Dosen Pengampuh:
Agusriyadin, S.Si., M.Sc
OLEH :
KELOMPOK II
Menimbang:
Mengingat:
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Pasal 3
Pasal 4
BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
(2) Setiap orang mempunyai hak atas informasi lingkungan hidup yang
berkaitan dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 7
(2) Pelaksanaan ketentuan pada ayat (1) di atas, dilakukan dengan cara:
(1) meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan;
(2) menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
(3) menumbuhkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk
melakukan pengawasan sosial;
(4) memberikan saran pendapat;
(5) menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan.
BAB IV
WEWENANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya
ditentukan oleh Pemerintah.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
BAB V
PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 14
Pasal 15
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 17
BAB VI
PERSYARATAN PENAATAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 18
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
Pasal 20
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar
wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 21
Pasal 22
Pasal 23
Pasal 24
Pasal 25
(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Pasal 26
(1) Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 27
(2) Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 28
(4) Jumlah beban biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Menteri.
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 30
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Pasal 34
Pasal 35
(3) Dalam hal terjadi kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga
bertanggung jawab membayar ganti rugi.
Pasal 36
Pasal 37
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 38
Tata cara pengajuan gugatan dalam masalah lingkungan hidup oleh orang,
masyarakat, dan/atau organisasi lingkungan hidup mengacu pada Hukum
Acara Perdata yang berlaku.
BAB VIII
PENYIDIKAN
Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan
lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana
yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41
(1) Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh
tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 42
Pasal 43
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun dan
denda paling banyak Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 44
Pasal 45
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang
memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang
bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap
kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar
hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak
dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan
atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana
dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang
bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang
tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan
lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama.
Pasal 47
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 50
Pasal 51
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
MOERDIONO
I. UMUM
Pasal 1
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hak atas informasi lingkungan hidup merupakan suatu konsekuensi logis dari
hak berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada
asas kerterbukaan. Hak atas informasi lingkungan hidup akan meningkatkan
nilai dan efektivitas peranserta dalam pengelolaan lingkungan hidup, di
samping akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasikan
haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Informasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat
berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan
pengelolaan lingkungan hidup yang menurut sifat dan tujuannya memang
terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan
lingkungan hidup, baik pemantuan penaatan maupun pemantauan
perubahan kualitas lingkungan hidup, dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini meliputi peran dalam proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan, maupun
dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan. Peran tersebut dilakukan antara lain dalam proses
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau perumusan
kebijakan lingkungan hidup. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan dimungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 6
Ayat (1)
Kewajiban setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak terlepas
dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat mencerminkan harkat
manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Kewajiban tersebut
mengandung makna bahwa setiap orang turut berperanserta dalam upaya
memelihara lingkungan hidup. Misalnya, peranserta dalam mengembangkan
budaya bersih lingkungan hidup, kegiatan penyuluhan dan bimbingan di
bidang lingkungan hidup.
Ayat (2)
Informasi yang benar dan akurat itu dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Kemandirian dan keberdayaan masyarakat merupakan prasyarat untuk
menumbuhkan kemampuan masyarakat sebagai pelaku dalam pengelolaan
lingkungan hidup bersama dengan pemerintah dan pelaku pembangunan
lainnya.
Huruf b
Meningkatnya kemampuan dan kepeloporan masyarakat akan meningkatkan
efektifitas peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup
Huruf c
Meningkatnya ketanggapsegeraan masyarakat akan semakin menurunkan
kemungkinan terjadinya dampak negatif.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dengan meningkatnya ketanggapsegeraan akan meningkatkan kecepatan
pemberian informasi tentang suatu masalah lingkungan hidup sehingga
dapat segera ditindak lanjuti.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Kegiatan yang mempunyai dampak sosial merupakan kegiatan yang
berpengaruh terhadap kepentingan umum, baik secara kultural maupun
secara struktural.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan
hidup dan penataan ruang wajib diperhatikan secara rasional dan
proporsional potensi, aspirasi, dan kebutuhan serta nilai-nilai yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Misalnya, perhatian terhadap masyarakat
adat yang hidup dan kehidupannya bertumpu pada sumber daya alam yang
terdapat di sekitarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 10
Huruf a
Yang dimaksud dengan pengambil keputusan dalam ketentuan ini adalah
pihak-pihak yang berwenang yaitu Pemerintah, masyarakat dan pelaku
pembangunan lainnya.
Huruf b
Kegiatan ini dilakukan melalui penyuluhan, bimbingan, serta pendidikan dan
pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia.
Huruf c
Peran masyarakat dalam Pasal ini mencakup keikutsertaan, baik dalam
upaya maupun dalam proses pengambilan keputusan tentang pelestarian
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Dalam rangka peran
masyarakat dikembangkan kemitraan para pelaku pengelolaan lingkungan
hidup, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat termasuk antara lain
lembaga swadaya masyarakat dan organisasi profesi keilmuan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan perangkat yang bersifat preemtif
adalah tindakan yang dilakukan pada tingkat pengambilan keputusan dan
perencanaan, seperti tata ruang dan analisis dampak lingkungan hidup.
Adapun preventif adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan/atau instrumen ekonomi. Proaktif adalah tindakan
pada tingkat produksi dengan menerapkan standarisasi lingkungan hidup,
seperti ISO 14000.
Perangkat pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat preemtif, preventif
dan proaktif misalnya adalah pengembangan dan penerapan teknologi akrab
lingkungan hidup, penerapan asuransi lingkungan hidup dan audit lingkungan
hidup yang dilakukan secara sukarela oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan guna meningkatkan kinerja.
Pasal 11
Ayat (1)
Lingkup pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup pada dasarnya meliputi
berbagai sektor yang menjadi tanggung jawab berbagai departemen dan
instansi pemerintah. Untuk menghindari tumpang tindih wewenang dan
benturan kepentingan perlu adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan
simplifikasi melalui perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Negara Kesatuan Republik Indonesia kaya akan keaneragaman potensi
sumber daya alam hayati dan non-hayati, karakteristik kebhinekaan budaya
masyarakat, dan aspirasi dapat menjadi modal utama pembangunan
nasional. Untuk itu guna mencapai keterpaduan dan kesatuan pola pikir, dan
gerak langkah yang menjamin terwujudnya pengelolaan lingkungan hidup
secara berdayaguna dan berhasilguna yang berlandaskan Wawasan
Nusantara, maka Pemerintah Pusat dapat menetapkan wewenang tertentu
dengan memperhatikan situasi dan kondisi daerah baik potensi alam maupun
kemampuan daerah, kepada perangkat instansi pusat yang ada di daerah
dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Huruf b
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Tingkat I dapat menugaskan
kepada Pemerintah Daerah Tingkat II untuk berperan dalam pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sebagai tugas pembantuan.
Melalui tugas pembantuan ini maka wewenang, pembiayaan, peralatan, dan
tanggung jawab tetap berada pada pemerintah yang menugaskannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan memperhatikan kemampuan, situasi dan kondisi daerah, Pemerintah
Pusat dapat menyerahkan urusan di bidang lingkungan hidup kepada daerah
menjadi wewenang, tugas, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah
berdasarkan asas desentralisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Pasal 15
Ayat (1)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup di satu sisi merupakan bagian
studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, di sisi lain merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan analisis
ini dapat diketahui secara lebih jelas dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, baik dampak negatif maupun dampak positif yang akan
timbul dari usaha dan/atau kegiatan sehingga dapat dipersiapkan langkah
untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positif.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengelolaan limbah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup
penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
limbah termasuk penimbunan hasil pengolahan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Kewajiban untuk melakukan pengelolaan dimaksud merupakan upaya untuk
mengurangi terjadinya kemungkinan risiko terhadap lingkungan hidup
berupa terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, mengingat
bahan berbahaya dan beracun mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan efek negatif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Contoh izin yang dimaksud antara lain izin kuasa pertambangan untuk usaha
di bidang pertambangan, atau izin usaha industri untuk usaha di bidang
industri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan harus ditegaskan kewajiban
yang berkenaan dengan penaatan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan
lingkungan hidup yang harus dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dalam melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya. Bagi
usaha dan/atau kegiatan yang diwajibkan untuk membuat atau
melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, maka rencana
pengelolaan dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang wajib
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan harus
dicantumkan dan dirumuskan dengan jelas dalam izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan. Misalnya kewajiban untuk mengolah limbah, syarat mutu
limbah yang boleh dibuang ke dalam media lingkungan hidup, dan kewajiban
yang berkaitan dengan pembuangan limbah, seperti kewajiban melakukan
swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil swapantau tersebut
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan hidup. Apabila suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku diwajibkan melaksanakan
analisis dampak lingkungan hidup, maka persetujuan atas analisis mengenai
dampak lingkungan hidup tersebut harus diajukan bersama dengan
permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengumuman izin melakukan usaha dan/atau kegiatan merupakan
pelaksanaan atas keterbukaan pemerintahan. Pengumuman izin melakukan
usaha dan/atau kegiatan tersebut memungkinkan peranserta masyarakat
khususnya yang belum menggunakan kesempatan dalam prosedur
keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain dalam proses pengambilan
keputusan izin.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Suatu usaha dan/atau kegiatan akan menghasilkan limbah. Pada
umumnya limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang ke
media lingkungan hidup sehingga tidak menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dalam hal tertentu, limbah
yang dihasilkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan itu dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Namun dari proses
pemanfaatan tersebut akan menghasilkan limbah, sebagai residu yang
tidak dapat dimanfaatkan kembali, yang akan dibuang ke media
lingkungan hidup.
Pembuangan (dumping) sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini adalah
pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau kegiatan
dan/atau bahan lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke dalam
media lingkungan hidup, baik tanah, air maupun udara. Pembuangan
limbah dan/atau bahan tersebut ke media lingkungan hidup akan
menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Sehingga dengan
ketentuan Pasal ini, ditentukan bahwa pada prinsipnya pembuangan
limbah ke media lingkungan hidup merupakan hal yang dilarang,
kecuali ke media lingkungan hidup tertentu yang telah ditetapkan oleh
Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain
untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan
pimpinan instansi yang bersangkutan.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini merupakan pelaksanaan
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat
pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
Pasal 25
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda
mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan
pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah
pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot
untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga
masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 28
Pasal 29
Ayat (1) Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Hasil audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat ini
merupakan dokumen yang bersifat terbuka untuk umum, sebagai
upaya perlindungan masyarakat karena itu harus diumumkan.
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi hak
keperdataan para pihak yang bersengketa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
putusan yang berbeda mengenai satu sengketa lingkungan hidup
untuk menjamin kepastian hukum.
Pasal 31
Pasal 32
Pasal 33
Ayat (1)
Lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini
dimaksudkan sebagai suatu lembaga yang mampu memperlancar
pelaksanaan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa dengan
mendasarkan pada prinsip ketidakberpihakan dan profesionalisme.
Lembaga penyedia jasa yang dibentuk Pemerintah dimaksudkan
sebagai pelayanan publik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan
hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain diharuskan
membayar ganti rugi, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup
dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum
tertentu, misalnya perintah untuk :
memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah sehingga limbah
sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup yang ditentukan;
memulihkan fungsi lingkungan hidup;
menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pembebanan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
pelaksanaan perintah pengadilan untuk melaksanakan tindakan
tertentu adalah demi pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pasal 35
Ayat (1)
Pengertian bertanggung jawab secara mutlak atau strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai
dasar pembayaran ganti kerugian. Ketentuan ayat ini merupakan lex
specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap
pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksudkan sampai batas tertentu, adalah jika menurut
penetapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ditentukan
keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Ayat (2)
Huruf a sampai huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tindakan pihak ketiga dalam ayat ini
merupakan perbuatan persaingan curang atau kesalahan yang
dilakukan Pemerintah.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud hak mengajukan gugatan perwakilan pada ayat ini
adalah hak kelompok kecil masyarakat untuk bertindak mewakili
masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas dasar kesamaan
permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan yang ditimbulkan karena
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Gugatan yang diajukan oleh organisasi lingkungan hidup tidak dapat
berupa tuntutan membayar ganti rugi, melainkan hanya terbatas
gugatan lain, yaitu :
a. memohon kepada pengadilan agar seseorang
diperintahkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu
yang berkaitan dengan tujuan pelestarian fungsi
lingkungan hidup;
b. menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan
melanggar hukum karena mencemarkan atau merusak
lingkungan hidup;
c. memerintahkan seseorang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan untuk membuat atau memperbaiki unit
pengolah limbah.
Yang dimaksud dengan biaya atau pengeluaran riil adalah
biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan telah
dikeluarkan oleh organisasi lingkungan hidup.
Ayat (3)
Tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan
lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu.
Dengan adanya persyaratan sebagaimana dimaksud di atas, maka
secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki
ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke
pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha
negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan
dalam memeriksa dan mengadili perkara yang dimaksud.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1) sampai ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
______________________________________
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak
besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan;
2. Dampak besar dan penting adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar
yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan;
3. Kerangka acuan adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang merupakan hasil pelingkupan;
4. Analisis dampak lingkungan hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan
mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan;
5. Rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
6. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan;
7. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan;
8. Instansi yang berwenang adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan
keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat
pusat berada pada Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan
di tingkat daerah berada pada Gubernur;
10. Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan adalah instansi yang membina
secara teknis usaha dan/atau kegiatan dimaksud;
11. Komisi penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen analisis mengenai dampak
lingkungan hidup dengan pengertian di tingkat pusat oleh komisi penilai pusat dan di
tingkat daerah oleh komisi penilai daerah;
12. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
13. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan adalah instansi yang
bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan.
14. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I atau Gubernur Kepala Daerah
Istimewa atau Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Pasal 2
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian kegiatan studi kelayakan
rencana usaha dan/atau kegiatan.
(2) Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup digunakan sebagai bahan perencanaan
pembangunan wilayah.
(3) Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat dilakukan melalui
pendekatan studi terhadap kegiatan tunggal, terpadu atau kegiatan dalam kawasan.
Pasal 3
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup meliputi :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan,
pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya
alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam,
lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian
kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati;
h. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan hidup;
i. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan
negara.
(2) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri setelah mendengar dan
memperhatikan saran dan pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terkait.
(3) Jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau kembali
sekurang-kurangnya dalam waktu 5 (lima) tahun.
(4) Bagi rencana usaha dan/atau kegiatan di luar usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup yang pembinaannya berada pada instansi yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan.
