang kali atau terus menerus, maka lama
kelamaan dampaknya bersifat kumulatif.
Dengan demikian dampak suatu usaha atau kegiatan
tergolong penting bila:
1. Dampak lingkungan berlangsung berulang kali dan
terus menerus, sehingga pada kurun waktu tertentu
tidak dapat diasimilasi oleh lingkungan alam atau
sosial yang menerimanya;
2. Beragam dampak lingkungan bertumpuk dalam
suatu ruang tertentu, sehingga tidak dapat
diasimilasi oleh lingkungan alam atau sosial yang
menerimanya;
3. Dampak lingkungan dari berbagai sumber kegiatan
menimbulkan efek yang saling memperkuat
(sinergetik).

g. Berbalik atau Tidak Berbaliknya Dampak


Dampak kegiatan terhadap lingkungan ada yang bersifat
dapat dipulihkan, namun ada pula yang tidak dapat
dipulihkan walau dengan intervensi manusia sekalipun.
Dalam hal ini maka dampak bersifat penting bila :
Perubahan yang akan dialami oleh suatu komponen
lingkungan tidak dapat dipulihkan kembali walaupun dengan
intervensi manusia.

_________________________________
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 2 TAHUN 2000
TANGGAL : 21 PEBRUARI 2000

PANDUAN
PENILAIAN DOKUMEN AMDAL

BAB I. PENDAHULUAN

A. TUJUAN DAN FUNGSI PANDUAN

Panduan ini merupakan alat atau sarana kerja bagi para anggota Komisi Penilai AMDAL Pusat, Komisi Penilai
AMDAL Daerah dan aparatnya seperti Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL.

Panduan ini berfungsi sebagai acuan umum untuk menilai dokumen AMDAL di berbagai sektor pembangunan di
tingkat nasional dan daerah. Mengingat fungsinya hanya sebagai acuan umum, maka penilaian harus
memperhatikan berbagai panduan lainnya di bidang AMDAL.

Panduan disusun untuk menuntun para pemakainya dalam menilai dan mengevaluasi 2 (dua) aspek berikut:
1. Kelengkapan dokumen AMDAL;
2. Kualitas dokumen AMDAL yang dinilai.

B. SYARAT PENGGUNAAN PANDUAN

Ada 3 (tiga) syarat pokok yang harus dipenuhi apabila panduan ini ingin digunakan secara maksimal oleh para
penilai untuk mengevaluasi dokumen AMDAL, yakni:

1. Penilai dokumen AMDAL harus memenuhi salah satu atau lebih dari syarat berikut :
a. Sudah pernah menyusun dokumen AMDAL; dan/atau
b. Sudah memperoleh sertifikat kursus Penyusun AMDAL (AMDAL B), Kursus Penilai AMDAL atau kursus
yang sejenis; dan/atau
c. Berpendidikan sarjana/sederajat (terutama berlatar belakang masalah lingkungan atau ahli dalam
masalah AMDAL); dan/atau
d. Merupakan wakil masyarakat yang terkena dampak/pemerhati lingkungan.

2. Penilai harus memiliki dan menggunakan pedoman-pedoman atau panduan-panduan penyusunan AMDAL
yang berlaku, seperti antara lain: Panduan Kajian Aspek Sosial Dalam AMDAL.
3. Penilai dapat memahami maksud-maksud yang terkandung dalam panduan penilaian dokumen AMDAL ini
dan menggunakannya.

Dari tiga syarat pokok di atas tampak bahwa tingkat kemanfaatan panduan ini sangat ditentukan oleh kemampuan
pemakainya.

BAB II. PENILAIAN KERANGKA ACUAN (KA) ANDAL

A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI

Kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi antara lain:

a. Dokumen perijinan yang diperlukan sesuai dengan rencana kegiatan;


b. Surat Keputusan atau dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan untuk Izin Lokasi sesuai dengan
peruntukannya;
c. Peta-peta terkait, seperti antara lain: peta tata ruang, tata guna tanah, wilayah studi, peta rencana lokasi, peta
geologi, peta topografi, dan lain-lain;
d. Daftar keahlian/riwayat hidup para penyusun AMDAL beserta sertifikat kursus AMDAL yang pernah diikuti.

Apabila dokumen KA-ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka
dokumen tersebut siap dan layak untuk dinilai isinya. Sebaliknya apabila belum lengkap, maka pemrakarsa diminta
untuk melengkapi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. ISI DOKUMEN

1. Pendahuluan

Dalam Bab Pendahuluan perlu diperhatikan aspek-aspek sebagai berikut:

a. Uraian tentang tujuan dan kegunaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang memberi gambaran manfaat
terhadap pembangunan lokal, regional maupun nasional;
b. Peraturan perundangan beserta alasan penggunaannya sebagai acuan dalam penyusunan ANDAL.

2. Ruang lingkup studi

Aspek-aspek yang harus dinilai dalam ruang lingkup studi ini adalah kejelasan tentang:
a. Komponen rencana kegiatan yang harus dikaji;
b. Komponen lingkungan yang berpotensi terkena dampak;
c. Kegiatan lain di sekitarnya dan interaksinya dengan rencana kegiatan yang diusulkan;
d. Kerangka konseptual analisis dan isu-isu pokok yang harus dikaji sesuai dengan hasil pelingkupan yang
digambarkan antara lain dalam bentuk diagram alir, matrik, dan lain-lain;
e. Batas wilayah studi (spatial), baik batas proyek, batas ekologis, batas sosial maupun batas administrasi,
setelah mempertimbangkan berbagai kendala teknis dan kejelasan batas waktu sesuai dengan tahapan
kegiatannya.

3. Metode studi

Aspek-aspek yang harus dinilai dalam metode studi ini adalah kejelasan dan ketepatan tentang:

a. Metode pengumpulan dan analisis data:


- primer: lokasi, jumlah sampel (contoh) dan jenis alat beserta alasan-alasannya;
- sekunder: jenis dan sumber data;
b. Pengambilan contoh dan parameter yang akan diukur;
c. Penggunaan model matematis, analog, profesional judgement untuk prakiraan dampak penting;
d. Penggunaan metode-metode evaluasi dampak penting.

4. Pelaksanaan studi

Aspek-aspek yang harus dinilai dalam pelaksanaan studi ini adalah:

a. Identitas yang jelas mengenai pemrakarsa baik nama dan alamat instansi/perusahaan maupun
penanggungjawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan;

b. Pemenuhan persyaratan Ketua Tim Studi:


- memiliki sertifikat kursus AMDAL B/sederajat;
- memiliki keahlian yang sesuai dengan isu pokok;
- berpengalaman menyusun AMDAL sekurang-kurangnya 5 (lima) studi;
- Berpengalaman memimpin tim studi;

c. Pemenuhan persyaratan tim studi:


- sekurang-kurangnya satu anggota tim memiliki keahlian di bidang rencana kegiatan yang
bersangkutan;
- memiliki keahlian yang sesuai dengan isu pokok;

d. Biaya studi
Komponen yang harus dinilai minimal adalah prosentase jenis biaya yang dibutuhkan dalam penyusunan
studi;

e. Jadwal waktu pelaksanaan studi:


- Kejelasan tentang rencana pelaksanaan studi;
- Kejelasan dan ketepatan alokasi waktu yang sesuai dengan ruang lingkup studi.
5. Daftar pustaka

Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah sumber informasi yang berhubungan dengan:

a. Rencana usaha dan/atau kegiatan;


b. Metode-metode yang digunakan.

6. Lampiran

Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah keberadaan dan kelengkapan:

a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL (bilamana sudah ditentukan personilnya);
c. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung dokumen KA-ANDAL (misal: keputusan perijinan,
kuesioner yang menjadi bagian metode pelaksanaan studi, hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-
pihak yang terlibat, dan lain-lain).

BAB III. PENILAIAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP (ANDAL)

A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI

Kelengkapan administrasi yang harus dipenuhi mencakup:

a. Dokumen Kerangka Acuan (KA) ANDAL yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab;
b. Dokumen ANDAL dilengkapi dengan dokumen RKL, RPL, Ringkasan Eksekutif, dan Lampiran dalam
jumlah yang telah ditetapkan oleh Komisi Penilai AMDAL;
c. Persyaratan administrasi lainnya yang ditetapkan oleh Komisi Penilai AMDAL, seperti bukti telah
diterimanya dokumen ANDAL, RKL dan RPL.

Apabila dokumen ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka
dokumen tersebut siap dan layak untuk dinilai isinya, sebaliknya apabila belum lengkap, pemrakarsa harus
melengkapi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. ISI DOKUMEN

1. Pendahuluan

Aspek-aspek yang dinilai dalam pendahuluan adalah kejelasan dan kesesuaian:

a. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan studi
ANDAL. Berbagai peraturan perundangan yang dinilai antara lain: peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan, pertanahan, baku mutu lingkungan dan lain-lain.
Hal ini penting mengingat peraturan perundangan tersebut akan terkait erat dengan prediksi dan evaluasi
dampak penting serta pelaksanaan RKL/RPL;
b. Kejelasan pernyataan tujuan dan kegunaan studi ANDAL yang telah dirumuskan dalam KA-ANDAL.

2. Ruang lingkup studi

Aspek-aspek yang dinilai dalam ruang lingkup studi adalah sebagai berikut:

a. Jenis kegiatan yang potensial menimbulkan dampak penting;


b. Komponen atau parameter lingkungan yang diduga akan mengalami perubahan mendasar akibat rencana
kegiatan;
c. Dampak penting yang ditelaah harus sesuai dan konsisten dengan isu-isu pokok yang telah ditetapkan
dalam KA-ANDAL dan isu lain yang ditemukan selama pelaksanaan studi;
d. Hasil pelingkupan waktu terjadinya dampak (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi);
e. Wilayah Studi yang mengacu pada KA-ANDAL dan hasil pengamatan di lapangan yang digambarkan
secara jelas dalam peta.

3. Metoda studi
Aspek-aspek yang dinilai dalam metode studi adalah kejelasan dan ketepatan serta konsistensi tentang:

a. Metode pengumpulan dan analisis data:


- primer: lokasi, jumlah contoh dan jenis alat, beserta alasan-alasannya;
- sekunder: jenis dan sumber data;
b. Pengambilan contoh dan parameter yang akan diukur;
c. Penggunaan model matematis, analog, profesional judgement untuk prakiraan dampak penting. Dalam
penggunaan metoda prediksi dampak penting ini, harus jelas metoda apa yang digunakan untuk
memprediksi setiap komponen lingkungan yang terkena dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. Penggunaan metode-metode evaluasi dampak penting. Metode evaluasi dampak penting yang digunakan
adalah metoda-metoda yang lazim digunakan dalam studi AMDAL dan harus dapat menggambarkan
evaluasi dampak secara holistik;
e. Kriteria-kriteria yang digunakan untuk evaluasi beserta alasan penetapannya.

4. Rencana usaha dan/atau kegiatan

Aspek-aspek yang dinilai dalam rencana usaha dan/atau kegiatan adalah kejelasan dan kelengkapan tentang:

a. Identitas pemrakarsa dan penyusun;


b. Tujuan serta manfaat dari rencana usaha dan/atau kegiatan;
c. Lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan yang sudah dilengkapi dengan peta-peta yang penting, misalnya:
peta tata ruang, wilayah studi, layout kegiatan, peta situasi. Peta-peta ini harus disajikan sesuai dengan
kaidah-kaidah kartografi;
d. Kegiatan lain yang dinilai berhubungan erat atau tumpang tindih serta interaksinya dengan kegiatan proyek
atau adanya kawasan yang dilindungi;
e. Alternatif usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil studi kelayakan;
f. Jangka waktu rencana usaha dan/atau kegiatan atau umur proyek (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan
pasca operasi);
g. Jenis usaha dan jumlah hasil produksi (barang dan jasa) selama umur proyek;
h. Metode dan teknik pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak
penting seperti:
• Jenis dan spesifikasi peralatan atau instrumen yang digunakan;
• Jumlah, asal, dan kualifikasi tenaga kerja pada tahap pra-konstruksi, konstruksi dan operasi;
• Bahan baku utama, penunjang dan bahan penolong, sifat-sifatnya (karakteristik) berikut lokasi
pengambilan, sistem pengangkutan dan penyimpanannya;
• Neraca bahan (material balance) dan neraca air (water balance);
• Sarana pengendalian dampak, baik yang direncanakan terintegrasi dengan proses maupun yang
terpisah;
• Komposisi, karakteristik dan jumlah dari masing-masing buangan limbah (padat, cair dan gas) berikut
upaya penanggulangannya;
• Upaya-upaya yang akan dilakukan pada tahap pasca operasi.

Catatan:
Bila deskripsi usaha dan/atau kegiatan mencantumkan alternatif lokasi, rencana usaha dan/atau kegiatan, atau
proses kegiatan, maka uraian agar dibuat secara rinci.
5. Rona lingkungan awal.
Aspek-aspek rona lingkungan awal yang dinilai adalah kejelasan dan kelengkapan data dan informasi tentang
kondisi lingkungan di rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan, mencakup:
a. Komponen-komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak penting sesuai KA-ANDAL dan
temuan komponen lain selama pelaksanaan studi harus diulas secara rinci;
b. Komponen-komponen lingkungan lainnya yang bersifat mendukung butir a;
c. Indikator dan parameter lingkungan yang menjadi tolok ukur perubahan kualitas lingkungan (fisik, kima,
biologi, kependudukan, sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat);
d. Tingkat ketelitian hasil pengamatan dan analisis sesuai dengan tingkat ketelitian alat dan metode yang
dipergunakan;
e. Komponen-komponen dan parameter lingkungan yang tertulis dalam bab ini harus konsisten dengan yang
dikemukakan dalam ruang lingkup studi, prakiraan dan evaluasi dampak penting.

6. Prakiraan dampak penting.


Aspek-aspek yang dinilai dalam prakiraan dampak penting adalah:
a. Komponen lingkungan yang dianalisis dalam prakiraan dampak penting harus konsisten dengan
komponen dan parameter lingkungan yang dinyatakan dalam ruang lingkup studi;
b. Besarnya perubahan kualitas lingkungan yang terjadi pada setiap komponen lingkungan yang diperkirakan
terkena dampak penting (kondisi lingkungan tanpa dan dengan adanya proyek), harus didukung dengan:
- Rincian perhitungan bilamana menggunakan metode matematik dan/atau empiris;
- Data dasar yang sahih bilamana menggunakan metode analogi;
- Alasan dan pertimbangan yang kuat bilamana menggunakan metode profesional judgement;
c. Penentuan arti pentingnya dampak berdasarkan kriteria penentuan dampak besar dan penting yang
berlaku;
d. Kejelasan tentang mekanisme aliran dampak pada berbagai komponen lingkungan yang didukung
dengan bagan alir, yaitu:
(1) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen sosial;
(2) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen fisik kimia kemudian
rangkaian dampak lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial;
(3) Kegiatan menimbulkan dampak penting yang bersifat langsung pada komponen fisik kimia dan
selanjutnya membangkitkan dampak pada komponen sosial;
(4) Dampak penting berlangsung saling berantai diantara komponen sosial itu sendiri;
(5) Dampak penting pada butir (1), (2), (3), dan (4) yang telah diuraikan selanjutnya menimbulkan
dampak balik pada rencana usaha dan/atau kegiatan;
e. Konsistensi penggunaan tolok ukur (indikator dan parameter lingkungan) sesuai dengan yang digunakan
pada bab lainnya.

Catatan:
• Tidak semua komponen atau parameter lingkungan yang dinyatakan terkena dampak, perubahannya
dapat diukur secara kuantitatif; misalnya pergeseran tata nilai dan norma.
• Untuk itu komponen atau parameter lingkungan yang perubahannya tidak dapat diukur secara kuantitatif,
perlu dikaji secara deskriptif analitis, dan bila memungkinkan dibuat beberapa skenario masa mendatang
yang mungkin terjadi.
• Deskriptif analitis adalah analisis deskriptif terhadap fakta-fakta secara sistimatis dan rasional, sebagai
upaya untuk menggambarkan perubahan suatu parameter lingkungan. Analisis semacam ini dapat
dilakukan, misalnya dengan cara analogi terhadap proyek serupa di lokasi lain dengan kondisi lingkungan
yang hampir sama, berdasarkan pengalaman ahli atau menggunakan baku mutu lingkungan.

7. Evaluasi dampak penting


Aspek-aspek yang dinilai pada evaluasi dampak penting adalah kejelasan dan konsistensi tentang:
a. Telaahan secara holistik atas berbagai komponen lingkungan yang diprakirakan mengalami perubahan
sebagaimana dikaji dalam bab prakiraan dampak penting;
b. Kesimpulan terhadap hasil telaahan holistik tersebut yang menyimpulkan jenis-jenis dampak penting yang
harus dikelola;
c. Telaahan kausatif (hubungan sebab-akibat) dari berbagai jenis dampak penting yang harus dikelola
sebagai dasar perumusan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Catatan:
• Hasil kajian secara holistik dan kausatif sedapat mungkin menghasilkan pilihan atas rencana usaha
dan/atau kegiatan.

8. Daftar pustaka

Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah sumber informasi yang berhubungan dengan:

a. Rencana usaha dan/atau kegiatan;


b. Metode-metode yang digunakan.

9. Lampiran

Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah keberadaan dan kelengkapan:

a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL;
c. Cara-cara dan hasil perhitungan;
d. Dasar pertimbangan penetapan kriteria besaran dampak;
e. Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat;
f. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung dokumen ANDAL (seperti contoh: kuesioner dan hasil
evaluasinya yang menjadi bagian metode pelaksanaan studi).

BAB IV. PENILAIAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)

A. Lingkup RKL

Aspek-aspek yang dinilai pada lingkup RKL adalah kejelasan dan konsistensi tentang:

a. Pernyataan melaksanakan RKL dan RPL;


b. Maksud dan tujuan pengelolaan lingkungan;
c. Kebijakan pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan dalam pengelolaan lingkungan;
d. Jenis dampak penting yang harus dikelola sesuai hasil ANDAL;
e. Kategori pengelolaan lingkungan yaitu:
• Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menghindari atau mencegah dampak negatif lingkungan
melalui pemilihan atas alternatif, tata letak (tata ruang mikro) lokasi, dan rancang bangun proyek;
• Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk menanggulangi, meminimalisasi (sesuai baku mutu/daya
dukung lingkungan) atau pengendalian dampak penting negatif, baik yang timbul di saat usaha dan/atau
kegiatan beroperasi, maupun hingga saat usaha dan/atau kegiatan berakhir (misalnya : rehabilitasi lokasi
proyek);
• Pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak positif sehingga dampak tersebut dapat
memberikan manfaat yang lebih besar kepada pemrakarsa maupun pihak lain terutama masyarakat yang
turut menikmati dampak positif tersebut;
• Pengelolaan lingkungan yang bersifat memberikan pertimbangan ekonomi lingkungan sebagai dasar
untuk memberikan kompensasi atas sumber daya tidak pulih, hilang atau rusak (baik dalam arti sosial
ekonomi dan/atau ekologis) sebagai akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.

B. Pendekatan RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada pendekatan RKL adalah kejelasan dan relevansi tentang pendekatan yang
digunakan dalam menangani dampak penting yaitu:

a. Pendekatan teknologi
Pendekatan teknologi adalah cara-cara atau teknologi yang dipergunakan untuk mengelola dampak penting
lingkungan.

b. Pendekatan sosial ekonomi


Pendekatan ini adalah langkah-langkah yang akan ditempuh pemrakarsa dalam upaya menanggulangi dampak
penting melalui tindakan-tindakan yang bermotifkan sosial ekonomi.

c. Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka
menanggulangi dampak penting lingkungan.

C. Kedalaman RKL

Aspek-aspek yang dinilai pada kedalaman RKL adalah kejelasan tentang bagian-bagian RKL yang harus
dijabarkan:

a. Disain dasar (basic design);


b. Kriteria disain;
c. Syarat-syarat teknis pelaksanaan konstruksi;
d. Syarat-syarat teknis pelaksanaan operasi dan pemeliharaan;
e. Persyaratan lainnya yang diperlukan untuk mencapai sasaran pengelolaan dampak, antara lain:
pengembangan kelompok masyarakat, konsultasi masyarakat, rencana tindakan pengadaan tanah dan
pemindahan penduduk (Land Acquisition and Resettlement Action Plan/LARAP).

D. Rencana pelaksanaan RKL

Aspek-aspek yang dinilai pada rencana pelaksanaan RKL adalah kejelasan informasi tentang:

a. Komponen atau parameter lingkungan yang terkena dampak penting;


b. Sumber dampak;
c. Tolok ukur/parameter;
d. Tujuan dan sasaran;
e. Metode dan teknik pengelolaan lingkungan;
f. Lokasi pengelolaan lingkungan;
g. Periode/jadwal pelaksanaan;
h. Pembiayaan dan sumber biaya;
i. Keberadaan dan komitmen institusi yang terlibat dalam:
• Pelaksanaan RKL;
• Pengawasan Pelaksanaan RKL; dan
• Pelaporan.

E. Pustaka

Aspek yang dievalusi adalah sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RKL.

F. Lampiran

Aspek yang dinilai adalah tabel ringkasan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan data, serta informasi penting
yang merujuk dari hasil studi ANDAL.

BAB V. PENILAIAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

A. Lingkup RPL

Aspek-aspek yang dinilai pada lingkup RPL adalah kejelasan tentang:

a. Tujuan dan kegunaan;


b. Komponen lingkungan yang dipantau sesuai dengan RKL.

B. Pendekatan RPL

Aspek-aspek yang dinilai pada pendekatan RPL adalah kejelasan tentang kerangka dan landasan pemilihan
pendekatan pemantauan misalnya:

a. Kemitraan dengan swasta dan masyarakat setempat;


b. Pembagian pendanaan dengan pemerintah, dan lain-lain.

C. Rencana pelaksanaan RPL

Aspek-aspek yang dinilai pada rencana pelaksanaan RPL adalah kejelasan informasi tentang:

a. Komponen atau parameter lingkungan yang dipantau;


b. Sumber dampak;
c. Tolok ukur/parameter;
d. Tujuan dan sasaran;
e. Metode dan teknik pemantauan lingkungan, misalnya:
• pemantauan visual dengan pencatatan;
• pemantauan visual dengan menggunakan alat bantu (camera, video camera, dan lain-lain);
• pemantauan dengan pengambilan sampel dan analisis di tempat/in situ;
• pemantauan dan pengambilan sampel di laboratorium;
• inspeksi mendadak;
• wawancara;
• kombinasi teknik-teknik di atas;
• dan lain-lain;
f. Lokasi pemantauan lingkungan;
g. Periode/jadwal pelaksanaan (jangka waktu dan frekwensi);
h. Keberadaan dan komitmen institusi yang terlibat dalam:
• Pelaksanaan RPL;
• Pengawasan pelaksanaan RPL; dan
• Pelaporan.

D. Pustaka

Aspek yang dinilai adalah sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RPL.

E. Lampiran

Aspek yang dinilai adalah tabel ringkasan rencana pemantauan lingkungan hidup dan data, serta informasi penting
yang merujuk dari hasil studi ANDAL.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 4 Tahun 2000
Tentang : Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan
Pembangunan Permukiman Terpadu

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999


tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Panduan
Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu;

Mengingat :

1. Undang-ungang Nomor 23 Tahun 1887 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan


Daerah (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999


tentang Kabinet Persatuan Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU.

Pertama

Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan Permukiman Terpadu


adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
Kedua

Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan
bilamana di kemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan
ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd.
Dr. A. Sonny Keraf

LAMPIRAN
PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN
TERPADU

BAB I. PENJELASAN UMUM

1.1. LATAR BELAKANG


Pengembangan wilayah berdasarkan konsep permukiman terpadu,
yaitu pembangunan kawasan pemukiman beserta fasilitas
penunjangnya terus meningkat. Berdasarkan Pusat Data Properti
Indonesia Tahun 1995 diketahui, bahwa lahan yang dihabiskan untuk
kegiatan tersebut makin luas. Persoalannya kemudian rasional
ekonomi yang menganggap bahwa di satu sisi lahan ini akan sangat
berguna dan tinggi nilainya bila dikembangkan sebagai perumahan kelas
menengah ke atas, telah menghadapi dilema. Oleh karena proses
tersebut dapat dicapai dengan mengorbankan fungsi ekosistem seperti
hilangnya kesuburan tanah, pengendali banjir, pemasok air baku untuk
kebutuhari penyediaan air minum, perubahan iklim mikro, dan flora-
fauna yang berfungsi sebagai keseimbangan ekosistem.
Sejak memasuki Pembangunan jangka Panjang Kedua,
perkembangan kota di Indonesia menunjukkan lima ciri pokok yang
menonjol. Pertama, kota di Indonesia memainkan peran yang makin
penting. Oleb karena, pada tahun 2010 diperkirakan paling sedikit
setengah dari kependudukan Indonesia akan berdiam di kota dan
kecenderungan ini tidak akan berbalik kembali. Kedua, kota makin
terlibat di dalam ekonomi global, Ini berarti bahwa perkembangan kota
akan banyak dipengaruhi oleh dinamika ekonomi global. Pembangunan
kota cenderung berskala mega atau super dengan intensitas yang tinggi,
Aglomerasi daerah urban menjadi ciri yang makin menonjol. Dalam
banyak hal keadaan ini menghabiskan sawah dan tambak (pantai)
yang sudah didukung olehh prasarana dasar. Sedang disamping
kebutuhan prasarana dan sarana penunjang, pembangunan yang
terkonsentrasi ini akan menimbulkan masalah lingkungan yang juga
intensif. Ketiga Perkembangan ekonomi kota terus tinggi, jauh diatas
rata-rata nasional maupun propinsi. ini menimbulkan ancaman yang
makin berat terhadap keberlanjutan ekosistem (sosial dan alam) kota
yang sudah makin rapuh. Di samping itu, peran kota lama makin nampak
terancam oleh pertimbangan kepentingan ekonomi yang sempit.
Bangunan lama terlalu mudah dianggap tidak efisien dan oleh karena
itu perlu diremajakan yang sekaligus akan menghilangkan nilai sejarah
dan kekhasan kota yang bersangkutan. Ciri Keempat, pembangunan
kota makin menunjukkan sifatnya sebagai komoditi yang selalu mengejar
nilai tambah. Pertimbangan pembangunan kota sudah terlalu
didominasi oleh pertimbangan manfaat ekonomi saja dengan
mendudukkan pertimbangan-pertimbangan lain hanya menjadi
pelengkap.
Pengembangan permukiman terpadu di Indonesia dikhawatirkan
mengekploitasi lahan- lahan agraris, dan lahan yang memiliki fungsi
lindung, sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan secara makro,
secara mikro ada peningkatan kualitas lingkungan akibat tertata dengan
baik. Dengan dasar ciri dinamika sistem lingkungan yang bersifat "site
specific”, maka jenis dan besaran dampak yang ditimbulkan oleh
pengembangan permukiman terpadu diperkirakan akan berbeda dari
satu ekosistem ke ekosistem lainnya. Oleh karena itu, apabila dampak
yang ditimbulkan tersebut tidak diantisipasi dan dikelola secara optimal
dikhawatirkan hal ini akan menjadi unsur pembangunan sosial ekonomi
yang mengabaikan kemampuan sistem alam (ekosistem).
Mengingat salah satu cara sistematis untuk memasukkan
pertimbangan ekologis dan kepentingan pembangungan sosial
ekonomi adalah melalui Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL), maka penyusunan studi tersebut di dalam merancang
permukiman terpadu menjadi sangat strategis.
Hal yang kemudian perlu diingat adalah bahwa mutu yang baik dari
studi AMDAL sangat bergantung pada kemampuan tim studi
melakukan impact assesment. Proses yang terdiri dari proses identifikasi,
prakiraan dan evaluasi dampak. Atas dasar analisis yang baik tentang
keterkaitan antara jenis dan tahapan kegiatan pembangunan permukiman
terpadu dengan karakteristik dari ekosistem yang diperkirakan akan
menerima dampak ini kemudian segenap dampak diantisipasi dan dikelola
secara optimal.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN


Dokument ini dimaksudkan sebagai panduan untuk memudahkan ,
penyusunan bab AMDAL bagi berbagai kegiatan (proyek) pengembangan
pemukiman terpadu.
Secara khusus Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan
terpadu ini diharapkan dapat :
a) Mengendalikan cara pembukaan lahan di kawasan
pengembangan permukiman terpadu sehingga terpelihara
kelestarian fungsi ekologisnya; mengingat peruntukan lahan
yang tidak harmonis dan penerapan teknologi yang kurang bijaksana
dapat mengakibatkan gejala erosi genetik, pencemaran dan
penurunan potensi lahan.
b) Menopang upaya-upaya mempertahankan proses ekologis
antar ekosistem di kawasan permukiman terpadu sebagai
penyangga kehidupan yang bermakna penting bagi kelangsungan
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan penduduk
di kawasan permukiman terpadu khususnya, serta masyarakat di sekitar
kawasan permukiman terpadu.
c) Memberikan panduan dan pemahaman kepada penyusun
Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)
kegiatan pengembangan permukiman terpadu, yang didasari
dengan pendekatan terhadap pembinaan terhadap struktur dan
fungsi ekosistem.

1.3. PENDEKATAN DAN RUANG LINGKUP


Agar dapat melakukan identifikasi, memprakirakan dan
mengevaluasi dampak lingkungan akibat kegiatan pengembangan,
pemukiman terpadu secara cermat, diperlukan pengetahuan tentang
struktur dan ekosistem lahan basah dan lahan kering di kawasan
pembangunan permukiman terpadu yang terkena dampak.
Informasi ini diperlukan agar ragam respon sistem lingkungan yang
akan menerima dampak dapat teridentifikasi sedini mungkin.
Oleh karena itu, panduan ini diawali dengan perumusan tentang
kriteria dan batasan konsep pembangunan permukiman terpadu (Bab
II), dan kegiatan permukiman terpadu kaitannya dengan
pembangunan regional (Bab III). Kemudian diikuti oleh panduan proses
penyusunan Kerangka Acuan ANDAL kawasan permukiman terpadu
(Bab IV) yang menjelaskan mengenai proses pelingkupan, identifikasi
dampak potensial, sampai pada pemusatan dampak penting dan issue
pokok lingkungan. Selain itu, juga menjelaskan komponen lingkungan
yang haruss ditelaah akibat satu jenis kegiatan, penentuan batas
wilayah studi dan lingkup waktu perkiraan dampak dalam studi
AMDAL.
Proses tentang penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(ANDAL) disajikan dalam Bab V. Sebagai suatu panduan, maka segenap
metode yang disarankan dalam dokumen ini diuraikan secara garis
besar dan dilengkapi dengan bahan rujukan yang memuat metode
pengumpulan atau analisis data secara terperinci. Selanjutnya, panduan
untuk penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan
Rencana Pemantauan Hidup (RPL) disajikan pada Bab VI. Secara
skematis, sistematika panduan ini mengikuti alur pikir proses penyusunan
AMDAL pembangunan permukiman terpadu seperti pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1
Pendekatan sistem dalam penyusunan AMDAL pengembangan pemukiman
terpadu

BAB II. KONSEP PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU

2.1 PRINSIP DASAR PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU


BERWAWASAN LINGKUNGAN
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Perumahan dan Permukiman, khususnya Pasal 21 telah menetapkan
penyelenggaraan lingkungan siap bangun (Lisiba). Dalam
pembahasan konsep undang-undang ini disebutkan bahwa konsep
kawasan siap bangunan atau kasiba (Pasal 18 ayat 1) terdiri dari
beberapa lingkungan perumahan (Pasal 18 ayat 2 b). Mengingat
Peraturan Pemerintah pelaksana undang- undang tersebut hingga kini
belum terbit, maka dari beberapa diskusi luas Lisiba perumahan
sebesar 200 hektar sedangkan kasiba mencapai sampai 1000 hektar.
Angka luas ini kelak dapat disesuaikan mengikuti peraturan yang
berlaku.
Kepadatan penduduk dan permukiman terpadu belum ditetapkan
secara pasti, tetapi akan berkisar dan 150 orang per hektar bagi
permukiman yang berada di dalam kawasan yang mempunyai ciri
lingkungan yang kuat (semi urban) sampai yang mencapai kepadatan
hingga 350 orang per hektar bagi yang sepenuhnya merupakan
permukiman urban. Dengan sendirinya kawasan ini menupakan
kawasan yang utuh baik langsung menempel pada kota yang ada
maupun masih ada jarak yang berupa ruang terbuka atau tidak.
Walaupun hingga kini belum ada ketentuan jelas, namun
permukiman terpadu utamanya adalah sebuah permukiman yang menurut
UU No 4/ 1992 tersebut (Pasal 1) adalah bagian dari lingkungan hidup
di luar kawasan Lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan
maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan dan sarana lingkungan yang
terstruktur. Jadi permukiman terpadu perlu perencanaan pembangunan
dan tata ruang yang lengkap dan sah serta dilengkapi dengan
perumahan serta dukungan prasarana dan sarana yang menjamin
penyelenggaraan perumahan serta kebutuhan hidup dan lapangan kerja
yang berskala bulanan.
Permukiman terpadu tumbuh, di samping sebagai kawasan
perumahan dapat pula berfungsi sebagai wilayah untuk menunjang
pertumbuhan ekonomi regional. Fungsi terakhir ini tidak pernah
menjadi pertimbangan bagi pertumbuhan permukiman terpadu di
Indonesia. Masalahnya pengembangan permukiman terpadu sering
sulit ditentukan skala waktu rampungnya proses pembangunan.
Walaupun bila dibandingkan dengan Kebayoran Baru atau Klender dan
Depok, Bumi Serpong Damai (BSD) selama lebih lima belas tahun
eksistensinya, baru sekitar 200 hektar dikatakan telah “selesai”
dibangun.
Banyak faktor yang mempengaruhi kecepatan proses pembangunan
ini. Kawasan Darmo Satelit di Surabaya ternyata berlangsung lebih
cepat sebab kawasan ini boleh dikatakan adalah permukiman terpadu
pertama di Surabaya. Kawasan yang luasnya sekitar 2000 hektar
selesai dibangun dalam waktu sekitar 20 tahun yang dikerjakan oleh lebih
sepuluh pembangun perumahan (developer) dibandingkan dengan di
Jakarta yang hanya dikerjakan oleh sebuah perusahaan saja. Hal ini
memang menjadi kesulitan tersendiri sebab dampak yang hendak
dikelota sangat tergantung dari waktu dan tempat. Kawasan Driyorejo
di Barat Daya Surabaya mengalami tahap persiapan lebih dari dua puluh
tahun. Kini bagian ikutannya yang mulai dibangun oleh Perum
Perumnas bagi RS dan RSS sebanyak 3000- 4000 unit rumah tinggal
yang akan selesai tahun 1996.
Sekarang para pengembang menawarkan permukiman terpadu
yang berwawasan lingkungan. Namun hingga kini konsep perumahan
atau pemukiman yang bersahabat dengan lingkungan belum pernah
dirumuskan secara jelas. Ada 5 (lima) prinsip utama dari konsep
perumahan dan pemukiman yang berwawasan lingkungan yang harus
dikembangkan sesuai kondisi awal yang ada, yaitu:
(1) Mempertahankan dan memperkayaekosistem yang ada
Termasuk di dalamnya adalah berlanjutnya ekosistem yang
ada. Perubahan yang dilakukan terhadap unsur ekosistem
karena adanya pembangunan gedung atau prasarananya harus
diimbangi dengan peningkatan kemampuan dari unsur
ekosistem yang tidak terusik. Di samping itu, perlu ditambah
unsur ekosistem baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang
memperkaya peran ekosistem secara keseluruhan.

(2) Penggunaan energi yang minimal


Baik rencana makro maupun mikro perumahan dan
permukiman harus memanfaatkan sistem iklim yang
ada (secara pasif) dan perancangan bangunan yang
memanfaatkan prinsip yang sama ditambah dengan sistem radian yang
dapat meningkatkan efektifitasnya dibandingkan dengan sistem
pasif. Pemilihan bahan bangunan, cara membangun dan
rancangan bentuk dapat berpengaruh terhadap kebutuhan
energi baik jangka pendek maupun panjang.
(3) Pengendalian limbah dan pencemaran
Limbah yang harus dikendalikan mulai dan yang dihasilkan
oleh jamban dan kamar mandi, dapur, rumah sampai akibat dan
pemakaian berbagai peratatan listrik, bahan bakar fosil dan
sebagainya. Limbah ini harus terkelola dengan baik dan jelas
dengan prinsip produksi bersih.
(4) Menjaga kelanjutan sistem sosial-budaya lokal
Gaya hidup yang berlaku sudah secara mantap diterjemahkan
ke dalam berbagai tatanan dan bentuk bangunan serta peralatan
yang dipakai sehari-hari. Kaidah dan pola dan warisan budaya dan
pola hidup ini harus menjadi dasar awal untuk
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan kesempatan baru yang
diciptakan oleh pembangunan yang maju dan berhasil yang
merupakan proses berlanjut.
(5) Peningkatan pemahaman konsep lingkungan
Permukiman terbentuk melalui proses yang berlangsung
terus. Dalam perkembangan proses ini selalu
akan terjadi pergantian pemukim baik secara alami melalui
proses lahir dan mati, maupun karena mobilitas penduduk antara
yang datang dan pergi.

2.2 RENCANA KEGIATAN PERMUKIMAN TERPADU KAITANNYA DENGAN


PEMBANGUNAN REGIONAL
Sesuai dengan uraian di atas, terhadap permukiman terpadu seperti
Kebayoran Baru, Darmo Satelit, Klender, Depok dan sebagainya, sejauh
ini yang diperhatikan adalah dampak pasca konstruksi dalam bentuk
kemacetan lalu lintas. Di Jakarta keadaannya paling parah, dari
Klender ke pusat kota pada hari dan jam kerja biasanya membutuhkan
waktu paling sedikit dua jam untuk pergi atau pulang. Dalam
keadaan sepi (seperti antara Natal dan Tahun Baru) waktu tempuh
nyata paling lama hanya empat puluh menit atau sepertiga waktu
“normal”. Dapat dibayangkan pemborosan energi dan waktu yang
ditimbulkan hanya oleh satu dampak ini di samping pencemaran
terhadap udara dan rusaknya ekosistem di kawasan antara
permukiman terpadu dan kota lama yang nilainya sulit diukur.
Di samping dampak yang bersifat langsung seperti diuraikan di atas,
banyak dampak yang berskala regional yang tidak langsung nampak,
seperti perubahan nilai, budaya dan berbagai pemborosan. tidak semua
dampak bersifat merugikan, sebab ada cukup banyak dampak yang
bersifat menguntungkan seperti terciptanya lapangan kerja baru, mutu
kehidupan yang lebih baik dan sebagainya. Berbagai dampak ini
harus diketahui setepat dan sedini mungkin untuk dirancang cara-cara
penanganan dan penanggulangan terhadap dampak yang merugikan,
dan hal yang mendukung untuk memantapkan dan mengembangkan bagi
dampak yang positif. Sedangkan terhadap dampak yang dualistis
seperti naiknya harga lahan, perlu dicari jalan untuk membuatnya
tetap serasi dan seimbang dalam arti yang seluas-luasnya.
Di samping itu, pada tahap konstruksi timbul dampak yang dualistis,
positif dan negatif; utamanya yang berkaitan dengan pengadaan
bahan urugan dan bahan bangunan konvensional seperti pasir, batu
bata, kayu, dan sebagainya. Bila ada sebuah kawasan seluas seratus
hektar, maka secara “normal”akan dibutuhkan sebanyak 215.000 trip truk
besar dengan nilai total sekitar Rp. 65 milyar. Bila pengurugan
diselesaikan dalam waktu tiga bulan, tiap hari akan terjadi
perjalanan truk sebanyak 2400 atau tiap hari kerja (delapan jam) akan
lewat 300 truk, Dapat dibayangkan dampak lalu lintas yang
ditimbulkannya. Kalau 2400 truk tersebut digandeng maka
panjangnya sekitar 20 kilometer. Padahal saat ini, kawasan perumahan
yang dikembangkan di Surabaya mencapai sekitar 2000 hektar dan
tanah urug umumnya diambil dari Porong, sekitar 60 kilometer
selatan Surabaya.
Dari uraian di atas terlihat, bahwa setiap pembangunan perumahan
dengan pembukaan lahan seluas 200 hektar perlu melakukan kajian
dampak regional yang dilakukan secara teliti.
2.2.1 Kaitan permukiman terpadu terhadap pengembangan regional
Salah satu dasar yang harus dijadikan pertimbangan dalam
pengembangan permukiman terpadu adalah bahwa
kegiatan permukiman terpadu harus dapat mendukung
kebijaksanaan dasar daerah mengenai pelestarian fungsi lindung dan
keseimbangan budidaya daerah setempat. Hal ini sangat penting
karena pola kebijaksanaan dasar daerah merupakan arahan yang
harus dianut.
Menurut Soemarwoto (1985), fungsi tindung dapat
merupakan cagar alam hutan lindung suaka marga satwa, hutan
wisata, hutan buru dan taman laut. Untuk menjaga
keseimbangan ekosistem, fungsi-fungsi lindung ini harus dijaga dan
jangan sampai menjadi fungsi yang lain. Misalnya hutan lindung dan
cagar alam berfungsi untuk melindungi hidrotogi. Hutan wisata
berfungsi sebagai tempat wisata, namun merupakan daerah
yang dilndungi.
Kegiatan yang mendukung kehidupan manusia dalam suatu
permukiman terpadu dapat diletakkan pada daerah budidaya
yang telah dituangkan dalam pola kebijaksanaan dasar
daerah. Dengan demikian pelestarian; fungsi lindung dan
keseimbangan budidaya suatu daerah akan tetap terjaga, dan di sisi
lain permukiman terpadu pun dapat tetap berkembang
dalam mendukung pengembangan regional yang telah
direncanakan sesuai dengan RUTRD. Misalnya didaerah
Pasuruan Jawa Timur, rencana kebijaksanaan dasar daerah adalah
mengembangkan daerah wisata di daerah pegunungan, yaitu
Perkampungan Serbaguna Tarnan Dayu. Pembangunan ini
akan mendukung pengembangan regional Jawa Timur di
mana kota-kota di sekitar akan ikut memanfaatkan
keberadaan kota Taman Dayu. Namun fungsi daerah Taman Dayu
untuk melindungi hidrologi harus tetap terjaga.
2.2.2 Kaitan permukiman terpadu terhadap pusat pertumbuhan
lainnya
Permukiman terpadu yang dibangun dan merupakan pusat
pertumbuhan baru, hendaknya dapat mengurangi tekanan-
tekanan yang telah ada yang pada saat itu harus diemban oleh
kota-kota pertumbuhan di sekitarnya. Dalam hal
perekonomian, permukiman terpadu dapat menunjang tumbuhnya
perekonomian baru yang dampaknya dapat dirasakan secara
regional. Kegiatan-kegiatan perekonomian dapat
sebagian beralih ke permukiman terpadu. demikian juga dengan
kegiatan-kegiatan sosial dan budaya. Penduduk di permukiman terpadu
dan kota-kota pertumbuhan lain dapat memanfaatkan
kegiatan perekonomian, kegiatan sosial yang ditawarkan dengan
adanya fasilitas-fasilitas sosial di permukiman terpadu,
dan kegiatan-kegiatan pendidikan yang dibangun dalam
permukiman terpadu. Permukiman terpadu beserta kota-kota
pertumbuhan di sekitarnya dapat bersama sama dalam
membangun perkembangan regionalnya.
Perkembangan regional, dengan dibangunnya permukiman
terpadu, dapat terpacu karena dibangunnya jaringan infrastruktur
pendukung. Jaringan infra struktur ini, antara lain adalah
jaringan transportasi, jaringan listrik, telepon dan air bersih,
akan memudahkan dan mempercepat hubungan antara
permukiman terpadu dengan kota-kota pertumbuhan di
sekitarnya.
Kelembagaan yang harus ada menyertai dibangunnya
permukiman terpadu adalah kelembagaan pemerintahan,
kelembagaan perbankan, swasta, perindustnan dan lain-lain
sesuai dengan kebutuhan dan ciri khas permukiman terpadu.
Kelembagaan yang dibentuk ini akan saling berhubungan
dengan kelembagaan- kelembagaan lain yang telah ada dalam
kota-kota pertumbuhan lain di sekitar permukiman terpadu untuk
melayani seluruh penduduk serta untuk mengelola permukiman
terpadu.
2.2.2 Kaitan permukiman terpadu terhadap pusat pertumbuhan
lainnya
Pemukiman yang dibangun harus dapat berperan sebagai
pendukung perkembangan kota-kota lain di
sekitarnya. Dengan hadirnya kawasan pemukiman terpadu ini
diharapkan daerah disekitarnya juga dapat berkembang dan
memperoleh dampak positifnya, misal desa-desa di sekitar dapat
memanfaatkan kebutuhan tenaga keuja, sehingga penduduk
dari daerah sekitar dapat memperoleh lapangan kerja baru.
Daerah sekitar diharapkan juga dapat memasok berrbagai jenis
kebutuhan yang diperlukan permukiman terpadu, dan terciptalah
hubungan perekonomian dengan permukiman tenpadu. Selain itu,
penduduk dari daerah sekitar dapat memanfaatkan fasilitas-
fasilitas yang ditawarkan oleh permukiman terpadu, baik
perrnukiman, fasititas pertokoan dan rekreasi, fasilitas
pendidikan dan fasilitas wisata. Maka terjadilah hubungan sosial
antar permukiman terpadu dengan daerah sekitarnya.
Kelembagaan yang berkembang dengan adanya permukiman
terpadu, misalnya Lembaga pemerintahan, Lembaga perbankan.
lembaga swasta, lembaga pendidikan, dan kepolisian,
diharapkan dapat berfungsi dengan baik dalam mengatur
berputarnya roda pemerintahan suatu permukiman terpadu.
Berkembangnya berbagai institusi inii, hendaknya dapat
menimbulkan dampak positif terhadap daerah di sekitarnya.
karena dapat pula dimanfaatkan oleh daerah- daerah lain di
sekitar permukiman terpadu. seperti jaringan transportasi, listrik, air
bersih, tetepon, saturan air buangan dan pengeringan (drainase)
serta tempat- tempat pembuangan sampah.
Permukiman terpadu yang dibangun harus dapat tetap
melestarikan fungsi lindung dari desa-desa atau kawasan
lindung di sekitarnya. Batasan kawasan Lindung akan
merupakan hal yang sangat penting, karena itu harus jelas, baik di
peta maupun di lapangan, batas-batas ini dapat menghindari
sengketa dan dapat menjadi pegangan bagi pengelota
kawasan lindung, misalnya: pengembangan wisata di kawasan
lindung harus diatur agar tidak berlawanan dengan tujuan perlindungan.
Daerah untuk wisata yang intensif harus dibedakan dari
daerah wisata terbatas, agar fungsi lindung tetap terjaga. Dalam
daerah wisata yang intensif dapat dibangun fasitilas-
fasitilas wisata seperti hotel, restoran kolam renang, lapangan
golf, dan lain-lain.
Kemungkinan penduduk di desa-desa sekitar permukiman
terpadu akan berubah pola mata pencahariannya dari sektor
agraris ke sektor perkotaan. Untuk itu keberadaan
permukiman terpadu hendaknya juga dapat memberikan jasa dan
lapangan kerja bagi penduduk yang berubah mata pencahariannya.
Penciptaan lapangan kerja di sektor non pertanian dalam
permukiman terpadu harus mendapatkan perhatian yang
serius, agar dapat memberikan bantuan mata
pencaharian baru bagi penduduk di sekitar permukiman terpadu.
Hal ini hanya mungkin terjadi bila para pemrakarsa
pemukiman terpadu mempunyai komitmen sosial. Di samping itu,
pihak yang berwenang dapat mengatur dan mensyaratkan
agar permukiman terpadu yang dibangun akan memberikan dampak
positif terhadap kehidupan sosial dan perekonomian
masyarakat desa di sekitarnya.

2.3 KEGIATAN DALAM PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU


Kegiatan-kegiatan yang biasa terdapat dalam permukiman terpadu
dan keterkaitan antar kegiatan dalam permukiman terpadu antara lain
sebagai berikut:
(1) Kegiatan kehidupan manusia sehari-hari dalam permuikiman;
(2) Kegiatan sosial masyarakat dalam fasititas-fasilitas sosial
yang dibangun taman- taman, tempat bermain, balai-balai
pertemuan;
(3) Kegiatan perekonomian dan perdagangan, misalnya: pasar,
pertokoan, pergudangan, pelabuhan. hotel;
(4) Kegiatan transportasi, misalnya: jalan tol. jalan kota,
jembatan, terminal kota, atau mungkin terminal udara dan
pelabuhan laut;
(5) Kegiatan olah raga dan rekreasi, misalnya: golf, tenis, sepak
bola, renang dan sebagainya yang membutuhkan adanya
lapangan golf, lapangan sepak bola dan seterusnya;
(6) Kegiatan pariwisata, misalnya: kebun binatang, wisata air
atau wisata alam yang lain, daerah konservasi dan wisata
buatan;
(7) Kegiatan pendidikan, misalnya: pendidikan formal dan
informal yang memerlukan gedung-gedung sekolah;
(8) Kegiatan industri kecil maupun besar dengan bangunan
industri disertai dengan fasilitas pengolah limbah;
(9) Kegiatan untuk menunjang kesehatan masyarakat yang
dilengkapi dengan rumah sakit, balai pengobatan, apotek,
laboratorium klinis dan lain-lain;
(10) Kegiatan untuk pengamanan kota dan angkatan bersenjata,
misalnya kantor polisi atau kemungkinan juga terdapat latihan
atau pendidikan untuk angkatan bersenjata tertentu.
Kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas banyak yang
termasuk dalam daftar wajib AMOAL sebagaimana disebutkan dalam
lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Jenis
Usaha dan/ atau Kegiatan yang Wajib Dilengkapi dengan AMDAL. Dengan
demikian maka dalam AMDAL untuk permukiman terpadu akan banyak
sekali kegiatan-kegiatan yang saling terkait dengan ukuran dan
skala tertentu, yang merupakan suatu kesatuan kegiatan dalam
permukiman terpadu yang harus disusun AMDALnya.

2.4 URAIAN TENTANG KETERKAITAN ANTARA KEGIATAN


Kegiatan sentral dalam pengembangan permukiman terpadu adalah
kegiatan dalam kawasan permukiman karena dapat terkait dengan
kegiatan dalam kota. Misalnya penghuni permukiman akan selalu terkait
dengan jalur transportasi, yang menghubungkan permukiman ke tempat
tempat kegiatan lain, seperti kegiatan perdagangan, pendidikan, olah raga
dan rekreasi, pariwisata, industri dan fasilitas kesehatan. Suatu
permukiman terpadu akan selalu dilengkapi dengan permukiman
sebagai tempat hunian, lengkap dengan sarana dan prasarana
penunjangnya, seperti: jaringan listrik, air bersih, telepon. sarana sosial,
jaringan pematusan kota, jalan-jalan lingkungan, dan tempat
pembuangan sampah. Tetapi belum tentu suatu permukiman terpadu
akan mempunyai kegiatan pariwisata atau industri atau kegiatan
pelabuhan.

2.5 UKURAN DAN SKALA PERMUKIMAN TERPADU


Seperti disebutkan dalam pendahuluan, ukuran dan skala
permukiman terpadu tidak selalu sama. Ukuran luas permukiman
terpadu dapat berkisar 1 antara 200 sampai lebih dari 5000 ha,
sedangkan skalanya dapat berupa kota kecil, kota sedang maupun kota
besar, sesuai dengan definisi kota yang biasa dipakai oleh Kantor
Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam menilai kebersihan kota
dalam memperoleh Adipura. Kota kecil dapat meliputi luas 200 sampai
1000 ha, kota sedang meliputi > 1000 ha sampai 5000 ha dan kota besar
meliputi luas > 5000 ha.