(5) Pejabat dari instansi yang berwenang menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
wajib mencantumkan upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan
hidup dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban upaya pengelolaan lingkungan
hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
oleh instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan setelah mempertimbangkan masukan
dari instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 4
(1) Usaha dan/atau kegiatan yang akan dibangun di dalam kawasan yang sudah dibuatkan
analisis mengenai dampak lingkungan hidup tidak diwajibkan membuat analisis mengenai
dampak lingkungan hidup lagi.
(2) Usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan untuk melakukan
pengendalian dampak lingkungan hidup dan perlindungan fungsi lingkungan hidup sesuai
dengan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup
kawasan.
Pasal 5
(1) Kriteria mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan terhadap
lingkungan hidup antara lain :
(2) Pedoman mengenai penentuan dampak besar dan penting sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 6
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
tidak perlu dibuat bagi rencana usaha dan/atau kegiatan untuk menanggulangi suatu keadaan
darurat.
(2) Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan menetapkan telah terjadinya suatu keadaan darurat.
Pasal 7
(1) Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk
mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang.
(2) Permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diajukan oleh pemrakarsa kepada pejabat yang berwenang menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan wajib melampirkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) yang diberikan oleh
instansi yang bertanggungjawab.
(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan syarat dan
kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagai ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang diterbitkannya.
(4) Ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) wajib dipatuhi dan dilaksanakan oleh pemrakarsa, dalam menjalankan usaha dan/atau
kegiatannya.
BAB II
KOMISI PENILAI ANALISIS MENGENAI
DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 8
(3) Komisi penilai menilai kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(4) Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu
oleh tim teknis yang bertugas memberikan pertimbangan teknis atas kerangka acuan, analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.
(5) Dalam menjalankan tugasnya, komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dibantu oleh tim teknis dari masing-masing sektor.
(6) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyerahkan hasil penilaiannya kepada
instansi yang bertanggung jawab untuk dijadikan dasar keputusan atas kerangka acuan, analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.
(7) Ketentuan mengenai tata kerja komisi penilai dimaksud, baik pusat maupun daerah,
ditetapkan oleh Menteri, setelah mendengar dan memperhatikan saran/pendapat Menteri Dalam
Negeri dan Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait.
(8) Ketentuan mengenai tata kerja tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan
lebih lanjut oleh Komisi Penilai Pusat.
Pasal 9
(1) Komisi penilai pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur-
unsur instansi yang ditugasi mengelola lingkungan hidup, instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan, Departemen Dalam Negeri, instansi yang ditugasi bidang kesehatan,
instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan, instansi yang ditugasi bidang perencanaan
pembangunan nasional, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal, instansi yang ditugasi
bidang pertanahan, instansi yang ditugasi bidang ilmu pengetahuan, departemen dan/atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, departemen dan/atau Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terkait, wakil
Propinsi Daerah Tingkat I yang bersangkutan, Wakil Kabupaten/Walikotamadya Daerah Tingkat
II yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan, organisasi
lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat
terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 10
(1) Komisi penilai daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b terdiri atas
unsur-unsur : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan
Daerah Tingkat I, instansi yang ditugasi bidang penanaman modal daerah, instansi yang ditugasi
bidang pertanahan di daerah, instansi yang ditugasi bidang pertahanan keamanan daerah,
instansi yang ditugasi bidang kesehatan Daerah Tingkat I, wakil instansi pusat dan/atau daerah
yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil instansi terkait di Propinsi
Daerah Tingkat I, wakil Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang bersangkutan, pusat studi
lingkungan hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup,
ahli di bidang yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan hidup
sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, warga masyarakat yang terkena
dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota komisi penilai daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur.
Pasal 11
(1) Komisi penilai pusat berwenang menilai hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup
bagi jenis usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria :
(2) Komisi penilai daerah berwenang menilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi
jenis-jenis usaha dan/atau kegiatan yang diluar kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 12
(1) Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) terdiri atas para ahli dari instansi
teknis yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dan instansi yang ditugasi
mengendalikan dampak lingkungan, serta ahli lain dengan bidang ilmu yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan anggota tim teknis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri untuk komisi penilai pusat, dan oleh Gubernur untuk komisi
penilai daerah tingkat I.
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugasnya, komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1),
wajib memperhatikan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, rencana
pengembangan wilayah, rencana tata ruang wilayah dan kepentingan pertahanan keamanan.
BAB III
TATA LAKSANA
Bagian Pertama
Kerangka Acuan
Pasal 14
(1) Kerangka acuan sebagai dasar pembuatan analisis dampak lingkungan hidup disusun oleh
pemrakarsa.
(2) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan pedoman yang
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 15
(1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan oleh
pemrakarsa kepada instansi yang bertanggung jawab, dengan ketentuan :
(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya kerangka
acuan pembuatan analisis dampak lingkungan hidup.
Pasal 16
(1) Kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dinilai oleh komisi penilai bersama
dengan pemrakarsa untuk menyepakati ruang lingkup kajian analisis dampak lingkungan hidup
yang akan dilaksanakan.
(2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75
(tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2).
(3) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab dianggap
menerima kerangka acuan dimaksud.
(4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam
kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang
kawasan.
Bagian Kedua
Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup,
dan rencana pemantauan lingkungan hidup
Pasal 17
(1) Pemrakarsa menyusun analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup, berdasarkan kerangka acuan yang telah
mendapatkan keputusan dari instansi yang bertanggung jawab.
(2) Penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup, berpedoman pada pedoman penyusunan analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.
Pasal 18
(1) Analisis dampak lingkungan hidup,rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, diajukan oleh pemrakarsa kepada :
(2) Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan tanda bukti
penerimaan kepada pemrakarsa dengan menuliskan hari dan tanggal diterimanya analisis
dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 19
(1) Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup dinilai :
(2) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicantumkan dasar pertimbangan
dikeluarkannya keputusan itu, dan pertimbangan terhadap saran, pendapat, dan tanggapan yang
diajukan oleh warga masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).
Pasal 20
(1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu
usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu
selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
(2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan dianggap layak lingkungan.
Pasal 21
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengembalikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada pemrakarsa
untuk diperbaiki apabila kualitas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup tidak sesuai dengan pedoman
penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Perbaikan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung
jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.
(3) Penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup,rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup serta pemberian keputusan kelayakan lingkungan hidup
atas usaha dan/atau kegiatan dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 19 dan Pasal 20.
Pasal 22
a. dampak besar dan penting negatif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan tidak dapat ditanggulangi oleh teknologi yang tersedia, atau
b. biaya penanggulangan dampak besar dan penting negatif lebih besar dari pada manfaat
dampak besar dan penting positif yang akan ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
yang bersangkutan.
c. maka instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan bahwa rencana usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak layak lingkungan.
(2) Instansi yang berwenang menolak permohonan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan apabila instansi yang bertanggung jawab memberikan keputusan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
Pasal 23
Salinan analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup, serta salinan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha
dan/atau kegiatan disampaikan oleh :
Bagian Ketiga
Kadaluwarsa dan batalnya keputusan hasil
Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan
Lingkungan Hidup
Pasal 24
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan
kadaluwarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila rencana usaha dan/atau
kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkannya
keputusan kelayakan tersebut.
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) instansi yang
bertanggung jawab memutuskan :
a. Analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup yang pernah disetujui dapat sepenuhnya dipergunakan
kembali; atau
b. Pemrakarsa wajib membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup baru sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 25
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal
atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa memindahkan lokasi usaha
dan/atau kegiatannya.
Pasal 26
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal
atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila pemrakarsa mengubah desain dan/atau
proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan penolong.
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan menjadi batal
atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini apabila terjadi perubahan lingkungan hidup yang
sangat mendasar akibat peristiwa alam atau karena akibat lain sebelum dan pada waktu
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 28
(2) Instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan melakukan pembinaan teknis
pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang menjadi bagian dari
izin.
Pasal 29
(2) Lembaga pendidikan dan pelatihan di bidang analisis mengenai dampak lingkungan
hidup diselenggarakan dengan koordinasi dari instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan dengan memperhatikan sistem akreditasi sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Pasal 30
Pasal 31
Penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau golongan
ekonomi lemah dibantu pemerintah, dan ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri setelah
memperhatikan saran dan pendapat instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.
BAB V
PENGAWASAN
Pasal 32
(1) Pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana
pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada instansi yang
membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, instansi yang ditugasi mengendalikan
dampak lingkungan dan Gubernur.
BAB VI
KETERBUKAAN INFORMASI DAN
PERAN MASYARAKAT
Pasal 33
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib
diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat sebelum pemrakarsa menyusun analisis
mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab dan pemrakarsa.
(3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diumumkannya rencana usaha dan/atau
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), warga masyarakat yang berkepentingan berhak
mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan tentang akan dilaksanakannya rencana usaha
dan/atau kegiatan.
(4) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan secara
tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab.
(5) Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dipertimbangkan dan dikaji dalam analisis mengenai dampak lingkungan.
(6) Tata cara dan bentuk pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara
penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 34
(1) Warga masyarakat yang berkepentingan wajib dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka
acuan, penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
(2) Bentuk dan tata cara keterlibatan warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan oleh Kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan.
Pasal 35
(1) Semua dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, saran, pendapat, dan
tanggapan warga masyarakat yang berkepentingan, kesimpulan komisi penilai, dan keputusan
kelayakan lingkungan hidup dari usaha dan/atau kegiatan bersifat terbuka untuk umum.
(2) Instansi yang bertanggung jawab wajib menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada suatu lembaga dokumentasi dan/atau kearsipan.
BAB VII
PEMBIAYAAN
Pasal 36
Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai dan tim teknis analisis mengenai dampak lingkungan
hidup dibebankan :
Pasal 37
Biaya penyusunan dan penilaian kerangka acuan, analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup dibebankan kepada
pemrakarsa.
Pasal 38
(1) Biaya pembinaan teknis dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dan Pasal 32 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang ditugasi mengendalikan dampak
lingkungan.
(2) Biaya pengumuman yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dibebankan pada anggaran instansi yang bertanggung jawab.
(3) Biaya pembinaan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana
pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dibebankan pada
anggaran instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan yang pada
saat diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini :
a. sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan
hidup yang bersangkutan; atau
b. sudah diajukan kepada instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, tetap dinilai oleh komisi penilai instansi yang bersangkutan, dan harus
selesai paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku secara
efektif.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 41
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538) dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku efektif 18 (delapan belas) bulan sejak tanggal
diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AKBAR TANDJUNG
UMUM
Terlestarikannya fungsi lingkungan hidup yang merupakan tujuan pengelolaan lingkungan hidup
menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, sejak awal
perencanaan usaha dan/atau kegiatan sudah harus diperkirakan perubahan rona lingkungan
hidup akibat pembentukan suatu kondisi lingkungan hidup yang baru, baik yang menguntungkan
maupun yang merugikan, yang timbul sebagai akibat diselenggarakannya usaha dan/atau
kegiatan pembangunan. Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup menetapkan bahwa setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki
analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup. Sebagai bagian dari studi kelayakan untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan, analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan syarat yang harus dipenuhi
untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan. Hal itu merupakan konsekuensi
dari kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Konsekuensinya
adalah bahwa syarat dan kewajiban sebagaimana ditentukan dalam rencana pengelolaan
lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup harus dicantumkan sebagai
ketentuan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Dampak besar dan penting merupakan satu kesatuan makna dari arti dampak penting.
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Studi kelayakan pada umumnya meliputi analisis dari aspek teknis dan aspek ekonomis-
finansial. Dengan ayat ini, maka studi kelayakan bagi usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup
Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup dapat digunakan sebagai masukan
bagi penyusunan kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, di samping dapat
digunakan sebagai masukan bagi perencanaan pembangunan wilayah.
Ayat (2)
Karena analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari studi kelayakan
suatu usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi pada ekosistem tertentu, maka hasil analisis
mengenai dampak lingkungan hidup tersebut sangat penting untuk dijadikan sebagai masukan
dalam perencanaan pembangunan wilayah
Ayat (3)
Usaha dan/atau kegiatan tunggal adalah hanya satu jenis usaha dan/atau kegiatan yang
kewenangan perizinan serta pembinaannya di bawah satu instansi yang berwenang.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup kegiatan terpadu/multisektor adalah hasil kajian
mengenai dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan yang terpadu yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup dan melibatkan lebih dari satu instansi yang berwenang membidangi
kegiatan dimaksud.
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup kegiatan kawasan adalah hasil kajian mengenai
dampak besar dan penting usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup dalam satu
kesatuan hamparan ekosistem zona pengembangan wilayah/kawasan sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.
a. berbagai usaha dan/atau kegiatan yang saling terkait perencanaannya antar satu dengan
yang lainnya;
Pasal 3
Ayat (1)
Usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud dalam ayat ini merupakan kategori usaha
dan/atau kegiatan yang berdasarkan pengalaman dan tingkat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai potensi menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian penyebutan kategori usaha dan/atau
kegiatan tersebut tidak bersifat limitatif dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyebutan tersebut bersifat alternatif, sebagai contoh
seperti usaha dan/atau kegiatan :
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang. Oleh karena itu, jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang mendasarkan
diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu ditinjau kembali.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Kriteria yang menentukan adanya dampak besar dan penting dalam ayat ini ditetapkan
berdasarkan tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Oleh karena itu, kriteria ini dapat
berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga tidak bersifat
limitatif.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah keadaan atau kondisi yang sedemikian
rupa, sehingga mengharuskan dilaksanakannya tindakan segera yang mengandung
risiko terhadap lingkungan hidup demi kepentingan umum, misalnya pertahanan negara
atau penanggulangan bencana alam. Keadaan darurat ini tidak sama dengan keadaan
darurat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang keadaan darurat
Ayat (2)
Keadaan darurat yang tidak memerlukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup,
misalnya pembangunan bendungan/dam untuk menahan bencana lahar, ditetapkan oleh
menteri yang membidangi kegiatan dimaksud.
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk melakukan suatu usaha dan/atau kegiatan terdapat satu izin yang bersifat dominan, tanpa
izin tersebut seseorang tidak dapat melakukan usaha dan/atau kegiatan yang dimaksud.
Misalnya izin usaha industri di bidang perindustrian, kuasa pertambangan di bidang
pertambangan, izin penambangan daerah di bidang penambangan bahan galian golongan C, izin
hak pengusahaan hutan di bidang kehutanan, izin hak guna usaha pertanian di bidang pertanian.
Sedangkan keputusan kelayakan analisis mengenai dampak lingkungan hidup adalah
persyaratan yang diwajibkan untuk dapat menerbitkan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Ayat (2)
Analisis mengenai dampak lingkungan hidup merupakan bagian dari proses perizinan melakukan
usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup. Izin merupakan suatu instrumen yuridis preventif. Oleh karena itu, keputusan kelayakan
lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup, sebagaimana telah
diterbitkan oleh instansi yang bertanggungjawab wajib dilampirkan pada permohonan izin
melakukan usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan lingkungan hidup di komisi penilai daerah dapat
berarti wakil dari instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan wilayah dengan
maksud agar terdapat keterpaduan kebijaksanaan penggelolaan lingkungan hidup, khususnya
pengendalian dampak lingkungan hidup dengan kebijaksanaan dan program pengendalian
dampak
lingkungan hidup di daerah. Pengangkatan para ahli dari pusat studi lingkungan hidup perguruan
tinggi sebagai anggota komisi penilai daerah adalah untuk memantapkan kualitas hasil kajian
analisis mengenai dampak lingkungan hidup dalam penilaian analisis mengenai dampak
lingkungan. Adanya wakil yang ditunjuk dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, dan
instansi yang ditugasi dibidang pertanahan di daerah dimaksudkan untuk menjamin keterpaduan
pengelolaan lingkungan hidup secara lintas sektor yang ada di daerah. Adapun wakil yang
ditunjuk dari bidang kesehatan di daerah dikarenakan pada akhirnya dampak semua kegiatan
selalu berakhir pada aspek kesehatan.
Duduknya wakil organisasi lingkungan hidup dalam komisi penilai merupakan aktualisasi hak
warga masyarakat untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan.
Duduknya wakil masyarakat terkena dampak suatu usaha dan/atau kegiatan diharapkan dapat
memberikan masukan tentang aspirasi masyarakat yang terkena dampak akibat dari usaha
dan/atau kegiatan tersebut.
Duduknya wakil instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan adalah
untuk memberikan penilaian secara teknis usaha dan/atau kegiatan yang dinilai.
Organisasi lingkungan hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji adalah
lembaga swadaya masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis dan/atau kegiatan yang menyangkut ketahanan dan
keamanan negara misalnya : pembangkit
listrik tenaga nuklir, pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik tenaga uap/panas bumi,
eksploitasi minyak dan gas, kilang minyak, penambangan uranium, industri petrokimia, industri
pesawat terbang, industri kapal, industri senjata, industri bahan peledak, industri baja, industri
alat-alat berat, industri telekomunikasi, pembangunan bendungan, bandar udara, pelabuhan dan
rencana usaha dan/atau kegiatan lainnya yang menurut instansi yang membidangi usaha
dan/atau kegiatan dianggap strategis.
Dalam hal usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis ini menjadi bagian dari usaha
dan/atau kegiatan terpadu/multisektor, maka penilaian analisis mengenai dampak lingkungan
hidup menjadi wewenang komisi penilai analisis mengenai dampak lingkungan hidup pusat.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain misalnya :
rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di Pulau Sipadan, Ligitan dan Celah Timor.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jeias
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penetapan jangka waktu selama 75 hari kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian kepada
pemrakarsa. Jangka waktu 75 hari kerja ini meliputi proses penyampaian dokumen kerangka
acuan ke instansi yang bertanggung jawab melalui komisi penilai, penilaian secara teknis,
konsultasi dengan warga masyarakat yang berkepentingan, penilaian oleh komisi penilai, sampai
ditetapkannya keputusan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Menolak untuk memberikan keputusan atas kerangka acuan adalah untuk melindungi
kepentingan umum.
Kerangka acuan merupakan dasar bagi penyusunan analisis dampak lingkungan hidup, rencana
pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Kerangka acuan
yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah akan menghasilkan analisis dampak
lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan
hidup yang baik pula, demikian pula sebaliknya. Sedangkan kewajiban untuk membuat analisis
mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak
besar dan penting adalah untuk melindungi fungsi lingkungan hidup. Perlindungan fungsi
lingkungan hidup merupakan kepentingan umum.
Yang dimaksud dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan adalah Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional yang telah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, Rencana Tata Ruang
Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat I, dan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Tingkat II.
Yang dimaksud dengan rencana tata ruang kawasan yang ditetapkan adalah baik rencana tata
ruang kawasan tertentu yang telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden maupun rencana tata
ruang kawasan perdesaan atau rencana tata ruang kawasan perkotaan sebagai bagian dari
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Tingkat II. Termasuk dalam pengertian rencana tata ruang kawasan
adalah rencana rinci tata ruang di Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II yang meliputi
rencana terperinci (detail) tata ruang kawasan di wilayah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat
II.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dari analisis dampak lingkungan hidup dapat diketahui dampak besar dan penting yang akan
ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Dengan mengetahui
dampak besar dan penting itu dapat ditentukan :
a. cara mengendalikan dampak besar dan penting negatif dan mengembangkan dampak
besar dan penting positif, yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan dampak
lingkungan hidup; dan
b. cara memantau dampak besar dan penting tersebut, yang dicantumkan dalam rencana
pemantauan lingkungan hidup.
Apa yang dicantumkan dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup merupakan syarat dan kewajiban yang harus dilakukan pemrakarsa apabila
hendak melaksanakan usaha dan/atau kegiatannya.
Oleh karena itu, hasil penilaian atas analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup oleh Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup menjadi dasar bagi instansi yang bertanggung jawab
dalam memberikan keputusan kepada instansi yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu selama 75 hari kerja dimaksudkan untuk memberikan kepastian
kepada pemrakarsa. Jangka waktu 75 hari kerja ini meliputi proses penyampaian
dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan
rencana pemantauan lingkungan hidup ke instansi yang bertanggung jawab melalui
komisi penilai, penilaian secara teknis, konsultasi dengan warga masyarakat yang
berkepentingan, penilaian oleh komisi penilai, sampai dengan diterbitkannya keputusan
kelayakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Sejalan dengan cepatnya pengembangan pembangunan wilayah, dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun kemungkinan besar telah terjadi perubahan rona lingkungan hidup, sehingga rona
lingkungan hidup yang semula dipakai sebagai dasar penyusunan analisis mengenai dampak
lingkungan hidup tidak cocok lagi digunakan untuk memprakirakan dampak lingkungan hidup
rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Perubahan desain dan/atau proses dan/atau kapasitas dan/atau bahan baku dan/atau bahan
penolong bagi usaha dan/atau kegiatan akan menimbulkan dampak besar dan penting yang
berbeda. Oleh karena itu, keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan hasil penilaian
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana
pemantauan lingkungan hidup yang telah diterbitkan menjadi batal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Terjadinya perubahan lingkungan hidup secara mendasar berarti hilangnya atau berubahnya
rona lingkungan hidup awal yang menjadi dasar penyusunan analisis dampak lingkungan hidup.
Keadaan ini menimbulkan konsekuensi batalnya keputusan kelayakan lingkungan hidup
berdasarkan hasil penilaian analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan
hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Bantuan yang dimaksud untuk golongan ekonomi lemah dapat berupa biaya penyusun
analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau tenaga ahli untuk penyusunan analisis
mengenai dampak lingkungan hidup atau bantuan lainnya. Bantuan diberikan oleh
instansi yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Pengumuman merupakan hak setiap orang atas informasi lingkungan hidup yang berkaitan
dengan peran dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Pengumuman oleh instansi yang bertanggung jawab dapat dilakukan, misalnya, melalui media
cetak dan/atau media elektronik. Sedangkan pengumuman oleh pemrakarsa dapat dilakukan
dengan memasang papan pengumuman di lokasi akan diselengarakannya usaha dan/atau
kegiatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ayat (5)
Semua saran dan pendapat yang diajukan oleh warga masyarakat harus tercermin dalam
penyusunan kerangka acuan, dikaji dalam analisis dampak lingkungan hidup dan diberikan
alternatif pemecahannya dalam rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan
lingkungan hidup.
Ayat (6)
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Biaya penyusunan dan penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup antara lain
mencakup biaya untuk mendatangkan wakil-wakil masyarakat dan para ahli yang terlibat dalam
penilaian mengenai analisis dampak lingkungan hidup, menjadi tanggungan pemrakarsa.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
TENTANG
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan Pasal
17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup telah ditetapkan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: KEP-
14/MENLH/3/1994 tentang Pedoman Umum Penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dan Keputusan Kepala
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Nomor: 09
Tahun 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
-1-
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Ruang lingkup Peraturan Menteri ini meliputi Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan
Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup, Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pedoman Penyusunan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup, dan Pedoman
Penyusunan Ringkasan Eksekutif.
Pasal 2
(1) Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup disusun berdasarkan Pedoman
Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
-2-
(6) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 3
Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang sedang dalam proses
dan/atau sudah diajukan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini mengacu pada
Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang sebelumnya.
Pasal 4
Pasal 5
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Agustus 2006
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd.
Hoetomo, MPA.
-3-
Lampiran I : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN
KERANGKA ACUAN ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
(KA-ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Yang dimaksud Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.
Kerangka Acuan selanjutnya disebut KA-ANDAL adalah ruang lingkup studi analisis
dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan yang disepakati oleh
Pemrakarsa/Penyusun AMDAL dan Komisi Penilai AMDAL.
2. Fungsi pedoman penyusunan KA-ANDAL
Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi penyusunan KA-
ANDAL baik KA-ANDAL kegiatan tunggal, KA-ANDAL kegiatan
terpadu/multisektor maupun KA-ANDAL kegiatan dalam kawasan.
3. Tujuan dan fungsi KA-ANDAL
3.1.Tujuan penyusunan KA-ANDAL adalah:
a. Merumuskan lingkup dan kedalaman studi ANDAL;
b. Mengarahkan studi ANDAL agar berjalan secara efektif dan efisien sesuai
dengan biaya, tenaga, dan waktu yang tersedia.
4.1.Keanekaragaman
ANDAL bertujuan menduga kemungkinan terjadinya dampak dari suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan terhadap lingkungan hidup. Rencana usaha dan/atau
kegiatan dan rona lingkungan hidup pada umumnya sangat beraneka ragam.
Keanekaragaman rencana usaha dan/atau kegiatan dapat berupa keanekaragaman
bentuk, ukuran, tujuan, sasaran, dan sebagainya. Demikian pula rona lingkungan
hidup akan berbeda menurut letak geografi, keanekaragaman faktor lingkungan
hidup, pengaruh manusia, dan sebagainya. Karena itu, tata kaitan antara keduanya
tentu akan sangat bervariasi pula. Kemungkinan timbulnya dampak lingkungan
hidup pun akan berbeda-beda. Dengan demikian KA-ANDAL diperlukan untuk
memberikan arahan tentang komponen usaha dan/atau kegiatan manakah yang
harus ditelaah, dan komponen lingkungan hidup manakah yang perlu diamati
selama menyusun ANDAL.
4.2.Keterbatasan sumber daya
Penyusunan ANDAL acap kali dihadapkan pada keterbatasan sumber daya,
seperti antara lain: keterbatasan waktu, dana, tenaga, metode, dan sebagainya.
KA-ANDAL memberikan ketegasan tentang bagaimana menyesuaikan tujuan dan
hasil yang ingin dicapai dalam keterbatasan sumber daya tersebut tanpa
mengurangi mutu pekerjaan ANDAL. Dalam KA-ANDAL ditonjolkan upaya
untuk menyusun prioritas manakah yang harus diutamakan agar tujuan ANDAL
dapat terpenuhi meski sumber daya terbatas.
4.3.Efisiensi
Pengumpulan data dan informasi untuk kepentingan ANDAL perlu dibatasi pada
faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan kebutuhan prakiraan dan evaluasi
dalam ANDAL sesuai hasil pelingkupan. Melalui cara ini ANDAL dapat
dilakukan secara efisien.
Penentuan masukan berupa data dan informasi yang amat relevan ini kemudian
disusun dan dirumuskan dalam KA-ANDAL.
7. Wawasan KA-ANDAL
-6-
a. Dokumen KA-ANDAL harus menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal
yang dianggap penting untuk ditelaah dalam studi ANDAL menurut pihak-pihak
yang terlibat;
b. Mengingat AMDAL adalah bagian dari studi kelayakan, maka dalam studi
ANDAL perlu ditelaah dan dievaluasi masing-masing alternatif dari komponen
rencana usaha dan/atau kegiatan yang dipandang layak baik dari segi lingkungan
hidup, teknis maupun ekonomis sebagai upaya untuk mencegah timbulnya
dampak negatif yang lebih besar;
c. Mengingat kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya mengubah lingkungan
hidup, maka menjadi penting memperhatikan komponen-komponen lingkungan
hidup yang berciri:
ii. Komponen lingkungan hidup yang akan berubah secara mendasar dan
perubahan tersebut dianggap penting oleh masyarakat di sekitar suatu
rencana usaha dan/atau kegiatan, seperti antara lain:
a) Fungsi ekosistem;
b) Pemilikan dan penguasaan lahan;
c) Kesempatan kerja dan usaha;
d) Taraf hidup masyarakat;
e) Kesehatan masyarakat.
d. Pada dasarnya dampak lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan tidak berdiri sendiri, satu sama lain memiliki keterkaitan
dan ketergantungan. Hubungan sebab akibat ini perlu dipahami sejak dini dalam
proses penyusunan KA-ANDAL agar studi ANDAL dapat berjalan lebih terarah
dan sistematis.
Keempat faktor tersebut harus menjadi bagian integral dalam penyusunan KA-
ANDAL terutama dalam proses pelingkupan.
8. Proses pelingkupan
-7-
a. Dampak penting hipotetik terhadap lingkungan hidup yang dipandang relevan
untuk ditelaah secara mendalam dalam studi ANDAL dengan meniadakan hal-hal
atau komponen lingkungan hidup yang dipandang kurang penting untuk ditelaah;
b. Lingkup wilayah studi ANDAL berdasarkan beberapa pertimbangan: batas
proyek, batas ekologis, batas sosial, dan batas administratif;
c. Batas waktu kajian yang merupakan rentang waktu yang akan digunakan sebagai
dasar dalam melakukan prakiraan perubahan kualitas/kondisi lingkungan tanpa
adanya proyek dan dengan adanya proyek.
d. Kedalaman studi ANDAL antara lain mencakup metode yang digunakan, jumlah
sampel yang diukur, dan tenaga ahli yang dibutuhkan sesuai dengan sumber daya
yang tersedia (dana dan waktu).
Semakin baik hasil pelingkupan semakin tegas dan jelas arah dari studi ANDAL yang
akan dilakukan.