2.6 KRITERIA PENGEMBANGAN PERMUKIMAN TERPADU


Mengacu pada ukuran dan skala permukiman terpadu, maka dalam
pengembangan kawasan permukiman terpadu hendaknya mencakup
dan mengikuti 3 (tiga) kriteria yaitu: kriteria ekosistem, kriteria
pemrakarsa, dan kriteria sektor yang berwenang. Kriteria- kriteria
dimaksud adalah :
2.6.1 Kriteria ekosistem
Dalam PP No. 51 Tahun 1993 telah disebutkan bahwa
kegiatan yang bersifat regional, dapat terletak lebih dari
satu kesatuan hamparan ekosistem. Permukiman
terpadu yang mempunyai kegiatan yang bersifat regional juga dapat
terletak dalam suatu gabungan antara ekosistem darat dan
ekosistem laut, atau ekosistem pegunungan dengan ekosistem
pantai, atau terletak dalam satu tipe ekosistem, misalnya
ekosistem pegunungan.
2.6.2 Kriteria pemrakarsa
Dalam kegiatan yang bersifat regional, misalnya dalam
permukiman terpadu, masing-masing usaha dan/atau kegiatan
dapat dimiliki oleh lebih dari satu pemrakarsa. Misalnya,
kegiatan perdagangan dapat dimiliki oleh pihak lain
(swasta) seperti pertokoan, plaza, sedangkan kegiatan perdagangan
lain dapat dimiliki oleh pemerintah, seperti pelabuhan dimiliki oleh
Perum Pelabuhan, Bank Indonesia, BNI, BRI, dimiliki oleh
pernerintah. Demikian juga dengan kawasan wisata yang ada
dalam permukiman terpadu, dapat dimiliki oleh pihak pemerintah
maupun swasta. Jadi ada batasan bahwa dalam permukiman
terpadu, usaha dan/atau kegiatan yang ada dimiliki oleh
lebih dari satu pemrakarsa.
2.6.3 Sektor yang berwenang
Masing-masing usaha dan/atau kegiatan dalam suatu wilayah
yang mempunyai dampak regional seperti permukmian terpadu,
menjadi kewenangan lebih dari satu instansi yang bertanggung
jawab. Seperti yang telah disebutkan dalam kajian teori (Bab II)
yang berwenang mengatur kegiatan dalam suatu permukiman terpadu
akan terdiri lebih dari satu instansi, misalnya: Departemen
Pekerjaan Umum akan mengatur dan bertanggung jawab untuk
jembatan, jalan tol, pintu pintu air dan kesehatan lingkungan
permukiman; Departemen Perindustrian akan bertanggung
jawab untuk industri-industri kecil maupun besar yang ada dalam
kawasan tersebut. Jadi permukiman terpadu akan selalu
ditangani dan dikelola oleh lebih dari satu instansi.

BAB III. PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN ANDAL


3.1 PELINGKUPAN DAMPAK PENTING
Menurut Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Penyusunan AMDAL, pelingkupan dampak penting
ditempuh melalui tiga proses utama, yaitu: (1) identifikasi
dampak potensial; (2) evaluasi dampak potensial; dan (3)
pemusatan dampak penting. Berikut diutarakan proses pelingkupan untuk
ANDAL pengembangan permukiman terpadu dengan mengacu
pada peraturan perundangan tersebut.

3.1.1 Identifikasi dampak potensial


Pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi segenap dampak lingkungan (primer,
sekunder, dan seterusnya) yang secara potensial akan timbul
akibat adanya proyek pengembangan permukiman terpadu. Pada
tahap ini hanya akan diinventarisir dampak yang potensial akan
timbul tanpa memperhatikan besar/kecilnya dampak, atau
penting tidaknya dampak.
Identifikasi dampak potensial ditempuh melalui serangkaian
langkah-langkah kegiatan berikut ini:
- Konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa
kegiatan, instansi yang bertanggung jawab, serta
masyarakat (tokoh-tokoh) yang
berkepentingan;
- Analisis terhadap peta dan data sekunder yang ada,
seperti: peta rencana umum tata ruang daerah, peta tata
guna tanah, peta vegetasi, peta sistem lahan, dan lain
sebagainya;
- Observasi atau kunjungan ke calon lokasi proyek.
Adapun metoda identifikasi dampak potensial yang dapat
digunakan antara lain adalah:
- Daftar uji sederhana;
- Matriks interaksi sederhana;
- Penelaahan pustaka;
- Pengamatan Lapangan;
- Analisis isi (content analysis);
- Interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming, dan
lain-lain).
Lihat puaa KEP-30/MENKLH/7/1g92 tentang Panduan
Pelingkupan Untuk Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL untuk
informasi yang lebih rinci.
Berikut diutarakan langkah-langkah identifikasi dampak
potensial bagi aktivitas proyek pengembangan permukiman
terpadu
Langkah 1
Buat daftar rencana usaha dan/atau kegiatan proyek pengembangan
permukiman terpadu berikut dengan rencana pembangunannya menurut
persebaran ruang dan waktu.

Hasil langkah 1
1. Diperoleh daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat
merupakan penyebab dampak lingkungan antara lain adalah:
1) Kegiatan pra-konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan survai;
b) Kegiatan pembebasan lahan;
2) Kegiatan konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan pembangunan perumahan;
i. Pembangunan perumahan;
ii. Pemadatan, pengerasan, dan pembangunan jalan
lingkungan;
iii. Penggalian saluran air;
iv. Pengalihan aliran air;
v. Penggalian/pembuatan jaringan air bersih, listrik, dan
telepon;
vi. Pembuatan tempat pembuangan sampah;
b) Kegiatan pembangunan tempat olah raga dan rekreasi:
i. Pembangunan gedung otah raga;
ii. Pembangunan Lapangan goLf;
iii. Pembuatan taman kota dan tempat bermain;
iv. Penananian tanaman (penghijauan/rektarnasi);
c) Kegiatan pembangunan fasilitas perekonomian dan
perdagangan:
i. Pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan;
ii. Pembangunan pasar;
iii. Pembangunan pergudangan;
iv. Pembangunan terminal dan transportasi angkutan;
d) Kegiatan pembangunan industri kecil/menengah:
i. Industri kulit (sepatu dan tas);
ii. Industri makanan;
iii. Industri mebel kayu dan rotan;
iv. Unit pengolahan limbah;
3) Kegiatan Permukiman Terpadu, yang meliputi kegiatan:
a) Kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
b) Aktivitas sosial masyarakat di fasilitas-fasilitas
sosial/umum yang ada;
c) Perekonomian dan perdagangan;
d) Transportasi;
e) Olah raga dan rekreasi;
f) Pariwisata;
g) Pendidikan;
h) Industri kecil dan menegah;
i) Penunjang kesehatan masyarakat;
j) Ketertiban dan keamanan;
k) Seni budaya;

2. Diperoleh informasi tentang rencana pembangunan kota menurut


persebaran ruang dan waktu.

Langkah 2
Identifikasi tipe-tipe ekosistem yang akan menjadi lokasi proyek dan/atau
yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek sebagaimana dimaksud pada
hasil langkah 1.

Hasil langkah 2
Diperoleh daftar tipe-tipe ekosistem yang akan menjadi lokasi proyek
dan/atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek, pada ruang dan
waktu tertentu yang diantaranya adalah:
1) Lahan basah, yang diantaranya metiputi tipe-tipe ekosistem sebagai
berikut:
- Hutan bakau;
- Hutan rawa payau;
- Hutan rawa air tawar;
- Hutan rawa bergambut;
- Danau/situ;
- Tambak udang/bandeng;
- Tambak garam;
- Sawah;
- Kolam budidaya ikan air tawar;
2) Ekosistem Lahan kering, yang diantaranya meliputi tipe-tipe ekosistem
sebagai berikut:
- Hutan tropika basah (berstatus konversi);
- Kebun/talun;
- Perkebunan karet/kelapa sawit;
- Tegalan/pertanian lahan kering;
- Tanaman pekarangan

Langkah 3
Identifikasikan komponen lingkungan atau struktur ekosistem yang
berpotensi terkena dampak akibat proyek pada dua tingkat, yakni:
a) Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut hasil
langkah 2
b) Di tingkat regional yang merupakan dampak regional dari
pengembangan permukiman terpadu

Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen Lingkungan atau struktur ekosistem yang
potensial terkena dampak proyek, yakni:
1. Daftar spesifik untuk setiap ekosistem yang terkena dampak, misalnya
adalah:
1) Komponen Fisik-Kimia:
a) Iklim:
i. Suhu udara;
ii. Kelembaban nisbi udara;
iii. Kualitas udara;
b) Hidrologi:
i. Tinggi muka air tanah;
ii. Pola aliran dan debit sungai;
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
c) Tanah:
i. Topologi
ii. Sifat fisik tanah;
iii. Sifat kimia tanah.
2) Komponen Biologi:
a) Komunitas Vegetasi:
i. Komunitas biota;
ii. Struktur dan komposisi vegetasi;
iii. Produktivitas lahan pertanian;
b) Komunitas Satwa Liar:
i. Komunitas biota akuatik;
ii. Jenis dan poputasi satwa Liar;
iii. Jenis satwa Liar langka dan/atau dilindungi;
iv. Produktivitas budidaya perairan.
2. Daftar potensial dampak regional, misalnya adalah:
1) Komponen Fisik-Kimia:
a) Kualitas udara;
b) Hidrologi:
i Tinggi muka air tanah,
ii. Pola aliran dan debit sungai;
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
2) Komponen Biologi:
a) Komunitas Vegetasi;
b) Komunitas Satwa Liar;
3) Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya:
a) Demografi/kependudukan;
i. Pertumbuhan;
ii. Mobilisasi, migrasi, urbanisasi;
iii. Sektor informal/multiplier effect;
b) Fasititas sosial dan fasilitas umum;
c) Sarana dan prasarana perhubungan darat;
d) Sumber mata pencaharian;
e) Peluang bekerja dan berusaha;
f) Rekreasi dan pariwisata;
g) Kepemilikan tanah masyarakat setempat (tanah milik,
tanah adat);
h) Perubahan gaya hidup dan tradisi masyarakat lokal;
i) Akulturasi dan asimilasi;
j) Pola konsumsi;
k) Pusat pertumbuhan baru dan ekonomi regional;
l) Persepsi masyarakat terhadap proyek.

Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut hasil langkah 2, identifikasikan fungsi
ekosistem yang potensial terkena dampak penting akibat adanya proyek.

Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi untuk setiap tipe ekosistem yang potensial terkena
dampak, yang diantaranya meliputi :
1. Bila ekosistem lahan basah yang terkena dampak, maka fungsi
ekosistem yang akan terkena dampak misalnya adalah :
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa
air bersih yang dapat angsung dimanfaatkan oteh masyarakat
dan/atau sebagai pemasok ke aquifer (groundwater recharge) dan
lokasi lahan basah lainnya;
2) Fungsi pengendalian air terutama pengendalian banjir;
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air
permukaan;
4) Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa
perlindungan garis pantai, pengendalian erosi, dan pemecah angin
(windbreak);
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen;
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara;
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan
beracun;
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti:
kayu, ikan, daging satwa liar, rotan, getah, obat, dan gambut;
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti:
pasokan bahan anorganik dan organik dan hara terlarut
bagi wilayah hilir dan pasokan bagi ikan serta burung-burung
migran;
10) Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu dan listrik-hidro;
11) Fungsi transportasi/perhubungan;
12) Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan
populasi satwa Liar;
13) Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi habitat
satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem,
dan lansekap lahan basah,
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
15) Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan
dan spiritual serta peninggalan sejarah;
16) Fungsi sosial ekonomi, misalnya: berupa sumber mata
pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah adat
masyarakat setempat;
17) Fungsi penetitian dan pendidikan;
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti: proses
ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon sink)
dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam;

2. Bila ekosistem lahan kering yang terkena dampak, maka fungsi


ekosistem yang akan terkena dampak misalnya adalah :
1) Fungsi pemasok produksi pangan, seperti pangan beras,
palawija, hortikultura, serta buah-buahan;
2) Fungsi pemasok produk alam, seperti bahan organik dan
anorganik yang tertransportasi ke hilir, hara terlarut yang
terbawa ke hilir;
3) Fungsi produksi energi (kayu);
4) Fungsi transportasi/perhubungan;
5) Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat
satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem,
dan lansekap;
6) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
7) Fungsi sosial budaya, seperti estetika lansekap, keagamaan
dan spiritual, dan peninggalan sejarah;
8) Fungsi sosial ekonomi, misalnya berupa sumber mata
pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah adat
masyarakat setempat;
9) Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan
dan spiritual, serta peninggalan sejarah;
10) Fungsi penetitian dan pendidikan;
11) Fungsi pemetiharaan proses-proses alam, seperti proses
ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon sink)
dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam.

Langkah 5
a) Buat matrik dampak komponen yang pada bagian kolom memuat
rencana usaha dan atau kegiatan proyek (hasil langkah 1) dan pada
bagian baris memuat komponen lingkungan atau struktur ekosistem
(hasil langkah 3).
b) Buat matrik dampak ekosistem pada bagian kolom memuat
rencana usaha dan atau kegiatan proyek (hasil langkah 1) dan pada
bagian baris memuat fungsi ekosistem (hasil langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem
menurut hasil langkah 2

Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan atau struktur
ekosistem seperti contoh pada Lampiran 3-1. Matrik sebanyak jumlah tipe
ekosistem menurut hasil Langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada
Lampiran 3-2. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil
Langkah 2.

Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan
identifikasi dampak dengan cara:
Beri tanda “X”atau “V" atau simbol lainnya pada komponen lingkungan
tertentu dan fungsi tertentu dari tipe ekosistem yang potensial terkena
dampak kegiatan tertentu dari proyek.

Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh
daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang
potensial terkena dampak.

3.1.2 Evaluasi dampak potensial


Evaluasi dampak potensial dalam proses pelingkupan
bertujuan untuk meniadakan dampak potensial yang dianggap
tidak relevan atau tidak penting, sehingga diperoleh daftar
dampak penting hipotetis yang dipandang perlu dan relevan untuk
ditelaah secara mendalam dalam studi AMDAL. Berikut adalah
langkah-langkah yang dapat digunakan untuk memandu evaluasi
dampak potensial:

Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang Pedoman Penentuan
Dampak besar dan Penting untuk mengevaluasi penting tidaknya hasil
langkah 6.

Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem
yang terkenan dampak penting. Komponen lingkungan yang terkena
dampak penting .dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok, yakni (lihat
pengelompokkan pada hasil langkah 3):
a) Daftar dampak penting spesifik untuk masing-masing tipe ekosistem;
b) Daftar dampak penting untuk tingkat/skala regional.
Adapun untuk fungsi ekosistem yang terkena dampak penting, daftar
dampak penting dikelompokkan menurut masing-masing tipe ekosistem.

Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam
dalam studi ANDAL

Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem
yang harus diteliti secara mendalam pada studi ANDAL kawasan
pengembangan permukiman terpadu, yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah
7;
b. Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil Langkah
7, karena data/informasi tentang komponen lingkungan bersangkutan
sangat terbatas.
Komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang tidak terkena
dampak penting tidak diteliti dalam studi ANDAL.

3.1.3 Pemusatan dampak penting (Focussing)


Tujuan pemusatan dampak penting adalah untuk
mengelompokkan dan mengorganisir dampak potensial
yang telah dirumuskan pada tahap evaluasi dampak
potensial (butir 3.1.2.) dengan maksud agar diperoleh isu-isu pokok
lingkungan yang secara komprehensif dapat
menggambarkan:
a) Keterkaitan antara rencana usaha dan/atau kegiatan
proyek dengan komponen lingkungan yang akan
terkena dampak penting;
b) Keterkaitan antar dampak penting yang telah di
identifikasi pada butir 3.1.2.
Langkah yang dapat ditempuh untuk memandu pemusatan
dampak penting adalah sebagai berikut:

Langkah 9
Kelompokkan dampak penting hasil langkah 8 atas beberapa isu pokok
lingkungan

Catatan langkah 9 :
Dampak penting hasil langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
isu pokok lingkungan melalui :
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak
penting di suatu lokasi; dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan
fungsi tertentu dari ekosistem yang terkena dampak penting proyek.

Hasil langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahan-
perubahan penting yang akan dialami ekosistem sebagai akibat adanya
proyek.

Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan hasil langkah 9 menurut kepentingan
dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi.

Hasil langkah 10
Diperoleh urutan isu-isu pokok Lingkungan berdasarkan kepentingan
ekonomi, sosial dan ekologi.

3.2 PELINGKUPAN WILAYAH STUDI


Pelingkupan wilayah studi yang dikembangkan di sini mengacu pada
Lampiran 1 Keputusan Menteri Negara tentang Pedoman Umum
Penyusunan AMDAL, dan lampiran II Keputusan Kepala Bapedal
tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan
AMDAL.
Langkah 1
Buat batas proyek dengan cara:
a) Plotkan pada peta kerja yang tersedia, batas terluar kegiatan proyek
dalam melakukan kegiatan pra-konstruksi, konstruksi dan permukiman di
kawasan pengembangan permukiman terpadu. Termasuk dalam hal ini
alternatif lokasi kegiatan proyek. Hasil langkah 1 dari butir 3.1.1.
dapat digunakan untuk memandu hal ini.
b) Dalam batas proyek tersebut identifikasikan komunitas masyarakat
dan/ atau lembaga- lembaga masyarakat (social institutions) yang
berpotensi berubah secara mendasar akibat adanya proyek.

Catatan Langkah 1:
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan proyek akan melakukan kegiatan pra-konstruksi,
konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan sumber
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.

Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek pengembangan permukiman
terpadu di atas peta yang digunakan;
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas
masyarakat atau lembaga- lembaga masyarakat yang akan terkena
dampak penting kegiatan proyek.

Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada langkah 1
dengan cara :
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek , melalui
media air, terhadap ekosistem disekitarnya; dan/atau
b) Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi terjadinya perubahan fungsi
ekosistem sebagai akibat adanya proyek
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghosilkan betas
ekologis. Hasil langkah 2 sampai 4 dari proses identifikasi dampak
potensial, dapat memandu mengarahkan hal ini
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas
masyarakat dan/atau lembaga-lembaga masyarakat yang berpotensi
berubah secara mendasar akibat rusaknya sumber daya atom dan/atau
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek pengembangan
permukiman terpadu.

Catatan Langkah 2 :
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak
dari kegiatan proyek menurut media transportasi limbah (air dan udara)
dan/atau menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam, dimana
proses-proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut
diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar.

Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang digunakan pada langkah
1;
b) Di dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas
masyarakat atau lembaga- lembaga masyarakat yang akan terkena
dampak penting kegiatan proyek.

Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada langkah 1
dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada hasil langkah 1 dan 2;
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas
proyek dan batas ekologis namun berpotensi terkena dampak
penting akibat proyek, misalnya: akibat aktivitas rekruitmen tenaga
kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasiltias sosial.

Catatan Langkah 3 :
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang
merupakan tempat berlangsungya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk
sistem dan struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan
mendasar akibat proyek. Batas sosial dapat menyebar di beberapa lokasi
dan dapat lebih luas dari batas proyek atau batas ekologi.

Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada langkah 1.

Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada
langkah 1 dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola
sumber daya alam dan lingkungan tertentu yang keabsahannya diakui oleh
lembaga formal pemerintahan, lembaga non pemerintah dan/atau
lembaga lokal masyarakat setempat.

Catatan langkah 4 :
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembaga-
lembaga masyarakat tertentu mempunyai kewenangan tertentu untuk
mengatur/ mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu
berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah
batas administratif pemerintahan daerah, batas kuasa pertambangan,
batas kawasan perkebunan. di dalam ruang tersebut masyarakat dapat
secara leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

HasiL langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang
digunakan pada langkah1.

Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan
pada langkah 1 dengan cara:
a) buat batas terluar dari gabungan batas proyek (hasil langkah 1),
batas ekologi (hasil langkah 2), batas sosial hasil langkah 3), dan
batas administratif (hasil langkah 4);
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan
hasil kegiatan butir a) di atas dengan dana, waktu, dan tenaga yang
tersedia.

Hasil Langkah 5
diperoleh wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang
digunakan pada langkah 1. Batas dimaksud merupakan resultante dari
batas kegiatan proyek batas ekologi, batas sosial, batas administratif, dan
kendala teknis yang dihadapi.

BAB IV. PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

4.1 OUTLINE/RANCANGAN STUDI


Outline penyusunan Kerangka Acuan ANDAL, studi ANDAL serta RKL
dan RPL Kegiatan Pengembangan Permukiman Terpadu yang dijelaskan
dalam Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL, studi ANDAL
serta RKL dan RPL, karena itu tidak dijelaskan tentang outline
tersebut.

4.2 METODE STUDI


4.2.1 Macam data dan informasi yang dikumpulkan
Pada bagian ini diutarakan macam data dan informasi yang
akan dikumpulkan dalam studi ANDAL pengembangan permukiman
terpadu, yakni yang meliputi:
a) Macam data dan informasi tentang rencana usaha
dan/atau kegiatan proyek yang dikumpulkan dalam
studi ANDAL berdasarkan hasil proses pelingkupan
sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu;
b) Macam data dan informasi tentang struktur dan fungsi
ekosistem permukiman terpadu, termasuk yang
tergolong terkena dampak penting, yang dikumpulkan
dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
Data yang dikumpulkan tersebut meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh
langsung dari sumber data. Adapun data sekunder merupakan
data yang diperoleh secara tidak langsung dari sumber data.
4.2.2 Wilayah studi ANDAL pengembangan permukiman terpadu
Pada bagian ini dipaparkan wilayah studi ANDAL
pengembangan permukiman terpadu dengan mengacu pada hasil
proses pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
Pada peta ini dicantumkan pula lokasi pengamatan atau
pengambilan contoh/sampel pada saat studi ANDAL dilaksanakan.
4.2.3 Metode pengumpulan dan analisis data
Data dan informasi tersebut dikumpulkan dan di analisis
dengan maksud untuk:
a) mengetahui kondisi atau rona lingkungan hidup
ekosistem permukiman terpadu sebelum proyek dibangun;
b) memprakirakan besar dampak lingkungan yang akan
dialami oleh struktur dan fungsi ekosistem permukiman
terpadu sebagai akibat adanya proyek dengan
menggunakan hasil kegiatan butir a);
c) mengevaluasi dampak lingkungan dari proyek terhadap
struktur dan fungsi ekosistem permukiman terpadu
secara holistik dengan menggunakan hasil kegiatan butir a)
dan butir b).
Data primer dikumpulkan melalui metode survei. Adapun data
sekunder diperoleh melalui pengumpulan data dari pihak
ketiga.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan
metode pengumpulan dan analisis data adalah:
a) Untuk menghasilkan data yang berkualitas, maka
akurasi dan kemantapan alat ukur merupakan hal penting
yang harus diperhatikan. Untuk itu metode atau instrumen
yang bersifat sahih dan reliabel merupakan pilihan utama
yang harus digunakan;
b) Dampak penting yang diakibatkan oleh proyek pada
umumnya tidak menyebar secara merata di seluruh
komponen ekosistem permukiman terpadu serta di
seluruh kelompok atau lapisan masyarakat yang terkena
dampak. Variabilitas ini harus dapat diketahui oleh penyusun
ANDAL;
c) Mengingat ekosistem di sekitar pengembangan
permukiman terpadu yang dimaksud dalam panduan inii
merupakan ekosistem yang tergolong memiliki
variabilitas dan heterogenitas yang tinggi, dan di lain pihak dalam
studi ANDAL diperlukan prakiraan dampak yang tajam maka
dalam pengumpulan data atau penarikan sampel perlu
diperhatikan hal berikut:
- Metode penarikan contoh (sampling) yang
digunakan harus disesuaikan dengan tujuan dan
efisiensi pengukuran, serta sifat dan karakter
komponen Lingkungan yang diukur;
- Kejelasan satuan analisis yang akan diukur, misal
untuk biologi pada tingkatan komunitas, untuk
aspek sosial berjenjang dari rumah tangga,
kampung, desa hingga kecamatan sesuai dengan
parameter yang hendak diukur;
- Lokasi pengambilan sampel harus dapat mewakili
heterogenitas persebaran dampak, yang meliputi:
(1) daerah atau kelompok masyarakat yang
diprakirakan akan terkena dampak; dan (2) daerah
atau kelompok masyarakat yang diprakirakan tidak
akan terkena dampak sebagai lokasi rujukan/
pembanding (reference station);
- Saat pengambilan sampel harus dapat mewakili
variabilitas harian, bulanan atau musiman;
d) Khusus untuk aspek sosial, data dan informasi yang
dikumpulkan agar tidak hanya menggunakan ukuran-ukuran
yang bersifat penting dari sudut pandang
pelaksana studi/pakar (etic) namun juga menurut pandangan
target group (kelompok/ masyarakat sasaran) di sekitar rencana
kegiatan (emic);
e) Kualitas data sekunder harus dicermati untuk itu
diperlukan cross check dengan data lain yang diperoleh.
Contoh metode pengumpulan dan/atau analisis data yang
digunakan oleh penyusun ANDAL dapat dilihat pada Tabel
4-1 sampai Tiabel 4-3.
4.2.4 Metode prakiraan dampak dan evaluasi dampak
Metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak yang
digunakan dalam studi ANDAL pengembangan permukiman
terpadu agar mengikuti panduan yang terdapat pada
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL.

4.3 URAIAN RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN


Dalam bagian ini deskripsi rencana usaha dan/atau kegiatan
pembangunan kawasan permukiman terpadu hendaknya diuraikan
secara rinci dan sistematis. Hal-hal penting yang perlu dimuat antara lain
adalah tentang (sebagian diantaranya merujuk pada Bab III di depan):
(1) Aspek bentuk pengembangan permukiman terpadu:
a) menempel pada kota yang sudah ada (misal, Pondok
Indah);
b) lepas namun terkait dengan kota yang sudah ada (misal,
Depok);
c) mendukung kegiatan pertambangan (misal, Bontang,
Tembagapura);
d) kota yang berdiri sendiri (misal, Palangka Raya);
e) merupakan kawasan siap bangun;

Tabel 4-1. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik kimia
Tabel 4-2. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik
biologi

Tabel 4-3. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik sosial
(2) Aspek konsepsi pengembangan permukiman terpadu, misal
kota dibangun berdasarkan konsep kota bisnis, kota
wisata, atau kota ramah lingkungan;
(3) Aspek rencana daya tampung atau jumlah penghuni
permukiman terpadu;
(4) Aspekjangka waktu pengembangan;
(5) Aspek rencana lokasi, yakni lokasi administratif dan rencana
luas/ skala permukiman terpadu;
(6) Aspek tata ruang mikro permukiman terpadu;
(7) Aspek manajemen kota/kelembagaan;
(8) Aspek kegiatan persiapan, konstruksi dan hunian permukiman
terpadu. Perlu diketahui aspek kegiatan ini tidak berjalan
secara sekuensial serentak untuk seluruh kawasan
permukiman terpadu. Oleh karena itu kegiatan persiapan,
konstruksi dan hunian sering dijumpai berlangsung secara paralel,
sehingga pembangunan permukiman terpadu dapat
menelan waktu bertahun-tahun tergantung pada skala/ luas
kota dan permintaan masyarakat. Kegiatan pembangunan
dimaksud dideskripsikan dengan penekanan pada pokok uraian
berikut ini :
1) Kegiatan persiapan atau pra-konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan survei;
b) Kegiatan pembebasan lahan;
2) Kegiatan konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan pembangunan perumahan:
i. Pembangunan perumahan;
ii. Pemadatan, pengerasan,dan pembangunan jalan
lingkungan;
iii. Penggalian saluran air;
iv. Pengalihan aliran air;
v. Penggalian/pembuatan jaringan air bersih, listrik dan
telepon;
vi. Pembuatan tempat pembuangan sampah;
b) Kegiatan pembangunan tempat olah raga dan rekreasi:
i. Pembangunan gedung olah raga;
ii. Pembangunan lapangan golf;
iii. Pembuatan taman-taman kota dan tempat bermain;
iv. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi);
c) Kegiatan pembangunan fasilitas perekonomian dan
perdagangan:
i. Pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan;
ii. Pembangunan pasar;
iii. Pembangunan pergudangan;
iv. Pembangunan terminal dan transport angkutan;
d) Kegiatan pembangunan industri kecil, misal:
i. Industri kulit (sepatu dan tas);
ii. Industri makanan;
iii. Industri mebel kayu dan rotan;
iv. Unit Pengolahan limbah;
3) Kegiatan hunian, yang meliputi:
a) Kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
b) Kegiatan masyarakat dalam fasititas sosial & fasilitas
umum yang dibangun;
c) Perekonomian dan perdagangan;
d) Transportasi;
e) Olahraga dan rekreasi;
f) Pariwisata;
g) Pendidikan;
h) Industri kecil atau menengah;
l) Penunjang kesehatan masyarakat;
j) Ketertiban dan keamanan;
k) Seni budaya;
Dari berbagai jenis kegiatan yang diutarakan pada angka (7)
usahakan dapat dipaparkan :
a) Disain teknik yang akan diaplikasikan. Mengingat studi
ANDAL ini dilakukan saat proyek berada pada tahap
studi kelayakan, maka disain teknik yang diutarakan
masih belum bersifat rinci/detil;
b) Alternatif lokasi, alternatif ruas jalan, atau alternatif
disain teknik yang sedang ditetaah;
c) Jenis dan jumtah peralatan yang digunakan dalam
kegiatan konstruksi;
d) Teknologi dan proses yang digunakan pada saat
kegiatan hunian (misal sarana pengolahan air limbah);
e) Tenaga kerja yang dicurahkan untuk kegiatan
persiapan, konstruksi dan hunian.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL serta Pedoman Teknis Penyusunan
AMDAL (Sektoral) dapat digunakan sebagai rujukan untuk
pengumpulan data dan informasi tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dibangun.

4.4 RONA LINGKUNGAN HIDUP AWAL


Rona lingkungan yang diutarakan dalam studi ANDAL kegiatan di
kawasan pembangunan permukiman terpadu pada dasarnya harus dapat
menggambarkan tentang:
a) struktur dari setiap tipe ekosistem permukiman terpadu yang
potensial terkena dampak proyek terutama komponen lingkungan
yang akan terkena dampak penting sebagaimana
dinyatakan pada butir 4.2.1;
b) fungsi dari setiap ekosistem permukiman terpadu yang
potensial terkena dampak proyek terutama fungsi lingkungan
yang akan terkena dampak penting sebagaimana
dinyatakan pada butir 4.2.1.
4.4.1 Struktur ekosistem permukiman terpadu
Pada bagian ini diutarakan struktur ekosistem permuikiman
terpadu saat proyek belum dibangun dan beroperasi di daerah
tersebut. Uraian disusun berdasarkan sistimatika sebagai berikut
(yang diutarakan di sini hanyalah contoh saja):
1. Komponen fisik-kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan;
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara;
iii. Panjang penyinaran matahari;
iv. Kecepatan angin;
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air tanah;
ii. Debit sungai dan pola aliran;
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
c) Tanah, yang meliputi:
i. Topografi;
ii. Sifat fisik tanah;
iii. Sifat kimia tanah;
2. Komponen biologi
a) Komunitas Vegetasi;
b) Komunitas Biota;
c) Struktur dan komposisi vegetasi;
d) Komunitas satwa liar;
e) Komunitas biota almafile;
f) Jenis dan populasi satwa liar;
g) Jenis satwa liar langka dan/atau dilindungi;
3. Komponen sosial ekonomi dan sosial budaya
a) Demografi dan kependudukan;
b) Fasilitas sosial dan fasilitas perhubungan darat;
c) Sumber mata pencaharian;
d) Peluang bekerja dan berusaha;
e) Rekreasi dan pariwisata;
f) Kepemilikan tanah masyarakat setempat (tanah milik,
tanah adat)
g) Perubahan gaya hidup dan tradisi masyarakat lokal;
h) Akulturasi dan asimutasi;
i) Pola konsumsi;
j) Persepsi masyarakat terhadap proyek.
4.4.2 Fungsi ekosistem permukiman terpadu
Pada bagian ini diutarakan fungsi-fungsi yang masih dimiliki
oleh ekosistem bersangkutan sebelum proyek beroperasi
di wilayah tersebut. Fungsi dimaksud berlaku untuk setiap tipe
ekosistem yang strukturnya mengalami perubahan
sebagaimana dimaksud pada angka 4.4.1. Fungsi dimaksud adalah
sebagai berikut (yang diutarakan di sini hanyalah contoh saja):
I. Fungsi ekosistem lahan basah, yang diantaranya meliputi :
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air),
yang berupa:
a. Pemanfaatan langsung oleh masyarakat;
b. Ke lokasi lain:
- Pasokan air ke aquifer (groundwater recharge);
- Pasokan air ke permukiman terpadu lainnya;
2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian
banjir;
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke:
a. Air tanah;
b. Air permukaan;
4) Fungsi lindung (dan kekuatan alam), yang berupa:
a. Perlindungan garis pantai dan pengendalian
erosi;
b. Pemecah angin (windbaeak);
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan
sedimen;
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur
hara;
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-
bahan beracun;
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai
ekonomi, seperti:
a. Kayu;
b. Ikan dan daging satwa (misal, rusa);
c. Rotan, getah, dan obat;
d. Gambut;
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi,
seperti:
a. Bahan organik dan anorganik yang
tertransportasi ke hilir
b. Hara terlarut yang tertransportasi ke hilir;
c. Ikan dan burung-burung migran;
10) Fungsi pemasok energi, misal: energi dari kayu,
listrik-hidro;
11) Fungsi transportasi/perhubungan;
12) Fungsi bank gen bagi:
a. Spesies-spesies tumbuhan komersil;
b. Populasi satwa liar;
13) Fungsi konservasi bagi:
a. Spesies langka dan dilindungi;
b. Habitat satwa liar dan tumbuhan penting;
c. Komunitas;
d. Ekosistem;
e. Lansekap atau jenis-jenis permukiman terpadu;
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
15) Fungsi sosial budaya, yang diantaranya berupa:
a. Estetika lansekap;
b. Keagamaan dan spiritual;
c. Peninggalan sejarah;
16) Fungsi sosial ekonomi yang diantaranya meliputi:
a. Sumber mata pencaharian masyarakat
setempat;
b. Tanah adat masyarakat setempat;
17) Fungsi penelitian dan pendidikan;
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, yang
antara lain
berupa:
a. Proses ekologi, geomorfoltogi dan geologi;
b. Rosot karbon (carbon sink);
c. Pencegahan perltuasan tanah sulfat masam;
II. Fungsi ekosistem lahan kering yang diantaranya meliputi:
1) Fungsi pemasok produk pangan, seperti :
a) makanan pokok (beras);
b) palawija dan hortikultura;
c) buah-buahan;
2) Fungsi pemasok produk alam, seperti:
a) bahan organik dan anorganik yang
tertransportasi ke hilir;
b) hara terlarut yang tertransportasi ke hilir;
c) pasokan hara untuk ikan dan burung-burung
migran;
3) Fungsi produksi energi (kayu);
4) Fungsi transportasi/perhubungan;
5) Fungsi konservasi bagi spesies:
a) Langka dan dilindungi;
b) habitat satwa liar dan tumbuhan penting;
c) komunitas;
d) ekosistem;
6) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
7) Fungsi sosial budaya. seperti:
a) estetika lansekap;
b) keagamaan dan spirituil
c) peninggalan sejarah;
8) Fungsi sosial ekonomi, yang meliputi:
a) sumber mata pencaharian masyarakat setempat;
b) tanah adat masyarakat setempat;

4.5 PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Bab tentang prakiraan dampak penting yang diutarakan dalam studi
ANDAL pengembangan permukiman terpadu pada dasarnya harus
dapat menggambarkan tentang:
1) Analisis prakiraan dampak hanya dilakukan pada komponen-
komponen lingkungan yang potensial terkena dampak penting
sebagaimana dinyatakan pada angka 3.1.2 (Langkah 8: Komponen
dampak penting yang ditelaah ANDAL). Dengan kata lain analisis
prakiraan dampak hanya ditujukan pada komponen-komponen tertentu
dari struktur ekosistem permukiman terpadu yang terkena
dampak penting;
2) Analisis prakiraan dampak yang dimaksud pada angka 1) di
atas meliputi kajian tentang arah dan besar dampak yang
akan terjadi di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak yang
dimaksud oleh angka 3.1.1. langkah 2;
3) Prakiraan terhadap besarnya dampak lingkungan yang timbul
dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu:
a) metode formal, yang antara lain meliputi: model
matematik dan metode grup eksperimen;
b) metode non-formal yang antara lain meliputi: penilaian
para ahli dan metode analogi;
4) Sehubungan dengan proyek masih berada pada tahap studi
kelayakan, dimana masih dilakukan pemilihan alternatif
kegiatan (misal alternatif lokasi dan/atau teknologi yang
digunakan), maka prakiraan besar dampak sebagaimana dimaksud
pada angka 1) dan 2) di atas dilakukan untuk masing-masing
alternatif kegiatan;
5) Mengingat di kalangan komponen ekosistem terdapat
keterkaitan dan ketergantungan yang tinggi, maka
dalam analisis prakiraan dampak (serta evaluasi dampak) perlu
diperhatikan pola aliran dampak yang dapat terjadi sebagai berikut:
a. Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen
fisik-kimia kemudian menimbulkan rangkaian dampak
lanjutan berturut-turut terhadap komponen biologi dan
sosial. Misalnya proyek mengakibatkan erosi dan abrasi
pantai yang kemudian menimbulkan rangkaian dampak
Lanjutan pada poputasi biota akuatik yang bernilai
ekonomi tinggi, dan kemudian pada mata pencaharian
penduduk setempat;
b. Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen
biologi yang kemudian membangkitkan dampak lanjutan
pada komponen sosial,.Sebagai misal, proyek
mengakibatkan dampak negatif terhadap habitat satwa
tiar (buruan) yang kemudian membangkitkan dampak
lanjutan berupa menurunnya hasil tangkapan berburu oleh
penduduk;
c. Proyek langsung menimbulkan dampak pada salah satu
komponen sosial dan kemudian berdampak lanjutan di
kalangan komponen sosial sendiri;
d. Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen
biologi dan kemudian menimbulkan dampak lanjutan
terhadap komponen fisik-kimia dan sosial. Sebagai misal,
proyek pengembangan permukiman terpadu yang
berlokasi di pantai akan mengakibatkan rusaknya
ekosistem mangrove. Kerusakan pada ekosistem
mangrove ini menyebabkan kerusakan pada stabilitas
pantai dan kemudian berdampak lanjutan pada produksi
tambak udang;
e. Dampak penting yang diutarakan seluruhnya pada huruf
a) selanjutnya mengakibatkan dampak balik pada kegiatan
proyek. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Penyusunan AMDAL dan Keputusan
Kepala Bapedal tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek
Sosial dalam Penyusunan AMDAL, disarankan digunakan
pula sebagai acuan untuk prakiraan dampak penting.
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada Bab ini
perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1:
Prakiraan dampak penting dengan cara:
prakiraan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang
terdapat dalam angka 3.1.2., khususnya Langkah 8: Komponen dampak
penting yang ditelaah ANDAL.

Hasil langkah I
Diperoleh prakiraan perihal besar (magnitude) dampak pada dua tingkat
analisis yakni :
a) Tingkat ekosistem yang terkena dampak penting
Prakiraan besar dampak untuk setiap komponen lingkungan dari
ekosistem (dengan kata ain struktur ekosistem) yang dinyatakan terkena
dampak penting menurut hasil langkah 8 dalam proses pelingkupan;
b) Tingkat dampak penting regional
Prakiraan besar dampak untuk setiap komponen lingkungan tingkat
regional yang dinyatakan terkena dampak penting menurut hasil
langkah 8 dalam ,proses pelingkupan.

Langkah 2
Lakukann hal yang sama seperti langkah 1 di atas untuk setiap alternatif
kegiatan proyek menurut yang terdapat dalam angka 3.1.1. khususnya
langkah 1: Identifikasi rencana usaha dan/atau kegiatan proyek.

Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (magnitude) dampak yang akan dialami oleh
setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem dan setiap
alternatif tertentu usaha dan/atau kegiatan proyek.

4.6 EVALUASI DAMPAK PENTING


Penulisan bab EvaLuasi Dampak Penting dimaksudkan untuk:
1) Mengevaluasi dampak berbagai alternatif kegiatan proyek secara
komprehensif /holistik, berikut dengan arti penting dari
perubahan atau dampak tersebut dari sudut ekologi dan sosiat,
sebagai bahan masukan untuk pengambilan keputusan atas
ketayakan lingkungan dari proyek;
2) Memberi arahan untuk penyusunan program-program
pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang akan dituangkan
dalam dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
dan dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada bab ini perlu
diarahkan sebagai berikut:

Langkah 1:
Telaah secara komprehensif seluruh dampak penting yang dialami oleh
struktur sistem, baik tingkat ekosistem maupun regional, sebagai akibat
alternatif usaha dan/atau kegiatan tertentu, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin di
kalangan seluruh komponen dampak penting tingkat ekosistem, yang
tercantum pada angka 4.5. (hasil langkah 2), berikut dengan penyebab
utama perubahan tersebut;
b) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin di
kalangan seluruh komponen dampak penting tingkat ekosistem
regional, yang tercantum pada angka 4.5. (hasil langkah 2), berikut
dengan penyebab utama perubahan tersebut;
c) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a)
tersebut dengan menggunaokan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang
Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.

Catatan langkah 1 :
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan
penyebab utama perubahan struktur ekosistem dapat dilakukan melalui
metode matrik (misal, matrik Leopold), metode Daftar Uji Berkala dengan
Pembobotan (misal,Environmental Evaluation System), dan/atau metode
bagan alir.

Hasil langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu
dari proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal :
a) fenomena perubahan struktur ekosistem akibat adanya alternatif
tertentu dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan
tersebut;
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.

Langkah 2
Telaahan secara komprehensif sejauh mana perubahan struktur ekosistem
dan regional yang dimaksud pada langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi
ekosistem dan ekonomi regional dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada
angka 3.1.1 (yakni langkah 4 proses pelingkupan), dan yang tercantum
pada angka 4.4.2. (yakni rona lingkungan hidup awal) akan berubah
secara mendasar.
b) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekonomi regional akan berubah
secara mendasar akibat adanya proyek pengembangan permukiman
terpadu.
c) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) dan b)
tersebut dengan menggunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang
Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.

Hasil langkah 2
Diperoleh sintesis komprehensif perihat fungsi ekosistem dan regional
yang terkena dampak penting menurut alternatif tertentu dari proyek,
dengan fokus pada :
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem dan ekonomi regional akibat
adanya alternatif tertentu dari proyek;
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem dan ekonomi di kawasan
permukiman terpadu dimaksud.

Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan proyek, dengan
cara:
a) Untuk setiap alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek, lakukan
telaahan sejauh mana dampak penting yang ditimbulkan terhadap (i)
struktur dan fungsi ekosistem, serta (ii) struktur dan fungsi ekonomi
regional, sebagaimana dimaksud pada langkah 1 dan 2, memenuhi
Pasal 22 PP Nomor 27 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek memenuhi Pasal
22 PP Nomor 27 Tahun 1999, maka pilih alternatif yang paling
minimum menimbulkan dampak penting negatif terhadap kehidupan
ekosistem dan ekonomi regional di kawasan permukiman terpadu.

Hasil langkah 3
Diperoleh informasi perihal alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan hidup.

Langkah 4
Dari alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan,. rumuskan arahan untuk RKL dan RPL dengan prioritas pada
pencegahan dampak lingkungan.

Hasil Langlcah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta
meningkatkan dampak positif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pengetotaan Lingkungan Hidup (RKL);
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).

BAB V.PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)


DAN RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

5.1 RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL)


5.1.1 Lingkup dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Dokumen RKL, dalam pengertian generik, merupakan
dokumen yang memuat upaya, program dan/atau upaya-upaya
untuk mencegah, mengendalikan dan menanggulangi dampak
penting lingkungan yang bersifat negatif dan
meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai akibat dari
proyek.
Dalam pengertian tersebut upaya atau program pengelolaan
lingkungan di kawasan pengembangan permukiman terpadu
tersebut mencakup empat kelompok aktifitas, yakni:
a) Pengelolaan lingkungan yang tujuan utamanya adalah
untuk mencegah timbulnya dampak penting yang bersifat
negatif di saat pra-konstruksi, konstruksi, maupun
penempatan permukiman pada kawasan permukiman
terpadu, misalnya melalui pemilihan lokasi atau teknologi
yang dapat mencegah rusaknya fungsi-fungsi tertentu
eksosistem di rencana kawasan pengembangan
permukiman terpadu. Sehubungan dengan hal tersebut,
pencegahan dampak negatif merupakan prioritas utama
mengingat dampak yang timbul bersifat kompleks;
b) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk
memanfaatkan ulang (reuse), mendaur ulang (recycle).
dan/atau mengurangi (reduce) dampak penting yang
bersifat negatif bila upaya, program atau tindakan yang
dimaksud pada huruf a) dari sudut ekonomi, teknologi dan
sosial tidak memungkinkan atau sulit untuk ditempuh;
c) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk
meningkatkan fungsi-fungsi alami dari ekosistem dan
kondisi fisik kawasan permukiman terpadu sehingga
proyek memberi dampak positif yang tidak hanya pada
manfaat ekonomi saja;
d) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memulihkan
atau merehabilitasikan fungsi-fungsi tertentu ekosistem
yang terkena dampak penting negatif dari proyek sebagai
kompensasi terhadap rusak atau hilangnya fungsi-fungsi
tersebut di saat pra-konstruksi, konstruksi dan
penempatan permukiman.
Keempat bentuk pengelolaan lingkungan tersebut pada
dasarnya merupakan upaya, program atau tindakan untuk
mencegah, menanggulangi dan mengendalikan kerusakan
komponen lingkungan atau struktur ekosistem dan kondisi
fisik lokasi pengembangan. Dengan dicegah/ditanggulanginya
kerusakan struktur maka fungsi ekosistem juga dapat
dicegah/ditanggulangi dari kerusakan akibat proyek.
5.1.2 Kedalaman dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi
kelayakan, maka yang termuat dalam dokumen RKL adalah
berupa pokok-pokok arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan
untuk melaksanakan upaya, program atau tindakan-tindakan
yang diprioritaskan pada pencegahan dampak penting yang
bersifat negatif. Bila dipandang perlu dapat dilengkapi dengan
acuan literatur tentang rancang bangun untuk pencegahan
dan pengendalian dampak. Lebih lanjut pada Lampiran III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL dipaparkan alasan yang
melatarbelakangi kedalaman dokumen RKL.
5.1.3 Struktur inti dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
Inti dokumen RKL termuat butir yang memuat tujuh aspek
berikut ini:
a) Komponen Lingkungan terkena dampak penting yang
dikelola;
b) Tujuan pengelolaan lingkungan;
c) Upaya pengelolaan lingkungan;
d) Waktu dan periode pengelolaan lingkungan;
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan;
f) Institusi pengelolaan lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa tujuh aspek pengelolaan lingkungan
tersebut diterapkan untuk setiap kegiatan pengembangan
permukiman terpadu yang terkena dampak penting
sebagaimana dimaksud pada angka 4.6. dari Bab IV di muka,
yakni Bab Evaluasi dampak dari dokumen ANDAL.
a. Komponen Lingkungan terkena dampak penting yang
dikelola
Pada butir mi utarakan secara singkat komponen
Ungkungan yang terkena dampak penting berikut dengan
penyebabnya (menurut hasil. ANDAL), yang dipandang
strategis untuk diketoLa di suatu kegiatan pengembangan
permukiman terpadu. Komponen Lingkungan tersebut
strategis untuk diketota berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dikelola merupakan isu
pokok lingkungan sebagaimana dimaksud oleh hasil
pelingkupan pada angka 3.1.2. langkah 10, dan
terkena dampak penting sebagaimana yang ditelaah
pada angka 4.5. Prakiraan dampak penting;
b) Dampak penting yang dikelola adalah yang tergolong
banyak menimbulkan dampak penting turunan
(dampak sekunder, tersier, kuarter dan selanjutnya)
dan/atau yang banyak menimbulkan dampak penting
pada fungsi ekosistem di kawasan pengembangan
permukiman terpadu, sehingga bila
dicegah/ditanggulangi akan membawa pengaruh
lanjutan pada dampak penting turunannya.
Pada bagian ini sekaligus diutarakan pula penyebab
timbulnya dampak penting. Penyebab dampak penting
dimaksud dapat mengacu pada bab prakiraan dampak dan
bab evaluasi dampak dari dokumen ANDAL sebagaimana
tercantum pada angka 4.5. dan angka 4.6. di muka.
b. Tujuan pengelolaan lingkungan
Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan dikelolanya
dampak penting pengembangan permukiman terpadu
berikut dengan dampak turunannya yang secana simultan
akan turut tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan inter
ekosistem).
Pernyataan tujuan pengelolaan lingkungan hidup dapat
merujuk pada Lampiran III Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
c. Pengelolaan lingkungan
Pada butir ini hendaknya diuraikan secara jelas upaya-
upaya, program atau tindakan untuk mencegah,
menanggulangi dan mengendalikan dampak negatif
penting serta berbagai upaya untuk mengembangkan
dampak positif penting akibat kegiatan proyek.
Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan
yang diutarakan harus berciri sebagai berikut:
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan
yang dijalankan akan dapat mencapai tujuan
pengelolaan lingkungan yang tercantum pada huruf c).
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan
yang dijalankan merupakan kombinasi dan tiga
pendekatan: teknologi, ekonomi atau kelembagaan. Jika
upaya pengelolaan lingkungan dilakukan melalui
pendekatan teknologi, maka sedapat mungkin
dituangkan disain teknologinya.
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan
yang dijalankan bermuara pada dilindungi atau
dipertahankannya fungsi-fungsi ekosistem permukiman
terpadu.
d. Waktu dan lokasi pengelolaan
Pada butir ini hendaknya dijelaskan tentang waktu dan
lokasi pengelolaan lingkungan dengan memperhatikan
sifat dampak penting yang dikelola (lama dampak
berlangsung, sifat kumulatif, berbalik tidaknya dampak)
sebagaimana telah diutarakan pada angka 4.5. Lokasi
pengelolaan lingkungan sejauh mungkin dilengkapi pula
dengan peta/sketsa/gambar.
e. Pembiayaan pengelolaan Lingkungan
Pembiayaan untuk pengelolaan lingkungan bersumber dari
pemrakarsa proyek. Biaya dimaksud antara lain meliputi:
biaya investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan serta
pelatihan ketrampilan operasional.
f. Institusi pengelolaan Lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang
terkandung dalam lampiran II Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

5.2 RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)


5.2.1 Lingkup dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami
fenomena-fenomena perubahan lingkungan yang terjadi
mulai dari tingkat sekitar proyek, sampai ke tingkatan
ekosistem, kawasan, atau bahkan regional, tergantung pada
skala kepentingan atau keacuhan terhadap isu lingkungan
yang timbul.
Pada ekosistem permukiman terpadu pemantauan lingkungan
setidaknya harus mampu memantau perubahan-perubahan
yang terjadi di sekitar proyek dan di tingkatan ekosistem
permukiman terpadu yang terkena dampak.
Pemantauan merupakan kegiatan yang berorientasi pada
data, sistematik, berurang dan terencana. Dengan demikian
kegiatan pemantauan sangat berbeda dengan pengamatan
yang bersifat acak dan sesaat.
Tujuan utama dari dokumen RPL adaLah sebagai pedoman
untuk melaksanakan upaya pemantauan lingkungan,
sehingga RKL dapat dijamin terlaksana secara efektif serta
untuk mendeteksi perubahan perubahan yang tidak terduga
pada komponen lingkungan/ struktur dan fungsi ekosistem
permukiman terpadu.
5.2.2 Kedalaman dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Kedalaman yang diinginkan dokumen RPL mengacu pada
angka 2 Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
5.2.3 Struktur inti dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
Struktur inti dokumen RPL pada dasarnya harus mencakup:
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau;
b) Tolok ukur dampak;
c) Tujuan pemantauan lingkungan;
d) Metode pemantauan lingkungan (meliputi metode
pengumpulan dan analisa data, lokasi dan jangka waktu
serta frekuensi pemantauan)
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan;
f) Institusi pemantauan
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pemantauan
lingkungan tersebut diterapkan untuk setiap kegiatan
permukiman terpadu yang terkena dampak penting
sebagaimana dimaksud pada angka 4.5. dan 4.6. yakni bab
prakiraan dampak penting dan bab evaluasi dampak penting
dari dokumen ANDAL.
a. Dampak penting dan indikator yang dipantau
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen
lingkungan yang terkena dampak penting berikut dengan
penyebabnya (menurut hasil ANDAL), yang dipandang
strategis untuk dipantau di suatu kawasan pengembangan
permukiman terpadu. Komponen lingkungan tersebut
strategis untuk dikelola berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dipantau hanyalah
komponen yang terkena dampak penting. Dengan
demikian tidak seluruh komponen lingkungan harus
dipantau. Hal-hal yang dipandang tidak penting atau
tidak relevan tidak perlu dipantau;
b) Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan isu
pokok lingkungan sebagaimana dimaksud oleh hasil
pelingkupan pada angka 3.1.2. Langkah 10, dan
terkena dampak penting sebagaimana yang ditelaah
pada angka 4.5. Prakiraan dampak penting dan angka
4.6. Evaluasi dampak penting;
c) Dampak penting yang dipantau adalah yang tergolong
banyak menimbulkan dampak penting turunan
(dampak sekunder, tersier, kuarter dan selanjutnya)
dan/atau yang banyak menimbulkan dampak penting
pada fungsi ekosistem permukiman terpadu, sehingga
dapat mencerminkan efektivitas pengaruh pengelolaan
lingkungan terhadap dampak penting turunannya;
d) Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan
kelangsungan fungsi-fungsi tertentu dari ekosistem
yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud
pada bab evaluasi dampak dari dokurnen ANDAL
(angka 4.5. Langkah 2).
Pada bagian ini juga diutarakan indikator dari komponen
dampak penting yang dipantau. Indikator adalah alat
pemantau (sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk
atau keterangan tentang suatu kondisi. Semisal, indikator
yang relevan untuk kualitas air sungai (komponen
lingkungan yang terkena dampak penting) adalah BOD,
suhu, warna, bau, kandungan minyak terlarut.
b. Tolok ukur dampak
Pada butir ini jelaskan tolok ukur dampak yang digunakan
untuk menyatakan suatu komponen lingkungan terkena
dampak kegiatan tertentu (proyek, sebagai misal). Tolok
ukur dampak yang dimaksud di sini dapat berupa baku
mutu limbah cair, baku mutu lingkungan, keputusan pakar
yang dapat diterima secara ilmiah, atau ketetapan resmi
suatu instansi.
c. Tujuan pemantauan Lingkungan
Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan
dipantaunya dampak penting berikut dengan
memperhatikan dampak penting yang dikelola,
upaya/program/tindakan pengelolaan lingkungan, serta
dampak turunan yang secara simultan akan turut
tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan inter ekosistem).
Pernyataan tujuan pemantauan lingkungan dapat merujuk
pada Lampiran IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
d. Metode pemantauan Lingkungan
Uraian pada butir ni merujuk ada Lampiran Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL.
e. Pembiayaan pemantauan lingkungan
Pembiayaan untuk kegiatan pemantauan lingkungan
bersumber dari pemrakarsa proyek. Biaya dimaksud
antara lain meliputi: biaya investasi, biaya operasi dan
biaya pendidikan serta pelatihan ketrampilan operasional
bagi para karyawan.
f. Institusi pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya rnengacu pada makna
yang terkandung dalam Lampiran IV Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan
AMDAL.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd
Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd
Nadjib Dahlan, SH

Lampiran 3.1
Matrik Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Komponen
Lingkungan
Keterangan :
Lampiran 3.2
Matrik Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Fungsi
Ekosistem Kawasan Pengembangan Pemukiman Terpadu untuk
Tipe Ekosistem : lahan basah dan lahan kering
Keterangan :

__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 5 Tahun 2000
Tentang : Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan
Pembangunan Di Daerah Lahan Basah

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

Bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999


tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup tentang Panduan
Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan Basah;

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran negara Republik Indonesia Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peratuiran Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 355/M/1999 tentang


Kabinet Persatuan Nasional;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH.
PERTAMA

Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di Daerah Lahan


Basah adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

KEDUA

Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di
kemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NO. 5 TAHUN 2000 TANGGAL 21 PEBRUARI 2000

PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH


LAHAN BASAH

BAB I. PENJELASAN UMUM

1.1 LATAR BELAKANG


Upaya melengkapi tuntutan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah diwujudkan melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). Di dalam Pasal 2 ayat (1)
dinyatakan secara tegas bahwa analisis mengenai dampak lingkungan
hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana usaha
dan/atau kegiatan. Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat (2) dinyatakan
bahwa hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan
sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah.

Salah satu kategori wilayah yang pertu dioptimalkan


pembangunannnya adalah kawasan lahan basah. Ketersediaan areal
lahan basah yang masih cukup luas dengan potensi sumberdaya alami
yang terkandung di dalamnya masih belum banyak termanfaatkan,
telah mengundang peningkatan usaha pemanfaatan lahan basah untuk
berbagai sektor kegiatan .Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kawasan ini semakin potensial untuk dikembangkan.
Beberapa kegiatan yang diperkirakan akan terus berkembang antara
lain, pembukaan persawahan, perkebunan dan pertambakan yang
dikaitkan dengan pembangunan permukiman transmigrasi. Bersamaan
dengan itu pembangunan agroindustri dandan berbagai industri jasa
seperti pengangkutan dan pelabuhan tentu akan semakin terfokus pada
kawasan lahan basah sebagai wilayah sasarannya.

Berbagai perkembangan kegiatan perekonomian baik bertaraf lokal,


regional, maupun nasional akan menyebabkan keberadaan potensi
sumberdaya alami terutama di kawasan lahan basah semakin terancam
kelestariannya. Sejumlah program yang sudah diimplementasikan
kebanyakan kurang memenuhi kaidah keberlanjutan, sehingga terjadi
pemubaziran sumberdaya lahan basah dan tidak jarang menimbulkan
berbagai permasalahan lingkungan yang serius. Mulai tampak
berkurangnya luasan alami kawasan lahan basah, dan secara langsung
maupun tak langsung menurunkan mutu dan fungsi ekologis dari
sumberdaya alami setempat. Pemanfaatan yang sudah berlangsung
ternyata, berpengaruh besar terhadap penyusutan mutu dan
keberadaan sumberdaya keanekaragaman hayati, sumberdaya perairan
rawa, sungai, estuaria dan bahkan potensi laut dalam (Syarkowi, 1995
dan Verheught, 1990). Kecenderungan pemanfaatan yang ada
menunjukkan bahwa, banyak pihak yang berkepentingan terhadap
daerah itu masih pertu dibekali pengetahuan tentang strategi
pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Cara-cara pengelolaan berbagai program pembangunan yang ada telah


menjadikan kawasan ini kurang termanfaatkan secara optimal. Padahal
jika potensi yang besar itu semakin surut dan banyak yang tersia-
siakan,; maka pembangunan di kawasan lahan basah akan sulit
berkelanjutan. Diakui bahwa kompleksitas persoalan lingkungan dan
pengendalian dampak negatif pembangunan kawasan lahan basah itu
sangat rumit. Keberadaan lahan basah secara geografis
menghubungkan ekosistem lahan kering terhadap ekosistem pesisir
dan kelautan, yang tentunya memiliki keterkaitan fungsi dan kepekaan
ekosistem yang beragam pula. Pengalaman pelaksanaan studi AMDAL
beberapa proyek di berbagai area lahan basah selama ini menunjukkan
bahwa kompleksitas dampak lingkungan yang bisa terjadi memang
sangat tinggi (Euroconsult, 1991), akan tetapi sedapat mungkin harus
diupayakan memprakirakannya. Dari studi khusus tentang "Pedoman
Pelingkupan AMDAL Lahan Basah" yang dilakukan oleh AWB (1991)
misalnya, kompleksitas dampak lingkungan itu secara sistematis mulai
dipahami dinamikanya. Walaupun demikian kenyataan tentang
munculnya berbagai masalah lingkungan hidup di kawasan lahan basah
dan sekitarnya selama pertengahan dekade 90-an, harus pula diakui
bahwa masih banyak rahasia yang perlu diungkapkan dan diketahui
dibalik dinamika dampak pembangunan lahan basah itu.

Guna mengendalikan pembangunan yang dilaksanakan secara tidak


bijaksana itu, maka studi AMDAL harus dioptimalkan dengan mengacu
kepada piranti khusus "Metodologi AMDAL Lahan Basah". Panduan ini
khusus memberi petunjuk bagaimana melaksanakan AMDAL di daerah
lahan basah. Dengan ini diharapkan informasi minimal tentang
karakteristik lahan basah baik yang bersifat umum maupun khusus dari
komponen lingkungan yang peka terhadap kegiatan pembangunan dan
pengembangan diarahkan agar dapat dipenuhi. Demikian pula tentang
karakteristik proyek pembangunan yang prospektif berkembang di
kawasan itu sangat perlu dan akan dapat dipahami atas dasar sifat
kepentingannya terhadap lahan basah.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN


Panduan ini dimaksudkan untuk memudahkan penyusunan AMDAL bagi
berbagai usaha dan/atau kegiatan (proyek) pembangunan di daerah
lahan basah.

Secara khusus Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan Pembangunan di


Daerah Lahan Basah ini diharapkan dapat:
1. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan lahan basah sehingga
terpelihara kelestarian fungsi ekologisnya; mengingat peruntukan
lahan yang tidak harmonis dan penerapan iptek yang kurang
bijaksana dapat mengakibatkan gejala erosi genetik, polusi dan
penurunan potensi lahan basah sulit dikendalikan.
2. Menopang upaya-upaya memertahankan proses ekologis antar
ekosistem di kawasan, lahan basah sebagai sistem penyangga
kehidupan yang perlu bagi kelangsungan pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan penduduk di kawasan lahan basah pada
khususnya serta masyarakat pada umumnya.
3. Mendorong langkah-langkah antisipatif dalam menggali dan
mengembangkan potensi keanekaragaman sumber genetik serta
potensi lain dari berbagai tipe ekosistem lahan basah dalam
kerangka kemajuan iptek dan perkembangan sosial ekonomi dan
budaya di masa depan.

1.3 PENDEKATAN DAN RUANG LINGKUP


Agar dapat melakukan identifikasi, prakiraan dan evaluasi dampak
penting lingkungan akibat pembangunan di daerah lahan basah, secara
cermat diperlukan pengetahuan tentang sifat dan kekhasan daerah lahan
basah tersebut. Hal ini diperlukan agar ragam respon sistem lingkungan
yang akan menerima dampak dapat dikenal pasti sedini mungkin. Oleh
karena itu, panduan ini diawali dengan perumusan tentang kriteria dan
batasan kawasan lahan basah disajikan pada Bab II. Kemudian diikuti
oleh panduan proses pelingkupan yang disajikan pada Bab III, yang
menjelaskan penentuan isu pokok, komponen lingkungan yang harus
ditelaah akibat satu jenis kegiatan, penentuan batas wilayah studi dan
lingkup waktu perkiraan dampak dalam studi AMDAL.

Panduan penyusunan analisis dampak lingkungan (ANDAL) disajikan


dalam Bab IV. Sebagai suatu panduan, maka segenap metode dalam
dokumen ini diuraikan secara garis besar dan dilengkapi dengan bahan
rujukan yang memuat metode pengumpulan atau analisis data secara
terperinci. Selanjutnya, panduan untuk penyusunan rencana pengelolaan
lingkungan (RKL) dan rencana pemantauan lingkungan (RPL) disajikan
pada BaB V. Secara skematis, sistematika panduan ini mengikuti alur
pikir proses : penyusunan AMDAL seperti pada Gambar 1-1.
Pembangunan di daerah lahan basah akan memiliki ragam dan besaran
dampak tergantung pada sistem lingkungan yang akan terkena
dampak.Dengan demikian, mengikuti tujuan studi AMDAL adalah
memeliha kapasitas ekosistem alamiah dalam hal penentuan parameter
lingkungan yang harus ditelaah, pengumpulan dan analisis data,
prakiraan evaluasi dampak perlu disusun atas dasar pendekatan
pemeliharaan, ekosistem yang berkesinambungan.
Gambar 1-1
Pendekatan sistem dalam penyusunan AMDAL kawasan lahan basah

BAB II. KONSEP STRUKTUR DAN FUNGSI EKOSISTEM LAHAN BASAH

2.1 TIPOLOGI EKOSISTEM


Keberadaan lahan basah atau tahan berawa dapat diklasifikasikan
menjadi 3 zona, yaitu :
(1) Ekosistem rawa pasang surut air payau/salin;
(2) Ekosistem rawa pasang surut air tawar; dan
(3) Ekosistem rawa non-pasang surut atau rawa lebak.
Zonasi ini diterapkan demikian berdasarkan kekuatan air sungai dan air
pasang (Sandy dan Nad Darga, 1979).

Pada musim hujan zona I dan II memperoleh pengaruh pasang surut,


sedangkan zona III tidak diperigaruhi. Pada musim kemarau, hanya zona
I yang dipengaruhi oleh luapan dan intrirsi air payau/asin. Berkenaan
dengan itu, maka ada tiga hal penting yang perlu diingat sehubungan
dengan ekosistem lahan basah; yaitu :
(1) Ekosistem lahan basah sesungguhnya memiliki potensi alami yang;
sangat peka terhadap setiap sentuhan pembangunan yang merubah
pengaruh perilaku air (hujan, air sungai, dan air laut) pada bentang
lahan itu;
(2) Ekosistem lahan basah sesungguhnya bersifat terbuka untuk
menerima dan meneruskan setiap material ("slurry") yang terbawa
sebagai kandungan air, baik yang bersifat hara mineral, zat atau
bahan berat maupun energi lainnya, sehingga membahayakan; dan
(3) Ekosistem lahan basah sesungguhnya berperan penting dalam
mengatur keseimbangan hidup setiap ekosistem darat di hulu dan
sekitarnya serta setiap ekosistem kelautan di hilirnya.

Bentuk pemanfaatan yang utama dan merupakan fungsi perlindungan


pada lahan basah terhadap sistem penyangga kehidupan, antara lain
(1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air)
(2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
(3) Fungsi pencegah intrusi air laut
(4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam)
(5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
(6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
(7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
(8) Fungsi pemasok kekayaan alam (di dalam areal lahan basah)
(9) Fungsi pemasok kekayaan alam (ke luar areal lahan basah)
(10) Fungsi produksi energi (kayu, listrik-hidro)
(11) Fungsi transportasi/perhubungan
(12) Fungsi bank gen
(13) Fungsi konservasi
(14) Fungsi rekreasi dan pariwisata
(15) Fungsi sosial budaya
(16) Fungsi sosial ekonomi
(17) Fungsi penelitian dan pendidikan
(18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam.

Selanjutnya manfaat sampingan dapat dipanen dan dinikmati


masyarakat sampai batas-batas tertentu tanpa merusak proses ekologis
yang diperankan oleh ekosistem itu. Bentuk pemanfaatan golongan ini
antara lain: (1) sumber air bagi penduduk (setempat); (2) sumber
produk alami (nipah dan ikan); (3) sumber eneigi (kayu dan gambut);
dan (4) sumber kesegaran dan keindahan (wisata).
Bertolak dari pemahaman akan arti penting fungsi-fungsi ekologis maupun
fungsi ekonomis yang diperankan oleh ekosistem lahan basah itu, maka
upaya untuk melestarikan keberadaan mutu dan fungsi ekosistem lahan
basah patut direalisasikan. Ini antara lain dilakukan melalui pendekatan
peraturan perundangan yang melindungi komponen-komponen kawasan yang
berfungsi penting dan strategis. Pelestarian sumberdaya kawasan lahan basah
dimungkinkan oleh adanya ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU Nomor 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Ketentuan perundangan itu
meliputi perlindungan jenis flora dan fauna serta benda cagar budaya, yang
tidak jarang banyak ditemukan pada daerah lahan basah.
Sampai sejauh ini, kawasan yang ingin dipertahankan dan dijaga serta
dilestarikan fungsinya antara lain:
(1) Kawasan Gambut, yaitu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya
sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam
waktu lama. Perlindungan terhadap kawasan gambut dilakukan untuk
mengendalikan hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air
dan pencegah banjir maupun kebakaran, serta melindungi sistem
ekonomi yang khas di kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan
gambut yang dilindungi itu adalah tanah gambut dengan ketebalan tiga
meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa (Pasal 10
Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung)
(2) Kawasan Resapan Air, yaitu daerah yang mempunyai kemampuan tinggi
untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air
bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Perlindungan terhadap
kawasan resapan air dilakukan untuk memberikan ruang yang cukup
bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan
penyediaan kebutuhan kawasan yang bersangkutan. Kriteria kawasan
resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah
meresapkan air bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan
secara besar-besaran (Pasal 12 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung);
(3) Sempadan Sungai, yaitu kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk
sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat
penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Perlindungan
terhadap sempadan sungai dilakukan untuk melindungi dari kegiatan
manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai,
kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai.
Kriteria sempadan sungai yaitu: (a) Sekurang-kurangnya 100 meter di
kiri kanan sungai besar dan50 meter di kiri kanan sungai yang berada di
luar pemukiman (Pasal 16 butir a Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung jo PP No. 35 tahun 1991 tentang Sungai)
(b) Untuk sungai di kawasan pemukiman lebar sempadan sungai
seharusnya cukup untuk membangun jalan inspeksi yaitu antara 10
sampai dengan 15 meter (Pasal 16 Butir b Keppres No. 32 Tahun 1990 jo
PP No. 35 Tahun 1991);
(4) Sempadan Pantai, adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan dan melindungi
kelestarian fungsi pantai dari gangguan berbagai kegiatan dan proses
alam. Kriteria sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian yang
lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal
100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat (Pasal 14 Keppres No.
32 Tahun 1990);
(5) Kawasan Sekitar Danau/Waduk, adalah kawasan tertentu di sekeltiling
danau/waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi danau/waduk Perlindungan terhadap kawasan sekitar
danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan
budidaya yang dapat mengganggu kelestariaan fungsi danau/waduk.
Kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah sepanjang tepian
danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik
danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah
darat (Pasal 18 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau, yaitu kawasan pesisir laut yang
merupakan habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberi perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
Perlindungan terhadap kawasan ini dilakukan untuk melestarikan hutan
bakau sebagai pembentuk ekosistem hutan bakau dan tempat
berkembang-biaknya berbagai biota laut disamping sebagai pelindung
usaha budidaya di belakangnya. Kriteria kawasan ini adalah minimal 130
kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan
diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (Pasal 8 UU No. 5
Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya Jo Pasal 27 Keppres No. 32 Tahun 1990);
(7) Rawa yang merupakan lLahan genangan air secara alamiah yang terjadi
terus-menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat
serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisik, kimiawi, atau bilogis.
Konservasi rawa adalah pengelolaan rawa sebagai sumber air yang
berdasarkan pertimbangan teknis, sosial ekonomis dan lingkungan,
bertujuan untuk mempertahankan dan sebagai sumber air serta
meningkatkan fungsi dan manfaatnya, dengan memperhatikan faktor -
faktor sebagai berikut (Pasal 9 PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa) :
(a) kemampuan meningkatkan rawa sebagai ekosistem sumber air; (b)
kelestarian rawa; (c) kemampuan meningkatkan perekonomian
masyarakat dan (d) kelestarian lingkungan hidup.
2.1.1 Ekosistem Hutan “Bakau”(Zonasi I)
Ekosistem ini terdiri dan formasi bakau, nipah, serta formasi
Acrosticum. Formasi hutan mangrove atau “bakau”ditandai dengan
kehadiran jenis tanah aluvial, sebagai hasil dari sedimentasi dan
akumutasi lumpur yang dibawa oleh air sungai. Formasi ini begitu
dinamis dengan adanya peran dari tumbuhan pemul, umumnya berupa
tumbuhan Api-api (Avicennia sp.) dan Pedada (Sonneratia sp.), dan
jika kondisi lahan menjadi stabil, maka akan ditemui jenis Bakau
(Rizophora spp.) dan Nyireh (Xylocarpus sp.). Jenis-jenis ini diketahui
sangat baik beradaptasi pada tanah bersalinitas tinggi sebagai
pengaruh dan pasang air laut.
Pada ekosistem ini formasi Rhizophora sp., Avicennia sp., dan
Sonneratia marina menduduki formasi terdepan sedangkan agak
kebelakang dijumpai jenis tumu atau bakau tomak (Bruguirea
hexangula), Xylocarpus muluccensis dan Sonneratia ovata. Formasi
hutan “bakau”ini diketahui sangat penting peranannya sebagai habitat
pijah-asuh berbagai jenis ikan dan udang. Di sisi lain, formasi
Acrostichum juga dominan dan berfungsi sebagai penutup tanah hutan
mangrove hingga ketinggian 3-4 meter. Bersamaan dengan itu
terdapat pula assosiasi dengan Nipa. Jenis tumbuhan Nipa
membutuhkan air selama hidupnya.Ini terlihat dan seringnya Nipa
diketemukan di sepanjang tepi sungai dengan aliran yang tenang. Jenis
ini dapat hidup sebagai pioner di sedimen berlapis. Reptilia yang hidup
di habitat ini adalah biawak ( Varanus salvator), buaya (Crocodylus
porosus), ular cincin emas (Boiga sp.), sedangkan mamalia yang umum
ditemukan adalah babi hutan (Sus scoria), kera (Macaca sp.), kucing
hutan (Felix sp.), Napu (Tragulus napu), dan kelompok burung yang
banyak ditemukan merupakan kelompok cemar laut (wader) dan
bangau, serta kuntul.
2.1.2 Ekosistem Hutan Raya Payau (Zona I)
Merupakan formasi hutan rawa campuran air asin dan air tawar, dan
umumnya terdapat di belakang hutan magrove atau di sepanjang tepi
sungai. Tumbuhan pada formasi ini didominasi oleh Terentang
(Camnosperma), Putai (Alstonia), dan Rengas (Gluta rengas). Formasi
ini berperan sebagai pembatas terhadap ekosistem hutan bakau
dengan kehadiran formasi Nibung. Formasi ini merupakan pembatas
antara hutan mangrove dan hutan lainnya di belakang mangrove, baik
hutan rawa maupun hutan gambut. Kelebatan formasi ini berkisar
antara 100-500 meter. Fauna yang ditemukan di habitat ini pada
umumnya fauna yang hidup di daerah mangrove maupun di hutan rawa
air tawar.
2.1.3 Ekosistem Hutan Rawa Air Tawar (Zona II)
Formasi hutan rawa air tawar terletak di bagian belakang hutan rawa
payau. Salah satu indikator formasi hutan ini adalah hadirnya tanaman
pandan (Pandanus sp.) dan rumput yang terapung (kumpai) di
perairan. Tumbuhan lain yang juga sering ditemukan adalah
Comnosperma dan Alstonia. Selain itu terdapat familia
Dipterocarpaceae dari Genera Shorea, Dipterocarpus, Marsawa, dan
Cotilelobium.
Pada habitat ini biasa ditemukan fauna yang tergolong reptilia, yaitu
buaya senjolong (Tomastoma schlegelii), dan kelompok mamalia antara
lain : gajah (Elephas maximus), tapir (Tapirus indicus), badak
(Dicerorhinus sumatrensis), beruang (Herartos malayensis), kancil
(Tragulus javanicus), babi (Sus barbatus), dan lain-lain.
2.1.4 Ekosistem Hutan Rawa Gambut (Zona III)
Di daerah delta yang biasanya banyak mendapat pengaruh air asin dan
payau, beberapa jenis tumbuhan dominan adalah jenis terentang
abang (Camnosperma macrophylla). Hutan pelawan beriang (Tristania
abovata) dan Ploiarium alternifolium ditemukan pada lapisan gambut
yang tebal, sedangkan pada lapisan gambut yang tipis ditemukan
tegakan nibung (Oncosperma filamentosa). Di dekat sungai-sungai
besar, pada tempat tempat yang kurang tergenang ditumbuhi oleh
jenis perepat (Combretocarpus motleyi) yang bercampur dengan
Camnosperma macrophylla dan meranti paya (Shorea spp.).
Hutan rawa gambut yang tidak dipengaruhi oleh air asin memiliki jenis
tumbuhan yang lebih kaya. Hutan ini merupakan formasi transisi dan
hutan gambut ke hutan rawa (mixed peat swamp forest). Di dalam
formasi ini terdapat lapisan bergambut dengan ketebalan sekitar 20
cm. Komposisi floristik pada formasi ini mirip dengan komposisi di
hutan rawa air tawar. Komposisi tumbuhannya terdiri dan tiga zona
yang secara horizontal adalah berturut-turut : zona pertama didominasi
oleh jenis durian payau (Durio carrinatus), meranti (Shorea sp.),
merawan bunga (Hopea mangerawan), simang (Diospyros sp.), dan
jenis-jenis yang termasuk ke dalam familii Anacardiaceae. Zona kedua
terdiri atas tumbuhan Sindai (Knema spp.), Blumeodendron sp., Prunus
sp., dan beberapa jenis dan familia Poligalaceae serta Euphorbiacece.
Di bagian zona terutama didominasi oleh tipe semak dan rumputan.
Ketebalan gambut di daerah ini mencapai 2 sampai 3 meter dengan
dominasi jenis palem yang merupakan indikator bahwa formasi di
daerah ini merupakan formasi transisi antara tipe rawa dan gambut
(hutan campuran rawa dan gambut atau mixed peat swamp forest).

2.2 TIPOLOGI GEOFISIK


Kualitas dan karakteristik lahan basah pada masing-masing zona dapat
ditetapkan apabila jenis tanahnya diketahui. Nama atau jenis tanah
tertentu sekurang-kurangnya memberi gambaran tentang sifat dan
kelakuan tahan dalam merespon suatu teknologi yang diterapkan. Dan
berbagai laporan studi dapat dikemukakan bahwa jenis tanah dominan
pada lahan basah adalah: (1) tanah aluvial; (2) tanah sulfat masam;
dan (3) tanah bergambut dan gambut. Pada umumnya sifat-sifat tanah
pada lLahan basah tersebut sangat berhubungan erat dengan fisiografi
dimana tanah tersebut ditemukan. Fisiografi utama pada zona I
termasuk grup marin dan kubah gambut. Pada zona II termasuk grup
aluvial, marin dan kubah gambut, sedangkan pada zona III termasuk
grup aluvial dan kubah gambut. Informasi tentang tipologi geo-fisik
lahan basah itu dapat digunakan sebagai arahan pemanfaatan,
pengembangan dan pengelolaannya.
Secara geofisik, karakteristik lLahan basah yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut: (1) lama dan kedalaman genangan air banjir
atau air pasang, serta kualitasnya; (2) ketebalan dan kematangan
gambut serta kandungan hara mineral; (3) kedalaman lapisan pirit
serta kemasan potensial dan aktual setiap lapisan tanahnya; (4)
pengaruh luapan/air laut; (5) tinggi muka air tanah; dan (6) keadaan
substratum lahan. Rincian karakteristik umum tipologi geo-fisik lahan
basah disajikan pada Tabel 2-1.
Tabel 2-1. Karakteristik Umum Tipologi Geofisik Lahan Basah

Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel 2-1 tersebut
penting diperhatikan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk
kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4 , dan 5 merupakan hal yang
patut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan
non pertanian.

2.3 TIPOLOGI AGROEKOSISTEM

2.3.1 Agro ekosistem Rawa Pasang Surut


Pola pemanfaatan lahan basah pada zona rawa pasang surut dapat
didasarkan pada tipe luapan air pasang surut. Dengan tipe luapan air
yang dimaksudkan itu maka pemanfaatan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam 4 tipe [berdasarkan luapan pasang besar (maksimum) dan
pasang kecil (minimum)], yaitu :
(1) Tipe A = terluapi pasang besar dan kecil;
(2) Tipe B = terluapi pasang besar;
(3) Tipe C = tidak terluapi pasang, air tanah < 50 cm; dan
(4) Tipe D = tidak terluapi dan air tanah > 50 cm
Pengelompokan tipe luapan ini sepadan dengan kategorisasi hidup
topografi lahan basah berdasarkan pasang besar pada MH dan MK
yaitu kategori I, II, III, dan IV. Jika dipertimbangkan tipologi
lahan tipe luapan, kendala fisik lahan yang ada dan diperkirakan ada,
maka dapat dikemukakan pola pemanfaatan lahan rawa pasang surut
(Halim1994), seperti pada Tabel 2-2.

Tabel 2-2 Pola Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut Sesuai dengan Tipologi
Lahan dan Tipe Luapannya

Lahan potensial, gambut dan sulfat masam dengan tipe luapan A dan B
dimanfaatkan untuk sawah. Sawah dapat dilakukan sebanyak dua kali
dalam setahun pada lahan dengan tipe luapan A. Dengan sistem
Surjan, lahan dengan tipe luapan B juga dapat disawahkan sebanyak
dua kali dalam setahun. Lahan dengan tipe luapan C juga dapat
disawahkan dalam musim hujan bila diterapkan sistem surjan. Pada
guludan dapat ditanam beberapa jenis tanaman pangan lainnya serta
tanaman hortikultura. Pemanfaatan lahan dengan tipe luapan D adalah
berupa usaha tani lahan kering untuk tanaman pangan/hortikultura
atau perkebunan kelapa. Pada lahan gambut sebaiknya diusahakan
sebagai lahan perkebunan kelapa sawit yang didahului dengan tanaman
pangan dan hortikultura untuk beberapa musim. Sedangkan pada lahan
sulfat masam, sebaiknya dimanfaatkan langsung sebagai lahan
perkebunan kelapa.

2.3.2 Agroekosistem Rawa Lebak


Pola pemanfaatan lahan basah pada zona rawa lebak disesuaikan
dengan tipologi lahannya seperti disajikan pada Tabel 2-3. Tipologi
lahan aluvial dimanfaatkan untuk sawah lebak atau sawah tadah hujan.
Rawa lebak bertipologi demikian umumnya termasuk rawa lebak
dangkal. Sedangkan pada tipologi tahan gambut-dangkal, gambut
sedang dan gambut dalam dapat dimanfaatkan untuk perkebunan
kelapa sawit dengan sistem "polder". Rawa lebak pada tipologi lahan
tersebut umumnya termasuk rawa lebak tengahan dan/atau dalam.

Tabel 2-3 Pola Fisiografis Pemanfaatan Lahan Basah

Pada kawasan lebak dangkal (pematang), lebak tengahan, dan daltam


sebenarnya mengindikasikan adanya cekungan bentang lahn yang
digenangi air tawar. Indikasi yang demikian amat perlu diperhatikan
setiap kali suatu pembangunan direncanakan. Pembangunan suatu
waduk untuk irigasi di bagian hulu misalnya, mengubah keadaan
bentang lahan lebak di bagian hilir. Lebak dangkal berubah jadi kering,
yang tengahan menjadi dangkal. Demikian pula lebak dalam yang
biasanya berperan sebagai gudang kehidupan berbagai jenis ikan akan
berkurang kemampuan ekologisnya.

2.4 TIPOLOGI SOSEKBUD DAN KESEHATAN MASYARAKAT


2.4.1 Sosekbud
Dari sisi sosial ekonomi, sesungguhnya sumberdaya alam kawasan
lahan basah amat kaya, baik yang terbarukan maupun yang tak
terbarukan. Sumberdaya alam di kawasan lahan basah dapat
dikategorikan menjadi empat kategori, yaitu:

(1) Sumberdaya "alam-terludesi" (exhaustible resources);


(2) Sumberdaya "alam-hayati" (biological! resources);
(3) Sumberdaya "alam-maliri" (flow resources);
(4) Sumberdaya "alam-segari" (amenity resources).

Keempat kategori sumberdaya alam tersebut telah dimanfaatkan oleh


masyarakat daerah setempat maupun masyarakat pengusaha.
Walaupun demikian, karena keterisolasian lokasi dan keterbatasan
sarana pengangkutan berbagai jenis sumberdaya alam dan
sumberdaya turunannya masih sering tersia-siakan begitu saja.
Misalnya, potongan kayu dan tempurung kelapa (yang baik untuk
arang) serta sabut kelapa biasanya belum sepenuhnya dimanfaatkan
penduduk sebagai bahan sumber tambahan pendapatan.

Oleh karena terdapat berbagai ragam potensi sumberdaya alam yang


dapat dimanfaatkan, maka interaksi sosial dan proses sosial bisa
beragam coraknya. Dari sudut pandangan lingkungan hidup, interaksi
sosial dalam pemanfaatan sumberdaya alam seyogyanya diperhatikan
keterkaitannya dengan pencemaran dan pengrusakan lingkungan alam.
Diantara interaksi itu ada yang patut diteladani sebagai kearifan lokal,
tapi ada yang harus dikendalikan agar tidak meluas pengaruhnya.

Dari segi sosial-budaya, isu lingkungan di kawasan lahan basah juga


perlu diperhatikan. Kawasan lahan basah di Indonesia ada yang berada
dalam lingkup pengaruh atau telah merupakan perkampungan bahkan
ada yang sudah merupakan bagian dari wilayah kota besar. Keadaan ini
menempatkan aspek sosial budaya sebagai komponen lingkungan yang
tetap harus diperhatikan. Dengan kata lain suatu proyek pembangunan
harus mempertimbangkan pola kebudayaan lokal, agar sedapat
mungkin kelangsungan proyek mendapat dukungan masya akat atau
paling tidak dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi. Sehubungan
dengan itu, pemahaman tentang persepsi masyarakat di kawasan lahan
basah menjadi sangat penting.

Semangat dan aktivitas gotong royong di kawasan lahan basah


berbeda dengan kawasan-kawasan lain. Spektrum kegiatan gotong-
royong dalam suatu kekerabatan atau kelompok sosial di kawasan
lahan basah relatif luas dibandingkan dengan kawasan lainnya. Dapat
dilihat bahwa penguasaan lahan oleh suatu keluarga dapat mencapai 2
sampai 5 Ha. Selain itu, peran limpahan air yang secara musiman
membatasi intensitas tanaman akan memudahkan pengendalian hama
dan gulma, sehingga mendorong masyarakat untuk melaksanakan
upaya gotongroyong dalam memperluas lahan usaha. Dengan
demikian, perlu memperhatikan tradisi pemitikan lahan yang luas itu
sebagai aspek pertimbangan utama. Jika tidak demikian, maka sikap
masyarakat bisa negatif terhadap aktivitas proyek pembangunan.

Aspek sosial lain di kawasan lahan basah yang perlu diperhatikan


adalah tentang hak atas tanah. Di kawasan lahan basah masih terdapat
penguasaan lahan secara komunal yang dikenal dengan Hak Ulayat.
Dengan Hak Ulayat ini, masyarakat hukum adat yang bersangkutan
menguasai tanah tersebut secara menyeluruh. Hak masyarakat atas
tanah yang terwujud dalam Hak Ulayat di kawasan lahan basah berupa
: (1) Hak untuk meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada
wilayah/wewenang hukum masyarakat bersangkutan; dan (2) Hak
untuk berburu dalam batas wilayah atau wewenang hukum masyarakat
merdeka.

Namun, dalam konsepsi hak ulayat tersebut ternyata masih ada hak
anggota masyarakat secara individu menguasai sebagian obyek
penguasaan Hak Ulayat tersebut dengan sistem tertentu, misalnya
sistem lelang lebak-lebung di Sumatera Selatan. Oleh karena itu dapat
dipahami jika terhadap sumberdaya alami yang dilingkupi oleh hak
ulayat itu terdapat gengsi kesukuan yang tinggi. Kehati-hatian
diutamakan di sini, karena suatu keputusan yang tidak transparan oleh
aparat tidak akan didukung oleh masyarakat setempat. Selain itu,
apabila terjadi pengambilalihan tanah Hak Ulayat maka perlu
dipertimbangkan untuk seyogyanya tidak secara penuh meliputi setiap
jenis sumberdaya terkait yang justru menjadi sumber nafkah
penduduk. Misalnya, hak untuk menanam ikan diperairan dalam
kawasan proyek bekas tanah Hak Ulayat hendaknya tetap diberikan
kepada penduduk setempat.

2.4.2 Kesehatan Masyarakat dan Lingkungan


Karakteristik utama lahan basah yang dicirikan dengan keberadaan air,
pada keadaan yang masih alami ciri itu sangat menonjol, dan dalam
keadaan keseimbangan maka keberadaan air akan menopang
kehidupan sehari-hari. Akan tetapi setiap sentuhan proyek
pembangunan yang mengganggu dan mengubah keseimbangan alami
itu, baik langsung maupun tidak berpengaruh negatif terhadap tingkat
kesehatan masyarakat.
Di lokasi pemukiman kawasan lahan basah menunjukkan urutan jenis
penyakit terbesar adalah penyakit malaria. Serangan penyakit ini
diprakirakan akan selalu berlangsung pada setiap awal kegiatan
pembangunan di kawasan lahan basah.

BAB III. PENYUSUNAN KERANGKA ACUAN

3.1 PELINGKUPAN DAMPAK PENTIN6


Menurut Lampiran 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Pedoman Penyusunan AMDAL, pelingkupan dampak penting
ditempuh melalui tiga proses utama. yaitu: (1) identifikasi dampak
potensial; (2) evaluasi dampak potensial; dan (3) pemusatan dampak
penting. Berikut diutarakan proses pelingkupan untuk ANDAL di daerah
lahan basah dengan mengacu pada peraturan perundang tersebut.

3.1.1 Identifikasi Dampak Potensial


Pelingkupan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi
segenap dampak lingkungan (primer, sekunder, dan seterusnya) yang
secara potensial akan timbul akibat adanya proyek. Pada tahap ini
hanya diinventarisasi dampak potensial akan timbul tanpa
memperhatikan besar dampak, atau penting tidaknya dampak.
Identifikasi dampak potensial ditempuh melalui serangkaian langkah
kegiatan berikut ini: - Konsultasi dan diskusi dengan para pakar,
pemrakarsa kegiatan, instansi yang bertanggungjawab, serta (tokoh-
tokoh) masyarakat yang berkepentingan,
- Analisis terhadap peta dan data sekunder yang ada, seperti peta
vegetasi, peta tata guna tanah, peta sistem lahan, dan data/
informasi tentang hidrologi,
- Observasi atau kunjungan ke calon lokasi proyek.
Adapun metode identifikasi dampak potensial yang dapat digunakan
antara lain adalah:
- Penelaahan pustaka:
- Analisis isi (content analysis);
- Interaksi kelompok (rapat, lokakarya, brainstorming dan lain-lain);
- Daftar uji sederhana;
- Matrik interkasi sederhana; dan
- Pengamatan lapangan (observasi).
Lihat pula KEP-30/MENKLH/7/I992 tentang Panduan Pelingkupan untuk
Penyusunan Kerangka Acuan ANDAL sebagai sumber informasinya yang
lebih rinci.
Berikut diutarakan langkah-langkah identifikasi dampak potensial
aktivitas proyek di daerah lahan basah.

Langkah 1
Buat daftar rencana kegiatan proyek yang akan dibangun di daerah
lahan basah.

Hasil Langkah 1
Daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat merupakan penyebab
dampak lingkungan antara lain adalah:
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei.
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i. Pengurangan/pembuangan lahan
Seperti antara lain : pembangunan tambak
ii. Penambahan/pengurukan lahan
Seperti antara lain : pembangunan jalan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran
i. Minyak
ii. Kimia
iii.Radioaktif
iv.Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah
i. Limbah padat
ii. Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan
domestik dan kebutuhan proses produksi
i. air permukaan (sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan penerimaan tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru

Langkah 2
Identifrkasi tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi
pro dan/atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek
sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1.

Hasil Langkah 2
Daftar tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi
proyek dan/ atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek. Dalam
Panduan ini tipe ekosistem dimaksud dibatasi pada:
1. hutan bakau,
2. hutan rawa payau,
3. hutan rawa air tawar, dan
4. hutan rawa bergambut.

Langkah 3
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan
komponen ekosistem yang akan mengalami perubahan akibat adanya
proyek.

Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen lingkungan untuk setiap tipe ekosistem
lahan basah yang potensial terkena dampak proyek, yang diantara
adalah:
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air (pasang surut)
ii. Debit dan pola aliran
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi, litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas Vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas Satwa Liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton, nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi
iv. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi
3. Komponen Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
t) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan

Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan fungsi atau
manfaat yang masih dimiliki oleh ekosistem bersangkutan yang akan
mengalami perubahan mendasar akibat adanya proyek.

Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi atau manfaat untuk setiap tipe ekosistem lahan basah
yang terkena dampak yang diantaranya meliputi:
1. Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa air bersih
yang dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan/atau sebagai
pemasok ke aquifer (ground water recharge) dan lokasi lahan basah
lainnya.
2. Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3. Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air permukaan.
4. Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa perlindungan
garis pantai, pengendalian erosi, dan pemecah angin (windbreak)
5. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti kayu, ikan
dan daging satwa liar, rotan, getah, obat, dan gambut.
9. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti, pasokan bahan
anorganik dan organik dan hara terlarut bagi wilayah hilir dan bagi ikan
serta burung-burung migran.
10. Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu, dan listrik-hidro.
11. Fungsi transportasi/perhubungan
12. Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan populasi satwa liar.
13. Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat satwa liar
dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem, dan lansekap lahan basah.
14. Fungsi rekreasi dan pariwisata
15. Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan dan spiritual,
serta peningggalan sejarah.
16. Fungsi sosial ekonomi, misal berupa sumber mata pencaharian bagi
penduduk setempat dan tanah adat masyarakat setempat.
17. Fungsi penelitian dan pendidikan
18. Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti proses ekologi,
geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon sink) dan pencegahan
perluasan tanah sulfat masam.

Langkah 5
a) Buat matrik dampak kompanen lingkungan yang pada bagian kolom
memuat rencana kegiatan proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris
memuat komponen lingkungan lahan basah (Hasil Langkah 3).
b) Buat matrik dampak fungsi ekosistem yang pada bagian kolom memuat
rencana kegiatan proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris memuat
komponen fungsi ekosistem lahan basah (Hasil Langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem
sebagaimana Hasil Langkah 2.

Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan ekosistem seperti
contoh pada Lampiran 3-1. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem
menurut hasil langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada
Lampiran 3-2. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil
Langkah 2.

Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan identifikasi
dampak dengan cara:
Beri tanda “X”atau “V" atau simbol lainnya pada komponen lingkungan
tertentu dan fungsi tertentu dari tipe ekosistem lahan basah yang potensial
terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.

Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh
daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang potensial akan
terkena dampak.

3.1.2 Evaluasi dampak potensial


Evaluasi dampak potensial dalam proses pelingkupan bertujuan untuk
meniadakan dampak potensial yang dianggap tidak relevan atau tidak
penting, sehingga diperoleh daftar dampak penting hipotetis
yang dipandang perlu dan relevan untuk ditelaah secara mendalam
dalam studi AMDAL. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat
digunakan untuk memandu evaluasi dampak potensial:

Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak
besar dan Penting untuk mengevaluasi penting tidaknya hasil langkah 6 dari
identifikasi dampak potensial.
Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang
berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan
Dampak besar dan Penting tergolong terkena dampak besar dan penting.
Lihat pula matrik pada lampiran 3-1 sebagai contoh.

Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam
dalam studi ANDAL
Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah
yang harus diteliti secara mendalam pada studi ANDAL,yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah 7;
b.Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil langkah 7,
karena data/informasi tentang komponen lingkungan bersangkutan sangat
terbatas.
Komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah yang tidak terkena
dampak penting tidak diteliti dalam studi ANDAL.
3.1.3 Pemusatan dampak besar dan penting (Focussing)
Tujuan pemusatan dampak besar dan penting adalah untuk
mengelompokkan dan mengorganisir dampak potensial yang telah
dirumuskan pada tahap evaluasi dampak potensial (butir 3.1.2.) dengan
maksud agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan yang secara komprehensif
dapat menggambarkan:
a) Keterkaitan antara rencana kegiatan proyek dengan komponen
lingkungan yang akan terkena dampak besar dan penting;
b) Keterkaitan antar dampak besar dan penting yang telah di identifikasi
pada butir 3.1.2.
Langkah yang dapat ditempuh untuk memandu pemusatan dampak besar
dan penting adalah sebagai berikut:

Langkah 9
Kelompokan dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 atas beberapa isu
pokok lingkungan.
Catatan Lanqkah 9
Dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa isu pokok lingkungan melalui:
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak besar dan
penting di suatu lokasi, dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan fungsi
tertentu dari ekosistem lahan basah yang terkena dampak besar dan
penting proyek.
Hasil Langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahan-
perubahan pokok yang akan dialami ekosistem lahan basah yang bersifat
mendasar akibat adanya proyek.

Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan Hasil Langkah 9 menurut kepentingan dari
segi ekonomi, sosial maupun ekologi.
Hasil Langkah 10
Isu-isu pokok lingkungan berdasarkan kepentingan ekonomi, sosial dan
ekologi.

3.2 PELINGKUPAN WILAYAH STUDI


Pelingkupan wilayah studi yang dikembangkan di sini mengacu pada
lampiran 1 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL, dan Lampiran II Keputusan Kepala
BAPEDAL Nomor: KEP-229/11/1996 tentang Pedoman Teknis Kajian
Aspek Sosial dalam Penyusunan KA-ANDAL.

Langkah 1
Buat batas proyek dengan cara:
a) Plotkan pada peta vegetasi/peta tata guna tanah/peta sistem lahan yang
tersedia, batas terluar kegiatan proyek dalam melakukan kegiatan pra
konstruksi, konstruksi dan operasi di daerah lahan basah. Termasuk dalam
hal ini alternatif lokasi kegiatan proyek. Hasil Langkah I dari butir 3.1.1
dapat digunakan untuk memandu hal ini.
b) Dalam batas proyek tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/
atau lembaga-lembaga masyarakat (social institution) yang berpotensi
berubah secara mendasar akibat adanya proyek.
Catatan Langkah 1
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana
usaha atau kegiatan/proyek akan melakukan kegiatan pra konstruksi,
konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan sumber
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.
Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek di daerah lahan basah di atas peta yang
digunakan.
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau
lembaga-lembaga masyarakat yang akan terkena dampak penting
kegiatan proyek.

Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada Langkah 1
dengan cara:
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek, melalui media
air,terhadap ekosistem lahan basah di sekitarnya, dan/atau
b)Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi tempat terjadinya gangguan atau
kerusakan terhadap fungsi ekosistem lahan basah sebagai akibat adanya
proyek.
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghasilkan batas ekologis.
Hasil Langkah 2 sampai 4 dari proses Identifikasi Dampak Potensial, dapat
memandu mengarahkan hal ini.
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas masyarakat
dan/atau lembaga-lembaga masyarakat yang berpotensi berubah
mendasar sebagai akibat rusaknya sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek.

Catatan Langkah 2
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari
kegiatan proyek menurut media transportasi limbah (air, udara) dan/atau
menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam, dimana proses-proses
alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan
mengalami perubahan mendasar.
Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada Langkah 1.
b) Dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau
lembaga-lembaga masyarakat yang terkena dampak penting kegiatan
proyek.

Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada Langkah I
dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1 dan 2.
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan
batas ekologi namun berpotensi terkena dampak mendasar dari proyek
misalnya, melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas umum
dan fasifitas sosial

Catatan Langkah 3
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang
merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilaii tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem
dan struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar
akibat proyek. Batas sosial dapat menyebar di beberapa lokasi dan dapat
lebih luas dari batas proyek atau batas ekologi.

Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada
Langkah 1.

Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada
Langkah I dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber
daya alam dan lingkungan tertentu yang keabsahannya diakui oleh lembaga
formal pemerintahan, swasta dan/atau lembaga lokal masyarakat setempat

Catatan Langkah 4
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembaga-
lembaga masyarakat tertentu mempunyai kewenangan tertentu untuk
mengatur/mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu berdasarkan
peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah batas administratif
pemerintahan daerah; batas kuasa pertambangan; batas HPH. Di dalam
ruang tersebut masyarakat dapat sesara leluasa melakukan kegiatan sosial
ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku:

Hasil Langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada Langkah 1.

Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan pada
Langkah 1 dengan cara:
a) Buat batas terluar dari gabungan batas proyek (Hasil Langkah 1), batas
ekologi (Hasil Langkah 2), batas sosial (Hasil Langkah 3), dan batas
administratif (Hasil Langkah 4).
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan hasil
kegiatan butir a) di atas dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.

Hasil Langkah 5
Diperoleh batas wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang
digunakan pada Langkah 1. Batas dimaksud merupakan resultante dari batas
proyek, batas ekologi, batas sosial, batas administratif dan kendala teknis
yang dihadapi.
Gambar 3-1. Skema Proses Pelingkupan Dampak Penting dan Studi

BAB IV PENYUSUNAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN

4.1 OUTLINE/RANCANGAN STUDI


Outline penyusunan kerangka Acuan ANDAL, ANDAL; RKL dan RPL
kegiatan pembangunan di daerah lahan basah seperti yang dijelaskan
dalam Pedoman Penyusunan AMDAL. Karena itu, dalam panduan ini tidak
dijelaskan tentang outline tersebut.

4.2 METODE STUDI

4.2.1 Macam data dan informasi yang dikumpulkan


Pada bagian ini diutarakan macam data dan informasi yang akan
dikumpulkan dalam studi ANDAL Daerah Lahan Basah, yakni yang
meliputi:
a) Macam data dan informasi tentang rencana kegiatan proyek yang
dikumpulkan dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
b) Macam data dan informasi tentang struktur dan fungsi ekosistem
lahan basah, termasuk yang tergolong terkena dampak penting,
yang dikumpulkan dalam studi ANDAL berdasarkan hasil proses
pelingkupan sebagaimana dimaksud pada Bab III terdahulu.
Data yang dikumpulkan tersebut melputi data primer dan data
sekunder. Dta primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber data. Adapun data sekunder merupakan data yang diperoleh
secara tidak langsung dari sumber data.

4.2.2 Wilayah studi ANDAL daerah lahan basah


Pada bagian ini dipaparkan wilayah studi ANDAL daerah lahan basah
dengan mengacu pada hasil proses pelingkupan sebagaimana dimaksud
pada Bab III terdahulu. Pada peta ini dicantumkan pula lokasi
pengamatan atau pengambilan contoh/sampel pada saat studi ANDAL
dilaksanakan.

4.2.3 Metode pengumpulan dan analisis data


Data dan informasi tersebut dikumpulkan dan di analisis dengan
maksud untuk:
a) mengetahui kondisi atau rona lingkungan hidup ekosistem lahan
basah sebelum proyek dibangun,
b) memprakirakan besar dampak lingkungan yang akan dialami oleh
struktur dan fungsi ekosistem lahan basah sebagai akibat adanya
proyek dengan menggunakan hasil kegiatan butir a).
c) mengevaluasi dampak lingkungan dari proyek terhadap struktur dan
fungsi ekosistem lahan basah secara holistik dengan menggunakan
hasil kegiatan butir a) dan butir b).
Data primer dikumpulkan melalui metode survei. Adapun data sekunder
diperoleh melalui pengumpulan data dari pihak ketiga.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan metode pengumpulan


dan analisis data adalah:
a) Untuk menghasilkan data yang berkualitas keakuratan dan kemantapan
alat ukur merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Untuk itu
metode atau instrumen yang bersifat sahih dan reliabel merupakan pilihan
utama yang harus digunakan.
b) Dampak besar dan penting yang diakibatkan oleh proyek pada umumnya
tidak menyebar secara merata di seluruh komponen ekosistem lahan
basah serta di seluruh kelompok atau lapisan masyarakat yang terkena
dampak. Variabilitas ini harus dapat diketahui oleh penyusun ANDAL.
c) Mengingat ekosistem lahan basah yang dimaksud dalam panduan ini
merupakan ekosistem yang tergolong memiliki variabilitas dan
heterogenitas yang tinggi, dan dilain pihak dalam studi ANDAL diperlukan
prakiraan dampak yang tajam, maka dalam pengumpulan data atau
penarikan sampel perlu diperhatikan hal berikut:
- metode pengambilan contoh-(sampling) yang digunakan harus
disesuaikan dengan tujuan dan efisiensi pengukukuran,serta sifat dan
karakter komponen lingkungan yang diukur.
- Kejelasan satuan analisis yang akan diukur, misal untuk biologi pada
tingkatan komunitas, untuk aspek sosial berjenjang dari rumah tangga,
kampung, desa hingga kecamatan sesuai dengan parameter yang
hendak diukur.
- Lokasi pengambilan sampel harus dapat mewakili heterogenitas
persebaran dampak, yang meliputi: (1) daerah atau kelompok
masyarakat yang diprakirakan akan terkena dampak; dan (2) ; daerah
atau kelompok masyarakat yang diprakirakan tidak akan terkena
dampak sebagai lokasi rujukan/pembanding (reference station).
- Waktu pengambilan sampel harus dapat mewakili variabilitas harian,
bulanan atau musiman. Sebagai misal, dalam studi ANDAL di ekosistem
lahan basah yang terpengaruh gerak pasang surut air laut, saat
pengambilan sampel kualitas air harus dapat mewakili pola pasang
surut yang ada.
d) Khusus untuk aspek sosial, data dan informasi yang dikumpulkan agar
tidak hanya menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat penting dari sudut
pandang pelaksana studi/pakar (etic) namun juga menurut pandangan
target group (kelompok/ masyarakat sasaran) di sekitar rencana usaha
dan/atau kegiatan (emic).
e) Kualitas data sekunder harus dicermati untuk itu diperlukan cross check
dengan data lain yang diperoleh.
Contoh metode pengumpulan dan/atau analisis data yang digunakan oleh
penyusun ANDAL dapat dilihat pada Tabel 4-1 sampai Tabel 4-3.

Tabel 4-1 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Fisik Kimia
Tabel 4-2 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Biologi
Tabel 4-3 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Sosial
4.2.4. Metode prakiraan dampak dan evaluasi damnpak
Metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak yang
digunakan dalam studi ANDAL Daerah Lahan Basah agar mengikuti
panduan yang terdapat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

4.3 URAIAN RENCANA DAN USAHA ATAU KEGIATAN


Dalam bagian ini deskripsi rencana kegiatan pembangunan kawasan
lahan basah hendaknya diuraikan secara rinci dan sistematis. Hal-hal
penting yang perlu dimuat antara lain adalah tentang (sebagian
diantaranya merujuk pada Bab III di depan):
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei :
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i.Pengurangan/pembuangan lahan
ii. Penambahan/pengurukan lahan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi :
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi :
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa :
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran :
i. Minyak
ii. Kimia
iii. Radioaktif
iv. Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah :
i. Limbah padat
ii: Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan
domestik dan kebutuhan proses produksi :
i.air permukaan(sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan rekrutmen tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah :
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru

Di berbagai jenis kegiatan tersebut usahakan dapat diutarakan perihal :


a) Disain teknik yang akan diaplikasikan. Mengingat studi ANDAL ini
dilakukan saat proyek berada pada tahap studi kelayakan ,
maka disain teknik yang diutarakan masih belum bersifat rinci
detail.
b) Alternatif lokasi, alternatif ruas jalan, atau alternatif disain teknik
yang sedang ditelaah
c) Jenis dan jumlah peralatan yang digunakan dalam kegiatan
konstruksi
d) Teknologi dan proses yang digunakan pada saat kegiatan operasi
e) Tenaga kerja yang dicurahkan.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL dapat digunakan sebagai rujukan untuk
pengumpulan data dan informasi tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dibangun.