Sebagai contoh :
Rencana pembuangan limbah cair dari industri petrokimia ke sungai akan
menimbulkan dampak penting hipotetik berupa peningkatan kadar BOD,
COD, dan TSS, sementara dari proses produksi akan menimbulkan dampak
penting hipotetik berupa emisi SO2 dan NOx. Dampak penting hipotetik dari
masing-masing parameter tersebut selanjutnya dapat dikelompokkan menjadi;
penurunan kualitas air sungai dan penurunan kualitas udara ambien.
Selanjutnya terhadap 2 (dua) dampak penting tersebut diurut berdasarkan
kepentingannya, misalnya: (1) Penurunan kualitas udara ambien, (2)
Penurunan kualitas air sungai.
-9-
1) Batas proyek
Batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana usaha dan/atau kegiatan
akan melakukan kegiatan pra-konstruksi, konstruksi dan operasi. Dari
ruang rencana usaha dan/atau kegiatan inilah bersumber dampak terhadap
lingkungan hidup di sekitarnya, termasuk dalam hal ini alternatif lokasi
rencana usaha dan/atau kegiatan. Posisi batas proyek ini agar dinyatakan
juga dalam koordinat.
2) Batas ekologis
Batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan menurut media transportasi limbah (air, udara), dimana
proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan
mengalami perubahan mendasar. Termasuk dalam ruang ini adalah ruang
di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang secara ekologis memberi
dampak terhadap aktivitas usaha dan/atau kegiatan.
3) Batas sosial
Batas sosial adalah ruang di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan yang
merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem
dan struktur sosial), sesuai dengan proses dinamika sosial suatu kelompok
masyarakat, yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar
akibat suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
Batas sosial ini sangat penting bagi pihak-pihak yang terlibat dalam studi
ANDAL, mengingat adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
kehidupan sosial ekonomi dan budayanya akan mengalami perubahan
mendasar akibat aktivitas usaha dan/atau kegiatan. Mengingat dampak
lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan menyebar tidak merata, maka batas sosial ditetapkan dengan
membatasi batas-batas terluar dengan memperhatikan hasil identifikasi
komunitas masyarakat yang terdapat dalam batas proyek, ekologis serta
komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan ekologis
namun berpotensi terkena dampak yang mendasar dari rencana usaha
dan/atau kegiatan melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas
umum dan fasilitas sosial.
4) Batas administratif
-10-
Dengan memperhatikan batas-batas tersebut di atas dan
mempertimbangkan kendala-kendala teknis yang dihadapi (dana, waktu,
dan tenaga), maka akan diperoleh ruang lingkup wilayah studi yang
dituangkan dalam peta dengan skala yang memadai.
Dengan demikian, ruang lingkup wilayah studi memang bertitik tolak pada
ruang bagi rencana usaha dan/atau kegiatan, kemudian diperluas ke ruang
ekosistem, ruang sosial dan ruang administratif yang lebih luas.
Batasan waktu kajian adalah batas waktu kajian yang akan digunakan dalam
melakukan prakiraan dan evaluasi dampak dalam kajian ANDAL. Batas waktu
tersebut minimal dilakukan selama umur rencana usaha dan/atau kegiatan
berlangsung. Penentuan batas waktu kajian ini selanjutnya digunakan sebagai
dasar untuk melakukan penentuan perubahan rona lingkungan tanpa adanya
rencana usaha dan/atau kegiatan atau dengan adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan.
Sebagai catatan, batas waktu yang digunakan dalam kajian AMDAL bukan
merupakan batas waktu untuk menyatakan kadaluarsa atau tidaknya suatu
kajian AMDAL.
BAB I. PENDAHULUAN
Uraikan tujuan dan manfaat mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus
dilaksanakan. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Sebagai catatan, bagian ini “bukan” menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukannnya
studi AMDAL, namun menjelaskan tujuan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dikaji dan manfaat yang akan dipenuhi dengan adanya rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut. Sebagai contoh: untuk proyek-proyek transportasi,
kebutuhan didasarkan atas adanya keterbatasan sistem transportasi yang ada.
Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi adalah untuk meningkatkan
keselamatan lalu lintas, mengatasi keterbatasan kapasitas tampung volume lalu
lintas, atau kebutuhan untuk menjaga kualitas udara regional.
1.3 Peraturan
Sebutkan peraturan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan beserta
alasan singkat mengapa peraturan tersebut digunakan sebagai acuan.
2.1 Lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah dan alternatif
komponen rencana usaha dan/atau kegiatan.
a. Status dan lingkup rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan ditelaah
Kajian AMDAL merupakan studi kelayakan dari aspek lingkungan hidup, maka
komponen rencana usaha dan/atau kegiatan harus memiliki beberapa alternatif,
antara lain alternatif lokasi, desain, proses, tata letak bangunan atau sarana
pendukung. Alternatif-alternatif yang dikaji dalam AMDAL dapat merupakan
-12-
alternatif-alternatif yang telah direncanakan sejak semula atau yang dihasilkan
selama proses kajian AMDAL berlangsung.
Adapun fungsi dan manfaat dari kajian alternatif dalam AMDAL adalah:
Uraikan dengan singkat rona lingkungan hidup di lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan. Deskripsi rona lingkungan hidup menguraikan data yang terkait atau
relevan dengan dampak yang mungkin terjadi dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Deskripsi ini didasarkan data sekunder yang bersifat aktual dan didukung oleh hasil
observasi lapangan.
Dalam hal terdapat beberapa alternatif lokasi, maka uraian rona lingkungan hidup
tersebut dilakukan untuk masing-masing alternatif lokasi.
-13-
2.3 Pelingkupan
a. Proses Pelingkupan
Deskripsi
Rencana
Kegiatan
Prioritas
Dampak Dampak Dampak
Potensial Penting Penting
Hipotetik Hipotetik
Rona
Lingkungan
Hidup
Identifikasi Evaluasi
Dampak Dampak Klasifikasi &
Potensial Potensial Prioritas
Bab ini harus dilengkapi dengan peta batas wilayah studi yang dapat
menggambarkan batas wilayah proyek, ekologis, sosial dan administratif.
-15-
Sebagai catatan, batas waktu yang digunakan dalam kajian AMDAL
“bukan” merupakan batas waktu untuk menyatakan kadaluarsa atau
tidaknya suatu kajian AMDAL.
Bab ini berisi metode-metode yang digunakan untuk pelaksanaan studi ANDAL yang
dapat menjawab berbagai dampak penting hipotetik hasil proses pelingkupan.
Bagian ini berisi metode pengumpulan data primer dan sekunder yang sahih serta
dapat dipercaya (reliable) untuk digunakan sebagai masukan dalam melakukan
prakiraan besaran dan sifat penting dampak.
Metode pengumpulan dan analisis data harus relevan dengan metode prakiraan
dampak yang digunakan, sehingga data yang dikumpulkan relevan dan representatif
dengan dampak penting hipotetik yang akan dianalisis dalam proses prakiraan
dampak yaitu :
a. Cantumkan secara jelas metode yang digunakan dalam proses pengumpulan data
berikut dengan jenis peralatan, instrumen, dan tingkat ketelitian alat yang
digunakan dalam pengumpulan data. Metode pengumpulan data yang digunakan
harus sesuai Standar Nasional Indonesia atau sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Uraikan metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil pengukuran.
Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan dalam proses
analisis data. Khusus untuk analisis data primer yang memerlukan pengujian di
laboratorium, maka harus dilakukan di laboratorium yang terakreditasi.
1. Harus dapat dijelaskan sumber data yang digunakan dan tunjukkan bahwa
sumber data yang digunakan tersebut benar-benar valid.
2. Jelaskan kesahihan dari model matematis yang digunakan dengan
menyampaikan uraian bahwa model matematis tersebut telah memperoleh
pengakuan dari berbagai literatur profesional yang relevan.
-16-
b. Percobaan/eksperimen
Jika percobaan digunakan, maka uraikan secara jelas setiap tahapan percobaan.
Di samping itu, rancangan percobaan harus representatif dengan rencana usaha
dan/atau kegiatan yang dikaji.
Jika menggunakan model simulasi visual dan peta, maka harus ada deskripsi
tertulis yang menjelaskan keterkaitan hasil simulasi atau perubahan dampak
terhadap fungsi ruang dan waktu.
d. Metode analogi
Jika menggunakan metode analogi, maka:
Jika menggunakan penilaian ahli, maka harus ada penjelasan secara ilmiah,
data-data pendukung, kualifikasi dan pengalaman dari ahli yang memberikan
penilaian dalam memprakirakan besaran dampak.
Bagian ini menguraikan metode-metode yang lazim digunakan dalam studi ANDAL
untuk mengevaluasi dampak penting yang ditimbulkan oleh usaha dan/atau kegiatan
terhadap lingkungan hidup secara holistik (seperti antara lain: matrik, bagan alir,
overlay). Metode-metode tersebut digunakan secara triangulasi untuk digunakan
sebagai:
a. dasar untuk menelaah kelayakan lingkungan hidup dari berbagai alternatif usaha
dan/atau kegiatan;
b. identifikasi dan perumusan arah pengelolaan dampak penting lingkungan hidup
yang ditimbulkan.
4.1. Pemrakarsa
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap instansi/perusahaan sebagai
pemrakarsa rencana usaha dan/atau kegiatan, nama dan alamat lengkap penanggung
jawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan.
-17-
4.2. Penyusun studi AMDAL
Pada bagian ini dicantumkan nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan, nama
dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun AMDAL, nama dan keahlian dari
masing-masing anggota penyusun AMDAL. Perlu diketahui bahwa Ketua tim
penyusun studi AMDAL harus bersertifikat AMDAL Penyusun dan sesuai
ketentuan yang berlaku, sedangkan anggota tim penyusun lainnya harus mempunyai
keahlian yang sesuai dengan lingkup studi AMDAL yang akan dilakukan.
Bagian ini menguraikan prosentase jenis-jenis biaya yang dibutuhkan dalam rangka
penyusunan studi AMDAL termasuk komponen biaya untuk pelaksanaan konsultasi
masyarakat. Uraian tersebut juga harus mencerminkan perbandingan antara biaya
studi AMDAL dan biaya investasi keseluruhan rencana usaha dan/atau kegiatan.
Pada bagian ini diungkapkan jangka waktu pelaksanaan studi ANDAL sejak tahap
persiapan hingga penyerahan laporan ke instansi yang bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian ini menguraikan pustaka atau literatur yang digunakan untuk keperluan
penyusunan dokumen KA-ANDAL. Pengambilan (pencuplikan) sumber referensi harus
mengikuti tata cara penulisan akademis yang dikenal secara luas. Hal ini termasuk
konsistensi uraian pada bab-bab sebelumnya dan daftar pustaka.
LAMPIRAN
Bagian ini melampirkan informasi tambahan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dimaksud seperti penjelasan rinci proses pelingkupan, pengumuman studi
AMDAL, butir-butir penting hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-pihak yang
terlibat (masyarakat berkepentingan) dan pengolahan data hasil konsultasi, foto-foto rona
lingkungan hidup. Disamping itu, lampiran harus mencantumkan biodata singkat personil
penyusun AMDAL dan surat pernyataan bahwa personil tersebut benar-benar melakukan
penyusunan dan ditandatangani di atas materai, serta copy sertifikat pelatihan AMDAL.
Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian KA-
ANDAL dilampirkan pada laporan akhir.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
-18-
Lampiran II : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN
ANALISIS DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP
(ANDAL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Yang dimaksud Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup selanjutnya disebut
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
Yang dimaksud dampak besar dan penting selanjutnya disebut dampak penting adalah
perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.
Abstrak juga harus mengemukakan masukan penting yang bermanfaat bagi pengambilan
keputusan, perencana, dan pengelola rencana usaha dan/atau kegiatan.
-19-
BAB I. PENDAHULUAN
Uraikan tujuan dan manfaat mengapa rencana usaha dan/atau kegiatan harus
dilaksanakan. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
Sebagai catatan, bagian ini bukan menjelaskan tujuan dan manfaat dilakukannnya
studi AMDAL, namun menjelaskan tujuan dilaksanakannya rencana usaha dan/atau
kegiatan yang dikaji dan manfaat yang akan dipenuhi dengan adanya rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut. Sebagai contoh: untuk proyek-proyek transportasi,
kebutuhan didasarkan atas adanya keterbatasan sistem transportasi yang ada.
Kebutuhan-kebutuhan khusus yang akan dipenuhi adalah untuk meningkatkan
keselamatan lalu lintas, mengatasi keterbatasan kapasitas tampung volume lalu
lintas, atau kebutuhan untuk menjaga kualitas udara regional.
1.3 Peraturan
Sebutkan peraturan yang terkait dengan rencana usaha dan/atau kegiatan beserta
alasan singkat mengapa peraturan tersebut digunakan sebagai acuan.
a. Pemrakarsa :
-20-
b. Penyusun ANDAL :
1. Nama dan alamat lengkap lembaga/perusahaan disertai dengan kualifikasi
dan rujukannya;
2. Nama dan alamat lengkap penanggung jawab penyusun ANDAL.
Uraian rencana usaha dan/atau kegiatan memuat tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan yang harus dilaksanakan.
a. Penentuan batas-batas lahan yang langsung akan digunakan oleh rencana usaha
dan/atau kegiatan harus dinyatakan dalam peta berskala memadai, dan dapat
memperlihatkan hubungan tata kaitan dan tata letak antara lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan dengan usaha dan/atau kegiatan lainnya, seperti pemukiman
(lingkungan hidup binaan manusia umumnya), dan lingkungan hidup alami yang
terdapat di sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan. Hutan lindung, cagar alam,
suaka alam, suaka marga satwa, sumber mata air, sungai, dan kawasan lindung
lainnya yang terletak dekat lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan harus
diberikan tanda istimewa dalam peta;
b. Hubungan antara lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dengan jarak dan
tersedianya sumber daya air, energi, sumber daya alam hayati dan sumber daya
alam non hayati serta sumber daya manusia yang diperlukan oleh rencana usaha
dan/atau kegiatan setelah usaha dan/atau kegiatan ini beroperasi. Hubungan ini
perlu dikemukakan dalam peta dengan skala memadai;
c. Tata letak usaha dan/atau kegiatan dilengkapi dengan peta, yang berskala
memadai, yang memuat informasi tentang letak bangunan dan struktur lainnya
yang akan dibangun dalam lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan, serta
hubungan bangunan dan struktur tersebut dengan bangunan yang sudah ada di
sekitar rencana usaha dan/atau kegiatan (jalan raya, jalan kereta api, dermaga
dan sebagainya);
1. Tahap pra-konstruksi/persiapan
Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pra-konstruksi. Uraikan secara mendalam difokuskan
pada kegiatan selama masa persiapan (pra-konstruksi) yang menjadi
penyebab timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.