4.4 RONA LINGKUNGAN HIDUP


Rona lingkungan yang diutarakan dalam studi ANDAL kegiatan
pembangunan di daerah lahan basah pada dasarnya harus dapat
menggambarkan tentang:
a) struktur dari setiap tipe ekosistem lahan basah yang potensial terkena
dampak proyek terutama komponen lingkungan yang akan terkena
dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.
b) fungsi dari setiap ekosistem lahan basah yang potensial terkena
dampak proyek terutama fungsi lingkungan yang akan terkena
dampak penting sebagaimana dinyatakan pada butir 4.2.1.

4.4.1 Struktur ekosistem lahan basah


Pada baqian ini diuraikan struktur ekosistem lahan basah saat proyek
belum dibangun dan beroperasi di daerah tersebut. Uraian disusun
berdasarkan sistematika sebagai berikut (hanya contoh saja).
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari .
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air
ii. Debit dan pola aliran
iii.Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi; litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv.Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas satwa liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton,
nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi.
iv Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi
3. Komponen sosial ekonomi dan sosial budaya :
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
l) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan

4.4.2 Fungsi ekosistem lahan basah


Pada bagian ini diuraikan fungsi-fungsi ekosistem lahan basah yang saat
ini masih dimiliki oleh ekosistem bersangkutan sebelum proyek
beroperasi di daerah tersebut. Uraian disusun berdasarkan sistematika
sebagai berikut (hanya contoh saja).
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa:
i. Pemanfaatan langsung oleh masyarakat
ii. Ke lokasi lain:
- Pasokan air ke aquifer (groundwater recharge)
- Pasokan air ke lahan basah lainnya
2) Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke:
i. Air tanah
ii. Air permukaan
4) Fungsi lindung (dari kekuatan alam), yang berupa:
i. Perlindungan garis pantai dan pengendalian erosi
ii. Pemecah angin (windbreak)
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti:
i. Kayu
ii.Ikan dan daging satwa (misal, rusa)
iii. Rotan, getah, dan obat
iv. Gambut
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi, seperti:
i. Bahan organik dan anorganik yang tertransportasi ke hilir ,
ii. Hara terlarut yang tertransportasi ke hilir
iii.Ikan dan burung-burung migran
10) Fungsi pemasok energi, misal: energi dari kayu, listrik-hidro
11) Fungsi transportasi/perhubungan
12) Fungsi bank gen bagi:
i. Spesies-spesies tumbuhan komersil
ii. Populasi satwa liar
13) Fungsi konservasi bagi:
i. Spesies langka dan dilindungi
ii. Habitat satwa liar dan tumbuhan penting
iii. Komunitas
iv. Ekosistem
v. Lansekap atau jenis-jenis lahan basah
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata
15) Fungsi sosial budaya; yang diantaranya berupa:
i. Estetika lansekap
ii. Keagamaan dan spiritual
iii. Peninggalan sejarah
16) Fungsi sosial ekonomi, yang diantaranya meliputi:
i. Sumber mata pencaharian masyarakat setempat
ii. Tanah adat masyarakat setempat
17) Fungsi penelitian dan pendidikan
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, yang antara lain berupa:
i. Proses ekologi, geomorfotogi dan geotogi
ii. Rosot karbon (carbon sink)
iii. Pencegahan perluasan tanah sulfat masam

4.5 PRAKIRAAN DAMPAK PENTING


Bab tentang prakiraan dampak penting yang diutarakan dalam studi
ANDAL daerah lahan basah pada dasarnya harus dapat menggambarkan
tentang:
1) Analisis prakiraan dampak hanya dilakukan pada komponen-
komponen
lingkungan yang potensial terkena dampak penting sebagaimana
dinyatakan pada angka 3.1.2 (Langkah 8: Komponen Dampak Penting
yang Ditelaah ANDAL). Dengan kata lain analisis prakiraan dampak
hanya ditujukan pada komponen-komponen tertentu dari struktur
ekosistem lahan basah yang terkena dampak penting.
2) Analisis prakiraan dampak yang dimaksud pada angka 1) di atas
meliputi kajian tentang arah dan besar dampak yang akan terjadi di
setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena dampak yang
dimaksud oleh angka 3.1.1 Langkah 2.
3)Prakiraan terhadap besarnya dampak lingkungan yang timbul dapat
dilakukan dengan dua metode, yaitu:
a) metode formal, yang antara lain meliputi model matematik, dan
metode grup eksperimen.
b) metode non-formal yang antara lain meliputi penilaian para ahli,
dan metode analogi
4) Sehubungan dengan proyek masih berada pada tahap studi
kelayakan, dimana masih dilakukan pemilihan alternatif kegiatan (misal
alternatif lokasi dan/atau teknologi yang digunakan), maka prakiraan
besar dampak sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan 2) di atas
dilakukan untuk masing-masing alternafif kegiatan.
5) Prakiraan dampak pada komponen ekosistem lahan basah perlu
memperhatikan faktor-faktor berikut ini:
a) Ekosistem lahan basah banyak dijumpai berada antara ekosistem
daratan dan ekosistem pesisir/laut. Sebagai misal, zona rawa
lebak terkait dengan ekosistem daratan di atasnya,
sementara zona pasang surut terkait dengan ekosistem
pesisir/laut. Sehingga prakiraan dampak juga harus
memperhitungkan pengaruh faktor eksternal pada komponen
lingkungan yang tengah ditelaah secara mendalam untuk
keperluan ANDAL. Hal ini terutama perlu diperhatikan pada studi
AMDAL Kegiatan Terpadu dan AMDAL Kawasan.
b) Ekosistem lahan basah kebanyakan masih berwujud
alami,sehingga tingkat keanekaragaman hayati masih relatif
tinggi sehingga prakiraan dampak harus dilakukan pada seluruh
komponen ekosistem yang terkena dampak penting, sebagai
landasan untuk menilai totalitas dampak proyek terhadap fungsi
dari ekosistem lahan basah (untuk keperluan Bab Evaluasi
Dampak).
c) Daerah lahan basah umumnya merupakan medan yang berat dan
terisolasi sehingga kebanyakan desa yang ada tergolong miskin,
tradisional, dan berpendidikan rendah. Prakiraan dampak penting
aspek sosial dengan demikian harus mencermati kondisi sosial
budaya dan ekonomi masyarakat setempat.
6) Mengingat dikalangan komponen ekosistem lahan basah terdapat
keterkaitan dan ketergantungan yang tinggi, sebagaimana diutarakan
pada butir 5) di atas, maka dalam analisis prakiraan dampak (serta
evaluasi dampak) perlu diperhatikan pola aliran dampak yang dapat
terjadi sebagai berikut:
a) Mekanisme aliran dampak yang bersifat inter ekosistem:
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen fisik
kimia kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan
berturut-turut terhadap komponen biologi dan sosial. Sebagai
contoh: proyek mengakibatkan erosi dan abrasi pantai yang
kemudian menimbulkan rangkaian dampak lanjutan pada
populasi biota akuatik yang bernilai ekonomi tinggi, dan
kemudian pada mata pencaharian penduduk setempat.
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi
yang kemudian membangkitkan dampak lanjutan pada
komponen sosial. Sebagai misal, proyek mengakibatkan
dampak negatif terhadap habitat satwa liar langka dan
dilindungi (gajah) yang kemudian membangkitkan dampak
lanjutan berupa gangguan gajah terhadap produksi pertanian.
- Proyek langsung menimbulkan dampak pada salah satu
komponen sosial dan kemudian berdampak lanjutan dikalangan
komponen sosial sendiri.
- Proyek menimbulkan dampak penting pada komponen biologi
dan kemudian menimbulkan dampak lanjutan terhadap
komponen fisik-kimia dan sosial. Sebagai misal, proyek
mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Kerusakan
pada ekosistem mangrove ini menyebabkan kerusakan pada
stabilitas pantai dan kemudian berdampak lanjutan pada
produksi tambak di pesisir
- Dampak besar dan penting yang diutarakan seluruhnya pada
huruf a) selanjutnya mengakibatkan dampak balik pada
kegiatan proyek.
b) Mekanisme aliran dampak yang bersifat antar ekosistem:
Dampak penting yang dialami suatu ekosistem akibat adanya
aktivitas tertentu dari proyek mengakibat dampak lanjutan pada
ekosistem lainnya. Sebagai contoh, kerusakan ekosistem hutan
bakau akibat kegiatan suatu proyek pembangunan dapat
mengakibatkan dampak lanjutan pada ekosistem terumbu karang di
perairan pesisir dan juga pada ekosistem rawa lebak yang terletak
lebih ke pedalaman.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL dan Keputusan Kepala Bapedal tentang
Panduan Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan AMDAL, disarankan
digunakan pula sebagai acuan untuk prakiraan dampak penting.
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada Bab ini perlu
dilakukan dengan langkah-tangkah sebagai berikut.

Langkah 1:
Prakirakan dampak penting dengan cara:
a) prakirakan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang
terdapat dalam angka 3.1.2, khususnya Langkah 8: Komponen Dampak Besar
dan Penting yang ditelaah dalam ANDAL
b) prakiraan dilakukan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terdapat
dalam angka 3.1.1 khususnya Langkah 2 : Identifikasi Tipe Ekosistem.

Hasil Langkah 1
Diperoleh data dan informasi perihal besar (atau magnitude) dampak yang
akan dialami oleh setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem
tertentu yang terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.

Langkah 2
Lakukan hal yang sama seperti Langkah 1 di atas untuk setiap alternatif
kegiatan proyek menurut yang terdapat dalam angka 3.1.1 khususnya
Langkah 1: Identifikasi Rencana Kegiatan Proyek.
Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (atau magnitude) dampak yang akan dialami oleh
setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem dan setiap
alternatif tertentu kegiatan proyek.

4.6 EVALUASI DAMPAK PENTING


Penulisan bab evaluasi dampak penting dimaksudkan untuk:
1) Mengevaluasi dampak berbagai alternatif kegiatan proyek secara
komprehensif/holistik, berikut dengan arti penting dari perubahan atau
dampak tersebut dari sudut ekologi dan sosial, sebagai bahan masukan
untuk pengambilan keputusan atas kelayakan lingkungan dari proyek.
2) Memberi arahan untuk penyusunan program-program pengelolaan
dan pemantauan lingkungan yang akan dituangkan dalam dokumen
Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan dokumen Rencana
Pemantauan Lingkungan (RPL).
Untuk mencapai maksud tersebut penulisan pada bab ini perlu diarahkan
sebagai berikut:

Langkah 1:
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak; telaah secara komprehensif
perubahan seluruh komponen yang terkena dampak penting (atau dalam hal
ini perubahan struktur ekosistem lahan basah) akibat alternatif kegiatan
tertentu proyek, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin dikalangan
seluruh komponen dampak penting yang tercantum pada angka 4.5. (Hasil
Langkah 2), berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut
dengan menggunakan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman
Penentuan Dampak Besar dan Penting.

Catatan Langkah 1
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan
penyebab utama perubahan struktur ekosistem, dapat dilakukan melalui
metode matrik (misal, matrik Leopold), metode daftar uji berskala dengan
pembobotan (misal, Environmental Evaluation System), dan/atau metode
bagan alir.

Hasil Langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari
proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan struktur ekosistem: akibat adanya alternatif tertentu
dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.

Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak, telaah secara komprehensif
sejauh mana perubahan struktur ekosistem lahan basah yang dimaksud pada
Langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi ekosistem, dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada angka
3.1.1 (yakni langkah 4 proses pelingkupan), dan yang tercantum pada angka
4.4.2 (yakni Rona Lingkungan Hidup) akan berubah secara mendasar.
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut
dengan menggunakan Keputusan Kepala BAPfDAL tentang Pedoman
Penentuan Dampak Besar dan Penting.

Hasil Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari
proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem, akibat adanya alternatif tertentu
dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem lahan basah dimaksud

Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari kegiatan proyek, dengan cara:
a) Untuk setiap alternatif kegiatan proyek, lakukan telaahan sejauh mana
dampak besar dan penting yang ditimbulkan terhadap struktur dan fungsi
ekosistem lahan basah sebagaimana dimaksud pada Langkah 1 dan 2,
memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif kegiatan proyek memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21
Tahun 1999, maka pilih alternatif yang paling minimum menimbulkan
dampak penting negatif terhadap ekosistem lahan basah.

Hasil Langkah 3
Diperoleh informasi perihat alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan hidup.

Langkah 4
Dari alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan, rumuskan
arahan untuk RKL dan RPL dengan prioritas pada pencegahan dampak
lingkungan.

Hasil Langkah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta meningkatkan
dampak positif sebagai arahan untuk penyusunan dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL),
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).

BAB V PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL) DAN


RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)
5.1 RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN (RKL)
5.1.1 Lingkup dokumen rencana pengelolaan lingkungan
Dokumen RKL, dalam pengertian generik, merupakan dokumen yang
memuat upaya, program dan/atau tindakan-tindakan untuk mencegah,
mengendalikan dan menanggulangi dampak penting lingkungan yang
bersifat negatif dan meningkatkan dampak positif yang timbul sebagai
akibat dari proyek.
Dalam pengertian tersebut upaya atau program pengelolaan lingkungan
di ekosistem lahan basah tersebut mencakup empat kelompok aktifitas,
yakni:
a) Pengelolaan lingkungan yang tujuan utamanya adalah untuk
mencegah timbulnya dampak penting yang bersifat negatif disaat pra
konstruksi, konstruksi, operasi maupun pasca operasi, misalnya melalui
pemilihan lokasi atau teknologi yang dapat mencegah rusaknya fungsi-
fungsi tertentu dari eksosistem lahan basah. Dalam konteks
pembangunan proyek di ekosistem lahan basah,pencegahan dampak
negatif merupakan prioritas utama mengingat sifat ekosistemnya yang
kompleks dan multi fungsi.
b) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memanfaatkan ulang
(reuse), mendaur ulang (recycle), dan/atau mengurangi (reduce)
dampak penting yang bersifat negatif bila upaya, program atau tindakan
yang dimaksud pada huruf a) dari sudut ekonomi, teknologi dan sosial
tidak memungkinkan atau sulit untuk ditempuh
c) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk meingkatkan fungsi-
fungsi alami dari ekosistem lahan basah sehingga proyek memberi
dampak positif yang tidak hanya pada manfaat ekonomi saja.
d) Pengelolaan lingkungan yang bertujuan untuk memulihkan
merehabilitasikan fungsi-fungsi tertentu ekosistem lahan basah yang
terkena dampak penting negatif dari proyek sebagai kompensasi
terhadap rusak atau hilangnya fungsi-fungsi tertentu ekosistem di saat
pra-konstruksi, konstruksi dan operasi proyek.
Keempat bentuk pengelolaan lingkungan tersebut pada dasarnya
merupakan upaya, program atau tindakan untuk mencegah,
menanggulangi dan mengendalikan kerusakan komponen lingkungan
atau struktur ekosistem lahan bash. Dengan dicegah/ditanggulanginya
kerusakan struktur maka fungsi ekosistem lahan basah juga dapat
dicegah/ditanggulangi dari kerusakan akibat proyek.
5.1.2 Kedalaman dokumen rencana pengelolaan lingkungan
Mengingat dokumen AMDAL merupakan bagian dari studi kelayakan,
maka yang termuat dalam dokumen RKL adalah berupa pokok-pokok
arahan, prinsip-prinsip atau persyaratan untuk melaksanakan upaya,
program atau tindakan-tindakan yang diprioritaskan pada pencegahan
dampak penting yang bersifat negatif. Bila dipandang perlu dapat
dilengkapi dengan acuan literatur tentang rancang bangun untuk
pencegahan dan penqendalian dampak. Lebih lanjut pada Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL dipaparkan alasan yang melatar belakangi
kedataman dokumen RKL.
5.1.3 Struktur inti dokumen rencana pengelolaan Lingkungan
Inti dokumen RKL termuat butir yang memuat tujuh aspek berikut ini:
a) Komponen lingkungan terkena dampak penting yang dikelola
b) Tujuan pengelolaan lingkungan
c) Pengelolaan lingkungan
d) Waktu pengelolaan lingkungan
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan
f) Institusi pengelolaan lingkungan.
Perlu diperhatikan bahwa tujuh aspek pengelolaan lingkungan tersebut
diterapkan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena
dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.6 dari Bab IV di
muka, yakni Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL.
a) Komponen lingkungan terkena dampak penting yang dikelola Pada
butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang terkena
dampak penting berikut dengan penyebabnya (menurut hasil ANDAL),
yang dipandang strategis untuk dikelola di suatu tipe ekosistem lahan
basah komponen lingkungan tersebut strategis untuk dikelola
berdasarkan pertimbangan:
a) Komponen lingkungan yang dikelola merupakan isu pokok lingkungan
sebagaimana dimaksud oleh hasil pelingkupan pada angka 3.1.2 Langkah
10, dan terkena dampak penting sebagaimana yang ditelaah pada angka
4.5 (Prakiraan Dampak Penting).
b) Dampak penting yang dikelola adalah yang tergolong banyak
menimbulkan dampak penting turunan (dampak sekunder, tersier,
kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang banyak menimbulkan dampak
penting pada fungsi ekosistem lahan basah, sehingga bila dicegah/
ditanggulangi akan membawa pengaruh lanjutan pada dampak penting
turunannya. Pada bagian ini sekaligus diutarakan pula penyebab
timbulnya dampak penting. Penyebab dampak penting dimaksud dapat
mengacu pada Bab Prakiraan Dampak dan Bab Evaluasi Dampak dari
dokumen ANDAL sebagaimana tercantum pada angka 4.5.dan angka 4.6
di muka.

b)Tujuan pengelolaan lingkungan


Pada bagian ini utarakan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak
penting di suatu tipe ekosistem lahan basah berikut dengan dampak
turunannya yang secara simultan akan turut tercegah/ tertanggulangi
(keterkaitan inter ekosistem).
Bila lebih dari 1 tipe ekosistem yang terkena dampak dan mengingat
adanya keterkaitan antar ekosistem sebagaimana diutarakan pada angka
4.5. maka pada bagian ini utarakan pula komponen lingkungan dari tipe
eksositem lahan basah lainnya yang akan turut tercegah/ tertanggulangi
dari kerusakan.
Pernyataan tujuan pengelolaan lingkungan dapat merujuk Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL).
c) Pengelolaan lingkungan
Pada butir ini hendaknya diuraikan secara jelas upaya-upaya, program
atau tindakan untuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan
dampak negatif penting serta berbagai upaya untuk mengembangkan
dampak positif penting akibat kegiatan proyek.
Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang diutarakan
harus berciri sebagai berikut:
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan
akan dapat mencapai tujuan pengelolaan lingkungan yang tercantum
pada huruf c).
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan
merupakan kombinasi dari tiga pendekatan: teknologi, ekonomi atau
kelembagaan. Jika upaya pengelolaan lingkungan dilakukan melalui
pendekatan teknologi; maka sedapat mungkin dituangkan desain
teknologinya.
- Upaya, program atau tindakan pengelolaan lingkungan yang dijalankan
bermuara pada dilindungi atau dipertahankannya fungsi-fungsi ekosistem
lahan basah sebagaimana yang disebut pada halaman III-5 s/d III-6.
d) Waktu dan lokasi pengelolaan
Pada butir ini hendaknya dijelaskan tentang waktu dan lokasi
pengelolaan lingkungan dengan memperhatikan sifat dampak penting
yang dikelola (lama dampak berlangsung, sifat kumulatif, berbalik
tidaknya dampak) sebagaimana telah diutarakan pada angka 4.5. Lokasi
pengelolaan lingkungan sejauh mungkin dilengkapi pula dengan
peta/sketsa/gambar.
e) Pembiayaan pengelolaan lingkungan
Pembiayaan untuk pengelolaan lingkungan bersumber dari pemrakarsa
proyek. Biaya dimaksud antara lain meliputi: biaya investasi, biaya
operasi dan biaya pendidikan serta pelatihan keterampilan operasional
f) Institusi pengelolaan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang terkandung
dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan.

5.2 RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN (RPL)


5.2.1 Lingkup dokumen rencana pemantauan lingkungan
Pemantauan lingkungan dapat digunakan untuk memahami fenomena-
fenomena perubahan lingkungan yang terjadi mulai dari tingkat sekitar
proyek sampai ke tingkatan ekosistem, kawasan, atau bahkan regional,
tergantung pada skala kepentingan atau keacuhan terhadap isu
lingkungan yang timbul.
Pada ekosistein lahan basah pemantauan lingkungan setidaknya harus
mampu memantau perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar proyek
dan di tingkatan ekosistem lahan basah yang terkena dampak.
Pemantauan merupakan kegiatan yang berorientasi pada data,
sistematik, berulang dan terencana. Dengan demikian kegiatan
pemantauan sangat berbeda dengan pengamatan yang bersifat acak dan
sesaat.
Tujuan utama dari dokumen RPL adalah sebagai pedoman untuk
melaksanakan upaya pemantauan lingkungan, sehingga RKL dapat
dijamin terlaksana secara efektif serta untuk mendeteksi perubahan-
perubahan yang tidak terduga pada komponen lingkungan/ struktur dan
fungsi ekosistem lahan basah.
5.2.2 Kedalaman dokumen rencana pemantauan lingkungan
Kedalaman yang diinginkan dokumen RPL mengacu pada Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Khusus ekosistem
lahan basah, selain 6 faktor yang diutarakan pada Keputusan Menteri
tersebut ada faktor lain yang perlu diperhatikan seperti diutarakan pada
paragrap berikut ini.
Pemantauan dapat dilakukan pada fungsi-fungsi ekosistem yang terkena
dampak penting sebagaimana dimaksud pada Bab Evaluasi Dampak dari
dokumen ANDAL (angka 4.6, Langkah 2). Pemantauan terhadap
komponen lingkungan yang terkena dampak sebagaimana dimaksud
pada Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, pada
dasarnya dapat dipandang sebagai pemantauan terhadap struktur
ekosistem.
5.2.3 Struktur inti dokumen rencana pemantauan lingkungan
Struktur inti dokumen RPL pada dasarnya harus mencakup:
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau
b) Tolok ukur dampak
c) Tujuan pemantauan lingkungan
d) Metode pemantauan lingkungan (meliputi metode pengumpulan
dan analisis data, lokasi dan jangka waktu serta frekwensi
pemantauan)
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan
f) institusi pemantauan lingkungan
Perlu diperhatikan bahwa enam aspek pemantauan lingkungan tersebut
diterapkan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terkena
dampak penting sebagaimana dimaksud pada angka 4.5 dan 4.6 yakni
Bab Prakiraan Dampak Penting dan Bab Evaluasi Dampak Penting dari
dokumen ANDAL.
a) Dampak penting dan indikator yang dipantau
Pada butir ini utarakan secara singkat komponen lingkungan yang
terkena dampak penting berikut dengan penyebabnya (menurut
hasil ANDAL), yang dipandang strategis untuk dipantau di suatu tipe
ekosistem lahan basah Komponen Lingkungan tersebut strategis
untuk dikelola berdasarkan pertimbangan:
- Komponen lingkungan yang dipantau hanyalah komponen
yang terkena dampak penting. Dengan demikian tidak seluruh
komponen lingkungan harus dipantau. Hal-hal yang dipandang
tidak penting atau tidak relevan tidak perlu dipantau.
- Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan isu
pokok lingkungan sebagaimana dimaksud oleh hasil
pelingkupan pada angka 3.1.2 Langkah 10, dan terkena
dampak penting sebagaimana yang ditelaah pada angka 4.5
(Prakiraan Dampak Penting) dan angka 4.6 (Evaluasi Dampak
Penting).
- Dampak penting yang dipantau adalah yang tergolong banyak
menimbulkan dampak penting turunan (dampak sekunder,
tersier, kuarter dan selanjutnya) dan/atau yang banyak
menimbulkan dampak penting pada fungsi ekosistem lahan
basah, sehingga dapat mencerminkan efektivitas pengaruh
pengelolaan lingkungan terhadap dampak penting turunannya.
- Komponen lingkungan yang dipantau mencerminkan
kelangsungan fungsi-fungsi tertentu dari ekosistem lahan
basah yang terkena dampak penting sebagaimana dimaksud
pada Bab Evaluasi Dampak dari dokumen ANDAL (angka 4.6,
Langkah 2).
Pada bagian ini juga diutarakan indikator dari komponen
dampak penting yang dipantau. Indikator adalah alat pemantau
(sesuatu) yang dapat memberikan petunjuk atau keterangan
tentang suatu kondisi. Semisal, indikator yang relevan untuk
kualitas air sungai (komponen lingkungan yang terkena
dampak penting) adalah BOD, suhu, warna, bau, kandungan
minyak terlarut.
b) Tolok ukur dampak
Pada butir ini jelaskan tolok ukur dampak yang digunakan untuk
menyatakan suatu komponen lingkungan terkena dampak kegiatan
tertentu: (proyek, sebagai misal). Tolok ukur dampak yang dima
disini dapat berupa baku mutu limbah cair, baku mutu lingku
keputusan pakar yang dapat diterima secara ilmiah, atau ketetapan
resmi suatu instansi.
Mengingat pada ekosistem lahan basah sebagian besar tolok ukur
dampak yang digunakan masih banyak yang bersifat kualitatif,
maka diperlukan kejelasan deskripsi dari tolok ukur dampak yang
hendak digunakan.
c) Tujuan pemantauan lingkungan
Pada bagian ini uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya dampak
penting di suatu tipe ekosistem lahan basah berikut dengan
memperhatikan dampak penting yang dikelola, upaya/program/
tindakan pengelolaan lingkungan, serta dampak turunan yang
secara simultan akan turut tercegah/ tertanggulangi (keterkaitan
inter ekosistem).
Pernyataan tujuan pemantauan lingkungan dapat merujuk pada
Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan tentang Pedoman
Penyusunan AMDAL.
d) Metode pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini merujuk pada Lampiran Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
e) Pembiayaan pemantauan lingkungan
Pembiayaan untuk kegiatan pemantauan lingkungan bersumber dari
pemrakarsa proyek. Biaya dimaksud antara lain meliputi: biaya
investasi, biaya operasi dan biaya pendidikan serta pelatihan
ketrampilan operasional bagi para karyawan.
f) Institusi pemantauan lingkungan
Uraian pada butir ini hendaknya mengacu pada makna yang
terkandung dalam Lampiran Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd
Dr.A Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH,

ttd
Nadjib Dahlan, SH

Lampiran 3-I
Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Komponen Lingkungan
Daerah Lahan Basah
Keterangan :
Lampiran 3-2.
Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Fungsi Ekosistem Lahan
Basah untuk Tipe Ekosistem: hutan bakau/hutan rawa payau/hutan rawa
bergambut/hutan rawa air tawar
Keterangan :

__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2000
TENTANG
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,


Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 9 dan Pasal 12 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, perlu
dibentuk Susunan Keanggotaan Komisi Penilai dan Tim
Teknis Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup.
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3839);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 72; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952);

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 1/5


6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 134 Tahun
1999 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2000 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40
Tahun 2000 Tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
TENTANG SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI
DAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP PUSAT.
Pertama : Susunan keanggotaan komisi penilai dan tim teknis Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat adalah
sebagaimana dimaksud dalam lampiran I dan II dalam
Keputusan ini.
Kedua : Setiap anggota komisi penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup Pusat mempunyai kewenangan
pengambilan keputusan dari instansi/organisasi/masyarakat
yang diwakilinya.
Ketiga : Ketua komisi penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup Pusat dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan.
Keempat : Ketua tim teknis dalam melaksanakan tugasnya
bertanggungjawab kepada Ketua komisi penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Pusat.
Kelima : Anggota komisi penilai dan tim teknis dalam melaksanakan
tugasnya wajib memperhatikan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 40 Tahun 2000 tentang Pedoman
Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
Keenam : Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November
2000.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 2/5


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 6 Nopember 2000

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 3/5


LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TANGGAL : 6 Nopember 2000
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT
No. Jabatan/Instansi Kedudukan
1. Deputi Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Ketua merangkap anggota
yang membidangi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup
2. Kepala Direktorat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Sekretaris merangkap anggota
Hidup, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
3. Wakil dari Departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Anggota
Departemen yang membidangi usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan
4. Wakil dari Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup Anggota
5. Wakil dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Anggota
6. Wakil dari Departemen Dalam Negeri Anggota
7. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang kesehatan Anggota
8. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertahanan Anggota
9. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang perencanaan Anggota
pembangunan nasional
10. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang penanaman modal Anggota
11. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang pertanahan Anggota
12. Wakil dari instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan Anggota
13. Wakil dari departemen dan/atau lembaga pemerintah non Anggota
departemen yang terkait
14. Wakil dari Propinsi yang bersangkutan Anggota
15. Wakil dari Kabupaten/Kota yang bersangkutan Anggota
16. Ahli di bidang lingkungan hidup Anggota
17. Ahli di bidang yang berkaitan dengan rencana usaha Anggota
dan/atau kegiatan
18. Wakil dari organisasi lingkungan hidup/ Lembaga Swadaya Anggota
Masyarakat sesuai dengan bidang usaha dan/atau
kegiatan yang dikaji
19. Wakil dari masyarakat terkena dampak Anggota
20. Anggota lain yang dianggap perlu Anggota

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 4/5


LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 42 TAHUN 2000
TANGGAL : 6 Nopember 2000
SUSUNAN KEANGGOTAAN TIM TEKNIS ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP PUSAT
No. Jabatan/Instansi Kedudukan
1. Ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau Ketua merangkap anggota
kegiatan yang paling dominan
2. Ahli dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau Anggota
kegiatan yang bersangkutan lainnya
3. Ahli dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Anggota
4. Ahli lain di bidang ilmu yang terkait Anggota
5. Ahli lain di bidang kegiatan yang bersangkutan Anggota

Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya


Kepala Biro Umum Kantor MENLH
ttd
Nadjib Dahlan, S.H.

KEP. MEN. L.H NO. : 42 TAHUN 2000 5/5


KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 30 TAHUN 2001
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP
YANG DIWAJIBKAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang-undang


Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Menteri berwenang memerintahkan kepada
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan;

b. bahwa agar pelaksanaan audit lingkungan hidup yang


diwajibkan dapat dilakukan secara efektif maka diperlukan
suatu pedoman;

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang


perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan
Hidup Yang Diwajibkan;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor
68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang


Standar Nasional Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1991
Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3434);

4. Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang


Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;

Kep Men LH No. 30 Th 2001 1/9


MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG
DIWAJIBKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Audit lingkungan hidup yang diwajibkan adalah suatu proses
evaluasi yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan berdasarkan perintah Menteri atas ketidakpatuhan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
terkait dengan kegiatan tersebut.
2. Auditor Lingkungan adalah seseorang yang memiliki kualifikasi untuk
melaksanakan audit lingkungan.
3. Tim Audit adalah sekelompok atau seorang auditor yang diberi tugas
untuk melaksanakan audit dan tim audit juga dapat beranggotakan
tenaga ahli teknis.
4. Tim Evaluasi adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri
untuk melaksanakan evaluasi terhadap masukan, informasi, dan
usulan untuk melakukan perintah audit lingkungan hidup yang
diwajibkan.
5. Tim Verifikasi adalah sekelompok orang yang ditugaskan oleh Menteri
untuk melakukan veerifikasi terhadap laporan terhadap hasil audit
lingkungan yang diwajibkan.
6. Pihak yang Berkepentingan adalah orang seorang, kelompok orang,
termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang terkena
dampak langsung atau berpotensi terkena dampak dari
ketidakpatuhan, dan organisasi lingkungan hidup.
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
hidup.
8. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan di
daerah Propinsi/Kabupaten/Kota atau instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengelolaan lingkungan hidup di daerah
Propinsi/Kabupaten/Kota.

Kep Men LH No. 30 Th 2001 2/9


BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
Ruang lingkup audit lingkungan hidup yang diwajibkan meliputi evaluasi
masukan atau informasi, kriteria ketidakpatuhan, pelaksanaan, dan verifikasi
laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan akibat ketidakpatuhan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
BAB III
TUJUAN, FUNGSI DAN MANFAAT
Pasal 3
(1). Tujuan audit lingkungan hidup yang diwajibkan :

a. untuk mengetahui tingkat ketidakpatuhan penanggung jawab usaha


dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup;
b. memberikan uraian tentang penyebab terjadinya ketidakpatuhan,
termasuk apabila terdapat pelanggaran dan atau ketidaktepatan
penerapan kebijaksanaan di bidang lingkungan hidup;
c. memberikan rekomendasi atas temuan-temuan pelaksanaan audit
(2). Fungsi audit lingkungan hidup yang diwajibkan merupakan salah satu
instrumen penaatan atas ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup.
(3). Manfaat pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan :

a. meningkatkan penaatan pengelolaan lingkungn hidup dari suatu


usaha dan atau kegiatan;
b. mengetahui status ketaatan pengelolaan lingkungan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. sebagai bahan masukan bagi proses pengambilan keputusan
Menteri tentang tindak lanjut penanganan ketidakpatuhan;
d. mencegah terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup.
BAB IV

Kep Men LH No. 30 Th 2001 3/9


KRITERIA KETIDAKPATUHAN DAN KEWENANGAN

Pasal 4
Kriteria ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
menjadi dasar dikeluarkannya perintah pelaksanaan audit lingkungan hidup
yag diwajibkan, meliputi :
a. ketidakpatuhan terhadap baku mutu lingkungan hidup, dan atau;
b. ketidakpatuhan terhadap kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dan atau;
c. ketidakpatuhan terhadap persyaratan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
harus dilakukan, dan atau;
d. ketidakpatuhan yang mengindikasikan bahwa penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan tidak memiliki dokumen pengelolaan
lingkungan hidup atau tidak melaksanakan system pengelolaan
lingkungan secara efektif.
Pasal 5
(1). Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dinyatakan tidak mematuhi
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup,
apabila telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
(2). Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
menunjukkan:
a. telah terjadi hal yang sama atau berkaitan secara berulangkali, dan;
b. telah diberikan peringatan oleh Menteri dan atau Gubernur dan atau
Bupati dan atau Walikota sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dalam
jangka waktu setahun terakhir dan atau patut diduga akan terjadi lagi di
masa mendatang.
Pasal 6
(1). Menteri berwenang memerintahkan kepada penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menunjukkan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(2). Apabila Gubernur/Bupati/Walikota menilai bahwa suatu usaha dan atau
kegiatan di wilayahnya menunjukkan ketidakpatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, maka Gubernur/Bupati/Walikota
mengusulkan kepada Menteri untuk memerintahkan penanggung jawab

Kep Men LH No. 30 Th 2001 4/9


usaha dan atau kegiatan tersebut melakukan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan.
BAB V
PELAKSANAANAUDIT LINGKUNGAN HIDUP YANG DIWAJIBKAN
Bagian Pertama
Tata Laksana
Pasal 7
(1). Tata laksana audit lingkungan hidup yang diwajibkan dilaksanakan sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia Nomor 19-14010-1997 tentang
Pedoman Audit Lingkungan – Prinsip Umum atau standar lainnya yang
sesuai dengan tujuan pelaksanaan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan.
(2). Audit lingkungan hidup yang diwajibkan dilakukan oleh auditor lingkungan
yang terdaftar dan atau auditor yang memenuhi kriteria kualifikasi sesuai
dengan SNI 19-14012-1997 tentang Pedoman audit lingkungan – Kriteria
kualifikasi untuk auditor lingkungan dan bebas dari pertentangan
kepentingan
(3). Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib memberikan
informasi/data yang benar dan actual kepada auditor.
Bagian Kedua
Mekanisme
Pasal 8
Pihak yang berkepentingan dapat memberikan masukan atau informasi
secara tertulis tentang terjadinya petunjuk ketidakpatuhan suatu usaha dan
atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup kepada Gubernur/Bupati/Walikota/Instansi
yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 9
Gubernur/Bupati/Walikota menugaskan instansi yang bertanggung jawab di
daerah untuk mengevaluasi masukan atau informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 dan memeriksa unsure ketidakpatuhan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan
Pasal 5.
Apabila instansi yang bertanggung jawab di daerah menemukan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, maka :

Kep Men LH No. 30 Th 2001 5/9


a. Kepala instansi yang bertanggung jawab di daerah melaporkan hasil
temuannya kepada Gubernur/Bupati/Walikota;
b. Gubernur/Bupati/Walikota dapat mengusulkan secara tertulis kepada
Menteri untuk mengeluarkan perintah audit lingkungan hidup yang
diwajibkan, dengan dilengkapi data pendukung.
Pasal 10
Instansi pengendalian dampak lingkungan dapat mengusulkan kepada
Menteri untuk memerintahkan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
untuk melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan berdasarkan
masukan atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
dilengkapi dengan data pendukung.
Pasal 11
(1). Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) dan
Pasal 10 selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja, Menteri
membentuk Tim Evaluasi yang bertugas untuk mengevaluasi usulan
perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2). Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsure-
unsur, instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan, instansi yang bertanggung jawab di daerah, instansi yang
membidangi usaha dan atau kegiatan dan tenaga ahli dalam bidang yang
terkait.
(3). Tim Evaluasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat yang
ditetapkan oleh Menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(4). Tim Evaluasi melaksanakan kegiatan evaluasi paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja, terhitung sejak ditetapkan oleh Menteri.
(5). Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan
laporan dan rekomendasi hasil evaluasi secara tertulis kepada Menteri
selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja, setelah selesai melaksanakan
evaluasi.
(6). Rekomendasii Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
berupa :
a. kelayakan untuk dikeluarkannya perintah audit lingkungan hidup
yang diwajibkan, dilengkapi dengan rancangan ruang lingkupnya,
atau;
b. ketidaklayakan untuk dikeluarkan perintah audit lingkungan hidup
yang diwajibkan dengan memberikan alasan-alasan ketidaklayakan
tersebut

Kep Men LH No. 30 Th 2001 6/9


(7). Apabila rekomendasi berupa ketidaklayakan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (6) huruf b, Menteri memberitahukan kepada pihak yang
berkepentingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.

Pasal 12
(1). Berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6) huruf a, Menteri dapat menyetujui atau tidak menyetujui
usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2). Apabila Menteri menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang
diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan audit
lingkungan hidup yang diwajibkan kepada penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan yang bersangkutan.
(3). Apabila Menteri tidak menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup
yang diwajibkan, Menteri memberikan alas an-alasan mengenai
ketidaksetujuan tersebut.
Pasal 13
(1). Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2), penanggung jawab usaha dan atau kegiatan telah menunjuk
auditor dengan pemberitahuan kepada Menteri.
(2). Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penangung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melaksanakan perintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri dapat :
a. melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dengan
membentuk Tim Audit, atau;
b. menugaskan pihak ketiga yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(3). Jumlah beban biaya pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
Pasal 14
(1). Tim audit merumuskan Kerangka Acuan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan berdasarkan ruang lingkup yang ditetapkan oleh Menteri
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tim audit ditetapkan.
(2). Tim audit mulai melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah Kerangka Acuan
mendapat persetujuan dari Menteri.

Kep Men LH No. 30 Th 2001 7/9


(3). Tim audit setelah melaksanakan tugasnya wajib menyerahkan laporan
hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan secara tertulis kepada
Menteri.
Pasal 15
(1). Apabila dianggap perlu Menteri dapat melakukan verifikasi terhadap
laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan, dengan membentuk
Tim Verifikasi.
(2). Tim verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari :

a. ahli di bidang lingkungan hidup khususnya yang berkaitan dengan


laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan;
b. unsur lainnya yang dianggap perlu.
(3). Tim verifikasi dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Sekretariat
yang ditetapkan Menteri dan berkedudukan di instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
(4). Tugas Tim Verifikasi mencakup hal-hal sebagai berikut :

a. melaksanakan kajian terhadap laporan hasil audit lingkungan hidup


yang diwajibkan;
b. apabila diperlukan dapat melaksanakan kegiatan verifikasi di lokasi
usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
c. menyusun laporan hasil verifikasi secara tertulis dan
menyampaikannya kepada Menteri.
(5). Tim Verifikasi melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 16
(1). Berdasarkan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan,
Menteri mengeluarkan surat perintah kepada penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan yang bersangkutan untuk melakukan perbaikan sesuai
dengan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan dalam tenggang
waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
(2). Instansiyang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan dan atau instansi yang bertanggung jawab di daerah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perbaikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
INFORMASI DAN PUBLIKASI

Kep Men LH No. 30 Th 2001 8/9


Pasal 17
Menteri mengumumkan surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) dan laporan hasil audit lingkungan hidup yang diwajibkan kepada
Masyarakat.
BAB VII
PENUTUP
Pasal 18
Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 September 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup
ttd.
Nabiel Makarim, MPA, MSM

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi III MENLH
Bidang Hukum Lingkungan,

ttd.

Sudharto P. Hadi

Kep Men LH No. 30 Th 2001 9/9


SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 45 TAHUN 2005
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah


Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, pemrakarsa usaha dan/ atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
kepada instansi yang membidangi usaha dan/ atau kegiatan
yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan hidup dan Gubernur;

b. bahwa di dalam Pasal 32 ayat (1) tersebut di atas tidak diatur


bagaimana pemrakarsa usaha dan/ atau kegiatan seharusnya
menyampaikan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup;

c. bahwa untuk dapat memberikan kepastian hukum mengenai


format, ruang lingkup dan materi pelaporan pelaksanaan
rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup perlu ditetapkan suatu acuan yang dapat
dijadikan pedoman bagi pelaksanaan pelaporan;

d. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, huruf b dan


huruf c, perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Laporan
Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL);

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);

1
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang


Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 31, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3815) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3910);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3853);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Bahan Berbaya dan Beracun (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4153);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4161);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN
PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP (RKL) DAN RENCANA PEMANTAUAN
LINGKUNGAN HIDUP (RPL).

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

a. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak


besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari
rencana usaha dan/ atau kegiatan;

2
b. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari
rencana usaha dan/ atau kegiatan;

c. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha dan/ atau kegiatan yang akan dilaksanakan.

Pasal 2

(1) Pedoman yang diatur dalam Keputusan ini bertujuan agar terdapat keseragaman
format pelaporan dalam pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup
(RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) sehingga dapat tercipta
kepastian hukum dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam menetapkan
kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

(2) Teknik dan metodologi pengelolaan dan pemantauan yang digunakan dalam
pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana
pemantauan lingkungan hidup (RPL) wajib dilakukan sesuai dengan teknik dan
metodologi standar atau yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 3

(1) Pedoman penyusunan laporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup


(RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Keputusan ini.

(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh pemrakarsa usaha
dan/ atau kegiatan untuk pelaporan kepada instansi yang berkepentingan dalam
pengelolaan lingkungan hidup.

(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan minimum
dalam melakukan pelaporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup
(RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) dan dapat
dikembangkan sesuai dengan usaha dan/ atau kegiatan yang dilakukan.

Pasal 4

Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Kepala Badan Pengendalian


Dampak Lingkungan Nomor 105 Tahun 1997 tentang Panduan Pemantauan
Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) dinyatakan tidak berlaku lagi.

3
Pasal 5

Keputusan ini mulai berlaku efektif 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5 April 2005
_______________________
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup

ttd

Hoetomo, MPA.

4
Lampiran
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 45 Tahun 2005
Tanggal : 5 April 2005
______________________________________________________________________________________

PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN


RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)

I. PENJELASAN UMUM

Sistematika dalam Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL ini
merupakan persyaratan minimum yang harus dilaporkan oleh pemrakarsa. Dalam
pelaksanaannya, pelaporan ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan
informasi lingkungan yang diperlukan oleh instansi terkait.

Penyusunan pedoman ini dilatarbelakangi antara lain oleh beberapa hal sebagai
berikut:
1. Dalam proses pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL selama ini tidak
menggunakan format pelaporan yang seragam;
2. Format pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL sebelumnya dianggap
membingungkan, tidak jelas dan terjadi pengulangan sehingga menyulitkan
pemrakarsa dalam melakukan pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL-nya;
3. Format pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL sebelumnya belum
menggambarkan tujuan dari pemantauan RKL dan RPL yaitu memberikan
gambaran kecenderungan perubahan kualitas lingkungan di lokasi dan sekitar
rencana usaha dan/ atau kegiatan, dan penaatan terhadap ketentuan yang
berlaku (misalnya: ketentuan dalam RKL dan RPL).

II. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup pedoman ini adalah:


1. Pelaksanaan ketentuan dalam RKL dan RPL;
2. Pelaksanaan ketentuan dalam izin yang terkait pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup;
3. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan lain terkait Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup.

III. MAKSUD DAN TUJUAN

1
Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL ini dimaksudkan
untuk memberikan acuan dalam penyusunan laporan pelaksanaan RKL dan RPL.
Tujuan pedoman penyusunan laporan pelaksanaan RKL dan RPL ini adalah:
1. Memberikan kemudahan kepada pemrakarsa dalam melaporkan pelaksanaan
RKL dan RPL;
2. Memberikan kemudahan kepada berbagai instansi terkait dalam pengawasan
pelaksanaan RKL dan RPL;
3. Mendorong pemrakarsa memanfaatkan data-data pemantauan lingkungan
dalam menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang berdasarkan prinsip-
prinsip perbaikan secara menerus (continual improvement).

IV. MEKANISME PELAPORAN

Pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL merupakan wujud tanggung jawab


pemrakarsa untuk memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas usaha dan/ atau kegiatan yang
menjadi tanggungjawabnya, serta memenuhi hak setiap orang untuk mendapatkan
informasi lingkungan hidup dan berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Laporan pelaksanaan RKL dan RPL wajib dilaporkan oleh pemrakarsa kepada
instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan, instansi
yang ditugasi mengelola lingkungan hidup di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/
Kota.

Pada umumnya Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup dan dokumen


RKL dan RPL telah mengatur instansi-instansi yang harus diberikan laporan
pelaksanaan RKL dan RPL. Oleh sebab itu, pemrakarsa wajib memperhatikan
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan
Hidup dan dokumen RKL dan RPL tersebut.

Laporan disampaikan dalam bentuk buku laporan dan dianjurkan untuk disertai
dengan file elektronik seperti Compact Disc (CD) atau disket.

Selain laporan pelaksanaan RKL dan RPL yang disampaikan kepada Pemerintah,
pemrakasa usaha dan/ atau kegiatan sangat dianjurkan untuk membuka informasi
pelaksanaan RKL dan RPL tersebut kepada publik, baik dalam bentuk buku
laporan atau sistem informasi elektronik lainnya seperti situs internet (internet
website).

V. FREKUENSI PELAPORAN

2
Frekuensi pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL dilakukan sesuai dengan Surat
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup. Oleh sebab itu, pemrakarsa wajib
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Surat Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup tersebut. Dalam hal frekuensi pelaporan tidak
ditetapkan dalam Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, maka pelaporan
dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.

VI. SISTEMATIKA PELAPORAN

Pemrakarsa dalam menyusun laporan pelaksanaan RKL dan RPL mengikuti


sistematika sebagai berikut:

BAB I

PENDAHULUAN

A. IDENTITAS PERUSAHAAN

Tuliskan identitas pemrakarsa dan domisili usaha dan atau kegiatan

Nama Perusahaan/Pemrakarsa : …………………………………………


Jenis Badan Hukum : CV/PT/Koperasi/……………………….
Alamat Perusahaan/Pemrakarsa : …………………………………………
Nomor Telepon : (kode wilayah) …………………………
Nomor Fax. : (kode wilayah) ………………………...
e-mail : ………………………………………….
Status pemodalan : PMA/PMDN/………………………….
Bidang usaha dan atau kegiatan : ………………………………………….
SK AMDAL yang disetujui : ………………………………………….
Penanggung jawab : ………………………………………….
(Nama dan Jabatan)
Izin yang terkait dengan
AMDAL (lampirkan) : …………………………………………

B. LOKASI USAHA DAN ATAU KEGIATAN

Tuliskan secara jelas lokasi usaha dan atau kegiatan (alamat lengkap dan
nomor telepon). Lengkapi dengan peta dan koordinat.

C. DESKRIPSI KEGIATAN

3
Uraikan secara singkat kegiatan dan status pelaksanaan kegiatan tersebut pada
saat pelaporan beserta kapasitas produksi dan atau luasan lahan yang
dimanfaatkan. Uraian ini harus dapat menjelaskan apakah kegiatan
perusahaan tersebut dalam tahap pra-kontruksi, konstruksi, operasi atau pasca
operasi.
Pemrakarsa dapat mencantumkan berbagai penghargaan yang dimiliki, baik
dari dalam negeri, luar negeri atau institusi lain (misalnya: ISO 14000,
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan - PROPER).

D. PERKEMBANGAN LINGKUNGAN SEKITAR

Informasikan secara lengkap dan jelas, apabila terjadi perubahan-perubahan di


sekitar kegiatan selama proyek berlangsung yang kemungkinan dan atau turut
mempengaruhi kegiatan.

BAB II
PELAKSANAAN DAN EVALUASI

A. PELAKSANAAN

Uraikan secara rinci hasil pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan


lingkungan hidup. Apabila terdapat rekomendasi terhadap laporan hasil
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan sebelumnya, maka hasil
pelaksanaan terhadap rekomendasi tersebut turut dilaporkan.

Teknik dan metodologi pengelolaan dan pemantauan yang digunakan dalam


pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana
pemantauan lingkungan hidup (RPL) harus dilakukan sesuai dengan teknik
dan metodologi standar atau yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Dalam penulisan laporan, harus ada kesesuaian uraian antara dampak yang
dikelola dengan komponen lingkungan yang dipantau. Uraian pelaksanaan
pengelolaan dapat dilakukan per komponen kegiatan dan pelaksanaan
pemantauan per komponen lingkungan.

1. RKL

• Uraikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dan hasil-hasil yang


dicapai meliputi: jenis dampak, sumber dampak, tindakan pengelolaan
lingkungan hidup, tolok ukur pengelolaan, lokasi pengelolaan dan
periode/ waktu pengelolaan.

4
• Untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup perlu diuraikan tentang besaran dampak dari
masing-masing sumber dampak. Misalnya untuk menjelaskan
pengelolaan dampak penurunan kualitas udara akibat emisi dari
cerobong perlu diuraikan tentang besaran sumber dampak (dalam hal
ini adalah uraian tentang berapa emisi yang dikeluarkan dari cerobong)
dan uraian tentang besaran dampak yang terjadi di lingkungan (dalam
hal ini informasi hasil pemantauan kualitas udara ambien).

• Lampirkan visualisasi pelaksanaan pengelolaan lingkungan (misalnya


foto-foto, grafik, tabel, peta lokasi pengelolaan, dsb).

2. RPL

• Uraikan pelaksanaan pemantauan lingkungan dan hasil-hasil yang


dicapai meliputi: jenis dampak, sumber dampak, lokasi pemantauan,
parameter lingkungan yang dipantau, metode pemantauan, jangka
waktu dan frekuensi pemantauan.

• Lampirkan berbagai hasil pelaksanaan pengukuran, antara lain hasil


analisis dari laboratorium yang terakreditasi atau diakui oleh
pemerintah, catatan tingkat kesehatan masyarakat dan data pelaporan
aspek sosial. Lampirkan juga visualisasi pelaksanaan pemantauan
lingkungan (misalnya foto-foto, grafik, tabel, peta lokasi pemantauan,
dsb).

B. EVALUASI

Evaluasi ditujukan untuk:


• Memudahkan identifikasi penaatan pemrakarsa terhadap peraturan
lingkungan hidup seperti standar-standar baku mutu lingkungan,
• Mendorong pemrakarsa untuk mengevaluasi kinerja pengelolaan dan
pemantauan lingkungan sebagai upaya perbaikan secara menerus
(continual improvement),
• Mengetahui kecenderungan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
suatu kegiatan, sehingga memudahkan instansi yang melakukan
pengendalian dampak lingkungan dalam penyelesaian permasalahan
lingkungan dan perencanaan pengelolaan lingkungan hidup dalam skala
yang lebih besar,
• Mengetahui kinerja pengelolaan lingkungan hidup oleh pemrakarsa untuk
program penilaian peringkat kinerja.

Uraian evaluasi meliputi hal-hal sebagai berikut:

5
1. Evaluasi Kecenderungan (trend evaluation)

Evaluasi kecenderungan adalah evaluasi untuk melihat kecenderungan


(trend) perubahan kualitas lingkungan dalam suatu rentang ruang dan
waktu tertentu. Untuk melakukan evaluasi ini mutlak dibutuhkan data
hasil pemantauan dari waktu ke waktu (time series data), karena penilaian
perubahan kecenderungan hanya dapat dilakukan dengan data untuk waktu
pemantauan yang berbeda.

Data perubahan dari waktu ke waktu dapat menggambarkan secara lebih


jelas mengenai kecenderungan proses suatu kegiatan maupun perubahan
kualitas lingkungan yang diakibatkannya, karena proses suatu kegiatan
tidak selalu dalam kondisi normal atau optimal.

2. Evaluasi Tingkat Kritis (criticial level evaluation)

Evaluasi tingkat kritis dimaksudkan untuk menilai tingkat kekritisan


(critical level) dari suatu dampak. Evaluasi tingkat kritis dapat dilakukan
dengan data hasil pemantauan dari waktu ke waktu maupun data dari
pemantauan sesaat.