2. Tahap konstruksi
(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha
dan/atau kegiatan pada tahap konstruksi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.
-21-
Misalnya:
(1) Rencana penyerapan tenaga kerja menurut jumlah, tempat asal
tenaga kerja, dan kualifikasi pendidikan;
(2) Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana (jalan, listrik, air) dari
rencana usaha dan/atau kegiatan;
(3) Kegiatan pengangkutan dan penimbunan bahan atau material yang
dapat menimbulkan dampak lingkungan hidup;
(4) Jenis-jenis dan tipe peralatan yang digunakan.
(b) Uraikan tentang usaha dan/atau kegiatan pembangunan unit atau sarana
pengendalian dampak (misal: unit pengolahan limbah), bila unit atau
sarana dimaksud direncanakan akan dibangun oleh pemrakarsa. Di
samping itu, bila ada, jelaskan pula upaya-upaya untuk mengatasi
berbagai masalah lingkungan hidup yang timbul selama masa konstruksi;
3. Tahap Operasi
(a) Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha
dan/atau kegiatan pada tahap operasi. Uraian secara mendalam
difokuskan pada usaha dan/atau kegiatan yang menjadi penyebab
timbulnya dampak penting terhadap lingkungan hidup.
Misalnya:
(1) Identifikasi bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam
proses produksi yang mungkin menimbulkan dampak penting
lingkungan hidup serta cara pengangkutan dan penyimpanannya
(misal: pestisida serta bahan berbahaya dan beracun lainnya);
(2) Rencana jumlah tenaga kerja, tempat asal tenaga kerja yang akan
diserap langsung oleh rencana usaha dan/atau kegiatan pada tahap
operasi;
(3) Rencana penyelamatan dan penanggulangan bahaya atau masalah
selama operasi baik yang bersifat fisik maupun sosial;
(4) Karakteristik limbah yang dihasilkan baik limbah padat, cair
maupun gas dan rencana-rencana pengelolaannya. Dalam kaitan ini
perlu diuraikan pula sifat-sifat limbah B3 maupun non B3.
Uraikan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan dan jadual usaha dan/atau
kegiatan pada tahap pasca operasi.
-22-
Misalnya:
(a) Rencana merapikan kembali bekas serta tempat timbunan
bahan/material, bedeng kerja, gudang, jalan darurat dan sebagainya;
(b) Rencana rehabilitasi atau reklamasi lahan yang akan dilaksanakan
setelah masa operasi berakhir;
(c) Rencana pemanfaatan kembali lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan
untuk tujuan lain bila seluruh rencana usaha dan/atau kegiatan berakhir;
(d) Rencana penanganan tenaga kerja yang dilepas setelah masa usaha
dan/atau kegiatan berakhir.
2.4 Keterkaitan rencana usaha dan/atau kegiatan dengan kegiatan lain disekitarnya
Dalam hal terdapat beberapa alternatif rencana lokasi, maka uraian kegiatan-
kegiatan yang berada di sekitar lokasi dilakukan untuk masing-masing alternatif
lokasi tersebut.
Dalam bab ini hendaknya dikemukakan rona lingkungan hidup selengkap mungkin.
Dalam hal terdapat beberapa alternatif lokasi, maka uraian rona lingkungan hidup tersebut
dilakukan untuk masing-masing alternatif. Uraian rona lingkungan hidup meliputi:
-23-
(1) Rona lingkungan hidup di wilayah studi rencana usaha dan/atau kegiatan, yang
mengungkapkan secara mendalam komponen-komponen lingkungan hidup yang
berpotensi terkena dampak penting usaha dan/atau kegiatan. Uraian rona lingkungan
hidup agar menggunakan data yang mewakili setidak-tidaknya kondisi 2 (dua) musim.
Selain itu komponen lingkungan hidup yang memiliki arti ekologis dan ekonomis
perlu mendapat perhatian;
(2) Kondisi kualitatif dan kuantitatif dari berbagai sumber daya alam yang ada di wilayah
studi rencana usaha dan/atau kegiatan, baik yang sudah atau yang akan dimanfaatkan
maupun yang masih dalam bentuk potensi. Penyajian kondisi sumber daya alam ini
perlu dikemukakan dalam peta dan atau label dengan skala memadai dan bila perlu
harus dilengkapi dengan diagram, gambar, grafik atau foto;
Bab ruang lingkup studi mencakup tentang kajian dampak penting yang ditelaah serta
wilayah studi berdasarkan hasil pelingkupan dalam KA-ANDAL (termasuk bila ada
alternatif-alternatif) serta hal-hal lain yang ditemukan selama melakukan studi ANDAL,
seperti perubahan jumlah dampak penting yang ditelaah, atau batas wilayah studi.
Masing-masing butir yang diuraikan pada bab ruang lingkup studi ini disusun dengan
mengacu pada hasil pelingkupan dalam dokumen Kerangka Acuan.
Uraikan secara singkat mengenai dampak penting yang akan ditelaah dalam
dokumen ANDAL mengacu pada hasil pelingkupan dalam dokumen KA-ANDAL
Uraian singkat tentang lingkup wilayah studi mengacu pada penetapan wilayah
studi yang digariskan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL, dan hasil pengamatan
di lapangan.
Batas wilayah studi ANDAL dimaksud digambarkan pada peta dengan skala yang
memadai.
-24-
Batas waktu kajian mengacu pada batas waktu hasil pelingkupan sebagaimana
ditentukan dalam Kerangka Acuan untuk ANDAL.
Dalam bab ini dilakukan prakiraan terhadap besaran dan sifat penting dampak. Dalam
melakukan prakiraan besaran dampak, maka hal yang perlu diperhatikan adalah
penggunaan data yang menunjukkan perubahan kualitas lingkungan dari waktu ke waktu
(time series data).
(4) Mengingat rencana usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misalnya: alternatif lokasi,
alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau alternatif teknologi proses
produksi), maka telaahan sebagaimana dimaksud pada bab V angka 1 dan 2 di atas
dilakukan untuk masing-masing alternatif yang terdapat dalam bab II angka 2.3.
huruf b;
-25-
(5) Dalam melakukan analisis prakiraan besaran dampak penting agar digunakan metode-
metode formal secara matematis. Penggunaan metode non formal hanya dilakukan
bilamana dalam melakukan analisis tersebut tidak tersedia formula-formula matematis
atau hanya dapat didekati dengan metode non formal.
Dalam bab ini hendaknya diberikan uraian mengenai hasil telaahan dampak penting dari
masing-masing alternatif rencana usaha dan/atau kegiatan. Hasil evaluasi ini selanjutnya
menjadi masukan bagi instansi yang bertanggungjawab untuk memutuskan kelayakan
lingkungan hidup dari rencana usaha dan/atau kegiatan, sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
b. Evaluasi dampak yang bersifat holistik adalah telaahan secara totalitas terhadap
beragam dampak penting hipotetik lingkungan hidup yang dimaksud pada Bab V,
dengan sumber usaha dan/atau kegiatan penyebab dampak. Beragam komponen
lingkungan hidup yang terkena dampak penting tersebut (baik positif maupun
negatif) ditelaah sebagai satu kesatuan yang saling terkait dan saling pengaruh-
mempengaruhi, sehingga diketahui sejauhmana perimbangan dampak penting
yang bersifat positif dengan yang bersifat negatif;
d. Mengingat rencana usaha dan/atau kegiatan masih berada pada tahap pemilihan
alternatif komponen rencana usaha dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi,
alternatif tata letak bangunan atau sarana pendukung, atau alternatif teknologi
proses produksi), maka telaahan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b dan c di
atas dilakukan untuk masing-masing alternatif.
Dalam hal kajian AMDAL memberikan beberapa alternatif komponen rencana usaha
dan/atau kegiatan (misal: alternatif lokasi, alternatif tata letak bangunan atau sarana
pendukung atau alternatif teknologi proses produksi), maka dalam sub bab ini sudah
harus memberikan rekomendasi pilihan alternatif terbaik serta dasar pertimbangan
pemilihan alternatif terbaik tersebut.
-26-
6.3 Telaahan sebagai dasar pengelolaan
Dalam bagian ini, telaahan sebagai dasar pengelolaan dilakukan untuk alternatif
terbaik yang terpilih pada bab VI angka 6.2 di atas. Telaahan tersebut meliputi:
a. Hubungan sebab akibat (kausatif) antara rencana usaha dan/atau kegiatan dan rona
lingkungan hidup dengan dampak positif dan negatif yang mungkin timbul.
Misalnya, mungkin saja dampak penting timbul dari rencana usaha dan/atau
kegiatan terhadap rona lingkungan hidup, karena rencana usaha dan/atau kegiatan
itu dilaksanakan di suatu lokasi yang terlalu padat manusia, atau pada tingkat
pendapatan dan pendidikan yang terlampau rendah, bentuk teknologi yang tak
sesuai dan sebagainya;
b. Ciri dampak penting ini juga perlu dikemukakan dengan jelas, dalam arti apakah
dampak penting baik positif atau negatif akan berlangsung terus selama rencana
usaha dan/atau kegiatan itu berlangsung nanti. Atau antara dampak-dampak satu
dengan dampak yang lainnya akan terdapat hubungan timbal balik yang
antagonistis dan sinergistis. Apabila dimungkinkan, uraikan kejelasan tentang
waktu ambang batas (misal: baku mutu lingkungan) dampak penting mulai timbul.
Apakah ambang batas tersebut akan mulai timbul setelah rencana usaha dan/atau
kegiatan dilaksanakan atau akan terus berlangsung sejak masa pra-konstruksi dan
akan berakhir bersama selesainya rencana usaha dan/atau kegiatan. Atau mungkin
akan terus berlangsung, umpamanya lebih dari satu generasi;
c. Kelompok masyarakat yang akan terkena dampak negatif dan kelompok yang
akan terkena dampak positif. Identifikasi kesenjangan antara perubahan yang
diinginkan dan perubahan yang mungkin terjadi akibat usaha dan/atau kegiatan
pembangunan;
d. Kemungkinan seberapa luas daerah yang akan terkena dampak penting ini, apakah
hanya akan dirasakan dampaknya secara lokal, regional, nasional, atau bahkan
internasional, melewati batas negara Republik Indonesia;
e. Analisis bencana dan analisis risiko bila rencana usaha dan/atau kegiatan berada
di dalam daerah bencana alam atau di dekat sumber bencana alam.
Dalam sub bab ini harus menyampaikan arahan yang jelas mengenai rencana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang akan dilakukan berdasarkan
hasil evaluasi dampak penting terhadap alternatif terbaik yang dipilih. Arahan
pengelolaan dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan yang menimbulkan
dampak, baik komponen kegiatan yang paling banyak memberikan dampak turunan
(dampak yang bersifat strategis) maupun komponen kegiatan yang tidak banyak
memberikan dampak turunan. Arahan pemantauan dilakukan terhadap komponen
lingkungan yang relevan untuk digunakan sebagai indikator untuk mengevaluasi
penaatan (compliance), kecenderungan (trendline) dan tingkat kritis (critical level)
dari suatu pengelolaan lingkungan hidup.
-27-
6.4 Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan
DAFTAR PUSTAKA
Dalam hal ini hendaknya dikemukakan rujukan data dan pernyataan-pernyataan penting
yang harus ditunjang oleh kepustakaan ilmiah yang mutakhir serta disajikan dalam suatu
daftar pustaka dengan penulisan yang baku.
LAMPIRAN
1. Ringkasan dasar-dasar teori, asumsi-asumsi yang digunakan, tata cara, rincian proses
dan hasil perhitungan-perhitungan yang digunakan dalam prakiraan besaran dan sifat
penting dampak serta evaluasi dampak.
2. Tanggapan dari pemrakarsa atas masukan secara tertulis selama proses penilaian
AMDAL dilampirkan pada laporan akhir.
3. Surat izin/rekomendasi yang telah diperoleh pemrakarsa sampai dengan saat akan
disusun dokumen ANDAL, RKL dan RPL;
4. Foto-foto yang dapat menggambarkan rona lingkungan hidup, usulan rencana usaha
dan/atau kegiatan sehingga bisa memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang
hubungan timbal balik serta kemungkinan dampak lingkungan hidup penting yang
akan ditimbulkannya;
5. Diagram, peta, gambar, grafik, hasil analisis laboratorium, data hasil kuesioner dan
tabel lain yang belum tercantum dalam dokumen;
6. Hal lain yang dianggap perlu atau relevan yang dimuat dalam lampiran ini.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
-28-
Lampiran III : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
(RKL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
a. Pada taraf studi kelayakan informasi tentang rencana usaha dan/atau kegiatan
(proyek) relatif masih umum, belum memiliki spesifikasi teknis yang rinci, dan
masih memiliki beberapa alternatif. Hal ini tidak lain karena pada tahap ini
memang dimaksudkan untuk mengkaji sejauhmana proyek dipandang patut atau
layak untuk dilaksanakan ditinjau dari segi teknis dan ekonomi; sebelum investasi,
tenaga, dan waktu terlanjur dicurahkan lebih banyak. Keterbatasan data dan
informasi tentang rencana usaha atau kegiatan ini sudah barang tentu berpengaruh
pada bentuk kegiatan pengelolaan yang dapat dirumuskan dalam dokumen RKL;
Di samping itu perlu diketahui bahwa rencana pengelolaan lingkungan hidup yang
tertuang dalam dokumen RKL harus terkait dengan hasil dokumen ANDAL, dalam
arti komponen lingkungan hidup yang dikelola adalah yang hanya mengalami
perubahan mendasar sebagaimana disimpulkan oleh dokumen ANDAL.
-30-
b. Rencana pengelolaan lingkungan hidup dimaksud perlu dirumuskan sedemikian
rupa sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pembuatan rancangan
rinci rekayasa, dan dasar pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan hidup;
c. Rencana pengelolaan lingkungan hidup mencakup pula upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan karyawan pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan
dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui kursus-kursus yang diperlukan
pemrakarsa berikut dengan jumlah serta kualifikasi yang akan dilatih;
d. Rencana pengelolaan lingkungan hidup juga mencakup pembentukan unit
organisasi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup untuk
melaksanakan RKL. Aspek- aspek yang perlu diutarakan sehubungan dengan hal
ini antara lain adalah struktur organisasi, lingkup tugas dan wewenang unit, serta
jumlah dan kualifikasi personalnya.
Pernyataan pelaksanaan
Pernyataan pemrakarsa untuk melaksanakan RKL dan RPL yang ditandatangani di atas
kertas bermaterai.
BAB I. PENDAHULUAN
1. Pernyataan tentang maksud dan tujuan pelaksanaan RKL dan RPL secara umum dan
jelas. Pernyataan ini harus dikemukakan secara sistematis, singkat dan jelas;
2. Pernyataan kebijakan lingkungan. Uraian tentang komitmen pemrakarsa usaha
dan/atau kegiatan untuk memenuhi (melaksanakan) ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang lingkungan yang relevan, serta komitmen untuk melakukan
penyempurnaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkelanjutan dalam
bentuk mencegah, menanggulangi dan mengendalikan dampak lingkungan yang
disebabkan oleh kegiatan-kegiatannya serta melakukan pelatihan bagi karyawannya di
bidang pengelolaan lingkungan hidup;
3. Uraian tentang kegunaan dilaksanakannya rencana pengelolaan lingkungan.
-31-
BAB II. PENDEKATAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
Untuk menangani dampak penting yang sudah diprediksi dari studi ANDAL, dapat
menggunakan salah satu atau beberapa pendekatan lingkungan hidup yang selama ini kita
kenal seperti : teknologi, sosial ekonomi, maupun institusi.
a. Pendekatan teknologi
Pendekatan ini adalah cara-cara atau teknologi yang digunakan untuk mengelola
dampak penting lingkungan hidup.
c. Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa
dalam rangka menanggulangi dampak penting lingkungan hidup.
Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh
satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut:
Jelaskan tolok ukur dampak yang akan digunakan untuk mengukur komponen
lingkungan hidup yang akan terkena dampak akibat rencana usaha dan/atau kegiatan
berdasarkan baku mutu standar (ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan);
keputusan para ahli yang dapat diterima secara ilmiah, lazim digunakan, dan/atau
telah ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan. Tolok ukur yang diutarakan adalah
yang digunakan dalam ANDAL.
-32-
3.3 Tujuan rencana pengelolaan lingkungan hidup
Uraikan secara spesifik tujuan dikelolanya dampak penting yang bersifat strategis
berikut dengan dampak turunannya yang otomatis akan turut
tercegah/tertanggulangi/terkendali.
Uraikan secara singkat rencana tentang kapan dan berapa lama kegiatan pengelolaan
lingkungan dilaksanakan dengan memperhatikan: sifat dampak penting yang dikelola
(lama berlangsung, sifat kumulatif, dan berbalik tidaknya dampak).
-33-
b. Pengawas pengelolaan lingkungan hidup
Cantumkan instansi yang akan berperan sebagai pengawas bagi terlaksananya
RKL. Instansi yang terlibat dalam pengawasan mungkin lebih dari satu instansi
sesuai dengan lingkup wewenang dan tanggung jawab, serta peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini jelaskan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan
RKL, baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil
penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara
penulisan pustaka.
LAMPIRAN
1. Ringkasan dokumen RKL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut:
Jenis Dampak, Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak, Tujuan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lokasi Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Periode Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan Institusi
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
2. Data dan informasi penting yang merujuk dari hasil studi ANDAL seperti peta-peta
(lokasi kegiatan, lokasi pengelolaan lingkungan hidup, dan lain-lain), rancangan
teknik (engineering design), matrik serta data utama yang terkait dengan rencana
pengelolaan lingkungan hidup untuk menunjang isi dokumen RKL.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
-34-
Lampiran IV : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP
(RPL)
A. PENJELASAN UMUM
1. Pengertian
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penyusunan dokumen rencana
pemantauan lingkungan hidup, yakni :
-35-
(a) Komponen/parameter lingkungan hidup yang dipantau hanyalah yang mengalami
perubahan mendasar, atau terkena dampak penting.
(b) Aspek-aspek yang dipantau perlu memperhatikan benar dampak penting yang
dinyatakan dalam ANDAL, dan sifat pengelolaan dampak lingkungan hidup yang
dirumuskan dalam dokumen RKL;
(c) Pemantauan dapat dilakukan pada sumber penyebab dampak dan/atau terhadap
komponen/parameter lingkungan hidup yang terkena dampak. Dengan memantau
kedua hal tersebut sekaligus akan dapat dinilai/diuji efektivitas kegiatan
pengelolaan lingkungan hidup yang dijalankan;
(d) Pemantauan lingkungan hidup harus layak secara ekonomi. Walau aspek-aspek
yang akan dipantau telah dibatasi pada hal-hal yang penting saja (seperti diuraikan
pada butir (a) sampai (c), namun biaya yang dikeluarkan untuk pemantauan perlu
diperhatikan mengingat kegiatan pemantauan senantiasa berlangsung sepanjang
usia usaha dan/atau kegiatan;
(e) Rancangan pengumpulan dan analisis data aspek-aspek yang perlu dipantau,
mencakup :
BAB I. PENDAHULUAN
Pendahuluan mencakup :
-36-
b. Uraikan secara sistematis, singkat, dan jelas tentang tujuan pemantauan
lingkungan hidup yang akan diupayakan pemrakarsa sehubungan dengan
pengelolaan rencana usaha dan/atau kegiatan;
Uraikan secara singkat dan jelas jenis masing-masing dampak yang ditimbulkan baik oleh
satu kegiatan atau lebih dengan urutan pembahasan sebagai berikut :
1. Jenis komponen atau parameter lingkungan hidup yang dipandang strategis untuk
dipantau;
2. Indikator dari komponen dampak penting yang dipantau.
b. Sumber dampak
Uraikan secara jelas tentang parameter lingkungan hidup yang dipantau. Parameter ini
dapat meliputi parameter dari aspek biologi, kimia, fisika dan aspek sosial, serta aspek
kesehatan masyarakat.
Uraikan secara spesifik tujuan dipantaunya suatu dampak penting lingkungan hidup,
dengan memperhatikan dampak penting yang dikelola, bentuk rencana pengelolaan
lingkungan hidup, dan dampak penting turunan yang ditimbulkannya.
Uraikan secara singkat metode yang akan digunakan untuk memantau indikator
dampak penting, yang mencakup :
Cantumkan secara singkat dan jelas metode yang digunakan dalam proses
pengumpulan data berikut dengan jenis peralatan, instrumen, atau formulir isian
yang digunakan. Cantumkan pula tingkat ketelitian alat yang digunakan dalam
pengumpulan data sehubungan dengan tingkat ketelitian yang disyaratkan dalam
Baku Mutu Lingkungan Hidup.
-37-
Selain itu uraikan pula metode yang digunakan untuk menganalisis data hasil
pengukuran. Cantumkan jenis peralatan, instrumen, dan rumus yang digunakan
dalam proses analisis data. Selain itu uraikan pula tolok ukur yang digunakan
untuk menilai kondisi kualitas lingkungan hidup yang dipantau, dan sebagai
umpan balik untuk kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. Perlu diperhatikan
bahwa metode pengumpulan dan analisis data sejauh mungkin konsisten dengan
metode yang digunakan disaat penyusunan ANDAL.
Cantumkan lokasi pemantauan yang tepat disertai dengan peta berskala yang
memadai dan menunjukkan lokasi pemantauan dimaksud. Perlu diperhatikan
bahwa lokasi pemantauan sejauh mungkin konsisten dengan lokasi pengumpulan
data disaat penyusunan ANDAL.
Uraikan tentang jangka waktu atau lama periode pemantauan berikut dengan
frekuensinya per satuan waktu. Jangka waktu dan frekuensi pemantauan
ditetapkan dengan mempertimbangkan sifat dampak penting yang dipantau
(instensitas, lama dampak berlangsung, dan sifat kumulatif dampak).
-38-
3. Pelaporan hasil pemantauan lingkungan hidup;
Cantumkan instansi-instansi yang akan dilapori hasil kegiatan pemantauan
lingkungan hidup secara berkala sesuai dengan lingkup tugas instansi yang
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini utarakan sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan
RPL baik yang berupa buku, majalah, makalah, tulisan, maupun laporan hasil-hasil
penelitian. Bahan-bahan pustaka tersebut agar ditulis dengan berpedoman pada tata cara
penulisan pustaka.
LAMPIRAN
1. Ringkasan dokumen RPL dalam bentuk tabel dengan urutan kolom sebagai berikut:
Dampak Penting Yang Dipantau, Sumber Dampak, Tujuan Pemantauan Lingkungan
Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (yang meliputi Metode Pengumpulan
Data, Lokasi Pemantauan Lingkungan Hidup, Jangka Waktu dan Frekuensi
Pemantauan Lingkungan Hidup, serta Metode Analisis), dan Institusi Pemantau
Lingkungan Hidup.
2. Data dan informasi yang dipandang penting untuk dilampirkan karena menunjang isi
dokumen RPL.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
-39-
Lampiran V : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 08 Tahun 2006
Tanggal : 30 Agustus 2006
PEDOMAN PENYUSUNAN
RINGKASAN EKSEKUTIF
BAB I PENDAHULUAN
Pada bagian ini uraikan latar belakang dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatan
ditinjau dari tujuan dan manfaat proyek. Uraian tersebut mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
-40-
d. Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan
Rekomendasi penilaian kelayakan lingkungan merupakan pernyataan secara jelas terhadap
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang
didasarkan atas hasil evaluasi dampak dan arahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup untuk alternatif terbaik yang terpilih.
e. Waktu pelaksanaan
Pada bagian ini tuliskan waktu pelaksanaan atau jadual rencana kegiatan untuk setiap jenis
kegiatan dan tahapan kegiatan (pra-konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi).
f. Pemrakarsa kegiatan
Pada bagian ini tuliskan nama pemrakarsa yang meliputi: nama dan alamat lengkap
instansi/perusahaan dan alamat lengkap penanggung jawab pelaksanaan rencana usaha
dan/atau kegiatan.
Pada bagian ini uraikan secara singkat dan jelas dampak penting yang harus dikelola sesuai hasil
evaluasi dampak.
Pada bagian ini uraikan secara singkat dan jelas pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
yang dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak-dampak penting lingkungan hidup yang
ditimbulkan sebagaimana dimaksud pada bab II.
Uraian tersebut dapat dibuat dalam bentuk tabel dengan rincian sebagai berikut:
a. Pengelolaan lingkungan hidup (Jenis Dampak, Sumber Dampak, Tolok Ukur Dampak,
Tujuan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Teknik Pengelolaan, Lokasi Pengelolaan, Waktu
Pengelolaan dan Pelaksana Pengelolaan).
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
-41-
SALINAN
TENTANG
1
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3699);
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan
Menteri ini.
Pasal 2
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam Lampiran I Peraturan
Menteri ini tetapi lokasinya berbatasan langsung dengan kawasan lindung sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Pasal 3
Dalam hal skala/besaran suatu jenis rencana usaha dan/atau kegiatan lebih kecil daripada
skala/besaran yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini akan tetapi atas
dasar pertimbangan ilmiah mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan serta
tipologi ekosistem setempat diperkirakan berdampak penting terhadap lingkungan hidup,
maka Bupati atau Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta
dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut sebagai Jenis Rencana
Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
2
Pasal 4
Bupati atau Walikota atau Gubernur dan/atau masyarakat dapat mengajukan usulan
secara tertulis kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup mengenai jenis rencana usaha
dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini tetapi
mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup, untuk ditetapkan sebagai jenis
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup.
Pasal 5
Pasal 6
Menteri Negara Lingkungan Hidup dapat menetapkan jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
bagi jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak tercantum dalam Lampiran I
Peraturan Menteri ini berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Peraturan Menteri ini setelah mendengar dan memperhatikan saran serta
pendapat Menteri lain dan/atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang
terkait.
Pasal 7
(1) Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
Peraturan Menteri ini dapat berkurang dalam hal:
a. dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dapat ditanggulangi
berdasarkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan/atau
b. dalam kenyataannya jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b tidak diwajibkan dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
(3) Dalam menentukan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri wajib mempertimbangkan saran dan masukan
dari sektor terkait dan pendapat para ahli.
3
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang
dikecualikan dari jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 8
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri
ini dapat ditinjau kembali paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 9
Khusus untuk bidang rekayasa genetika, ketentuan tentang jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf M Peraturan Menteri ini berlaku sampai
dengan ditetapkannya Peraturan Presiden yang mengatur Komisi Keamanan Hayati
Produk Rekayasa Genetik.
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 17 tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang
Wajib Dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri ini mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 02 Oktober 2006
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
4
Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 11 Tahun 2006
Tanggal : 02 Oktober 2006
Jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ditetapkan berdasarkan:
a. Potensi dampak penting
Sesuai Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, jenis usaha
dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib dilengkapi dengan AMDAL. Potensi dampak penting
bagi setiap jenis usaha dan/atau kegiatan tersebut ditetapkan berdasarkan:
(1) Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 056 Tahun 1994 tentang Pedoman
Mengenai Ukuran Dampak Penting.
(2) Referensi internasional yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai
landasan kebijakan tentang AMDAL.
b. Ketidakpastian kemampuan teknologi yang tersedia untuk menanggulangi
dampak penting negatif yang akan timbul.
A. Bidang Pertahanan
5
dampak akibat limbah cair,
sampah padat dan
kebisingan pesawat.
3 Pembangunan Pusat Latihan Bangunan pangkalan dan
Tempur fasilitas pendukung,
- Luas > 10.000 ha termasuk daerah
penyangga, tertutup bagi
masyarakat.
Kegiatan latihan tempur
berpotensi menyebabkan
dampak akibat limbah cair,
sampah padat dan
kebisingan akibat ledakan.
B. Bidang Pertanian
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas
air akibat kegiatan pembukaan lahan, persebaran hama, penyakit dan gulma pada
saat beroperasi, serta perubahan kesuburan tanah akibat penggunaan
pestisida/herbisida. Disamping itu sering pula muncul potensi konflik sosial dan
penyebaran penyakit endemik.
6
b.Tahunan dengan atau tanpa
unit pengolahannya:
- Dalam kawasan budidaya
non kehutanan, luas > 3.000 ha
- Dalam kawasan budidaya
kehutanan, luas Semua besaran
C. Bidang Perikanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tambak udang,
ikan adalah perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi, dan bentang alam.
Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis dan kelimpahan
dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berada di kawasan tersebut.
7
- Di air laut Mengganggu alur
Luas, atau > 5 ha pelayaran.
Jumlah > 1.000 unit
D. Bidang Kehutanan
E. Bidang Perhubungan
8
kebisingan, getaran, gangguan
pandangan, gangguan jaringan
prasarana sosial (gas, listrik,
air minum, telekomunikasi)
dan dampak sosial di sekitar
kegiatan tersebut.
3. Pembangunan terminal terpadu Berpotensi menimbulkan
Moda dan Fungsi dampak berupa emisi,
- Luas 2 ha gangguan lalu lintas,
kebisingan, getaran, ekologis,
tata ruang dan sosial.