Evaluasi tingkat kritis adalah evaluasi terhadap potensi risiko dimana


suatu kondisi akan melebihi baku mutu atau standar lainnya, baik untuk
periode waktu saat ini maupun waktu mendatang.

3. Evaluasi Penaatan (compliance evaluation).

Evaluasi penaatan adalah evaluasi terhadap tingkat kepatuhan dari


pemrakarsa kegiatan untuk memenuhi berbagai ketentuan yang terdapat
dalam izin atau pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL).

Ketiga jenis evaluasi di atas dapat dilakukan untuk menilai tingkat penaatan
terhadap ketentuan yang berlaku maupun untuk menilai kinerja pengelolaan
lingkungan hidup dari suatu usaha dan atau kegiatan.

BAB III
KESIMPULAN

Uraikan dalam bab ini hal-hal penting yang dihasilkan dari pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Dalam bab ini dapat diuraikan
pula temuan dan usulan untuk perbaikan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup selanjutnya, yaitu:

1. Kesimpulan mengenai efektivitas pengelolaan lingkungan hidup dan kendala-


kendala yang dihadapi;

6
2. Kesimpulan mengenai kesesuaian hasil pelaksanaan pengelolaan lingkungan
dan pemantauan lingkungan dengan rencana pengelolaan dan pemantauan
dalam dokumen RKL dan RPL.

Dalam hal terdapat usulan perubahan untuk rencana perbaikan pelaksanaan


pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, maka usulan tersebut harus
didasarkan atas data hasil pemantauan. Usulan tersebut wajib dikomunikasikan
untuk mendapatkan persetujuan dari instansi yang ditugasi mengelola lingkungan
hidup.

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.

7
Keputusan Kepala Bapedal No. 08 Tahun 2000
Tentang : Keterlibatan Masyarakat Dan Keterbukaan
Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup

KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN,

Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perlu
ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
tentang Ketertibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam
Proses AnaLisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;

Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 1/M Tahun 2000
tentang Pengangkatan Kepata Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN
INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP.

Pertama : Keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam


proses analisis mengenai dampak lingkungan hidup
diselenggarakan dengan berpedoman pada Lampiran
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan ini.
Kedua : Dengan tidak mengurangi ketentuan datam Keputusan ini,
Gubernur dapat mengatur lebih Lanjut:
1. Penentuan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk
dalam Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup;
2. rincian tata cara:
a. keterlibatan masyarakat dalam proses Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
b. pengumuman; dan
c. penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan
warga masyarakat.
Ketiga : Surat Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7
November 2000 dan bilamana di kemudian hari terdapat
kekeliruan, maka Surat Keputusan ini akan ditinjau kembali.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tangga : 17 Pebruari 2000

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

ttd.

Dr. A. Sonny Keraf

Lampiran : Keputusan Kepala badan Pengendalian Dampak


Lingkungan No. 8 Tahun 2000 Tanggal 17 Februari 2000

KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN INFORMASI


DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

1. PENDAHULUAN
1.1 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat
dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk:
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan
keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap Lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan
proses AMDAl dari rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara
semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan
menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan
informasi dan mewajibkan semua pihak untuk
menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain
yang terpengaruh.
1.2 Prinsip Dasar Pelaksanaan
1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat;
2) Transparansi dalam pengambilan keputusan;
3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana;
dan
4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-
pihak yang terkait
1.3 Pengertian
Masyarakat yang Berkepentingan :
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang
terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL
berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut:
kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau
kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial
budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat
berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi
masyarakat terkena dampak dan, masyarakat pemerhati.
Masyarakat Terkena Dampak :
Masyarakat terkena dampak adalah masyarakat yang akan
merasakan dampak dari adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan, terdiri dari masyarakat yang akan mendapatkan
manfaat dan masyarakat yang akan mengalami kerugian.
Masyarakat Pemerhati :
Masyarakat Pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena
dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, tetapi
mempunyai perhatian terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut, maupun dampak- dampak lingkungan yang
akan ditimbulkannya.
Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL :
Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
tentang AMDAL. Dalam proses ini, masyarakat menyampaikan
aspirasi, kebutuhan, dan nilai- nilai yang dimiliki masyarakat,
serta usulan penyelesaian masalah dari masyarakat yang
berkepentingan dengan tujuan memperoleh keputusan yang
terbaik.
Wakil Masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL :
Wakil Masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL adalah wakil dari
masyarakat terkena dampak yang telah memenuhi kriteria yang
ditetapkan untuk dapat duduk sebagai anggota komisi penilai
AMDAL.
2. Hak dan Kewajiban
2.1 Hak-hak Warga Masyarakat
Hak-hak Warga Masyarakat dalam proses AMDAL adalah :
1) Memperoleh Informasi mengenai :
a) rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib
menyusun AMDAL;
b) dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup (KA-ANDAL);
c) dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(ANDAL);
d) dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RKL);
e) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
(RPL);
f) proses penilaian dokumen AMDAL oleh Komisi
Penilai AMDAL;
g) sikap instansi yang bertanggung jawab atas saran,
pendapat dan tanggapan masyarakat yang
disampaikan; dan
h) keputusan hasil penilaian dokumen AMDAL;
2) Memberikan saran, pendapat, dan/atau tanggapan atas
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun
AMDAL dan dokumen KA- ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL
dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Penyampaian Saran, Pendapat,
dan Tanggapan Bentuk tertulis (contoh: surat, e-
mail) atau bentuk cetak (contoh : surat pembaca di
media massa) sehingga mudah didokumentasikan
b) Spesifikasi Teknik Penyampaian Saran, Pendapat,
dan Tanggapan
(1) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar;
(2) Menuliskan dengan jelas sehingga mudah
dibaca;
(3) Menjelaskan dan atau melampirkan identitas
pribadi.
c) Tata Cara
Tata cara penyampaian saran, pendapat, dan
tanggapan dijelaskan Lebih lanjut dalam bab 3.
3) Duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL;
khusus bagi warga masyarakat terkena dampak
yang penetapannya dilaksanakan berdasarkan
ketentuan butir a) dibawah, dan dengan
menggunakan mekanisme perwakilan yang
pelaksanaannya berdasarkan ketentuan butir b)
dibawah.
a) Penetapan lingkup masyarakat terkena
dampak
Penetapan lingkup warga masyarakat
terkena dampak pada tahap penyusunan KA-
ANDAL dilakukan atas kesepakatan bersama
antara instansi yang bertanggungjawab,
pemrakarsa dan masyarakat terkena
dampak terkait dengan tetap
memperhatikan kemungkinan
penyempurnaannya kembali pada tahap
proses penilaian dokumen ANDAL, RKL, dan
RPL di Komisi Penilai.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
menentukan lingkup masyarakat terkena
dampak adalah:
(1) Memperhatikan karakter rencana
usaha dan/atau kegiatan yang akan
diusulkan
Contoh :
- jenis-jenis usaha dan/atau
kegiatan yang membutuhkan
dukungan semua Lapisan
masyarakat setempat berarti
menjadikan seluruh masyarakat
setempat sebagai kelompok
yang terkena dampak (misalnya
: proyek pembukaan Lahan
pertanian skala besar,
pembuatan infrastruktur desa,
proyek peremajaan kota, dan
lain-lain);
- jenis usaha dan/atau kegiatan
yang menyebabkan pengaruh
positif atau negatif besar pada
satu kelompok masyarakat
tertentu menjadikan hanya
sebagian masyarakat menjadi
kelompok yang terkena dampak
(misalnya: proyek transmigrasi/
pemindahan pemukim
perambah hutan yang akan
mempengaruhi penduduk yang
dipindahkan dan penduduk
yang akan menerima, atau
proyek pertambangan terhadap
masyarakat suku terasing);
(2) Memperhatikan jenis isu pokok/
dampak besar dan penting yang
muncul
Sebuah rencana usaha dan/atau
kegiatan bisa memiliki lingkup warga
masyarakat yang terkena dampak
berbeda-beda menurut jenis isu
pokok/dampak besar dan penting.
Contoh :
- adanya perbedaan antara
kelompok warga masyarakat
terkena dampak akibat isu
konflik sosial budaya dengan
kelompok akibat isu
pencemaran lingkungan, dan
lain sebagainya.
(3) Mengacu pada batas wilayah dampak
yang ditetapkan dalam studi AMDAL
Warga masyarakat yang terkena
dampak harus warga yang memang
berada di dalam wilayah dampak yang
batas-batasnya ditetapkan dalam
studi AMDAL.
(4) Memperhatikan tahapan proses kajian
AMDAL
Semakin jelas permasalahan dan
alternatif mitigasi dampak, lingkup
warga masyarakat yang terkena
dampak dapat membesar/ mengecil.
Contoh :
- identifikasi dampak dan wilayah
sebarannya pada saat KA-
ANDAL mungkin hanya
menghasilkan satu kelompok
masyarakat terkena dampak,
namun pada saat evaluasi
dampak akan dapat
teridentifikasi kelompok
masyarakai terkena dampak
baru. Demikian pula halnya
pada saat ditemukannya
alternatif mitigasi dampak
dalam RKL dan RPL, dimana
kemudian dapat memunculkan
kelompok masyarakat terkena
dampak yang tidak
teridentifikasi sebelumnya.
b) Penetapan wakil masyarakat terkena
dampak yang duduk dalam Komisi Penilai
AMDAL
Warga masyarakat terkena dampak memilih
sendiri wakil yang duduk dalam Komisi
Penilai AMDAL. Kriteria dan syarat wakil
masyarakat terkena dampak adalah:
(1) Seseorang yang diakui sebagai juru
bicara dan/atau mendapat mandat
dan kelompok masyarakat terkena
dampak Wujud dan pengakuan ini
dapat berupa bukti yang sifatnya
formal (misalnya: surat persetujuan
bersama dan kelompok masyarakat
yang diwakili), atau bentuk-bentuk
pengakuan lainnya yang ditetapkan
dan disetujui oleh ketompok
masyarakat terkena dampak yang
diwakilinya (misalnya: menetapkan
tokoh masyarakat formal seperti
Kepala Desa dan LKMD, atau informal
seperti tokoh adat dan tokoh agama
setempat sebagai wakil yang
disepakati);
(2) Menyuarakan semua bentuk aspirasi
dan pendapat masyarakat yang
diwakilinya secara apa adanya,
termasuk juga pendapat pendapat
yang saling bertentangan;
(3) Melakukan komunikasi dan konsultasi
rutin dengan masyarakat yang
diwakilinya.
2.2 Kewajiban Instansi yang Bertanggung Jawab
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang
akan memulai penyusunan AMDAL dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Media cetak lokal dan nasional;
(2) Papan pengumuman kantor instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pusat dan/atau
daerah; dan dapat ditambahkan dengan
(3) Media elektronik televisi dan/atau radio; dan
(4) Pusat dan/atau tempat pengumuman resmi
yang ditetapkan dan diatur oleh instansi
yang bertanggung jawab.
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
(1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis
maupun tidak tertulis harus menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar,
disampaikan dengan jelas dan mudah
dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat;
(2) Pengumuman tertulis di media cetak harus
berukuran minimal 5 cm x 3 cm dan ditulis
dengan huruf standar sekurang-kurangnya
berukuran 10 (sepuluh). Ukuran minimal
tidak boleh dijadikan alasan tidak
lengkapnya lingkup materi yang
disampaikan;
(3) Pengumuman pada papan pengumuman
harus sekurang-kurangnya :
- Ditulis dengan warna hitam dan dasar
putih;
- Ditulis dengan huruf cetak standar
dengan ukuran minimal 12;
- Berukuran minimal 60 cm x 100 cm
(4) Pengumuman pada media elektronik dapat
berupa berita ataupun spot iklan, dengan
lama minimal 10 (sepuluh) detik untuk
televisi dan 20 (dua puluh) detik untuk radio
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut
dalam bab 3.
2) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat yang disampaikan;
3) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat serta respon dan sikap
atas saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat
tersebut kepada Komisi Penilai AMDAL;
4) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil
keputusan penilai dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL,
dan RPL kepada warga masyarakat yang berkepentingan;
dan
5) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga
masyarakat atas informasi dan berperan serta dalam
proses AMDAL.
2.3 Kewajiban Pemrakarsa
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatannya
sebelum memul penyusunan dokumen AMDAL sesuai
dengan ketentuan :
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Papan pengumuman di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(2) Papan pengumuman di lokasi-lokasi strategis
yang ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pusat atau
daerah; dan
(3) Media lain yang dianggap tepat dengan
situasi setempat; misalnya brosur, surat,
media cetak, dan/atau media etektronik
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
Spesifikasi tampilan pengumuman sesuai dengan
ketentuan b) dalam butir 1) sub bab 2.2.
c) Tata Cara Pengumuman
Tatacara pengumuman dijelaskan lebih lanjut
dalam bab 3.
2) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat
yang berkepentingan dalam penyusunan dokumen KA-
ANDAL
3) Memberikan informasi mengenal dokumen, KA-ANDAL,
ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat yang
memerlukannya
4) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang
disampaikan oleh warga masyarakat yang berkepentingan

3. TATA CARA KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL.


3.1 Tahap Persiapan Penyusunan AMDAL
Pemrakarsa rencana dan/atau kegiatan yang akan memulai
menyusun dokumen AMDAL wajib:
1) Memberitahukan rencananya kepada instansi yang
bertanggungjawab;
2) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan
terhitung sejak jadwal pengumuman yang telah
disepakati bersama instansi yang bertanggungjawab;
3) Mengumumkan hal-hal:
a). Nama dan alamat pemrakarsa;
b) Lokasi dan luas usaha dan/atau kegiatan, serta
dilengkapi dengan peta wilayah rencana usaha
dan/atau kegiatan;
c) jenis usaha dan/atau kegiatan;
d) Produk yang akan dihasilkan;
e) Jenis,dan volume limbah yang akan dihasilkan,
serta cara penanganannya;
f) Dampak lingkungan hidup yang akan timbul;
g) Tanggal pengumuman tersebut mulai dipasang dan
batas waktu pemberian saran, pendapat, dan
tanggapan dan warga masyarakat ; dan
h) Nama dan alamat instansi yang bertanggung
jawab dalam menerima saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat
4) mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik
pengumuman sebagaimana diatur dalam butir 1) sub bab
2.3.
Instansi yang bertanggung jawab wajib mengumumkan rencana
usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai menyusun AMDAL
dengan ketentuan :
1) Mengumumkan hal-hal:
a) Lokasi usaha dan/atau kegiatan serta dilengkapi
dengan peta wilayah rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b) Jenis usaha dan/atau kegiatan;
c) alamat pemrakarsa;
d) Tanggal pengumuman tersebut mulai dipasang dan
batas waktu pemberian saran, pendapat dan
tanggapan dari warga masyarakat :dan
e) Nama dan alamat instansi yang bertanggung jawab
menerima saran, pendapat, dan tanggapan dari
warga masyarakat.
2) Mengikuti ketentuan spesifikasi media dan teknik
pengumuman sebagaimana diatur dalam butir 1) sub bab
2.2.
Warga masyarakat yang berkepentingan berhak menyampaikan
saran, pendapat, dan tanggapan, yang teknisnya diatur dalam
butir 2) sub bab 2.1, terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan
yang diumumkan selama periode 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal pengumuman dilaksanakan, dan disampaikan
kepada:
- Instansi yang bertanggung jawab di tingkat Pusat :
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan u.p. Unit
yang membidangi AMDAL, dengan tembusan kepada
Pemrakarsa; dan/ atau
- Instansi yang bertanggung jawab di tingkat Daerah :
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I u.p. Kepala Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Tingkat I,
dengan tembusan kepada Pemrakarsa.
3.2 Tahap Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
Pada saat penyusunan KA-ANDAL, pemrakarsa wajib melakukan
konsultasi kepada warga masyarakat yang berkepentingan.
Hasil dari konsultasi kepada warga masyarakat wajib digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pelingkupan.
Pemrakarsa harus mendokumentasikan semua berkas yang
berkaitan dengan pelaksanaan konsultasi dan membuat
rangkuman hasilnya untuk diserahkan kepada Komisi Penilai
AMDAL sebagai Lampiran dokumen KA-ANDAL.
Untuk melancarkan konsultasi kepada warga masyarakat dalam
tahap ini, pemrakarsa harus memenuhi kewajiban sebagai
berikut:
1) Menyediakan informasi dengan lingkup: penjabaran
kegiatan (jenis kegiatan, kapasitas dan lokasi kegiatan),
komponen lingkungan yang sangat penting diperhatikan
karena akan terkena dampak, dan isu-isu pokok
mengenai dampak lingkungan yang diperkirakan akan
muncul; dan
2) Mengumumkan waktu, tempat serta cara konsultasi yang
akan dilakukan (misalnya: pertemuan-pertemuan publik,
Lokakarya, seminar diskusi terfokus dan metoda-metoda
lain yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi
secara dua arah).
3.3 Tahap Penilaian KA-ANDAL
Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai
anggota Komisi Penilai AMDAL melalui wakil yang telah
ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan
sarat pendapat, dan tanggapannya dengan ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab
dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah
didokumentasikan dan/atau tertulis, sesuai dengan
ketentuan butir 2) sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum
rapat Komisi Penilai AMDAL.
3.4 Tahap Penilaian Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL)
Warga masyarakat terkena dampak berhak duduk sebagai
anggota Komisi Penilai melalui wakil yang telah ditetapkan.
Warga masyarakat berkepentingan juga dapat menyampaikan
sarar pendapat, dan tanggapannya dengan ketentuan:
1) Disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab,
dan/atau pemrakarsa;
2) Disampaikan dalam bentuk yang mudah
didokumentasikan dan/atau tertutis, sesuai dengan
ketentuan butir 2) sub bab 2.1; dan
3) Disampaikan selambat-lambatnya 45 (empat puluh lima)
hari kerja setelah informasi jadwal rencana sidang
penilaian oleh Komisi Penilai AMDAL disebarluaskan
secara resmi.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan

ttd.
Dr. A. Sonny Keraf

Salinan sesuai dengan aslinya Sekretaris Utama BAPEDAL,

ttd.
Sudarsono, SH

BAGAN PROSEDUR KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES AMDAL


______________________________________
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi


kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan
dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan kesehatan dan
kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup
lainnya;
b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestaria
fungsi lingkungan hidup, maka udara perlu pelihara, dijaga dan
dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara;
c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN


PENCEMARAN UDARA.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan
manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ketingkat
tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau
penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik
Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen
lain yang ada di udara bebas;
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu
tempat pada saat dilakukan inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi,
dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara
ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar
udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

9. Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan


dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam
udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai dan/atau
tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar;
10. Mutu emisi adalah emisi yang boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke
udara ambien;
11. Sumber emisi adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik,
sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik;
12. Sumber bergerak adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap
pada suatu tempat yang berada dari kendaraan bermotor;
13. Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau
tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat
terbang, kapal laut dan kendaraan berat lainnya;
14. Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu
tempat;
15. Sumber tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada
suatu tempat yang berasal dari kebakaran hutan dan pembakaran
sampah;
16. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas kadar
maksimum dan/atau beban emisi maksimum myang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
17. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas
maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor;
18. Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang menggunakan
media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari
sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak,
atau sumber tidak bergerak spesifik;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-

19. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber


gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat;
20. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas
maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin
dan/atau transmisi kendaraan bermotor;
21. Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh
peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu;
22. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang
menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap
diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi
tetapi akan diproduksi ulang dengan perubahan desain mesin dan
sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor tetapi
belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia;
23. Kendaraan bermotor lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi,
dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di jalan wilayah Republik
Indonesia;
24. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor
tipe baru;
25. Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap
kendaraan bermotor tipe baru;
26. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien
di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap
kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup lainnya;
27. Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi
yang berkaitan dengan mutu udara;
28. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

29. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan


hidup;
30. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha
dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber
tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan
dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber ganggunan
yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara
ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas
emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan
Indeks Standar Pencemar Udara.

Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien

Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas
maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan
Pemerintah ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 5
(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan
pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang
bersangkutan.

(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berdasarkan baku mutu udara ambien
nasional.

(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari
baku mutu udara ambien nasional.

(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien


daerah, maka berlaku baku mutu udara ambien nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis penetapan baku mutu udara ambien daerah.

Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien

Pasal 6
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi
dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber
pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna
tanah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-

(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak


lingkungan daerah melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau
penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan


hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis inventarisasi dan pedoman teknis penetapan status mutu udara
ambien.

Pasal 7
(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara
ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional
Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien
daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.

(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara
ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur wajib
melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.

Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang

Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu
emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-

(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis,
kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.

(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 9
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap
baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan
sumber bergerak.

Bagian Kelima
Baku Tingkat Ganggunan dan Ambang Batas Kebisingan

Pasal 10
(1) Kepala instansi yang beranggung jawab menetapkan baku tingkat
gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan
kendaraan bermotor.

(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :

a. baku tingkat kebisingan;


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-

b. baku tingkat getaran;

c. baku tingkat kebauan; dan

d. bakku tingkat ganggunan lainnya.

(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana
fisik serta kelestarian bangunan.

(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek
kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi.

(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas
kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap
baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas
kebisingan kendaraan bermotor.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis pengendalian pencemaran udara sumber gangguan dari
sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber bergerak.

Bagian keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Pasal 12
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar
Pencemar Udara.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -

(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) ditetapkan dengan mempertimbangkan tingkat mutu udara
terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan,
dan nilai estetika.

Pasal 13

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis


perhitungan dan pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar
Udara.

Pasal 14
(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun
pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan
berkesinambungan.

(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) dapat dipergunakan untuk :

a. bakan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara


ambien di lokasi tertentu dan pada waktu tertentu;

b. bahan pertimbangan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah


dalam melaksanakan pengendalian pencemaran udara.

Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian
stasiun kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -

BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan
penanggulangan pencemaran. serta pemulihan mutu udara dengan
melakukann inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber
pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak
termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 17
(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian
pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.

(2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan


pelaksanaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau
kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 18
(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah
dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara


di daerah dilakukan oleh Gubernur.

(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5
(lima) tahun.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional
pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program
kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.

(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan


operasional pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang
bertanggung jawab.

Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan
Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup

Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah
terjadinya pencemaran udara dengan cara :

a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak
bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan
kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II
Peraturan Pemerintah ini;

b. penetapan kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan 19.

Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien
wajib :
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -

a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat
gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang
dilakukannya;

b. melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara


yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya;

c. memberikan informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat


dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara dalam
lingkup usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib
memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang
ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23
Setiap udaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui
ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.

Pasal 24
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis
mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang
menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang mematuhi ketentuan baku mutu
emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 14 -
menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana
usaha dan/atau kegiatannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban


mengenai baku mutu emisi dan/atau baku tingkat gangguan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi
yang bertanggung jawab.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan


sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara

Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau ganggunan
wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Paragraf 1
Keadaan Darurat

Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar
Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori
berbahaya maka :

a. Menteri menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat


pencemaran udara secara nasional;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 15 -

b. Gubernur menetapkan dan mengumumkan keadaan darurat


pencemaran udara di daerahnya

(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan antara lain melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 27

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis


tata cara penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran
udara.

Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak

Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi
pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan
pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di
sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan
persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 29
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

Pasal 30
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku
mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi wajib manaati ketentuan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Paragraf 3
Sumber Bergerak

Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi
pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang,
pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar
jalan, pemerksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan
pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar
belerang rendah sesuai standar internasional.

Pasal 32
(1) Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak.

(2) Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan pedoman teknis


penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber bergerak.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 17 -

Pasal 33

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang


mengeluarkan emisi gas buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor.

Pasal 34
(1) Kendaraan bemotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.

(2) Bagi kendaraan bemotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe
emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe
emisi.

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan
metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.

(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.

Pasal 35
(1) Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu llintas dan angkutan
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib
disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan


angka parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan
bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor
tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 36
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan


bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu)
tahun sekali kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Paragraf 4
Sumber Gangguan

Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumebr gangguan
meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan,
pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemerksaan
penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian
pencemaran udara.

Pasal 38
(1) Instansi yang bertanggung jawba mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber gangguan.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber
gangguan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

Pasal 39
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan
baku tingkat gangguan.

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).

Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang
mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.

Pasal 41
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.

(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe
kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus
uji tipe kebisingan.

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis tata cara dan metode uji tipe kebisingan kendaraan bermotor
tipe baru.

(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan.

Pasal 42
(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala
instansi yang bertanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan


hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman


teknis tata cara pelaporan hasil uji tipe kebisingan kendaraan
bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 43
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan
berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala


kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap
1 (satu) tahun sekali kepada instansi yang bertanggung jawab.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 44
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),


Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.

Pasal 45
(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah
Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab
usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 21 -

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


Gubernur/Bupati/Walikotamdya Kepala Daerah Tingkat II dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala
instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1
(satu) tahun.

Pasal 47
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen
dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat
tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi,
memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan
dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang diminta keterangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan
petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda


pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan tersebut.

Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib :
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 22 -

a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan


membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;

b. memberikan keterangan dengan benar baik secara lisan maupun


tertulis apabila hal itu diminta pengawas;

c. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas.

d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara


emisi dan/atau contoh udara ambien dan/atau lainnya yang
diperlukan pengawas, dan

e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar


dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.

Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu
emisi, baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang
dilakukan oleh pajabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluarkan kepada
masyarakat.

Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian laporan hasil
pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan
kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi
terkait lainnya.

(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertangung
jawab.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 23 -

Pasal 51
(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan
pemantauan terhadap mutu udara ambien.

(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat


disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi
teknis, dan instansi terkait lainnya.

(3) Hasil pemantau yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan oleh instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya
sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran
udara.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian
pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang
dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan
kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam
rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan
kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 24 -

BAB VI
GANTI RUGI

Pasal 54

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung
biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.

(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran
udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.

Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri.

BAB VII
SANKSI

Pasal 56
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1),
Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39,
Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan
Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau
mengakibatkan pencemaran udara dan/atau ganggugan diancam
dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkunga Hidup.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 25 -

(2) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 33 yang berkaitan


dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40 yang
berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat (1)
Peraturan Pemerintah ini yang tidak memenuhi pesyaratan ambang
batas emisi gas buang, atau ambang batas kebisingan diancam
dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang
Nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57

Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan


Pemerintah ini setiap usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin,
wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan


perundang-undangan tentang pengendalian pencemaran udara yang telah
tetap Berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 26 -
Pasal 59

Peraturan Pemerintah Ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangakan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PROF. DR. H. MULADI, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 86


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 41 TAHUN 1999
TANGGAL : 26 MEI 1999

BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL

Waktu Metode
No . Parameter Baku Mutu Peralatan
Pengukuran Analisis

3
1. SO2 1 Jam 900 ug/Nm Pararosanilin Spektrofotometer
3
(Sulfur Dioksida) 24 Jam 365 ug/Nm
3
1 Thn 60 ug/Nm
3
2. CO 1 Jam 30.000 ug/Nm NDIR NDIR Analyzer
3
(Karbon 24 Jam 10.000 ug/Nm
Monoksida) 1 Thn -
3
3. NO2 1 Jam 400 ug/Nm Saltzman Spektrofotometer
3
(Nitrogen 24 Jam 150 ug/Nm
3
Dioksida) 1 Thn 100 ug/Nm
3
4. O3 1 Jam 235 ug/Nm Chemiluminescent Spektrofotometer
3
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm
3
5. HC 3 Jam 160 ug/Nm Flame lonization Gas Chromatogarfi
(Hidro Karbon)
3
6. PM10 (*) 24 Jam 150 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
(Partikel<10 um)
3
PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
(Partikel<2,5um) 1 Thn 15 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol

3
7. TSP 24 Jam 230 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm

3
8. Pb 24 Jam 2 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm Ekstraktif
Pengabuan AAS
2
9. Dustfall 30 hari 10 Ton/km /Bulan Gravimetric Cannister
(Debu Jatuh) (Pemukiman)
2
20 Ton/km /Bulan
(Industri)

Catatan : (*) PM2,5 mulai diberlakukan tahun 2002


PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-

Waktu Metode
No . Parameter Baku Mutu Peralatan
Pengukuran Analisis
Impinger atau
3
10 . Total Fluorides 24 Jam 3 ug/Nm Spesific Ion Countinous
3
(asF) 90 hari 0,5 ug/Nm Electrode Analyzer

3
11. Fluor Indeks 30 hari 40 ug/100 cm Colourimet ric Limed Filter Paper
dari kertas limed
filter
3
12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm Spesific Ion Impinger atau
Khlorine Dioksida Electrode Countinous
Analyzer
3
13. Suphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100 cm Colourimet ric Lead
Dari Lead
Peroksida Paroxida Candle

Catatan :
Nomor 10 s/d 13 Hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
Contoh : - Industri Petro Kimia
- Industri Pembuatan Asam Sulfat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


ttd.
BACHRADDIN JUSUF HABIBIE

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Peraturan
Perundang-undangan I
ttd
Lambock V. Nahattands
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

UMUM

Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan
keberadaan benda-benda lainnya. Sehingga udara merupakan sumber daya alam yang
harus dilindungi untuk hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini
berarti bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dengan
memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk
mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan maka pengendalian
pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan.

Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami
penurunan mutu dalam penggunaannya yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi
sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya. Dalam pencemaran udara selalu terkait
dengan sumber yang menghasikan pencemaran udara yaitu sumber yang bergerak
(umumnya kendaraan bermotor) dan sumber yang tidak bergerak (umumnya kegiatan
industri) sedangkan pengendalian selalu terkait dengan serangkaian kegiatan
pengendalian yang bermuara dari batasan baku mutu udara. Dengan adanya tolok ukur
baku mutu udara akan dapat dilakukan penyusunan dan penetapan kegiatan pengendalian
pencemaran udara. Penjabaran kegiatan pengendalian pencemaran udara nasional
merupakan arahan dan pedoman yang sangat penting untuk pengendalian pencemaran
udara di daerah. Disamping sumber bergerak dan sumber tidak bergerak seperti tersebut
di atas, terdapat emisi yang spesifik yang penanganan upaya pengendalian masih belum
ada acuan baik di tingkat nasional maupun internasional. Sumber emisi ini adalah pesawat
terbang, kapal laut, kereta api, dan kendaraan berat spesifik lainnya. Maka penggunaan
sumber-sumber emisi spesifik tersebut di atas harus tetap mempertimbangkan
kaidah-kaidah pengelolaan lingkung hidup.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-2-
Mengacu kepada Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan bahwa
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan generasi
kini dan yang akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana. Pengendalian pencemaran udara mengacu kepada sasaran tersebut sehingga
pola kegiatannya terarah dengan tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban serta peran
serta masyarakat.

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat yan gdiikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan
fungsi lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas di dalam
hak dan kewajibannya mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan pemerintah ini juga
diatur hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat serta setiap pelaku usaha dan/atau
kegiatan agar dalam setiap langkah kegiatannya tetap menjaga dan memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pengedalian pencemaran udara mencakup kegiatan-kegiatan yang berintikan :


a. inventarisasi kualitas udara daerah dengan mempertimbangkan berbagai kriteria yang
ada dalam pengendalian pencemaran udara;
b. penetapan baku mutu udara ambien dan baku mutu emisi yang digunakan sebagai
tolok ukur pengendalian pencemaran udara;
c. penetapan mutu kualitas udara di suatu daerah termasuk perencanaan pengalokasian
kegiatan yang berdampak mencemari udara;
d. pemantaun kualitas udara baik ambien dan emisi yang diikuti dengan evaluasi dan
analisis;
e. pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran udara;
f. peran masyarakat dalam kepedulian terhadap pengendalian pencemaran udara;
g. kebijaksan bahan bakar yang diikuti dengan serangkaian kegiatan terpadu dengan
mengacu kepada bahan bakar bersih dan ramah lingkungan;
h. penetapan kebijaksan dasar baik teknis maupun non teknis dalam pengendallian
pencemaran udara secara nasional.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-3-

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Yang dimaksud dengan udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana
mestinya adalah udara ambien di luar lingkungan kerja yang sehat dan bersih
yang aman untuk kesehatan dan keselamatan manusia dan makhluk hidup
lainnya.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-4-

Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Yang dimaksud dengan menggunakan suatu media udara atau padat untuk
penyebarannya adalah :
a. melalui media (perantara) udara untuk sumber gangguan kebisingan dan
kebauan;
b. melalui media (perantara) padatan untuk sumber gangguan getaran.
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Cukup jelas
Angka 22
Yang dimaksud dengan diproduksi ulang adalah kegiatan rancang bangun
kendaraan bermotor untuk menghasilkan kendaraan bermotor tipe baru yang
menyebabkan berubahnya kondisi mesin baik dari dimensi, transmisi daya
maupun teknologi pembakarannya. Sehingga pada akhirnya dapat mengubah
emisi gas buang yang dihasilkannya.
Angka 23
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-5-

Angka 24
Cukup jelas
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup jelas
Angka 27
Cukup jelas
Angka 28
Cukup jelas
Angka 29
Cukup jelas
Angka 30
Cukup jelas

Pasal 2
Sehubungan dengan adanya keterbatasan teknis dalam penyusunan dan
pelaksanaan di lapangan, maka untuk saat ini pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak spesifik dan sumber tidak bergerak sepesifik belum diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah ini.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Baku mutu udara embien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum kualitas
udara ambien nasional yang diperbolehkan untuk di semua kawasan di seluruh
Indonesia. Sehingga arah dan tujuan dari penetapan baku mutu ini adalah untuk
mencegah pencemaran udara dalam rangka pengendalian pencemaran udara
nasional.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-6-

Dalam penetapan baku mutu udara ambien nasional dilibatkan unsur-unsur


instansi terkait dan mempertimbangkan standar-standar internasional.
Ayat (2)
Pertimbangan peninjauan baku mutu udara ambien nasional paling cepat
setelah 5 (lima) tahun adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
kepada para investor.

Pasal 5
Ayat (1)
Status mutu udara ambien daerah adalah mutu udara ambien yang
menggambarkan keadaan kualitas udara ambien di suatu lokasi pada waktu
tertentu. Langkah untuk penetapan status mutu udara ambien daerah adalah
dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi teknis tertentu saat dilakukannya
pengambilan sampel udara ambien. Dalam penetapan status mutu udara ambien
daerah terdapat beberapa kegiatan pokok yang harus diperhatikan, diantaranya :
a. Inventarisasi data-data Indeks Standar Pencemar Udara atau data-data
kualitas udara ambien daerah;
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) merupakan angka yang
menggambarkan kualitas udara ambien di suatu area pada waktu tertentu
dengan peralatan pemantau kualitas udara secara kontinyu dan otomatis.
Dengan analisis data ini (bulanan dan tahunan) akan diketahui
kecenderungan tentang kualitas udara di daerah yang bersangkutan.
Sedangkan data-data kualitas udara ambien diperoleh dari pengambilan
sampel secara manual.
b. Inventarisasi sumber-sumber pencemar dan potensi emisinya;
Pada dasarnya pencemaran yang terjadi ditimbulkan oleh berbagai
aktivitas. Aktivitas utama yang sangat berpengaruh bagi timbulnya
pencemaran adalah industri, transportasi, rumah tangga, pembakaran
buangan padat (sampah), pembukaan lahan-lahan lain-lain. Potensi
masing-masing sumber dalam mengemisikan pencemar perlu diketahui agar
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-7-
dapat dihitung besarnya emisi yang timbul serta kontribusi yang diberikan
oleh masing-masing aktivitas di setiap kota.
c. Inventarisasi kondisi atmosfir di daerah;
Kondisi ini meliputi meteorologi dan topografi dari daerah yang
bersangkutan. Meteorologi memungkinkan terjadinya berbagai pergerakan
dan reaksi polutan di atmosfer. Sedangkan topografi berpengaruh terhadap
sifat penyebaran pencemar. Sehingga secara tidak langsung hal ini akan
mempengaruhi dalam penentuan status mutu udara ambien.

Ayat (2)
Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan sebagai batas maksimum kualitas
udara ambien daerah yang diperbolehkan dan berlaku diseluruh wilayah udara
diatas batas administratif daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-8-

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Parameter dominan dan kritis adalah parameter yang konsentrasinya relatif
tinggi dibandingkan dengan parameter lain yang dikeluarkan dari cerobong
industri atau pipa gas buang kendaraan bermotor.
Selanjutnya, kualitas bahan bakar yang dimaksudkan adalah kadar parameter
tertentu yang dalam proses pembakarannya akan mempengaruhi mutu emisi
yang dikeluarkan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor tipe baru akan
diperketat sesuai dengan kemampuan teknologi kendaraan bermotor yang
tersedia saat ini, pilihan-pilihan teknologi pengendalian emisi gas buang
kendaraan bermotor yang akan datang seperti penggunaan catalitic converter
(suatu peralatan yang dapat mereduksi kadar polutan gas buang kendaraan
bermotor sampai dengan 90%) serta penggunaan bahan bakar khususnya solar
dengan kadar belerang (S) yang rendah serta bensin bebas Timah Hitam (Pb)
atau timbal.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

-9-

Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor lama akan


semakin diperketat setiap 5 (lima) tahun disesuaikan dengan umur kendaraan
bermotor. Hal ini untuk mengantisipasi penggunaan bensin bebas timbal di era
perdagangan bebas dan ekspor ke negara-negara lain yang telah menggunakan
bensin bebas timbal.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Baku tingkat gangguan lainnya adalah baku tingkat gangguan
elektromagnetik.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 10 -
Baku tingkat gangguan untuk sumber tidak bergerak akan dikaji sesuai dengan
perkembangan teknologi pengendalian kebisingan, kebauan, dan getaran untuk
saat ini dan masa mendatang.
Ayat (2)
ukup jelas

Pasal 12
Ayat (2)
Indeks Standar Pencemar Udara adalah indeks atau angka yang sudah baku
yang diambil dari negara-negara maju.
Penetapan pertimbangan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika adalah sudah baku yang
diambil dari negara-negara maju.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Ayat (1)
Data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) diperoleh dari statisun pemantau
kualitas udara ambien secara otomatis sehingga dapat diperoleh :
a. data harian;
b. data yang teal time (waktu nyata);
c. data yang kontinyu dari waktu ke waktu.
Ketiga data di atas adalah data yang dipersyaratkan dalam pemakaian
sistem Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 15
Pengumuman Indkes Standar Pencemar Udara (ISPU) dilakukan setiap hari secara
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 11 -
nasional oleh Instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan untuk wilayah tingkat
II dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan. Pengumuman ini
dapat dilakukan melalui media cetak (surat kabar) dan/atau elektronik (misalnya
televisi, radio, dan internet).

Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara yang unsur-unsurnya terdiri dari pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan kualitas udara berpijak pada 2 (dua) kegiatan
pokok yaitu penaatan baku mutu dan pemantauan mutu udara baik emisi maupun
ambien. Sedangkan kegiatan penanggulangan dan pemulihan pada umumnya
dilakukan setelah kedua kegiatan pokok di atas dilaksanakan.

Pasal 17
Ayat (1)
Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional berisikan
kebijaksanaan tentang
a. penetapan dan pelaksanaan program kerja nasional di bidang pengendalian
pencemaran udara;
b. pembinaan teknis di bidang pengendalian pencemaran udara kepada
Pemerintah Daerah;
c. evaluasi terhadap pelaksanaan program kerja pengendalian pencemaran
udara di daerah.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 12 -
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penetapan kebijaksanaan dalam rangka pencegahan pencemaran udara,
misalnya penggunaan bahan bakar bersih, peningkatan peran masyarakat,
penetapan pola pemasyarakatan program dan penetapan kebijaksanaan yang
lain yang strategis.

Pasal 21
Huruf a
Menaati baku mutu (udara ambien, emisi dan gangguan) berarti di bawah baku
mutu untuk parameter-parameter tertentu dengan melihat jenis dan kondisi
kegiatan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
ukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 13 -
Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Angka 300 merupakan suatu angka yang diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian internasional yang menyatakan
bahwa angka 300 berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Ayat (2)
Pengumuman keadaan darurat kepada masyarakat dapat dilakukan melalui
media cetak surat kabar) dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio,
dan internet)

Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 14 -
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah persyaratan pendukung
dalam kaitannya dengan penaatan baku mutu emisi, ambien dan kebisingan.
Contohnya : persyaratan lubang sampling di cerobong asap, persyaratan titik
sampling untuk udara ambien, persyaratan pelaporan dan persyaratan teknis
lainnya.

Pasal 31
Kebijaksanaan dasar penanggulangan pencemaran udara untuk sumber bergerak
dapat dilakukan dengan cara penggunaan bahan bakar bebas timbal dan kadar
belerang rendah untuk kendaraan bermotor baru dan lama, penggunaan catalitic
converter (peralatan yang dapat mereduksi polutan gas buang kendaraan bermotor
sampai dengan 90 %), dan meningkatkan penggunaan bahan bakar gas serta
meningkatkan partisipasi swasta dan masyarakat untuk merawat kendaraan
bermotor sehingga emisi gas buang menjadi rendah.

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 15 -
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Uji tipe emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan cara
sampling. Artinya, tidak setiap kendaraanbermotor tipe baru dilakukan uji tipe
emisi melainkan untuk tiap sejumlah produk akan diambil satu sampel.
Selanjutnya, pengujian kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan alat
Chasis Dynamometer dengan suatu standar mode yang berbeda-beda untuk
setiap jenis dan berat kendaraan bermotor. Pengujian ini dilakukan oleh orang
yang memiliki keahlian khusus untuk pengujian mode (Type approval).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru diumumkan
kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar)
dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (2)
Pedoman teknis dan tata cara hasil uji tipe emisi akan memuat hasil uji tipe
emisi gas buang kendaraan bermotor sesuai dengan baku mutu emisinya,
metode pengujian yang digunakan dan mekanisme pengujiannya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 16 -

Pasal 36
Ayat (1)
Berbeda dengan kendaraan bermotor tipe baru, setiap kendaraan bermotor lama
wajib menjalani uji emisi berkala. Uji emisi berkala terhadap kendaraan
bermotor lama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, untuk
kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dilakkan pada kondisi mesin hidup
dengan perseneling dalam keadaan netral (kondisi idle). Kedua, untuk
kendaraan bermotor berbahan solar dilakukan pada kondisi percepatan bebas,
yaitu kondisi mesin hidup dengan gas ditekan pada percepatan penuh.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 17 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil pengujian tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru diumumkan
kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar)
dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 18 -

Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 51
Ayat (1)
Pemantauan terhadap mutu udara ambien yang dilakukan oleh masyarakat
dilakukan di luar area kegiatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 19 -

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

- 20 -

Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3853


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995
Tentang : Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk mencegah terjadinya pencemaran udara dari jenis-jenis kegiatan


sumber tidak bergerak perlu dilakukan upaya pengendalian pencemaran udara
dengan menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak;

2. bahwa mengingat keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan


Hidup Nomor :Kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu
emisi Udara Sumber Tak Bergerak saat ini perlu dilakukan penyempurnaannya;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak
Bergerak

Mengingat :

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Negara Tahun
1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentauan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara R.I. Nomor 12 Tahun 1982,
Tambahan Lembaran Negara R.I. Nomor 3215);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara R.I. Nomor 84 Tahun 1993, Tambahan
Lembaran Negara R. I. Nomor 3538);

5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas


pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi staff
Menteri Negara;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103/M Tahun 1993 tentang
Pengangkatan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan


pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN

Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK

Pasal 1

(1) Dalam keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi
yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan;
2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang
dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara
ambient;
3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke udara ambient;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap
untuk dilaksanakan pembangunan fisiknya;
5. Menteri adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisiknya;
6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala
Daerah khusus Ibu kota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1. Indusrti besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan
Lampiran I B;

2. Industri pulp dan kertas sebagaimana tersebut dalam Lampiran II A dan


Lampiran II B;
3. Pembangkit lisrtik tenaga uap berbahan bakar batu bara sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III A dan Lampiran III B;
4. Industri semen sebagaimana tersebut dalam Lampiran IV A dan
Lampiran IV B;

(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku
Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2.000;
2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini,
dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu emisi Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
3. Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap
perenacanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran B;
4. Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka
waktu selama satu tahun sejak ditetapkannya keputusan ini untuk
mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;

(3) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);

(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V keputusan ini.

Pasal 4

Badan melakukan pembinaan , pegembangan pengendalian pencemaran udara,


menetapkan pedoman teknis pemantauan kualitas udara, methoda pengambilan
contoh dan analisisnya serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Pasal 5

(1) Apabila diperlukan, Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar


parameter sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini dengan
persetujuan Menteri;

(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di
daerahnya lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat
(1);

(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan (2), Gubernur mengikutsertakan pihak-pihak yang
berkepentingan;

Pasal 6

Apabila analisis mengenai Dampak lingkungan bagi kegiatan mensyaratkan baku


mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam
keputusan ini, maka untuk kegiatan tersebut ditetapkan baku emisi sebagaimana
diisyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 7

(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana berikut :
membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat
pengaman;

(2) memasang alat ukur pemantauan yang melitputi kadar dan laju alir volume
untuk setiap cerobong emisi yang tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan
angin;

(3) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong
emisi;

(4) menyampaikan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam huruf


(c) kepada Gubernur dengan tembusan Kepala Badan sekurang-kurangnya
sekali dalam 3 (tiga) bulan;

(5) melaporkan kepada Gubernur serta kepala Badan apabila ada kejadian tidak
normal dan atau dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi
dilampaui.
(6) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.

Pasal 8

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dicantumkan dalam


izin Ortodonansi Gangguan.

Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara emisi sumber tak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan
Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd.

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida,
Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.

Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP


BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/ m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 1995)

Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI BESI DAN BAJA


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil
Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.

Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP


BERBAHAN BAKAR BATUBARA
(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK INDUSTRI SEMEN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995

BAKU MUTU EMISI UNTUK JENIS KEGIATAN LAIN


(BERLAKU EFEKTIF TAHUN 2000)

Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).

__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996

TENTANG

BAKU TINGKAT KEBISINGAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,


Menimbang : a. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup
agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu
melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan;

b. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang


dapat mengganggu kesehatan manusia, makhluk lain dan
lingkungan adalah akibat tingkat kebisingan yang
dihasilkan;

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu


ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Baku Tingkat Kebisingan;

Mengingat : 1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun


1926, Stbl. Nomor 226, setelah diubah dan ditambah
terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan lembaran
Negara 2831);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang


Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara 2918);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-


pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
3037);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara 3215);

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang


Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara 3274);

7. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu-


Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara 3480);
8. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100,
Tambahan Lembaran Negara 3495);

9. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan


Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara 3501);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran
Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara 3538);

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M


Tahun 1993 tentang Pembentukan Kabinet
Pembangunan VI;

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44


Tahun 1993 tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:


1. Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam
tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
manusia dan kenyamanan lingkungan;

2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalams atuan
Desibel disingkat dB;

3. baku tingkat kebisingan adalah batas maksimal tingkat kebisingan yang


diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari usaha atau kegiatan sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;

4. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah


Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa;

5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2

Baku Tingkat Kebisingan, metoda pengukuran, perhitungan dan evaluasi tingkat


kebisingan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I dan Lampiran II
Keputusan ini.

Pasal 3

Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan di luar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I.

(2) Apablia Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan


mensyaratkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
kebisingan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib


a. mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan;
b. memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan
c. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebisingan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan
instansi Teknis yang mebidangi kegiatan yang bersangkutan serta instansi
lain yang dipandang perlu.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin
yang relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap usaha atau
kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 7

Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi :


a. baku tingkat kebisingan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun terhitung
sejak ditetapkan Keputusan ini
b. baku tingkat kebisingan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

Ttd.

Sarwono Kusumaatmadja.
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

BAKU TINGKAT KEBISINGAN

Peruntukan Kawasan/ Tingkat kebisingan


Lingkungan Kegiatan DB (A)
a. Peruntukan kawasan
1. Perumahan dan pemukiman 55
2. Perdagangan dan Jasa 70
3. Perkantoran dan Perdagangan 65
4. Ruang Terbuka Hijau 50
5. Industri 70
6. Pemerintahan dan Fasilitas Umum 60
7. Rekreasi 70
8. Khusus:
- Bandar udara *)
- Stasiun Kereta Api *)
- Pelabuhan Laut 70
- Cagar Budaya 60

b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. tempat ibadah atau sejenisnya 55

Keterangan :
*)
disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996

METODA PENGUKURAN, PERHITUNGAN


DAN EVALUASI TINGKAT KEBISINGAN LINGKUNGAN

1. Metoda Pengukuran

Pengukuran tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara :


1) Cara Sederhana
Dengan sebuah sound level meter biasa diukur tingkat tekanan bunyi dB
(A) selama 10 (sepuluh) menit untuk tiap pengukuran. Pembacaan
dilakukan setiap 5 (lima) detik.

2) Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas
pengukuran LTM5, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan
pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.

Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada
siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang
waktu 06.00 – 22.00 dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang
22.00 – 06.00.

Setiap pengukuran harus dapat mewakili selang waktu tertentu dengan


menetapkan paling sedikit 4 waktu pengukuran pada siang hari dan pada
malam hari paling sedikit 3 waktu pengukuran, sebagai contoh :
- L1 diambil pada jam 07.00 mewakili jam 06.00 – 09.00
- L2 diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.00 – 11.00
- L3 diambil pada jam 15.00 mewakili jam 14.00 – 17.00
- L4 diambil pada jam 20.00 mewakili jam 17.00 – 22.00
- L5 diambil pada jam 23.00 mewakili jam 22.00 – 24.00
- L6 diambil pada jam 01.00 mewakili jam 24.00 – 03.00
- L7 diambil pada jam 04.00 mewakili jam 03.00 – 06.00

Keterangan :

- Leq : Equivalent Continuous Noise Level atau Tingkat


Kebisingan Sinambung Setara ialah nilai tingkat
kebisingan dari kebisingan yang berubah ubah (fluktuatif)
selama waktu tertentu, yang setara dengan tingkat
kebisingan dari kebisingan ajeg (steady) pada selang
waktu yang sama.
Satuannya adalah dB (A).
- LTM5 = Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik
- LS = Leq selama siang hari
- LM = Leq selama malam hari
- LSM = Leq selama siang dan malam hari

2. Metoda Perhitungan

(dari contoh)

LS dihitung sebagai berikut :

LS = 10 log 1/16 {T1.100.1.L1 + … + T4.100.1.L4} dB (A)

LM dihitung sebagai berikut :

LM = 10 log 1/8 {T5.100.1.L5 + … + T7.100.1.L7} dB (A)

Untuk mengetahui apakah kebisingan sudah melampaui tingkat kebisingan


maka perlu dicari nilai LSM dari pengukuran lapangan. LSM dihitung dengan
rumus :

LSM = 10 log 1/24 {16.100.1.LS + … + 8.100.1(LM+5) } dB (A)

3. Metoda Evaluasi

Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan
yang ditetapkan dengan toleransi + 3 dB (A)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Getaran

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat


bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau
kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran
yang dihasilkan;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Getaran;

Mengingat :

1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pertambangan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 831);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran


Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);

8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran


Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
GETARAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Getaran adalah gerakan bolak-balik suatu massa melalui keadaan


seimbang terhadap suatu titik acuan;

2. Getaran mekanik adalah getaran yang ditimbulkan oleh sarana dan


peralatan kegiatan manusia;

3. Getaran seismik adalah getaran tanah yang disebabkan oleh peristiwa


alam dan kegiatan manusia;

4. Getaran kejut adalah getaran yang berlangsung secara tiba-tiba dan


sesaat;

5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan
pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;

Pasal 2

(1) Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan
kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis
bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan ini.

(2) Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran V Keputusan ini.

Pasal 3

Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5

(1) Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan
mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
(2) Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:

1. mentaati baku tingkat getaran yang telah dipersyaratkan;

2. memasang alat pencegahan terjadinya getaran;

3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat getaran sekurang-


kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, Instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan
instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta
instansi lain yang dipandang perlu.

4. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam


izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat getaran bagi setiap usaha
atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 7

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:

1. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.

2. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN UNTUK KENYAMANAN DAN KESEHATAN

Konversi :
Percepatan = (2pf)2 x simpangan
Kecepatan = 2pf x simpangan
p = 3,14

2. Grafik baku tingkat Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan


Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

1. BAKU TINGKAT GETARAN MEKANIK BERDASRKAN DAMPAK KERUSAKAN


Keterangan :

Kategori A : Tidak menimbulkan kerusakan


Kategori B : Kemungkinan keretakan plesteran (retak/terlepas plesteran pada
dinding pemikul beban pada kasus khusus)
Kategori C : Kemungkinan rusak komponen struktur dinding pemikul beban
Kategori D : Rusak dinding pemikul beban

2. Grafik Baku Tingkat Getaran Mekanik Berdasarkan Dampak Kerusakan


Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

BAKU TINGKAT GETARAN MEKENIK BERDASARKAN JENIS BANGUNAN

Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom
harus dipakai.
Lampiran IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

BAKU TINGKAT GETARAN KEJUT

Lampiran V Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996

METODA PENGUKURAN DAN ANALISIS TINGKAT GETARAN

a. Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:

1) Alat penangkap getaran (Accelerometer atau seismometer)


2) Alat ukur atau alat analisis getaran (Vibration meter atau vibration analyzer)
3) Tapis pita 1/3 oktaf atau pita sempit (Filter 1/3 oktaf atau Narrow Band)
4) Pencatat tingkat getaran (Level atau X - Y recorder)
5) Alat analisis pengukur tingkat getaran (FFT Analyzer)

b. Cara pengukuran

1. Getaran untuk Kenyamanan dan Kesehatan;


a) Alat penangkap getaran dilelakkan pada lantai atau permukaan
yang bergetar, dan disambungkan ke alat ukur getaran yang
dilengkapi dengan filter.
b) Alat ukur dipasang pada besaran simpangan. Dalam hal alat: tidak
dilengkapi dengan fasilitas itu, dapat digunakan konversi besaran.
c) Pembacaan dan pencatatan dilakukan untuk setiap frekwensi 4 - 63
Hz atau dengan sapuan oleh alat pencatat getaran.
d) Hasil pengukuran sebanyak 13 data digambarkan pada Grafik
Lampiran 1.2.
2. Getaran untuk Keutuhan Bangunan
Cara pengukuran sama dengan pengukuran getaran untuk kenyamanan
dan kesahatan manusia, hanya besaran yang dipakai ialah kecepatan
getaran puncak (Peak velocity).

c. Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran l.2 dan/atau 11.2
dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut
melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi
sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas, yaitu a, b, c, dan d dengan batas
seperti pada Grafik ll.2

Defnisi :
1. Struktur bangunan adalah bagian dari banguann yang direncanakan,
diperhitungkan dan dimaksudkan untuk :
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban
sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan
memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul
(Bearing wall)
2. Komponen srtuktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang
menjamin fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame.
3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi
mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap.
4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau
difungsikan untuk mendukung beban.
Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu.

Pengaruh kerusakan struktur dan non-struktur :

1. Kerusakan pada struktur, dapat mambahayakan stabilitas bangunan, atau


roboh. (misalnya patok kolom bisa merobohkan bangunan).
2. Kerusakan pada non struktur, tidak membahayakan stabilitas bangunan, tetapi
bisa membahayakan penghuni (misal: robohnya dinding partisi, tidak
merobohkan bangunan, tetapi bisa mencederai penghuni).

Derajat kerusakan srtuktur :

1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan
dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya.
2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk
mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan
perkuatan.
3 Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat
merobohkan bangunan.
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Kebauan

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat


bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau
kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau
perusakan lingkungan;

2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang
dibuang ke lingkungan;

3. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas perlu ditetapkan Keputusan


Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Tingkat Kebauan;

Mengingat :

1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor 226,


setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 450;

2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran


Negara Tahun 1970 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2918);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3037);

4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara


Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara


Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
7. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai


Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);

9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang


Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;

10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
KEBAUAN

Pasal 1

(1) Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera
penciuman;

2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu
tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;

3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan;

4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan
rangsangan bau pada keadaan tertentu;

5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun cmpuran
berbagai macam senyawa;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

7. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;


Pasal 2

Baku Tingkat Kebauan untuk odoran tunggal dan campuran, metoda


pengukuran/pengujian dan peralatan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 4

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan


mensyaratkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
kebauan sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5

(1) Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib:

1. mentaati baku tingkat kebauan yang telah dipersyaratkan;

2. mengendalikan sumber penyebab bau yang dapat mengganggu


kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan;

3. menyampaikan laporan hasil pemantauan tingkat kebauan sekurang-


kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Menteri, instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan dan
instansi teknis yang membidangi kegiatan yang bersangkutan serta
instansi lain yang dipandang perlu.
4. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam
izin yang relevan untuk mengendalikan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan bagi setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 6

(1) Bagi usaha atau kegiatan yang telah beroperasi:

1. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.

2. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.

Pasal 7

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996 tanggal 25 november 1996

A. Bau dari Odoran Tunggal

Catatan : ppm = satu bagian dalam satu juta

B. Bau dari Odoran Campuran

Tingkat kebauan yang dihasilkan oleh campuran odoran dinyatakan sebagai


ambang bau yang dapat dideteksi secara sensorik oleh lebih dari 50 %
anggota penguji yang berjumlah minimal 8 (delapan) orang.

______________________________________
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 129 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
MINYAK DAN GAS BUMI

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP;

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara perlu ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan
Gas Bumi;

Mengingat : 1. Undang–undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60 , Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak


dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor
136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3853);

1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU
KEGIATAN MINYAK DAN GAS BUMI.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari
proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;

2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi;

3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;

4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas
kadar maksimum emisi kegiatan minyak dan gas bumi yang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;

5. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun yang dilakukan untuk


melaksanakan pembangunan fisik usaha dan atau kegiatan minyak dan gas
bumi;

6. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai


kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan
minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan;

2
7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan
Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;

8. Kegiatan Kilang Minyak adalah kegiatan untuk memproduksi bahan bakar


minyak beserta turunannya dari minyak hasil kegiatan eksploitasi melalui
serangkaian proses kimia dan atau físika;

9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas
dari hasil kegiatan eksploitasi gas alam melalui serangkaian proses físika dan
atau kimia;

10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang
mengandung sulfur yang dikonversi menjadi produk lain;

11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat,
tepat, dan terkoordinasi terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang
dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan minyak dan
gas bumi tidak terlampaui;

12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam
Keputusan ini meliputi jenis kegiatan eksplorasi dan produksi, kilang minyak,
kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan proses
pencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).

Pasal 3

Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan:

a. Eksplorasi dan produksi sebagaimana tersebut dalam Lampiran I;


b. Kilang minyak sebagaimana tersebut dalam Lampiran II;
c. Kilang LNG sebagaimana tersebut dalam Lampiran III;
d. Unit penangkapan sulfur sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IV;
e. Untuk kegiatan yang melakukan proses pencampuran bahan bakar lebih dari
1 (satu) jenis (fuel blending), maka mengacu kepada perhitungan dalam
Lampiran V.

3
Pasal 4

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau
kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.

Pasal 5

Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
yang termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun yang diolah secara
thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun yang berlaku.
Pasal 6

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang
mencakup pencegahan, pengolahan dan pemantauan yang antara lain alat
pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana
pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta
persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. wajib memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong
tertentu yang pelaksanaannya dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi
cerobong yang tidak dipasang peralatan Contiuous Emission Monitoring (CEM)
wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan
sekali;
c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali untuk hasil pemantauan dengan
peralatan otomatis;
d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri setiap 6 (enam) sekali bulan untuk pemantauan yang menggunakan
peralatan manual;
e. wajib melaporkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta Menteri apabila
ada keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui;
f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;

4
g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi
sebagai sumber fugitive emission.

Pasal 7

Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 butir c, d dan e dapat


dijadikan sebagai salah satu dasar kebijakan teknis dan non teknis dalam upaya
pengendalian pencemaran udara.

Pasal 8

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 6 wajib


dicantumkan dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan minyak dan gas
bumi seperti tercantum dalam Pasal 2 Keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang kurangnya 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 10

Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberi jangka


waktu selama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Keputusan ini untuk mencapai
baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I, II, III, dan IV.

Pasal 11

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal : 28 Juli 2003
---------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

Ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan ini sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

ttd

Hoetomo, MPA.
5
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR:141 TAHUN 2003
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang a. bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran udara yang


bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor, maka
perlu dilakukan upaya untuk menurunkan emisi gas buang
kendaraan bermotor baik yang berasal dari kendaraan bermotor
tipe baru maupun kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);
b. bahwa salah satu upaya sebagaimana dimaksud pada huruf a
dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 34
ayat (3) dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang
Sedang Diproduksi (Current Production);

Mengingat 3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan


Angkutan Jalan ( Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup ( Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821 );
4. Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang


Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3853);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang


Standarisasi Nasional (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4020);

8. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan


Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang
Kedudukan Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Manetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN KENDARAAN
YANG SEDANG DIPRODUKSI (CURRENT PRODUCTION).

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);

2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi
tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan
tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan
bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah
Republik Indonesia;

3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (Current production) adalah kendaraan bermotor dengan
tipe dan jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah
beroperasi di jalan dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built up)
atau dalam keadaan tidak utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di
jalan wilayah Republik Indonesia;

4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4
(empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi
sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3
(tiga) dengan penggerak Motor bakar catus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah
atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002,

6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, 0 adalah kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api
dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;

7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L adalah kendaraan
bermotor yang sedang produksi (current production) beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor
bakar cetus api dan penggerak Motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan
SNI 09-1825-2002,

8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah orang perseorangan
dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan atau melakukan impor kendaraan
bermotor dalam keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh;

9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan

Pasal 2

Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda
uji serta tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production).

Pasal 3

(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C
dan I.D.

(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.

Pasal 4

Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a. kendaraan bernotor tipe baru katagori M, N, 0 den L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005;

b. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production):


1. Katagori M, N, 0 dan L 2 (dua) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2007;
2. Kategori L 4 (empat) langkah diberlakukan efektif mulai 1 Juli tahun 2006,

Pasal 5

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) dengan
akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang;

(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan
utuh (completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10
(sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.

(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) den ayat (3) merupakan bagian dari
persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.

(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dangan spesifikasi reference fuel
menurut Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.

Pasal 6

(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.

(2) Instansi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib
memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi
dari Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi yang diakui secara Internasional.

Pasal 7

(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas
dan angkutan jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan.

(2) Salisan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi
kendaraan bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.

(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production).

Pasal 8

(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 7 ayat (3)
instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).

(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.

(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkan tanda
lulus uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 9

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh
sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru
den kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).

(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi
merek kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production)
kepada masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik.

Pasal 10

(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production).

(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan
pengujian emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current produktion) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.

Pasal 11

(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan pelaporan dibebankan
kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.

(2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan.

Pasal 12

Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 13

Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
dinyatakan tidak berlaku lagi untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang
diproduksi (current production) sejak ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan yang sedang diproduksi (current production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.

Pasal 14

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal: 23 September 2003

------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi 1 MENLH Bidang Kebijakan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 133 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU EMISI BAGI KEGIATAN INDUSTRI PUPUK

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa kegiatan industri pupuk mempunyai potensi


menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena
itu perlu dilakukan pengendalian terhadap emisi bagi
kegiatan industri pupuk;

b. bahwa menurut ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan


Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara perlu ditetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak;

c. bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan


Nomor : 13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi
Sumber Tidak Bergerak, baku mutu emisi dari kegiatan
industri pupuk tidak diatur secara khusus;

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka perlu


ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Baku Mutu Emisi Bagi Kegiatan Industri Pupuk;

Mengingat : 1. Undang - undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang – undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara 3839);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3838);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3853 );

5. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN


HIDUP TENTANG BUKU MUTU EMISI BAGI KEGIATAN
INDUSTRI PUPUK.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Industri Pupuk adalah Industri Pupuk Kimia (sintetis) yang memproduksi


Pupuk : Amonium Sulfat (ZA), Urea, Fosfat (SP-36, TSP), Asam Fosfat dan
Hasil Samping, dan Majemuk-NPK;

2. Baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk adalah batas kadar
maksimum emisi kegiatan industri pupuk yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam udara ambien;

3. Emisi adalah zat, energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari
suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkan ke dalam udara ambien
yang mempunyai dan atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur
pencemar;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisik bagi kegiatan industri pupuk;

5. Kondisi tidak normal adalah kondisi operasi seluruh atau sebagian


kegiatan industri pupuk yang tidak sesuai dengan kondisi normal
sehingga buku mutu emisi terlampaui;

6. Keadaan darurat adalah keadaan dimana terjadi kerusakan pada peralatan


sehingga menyebabkan baku mutu emisi terlampaui secara ekstrim;

7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan


lingkungan hidup dan pengendalian dampak lingkungan;

8. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi;

9. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 2

Baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk meliputi jenis pabrik pupuk :
Amonium Sulfat (ZA), Urea, Fosfat (SP-36, TSP), Asam Fosfat dan Hasil
Samping, dan Majemuk-NPK.

Pasal 3

(1) Baku mutu emisi untuk masing-masing jenis pabrik pupuk :


a. Amonium Sulfat (ZA) sebagaimana tersebut dalam Lampiran IA dan
Lampiran IB;
b. Urea sebagaimana tersebut dalam Lampiran IIA dan Lampiran IIB;
c. Fosfat (SP-36,TSP) sebagaimana tersebut dalam Lampiran IIIA dan
Lampiran IIIB;
d. Asam fosfat dan hasil samping sebagaimana tersebut dalam Lampiran
IVA dan Lampiran IVB;
e. Majemuk – NPK sebagaimana tersebut dalam Lampiran V.

(2) Bagi industri pupuk sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
a,b,c dan d yang:
a. telah beroperasi sebelum ditetapkan Keputusan ini, berlaku baku
mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IA, IIA, IIIA,
IVA, dan wajib memenuhi baku mutu emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IB, IIB, IIIB, IVB, selambat-lambatnya tanggal 1
Januari 2009;
b. tahap perencanaanya dilakukan sebelum ditetapkan Keputusan ini
dan beroperasi setelah ditetapkan Keputusan ini, berlaku baku mutu
emisi Lampiran IA, IIA, IIIA, IVA, dan wajib memenuhi baku mutu
emisi Lampiran IB, IIB, IIIB, IVB, selambat-lambatnya tanggal 1
Januari 2009;
c. tahap perencanaan dan beroperasinya dilakukan setelah ditetapkan
Keputusan ini, berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IB, IIB, IIIB, IVB.

(3) Bagi industri pupuk sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf e,
berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V
setelah ditetapkan Keputusan ini.

Pasal 4

Pedoman teknis pemantauan kualitas udara, metode pengambilan contoh dan


analisis emisi adalah sebagaimana yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: Kep.205/Bapedal/07/1996
tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak
Bergerak.
Pasal 5

(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan baku mutu emisi bagi
kegiatan industri pupuk di daerah selain parameter sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah berkonsultasi dengan
Menteri.

(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi bagi kegiatan industri
pupuk di daerah sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (1).

(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk di
daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Gubernur
mengikutsertakan instansi terkait dan para ahli.

Pasal 6

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup mensyaratkan baku mutu


emisi bagi kegiatan industri pupuk lebih ketat dari baku mutu emisi
sebagaimana dimaksudkan dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk
kegiatan tersebut berlaku baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan dalam
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Pasal 7

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan industri pupuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib:
a. menyediakan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran udara
yang meliputi antara lain cerobong emisi yang dilengkapi dengan
sarana pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga,
lantai kerja (platform) dan aliran listrik serta sarana pengendalian
pencemaran udara lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor 205/Bapedal/07/1996 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak;

b. memasang alat pemantauan kualitas emisi secara terus menerus


(Continuous Emission Monitoring/CEM) pada cerobong tertentu yang
pelaksanaannya dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi cerobong
yang tidak dipasang peralatan (Continuous Emission Monitoring/CEM)
wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam)
bulan sekali.

c. memantau sarana dan prasarana pengendalian pencemaran udara


sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b;

d. menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud


dalam huruf b kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan Menteri, sekali dalam 3 (tiga) bulan untuk
pemantauan dengan peralatan otomatis;

e. menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud


dalam butir b kepada Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Gubernur dan Menteri, sekali dalam 6 (enam) bulan untuk
pemantauan yang menggunakan peralatan manual;

f. mengambil tindakan penanggulangan yang diperlukan apabila


terjadi kondisi tidak normal dan atau keadaan darurat yang
mengakibatkan baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk
dilampaui dan segera melaporkan kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan Gubernur dan Menteri
(2) Hasil pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan e
merupakan dasar bagi Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri dalam
penetapan kebijakan dalam upaya pengendalian pencemaran udara.

Pasal 8

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : Agustus 2004
_____________________________
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IA
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK AMONIUM
SULFAT (ZA)
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK AMONIUM SULFAT (ZA)

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Drier Scrubber Total partikel 500
Amoniak (NH3) 500

2. Saturator Amoniak (NH3) 500

3. Exhaust Gas Scrubber Amoniak (NH3) 500

4. Unit Asam Sulfat Sulfur dioksida (SO2) 1700

5. Gas Turbine/Waste Heat Nitrogen dioksida (NO2) 175


Boiler
6. Semua Sumber Opasitas 40 %

7. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IB
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK AMONIUM
SULFAT (ZA)
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ZA (AMONIUM SULFAT)

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Drier Scrubber Total partikel 250
Amoniak (NH3) 250

2. Saturator Amoniak (NH3) 300

3. Exhaust Gas Scrubber Amoniak (NH3) 250

4. Unit Asam Sulfat Sulfur dioksida (SO2) 1000

5. Gas Turbine/Waste Nitrogen dioksida (NO2) 125


Heat Boiler
6. Semua Sumber Opasitas 20 %
7. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230
(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IIA
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK UREA
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK UREA

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Primary reformer Nitrogen dioksida (NO2) 1400

2. Prilling Tower/ Granulasi Total partikel 500


Amoniak (NH3) 500
3. Gas Turbine/Waste Nitrogen dioksida (NO2) 175
Heat Boiler
4. Semua Sumber Opasitas 40%

5. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:

- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2


- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN II B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK UREA
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK UREA

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Primary Reformer Nitrogen dioksida (NO2) 700

2. Prilling Tower/Granulasi Total partikel 250


Amoniak (NH3) 300
3. Gas Turbine/Waste Heat Boiler Nitrogen dioksida (NO2) 125

5. Semua Sumber Opasitas 20%

7. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya,


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN III A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK FOSFAT (SP-36,
TSP)
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK FOSFAT (SP-36, TSP)

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Penyimpanan Total partikel 400
Bahan/Ball Mill
2. Unit Reaksi Total partikel 400
Fluor 30

3. Unit Granulasi Total partikel 400


Fluor 30

4. Semua Sumber Opasitas 40%

5. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN III B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK FOSFAT (SP-36,
TSP)
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK FOSFAT (SP-36, TSP)

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Penyimpanan Total partikel 200
Bahan/Ball Mill
2. Unit Reaksi Total partikel 200
Fluor 10
3. Unit Granulasi Total partikel 200
Fluor 10
5. Semua Sumber Opasitas 20%

4. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IV A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK ASAM FOSFAT DAN
HASIL SAMPING
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ASAM FOSFAT DAN HASIL SAMPING

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Penyimpanan Bahan/Ball Total partikel 400
Mill
2. Fume Scrubber (Asam Fluor 30
Fosfat)
3. Gas Scrubber (Aluminium Total partikel 400
Fluoride) Fluor 30
4. Unit Asam Sulfat Sulfur dioksida (SO2) 1700

5. Dust Scrubber (Cement Total partikel 400


Retarder) Fluor 30
6. Semua Sumber Opasitas 40 %

7. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IV B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK ASAM FOSFAT DAN
HASIL SAMPING
TANGGAL :

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ASAM FOSFAT DAN HASIL SAMPING

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Penyimpanan Total partikel 200
Bahan/Ball Mill
2. Fume Scrubber (Asam Fluor 10
Fosfat)
3. Gas Scrubber Total partikel 200
(Aluminium Fluoride) Fluor 10

4. Unit Asam Sulfat Sulfur dioksida (SO2) 1000

5. Dust Scrubber Total partikel 200


(Cement Retarder) Fluor 10

6. Semua Sumber Opasitas 20 %


7. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230
(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2
- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN V
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : TAHUN 2004
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK MAJEMUK - NPK
TANGGAL : 2004

BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK MAJEMUK – NPK

No. Sumber Parameter Baku Mutu Emisi


Satuan : (mg/Nm3)
1. Scrubber Total partikel 200
Fluor 10
Amoniak 250

2. Semua Sumber Opasitas 20 %

3. Tenaga Ketel Uap Total partikel 230


(Power Boiler) Sulfur dioksida (SO2) 800
Nitrogen dioksida (NO2) 1000
Opasitas 20 %

Catatan:

- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2


- Volume gas dalam keadaan standar (25 0C dan tekanan 1 atm).
- Untuk pengukuran gas dikoreksi sebesar 7 % oksigen
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan untuk memperoleh
hubungan korelatif dengan pengamatan Total partikel.
- Bagi pabrik yang mengoperasikan alat CEM, wajib memenuhi BME minimal 95% waktu operasi
normal selama tiga bulan

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 05 TAHUN 2006
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR LAMA

KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


2006
Tim Penyusun:
1. Ir. Edy Purwanto M. Bakri, MAS
2. Endang Nooryastuti, ST
3. M. Didin Khaerudin, SH
4. Drs. Ade Palguna Ruteka
5. Himsar Sirait, SH
6. Dian Sugiarti, SE

Tim Editor :
1. Ridwan D. Tamin, M.S
2. Ir. Edy Purwanto Moh. Bakri, MAS
3. Endang Nooryastuti, ST
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa maka atas perkenan-Nya telah
ditetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas
Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama Nomor 05 tanggal 1 Agustus 2006.

Peraturan Menteri ini ditetapkan sebagai pengganti dari Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor. Peraturan Menteri ini diharapkan dapat menjawab
perkembangan keadaan di lapangan dalam upaya mengendalikan pencemaran
udara dari kendaraan bermotor yang saat ini terus meningkat terutama yang
dirasakan di kota-kota besar di Indonesia.

Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri ini diharapkan dapat digunakan sebagai


acuan bagi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan uji emisi berkala kendaraan
bermotor di daerahnya masing-masing dan sebagai acuan dalam mengembangkan
standar emisi idle maupun akselerasi bebas (free acceleration) di masa mendatang.

Kami berharap Peraturan Menteri ini dapat ditaati oleh masyarakat dan sebagai
bentuk kepedulian terhadap terciptanya kualitas udara yang lebih baik dan sehat
Hal tersebut dapat terwujud dengan meningkatkan perawatan kendaraan bermotor
sehingga memenuhi standar emisi gas buang yang telah ditetapkan.

Jakarta, 1 Agustus 2006

Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup


Bidang Pengendalian Pencemaran
N N E G A R A LI
RIA Lingkungan, NG
E

KU
NT

NGA
KE M E

N HID UP

Ir. Mohd. Gempur Adnan

i
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 05 TAHUN 2006
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR LAMA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa pencemaran udara dari emisi gas buang kendaraan


bermotor semakin meningkat, sehingga perlu upaya
pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor;
b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor :
KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas
Buang Kendaraan Bermotor Lama tidak sesuai lagi dengan
perkembangan sehingga perlu diperbaharui;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

1
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3530);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3853);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3952);
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG


AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR LAMA.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama adalah batas
maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari
pipa gas buang kendaraan bermotor lama;
2. Kendaraan Bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik
yang berada pada kendaraan itu;

2
3. Kendaraan Bermotor Lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit
atau diimpor dan sudah beroperasi di wilayah Republik Indonesia;
4. Uji emisi kendaraan bermotor lama adalah uji emisi gas buang yang wajib
dilakukan untuk kendaraan bermotor lama secara berkala;
5. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pengelolaan lingkungan hidup;
6. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi;
7. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 2
Ruang lingkup peraturan ini meliputi ambang batas emisi gas buang, metode uji,
prosedur pengujian, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan penaatan ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor lama.

Pasal 3
(1) Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Metode uji kandungan CO dan HC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diukur
pada kondisi tanpa beban (idle) sedangkan kandungan asap diukur pada
kondisi percepatan bebas (free accelaration).
(3) Prosedur pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada
Lampiran II Peraturan Menteri ini yang meliputi:
a. Cara uji kadar CO/HC untuk kendaraan bermotor kategori M, N dan O
(roda empat atau lebih) berpenggerak cetus api pada kondisi idle
menggunakan SNI 19-7118.1-2005.
b. Cara uji kadar opasitas asap untuk kendaraan bermotor kategori M, N
dan O (roda empat atau lebih) berpenggerak penyalaan kompresi pada
kondisi akselerasi bebas menggunakan SNI 19-7118.2-2005.
c. Cara uji kadar CO/HC untuk kendaraan bermotor kategori L (sepeda motor)
pada kondisi idle menggunakan SNI 19-7118.3-2005.

3
(4) Format pelaporan pelaksanaan uji emisi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a, huruf b, dan huruf c tercantum dalam Lampiran III Peraturan
Menteriini.
(5) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta
perubahan-perubahannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Ini.

Pasal 4
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib memenuhi ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1).
(2) Setiap kendaraan bermotor lama wajib melakukan uji emisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 5
Pengujian emisi kendaraan bermotor lama dilakukan di tempat pengujian milik
pemerintah atau swasta yang telah mendapat sertifikasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 6
(1) Bupati/Walikota melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor lama yang
terdaftar di daerahnya.
(2) Bupati/Walikota dapat bekerjasama dengan Bupati/Walikota lain dalam
melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Bupati/Walikota melakukan evaluasi pelaksanaan uji emisi kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan
laporan pelaksanaan uji emisi kepada Gubernur minimal 6 (enam) bulan
sekali.
(4) Bupati/Walikota mengumumkan hasil uji emisi minimal 1 (satu) tahun sekali
kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik.

4
Pasal 7
(1) Gubernur mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan uji emisi di daerahnya.
(2) Gubernur melaksanakan evaluasi kegiatan uji emisi minimal 1 (satu) tahun
sekali dan mengumumkan hasil uji emisi berkala kepada masyarakat melalui
media cetak maupun elektronik.
(3) Gubernur melaporkan hasil uji emisi yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota
di wilayahnya kepada Menteri sekurang-kurangnya 1(satu) tahun sekali.

Pasal 8
(1) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama di daerahnya sama atau lebih ketat dari ambang batas
kendaraan bermotor lama sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran I
Peraturan Menteri ini.
(2) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama di daerahnya dengan tidak menambah maupun mengurangi
parameter yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal Gubernur belum menetapkan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor lama di daerahnya maka berlaku ambang batas emisi
gas buang kendaraan bermotor lama dalam Peraturan Menteri ini.

Pasal 9
Dalam rangka penaatan ambang batas emisi gas buang kendaran bermotor lama,
Menteri berwenang:
a. mengevaluasi pelaksanaan penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama;
b. melakukan uji petik emisi (spot check) dalam rangka pengumpulan data;
c. memberikan pembinaan (bimbingan teknis) terhadap pelaksanaan penaatan
ambang batas kendaraan bermotor lama.

5
Pasal 10
Pembiayaan atas pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor lama di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 11
Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dievaluasi sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor : KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
A N N E G A R A LIN
R Penaatan
I G Lingkungan,
E

KU
NT

NGA
KE M E

N HID UP

Hoetomo, MPA.

6
Lampiran I : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2006
Tentang : Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Lama
Tanggal : 1 Agustus 2006

A. KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI L


Kategori Tahun Parameter Metode uji
Pembuatan CO (%) HC (ppm)
Sepeda motor 2 langkah < 2010 4.5 12000 Idle
Sepeda motor 4 langkah < 2010 5.5 2400 Idle
Sepeda motor (2 langkah > 2010 4.5 2000 Idle
dan 4 langkah)

B. KENDARAAN BERMOTOR KATEGORI M, N DAN O


Kategori Tahun Parameter Metoda uji
Pembuatan CO (%) HC Opasitas
(ppm) (% HSU)*
Berpenggerak motor bakar < 2007 4.5 1200 Idle
cetus api (bensin) > 2007 1.5 200
Berpenggerak motor bakar Percepatan
penyalaan kompresi (diesel) Bebas
- GVW < 3.5 ton < 2010 70
> 2010 40
- GVW > 3.5 ton < 2010 70
> 2010 50
Catatan :
Untuk kendaraan bermotor berpenggerak
motor bakar cetus api kategori M,N dan O
- < 2007 : berlaku sampai dengan 31 Desember 2006
- > 2007 : berlaku mulai tanggal 1 Januari 2007

Untuk kendaraan bermotor kategori L


dan kendaraan bermotor berpenggerak motor
bakar penyalaan kompresi
- < 2010 : berlaku sampai dengan 31 Desember 2009
- > 2010 : berlaku mulai tanggal 1 Januari 2010
* atau ekivalen % bosch
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar
Salinan sesuai dengan aslinya
N NE G AR A L
DeputiMENLH Bidang
IN G
R IA
Penaatan Lingkungan,
E

KU
NT

NGA
KE M E

N HID UP

Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN II : PERATURAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 05 Tahun 2006
TANGGAL : 1 Agustus 2006

1. SNI 19-7118.1-2005
2. SNI 19-7118.2-2005
3. SNI 19-7118.3-2005
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 1 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M,
N, dan O berpenggerak penyalaan cetus api pada
kondisi idle

SNI 19-7118.1-2005
Daftar Isi

Daftarisi .................................................................................................. i
Prakata .................................................................................................... ii
1 Ruang lingkup .................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................... 1
3 Istilahdandefinisi .............................................................................. 1
4 Carauji .............................................................................................. 2
5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu .................................................... 3
Lampiran A Pelaporan ........................................................................... 4
Lampiran B Format pelaporan ................................................................. 5
Lampiran C Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang ........................ 6
Bibliografi ........................................................................................... 7

i
Prakata

SNI ini merupakan hasil pengkajian dari SNI 09-2765-1992, Cara uji kadar CO/HC gas
buang kendaraan bermotor pada motor putaran stasioner. SNI ini menggunakan referensi
metode standar dari International Organization for Standardization (ISO) dan Regulasi
United Nation for Economic Commission for Europe (UN-ECE). Secara teknis, SNI ini disiapkan
dan telah diuji coba oleh laboratorium yang terakreditasi dalam rangka validasi dan verifikasi
metoda serta dikonsensuskan oleh Subpanitia teknis Kualitas Udara dari Panitia Teknis
207S, Sistem Manajemen Lingkungan.

Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat konsensus dengan peserta rapat
yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis, pemerintah terkait dari
pusat maupun daerah pada tanggal 5 Nopember 2004 di Depok.

Dengan ditetapkannya SNI 19-7118.1-2005 maka SNI 09-2765-1992 dinyatakan tidak


berlaku lagi. Pemakai SNI agar dapat meneliti validasi SNI yang terkait dengan metode
ini, sehingga dapat selalu menggunakan SNI edisi terakhir.

i
Emisi - Sumber bergerak -
Bagian 1 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M, N, dan O
berpenggerak penyalaan cetus api pada kondisi idle

1 Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk mengukur kadar gas karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon
(HC) dengan menggunakan gas analyzer pada kondisi idle untuk kendaraan bermotor
kategori M, N dan O berpenggerak penyalaan cetus api.
Cara uji ini berlaku untuk:
a. Kendaraan bermotor lama (yang beroperasi di jalan).
b. Keperluan pemeriksaan dan perawatan.

2 Acuan normatif
ISO 3930/OIML R99, instrument for measuring vehicle exhaust emissions, edisi 2000.

3 Istilah dan definisi


3.1
kategori M
kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dan digunakan untuk angkutan orang
3.2
kategori N
kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dan digunakan untuk angkutan barang
3.3
kategori O
kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
3.4
hidrokarbon (HC)
zat pencemar dengan rumus kimia HC yang merupakan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan
dari proses pembakaran dalam ruang bakar mesin kendaraan yang dikeluarkan melalui
pipa gas buang
3.5
karbon monoksida (CO)
zat pencemar dengan rumus kimia CO yang merupakan jumlah karbon monoksida yang
dihasilkan dari proses pembakaran dalam ruang bakar mesin kendaraan yang dikeluarkan
melalui pipa gas buang

1 dari 7
3.6
gas analyzer
alat yang minimal dapat mengukur parameter karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon
(HC)
3.7
idle
kondisi dimana mesin kendaraan pada putaran dengan:
a) sistem kontrol bahan bakar (misal: choke, akselerator) tidak bekerja;
b) posisi transmisi netral untuk kendaraan manual atau semi otomatis;
c) posisi transmisi netral atau parkir untuk kendaraan otomatis;
d) perlengkapan atau asesoris kendaraan yang dapat mempengaruhi putaran tidak
dioperasikan atau dapat dijalankan atas rekomendasi manufaktur.

4 Cara uji

4.1 Prinsip
Pengujian idle dilakukan dengan cara menghisap gas buang kendaraan bermotor alat uji
gas analyser kemudian diukur kandungan karbon monoksida (CO) dan hidro karbon (HC).

4.2 Peralatan
a) Alat ukur gas (analyzer);
Alat uji emisi gas buang yang digunakan sebagaimana persyaratan yang diberikan
oleh ISO 3930 atau OIML R99;
b) Alat ukur temperatur oli mesin;
c) Alat ukur putaran mesin;
d) Alat ukur temperatur lingkungan.

4.3 Persiapan kendaraan uji


Persiapan kendaraan uji dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Kendaraan yang akan diukur komposisi gas buang harus diparkir pada tempat
yang datar.
b) Pipa gas buang (knalpot) tidak bocor.
c) Temperatur mesin normal 600C sampai dengan 700 C atau sesuai rekomendasi
manufaktur.
d) Sistem asesoris (lampu, AC) dalam kondisi mati.
e) Kondisi temperatur tempat kerja pada 200 C sampai dengan 350C.

2 dari 7
4.4 Persiapan peralatan
Persiapan gas analyzer dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Pastikan bahwa alat dalam kondisi telah terkalibrasi;
b) Hidupkan sesuai prosedur pengoperasian (sesuai dengan rekomendasi manufaktur
alatuji).

4.5 Pengukuran dan pencatatan


Pengujian komposisi gas CO, dan HC menggunakan dengan tahapan sebagai berikut:
a) persiapkan kendaraan uji sesuai langkah 4.3;
b) siapkan alat uji sesuai langkah 4.4;
c) naikkan (akselerasi) putaran mesin hingga mencapai 2.900 rpm sampai dengan 3.100
rpm kemudian tahan selama 60 detik dan selanjutnya kembalikan pada kondisi idle;
d) selanjutnya lakukan pengukuran pada kondisi idle dengan putaran mesin 600 rpm
sampai dengan 1000 rpm atau sesuai rekomendasi manufaktur;
e) masukkan probe alat uji ke pipa gas buang sedalam 30 cm, bila kedalaman pipa gas
buang kurang dari 30 cm maka pasang pipa tambahan;
f
) tunggu 20 detik dan lakukan pengambilan data kadar konsentrasi gas CO dalam
satuan persen (%), dan HC dalam satuan ppm yang terukur pada alat uji.

CATATAN 1 Untuk pipa gas buang (knalpot) kendaraan terdiri dari dua atau lebih, maka perlu dilakukan
penyambungan dengan pipa tunggal dengan spesifikasi yang direkomendasikan oleh manufaktur.
CATATAN 2 Bila CATATAN 1 secara praktis tidak memungkinkan untuk dilakukan maka perlu dilakukan pengukuran
emisi gas buang pada tiap pipa gas buang dan hasil yang diperoleh dirata-rata;
CATATAN 3 Untuk gas analyser yang mempunyai kemampuan mengukur parameter CO2, maka parameter CO
(karbon monoksida) yang ditampilkan adalah CO terkoreksi.

5. Jaminan mutu dan pengendalian mutu


a) Pastikan pipa gas buang (knalpot) tidak bocor;
b) Periksa alat ukur siap untuk digunakan sebagaimana instruksi dari manufaktur
dalam bentuk tercatat (terdokumentasi);
c) Lakukan kalibrasi gas analyzer sesuai rekomendasi manufaktur dalam bentuk
tercatat (terdokumentasi);
d) Gas standar yang bersertifikat untuk kalibrasi gas analyzer.

3 dari 7
Lampiran A
(normatif)
Pelaporan

Catat pada buku kerja hal-hal sebagai berikut:


1) Parameter yang dianalisis
2) Nama dan paraf teknisi penguji
3) Tanggal pengujian
4) Data pengambilan contoh uji :
a) Merk/tipe kendaraan.
b) Tahun pembuatan.
c) Kapasitas mesin.
d) No kendaraan.
e) Odometer.
f
) Suplai bahan bakar (karburator atau injeksi).
g) Jenis bahan bakar.
h) Parameter lain: misalnya CO2, O2, dan l.
i
) Temperatur lingkungan tempat pengujian.
j
) Data lain : Nama lokasi pengujian, Alamat, No. telp/fax, Nama penanggung
jawab.
5) Hasil pengukuran contoh uji konsentrasi gas CO dalam satuan persen (%), dan HC
dalam satuan ppm.

4 dari 7
Lampiran B
(Informatif)
Format pelaporan
Tanggal Uji :

Lokasi Uji/Nama Bengkel/ :


Laboratorium
Alamat :
Tel./Fax. :

DATA KENDARAAN
Merek :
Tipe :
Tahun Produksi :
No. Kendaraan :
No. Identifikasi Kendaraan (NIK) :
No. Mesin :
Odometer :
Tipe Mesin :
Kapasitas & Jumlah silinder :
Bahan Bakar :
DATA HASIL PENGUKURAN/PENGUJIAN
No. Pengujian 1 2 3 4 5
0
Temp.oli mesin C
Putaran mesin rpm
CO %
CO CORR %
CO2 %
HC ppm
O2 %
l

Catatan :

Pengujian :
Tanda tangan :

5 dari 7
Lampiran C
(Informatif)
Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang

6 dari 7
Bibliografi

Bosch, Automotive Handbook, Society of Automotive Engineer,Oktober 1996, edisi ke 4.

ISO 3929, Road vehicles – Measurement method for exhaust gas emissions during inspection
or maintenance, 2003.

UN-ECE Regulasi No. 83, Uniform provision concerning to the approval of vehicle with
regard to the emission of pollutants according to engine fuel requirement,2000.

SNI 09-1825-2002, Sistem penggolongan/pengklarifikasian kendaraan bermotor.

7 dari 7
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 2 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M,
N, dan O berpenggerak penyalaan kompresi
pada kondisi akselerasi bebas

SNI 19-7118.2-2005
Daftar Isi

Daftarisi .................................................................................................. i
Prakata .................................................................................................... ii
1 Ruang lingkup .................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................... 1
3 Istilahdandefinisi .............................................................................. 1
4 Carauji ............................................................................................. 2
5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu .................................................... 3
Lampiran A Pelaporan ........................................................................... 4
Lampiran B Format pelaporan ................................................................. 5
Lampiran C Gambar diagram skematik smoke opacimeter .............................. 6
Bibliografi ......................................................................................... 7

i
Prakata

SNI ini merupakan hasil pengkajian dari SNI 09-2766-1992, Cara uji pengukuran tingkat
kepekatan gas buang kendaraan bermotor jenis motor nyala kompresi. SNI ini menggunakan
referensi metode standar dari International Organization for Standardization (ISO) dan
Regulasi United Nation for Economic Commission for Europe (UN-ECE). Secara teknis, SNI
ini disiapkan dan telah diuji coba oleh laboratorium yang terakreditasi dalam rangka
validasi dan verifikasi metoda serta dikonsensuskan oleh Subpanitia Teknis Kualitas Udara
dari Panitia Teknis 207S, Sistem Manajemen Lingkungan.

Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat konsensus dengan peserta rapat
yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis, pemerintah terkait dari
pusat maupun daerah pada tanggal 5 Nopember 2004 di Depok.

Dengan ditetapkannya SNI 19-7118.2-2005 maka SNI 09-2766-1992 dinyatakan tidak


berlaku lagi. Pemakai SNI agar dapat meneliti validasi SNI yang terkait dengan metode
ini, sehingga dapat selalu menggunakan SNI edisi terakhir.

i
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 2 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M, N, dan O
berpenggerak penyalaan kompresi pada kondisi akselerasi bebas

1 Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk mengukur opasitas asap menggunakan smoke opacimeter
pada kondisi akselerasi bebas kendaraan bermotor kategori M, N dan O berpenggerak
penyalaan kompresi.
Cara uji ini berlaku untuk :
a. kendaraan bermotor lama (yang beroperasi di jalan)
b. keperluan pemeriksaan dan perawatan

2 Acuan normatif
ISO 11614:1999, Reciprocating internal compression-ignition engines - Apparatus for
measurement of the opacity and for determination of the light absorption coefficient of
exhaust gas.

3 Istilah dan definisi


3.1
opasitas
perbandingan tingkat penyerapan cahaya oleh asap yang dinyatakan dalam satuan persen
3.2
pengujian akselerasi bebas
pengujian pada kendaraan berpenggerak penyalaan kompresi yang dilakukan pada putaran
mesin idle hingga tercapai putaran mesin maksimum
3.3
kategori M, N dan O
3.3.1
kategori M
kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dan digunakan untuk angkutan orang
3.3.2
kategori N
kendaraan bermotor beroda empat atau lebih dan digunakan untuk angkutan barang

1 dari 7
3.3.3
kategori O
kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel

4 Cara uji

4.1 Prinsip
Pengujian akselerasi bebas dilakukan dengan cara melewatkan gas buang kendaraan
bermotor kedalam suatu tabung asap pada alat smoke opacimeter kemudian nilai opasitas
asap dibaca pada alat dengan metoda penyerapan cahaya (light absorption).

4.2 Peralatan
a) Smoke opacimeter.
Alat uji emisi gas buang yang digunakan sebagaimana persyaratan yang diberikan
oleh ISO 11614.
b) Alat ukur temperatur oli mesin.
c) Alat ukur putaran mesin.
d) Alat ukur temperatur lingkungan.

4.3 Persiapan kendaraan uji


Persiapan kendaraan uji dengan tahapan sebagai berikut :
a) kendaraan yang akan diukur harus diparkir pada posisi datar;
b) pipa gas buang (knalpot) tidak bocor;
c) temperatur oli mesin normal 600 C sampai dengan 700 C atau sesuai dengan rekomendasi
manufaktur;
d) sistem asesoris (AC, tape, lampu) dalam kondisi mati;
e) kondisi temperatur tempat kerja pada 200 C sampai dengan 350 C.

4.4 Persiapan peralatan


Persiapan smoke opacimeter dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a) pastikan bahwa alat dalam kondisi telah terkalibrasi;
b) hidupkan sesuai prosedur pengoperasian (sesuai dengan rekomendasi manufaktur
alatuji).

2 dari 7
4.5 Pengukuran dan Pencatatan
Pengujian opasitas asap menggunakan smoke opacimeter dengan tahapan sebagai berikut:
a) persiapkan kendaraan uji sesuai langkah 4.3;
b) siapkan alat uji sesuai langkah 4.4;
c) naikkan (akselerasi) putaran mesin hingga mencapai 2.900 rpm sampai dengan 3.100
rpm kemudian tahan selama 60 detik dan selanjutnya kembalikan pada kondisi idle;
d) masukkan probe alat uji ke pipa gas buang sedalam 30 cm, bila kurang dari 30 cm
maka pasang pipa tambahan;
e) injak pedal gas maksimum (full throttle) secepatnya hingga mencapai putaran mesin
maksimum, selanjutnya tahan 1 hingga 4 detik. Lepas pedal gas dan tunggu hingga
putaran mesin kembali stationer. Catat nilai opasitas asap;
f
) ulangi proses 4.5 butir (e) ini minimal tiga kali;
g) catat nilai prosentase rata-rata opasitas asap dari langkah 4.5 butir (f) dalam satuan
persen (%) yang terukur pada alat uji.

CATATAN 1 Untuk pipa gas buang (knalpot) kendaraan terdiri dari dua atau lebih maka perlu dilakukan
penyambungan dengan pipa tunggal dengan spesifikasi yang direkomendasikan oleh manufaktur.
CATATAN 2 Bila CATATAN 1 secara praktis tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka perlu dilakukan pengukuran
emisi gas buang pada tiap pipa gas buang dan hasil yang diperoleh dirata-rata.

5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu


a) Pastikan pipa gas buang (knalpot) tidak bocor.
b) Periksa alat ukur siap untuk digunakan sebagaimana instruksi dari manufaktur dalam
bentuk tercatat (terdokumentasi).
c) Lakukan kalibrasi alat ukur sesuai rekomendasi manufaktur dalam bentuk tercatat
(terdokumentasi).

3 dari 7
Lampiran A
(normatif)
Pelaporan

Catat pada buku kerja hal-hal sebagai berikut:


1) Parameter yang dianalisis
2) Nama dan paraf teknisi penguji
3) Tanggal pengujian
4) Data pengambilan contoh uji :
a) Merk/tipe kendaraan.
b) Tahun pembuatan.
c) Kapasitas mesin.
d) No kendaraan.
e) Odometer.
f
) Suplai bahan bakar (karburator atau injeksi).
g) Jenis bahan bakar.
h) Temperatur lingkungan tempat pengujian.
i
) Data lain : Nama lokasi pengujian, Alamat, No.telp/fax, Nama penanggung jawab.
5) Hasil pengukuran contoh uji opasitas asap dalam satuan persen (%).

4 dari 7
Lampiran B
(Informatif)
Format pelaporan
Tanggal Uji :

Lokasi Uji/Nama Bengkel/ :


Laboratorium
Alamat :
Tel./Fax. :

DATA KENDARAAN
Merek :
Tipe :
Tahun Produksi :
No. Kendaraan :
No. Identifikasi Kendaraan (NIK) :
No. Mesin :
Odometer :
Tipe Mesin :
Kapasitas & Jumlah silinder :
Bahan Bakar :
DATA HASIL PENGUKURAN/PENGUJIAN
No. Pengujian 1 2 3 4 5
0
Temp.oli C
Putaran mesin rpm
Opasitas % HSU
NilaiK m-1

Catatan :

Pengujian :
Tanda tangan :

5 dari 7
Lampiran C
(Informatif)
Gambar diagram skematik smoke opacimeter

6 dari 7
Bibliografi

Bosch, Automotive Handbook, Society of Automotive Engineer,Oktober 1996, edisi ke 4.

SAE J1667, Snap acceleration smoke test prosedure for heavy-duty powered vehicle,1996

UN-ECE, Regulasi No. 24, Uniform provisions concerning: the approval of compression ignition
(C) engines with regard to the emission of visible pollutants.

SNI 09-1825-2002, Sistem penggolongan/pengklasifikasian kendaraan bermotor.

7 dari 7
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 3 : Cara uji kendaraan bermotor kategori L
Pada kondisi idle

SNI 19-7118.3-2005
Daftar Isi

Daftarisi .................................................................................................. i
Prakata .................................................................................................... ii
1 Ruang lingkup .................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................... 1
3 Istilahdandefinisi .............................................................................. 1
4 Carauji ............................................................................................. 2
5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu .................................................... 3
Lampiran A Pelaporan ........................................................................... 4
Lampiran B Format pelaporan ................................................................. 5
Lampiran C Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang ........................ 6
Lampiran D Gambar pemasukan sampling probe ke dalam pipa gas buang ....... 7
Bibliografi ......................................................................................... 8

i
Prakata

SNI ini merupakan hasil pengkajian dari SNI 09-3678-1995, Cara uji karbon monoksida
emisi gas buang kendaraan bermotor roda dua pada putaran idle. SNI ini menggunakan
referensi metode standar dari International Organization for Standardization (ISO) dan
Regulasi United Nation for Economic Commission for Europe (UN-ECE). Secara teknis, SNI
ini disiapkan dan telah diuji coba oleh laboratorium yang terakreditasi dalam rangka
validasi dan verifikasi metoda serta dikonsensuskan oleh Subpanitia Teknis Kualitas Udara
dari Panitia Teknis 207S, Sistem Manajemen Lingkungan.

Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat konsensus dengan peserta rapat
yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis, pemerintah terkait dari
pusat maupun daerah pada tanggal 5 Nopember 2004 di Depok.

Dengan ditetapkannya SNI 19-7118.3-2005 maka SNI 09-3678-1995 dinyatakan tidak


berlaku lagi. Pemakai SNI agar dapat meneliti validasi SNI yang terkait dengan metode
ini, sehingga dapat selalu menggunakan SNI edisi terakhir.

i
Emisi gas buang – Sumber bergerak -
Bagian 3 : Cara uji kendaraan bermotor kategori L
pada kondisi idle

1 Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk mengukur kadar gas karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon
(HC) dengan menggunakan gas analyzer pada kondisi idle untuk kendaraan bermotor
kategori L berpenggerak penyalaan cetus api 2 langkah atau 4 langkah.
Cara uji ini berlaku untuk :
a. Kendaraan bermotor lama (yang beroperasi di jalan).
b. Keperluan pemeriksaan perawatan.

2 Acuan normatif
ISO 3930/ OIML R99, Instrument for measuring vehicle exhaust emissions, edisi 2000.

3 Istilah dan definisi


3.1
kendaraan bermotor kategori L
kendaraan bermotor beroda kurang dari empat.
3.2
hidrokarbon (HC)
zat pencemar dengan rumus kimia HC yang merupakan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan
dari proses pembakaran dalam ruang bakar mesin kendaraan yang dikeluarkan melalui
pipa gas buang
3.3
karbon monoksida (CO)
zat pencemar dengan rumus kimia CO yang merupakan jumlah karbon monoksida yang
dihasilkan dari proses pembakaran dalam ruang bakar mesin kendaraan yang dikeluarkan
melalui pipa gas buang
3.4
idle
kondisi dimana mesin kendaraan pada putaran dengan :
a) Sistem kontrol bahan bakar (misal: choke, akselerator) tidak bekerja.

1 dari 8
b) Posisi transmisi netral untuk kendaraan manual atau semiotomatis.
c) Posisi transmisi netral atau parkir untuk kendaraan otomatis.
d) Perlengkapan atau asesoris kendaraan yang dapat mempengaruhi putaran tidak
dioperasikan atau dapat dijalankan atas rekomendasi manufaktur.

4 Cara uji

4.1 Prinsip
Pengujian idle dilakukan dengan cara menghisap gas buang kendaraan bermotor ke dalam
alat uji gas analyzer kemudian diukur kandungan karbon monoksida (CO) dan hidro karbon
(HC).

4.2 Peralatan

4.2.1 Alat ukur gas (analyzer)


Alat uji emisi gas buang yang digunakan sebagaimana persyaratan yang diberikan oleh
ISO 3930 atau OIML R99.
Dalam hal pengujian dilakukan pada kendaraan kategori L dengan penggerak penyalaan 2
langkah maka rentang ukur untuk parameter hidrokarbon adalah 0 ppm sampai dengan
30.000 ppm.

4.2.2 Alat ukur temperatur oli mesin atau busi

4.2.3 Alat ukur putaran mesin

4.2.4 Alat ukur temperatur lingkungan

4.3 Persiapan kendaraan uji


Persiapan kendaraan uji dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Kendaraan yang akan diukur harus pada posisi datar.
b) Pipa gas buang (knalpot) tidak bocor.
c) Temperatur mesin normal (600C sampai dengan 700C atau sesuai rekomendasi
manufaktur) dan sistim asesoris (lampu) dalam kondisi mati.
d) Kondisi temperature tempat kerja pada 20 °C sampai dengan 350C.

2 dari 8
4.4 Persiapan peralatan
Persiapan gas analyzer dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a) pastikan bahwa alat dalam kondisi telah terkalibrasi;
b) hidupkan sesuai prosedur pengoperasian (sesuai dengan rekomendasi manufaktur
alatuji).

4.5 Pengukuran dan pencatatan


Pengujian komposisi gas CO, dan HC menggunakan gas analyzer dengan tahapan sebagai
berikut:
a) persiapkan kendaraan uji sesuai langkah 4.3;
b) siapkan alat uji sesuai langkah 4.4;
c) naikkan (akselerasi) putaran mesin hingga mencapai 1.900 rpm sampai dengan 2.100
rpm kemudian tahan selama 60 detik dan selanjutnya kembalikan pada kondisi idle;
d) selanjutnya lakukan pengukuran pada kondisi idle dengan putaran mesin 800 rpm
sampai dengan 1400 rpm atau sesuai rekomendasi manufaktur;
e) masukkan probe alat uji ke pipa gas buang sedalam 30 cm, bila kurang dari 30 cm
maka pasang pipa tambahan;
f
) tunggu 20 detik dan lakukan pengambilan data konsentrasi gas CO dalam satuan
persen (%), dan HC dalam satuan ppm yang terukur pada alat uji.

CATATAN 1 Untuk pipa gas buang (knalpot) kendaraan terdiri dari dua pipa atau lebih, maka perlu dilakukan
penyambungan dengan pipa tunggal dengan spesifikasi yang direkomendasikan oleh manufaktur.
CATATAN 2 Bila CATATAN 1 secara praktis tidak memungkinkan untuk dilakukan maka perlu dilakukan pengukuran
emisi gas buang pada tiap pipa gas buang dan hasil yang diperoleh dirata-rata;
CATATAN 3 Untuk gas analyser yang mempunyai kemampuan mengukur parameter CO2, maka parameter CO
(karbon monoksida) yang ditampilkan adalah CO terkoreksi.

5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu


a) Pastikan pipa gas buang (knalpot) tidak bocor.
b) Periksa alat ukur siap untuk digunakan sebagaimana instruksi dari manufaktur dalam
bentuk tercatat (terdokumentasi).
c) Lakukan kalibrasi gas analyzer sesuai rekomendasi manufaktur dalam bentuk tercatat
(terdokumentasi).
d) Gas standar yang bersertifikat untuk kalibrasi gas analyzer.

3 dari 8
Lampiran A
(normatif)
Pelaporan

Catat pada buku kerja hal-hal sebagai berikut:


1) Parameter yang dianalisis.
2) Nama dan paraf teknisi penguji.
3) Tanggal pengujian.
4) Data pengambilan contoh uji:
a) Merk/tipe kendaraan.
b) Tahun pembuatan.
c) Kapasitas mesin.
d) No kendaraan.
e) Odometer.
f
) Suplai bahan bakar (karburator atau injeksi).
g) Jenis bahan bakar.
h) Parameter lain : misalnya CO2, O2, dan l
i
) Temperatur lingkungan tempat pengujian
j
) Data lain : Nama lokasi pengujian, Alamat, No. telp/fax, Nama penanggung
jawab.
5) Hasil pengukuran contoh uji konsentrasi gas CO dalam satuan persen (%), dan HC
dalam satuan ppm.

4 dari 8
Lampiran B
(Informatif)
Format pelaporan
Tanggal Uji :

Lokasi Uji/Nama Bengkel/ :


Laboratorium
Alamat :
Tel./Fax. :

DATA KENDARAAN
Merek :
Tipe :
Tahun Produksi :
No.Polisi :
No. Induk Kend. (NIK) :
No. Mesin :
Odometer :

Tipe Mesin : 2 langkah / 4 langkah*)


Kapasitas & Jumlah silinder :
Bahan Bakar :
Oli Samping : (untuk 2 langkah)

DATA HASIL PENGUKURAN/PENGUJIAN


No. Pengujian 1 2 3 4 5
0
Temp.oli C
Putaran mesin rpm
CO %
CO CORR %
CO2 %
HC ppm
O2 %
l

Catatan :

Pengujian :
Tanda tangan :

*) Coret yang tidak perlu


5 dari 8
Lampiran C
(informatif)
Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang

6 dari 8
Lampiran D
(Informatif)
Gambar pemasukan sampling probe ke dalam pipa gas buang

7 dari 8
Bibliografi

Bosch, Automotive Handbook, Society of Automotive Engineer, Oktober 1996, Edisi ke 4.

ISO 3929, Road Vehicle – Measurement method for exhaust gas emissions during inspection
or maintenance, 2003.

UN-ECE, Regulasi No. 40, Uniform provisions concerning to the approval of motorcycle
equipped with a positive-ignition engine with regard to the emission of gaseous pollutants
by the engine, 1996.

SNI 09-1825-2002, Sistem penggolongan/pengklasifikasian kendaraan bermotor.

8 dari 8
LAMPIRAN III : PERATURAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 05 TAHUN 2006
TANGGAL : 1 Agustus 2006

FORMAT
PELAPORAN PELAKSANAAN UJI EMISI
I
. DATA UMUM PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR
(diisi oleh pengujian pemerintah)
1 Nama PKB :
2 Alamat :
3 No Telpon/Fax :
4 Home Page :
5 Penanggungjawab/Kepala PKB :
6 Jumlah Pegawai :
7 Luas total PKB (m2 ) :
8 Prosentase tempat uji/Luas total PKB :

II DATA UMUM KENDARAAN UJI


(diisi oleh pengujian pemerintah)
1 Kapasitas (Jmlh Kend/hari) :
2 Jumlah analyzer (HC &CO) :
3 Jumlah opacity meter/Bosch :
4 Biaya untuk 1 unit Kend. Bensin :
5 Biaya untuk 1 unit Kend. Disel :
6 Jumlah operator teknis :
7 Jumlah Line :
8 Total penerimaan PKB (Rp)/tahun :
9 Biaya perawatan PKB /tahun :
-Filter :
- Gas analizer :
- Service Peralatan uji :
-lain-lain :

III REKAPITULASI HASIL PENGUJIAN


(diisi oleh pengujian pemerintah)

No Kendaraan Uji Total Uji Lulus Tidak lulus Rata-rata


Kelulusan
1 Bensin
2 Disel
3 Sepeda Motor
IV DATA UMUM PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR
(diisi oleh bengkel swasta)
1 Nama pengujian kendaraan bermotor (PKB) :
2 Alamat :
3 No Telpon/Fax :
4 Home Page :
5 Penanggungjawab/Kepala PKB :
6 Jumlah Pegawai :
7 Luas total PKB (m2 ) :
8 Prosentase tempat uji/Luas total PKB :

V DATA TEKNIS DAN EKONOMIS


(diisi oleh bengkel swasta)
1 Kapasitas (Jmlh Kend/hari) :
2 Jumlah analyzer (HC &CO) :
3 Jumlah opacity meter/Bosch :
4 Biaya uji untuk 1 unit Kend. Bensin :
5 Biaya uji untuk 1 unit Kend. Disel :
6 Jumlah operator teknis :
7 Jumlah Line :
8 Total Biaya servis Rp/tahun :
9 Biaya perawatan PKB /tahun :
-Filter :
- Gas analizer :
- Service Peralatan uji :
-lain-lain :

VI REKAPITULASI HASIL PENGUJIAN


(diisi oleh bengkel swasta)

No Kendaraan Uji Total Uji Lulus Tidak lulus Rata-rata


Kelulusan
1 Bensin
2 Disel
3 Sepeda Motor
VI I . DATA HASI L PENGUJI AN EMI SI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT ATAU
LEBI H BERPENGGERAK MOTOR BAKAR CETUS API ( BERBAHAN BAKAR BENSI N)

KENDARAAN UMUR PARAMETER


BBM CATATAN
No MERK TIPE NO. POLISI TAHUN Km (cc) HC CO CO2
ppm % ‫ג‬ %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

VI I I . DATA HASI L PENGUJI AN EMI SI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT ATAU
LEBI H BERPENGGERAK MOTOR BAKAR KOMPRESI ( BERBAHAN BAKAR SOLAR)

KENDARAAN UMUR PARAMETER


BBM CATATAN
No MERK TIPE NO POLISI TAHUN Km ( cc) Opasitas CO2
% HSU ‫ג‬ %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
I X. DATA HASI L PENGUJI AN EMI SI GAS BUANG SEPEDA MOTOR

SEPEDA MOTOR UMUR PARAMETER


BBM CATATAN
No MERK TIPE NO POLISI TAHUN Km ( cc) HC CO CO2
ppm % ‫ג‬ %
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Ment eri Negara


Li ngkungan Hidup

ttd

I r. Rachmat Wi t oelar

Sali nan sesuai dengan aslinya


Deput i MENLH Bi dang
AR A L
N NEGPenaat ING an Lingkungan,
R IA
E

KU
NT

NGA
KE M E

N HID UP

Hoet omo, MPA.


SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 07 TAHUN 2007
TENTANG
BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK BAGI KETEL UAP

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup


perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;

b. bahwa salah satu usaha dan/atau kegiatan yang


berpotensi menimbulkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup adalah usaha dan/atau
kegiatan yang mengoperasikan ketel uap;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 28 Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Emisi Sumber
Tidak Bergerak Bagi Ketel Uap;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang


Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3274);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

1
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 Tentang


Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun


2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia, sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK
BAGI KETEL UAP.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:


1. Ketel uap adalah sebuah alat penghasil panas yang menggunakan bahan
baku air atau minyak yang dipanaskan dengan bahan bakar biomassa,
minyak, batu bara, dan/atau gas.

2
2. Bahan bakar biomassa adalah bahan bakar yang berasal dari tumbuhan
atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang,
dan/atau akar termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan
pertanian, perkebunan, dan/atau hutan tanaman.
3. Ampas adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pemerahan tebu
di stasiun gilingan pada pabrik gula.
4. Serabut adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pengepresan
buah sawit di industri minyak sawit (Crude Palm Oil).
5. Cangkang adalah kulit inti sawit (kernel) yang dihasilkan dari proses
pemisahan kernel sawit di industri minyak sawit.
6. Bahan bakar batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang
terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama.
7. Bahan bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dari semua cairan
organik yang tidak larut/bercampur dalam air baik yang dihasilkan dari
tumbuh-tumbuhan dan/atau hewan maupun yang diperoleh dari
kegiatan penambangan minyak bumi.
8. Bahan bakar gas adalah bahan bakar berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas.
9. Bahan bakar gabungan adalah bahan bakar yang merupakan campuran
dari ampas, serabut, cangkang, batu bara, minyak, dan/atau gas.
10. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap adalah batas
maksimum emisi dari ketel uap yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam lingkungan.
11. Emisi ketel uap adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang
dihasilkan oleh ketel uap dari kegiatan industri yang masuk dan/atau
dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak
mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
12. Keadaan darurat adalah keadaan tidak berfungsinya ketel uap, cerobong,
dan/atau pengendali emisi udara sebagaimana mestinya karena adanya
bencana alam, kebakaran, dan/atau huru hara.
13. Kejadian tidak normal adalah kondisi dimana ketel uap, cerobong,
dan/atau alat pengendali emisi udara tidak beroperasi sebagaimana
mestinya dikarenakan adanya kerusakan dan/atau tidak berfungsinya
peralatan tersebut.
14. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup.

3
Pasal 2

(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini meliputi ketel uap yang menggunakan bahan bakar:
a. biomassa berupa serabut dan/atau cangkang;
b. biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu kering;
c. biomasa selain yang disebutkan dalam huruf a dan huruf b;
d. batu bara;
e. minyak;
f. gas; dan
g. gabungan.

(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini tidak berlaku untuk industri besi dan baja, industri
pulp dan kertas, industri semen, pembangkit listrik tenaga uap, industri
pupuk, dan usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi.

Pasal 3

(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang
menggunakan bahan bakar:
a. biomassa berupa serabut dan/atau cangkang adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini;
b. biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu kering adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini;
c. biomassa selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri
ini;
d. batubara adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan
Menteri ini;
e. minyak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan
Menteri ini;
f. gas adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan
Menteri ini;
g. gabungan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
Peraturan Menteri ini.

(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

4
Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
bagi ketel uap sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).

(2) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter


sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini setelah
mendapat persetujuan Menteri.

Pasal 5

Dalam hal hasil kajian kelayakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan


Hidup (AMDAL) atau rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL)
dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) bagi suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengoperasikan ketel uap mensyaratkan baku mutu emisi lebih
ketat dari pada baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) atau Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri ini, maka diberlakukan baku mutu
emisi sebagaimana dipersyaratkan oleh AMDAL atau rekomendasi UKL dan
UPL.

Pasal 6

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengoperasikan ketel uap


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib:
a. membuang emisi gas melalui cerobong yang dilengkapi dengan sarana
pendukung dan alat pengaman sesuai peraturan yang berlaku;
b. melakukan pengujian emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong paling
sedikit 2 (dua) kali selama periode operasi setiap tahunnya bagi ketel uap
yang beroperasi selama 6 (enam) bulan atau lebih;
c. melakukan pengujian emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong paling
sedikit 1 (satu) kali selama periode operasi setiap tahunnya bagi ketel uap
yang beroperasi kurang dari 6 (enam) bulan;
d. menggunakan laboratorium yang terakreditasi dalam pengujian emisi
sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan huruf c;
e. melakukan pengujian emisi setelah kondisi proses pembakaran stabil;
f. menyampaikan laporan hasil analisis pengujian emisi sebagaimana
dimaksud dalam huruf b atau huruf c kepada Bupati/Walikota, dengan
tembusan Gubernur dan Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam)
bulan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
Peraturan Menteri ini; dan

5
g. melaporkan kejadian tidak normal dan/atau keadaan darurat yang
mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui serta rincian upaya
penanggulangannya kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur
dan Menteri.
Pasal 7

Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan
Menteri ini, usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan ketel uap berbahan
bakar biomassa berupa serabut dan/atau cangkang, biomassa berupa ampas
dan/atau daun tebu kering, batu bara, minyak, dan/atau gas yang sedang
berjalan dan baku mutunya diatur dalam Lampiran V B Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Menteri ini.

Pasal 8

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 8 Mei 2007

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

6
SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 04 TAHUN 2009
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR
TIPE BARU

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pencegahan pencemaran udara


yang bersumber dari emisi gas buang kendaraan
bermotor, perlu dilakukan upaya untuk membatasi
emisi gas buang kendaraan bermotor;
b. bahwa Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan
Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi (current
production) sudah tidak sesuai dengan perkembangan
keadaan sehingga perlu dilakukan penyempurnaan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (1), Pasal 34
ayat (3), dan Pasal 35 ayat (3) Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang
Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe
Baru;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3530);

1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru adalah
batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru.
2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang
menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi
dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi
di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin
dan/atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor
dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan
wilayah Republik Indonesia.
3. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan
bermotor tipe baru yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak
motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi
sesuai dengan SNI 09-1825-2002.
4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor
tipe baru beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor bakar
cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah
atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002.
5. Laboratorium terakreditasi adalah laboratorium yang melakukan uji
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru yang terakreditasi oleh
lembaga akreditasi nasional atau badan yang diakui secara
internasional.
6. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang
dan/atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe
baru dan/atau melakukan impor kendaraan bermotor dalam keadaan
utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh.
7. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe
baru.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup.

2
Pasal 2
Ruang lingkup dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru;
b. metode uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru; dan
c. tata cara pelaporan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru.

Pasal 3
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor tipe baru wajib melakukan uji tipe emisi dan memenuhi
ambang batas emisi gas buang.
(2) Kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh
(completely built-up) dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh)
unit dari populasi nasional wajib dilakukan uji tipe emisi.
(3) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru merupakan
bagian dari persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
(4) Uji tipe emisi gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menggunakan metode uji sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(5) Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(5) untuk:
a. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N dan O untuk pengujian
kadar asap motor diesel mulai berlaku paling lama 24 bulan setelah
peraturan ini ditetapkan;
b. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N dan O untuk pengujian idle
mulai berlaku paling lama 12 bulan setelah peraturan ini ditetapkan;
c. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N dan O dengan GVW > 3,5
ton berbahan bakar gas mulai berlaku paling lama 18 bulan setelah
peraturan ini ditetapkan.

Pasal 5
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dilaksanakan
dengan tahapan:
a. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan
permohonan uji tipe emisi kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan melakukan uji emisi di laboratorium yang terakreditasi.
(2) Dalam melakukan uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, serta laboratorium

3
terakreditasi wajib mengisi formulir laporan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(3) Hasil uji tipe emisi yang dikeluarkan oleh laboratorium wajib
menggunakan format isian sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan wajib menyampaikan hasil uji sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) kepada Menteri dan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya hasil uji.
(5) Menteri mengumumkan hasil uji sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

Pasal 6
(1) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) wajib
menggunakan bahan bakar dengan spesifikasi reference fuel menurut
Economic Comission for Europe (ECE).
(2) Dalam hal tidak tersedia reference fuel di Indonesia, dapat digunakan
bahan bakar minyak yang beredar di pasar dengan spesifikasi untuk
bahan bakar kendaraan dengan penggerak penyalaan:
a. cetus api (bensin) dengan parameter bahan bakar RON minimal 95,
kandungan timbal (Pb) maksimal 0,013 g/l dan kandungan sulfur
minimal 500 ppm;
b. kompresi (diesel) dengan parameter bahan bakar Cetane Number
minimal 51, kandungan sulfur minimal 500 ppm dan kekentalan
(viscosity) minimal 2 mm2/s dan maksimal 4,5 mm2/s;
c. cetus api (LPG) dengan parameter bahan bakar RON minimal 98,
kandungan sulfur maksimal 100 ppm; atau
d. cetus api (CNG) dengan parameter bahan bakar C1+C2 minimal 62%
vol, relativy density pada suhu 280 C minimal 0,56.

Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor yang telah memperoleh sertifikat uji tipe kendaraan bermotor
wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada setiap promosi merek kendaraan bermotor tipe baru
kepada masyarakat melalui media cetak dan/atau elektronik.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 8
(1) Menteri melakukan evaluasi penaatan terhadap ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor tipe baru paling sedikit 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan.

4
Pasal 9
(1) Biaya pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
produksi kendaraan bermotor.
(2) Biaya pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 10
Peraturan Menteri ini ditinjau kembali paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 11
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang
Sedang Diproduksi (current production) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal: 25 Maret 2009
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,

ttd

RACHMAT WITOELAR
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,

ttd

Ilyas Asaad.

5
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi
sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk
memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan
faktor utama pembangunan;
b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi
kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan
memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta
keseimbangan ekologis;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat
(2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3046);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
-2-

1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan
tanah, kecuali air laut dan air fosil;
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara;
3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga
tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk
menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya;
4. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk
menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air;
5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk
dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu;
7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air;
8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi
pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan
ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas-nya, dan atau fungsi
ekologis;
9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air;
10. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang
ditetapkan;
11. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang
terkandung dalam air atau air limbah;
13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu
sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa
mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
14. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang
berwujud cair;
15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air
dari suatu usaha dan atau kegiatan;
16. Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/ Kepala
Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
17. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau
badan hukum;
18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan

© Legal Agency
-3-

hidup dan pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem.
(2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada
tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.

Pasal 3
Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi
alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air
agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada :
a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c. akuifer air tanah dalam.
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.

BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR

Bagian Pertama
Wewenang

Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan
atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas
Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di
Kabupaten/Kota.

Pasal 6
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana

© Legal Agency
-4-

dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi


atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Pendayagunaan Air

Pasal 7
(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota
menyusun rencana pendayagunaan air.
(2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi
ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat setempat.
(3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air
berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan
atau fungsi ekologis.

Bagian Ketiga
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air

Pasal 8
(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 9
(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada :
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan
atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah
Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi.

© Legal Agency
-5-

c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan


dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota .
(2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan
berdasarkan pada hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Propinsi, dan atau Pemerintah Kabupaten/Kota
berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang
bersangkutan untuk melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a.
(4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Keempat
Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air, Dan Status Mutu Air

Pasal 10
Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria
mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.

Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan
atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan atau
lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah
kewenangan Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari
instansi terkait.

Pasal 12
(1) Pemerintah Propinsi dapat menetapkan :
a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dan
atau
b. tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku
mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.

Pasal 13
(1) Pemantauan kualitas air pada :
a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah

© Legal Agency
-6-

Kabupaten/Kota dalam satu propinsi dikoordinasikan oleh


Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-masing
Pemerintah Kabupaten/Kota;
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah propinsi dan
atau sumber air yang merupakan lintas batas negara kewenangan
pemantauannya berada pada Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang
bersangkutan untuk melakukan pemantauan kualitas air pada sumber
air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c.
(3) Pemantauan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan
huruf b, disampaikan kepada Menteri.
(5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 14
(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan :
a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air;
b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air.
(2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status mutu
air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan
status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota
sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya
penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan
menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota
sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahan-kan dan atau
meningkatkan kualitas air.

Pasal 16
(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi
untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka
pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah
dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri.

Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air
limbah dari dua atau lebih laboratorium maka dilakukan verifikasi
ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh

© Legal Agency
-7-

Menteri dengan menggunakan laboratorium rujukan nasional.

BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

Bagian Pertama
Wewenang

Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air
yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaan air pada
sumber air yang lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pence-maran
air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/Kota.

Pasal 19
Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi
atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Pasal 20
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran
air pada sumber air berwenang :
a. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
e. memantau kualitas air pada sumber air; dan
f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.

Pasal 21
(1) Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri
dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
(2) Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari baku mutu air
limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri
secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 22

© Legal Agency
-8-

Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat


(3), Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air.

Pasal 23
(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya
tampung beban pencemaran air pada sumber air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipergunakan untuk :
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air;
c. penetapan rencana tata ruang;
d. pemberian izin pembuangan air limbah;
e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian
pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah

Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana
pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bagian Ketiga
Penanggulangan Darurat

Pasal 25
Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penang-gulangan
pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga
lainnya.

Pasal 26
Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan
penanggulangan dan pemulihan.

BAB IV
PELAPORAN

Pasal 27
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran

© Legal Agency
-9-

air, wajib melaporkan kepada Pejabat yang berwenang.


(2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib mencatat :
a. tanggal pelaporan;
b. waktu dan tempat;
c. peristiwa yang terjadi;
d. sumber penyebab;
e. perkiraan dampak.
(3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3
(tiga) hari terhitung sejak tanggal diterimanya laporan, wajib
meneruskannya kepada Bupati/Walikota/ Menteri.
(4) Bupati/Walikota/Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib
segera melakukan verifikasi untuk mengetahui tentang kebenaran
terjadinya pelanggaran terhadap pengelolaan kualitas air dan atau
terjadinya pencemaran air
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
menunjukkan telah terjadinya pelanggaran, maka Bupati/
Walikota/Menteri wajib memerintahkan penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran dan atau
pencemaran air serta dampaknya.

Pasal 28
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5)
Bupati/Walikota/Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga
untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 29
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang
ditunjuk untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan
kualitas air, wajib menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/
Menteri.

BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN

Bagian Pertama
Hak

Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi
mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta
pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai

© Legal Agency
- 10 -

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 31
Setiap orang wajib :
a. melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3)
b. mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4).

Pasal 32
Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan
kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air.

Pasal 34
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin aplikasi air
limbah pada tanah.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegitan wajib
menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin
pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib
disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada
Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

BAB VI
PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH

Bagian Pertama
Pemanfaatan Air Limbah

Pasal 35
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah
ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari
Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasar-kan
pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan

© Legal Agency
- 11 -

(3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh


Bupati/Walikota dengan memperhatian pedoman yang ditetap-kan
oleh Menteri.

Pasal 36
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke
tanah untuk aplikasi pada tanah.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
sekurang-kurangnya :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati/ Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang
diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) menunjukkan bahwa pemanfaatan air limbah ke tanah untuk
aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka Bupati/ Walikota
menerbitkan izin pemanfaatan air limbah.
(6) Penerbitan izin pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90
(sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan izin.
(7) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua
Pembuangan Air Limbah

Pasal 37
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air
limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menang-gulangi
terjadinya pencemaran air.

Pasal 38
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang
air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang
ditetapkan dalam izin.
(2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan :
a. kewajiban untuk mengolah limbah;
b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke
media lingkungan;
c. persyaratan cara pembuangan air limbah;
d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur
penanggulangan keadaan darurat;
e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air

© Legal Agency
- 12 -

limbah ;
f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis
mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan
pengendalian pencemaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang
wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau
pelepasan dadakan;
h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya
penaatan batas kadar yang dipersyaratkan;
i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk
melaporkan hasil swapantau.
(3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi air limbah yang mengandung radioaktif, Bupati/ Walikota wajib
mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang tenaga atom.

Pasal 39
(1) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang
diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) didasarkan
pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air.
(2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum dapat ditentukan, maka batas mutu air limbah
yang diizinkan ditetapkan berdasarkan baku mutu air limbah nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).

Pasal 40
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air
atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan
pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.

Pasal 41
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air
atau sumber air.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
sekurang-kurangnya:
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati/ Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang
diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) menunjukkan bahwa pembuangan air limbah ke air atau sumber
air layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin
pembuangan air limbah.

© Legal Agency
- 13 -

(6) Penerbitan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam


ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90
(sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan izin.
(7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuangan
air limbah ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memper-hatikan
pedoman yang ditetapkan Menteri.
(8) Pedoman kajian pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

Pasal 42
Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air
dan atau sumber air.

BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama
Pembinaan

Pasal 43
(1) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup;
b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif.
(3) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air
limbah rumah tangga.
(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh pemerintah Propinsi, pemerintah
Kabupaten/Kota dengan membangun sarana dan prasarana
pengelolaan limbah rumah tangga terpadu.
(5) Pembangunan sarana dan prasasara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bagian Kedua
Pengawasan

Pasal 44
(1) Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penaatan
persyaratan yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2).
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

© Legal Agency
- 14 -

dilakukan oleh pejabat pengawas lingkungan daerah.

Pasal 45
Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan
terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin melakukan usaha
dan atau kegiatan.

Pasal 46
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45
berwenang :
a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan,
perekaman audio visual, dan pengukuran;
b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepenting-an,
karyawan yang bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan
perangkat pemerintahan setempat;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang
diperlukan, antaran lain dokumen perizinan, dokumen AMDAL,
UKL, UPL, data hasil swapantau, dokumen surat keputusan
organisasi perusahaan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang
dibuang, bahan baku, dan bahan penolong;
f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi,
utilitas, dan instalasi pengolahan limbah;
g. memeriksa instalasi, dan atau alat transportasi;
h. serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas
usaha dan atau kegiatan;
(2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c meliputi pembuatan denah, sketsa, gambar, peta, dan atau
deskripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan.

Pasal 47
Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihat-kan
surat tugas dan atau tanda pengenal.

BAB VIII
SANKSI

Bagian Pertama
Sanksi Administrasi

Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar
ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang
menjatuhkan sanksi administrasi.

© Legal Agency
- 15 -

Pasal 49
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar
ketentuan Pasal 25,Bupati/Walikota/Menteri berwenang menerap-kan
paksaan pemerintahan atau uang paksa.

Bagian Kedua
Ganti Kerugian

Pasal 50
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.

Bagian Ketiga
Sanksi Pidana

Pasal 51
Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal
37, Pasal 38, Pasal 41, dan Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52
Baku mutu air limbah untuk jenis usaha dan atau kegiatan tertentu yang
telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 53
(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk
aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin
pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati/Walikota.
(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum memiliki
izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air, maka dalam
waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini
wajib memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air
dari Bupati/Walikota.

© Legal Agency
- 16 -

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 54
Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 55
Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan Pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan, berlaku kriteria
mutu air untuk Kelas II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini sebagai baku mutu air.

Pasal 56
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang telah
ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air dalam Peraturan Pemerintah ini, maka baku
mutu air sebelumnya tetap berlaku.

Pasal 57
(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu
air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang berlaku di daerah
tersebut dapat ditetapkan setelah mendapat rekomendasi dari
Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.

Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini.

Pasal 59
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409)
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

© Legal Agency
- 17 -

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 153

© Legal Agency
- 18 -

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

UMUM

Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak
sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka
perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air
merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada
kondisi alamiahnya.

Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan
lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber air di luar hutan
lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya
memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air.

Air sebagai komponen lingkungan hidup akan mempengaruhi dan dipengaruhi


oleh komponen lainnya. Air yang kualitasnya buruk akan mengakibatkan
kondisi lingkungan hidup menjadi buruk sehingga akan mempengaruhi
kondisi kesehatan dan keselamatan manusia serta kehidupan makhluk hidup
lainnya. Penurunan kualitas air akan menurunkan dayaguna, hasil guna,
produktivitas, daya dukung dan daya tampung dari sumber daya air yang
pada akhirnya akan menurunkan kekayaan sumber daya alam (natural
resources depletion).

Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting maka harus
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini
berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan
harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan
generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar
tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan
bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup
lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan
yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia
memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi
menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat
mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan
produktivitasnya. Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan
pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan
perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

© Legal Agency
- 19 -

Dampak negatif pencemaran air mempunyai nilai (biaya) ekonomik, di


samping nilai ekologik, dan sosial budaya. Upaya pemulihan kondisi air yang
cemar, bagaimanapun akan memerlukan biaya yang mungkin lebih besar bila
dibandingkan dengan nilai kemanfaatan finansial dari kegiatan yang
menyebabkan pencemarannya. Demikian pula bila kondisi air yang cemar
dibiarkan (tanpa upaya pemulihan) juga mengandung ongkos, mengingat air
yang cemar akan menimbulkan biaya untuk menanggulangi akibat dan atau
dampak negatif yang ditimbulkan oleh air yang cemar.

Berdasarkan definisinya, Pencemaran air yang diindikasikan dengan turunnya


kualitas air sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang dimaksud dengan tingkat
tertentu tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan
berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran
air, juga merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai
atau dipertahankan oleh setiap program kerja pengendalian pencemaran air.

Penetapan baku mutu air selain didasarkan pada peruntukan (designated


beneficial water uses), juga didasarkan pada kondisi nyata kualitas air yang
mungkin berada antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu,
penetapan baku mutu air dengan pendekatan golongan peruntukkan perlu
disesuaikan dengan menerapkan pendekatan klasifikasi kualitas air (kelas
air). Penetapan baku mutu air yang didasarkan pada peruntukan semata
akan menghadapai kesulitan serta tidak realistis dan sulit dicapai pada air
yang kondisi nyata kualitasnya tidak layak untuk semua golongan
peruntukan.

Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan
kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban zat pencemar yang dapat
ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan daya
tampung beban pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan
peruntukannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air dianggap tidak memadai lagi, karena secara substansial
tidak sesuai dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana dikandung dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada
dan atau mengalir melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan,

© Legal Agency
- 20 -

maka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air tidak


hanya dapat
dilakukan sendiri-sendiri (partial) oleh satu pemerintah daerah.
Dengan demikian harus dilakukan secara terpadu antar wilayah
administrasi dan didasarkan pada karakter ekosistemnya sehingga
dapat tercapai pengelolaan yang efisien dan efektif.
Keterpaduan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air ini dilakukan melalui upaya koordinasi antar
pemerintah daerah yang berada dalam satu kesatuan ekosistem air
dan atau satu kesatuan pengelolaan sumber daya air antara lain
daerah aliran sungai (DAS) dan daerah pengaliran sungai (DPS). Kerja
sama antar daerah dapat dilakukan melalui badan kerja sama antar
daerah. Dalam koordinasi dan kerja sama tersebut termasuk dengan
instansi terkait, baik menyangkut rencana pemanfaatan air,
pemantauan kualitas air, penetapan baku mutu air, penetapan daya
tampung, penetapan mekanisme perizinan pembuangan air limbah,
pembinaan dan pengawasan penaatan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Ayat (1)
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk memelihara
kualitas air untuk tujuan melestarikan fungsi air, dengan melestarikan
(conservation) atau mengendalikan (control). Pelestarian kualitas air
dimaksudkan untuk memelihara kondisi kualitas air sebagaimana
kondisi alamiahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kondisi alamiah air pada sumber air dalam hutan lindung, mata
air dan akuifer air tanah dalam secara umum kualitasnya sangat baik.
Air pada sumber_sumber air tersebut juga akan sulit dipulihkan
kualitasnya apabila tercemar, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk
pemulihannya. Oleh karena itu harus dipelihara kualitasnya
sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air kualitas airnya perlu
dilestarikan sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata air di dalam
maupun di luar hutan lindung. Air di bawah permukaan tanah berada
di wadah atau tempat yang disebut akuifer.
Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara
dua lapisan batuan geologis tertentu, yang menerima resapan air dari
bagian hulunya.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah

© Legal Agency
- 21 -

intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.

Ayat (4)
Upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan
dengan membatasi beban pencemaran yang ditenggang masuknya ke
dalam air sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi cemar
(sebatas masih memenuhi baku mutu air).
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pendayagunaan air meliputi penggunaan untuk
pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana
pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu
air dan mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui arah program
pengelolaan kualitas air.
Ayat (2)
Air pada lingkungan masyarakat setempat dapat mempunyai
fungsi dan nilai yang tinggi dari aspek sosial budaya. Misalnya air
untuk keperluan ritual dan kultural.
Ayat (3)
Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air yang digunakan
sekarang ini (existing uses) dan potensi air sebagai cadangan untuk
pemanfaatan di masa mendatang (future uses).

Pasal 8
Ayat (1)
Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi)
tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaannya.
Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan tingkatan yang terbaik.
Secara relatif, tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas
Dua, dan selanjutnya.
Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan
kemungkinan kegunaannya bagi suatu peruntukan air (designated
beneficial water uses).
Air baku air minum adalah air yang dapat diolah menjadi air
yang layak sebagai air minum dengan pengolahan secara sederhana
dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan.
Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan
kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk
penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air

© Legal Agency
- 22 -

yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi peruntukkan


tertentu.
Peruntukan lain yang dimaksud misalnya kegunaan air untuk
proses industri, kegiatan penambangan dan pembangkit tenaga
listrik, asalkan kegunaan tersebut dapat menggunakan air dengan
mutu air sebagaimana kriteria mutu air dari kelas air dimaksud.
Ayat (2)
Cukup Jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui
informasi mengenai keadaan mutu air saat ini (existing quality),
rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang
diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan dicapai (objective
quality).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi pedoman untuk
menentukan keadaan mutu air, penyusunan rencana penggunaan air,
dan penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai. Pedoman
pengkajian mencakup antara laiketatalaksanaan pada sumber air yang
bersifat lintas daerah (Kabupaten/Kota dan Propinsi).

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Pengetatan dan atau penambahan parameter tersebut
didasarkan pada kondisi spesifik, antara lain atas pertimbangan
karena di daerah tersebut terdapat biota dan atau spesies sensitif
yang perlu dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah yang tingkat
kualitas airnya lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)

© Legal Agency
- 23 -

Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air meliputi,
antara lain, rencana pemantauan, pengharmonisasian operasi
pemantauan kualitas air, pelaporan dan pengelolaan data hasil
pemantauan.

Pasal 14
Ayat (1)
Status mutu air merupakan informasi mengenai tingkatan mutu
air pada sumber air dalam waktu tertentu.
Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian
pencemaran air, perlu diketahui status mutu air (the state of the
water quality). Untuk itu maka dilakukan pemantauan kualitas air
guna mengetahui mutu air, dengan membandingkan mutu air.
Tidak memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil
pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya lebih buruk dari baku
mutu air.
Memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan
kualitas air tingkat kualitas airnya sama atau lebih baik dari baku
mutu air.
Dalam hal metoda baku penilaian status mutu air belum
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dapat digunakan
kaidah ilmiah.
Contoh parameter yang belum tercantum dalam kriteria mutu
air sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini
antara lain, parameter-parameter bio-indikator dan toksisitas.
Ayat (2)
Kondisi cemar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan,
seperti tingkatan cemar berat, cemar sedang, dan cemar ringan.
Demikian pula kondisi baik dapat dibagi menjadi sangat baik dan
cukup baik. Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara lain dengan
menggunakan suatu indeks.

Pasal 15
Ayat (1)
Penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air
yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, meliputi pula program kerja pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air secara berkesinambungan.
Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang

© Legal Agency
- 24 -

direncanakan untuk dapat diwujudkan dalam jangka waktu tertentu


melalui penyelenggaraan program kerja dalam rangka pengedalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang berwenang
melaksanakan akreditasi laboratorium di bidang pengelolaan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan laboratorium oleh Menteri sebagai laboratorium
rujukan dimaksudkan antara lain untuk menguji kebenaran teknik,
prosedur, metode pengambilan dan metode analisis sampel.
Kesimpulan yang ditetapkan tersebut menjadi alat bukti tentang
mutu air dan mutu air limbah.

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Inventarisasi adalah pengumpulan data dan informasi yang
diperlukan untuk mengetahui sebab dan faktor yang menyebabkan
penurunanan kualitas air.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.

© Legal Agency
- 25 -

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inventarisasi sumber pencemaran air diperlukan antara
lain untuk penetapan program kerja pengendalian pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaran pada suatu sumber air dapat
berubah dari waktu ke waktu mengingat antara lain karena fluktuasi
debit atau kuantitas air dan perubahan kualitas air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Pengenaan retribusi tersebut sebagai konsekuensi dari
penyediaan sarana pengolahan (pengelolaan) air limbah yang
disediakan oleh Kabupaten/ Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25
Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat disebabkan antara lain
kebocoran atau tumpahan bahan kimia dari tangki penyimpanannya
akibat kegagalan desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan
atau bencana alam.

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud, antara lain, adalah
Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.

© Legal Agency
- 26 -

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 28
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan
perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium
kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing),
proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah
(TPA).

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air yang dimaksud dapat berupa data, keterangan, atau
informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan
atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya
memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi
hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun
pemantauan perubahan kualitas air, dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan
maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan
antara lain dalam proses penilaian dan atau perumusan kebijaksanaan
pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran air, dan
melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.

Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas

© Legal Agency
- 27 -

Huruf b
Air pada sumber air dan air yang terdapat di luar hutan lindung
dilakukan pengendalian terhadap sumber yang dapat menimbulkan
pencemaran. Hal ini karena terdapat berbagai kegiatan yang akan
mengakibatkan penurunan kualitas air. Namun, penurunan kualitas air
tersebut masih dapat ditenggang selama tidak melampaui baku mutu
air.

Pasal 32
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan
perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium
kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing),
proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah
(TPA).
Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 33
Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik
atau papan pengumuman yang meliputi antara lain:
a. status mutu air;
b. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem;
c. sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya;
d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau
e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan
upaya pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian
pencemaran air.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan format terminal data
(data base) pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Air limbah dari suatu usaha dan atau kegiatan tertentu dapat
dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanaman tertentu dengan cara
aplikasi air limbah pada tanah (land aplication), namun dapat berisiko
terjadinya pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan atau air.

© Legal Agency
- 28 -

Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung
jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan
dilaksanakannya.
Aplikasi pada tanah perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu
secara spesifik berkenaan dengan kandungan dan debit air limbah,
sifat dan luasan tanah areal pertanaman yang akan diaplikasi, dan
jenis tanamannya, untuk mengetahui cara aplikasi yang tepat
sehingga dapat mencegah pencemaran tanah, air tanah, dan air serta
penurunan produktivitas pertanaman.
Ayat (2)
Persyaratan penelitian dimaksud merupakan persyaratan
minimal yang harus dipenuhi. Oleh karena itu maka persyaratan lain
berdasarkan penelitian yang dianggap perlu dimungkinkan untuk
ditambahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pedoman pengkajian meliputi, antara lain, petunjuk mengenai
rencana penelitian, metode, operasi, dan pemeliharaan.

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Pembuangan air limbah adalah pemasukan air limbah secara
pelepasan (discharge) bukan secara dumping dan atau pelepasan
dadakan (shock discharge).
Pembuangan air limbah yang berupa sisa dari usaha dan atau
kegiatan penambangan, seperti misalnya "air terproduksi" (produced
water), yang akan dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga wajib
menaati baku mutu air limbah yang ditetapkan secara spesifik untuk
jenis air limbah tersebut.

© Legal Agency
- 29 -

Air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
bukan merupakan sisa kegiatan PLTA, sehingga tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Masuknya air limbah ke dalam air dapat menurunkan kualitas
air tergantung beban pencemaran air limbah dan kemampuan air
menerima beban tersebut.
Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air
berarti masih memiliki kemampuan untuk menerima beban
pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi
kemampuan air menerima beban tersebut maka akan menyebabkan
pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak memenuhi baku mutu
air.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan
atau slurry.
Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau
penempatan material sisa usaha dan atau kegiatan penambangan
berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.
Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan pipa pembuangan
gas yang mengandung unsur pencemar seperti Ammonium dan atau
uap panas ke dalam air dan atau pada sumber air.

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa
pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih murah dari tarif
baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian penghargaan.

© Legal Agency
- 30 -

Contoh kebijakan disinsentif antara lain dapat berupa


pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih mahal dari tarif
baku, menambah frekuensi swapantau, dan mengumumkan kepada
masyarakat riwayat kinerja penaatannya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum mampu
melakukan pengawasan sendiri, belum ada pejabat pengawas
lingkungan daerah, belum tersedianya sarana dan prasarana atau
daerah tidak melakukan pengawasan.

Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak
membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro kimia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48

© Legal Agency
- 31 -

Sanksi administrasi meliputi teguran tertulis, penghentian sementara,


dan pencabutan izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 49
Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk mengakhiri terjadinya
pelanggaran, menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh
pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan
atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan tersebut di atas dapat
diganti dengan uang paksa (dwangsom).

Pasal 50
Ayat (1)
Pengaturan ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum
lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain
diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan
tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup
yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Tindakan tertentu yang dimaksud antara lain melakukan
penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan
lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk
mencegah timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

© Legal Agency
- 32 -

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4161

© Legal Agency
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995

TENTANG

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat


bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya
perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke
lingkungan;
b.bahwa kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan
pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c.bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air
sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan
Pemerintahan Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air perlu ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri;

Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926. Stbl.


Nomor 226, setelah diubahn dan ditambah terakhir dengan Stbl.
1940 Nomor 450);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3046);
4. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun
1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3257);
6. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3299);
SALINAN

7. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata


Pengaturan Air (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3225);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994
tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
INDUSTRI.

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang
setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi
untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasan industri;
2. Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
3. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri
yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan;
4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar
dan beban pencemaran;
5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;
6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;
7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke lingkungan
SALINAN

8. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;


9. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
10. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Daerah Khusus Ibukota atau
Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair untuk jenis industri :


1. Soda kostik/klor adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran A I dan Lampiran
B I;
2. Pelapisan Logam adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A II dan
Lampiran B II;
3. Penyamakan kulit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A III dan
Lampiran B III;
4. Minyak sawit adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IV dan Lampiran B
IV;
5. Pulp dan kertas adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A V dan Lampiran
B V;
6. Karet adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VI dan Lampiran B VI;
7. Gula adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VII dan Lampiran B VII;
8. Tapioka adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A VIII dan Lampiran B
VIII;
9. Tekstil adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A IX dan Lampiran B IX;
10. Pupuk urea/nitrogen adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A X dan
Lampiran B X;
11. Ethanol adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XI dan Lampiran B XI;
12. Mono Sodium Glutamate (MSG) adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A
XII dan Lampiran B XII;
13. Kayu lapis adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIII dan Lampiran B
XIII;
14. Susu, makanan yang terbuat dari susu adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran A XIV dan Lampiran B XIV;
15. Minuman ringan adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XV dan
Lampiran B XV;
16. Sabun, deterjen, dan produk-produk minyak nabati adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran A XVI dan Lampiran B XVI;
17. Bir adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVII dan Lampiran B XVII;
18. Baterai sel kering adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XVIII dan
Lampiran B XVIII;
19. Cat adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XIX dan Lampiran B XIX;
20. Farmasi adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XX dan Lampiran B
XX;
21. Pestisida adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran A XXI dan Lampiran B
XXI;
SALINAN

(2) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini, ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis
industri pestisida formulasi pengemasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir
20 dan butir 21 pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar.
(3) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
yang :
a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya Keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran B selambat-lambatnya
tanggal 1 Januari tahun 2000.
b. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair Lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000.

(4) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini, maka berlaku baku mutu limbah cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran B.

(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimanan tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap
saat tidak boleh dilampaui.

(6) Perhitungan tentang debit limbah cair maksimum dan beban pencemaran maksimum
adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran D Keputusan ini.

(7) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau
secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga
pemerintah non departemen yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
untuk jenis-jenis industri di luar jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1).
(2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
belum ditetapkan, Gubernur dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran C Keputusan ini.
(3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan diluar parameter yang tercantum
dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaiman tersebut dalam Lampiran A dan B
keputusan ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
SALINAN

(5) Menteri memberikan tanggapan dan/atau persetujuan selambat-lambatnya dalam


jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) pasal ini.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) pasal ini, tidak
diberikan tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap
disetujui.
Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu LImbah Cair lebih ketat atau sama
dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan
ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini.

Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan industri mensyaratkan Baku


Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu LImbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan industri tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

Setiap penanggung jawab kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Keputusan ini wajib :
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit
harian limbha cair tersebut;
d. Tidak melakukan pengeceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air
bekas pendingin ke dalam aliran pembuangan limbah cair ;
e. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam
sebulan.
f. Memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
g. Melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya.
h. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu
Limbah Cair, produksi bulanan senyatanya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, e, g
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Gubernur, instansi
teknis yang membidangi industri lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
SALINAN

Pasal 7

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan Persyaratan
Pasal 26 Peraturan Pemerintahan Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder
Ordonnantie).
Pasal 8

Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan sebelum keputusan ini :
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku
Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah
ditetapkannya keputusan ini.

Pasal 9

Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 10

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995

Menteri Negara Lingkungan Hidup

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya

Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup


Bidang Pengembangan Pengawasan
Dan Pengendalian,

ttd

Hambar Martono
SALINAN

LAMPIRAN A.I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTU INDUSTRI SODA KOSTIK

PROSES
PROSES RAKSA (Hg) MEMBRAN/DIAFRAGMA
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L) MAKSIMUM
(Kg/ton)
COD 150 1,5 kg/ton 150 1,5
TSS 50 0,5 kg/ton 50 0,5
Raksa (Hg) 0,005 0,05 g/ton - -
Timbal (Pb) - - 3,0 0,03
Tembaga (Cu) - - 0,3 0,003
Seng (Zn) - - 2,0 0,02
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 10 m per ton produk soda kostik 10 m3 per ton produk soda kostik
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan
dalam kg atau gram parameter per ton produk soda kostik.
SALINAN

LAMPIRAN A.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

PELAPISAN TEMBAGA ( Cu ) PELAPISAN NIKEL ( Ni )


PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L) MAKSIMUM
( gram/m2 ) ( gram/m2 )
TSS 60 6,0 60 6,0
Kadmium ( Cd ) 0,05 0,005 0,05 0,005
Sianida ( CN ) 0.5 0,05 0,5 0,05
Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8
Nikel ( Ni ) 3,0 0,3 - -
Seng (Zn) - - 5,0 0,5
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
100 L per m2 Produk pelapisan
Debit Limbah 100 L per m2 produk pelapisan logam logam
Maksimum

PELAPISAN KROM ( Cr ) PELAPISAN & GALVANISASI


PARAMETER KADAR BEBAN SENG (Zn) BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN KADAR PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
(gram/m2) (mg/L) (gram/m2)
TSS 60 6,0 60 6,0
Kadmium (Cd) 0,05 0,005 0,05 0,005
Sianida (CN) 0,5 0,05 0,5 0,05
Logam Total 8,0 0,8 8,0 0,8
Krom Total (Cr) 2,0 0,2 - -
Krom Heksavalen
(Cr+6) 0,3 0,03 - -
Seng (Zn) - - 2,0 0,2
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 100 L per m2 produk pelapisan logam 100 L per m2 produk pelapisan logam
Maksimum
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan
dalam gram parameter per m2 produk pelapisan logam.

LAMPIRAN A.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 150 10,5
COD 300 21,0
TSS 150 10,5
Sulfida (sbg H2S) 1,0 0,07
Krom Total (Cr) 2,0 0,14
Minyak dan Lemak 5,0 0,35
Amonia Total 10,0 0,70
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah Maksimum 70 m ton bahan baku

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah).
SALINAN

LAMPIRAN A.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM
(kg/ton)
BOD5 250 1,5
COD 500 3,0
TSS 300 1,8
Minyak dan Lemak 30 0,18
Amonia Total (sebagai NH3-N) 20 0,12
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah Maksimum 6 m ton bahan baku

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
milligram parameter per Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per tom produk minyak sawit.
SALINAN

LAMPIRAN A.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS

PARAMETER PABRIK PULP PABRIK KERTAS PABRI PULP & KERTAS


KADAR BEBAN KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
(mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton) (mg/L) (kg/ton)
BOD5 150 15 125 10 150 25,5
COD 350 35 250 20 350 59,5
TSS 200 20 125 10 150 25,9
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 100 m3 per ton pulp kering 80 m3 per ton produk kertas kering 170 m3 per ton produk kertas kering
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pulp dan atau kertas kering.
SALINAN

LAMPIRAN A.VI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 150 6,0
COD 300 12,0
TSS 150 6,0
Amonia Total (sebagai NH3-N) 10 0,4
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
3
Maksimum 40 m per ton produk karet

Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
milligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk karet kering.

LAMPIRAN A.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 100 4,0
COD 250 10,0
TSS 175 7,0
Sulfida (s ebagai H2 S) 1,0 0,04
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
Maks imum 40 m3 per ton produk karet
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk gula.

LAMPIRAN A.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 200 12,0
COD 400 24,0
TSS 150 9,0
Sianida (CN) 0,5 0,03
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
Maksimum 60 m3 per ton produk

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
milligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tapioka.
SALINAN

LAMPIRAN A.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 85 12,75
COD 250 37,5
TSS 60 9,0
Fenol Total 1,0 0,15
Krom Total (Cr) 2,0 0,30
Minyak dan Lemak 5,0 0,75
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
Maksimum 150 m3 per ton produk tekstil

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil.
SALINAN

LAMPIRAN A.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI UREA

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 100 1,5
COD 250 3,75
TSS 100 1,5
Minyak dan Lemak 25 0,4
Amonia Total (sbg. NH3-N) 50 0,75
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
Maksimum 15 m3 per ton produk pupuk urea

Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pupuk urea.

LAMPIRAN A.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 150 10,5
TSS 400 28,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
Maksimum 70 m3 per ton produk pupuk ethanol
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk ethanol.

LAMPIRAN A.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI


MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 100 12
COD 250 30
TSS 100 12
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
3
Maksimum 120 m per ton produk MSG
Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk MSG.
SALINAN

LAMPIRAN A.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS

PARAMETER KADAR BEBAN


MAKSIMUM PENCEMARAN
( mg/L ) MAKSIMUM
( kg/ton )
BOD5 100 0,28 kg/m3
3
COD 250 0,70 kg/m
3
TSS 100 0,28 kg/m
3
Fenol Totol 1,0 2,8 g/m
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah
Maksimum 2,8 m3 per ton produk kayu lapis

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg atau gram parameter per ton m3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
4. 2,8 m3 air limbah per m3 produk = 10 m3 air limbah per 3,6 m3 produk dengan
ketebalan 3,6 milimeter.
SALINAN

LAMPIRAN A.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU,


MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU

PARAMETER KADAR BEBAN PENCEMARAN


MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L )
PABRIK SUSU PABRIK
DASAR TERPADU
( kg/ton ) ( kg/ton )
BOD5 40 0,14 0,2
COD 100 0,35 0,5
TSS 50 0,175 0,25
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,5 L per kg total
Maksimum padatan susu 5,0 L per kg produk

Catatan :

1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu
bubuk
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg ke parameter per ton total padatan susu atau produk susu.
SALINAN

LAMPIRAN A.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN

3
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m )
DENGAN DENGAN TANPA TANPA
KADAR PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN
PARAMETER MAKSIMUM BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN
( mg/L ) DENGAN TANPA DENGAN TANPA
PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN
SIROP SIROP SIROP SIROP
BOD5 100 600 500 300 200
TSS 90 540 450 270 180
Minyak dan Lemak 12 72 60 36 24
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
5 L pper 5 L pper 3 L pper 2 L pper
L produk L produk L produk L produk
Debit Limbah Maksimum minuman minuman minuman minuman

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk minuman ringan yang
dihasilkan.
SALINAN

LAMPIRAN A.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DITERJEN, DAN


PRODUK – PRODUK MINYAK NABATI

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg/ton)


KADAR
PARAMETER MAKSIMUM SABUN MINYAK DITERJEN
( mg/L ) NABATI
BOD5 125 2,50 7,50 0,75
COD 300 6,0 18,0 1,8
TSS 100 2,0 6,0 0,6
Minyak dan Lemak 25 0,50 1,5 0,15
Fosfat (sbg PO4) 3 0,06 0,18 0,018
MBAS 5 0,1 0,3 0,03
pH 6,0 - 9,0
3 3 3
20 M 60 M 6M
per ton per ton produk per ton
Debit Limbah Maksimum produk sabun minyak nabati produk diterjen

Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk sabun atau minyak atau diterjen.

LAMPIRAN A.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR


BEBAN
KADAR PENCEMARAN
PARAMETER MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L ) hektoliter
BOD5 75 67,5
COD 170 153,0
TSS 70 63,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 9 hektoliter per hektoliter Bir
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per hektoliter produk bir.

LAMPIRAN A.XVIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING

ALKALINE - MANGAN KARBON - SENG


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L ) (mg/kg produk) ( mg/L produk) (mg/kg produk)
COD - - 30 15
TSS 15 45 10 5
NH3-N Total - - 4 2
Minyak dan Lemak 3 9,0 12 6
Seng (Zn) 0,3 0,9 0,8 0,4
Merkuri (Hg) 0,015 0,045 0,02 0,01
Mangan (Mn) 0,5 1,5 0,6 0,3
Krom (Cr) 0,1 0,3 - -
Nikel (Ni) 0,6 1,8 - -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,0 L per kg baterai 0,5 L per kg baterai
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam miligram parameter per kg produk baterai yang dihasilkan.
SALINAN

LAMPIRAN A.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT

BEBAN
KADAR PENCEMARAN
PARAMETER MAKSIMUM MAKSIMUM
3
( mg/L ) (gram/m )
BOD5 100 80
TSS 60 48
Merkuri (Hg) 0,015 0,012
Seng (Zn) 1,5 1,2
Timbal (Pb) 0,40 0,32
Tembaga (Cu) 1,0 0,80
+6
Krom Heksavalen (Cr ) 0,25 0,20
Titanium (Ti) 0,5 0,40
Kadmium (Cd) 0,10 0,08
Fenol 0,25 0,20
Minyak dan Lemak 15 12
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 0,8 L per L produk cat water base
Zero Discharge untuk cat solvent base

Catatan :

1. Solvent – Based Cat harus Zero Discharge ; semua limbah cair yang dihasilkan
harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk cat.
SALINAN

LAMPIRAN A.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI

PROSES FORMULASI - FORMULASI


PARAMETER PEMBUATAN (PENCAMPURAN)
BAHAN FORMULA
(MG/L) (MG/L)
BOD5 150 100
COD 500 200
TSS 130 100
TOTAL-N 45 -
FENOL 5,0 -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.