4. a.Pengerukan perairan dengan Berpotensi menimbulkan
Capital Dredging dampak penting terhadap
- Volume > 500.000 m3 sistem hidrologi dan ekologis
yang lebih luas dari batas
tapak kegiatan itu sendiri,
b.Pengerukan perairan sungai Semua besaran perubahan batimetri,
dan/atau laut dengan capital ekosistem, dan mengganggu
dredging yang memotong proses-proses alamiah di
material karang dan/atau batu daerah perairan (sungai dan
laut) termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang
dapat menimbulkan dampak
sosial. Kegiatan ini juga akan
menimbulkan gangguan
terhadap lalu lintas pelayaran
perairan.
5. Pembangunan pelabuhan Kunjungan kapal yang
dengan salah satu fasilitas cukup tinggi dengan bobot
berikut: sekitar 5.000-10.000 DWT
a.Dermaga dengan bentuk serta draft kapal minimum
konstruksi sheet pile atau 4-7 m sehingga kondisi
open pile kedalaman yang dibutuhkan
- Panjang, atau > 200 m menjadi –5 s/d –9 m LWS.
- Luas > 6.000 m2 Berpotensi menimbulkan
dampak penting terhadap
b.Dermaga dengan konstruksi Semua besaran perubahan arus
masif pantai/pendangkalan dan
sistem hidrologi, ekosistem,
kebisingan dan dapat
mengganggu proses-proses
alamiah di daerah pantai
(coastal processes).
c.Penahan gelombang (talud) Berpotensi menimbulkan
dan/ atau pemecah dampak terhadap ekosistem,
gelombang (break water) hidrologi, garis pantai dan
9
- Panjang > 200 m batimetri serta mengganggu
proses-proses alamiah yang
terjadi di daerah pantai.
d.Prasarana pendukung Berpotensi menimbulkan
pelabuhan (terminal, gudang, dampak berupa emisi,
peti kemas, dan lain-lain) gangguan lalulintas,
- Luas > 5 ha aksesibilitas transportasi,
kebisingan, getaran, gangguan
pandangan, ekologis, dampak
sosial dan keamanan disekitar
kegiatan serta membutuhkan
area yang luas.
e.Single Point Mooring Boey Kunjungan kapal yang cukup
- Untuk kapal > 10.000 DWT tinggi dengan bobot sekitar
5.000 – 10.000 DWT serta
draft kapal minimum 4-7m
sehingga kondisi kedalaman
yang dibutuhkan menjadi –5
s/d –9 m LWS.
Berpotensi menimbulkan
dampak berupa gangguan alur
pelayaran, perubahan
batimetri, ekosistem, dan
mengganggu proses-proses
alamiah di daerah pantai
terutama apabila yang
dibongkar muat minyak
mentah yang berpotensi
menimbulkan pencemaran laut
dari tumpahan minyak.
6. Reklamasi (pengurugan): Berpotensi menimbulkan
- Luas, atau > 25 ha dampak terhadap sistem
- Volume > 500.000 m3 geohidrologi,
hidrooseanografi, dampak
sosial, ekologis, perubahan
garis pantai, kestabilan lahan,
lalu lintas serta mengganggu
proses-proses alamiah di
daerah pantai.
7. Kegiatan penempatan hasil Menyebabkan terjadinya
keruk (dumping) di darat: perubahan bentang lahan yang
- Volume, atau > 500.000 m3 akan mempengaruhi ekologis,
- Luas area dumping > 5 ha hidrologi setempat.
10
8. Pembangunan bandar udara Semua besaran Termasuk kegiatan yang
baru beserta fasilitasnya (untuk kelompok bandar berteknologi tinggi, harus
fixed wing maupun rotary udara (A, B, dan C) memperhatikan ketentuan
wing) beserta hasil studi keselamatan penerbangan
rencana induk yang dan terikat dengan konvensi
telah disetujui internasional.
Berpotensi menimbulkan
dampak berupa kebisingan,
getaran, dampak sosial,
keamanan negara, emisi
dan kemungkinan
bangkitan transportasi baik
darat dan udara.
Adanya ketentuan KKOP
(Kawasan Keselamatan
Operasi Penerbangan) yang
membatasi pemanfaatan
ruang udara serta
berpotensi menimbulkan
dampak sosial.
9. Pengembangan bandar udara Termasuk kegiatan
beserta salah satu fasilitas berteknologi tinggi, harus
berikut: memenuhi aturan
a.Landasan pacu keselamatan penerbangan
- Panjang > 200 m dan terikat dengan konvensi
b.Terminal penumpang atau internasional.
terminal kargo Berpotensi menimbulkan
- Luas > 2000 m2 dampak kebisingan,
c.Pengambilan air tanah 50 liter/detik getaran, dampak sosial,
(dari 1 sumur keamanan negara, emisi
sampai dengan 5 dan kemungkinan
sumur dalam satu bangkitan transportasi baik
area < 10 ha) darat dan udara, mobilisasi
penumpang meningkat.
Dampak potensial berupa
limbah padat, limbah cair,
udara, dan bau yang dapat
mengganggu kesehatan.
Pengoperasian jenis
pesawat yang dapat
dilayani oleh bandara.
11
b.Reklamasi pantai: dan terikat dengan konvensi
- Luas, atau > 25 ha internasional.
- Volume urugan > 100.000 m3 Berpotensi menimbulkan
c.Pemotongan bukit dan dampak kebisingan,
pengurugan lahan dengan getaran, dampak sosial,
volume ≥ 500.000 m3 keamanan negara, emisi
dan kemungkinan
bangkitan transportasi baik
darat dan udara.
G. Bidang Perindustrian
12
Debu yang keluar dari
cerobong.
Penggunaan lahan yang
luas.
Kebutuhan air cukup besar
(3,5 ton semen
membutuhkan 1 ton air).
Kebutuhan energi cukup
besar baik tenaga listrik
(110 – 140 kWh/ton) dan
tenaga panas (800 – 900
Kcal/ton).
Tenaga kerja besar (+ 1-2
TK/3000 ton produk).
Potensi berbagai jenis
limbah: padat (tailing),
debu (CaO, SiO2, Al2O3,
FeO2) dengan radius 2-3
km, limbah cair (sisa
cooling mengandung
minyak lubrikasi/pelumas),
limbah gas (CO2, SOx,
NOx) dari pembakaran
energi batubara, minyak
dan gas.
2. Industri pulp atau industri Semua besaran Proses pembuatan pulp
kertas yang terintegrasi dengan meliputi kegiatan penyiapan
industri pulp, kecuali pulp dari bahan baku, pemasakan
kertas bekas dan pulp untuk serpihan kayu, pencucian
kertas budaya pulp, pemutihan pulp
(bleaching) dan pembentukan
lembaran pulp yang dalam
prosesnya banyak
menggunakan bahan-bahan
kimia, sehingga berpotensi
menghasilkan limbah cair
(BOD, COD, TSS), limbah
gas (H2S, SO2, NOx, Cl2) dan
limbah padat (ampas kayu,
serat pulp, lumpur kering).
13
Tenaga kerja besar.
Kebutuhan energi besar
(0,2 MW/1000 ton produk).
3. Industri petrokimia hulu Semua besaran Industri petrokimia hulu
adalah industri yang
mengolah hasil tambang
mineral (kondensat) terdiri
dari Pusat Olefin yang
menghasilkan Benzena,
Propilena dan Butadiena serta
Pusat Aromatik yang
menghasilkan Benzena,
Toluena, Xylena, dan
Etil Benzena.
14
Pengadaan dan
pengoperasian alat-alat
berat.
Mobilisasi tenaga kerja (90
– 110 TK/ha).
Kebutuhan pemukiman dan
fasilitas sosial.
Kebutuhan air bersih
dengan tingkat kebutuhan
rata-rata 0,55 – 0,75 l/dt/ha.
Kebutuhan energi listrik
cukup besar baik dalam
kaitan dengan jenis
pembangkit ataupun trace
jaringan (0,1 MW/ha).
Potensi berbagai jenis
limbah dan cemaran yang
masih prediktif terutama
dalam hal cara
pengelolaannya.
Bangkitan lalu lintas.
5. Industri galangan kapal dengan 50.000 DWT Sistem graving dock adalah
sistem graving dock galangan kapal yang
dilengkapi dengan kolam
perbaikan dengan ukuran
panjang 150 m, lebar 30 m,
dan kedalaman 10 m dengan
sistem sirkulasi.
Pembuatan kolam graving ini
dilakukan dengan mengeruk
laut yang dikhawatirkan akan
menyebabkan longsoran
ataupun abrasi pantai.
6. Industri amunisi dan bahan Semua besaran Industri amunisi dan bahan
peledak peledak merupakan industri
yang dalam proses
produksinya menggunakan
15
bahan-bahan kimia yang
bersifat B3, disamping
kegiatannya membutuhkan
tingkat keamanan yang tinggi.
7. Kegiatan industri yang tidak Besaran untuk masing-masing
termasuk angka 1 s/d 6 tipologi kota diperhitungkan
berdasarkan:
Penggunaan areal: Tingkat pembebasan lahan.
a.Urban: Daya dukung lahan; seperti
- Metropolitan, luas > 5 ha daya dukung tanah,
- Kota besar, luas > 10 ha kapasitas resapan air tanah,
- Kota sedang, luas > 15 ha tingkat kepadatan
- Kota kecil, luas > 20 ha bangunan per hektar, dan
lain-lain.
b.Rural/pedesaan, luas > 30 ha Umumnya dampak yang
ditimbulkan berupa:
Bangkitan lalu lintas.
Konflik sosial.
Penurunan kualitas
lingkungan.
16
sebesar ini berpotensi
mengakibatkan genangan
yang cukup besar dibagian
hilirnya.
Akan mempengaruhi pola
iklim mikro pada kawasan
sekitarnya dan ekosistem
daerah hulu dan hilir
bendungan/waduk.
Dampak pada hidrologi.
17
menimbulkan dampak
sosial.
c. Pencetakan sawah, luas > 500 ha Memerlukan alat berat
(perkelompok) dalam jumlah yang cukup
banyak.
Perubahan Tata Air.
3. Pengembangan Rawa: > 1.000 ha Berpotensi mengubah
Reklamasi rawa untuk ekosistem dan iklim mikro
kepentingan irigasi pada kawasan tersebut dan
berpengaruh pada kawasan
di sekitarnya.
Berpotensi mengubah
sistem tata air yang ada
pada kawasan yang luas
secara drastis.
4. Pembangunan Pengaman Pembangunan pada
Pantai dan perbaikan muara rentang kawasan pantai
sungai: selebar > 500 m berpotensi
- Jarak dihitung tegak lurus mengubah ekologi
pantai > 500 m kawasan pantai dan muara
sungai sehingga
berdampak terhadap
keseimbangan ekosistem
yang ada.
Gelombang pasang laut
(tsunami) di Indonesia
berpotensi menjangkau
kawasan sepanjang 500 m
dari tepi pantai, sehingga
diperlukan kajian khusus
untuk pengembangan
kawasan pantai yang
mencakup rentang lebih
dari 500 m dari garis
pantai.
5. Normalisasi Sungai (termasuk Terjadi timbunan tanah
sodetan) dan Pembuatan Kanal galian di kanan kiri sungai
Banjir yang menimbulkan
a.Kota besar/metropolitan dampak lingkungan,
- Panjang, atau > 5 km dampak sosial, dan
- Volume pengerukan > 500.000 m3 gangguan.
Mobilisasi alat besar dapat
menimbulkan gangguan
dan dampak.
18
b.Kota sedang Terjadi timbunan tanah
- Panjang, atau > 10 km galian di kanan kiri sungai
- Volume pengerukan > 500.000 m3 yang menimbulkan
dampak lingkungan,
dampak sosial, dan
gangguan.
Mobilisasi alat besar dapat
menimbulkan gangguan
dan dampak.
c.Pedesaan Terjadi timbunan tanah
- Panjang, atau > 15 km galian di kanan kiri sungai
- Volume pengerukan > 500.000 m3 yang menimbulkan
dampak lingkungan,
dampak sosial, dan
gangguan.
Mobilisasi alat besar dapat
menimbulkan gangguan
dan dampak.
19
telekomunikasi) dan dampak
sosial di sekitar kegiatan
tersebut.
9. Persampahan
a.Pembangunan TPA sampah
domestik Pembuangan
dengan sistem control
landfill/ sanitary landfill
termasuk instalasi
penunjangnnya Dampak potensial adalah
- Luas kawasan TPA, atau > 10 ha pencemaran gas/udara, risiko
- Kapasitas total > 10.000 ton kesehatan masyarakat dan
b.TPA di daerah pasang surut, pencemaran dari leachate
- Luas landfill, atau > 5 ha Dampak potensial berupa
- Kapasitas total > 5.000 ton pencemaran dari leachate,
c.Pembangunan transfer udara, bau, vektor penyakit
station dan gangguan kesehatan.
- Kapasitas > 1.000 ton/hari
Dampak potensial berupa
pencemaran udara, bau,
vektor penyakit dan
gangguan kesehatan.
20
10 Pembangunan Besaran untuk masing-
Perumahan/Permukiman masing tipologi kota
a.Kota metropolitan, luas > 25 ha diperhitungkan berdasarkan:
b.Kota besar, luas > 50 ha Tingkat pembebasan lahan.
c.Kota sedang dan kecil, Daya dukung lahan; seperti
luas > 100 ha daya dukung tanah,
kapasitas resapan air tanah,
tingkat kepadatan
bangunan per hektar.
Tingkat kebutuhan air
sehari-hari.
Limbah yang dihasilkan
sebagai akibat hasil
kegiatan perumahan dan
pemukiman.
Efek pembangunan
terhadap lingkungan
sekitar (mobilisasi material
dan manusia).
KDB (koefisien dasar
bangunan) dan KLB
(koefisien luas bangunan).
11 Air Limbah Domestik Setara dengan layanan
a.Pembangunan Instalasi untuk 100.000 orang.
Pengolahan Lumpur Tinja Dampak potensial berupa
(IPLT), termasuk fasilitas bau, gangguan kesehatan,
penunjangnya lumpur sisa yang tidak
- Luas, atau 2 ha diolah dengan baik dan
- Kapasitasnya 11 m3/hari gangguan visual.
21
12. Pembangunan saluran drainase Berpotensi menimbulkan
(primer dan/atau sekunder) di gangguan lalu lintas,
permukiman kerusakan prasarana dan
a.kota besar/ metropolitan, sarana umum, pencemaran di
panjang 5 km daerah hilir, perubahan tata
b.kota sedang, panjang 10 km air di sekitar jaringan,
bertambahnya aliran puncak
dan perubahan perilaku
masyarakat
di sekitar jaringan.