LAMPIRAN A.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA

PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI PENGEMASAN


PARAMETER MAKSIMUM KADAR BEBAN KADAR
MAKSIMUM ( mg/L ) PENCEMARAN MAKSIMUM
( kg/ton produk) ( mg/L )
BOD5 70 1,75 40
COD 200 5,0 100
TSS 50 1,25 25
Fenol 3,0 0,075 2,5
Total-CN 1,0 0,025 -
Tembaga (Cu) 1,5 0,038 -
Bahan Aktif Total 2,0 0,05 1,0
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 25 m3 per ton produk -
Maksimum
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kilogram per ton produk pestisida.

LAMPIRAN B. I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SODA KOSTIK/KHLOR

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram/ton )
TSS 25 75,0
Cl2 tersisa (Khlor) 0,5 1,5
Tembaga (Cu) 1,0 3,0
Timbal (Pb) 0,8 2,4
Seng (Zn) 1,0 3,0
Krom Total (Cr) 0,5 1,5
Nikel (Ni) 1,2 3,6
Raksa (Hg) 0,004 0,01
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 3,0 m per ton produk soda kostik atau
3
Maksimum 3,4 m per ton Cl2

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per ton produk soda kostik.
SALINAN

LAMPIRAN B.II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PELAPISAN LOGAM

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram/M2 )
TSS 20 0,4
Sianida Total (CN) tersisa 0,2 0,004
Krom Total (Cr) 0,5 0,010
Krom Heksavalen (Cr+6) 0,1 0,002
Tembaga (Cu) 0,6 0,012
Seng (Zn) 1,0 0,020
Nikel (Ni) 1,0 0,020
Kadmium (Cd) 0,05 0,001
Timabal (Pb) 0,1 0,002
pH 6,0 - 9,0
2
Debit Limbah 20 L per m produk pelapis logam
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m2 produk pelapisan logam.
SALINAN

LAMPIRAN B.III : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

Proses Penyamakan Proses Penyamakan


Menggunakan Krom Menggunakan Daun-daunan
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton ) ( mg/L produk) ( kg/ton )
BOD5 50 2.0 70 2.8
COD 110 4.4 180 7.2
TSS 60 2.4 50 2.0
Krom Total (Cr) 0.60 0.024 0.1 0.004
Minyak dan Lemak 5.0 0.20 5.0 0.20
N Total (sebagai N) 10 0.40 15 0.60
Amoniak Total (sebagai N) 0.5 0.02 0.50 0.02
Sulfida (sebagai S) 0.8 0.032 0.50 0.02
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 40 m 3 / ton bahan baku 40 m 3 / ton bahan baku
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram meter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum pada tabel diatas dinyatakan dalam kg per ton
bahan baku (penggaraman kulit mentah)
3. N Total jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
SALINAN

LAMPIRAN B.IV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINYAK SAWIT

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 100 0,25
COD 350 0,88
TSS 250 0,63
Minyak dan Lemak 25 0,063
Nitrogen Total (sbg N) 50,0 0,125
pH 6,0 - 9,0
2
Debit Limbah 2,5 m per ton produk minyak sawit (CPO)
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk minyak sawit (CPO)
3. Nitrogen Total ádalah jumlah Nitrogen Organik + Amonia Total + NO3 + NO2
SALINAN

LAMPIRAN B.V : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PULP DAN KERTAS

PARAMETER
PROSES/ DEBIT BOD5 COD TSS
PRODUK Kadar Beban Kadar Beban Kadar Beban
Maksimum Pencemaran Maksimum Pencemaran Maksimum Pencemaran
Maksimum Maksimum Maksimum
( mg/ton ) ( kg/ ton ) ( mg/ton ) ( kg/ ton ) ( mg/ton ) ( kg/ ton )
A. PULP
Kraft dikelantang 85 100 8,5 350 29,75 100 8,5
Pulp larut 95 100 9,5 300 28,5 100 9,5
Kraft yang tidak 50 75 3,75 200 10,0 60 3,0
di kelantang
Mekanik (CMP 60 50 3,0 120 7,2 75 4,5
dan Grounwood)
Semi Kimia 70 100 7,0 200 14,0 100 7,0
Pulp Soda 80 100 8,0 300 24,0 100 8,0
De-ink Pulp (dari 60 100 6,0 300 18,0 100 6,0
kertas bekas)
B. KERTAS
Halus 50 100 5,0 200 10,0 100 5,0
Kasar 40 90 3,6 175 7,0 80 3,2
Sparet 175 60 10,5 100 17,5 45 7,8
Kertas yang 35 75 2,6 160 5,6 80 2,8
dikelantang
pH 6,0 - 9,0

Catatan :

Penjelasan kategori proses di atas diberikan sebagai berikut :

A. PULP

1. Proses Kraft (dikelantang dan tidak dikelantang) adalah produksi pulp yang
menggunakan cairan pemasak natrium hidroksida yang sangat alkalis dan
natrium sulfida. Proses Kraft yang dikelantang digunakan pada produksi
kertas karton dan kertas kasar lain yang berwarna. Pengelantangan adalah
penggunaan bahan pengoksidasi kuat yang diikuti dengan ekstraksi alkali
SALINAN

untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suatu rentang produk kertas yang
lengkap.
2. Proses Pulp larut adalah produk pulp putih dan sangat murni dengan
menggunakan pemasakan kimiawi yang kuat. Pulpnya digunakan untuk
pembuatan rayon dan produk lain yang mensyaratkan hampir tidak
mengandung logam.
3. Proses grounwood adalah penggunaan defibrasi mekanis (pemisahan serat)
dengan menggunakan gerinda atau penghalus (refiners) dari batu. CMP
(proses pembuatan pulp kimia mekanis) menggunakan cairan pemasak kimia
untuk memasak kayu secara parsial sebelum pemisahan serta secara mekanik.
TMP (proses pembuatan pulp termo-mekanis) merupakan pemasakan singkat
dengan menggunakan kukus dan kadang-kadang bahan kimia pemasak,
sebelum tahap mekanis.
4. Proses semi kimia merupakan penggunaan cairan pemasak sulfit netral tanpa
pengelantangan untuk menghasilkan produk kasar untuk lapisan dalam karton
gelombang berwarna coklat.
5. Proses soda adalah produksi pulp dengan menggunakan cairan pemasak
natrium hidroksida yang sangat alkalis.
6. Proses penghilangan tinta (De-ink) merupakan salah satu proses pembuatan
kertas yang menggunakan kertas bekas yang didaur ulang melalui proses
penghilangan tinta dengan kondisi alkali dan kadang-kadang dibuat cerah atau
diputihkan untuk menghasilkan pulp sekunder, sering kali berkaitan dengan
proses konvensional.

B. KERTAS

1. Kertas halus berarti produksi kertas halus yang dikelantang seperti kertas
cetak dan kertas tulis.
2. Kertas besar berarti produksi kertas berwarna ciklat, seperti lineboard, kertas
karton berwarna coklat atau karton.
3. Kertas lain berarti produksi kertas yang dikelantang selain yang tercantum
dalam golongan halus, seperti kertas koran.
SALINAN

LAMPIRAN B.VI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KARET

Proses Penyamakan
LATEKS PEKAT Menggunakan Daun-daunan
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton ) ( mg/L produk) ( kg/ton )
BOD5 100 4 60 2,4
COD 250 10 200 8
TSS 100 4 100 4
Amonia Total (sebagai NH3-N) 15 0,6 5 0,2
Nitrogen Total (sebagai N) 25 1,0 10 0,4
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
3 3
Debit Limbah 40 m / ton produk karet 40 m / ton produk karet
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk karet kering atau lateks
padat
3. Nitrogen Total jumlah N Organik + Amonia Total + NO3 + NO2
SALINAN

LAMPIRAN B.VII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI GULA

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 60 0,3
COD 100 0,5
TSS 50 0,25
Minyak dan Lemak 5 0,025
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0025
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 5,0 m per ton produk gula
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk gula.
3. Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.
SALINAN

LAMPIRAN B.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TAPIOKA

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 150 4,5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 30 m per ton produk tapioka
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tapioka.
SALINAN

LAMPIRAN B.IX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI TEKSTIL

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM ( kg/ton)


PARAMETER KADAR Tekstil Pencucian Perekatan Pengikisan Pemucatan Merserisasi Pencelupan Pencetakan
MAKSIMUM Terpadu Kapas ( Sizing ) Pemasakan ( Bleching ) ( Dyeing ) ( Printing )
Pemintalan Desizing (Klering
(mg/L) Penenunan Soouring)
BOD5 60 6 0,42 0,6 1,44 1,08 0,9 1,2 0,36
COD 150 15 1,05 1,5 3,6 2,7 2,25 3,0 0,9
TSS 50 5 0,35 0,5 1,2 0,9 0,75 1,0 0,3
Fenol Total 0,5 0,05 0,004 0,005 0,012 0,009 0,008 0,01 0,003
Krom Total (Cr) 1,0 0,1 - - - - - 0,02 0,006
Amonia Total 8,0 0,8 0,056 0,08 0,192 0,144 0,12 0,16 0,048
NH3-N)
Sulfida (sbg S) 0,3 0,03 0,002 0,003 0,007 0,005 0,005 0,006 0,002
Minyak dan 3,0 0,3 0,021 0,03 0,07 0,054 0,045 0,06 0,018
Lemak
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 100 7 10 24 18 15 20 6
maksimum
3
( m ton produk )

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil.
SALINAN

LAMPIRAN B.X : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PUPUK

PARAMETER PUPUK UREA PUPUK AMONIAK


NITROGEN LAIN
BEBAN BEBAN BEBAN
PENCEMARAN PENCEMARAN PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM MAKSIMUM
( kg/ton ) ( kg/ton ) ( kg/ton )
COD 3,0 3,0 0,30
TSS 1,5 3,0 0,15
Minyak dan Lemak 0,3 0,30 0,03
NH3-N 0,75 1,50 0,30
TKN 1,5 2,25 -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit limbah maksimum 15 m 3 per ton 15 m 3 per ton 15 m 3 per ton
produk produk produk produk

Catatan :
1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir.
2. Beban limbah cair (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit limbah.
3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untuk industri pupuk urea dan
pupuk nitrogen lain yang memproduksi kelebihan amoniak.

LAMPIRAN B.XI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI ETHANOL

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 100 1,5
COD 300 4,5
TSS 100 1,5
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0075
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 15 m per ton produk tapioka
Maksimum
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg per ton produk ethanol.

LAMPIRAN B.XII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI


MONO SODIUM GLUTAMATE (MSG)

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 80 9,6
COD 150 18,0
TSS 100 12,0
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 120 m per ton produk MSG
Maksimum

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk MSG.
SALINAN

LAMPIRAN B.XIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI KAYU LAPIS

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram/m3 produk)
BOD5 75 22,5
COD 125 37,5
TSS 50 15
Fenol 0,25 0,08
Amonia Total ( sbg N ) 4 1,2
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 0,30 m3 per m3 produk kayu lapis
Maksimum

Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.

LAMPIRAN B.XIV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SUSU,


MAKANAN YANG TERBUAT DARI SUSU
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM
KADAR PABRIK SUSU PABRIK SUSU
PARAMETER MAKSIMUM DASAR TERPADU
( mg/L ) ( kg/ton) ( kg/ton)
BOD5 40 0,08 0,06
COD 100 0,20 0,15
TSS 50 0,10 0,075
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 2,0 L per kg 1,5 L per kg
Maksimum total padatan produk susu
SALINAN

Catatan :

1. Pabrik susu dasar menghasilkan susu cair dan krim, susu kental manis dan atau
susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produksi dari susu seperti keju, mentega dan atau
es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakn dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg per ton total padatan susu atau produk susu.

LAMPIRAN B.XV : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI MINUMAN RINGAN

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram / m3 )


KADAR DENGAN DENGAN TANPA TANPA
PARAMETER MAKSIMUM PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN
BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN
DENGAN TANPA DENGAN TANPA
PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN
( mg/L ) SIROP SIROP SIROP SIROP
BOD5 50 175 140 85 60
TSS 30 105 84 51 36
Minyak dan Lemak 6 21 17 10,2 7,2
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 3,5 L per L 2,8 L per L 1,7 L per L 1,2 L per L
Maksimum produk minuman produk minuman produk minuman produk minuman

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk minuman ringan yang
dihasilkan
SALINAN

LAMPIRAN B.XVI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI SABUN, DETERJEN, DAN


PRODUK-PRODUK MINYAK NABATI

BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (kg / ton )


KADAR
PARAMETER MAKSIMUM SABUN MINYAK DITERJEN
NABATI
( mg/L )
BOD5 75 0,60 1,88 0,075
COD 180 1,44 4,50 0,180
TSS 60 0,48 1,50 0,06
Minyak dan Lemak 15 0,120 0,375 0,015
Fosfat (PO4) 2 0,016 0,05 0,002
MBAS 3 0,024 0,075 0,003
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 8 m3 per ton 25 m3 per ton 1 m3 per ton
Maksimum produk sabun produk minyak nabat i produk diterjen

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk sabun, minyak nabati dan
diterjen.

LAMPIRAN B.XVII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BIR

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( m g/L ) ( gram / hektoliter )
BOD5 40 24,0
COD 100 60,0
TSS 40 24,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 6 hektoliter per hektoliter bir
Maksimum
SALINAN

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram hektoliter produk bir.

LAMPIRAN B.VIII : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI BATERAI KERING

ALKALINE - MANGAN KARBON - SENG


KADAR BEBAN KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L ) ( mg / kg produk ) ( mg/L ) ( mg / kg produk )
COD - - 15 3,75
TSS 8 12 10 2,5
NH3 Total - - 1 0,25
Minyak dan Lemak 2 3,0 4 1,0
Seng (Zn) 0,2 0,3 0,3 0,075
Merkuri (Hg) 0,01 0,015 0,01 0,0025
Mangan (Mn) 0,3 0,45 0,3 0,075
Krom (Cr) 0,06 0,09 - -
Nikel (Ni) 0,4 0,6 - -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
Debit Limbah 1,5 L per kg 0,25 L per kg
Maksimum baterai baterai

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per kg produk baterai.
SALINAN

LAMPIRAN B.XIX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI CAT

KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram / M3 )
BOD5 80 40
TSS 50 25
Merkuri (Hg) 0,01 0,005
Seng (Zn) 1,0 0,50
Timbal (Pb) 0,30 0,15
Tembaga (Cu) 0,80 0,40
Krom Heksavalen (Cr+6) 0,20 0,10
Titanium (Ti) 0,40 0,20
Kadmium (Cd) 0,08 0,04
Fenol 0,20 0,10
Minyak dan Lemak 10 5
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 0,5 L per L produk cat water base
Maksimum Zero Discharge untuk cat solvent base

Catatan :

1. Solvent-Based Cat harus Zero Discharge ; semua limbah cair yang dihasilkan
harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh di buang diperairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk cat.
SALINAN

LAMPIRAN B.XX : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI FARMASI

PROSES PEMBUATAN FORMULASI


PARAMETER BAHAN FORMULA PENCAMPURAN
( mg/L ) ( mg/L )
BOD5 100 75
COD 300 150
TSS 100 75
TOTAL-N 30 -
FENOL 1,0 -
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
SALINAN

LAMPIRAN B.XXI : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP 51-/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR UNTUK INDUSTRI PESTISIDA

PEMBUATAN PESTISIDA TEKNIS FORMULASI PENGEMASAN


KADAR BEBAN KADAR
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg / ton produk ) ( mg/L )
BOD5 30 0,60 15
COD 100 2,00 50
TSS 25 0,50 15
Fenol 2 0,04 1,5
Bensena 0,1 0,002 0
Toluena 0,1 0,002 0
Total-CN 0,8 0,016 0
Tembaga (Cu) 1,0 0,02 0
Total-NH3 1,0 0,02 -
Bahan Aktif Total 1,0 0,02 0,05
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 20 m per ton
Maksimum produk

Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk pestisida.
SALINAN

LAMPIRAN C : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG : BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN INDUSTRI
TANGGAL : 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR

GOLONGAN BAKU
NO PARAMETER SATUAN MUTU LIMBAH CAIR
I II
FISIK
1 Temperatur der. C 38 40
2 Zat padat larut mg / L 2000 4000
3 Zat padar tersuspensi mg / L 200 400
KIMIA
1 pH 6,0 sampai 9,0
2 Besi terlarut (Fe) mg / L 5 10
3 Mangan terlarut (Mn) mg / L 2 5
4 Barium (Ba) mg / L 2 3
5 Tembaga (Cu) mg / L 2 3
6 Seng (Zn) mg / L 5 10
+6
7 Krom Heksavalen (Cr ) mg / L 0,1 0,5
8 Krom Total (Cr) mg / L 0,5 1
9 Cadmium (Cd) mg / L 0,05 0,1
10 Raksa (Hg) mg / L 0,002 0,005
11 Timbal (Pb) mg / L 0,1 1
12 Stanum mg / L 2 3
13 Arsen mg / L 0,1 0,5
14 Selenum mg / L 0,05 0,5
15 Nikel (Ni) mg / L 0,2 0,5
16 Kobalt (Co) mg / L 0,4 0,6
17 Slanida (CN) mg / L 0,05 0,5
18 Sulfida (H2S) mg / L 0,05 0,1
19 Fluorida (F) mg / L 2 3
20 Klorin bebas (Cl2) mg / L 1 2
21 Amonia bebas (NH3-N) mg / L 1 5
22 Nitrat (NO3-N) mg / L 20 30
23 Nitrit (NO2-N) mg / L 1 3
24 BOD5 mg / L 50 150
25 COD mg / L 100 300
26 Senyawa aktif biru metilen mg / L 5 10
27 Fenol mg / L 0,5 1
28 Minyak Nabati mg / L 5 10
29 Minyak Mineral mg / L 10 50
30 Radioaktivitas **) mg / L - -
SALINAN

Catatan :

*) Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak
diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air secara langsung diambil
dari sumber air kadar parameter limbah tersebut adalah limbah maksimum yang
diperbolehkan .
**) Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.

Menteri Negara Lingkungan Hidup

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian,

ttd

Hambar Martono
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNAGN HIDUP
NOMOR : KEP-52/MENLH/X/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL,

Menimbang : a. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat


bagi dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke
lingkungan ;
b. bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair dengan menetapkan Baku Mutu
Limbah Cair ;
c. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air
sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Hotel ;

Mengingat : 1. Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonantie) Tahun 1926 , stbl.


Nomor 226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan stbl.
1940 Nomor 14 dan Tahun 450;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3046);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3215);
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata
(Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3427);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan
Sebagian Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan
kepada Daerah Tingkat I (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor
34, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3144);
SALINAN

7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993
tentang pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993
tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri
Negara serta susunan Organisasi Staf Menteri Negara;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994
tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN
HOTEL

Pasal 1

Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :


1. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh
bangunan untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara
komersial yang meliputi hotel berbintang dan hotel melati.
2. Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau
seluruh bangunan yang untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan
dan minum serta jasa lainnya bagi umum.
3. Baku Mutu Limbah Cair Hotel adalah batas maksimum limbah cair yang
diperbolehkan di buang ke lingkungan.
4. Limbah Cair Hotel adalah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel
yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan.
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota, atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3, 4, 5 adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Bagi kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
SALINAN

a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah


dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaiman
dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
b. Tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000.

(3) Bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap
perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini
berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;

(4) Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kuranngnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3

(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter


tambahan di luar parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Menteri memberikan tanggapan dan atau persetujuan selambat-lambatnya dalam


jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja dihitung sejak tanggal diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak
diberikan tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebuut dianggap
disetujui.

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama
dengan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu
Limbah Cair seperti dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 5

Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
SALINAN

Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab kegiatan hotel wajib untuk :

a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan;

b. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak
terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;

c. Memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit
harian limbah cair tersebut;

d. Memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;

e. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut


dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam
sebulan;

f. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan e sekurang-
kurangnya tiga bulan sekali kepada Bapedal, Gubernur, dan instansi teknis yang
membidangi hotel, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan
perundang-undangan yang belaku.

Pasal 7

Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan persyaratan
Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonantie).

Pasal 8

(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini :

1. Baku Mutu Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku ;
SALINAN

2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgat daripada Baku Mutu Limbah Cair
sebagimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan
Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran Keputusan in
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd

Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian

Ttd

Hambar Martono
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 52 Tahun 1995
Tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang: 1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
2. bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah
ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan
Hotel;
Mengingat: 1. Undang-undang Gangguan (Hinder ordonantie) Tahun 1926, stbl. Nomor 226,
setelah diubah dan ditambah terakhir dengan stbl. 1940 Nomor 14 dan Tahun 450;
2. Undang-undang Nomor Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046)
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Negara Nomor 3046)
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38.Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215)
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3144);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air ( Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3409);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Tahun 1993 nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang kedudukan,
Tugas pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan organisasi staf
Menteri Negara ;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU


LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk
menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara komersial yang meliputi hotel
berbintang dan hotel melati.
2. Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan
yang untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi
umum.
3. Baku Mutu Limbah cair Hotel Adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan.
4. Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel yang
dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Bapedal adalah Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus ibukota, atau
Gubernur Kepala Daerah Istimewa.

Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3 ,4 ,5 adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi telah dikeluarkannya
keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan
wajib memenuhi Baku mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
2. tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi
Baku Mutu Limbah cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal
1 Januari tahun 2000;
3. Bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya
dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;
4. Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam lima tahun.

Pasal 3
(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter tambahan di luar
parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
keputusan ini.
(2) Menteri memberikan tanggapan dan atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan
tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.

Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu
Limbah Cair seperti dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 5
Analis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair Lebih ketat
atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan
hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab kegiatan hotel wajib untuk:
1. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak
melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan;
2. membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan limbah cair ke lingkungan;
3. memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah
cair tersebut;
4. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
5. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran
keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
6. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan e sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada
Bapedal, Gubernur, dan isntansi teknis yang membidangi hotel, dan instansi lain yang dianggap
perlu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan persyaratan Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Wajib dicantumkan
dalam izin Undang-undang gangguan (Hinder Ordonantie)

Pasal 8
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair
seperti yang tercantum dalam Lampiran keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkannya keputusan ini.

Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja

LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)


BOD5 75
COD 100
TSS 100
pH 6,0 – 9,0

LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)


BOD5 30
COD 50
TSS 50
pH 6,0 – 9,0
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : 1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
2. bahwa kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair yang dibuang ke
lingkungan dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan
Rumah Sakit;
3. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dan untuk
melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan
dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah
Sakit;

Mengingat : 1. Undang-undang gangguan (Hinder Ordonnantie) Tahun 1926, Stbl. Nomor


226, setelah diubah dan ditambah terakhir dengan Stbl. 1940 Nomor 14 dan
Nomor 450;
2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Tenaga Atom (lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 124, tambahan
Lembaran negara Nomor 2722;
3. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di
Daerah (lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, tambahan lembaran
Negara Nomor 56);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan (Lembaran
Negara tahun 1992 Nomor 100, tambahan Lembaran negara Nomor 3495);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kesehatan Kepala daerah (Lembaran
Negara Tahun 1987 Nomor 9 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3347);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di daerah (Lembaran negara Tahun 1988 Nomor 10,
Tambahan Nomor 3373);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);
10. Peraturan Pemerintah nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran
negara Tahun 1991 Nomor 24, tambahan lembaran negara Nomor 3409);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538);
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan kabinet pembangunan VI;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan
Organisasi Staf Menteri Negara;
14. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU


MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan
kesehatan serta dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian;
2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas;
3. Baku Mutu Limbah cair Rumah Sakit adalah batas maksimal limbah cair yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
5. Bapedal adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;

Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan rumah sakit adalah sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini.
(2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara
berkala sekurang-kurangya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 3
Bagi setiap rumah sakit yang:
1. Telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku baku Mutu Limbah cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku mutu limbah cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2000;
2. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperaasi
setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku baku Mutu Limbah Cair lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Limbah cair lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun
2000;
3. Tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini
berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran B.

Pasal 4
Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku mutu Limbah cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan:
1. Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit untuk parameter nonradioaktivitas
2. Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom nasional untuk parameter radioaktivitas.
3. Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diberikan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya
permohonan.
4. Apabila dalam jangka waktu senagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan
tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan dianggap telah disetujui.
Pasal 5
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan baku Mutu limbah cair lebih ketat atau sama dengan
baku Mutu limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini, maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 6
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit mensyaratkan baku Mutu
limbah cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) dan/atau pasal 5 ayat (1), maka bagi kegiatan rumah sakit tersebut berlaku Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 7
Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:
1. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga mutu limbah
cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah
ditetapkan;
2. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan ke tanah serta terpisah dengan saluran limpahan air hujan;
3. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian
limbah cair tersebut;
4. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini kepada laboratorium yang berwenang sekurang-kurangnya satu kali
dalam sebulan;
5. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud huruf c dan d sekurang-kurangnya tiga bulan sekali
kepada Gubernur dengan tembusan Menteri, Kepala Bapedal, Direktur Jenderal Badan
Tenaga Atom Nasional, instansi teknis yang membidangi rumah sakit serta instansi lain
yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

Pasal 8
(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena
zat radioaktif pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan Badan Tenaga Atom
Nasional.
(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan
bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
(3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radiokatif dalam kegiatannya, tidak
diberlakukan kelompok parameter radioaktivitas dalam pemeriksaan limbah cair rumah
sakit yang bersangkutan

Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pasal 6 Keputusan ini, dan
persyaratan dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang
Pengendalian pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang gangguan
(Hinder Ordinnantie).

Pasal 10
Apabila baku Mutu limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair
dalam Keputusan ini selambat-lambatnya satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 11
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

PARAMETER KADAR MAKSIMUM (mg/L)


BOD5 75
COD 100
TSS 100
pH 6,0 – 9,0

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian
Hambar Martono

LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN RUMAH SAKIT

Menteri Negara Lingkungan Hidup,


Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Salinan sesuai aslinya
Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan dan Pengendalian
Hambar Martono
____________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
N0. 42 Tahun 1996
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan
Minyak Dan Gas Serta Panas Bumi

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang:
a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar
tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair ke lingkungan;
b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;

Mengingat :
1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);
2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di
Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan
Kerja Pada Pemurnian dan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan
untuk menetapkan adanya dan keadaan bahan-bahan galian minyak
dan gas serta panas bumi.
2. Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi
dengan jalan yang lazim;
3. Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di
daratan atau di daerah lepas pantai dengan cara mempergunakan
proses fisika, kimia guna memperoleh dan mempertinggi mutu bahan-
bahan galian minyak dan gas serta panas bumi yang dapat digunakan;
4. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan
penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak (BBM) yang penerimaan /
penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan
pengairan (sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail
Tank Wagon (RTW);
5. Baku Mutu Limbah cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang
adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi;
6. Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan dibidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke
lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan;
7. Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
8. Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
9. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Instansi teknis ada instansi yang bertanggung jawab di bidang
kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;
12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.

Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi:
a. Eksplorasi dan produksi migas adalah sebaga tersebut dalam
Lampiran I dan II;
b. Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III;
c. Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran IV dan V;
d. Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran VI;
e. Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran VII;
(2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali jenis kegiatan pengilangan
minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini
ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar.

Pasal 3
Bagi jenis kegiatan:
a. Eksplorasi dan produksi migas yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagammana dimaksud dalam
Lampiran I;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Lmmbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II;
4) Apabila menggunakan fasilitas pengolahan yang lama untuk
kegiatan pengembangan kilang Migas, berlaku Baku Mutu
Limbab Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. Pengilangan minyak bumi yang:
1) Telah beroperasi sebelum dmtetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setetah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V;
Pasal 4
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setiap saat tidak boleh dilampaui.

Pasal 5
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan
in ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5(lima) tahun.

Pasal 6
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter
yang tercantum dalam Iampiran keputusan ini setelah mendapat
persetujuan dan Menteri.
(2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis yang
bersangkutan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat
lambatnya 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan
persetujuan.
(4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka dianggap Menteri telah
mengeluarkan keputusan penolakan.

Pasal 7
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang
bersangkutan.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini maka berlaku Baku
Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal 8
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 9
Setiap penanggungjawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib untuk:
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang
dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang
telah ditetapkan.
b. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut khusus untuk kegiatan
pengilangan Migas.
c. Memeriksa kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang
kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan.
d. Menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian khusus
kegiatan Pengilangan Migas dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c sekurang-kurangnya
3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Kepala Bapedal, Menteri dan
instansi teknis serta pihak lain yang dipandang perlu.

Pasal 10
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dicantumkan
ke dalam izin yang dianggap relevan untuk pengendalian pencemaran bagi
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan ini.

Pasal 11
Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkan Keputusan ini.

Pasal 12
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

ttd,
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan Pengawasan
dan Pengendalian

ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS
LAMPIRAN III
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


EKSPLORASI DAN PRODUKSI MIGAS

LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


PENGILANGAN MINYAK BUMI
LAMPIRAN V
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


PENGILANGAN MINYAK BUMI

LAMPIRAN VI
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


PENGILANGAN LNG DAN LPG TERPADU
LAMPIRAN VII
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN


INSTALASI, DEPOT DAN TERMINAL MINYAK

______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 9 Tahun 1997
Tentang : Perubahan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 Tentang :
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak Dan Gas
Serta Panas Bumi

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar


tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta makhluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair ke lingkungan;

b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah


Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;

c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;

d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dipandang perlu


menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;

Mengingat :

1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);

2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046);

5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan


Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan


Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah
Lepas Pantai (lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3031);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan


Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai


(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaaran Negara Nomor 3538);

11. Keputusan Presiden RI Nomor 96/M Tahun 1993 tentang Pembentukan


Kabinet Pembangunan VI;

12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang


Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi Staf Menteri Negara;

13. Keputusan Presiden Rpeublik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang


Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.

Pasal I

Mengubah ketentuan pada Lampiran IV dan Lamppiran V Keputusan Menteri


Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-42/MENLH/10/1996 tentang Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi sehingga
seluruhnya berbunyi sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.

Pasal II

Keputusan ini mulai berlaku pada tangga ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal: 22 Appril 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja

__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 3 Tahun 1998
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang :

1. bahwa dalam rangka untuk melestarikan lingkungan hidup agar


tetap bermanfaat bagi manusia serta makhluk hidup lainnya perlu
dilakukan upaya pengendalian terhadap pembuangan limbah cair
ke media lingkungan;

2. bahwa kegiatan pembuangan limbah cair oleh kawasan industri


mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup,
oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian;

3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air


sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air, perlu ditetapkanlebih lanjut Baku Mutu Limabh
Cair;

4. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas dipandang perlu


menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri;

Mengingat :

1. Undang - undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok


Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian


(Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3257);

3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian


Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993


tentang Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi, Susunan Organisasi, dan
Tata Kerja Menteri Negara;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994


tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996


tentang Kawasan Industri;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU
MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

Pasal 1

Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :

1. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan


industri yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang
yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan
Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri;

2. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang


mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan
Industri;

3. Baku Mutu Limbah Cair Kawasan Industri adalah batas maksimum


limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup dari
suatu Kawasan Industri;

4. Limbah Cair Kawasan Industri adalah limbah dalam bentuk cair


yang dihasilkan oleh kegiatan Kawasan Industri yang dibuang ke
lingkungan hidup dan diduga dapat menurunkan kualitas
lingkungan hidup;

5. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan


dengan debit, kadar dan beban pencemar;
6. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke lingkungan hidup;

7. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan


dibuang ke lingkungan hidup;

8. Beban pencemaran maksimum adalah beban pencemaran tertinggi


yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup;

9. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan


hidup;

10. Bapedal adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan;

11. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur


Kepala Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah
Istimewa.

Pasal 2

(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah
mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini.

(2) Bagi Kawasan Industri yang belum mempunyai Unit Pengolah


Limbah Terpusat berlaku Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis
industri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

(3) Kadar maksimum dari masing-masing parameter atau debit limbah


maksimum sebagaimana tersebut dalam lampiran I Keputusan ini
dapat dilampaui sepanjang beban pencemaran maksimum tidak
dilampaui.

(4) Perhitungan beban pencemaran maksimum adalah sebagaimana


dalam Lampiran II Keputusan ini.

(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
5 (lima) tahun.
Pasal 3

Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku


Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini
dengan persetujuan Menteri

Pasal 4

(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini.

(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.

Pasal 5

Apabila analisis mengenai dampak lingkungan untuk kawasan industri


mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kawasan industri
tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang
dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 6

(1) Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri wajib


untuk :

a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah


cair yang dibuang ke lingkungan hidup tidak melampaui
Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;

b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air


sehingga tidak terjadi perembesan limbah cair ke
lingkungan;

c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan
melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;

d. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair


sebagaimana tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini
secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam
sebulan;
e. Memisahkan saluran pembuangan limbah air dengan
limpahan air hujan;

f. Menyampaikan laporan tentang luas lahan yang terpakai,


catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d
sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Kepala
Bapedal, Bapedalda Tingkat I, Bapedalda Tingkat II, Instansi
Teknis yang membidangi kawasan industri, dan instansi lain
yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Pasal 7

Setiap penanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri dilarang


melakukan pengenceran limbah cair.

Pasal 8

Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan kawasan industri sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), telah ditetapkan sebelum Keputusan
ini:

(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;

(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini
wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.

Pasal 9

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Menteri Negara Lingkungan
Hidup,

Ttd

Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998

Menteri Negara Lingkunagan Hidup

Ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian

ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998

BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI,

PENJELASAN TENTANG PERHITUNGAN BEBAN PENCEMARAN MEKSIMUM


UNTUK MENENTUKAN MUTU LIMBAH CAIR

Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan
beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam lampiran I
berdasarkan pada jumlah unsure pencemar yang terkandung dalam aliran limbah
cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :
1. Beban Pencemaran Maksimum
BPM = (Cm)j x Dm x A x f . . . . . . . . . . . . . . . . (II.1.1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran maksimum yang diperbolehkan,
dinyatakan dalam kg parameter per hari.
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam
lampiran I Keputusan ini, dinyatakan dalam mg/l.
Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam
lampiran I, dinyatakan dalam L limbah cair per detik per
hectare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hectare
(HA).
f = factor konversi = 1 kg * 24 x 3600 detik = 0,086 …
(II.1.2)
1.000.000 mg hari

2. Beban pencemaran sebenarnya dihitung dengan cara sebagai berikut :


BPA = (CA)j x (DA) x f . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ( II.2.1)
Keterangan :
BPA = Beban pencemaran sebenarnya, dinyatakan dalam kg
parameter per hari
(CA)j = Kadar sebenarnya parameter j, dinyatakan dalam mg/l.
DA = Debit limbah cair sebenarnya, dinyatakan dalam liter/detik
F = faktor konversi = 0,086

3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM

4. Contoh penerapan
Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair
Kawasan Industri adalah :
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hectare, HA]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/l]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]

Contoh perhitungan :
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500
hektare. Parameter dari Lampiran I yang akan dijadikan contoh perhitungan
adalah parameter (j) BOD.

Dari Lampiran I diketahui :


- Debit maksimum yang di perbolehkan (Dm) = 1 l/det/Ha
Untuk parameter BOD diketahui :
- Kadar maksimum (Cm) = 50 mg/liter
- Beban maksimum yang diperbolehkan = 4,3 kg/hari/HA

Data lapangan
- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA

Beban pencemaran maksimum parameter BOD yang diperbolehkan untuk


kawasan Industri tersebut (persamaan II.1.1) adalah :
BPM = Cm x Dm x f x A
= 50 x 1 x 0,086 x 1.500
= (4,3 kg/hari/HA) x 1.500 HA
= 6.450 kg/hari

Beban pencemaran sebenarnya untuk parameter BOD kawasan industri


tersebt (persamaan II.2.1) adalah :
BPA = CA x DA x f
= 60 x 1.000 x 0,086
= 5.160 kg/hari

Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450
kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998

Menteri Negara Lingkungan


Hidup,

ttd
Sarwono Kusumaatmadja

Salinan sesuai dengan aslinya


Asisten IV Menteri Negara Lingkungan Hidup
Bidang Pengembangan, Pengawasan dan Pengendalian

ttd.
Hambar Martono

______________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 112 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup


(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4161);
6. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR
LIMBAH DOMESTIK.

Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real
estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama;
2. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang
atau dilepas ke air permukaan;
3. Pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air limbah yang dilakukan
secara bersama-sama (kolektif) sebelum dibuang ke air permukaan;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan.

Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen.
(2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk pengolahan air
limbah domestik terpadu.

Pasal 3
Baku mutu air limbah domestik adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 4
Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan perniagaan, dan
apartemen;
b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter persegi; dan
c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih.

Pasal 5
Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu akan ditentukan kemudian.

Pasal 6
(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan
ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.

Pasal 7
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil kajian Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 mensyaratkan baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu
air limbah domestik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan .

Pasal 8
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran),
perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib :
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan air limbah ke lingkungan.
c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air limbah.

Pasal 9
(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilakukan secara
bersama-sama (kolektif) melalui pengolahan limbah domestik terpadu.
(2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu limbah domestik yang berlaku

Pasal 10
(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi tanggung
jawab pengelola.
(2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjuk
pengelola tertentu, maka tanggung jawab pengolahannya berada pada masing-masing penanggung
jawab kegiatan

Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam izin
pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.

Pasal 12
Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 13
Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum keputusan ini :
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik tersebut tetap berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini,
maka baku mutu air limbah domestik tersebut wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 14
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
baku mutu air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Keputusan ini.

Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di: Jakarta


pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA, MSM
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
Lampiran
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Nomor : 112 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK

Parameter Satuan Kadar Maksimum


pH - 6-9
BOD mg/l 100
TSS mg/l 100
Minyak dan Lemak mg/l 10

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA,MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan
Dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 113 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU
KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air,
maka dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha Dan Atau Kegiatan Pertambangan Batu Bara;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran
Negara Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah


Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Analisis


Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3838);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang


Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4161);

7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN
ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:

1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan
penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian batu bara;

2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan
dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang
berlangsung lama;

3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi
penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun
tambang bawah tanah;

4. Kegiatan pengolahan/pencucian batu bara adalah proses peremukan, pencucian,


pemekatan dan atau penghilangan batuan/mineral pengotor dan atau senyawa
belerang dari batu bara tanpa mengubah sifat kimianya;

5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal
dari kegiatan penambangan batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan
pengolahan/pencucian batu bara;

6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan;

7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;

2
8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh
kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal
dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara;

9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada
lokasi penambangan sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi dalam
usaha dan kegiatan penambangan batu bara;

10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap
saat tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terlampaui karena keadaan tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan
kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Gubernur dan Menteri.

Pasal 4

(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih
ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut
dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 5

Apabila hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) atau hasil
kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu
air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
3
Pasal 6

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan
pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang
berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam
lampiran Keputusan ini.

Pasal 7

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam
pengendapan (pond).

Pasal 8

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah dari kegiatan
pertambangan.
(2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berada pada saluran air limbah yang :
a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air
permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air
lain selain dari kegiatan penambangan tersebut.
b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu
bara sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari
kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut.

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan mengajukan
permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada
Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air
limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance).

Pasal 9

Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau
karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali
kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan (point of
compliance) yang baru.

4
Pasal 10

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib untuk :

a. melakukan swapantau kadar parameter baku mutu air limbah, sekurang-


kurangnya memeriksa pH air limbah dan mencatat debit air limbah harian;
b. mengambil dan memeriksa semua kadar parameter baku mutu air limbah
sebagaimana tercantum dalam lampiran keputusan ini secara periodik sekurang-
kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan yang dilaksanakan oleh pihak
laboratorium yang telah terakreditasi;
c. menyampaikan laporan tentang hasil analisis air limbah dan debit harian
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan
sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur dan Menteri, serta
instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Pasal 11

Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 8 dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
yang diterbitkan.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan


Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
yang telah ditetapkan sebelumnya yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan
ketentuan dalam Keputusan ini.
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat
dari baku mutu air limbah dalam Keputusan ini, maka baku mutu air limbah
sebelumnya tetap berlaku.

Pasal 13
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Keputusan ini.

5
Pasal 14
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

6
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH KEGIATAN PENAMBANGAN BATU BARA

Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakaan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003

BAKU MUTU AIR LIMBAH PENGOLAHAN/PENCUCIAN BATU BARA

Parameter Satuan Kadar Maksimum

pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 200
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Volume air limbah maksimum
2m3 per ton produk batu bara

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

8
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 202 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu
Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);

1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);

7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101
tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN
ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN
ATAU TEMBAGA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah
serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan
atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan
meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang;

2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih
emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;

3. Kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga adalah proses


penghancuran, penggilingan, pengapungan, pelindian, pemekatan dan atau
pemurnian dengan metoda fisika dan atau kimia;

2
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan
atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
yang berwujud cair;

5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan
atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah
yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga;

6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;

7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

(1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari :

a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air
yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga
sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung
dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut;
b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang
ke badan air;
c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang.

(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau
tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan ini.

(3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri tersendiri.

(2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.

3
Pasal 4

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini
tidak boleh dilampaui.

(2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena :

a. keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai


dimulainya kembali kegiatan operasi;
b. terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan
bijih emas dan atau tembaga sesuai dengan data penelitian atau data
meteorologi;

maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan
menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.

Pasal 5

(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.

Pasal 6

Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)


atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air
limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini, maka
diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau UKL dan UPL.

4
Pasal 7

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan
penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah
yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 8

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari
usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.

(2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada
pada saluran air limbah yang :

a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke
badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau
sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga
tersebut; dan atau
b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak
terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari
kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan
kepada Bupati/Walikota.

(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan lokasi titik penaatan


sebagai bagian dari izin pembuangan air limbah.

Pasal 9

Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang
dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.

5
Pasal 10

Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga wajib untuk:
a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah,
sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah;

b. mengambil dan memeriksa ke laboratorium yang terakreditasi semua kadar


parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan;

c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf
b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

Bupati/Walikota wajib mencantumkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 di dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan emas dan atau tembaga yang diterbitkan.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan


Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga yang telah ditetapkan sebelumnya
yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.

(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.

6
Pasal 13

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN


BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis**

pH 6–9 SNI 06-6989-11-2004


TSS mg/L 200 SNI 06-6989-3-2004
Cu* mg/L 2 SNI 06-6989-6-2004
Cd* mg/L 0,1 SNI 06-6989-18-2004
Zn* mg/L 5 SNI 06-6989-7-2004
Pb* mg/L 1 SNI 06-6989-8-2004
As* mg/L 0,5 SNI 06-2913-1992
Ni* mg/L 0,5 SNI 06-6989-22-2004
Cr * mg/L 1 SNI 06-6989-22-2004
Hg* mg/L 0,005 SNI 06-2462-1991
Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi ion logam terlarut
• ** = jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan
versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah
atau di atas baku mutu air, maka dengan rekomendasi Menteri,
Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar maksimum untuk
parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
• Untuk memenuhi baku mutu air limbah tersebut, kadar parameter air
limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air
secara langsung diambil dari sumber air.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13Oktober 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

8
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN


BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis***

pH 6–9 SNI 06-6989-11-2004


TSS mg/L 200 SNI 06-6989-3-2004
Cu* mg/L 2 SNI 06-6989-6-2004
Cd* mg/L 0,1 SNI 06-6989-18-2004
Zn* mg/L 5 SNI 06-6989-7-2004
Pb* mg/L 1 SNI 06-6989-8-2004
As* mg/L 0,5 SNI 06-2913-1992
Ni* mg/L 0,5 SNI 06-6989-22-2004
Cr * mg/L 1 SNI 06-6989-14-2004
CN ** mg/L 0,5 SNI 19-1504-1989
Hg * mg/L 0,005 SNI 06-2462-1991

Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut .
• ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses
• Cyanidasi.
• CN dalam bentuk CN bebas.
• *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air,
maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar
maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
--------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini seuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

9
.

10
SALINAN

KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 202 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, maka dipandang perlu menetapkan Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu
Air Limbah Bagi Usaha dan atau Kegiatan
Pertambangan Bijih Emas dan atau Tembaga;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang


Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan
(Lembaran Negara tahun 1967 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2831);

2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699);

3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang


Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3839);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);

1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4161);

7. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang


Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101
tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Menteri Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN
ATAU KEGIATAN PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN
ATAU TEMBAGA.

Pasal 1

Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :

1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah
serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan
atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan
meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang;

2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih
emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;

3. Kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga adalah proses


penghancuran, penggilingan, pengapungan, pelindian, pemekatan dan atau
pemurnian dengan metoda fisika dan atau kimia;

2
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan
atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
yang berwujud cair;

5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan
atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah
yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga;

6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;

7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2

(1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari :

a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air
yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga
sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung
dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut;
b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang
ke badan air;
c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang.

(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau
tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan ini.

(3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Keputusan ini.

Pasal 3

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri tersendiri.

(2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.

3
Pasal 4

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini
tidak boleh dilampaui.

(2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena :

a. keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh kegiatan sampai


dimulainya kembali kegiatan operasi;
b. terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada lokasi penambangan
bijih emas dan atau tembaga sesuai dengan data penelitian atau data
meteorologi;

maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan
menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.

Pasal 5

(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.

(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.

Pasal 6

Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)


atau hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan (UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga mensyaratkan baku mutu air limbah lebih ketat dari baku mutu air
limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini, maka
diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau UKL dan UPL.

4
Pasal 7

Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan
penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah
yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.

Pasal 8

(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari
usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.

(2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada
pada saluran air limbah yang :

a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke
badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau
sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga
tersebut; dan atau
b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak
terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari
kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.

(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan
kepada Bupati/Walikota.

(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan lokasi titik penaatan


sebagai bagian dari izin pembuangan air limbah.

Pasal 9

Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang
dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.

5
Pasal 10

Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga wajib untuk:
a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah,
sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah;

b. mengambil dan memeriksa ke laboratorium yang terakreditasi semua kadar


parameter baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
bulan;

c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf
b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

Bupati/Walikota wajib mencantumkan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 10 di dalam izin pembuangan air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan emas dan atau tembaga yang diterbitkan.

Pasal 12

(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak ditetapkan


Keputusan ini, baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga yang telah ditetapkan sebelumnya
yang lebih longgar, wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Keputusan ini.

(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.

6
Pasal 13

Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.

Salinan ini sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENAMBANGAN


BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis**

pH 6–9 SNI 06-6989-11-2004


TSS mg/L 200 SNI 06-6989-3-2004
Cu* mg/L 2 SNI 06-6989-6-2004
Cd* mg/L 0,1 SNI 06-6989-18-2004
Zn* mg/L 5 SNI 06-6989-7-2004
Pb* mg/L 1 SNI 06-6989-8-2004
As* mg/L 0,5 SNI 06-2913-1992
Ni* mg/L 0,5 SNI 06-6989-22-2004
Cr * mg/L 1 SNI 06-6989-22-2004
Hg* mg/L 0,005 SNI 06-2462-1991
Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi ion logam terlarut
• ** = jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan
versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah
atau di atas baku mutu air, maka dengan rekomendasi Menteri,
Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar maksimum untuk
parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
• Untuk memenuhi baku mutu air limbah tersebut, kadar parameter air
limbah tidak diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air
secara langsung diambil dari sumber air.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13Oktober 2004

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Nabiel Makarim, MPA., MSM.


Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

8
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004

BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN PENGOLAHAN


BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA

Parameter Satuan Kadar Maksimum Metode Analisis***

pH 6–9 SNI 06-6989-11-2004


TSS mg/L 200 SNI 06-6989-3-2004
Cu* mg/L 2 SNI 06-6989-6-2004
Cd* mg/L 0,1 SNI 06-6989-18-2004
Zn* mg/L 5 SNI 06-6989-7-2004
Pb* mg/L 1 SNI 06-6989-8-2004
As* mg/L 0,5 SNI 06-2913-1992
Ni* mg/L 0,5 SNI 06-6989-22-2004
Cr * mg/L 1 SNI 06-6989-14-2004
CN ** mg/L 0,5 SNI 19-1504-1989
Hg * mg/L 0,005 SNI 06-2462-1991

Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut .
• ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses
• Cyanidasi.
• CN dalam bentuk CN bebas.
• *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air,
maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar
maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.

Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
--------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup

ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini seuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,

Hoetomo, MPA.

9
.

10
SALINAN

PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


NOMOR 02 TAHUN 2006
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH
BAGI KEGIATAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN

MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1)


Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi
Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang


Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3501);

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber


Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4377);

1
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang


Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang


Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3445);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang


Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3838);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang


Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4161);

2
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP


TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI KEGIATAN
RUMAH PEMOTONGAN HEWAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Rumah Pemotongan Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah


suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan
konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis
tertentu serta digunakan sebagai tempat pemotongan hewan;

2. Usaha dan/atau kegiatan RPH meliputi: pemotongan, pembersihan


lantai tempat pemotongan, pembersihan kandang penampung,
pembersihan kandang isolasi, dan/atau pembersihan isi perut dan
air sisa perendaman;

3. Air limbah RPH adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan RPH
yang berwujud cair;

4. Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah ukuran batas atau
kadar maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah kegiatan RPH yang akan
dibuang atau dilepas ke media lingkungan;

5. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang


lingkungan hidup.

3
Pasal 2

Baku mutu air limbah dalam Peraturan Menteri ini berlaku untuk kegiatan
RPH:
a. Sapi;
b. Kerbau;
c. Babi;
d. Kuda;
e. Kambing dan/atau;
f. Domba.

Pasal 3

Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH ditetapkan dengan tujuan:
a. menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup;
b. menurunkan beban pencemaran lingkungan melalui upaya
pengendalian pencemaran dari kegiatan RPH.

Pasal 4

Sasaran penetapan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH dimaksudkan
untuk mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH
mengolah air limbah sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Pasal 5

(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran A dan Lampiran B Peraturan Menteri ini.

(2) Bagi RPH yang:


a. beroperasi sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berlaku
baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran A
Peraturan Menteri ini dan wajib memenuhi baku mutu air limbah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran B Peraturan Menteri ini
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2011;

4
b. beroperasi setelah diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berlaku
baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran B
Peraturan Menteri ini.

Pasal 6

Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau


hasil kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan
Lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan RPH mensyaratkan baku mutu air
limbah lebih ketat dari Lampiran Peraturan Menteri ini, maka diberlakukan
baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.

Pasal 7

Gubernur dan Bupati/Walikota, sesuai dengan kewenangan masing-


masing, dapat menetapkan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH daerah
dengan ketentuan lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.

Pasal 8

Apabila baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH daerah telah ditetapkan
sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka dalam hal baku mutu
air limbah daerah:
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka dinyatakan tetap
berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini wajib disesuaikan dengan baku mutu air
limbah bagi kegiatan RPH sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah
ditetapkannya Peraturan Menteri ini.

5
Pasal 9

(1) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH wajib:


a. melakukan pengolahan air limbah sehingga mutu air limbah yang
dibuang atau dilepas ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air
limbah RPH;
b. membuat sistem saluran air limbah yang kedap air dan tertutup agar
tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan, dilengkapi
dengan alat penyaring untuk memudahkan pembersihan dan
perawatan;
c. memisahkan saluran pembuangan air limbah dengan saluran
limpasan air hujan;
d. memasang alat ukur debit atau laju alir limbah dan melakukan
pencatatan debit air limbah harian;
e. melakukan pencatatan jumlah dan jenis hewan yang dipotong per
hari;
f. memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini secara periodik
sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan di laboratorium
yang terakreditasi;
g. menyampaikan laporan tentang catatan debit air limbah harian,
jumlah dan jenis hewan yang dipotong perhari dan kadar parameter
baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam huruf d, huruf
e, dan huruf f sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan
kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup dan instansi yang
membidangi kegiatan RPH serta instansi lain yang dianggap perlu.

(2) Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH dilarang


melakukan pengenceran air limbah dari kegiatannya.

6
Pasal 10

Pemberi izin wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Menteri ini kedalam Izin Pembuangan
Air Limbah bagi kegiatan RPH.

Pasal 11

Pada saat berlakunya Peraturan Menteri ini semua peraturan perundang-


undangan yang berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH
yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Menteri ini.

Pasal 12

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2006

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd

Ir. Rachmat Witoelar.

Salinan sesuai dengan aslinya


Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

7
Lampiran A
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 02 Tahun 2006
Tanggal : 20 April 2006

Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan

Parameter Satuan Kadar Maksimum

BOD mg/L 150

COD mg/L 400

TSS mg/L 300

Minyak dan Lemak mg/L 25

pH - 6-9

Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 2.0 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.2 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.9 m3/ekor/hari

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,

ttd
Ir. Rachmat Witoelar
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

8
Lampiran B
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 02 Tahun 2006
Tanggal : 20 April 2006

Baku Mutu Air Limbah Bagi Kegiatan Rumah Pemotongan Hewan

Parameter Satuan Kadar Maksimum

BOD mg/L 100

COD mg/L 200

TSS mg/L 100

Minyak dan Lemak mg/L 15

NH3-N mg/L 25

pH - 6-9

Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 1.5 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.15 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.65 m3/ekor/hari

Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,

Hoetomo, MPA.

Anda mungkin juga menyukai