Pembangunan drainase
sekunder di kota sedang yang
melewati permukiman padat
13. Jaringan air bersih di kota
besar/metropolitan Berpotensi menimbulkan
a.Pembangunan jaringan dampak hidrologi dan
distribusi persoalan keterbatasan air.
- Luas layanan > 500 ha
b.Pembangunan jaringan
transmisi
- Panjang > 10 km
14. Pengambilan air dari danau, Setara kebutuhan air bersih
sungai, mata air permukaan, 200.000 orang.
atau sumber air permukaan Setara kebutuhan kota
lainnya sedang.
- Debit pengambilan > 250 l/dt
15. Pembangunan Pusat Besaran diperhitungkan
Perkantoran, Pendidikan, berdasarkan:
Olahraga, Kesenian, Tempat Pembebasan lahan.
Ibadah, Pusat perdagangan/ Daya dukung lahan.
perbelanjaan relatif Tingkat kebutuhan air
terkonsentrasi sehari-hari.
- Luas lahan, atau > 5 ha Limbah yang dihasilkan.
- Bangunan >10.000 m2 Efek pembangunan
terhadap lingkungan
sekitar (getaran,
kebisingan, polusi udara,
dan lain-lain).
KDB (koefisien dasar
bangunan) dan KLB.
(koefisien luas bangunan)
Jumlah dan jenis pohon
yang mungkin hilang.
22
relatif terkonsentrasi dengan
luas tersebut diperkirakan
akan menimbulkan dampak
penting:
Konflik sosial akibat
pembebasan lahan
(umumnya berlokasi dekat
pusat kota yang memiliki
kepadatan tinggi).
Struktur bangunan
bertingkat tinggi dan
basement menyebabkan
masalah dewatering dan
gangguan tiang-tiang
pancang terhadap akuifer
sumber air sekitar.
Bangkitan pergerakan
(traffic) dan kebutuhan
permukiman dari tenaga
kerja yang besar.
Bangkitan pergerakan dan
kebutuhan parkir
pengunjung.
Produksi sampah.
16. Pembangunan kawasan Berpotensi menimbulkan
pemukiman untuk pemindahan dampak yang disebabkan
penduduk/transmigrasi oleh:
(Pemukiman Transmigrasi Pembebasan lahan.
Baru Pola Tanaman Pangan) Tingkat kebutuhan air.
- Luas lahan > 2000 ha Daya dukung lahan; seperti
daya dukung tanah,
kapasitas resapan air tanah,
tingkat kepadatan
bangunan per hektar, dan
lain-lain.
23
memberikan dampak
penting terhadap kualitas
udara, kebisingan, getaran
apabila menggunakan
peledak, serta dampak dari
limbah yang dihasilkan.
2. Tahap eksploitasi: Berpotensi menimbulkan
a.Eksploitasi dan dampak terhadap air, udara,
pengembangan uap panas 55 MW flora, fauna, sosial, ekonomi,
bumi dan/atau dan budaya masyarakat
Pengembangan panas bumi sekitar.
b.Batubara/gambut Jumlah pemindahan material
- Kapasitas, dan/atau 1.000.000 berpengaruh terhadap
- Jumlah material penutup ton/tahun intensitas dampak yang akan
yang dipindahkan 4.000.000 ton terjadi.
c.Bijih Primer Jumlah pemindahan material
- Kapasitas, dan/atau 400.000 ton/tahun berpengaruh terhadap
- Jumlah material penutup 1.000.000 ton intensitas dampak yang akan
yang dipindahkan terjadi.
d. Bijih Sekunder/Endapan Jumlah pemindahan material
Alluvial berpengaruh terhadap
- Kapasitas, dan/atau 300.000 ton/tahun intensitas dampak yang akan
- Jumlah material penutup 1.000.000 ton terjadi.
yang dipindahkan
e.Bahan galian bukan logam Jumlah pemindahan material
atau bahan galian golongan C berpengaruh terhadap
- Kapasitas, dan/atau 250.000 intensitas dampak yang akan
m3/tahun terjadi.
- Jumlah material penutup 1.000.000 ton
yang dipindahkan
f. Bahan galian radioaktif, Semua besaran Sampai saat ini bahan
termasuk pengolahan, radioaktif digunakan sebagai
penambangan dan pemurnian bahan bakar reaktor nuklir
maupun senjata nuklir. Oleh
sebab itu, selain dampak
penting yang dapat
ditimbulkan, keterkaitannya
dengan masalah pertahanan
dan keamanan menjadi alasan
mengapa kegiatan ini wajib
dilengkapi AMDAL untuk
semua besaran.
24
g.Pengambilan air bawah tanah 50 liter/detik (dari Potensi perubahan dan
(sumur tanah dangkal, sumur 1 sumur sampai gangguan sistem
tanah dalam, dan mata air) dengan 5 sumur hidrogeologi.
dalam satu area <
10 ha)
h.Tambang di laut Semua besaran Berpotensi menimbulkan
dampak berupa perubahan
batimetri, ekosistem pesisir
dan laut, mengganggu alur
pelayaran dan proses-proses
alamiah di daerah pantai
termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang
dapat menimbulkan dampak
sosial, ekonomi, dan
kesehatan terhadap nelayan
dan masyarakat sekitar.
3. Melakukan penempatan tailing Semua besaran Memerlukan lokasi khusus
di bawah laut (Submarine dan berpotensi menimbulkan
Tailing Disposal) dampak berupa perubahan
batimetri, ekosistem pesisir
dan laut, mengganggu alur
pelayaran dan proses-proses
alamiah di daerah pantai
termasuk menurunnya
produktivitas kawasan yang
dapat menimbulkan dampak
sosial, ekonomi, dan
kesehatan terhadap nelayan
dan masyarakat sekitar.
4. Melakukan pengolahan bijih Semua besaran Sianida dan air raksa
dengan proses sianidasi atau merupakan Bahan Berbahaya
amalgamasi dan Beracun (B3) yang
berpotensi menimbulkan
pencemaran air permukaan,
air tanah dan udara.
25
Pencemaran udara, air dan
tanah.
Potensi kerusakan
ekosistem.
Pertimbangan ekonomis.
- Lapangan gas 30 MMSCFD Potensi menimbulkan
limbah B3 dari lumpur
pengeboran.
Potensi ledakan.
Pencemaran udara, air dan
tanah.
Pertimbangan ekonomis.
. b Di laut Potensi menimbulkan
- Lapangan Minyak 15.000 BOPD limbah B3 dari lumpur
- Lapangan Gas 90 MMSCFD pengeboran.
jumlah total Potensi ledakan.
lapangan semua Pencemaran udara, air.
sumur Pertimbangan ekonomis.
Perubahan Ekosistem laut.
2. Transmisi MIGAS di laut Termasuk distribusinya
- Panjang, atau 100 km dilakukan dari rumah ke
- Bertekanan 16 bar rumah.
Pemanfaatan lahan yang
tumpang tindih dengan
aktifitas nelayan dianggap
cukup luas lintas
kabupaten/kota juga dapat
mengganggu aktivitas
nelayan.
Penyiapan area konstruksi
dapat menimbulkan
gangguan terhadap daerah
sensitif.
Pengoperasian pipa rawan
terhadap gangguan
aktivitas lalu lintas kapal
buang sauh, penambangan
pasir.
Tekanan operasi pipa
cukup tinggi sehingga
berbahaya terhadap
kegiatan/aktifitas nelayan,
tambang pasir dan alur
pelayaran.
26
3. Pembangunan kilang: Potensi konflik sosial.
- LPG ≥ 50 MMSCFD Merupakan industri
- LNG ≥ 550 MMSCFD strategis.
- Minyak ≥ 10.000 BOPD Potensi dampak dari
sarana penunjang khusus.
Proses pengolahan
menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan
limbah yang bersifat
turunan.
Berpotensi menghasilkan
limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
Membutuhkan area yang
cukup luas.
Khusus LNG, berpotensi
menghasilkan limbah gas
H2S.
Potensi perubahan dan
gangguan sistem
geohidrologi.
Berpotensi mengubah
ekosistem yang lebih luas.
4. Kilang minyak pelumas bekas ≥ 10.000 ton/tahun Potensi konflik sosial.
(termasuk fasilitas penunjang) Merupakan industri
strategis.
Potensi dampak dari
sarana penunjang khusus.
Proses pengolahan
menggunakan bahan yang
berpotensi menghasilkan
limbah yang bersifat
turunan.
Berpotensi menghasilkan
limbah gas, padat dan cair
yang cukup besar.
Membutuhkan area yang
cukup luas.
Potensi perubahan dan
gangguan sistem
geohidrologi.
C. LISTRIK DAN
PEMANFAATAN ENERGI
1. Pembangunan jaringan > 150 kV Keresahan masyarakat
transmisi karena harga tanah turun
27
Adanya medan magnet
dan medan listrik.
Aspek sosial, ekonomi dan
budaya terutama pada
pembebasan lahan dan
keresahan masyarakat.
2. Pembangunan Berpotensi menimbulkan
a. PLTD/PLTG/PLTU/PLTGU 100 MW (dalam dampak pada:
satu lokasi) Aspek fisik kimia,
terutama pada kualitas
udara (emisi, ambient dan
kebisingan) dan kualitas
air (ceceran minyak
pelumas, limbah bahang)
serta air tanah.
Aspek sosial, ekonomi dan
budaya, terutama pada saat
pembebasan lahan dan
pemindahan penduduk.
28
Kegagalan bendungan
(dam break), akan
mengakibatkan gelombang
banjir (flood surge) yang
sangat potensial untuk
merusak lingkungan di
bagian hilirnya.
Pada skala ini dibutuhkan
spesifikasi khusus baik
bagi material dan desain
konstruksinya.
Pada skala ini diperlukan
quarry/burrow area yang
besar, sehingga berpotensi
menimbulkan dampak.
Dampak pada hidrologi.
J. Bidang Pariwisata
29
K. Bidang Pengembangan Nuklir
30
pendingin berkurang, akan
terjadi pengurangan perisai
terhadap radiasi. Jika air
pendingin kualitasnya
menurun, akan terjadi
korosi yang dapat
menyebabkan terlepasnya
zat radioaktif ke dalam air.
e.Produksi Radioisotop Semua instalasi Semua tahapan dalam
proses berpotensi
mencemari dan
membahayakan lingkungan
dalam bentuk paparan
radiasi.
31
- Pengolahan dengan Semua besaran
insinerator.
- Pengolahan secara biologis Semua besaran
(land farming, biopile,
composting, bioventing,
biosparging, bioslurping,
alternate electron
acceptors, fitoremediasi).
e.Setiap kegiatan penimbunan Semua besaran
limbah B3 sebagai kegiatan
utama.
32
Daftar Singkatan:
m = meter
m2 = meter persegi
m3 = meter kubik
km = kilometer
km2 = kilometer persegi
ha = hektar
l = liter
dt = detik
kW = kilowatt
kWh = kilowatt hour
kV = kilovolt
MW = megawatt
TBq = Terra Becquerel
BOPD = barrel oil per day = minyak barrel per hari
MMSCFD = million metric square cubic feet per day = juta metrik persegi kaki
kubik per hari
DWT = dead weight tonnage = bobot mati
KK = kepala keluarga
LPG = Liquiefied Petroleum Gas = gas minyak bumi yang dicairkan
LNG = Liquiefied Natural Gas = gas alam yang dicairkan
ROW = right of way = daerah milik jalan (damija)
BOD = biological oxygen demand = kebutuhan oksigen biologis
COD = chemical oxygen demand = kebutuhan oksigen kimiawi
DO = dissolved oxygen = oksigen terlarut
TSS = total suspended solid = total padatan tersuspensi
TDS = total dissolved solid = total padatan terlarut
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
33
Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 11 Tahun 2006
Tanggal : 02 Oktober 2006
Kawasan Lindung yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dan Pasal 37 Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung,
adalah sebagai berikut:
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
34
Lampiran III
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 11 Tahun 2006
Tanggal : 02 Oktober 2006
Penapisan jenis rencana usaha dan/atau kegiatan yang tidak terdapat dalam daftar jenis
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah 1
Lakukan pengisian terhadap daftar pertanyaan berikut, terkait lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan:
Apakah lokasi rencana usaha dan/atau Ya/Tidak/Ragu-ragu Apakah hal tersebut akan
kegiatan: Jelaskan secara ringkas berdampak penting?
Ya/Tidak/Ragu-ragu
Kenapa?
1. Akan mengubah tata guna lahan
yang ada?
2. Akan mengubah kelimpahan,
kualitas dan daya regenerasi
sumber daya alam yang berada di
lokasi?
3. Akan mengubah kapasitas
absorbsi lingkungan alami,
khususnya daerah berikut?
a. Lahan basah
b.Daerah pesisir
c. Area pegunungan dan hutan
d.Kawasan lindung alam dan
taman nasional
e. Kawasan yang dilindungi oleh
peraturan perundangan yang
berlaku
f. Daerah yang memiliki kualitas
lingkungan yang telah
melebihi batas ambang yang
ditetapkan
g.Daerah berpopulasi padat
h.Lansekap yang memiliki nilai
penting sejarah, budaya atau
arkeologi
35
Langkah 2
Lakukan pengisian terhadap daftar pertanyaan berikut untuk menilai karakteristik rencana
usaha dan/atau kegiatan.
Jawaban “YA” merupakan indikasi bahwa jenis rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut
wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).
36
Langkah 3
Lakukan penentuan dampak penting untuk setiap jawaban ”YA” dari daftar pertanyaan
pada Langkah 1 dan Langkah 2 menggunakan kriteria penentuan dampak penting berikut:
Langkah 4
Pelajari apakah dalam 10 tahun terakhir hasil implementasi pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup dari jenis usaha dan/atau kegiatan dimaksud menunjukkan bahwa:
a. usaha dan/atau kegiatan dimaksud senantiasa menimbulkan dampak penting negatif
yang hampir serupa di seluruh wilayah Indonesia.
b. tidak tersedia ilmu pengetahuan dan teknologi, tata cara atau tata kerja untuk
mengelola dampak penting negatif usaha dan/atau kegiatan dimaksud, baik yang
bersifat terintegrasi dengan proses produksi maupun terpisah dari proses produksi.
Langkah 5
Bila hasil analisis langkah 4 menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir dampak
lingkungan usaha dan/atau kegiatan tersebut tidak dikenali karakter dampaknya dan tidak
tersedia ilmu pengetahuan, teknologi dan tata cara untuk mengatasi dampak penting
negatifnya, maka usaha dan/atau kegiatan dimaksud yang semula tergolong tidak wajib
AMDAL dapat digolongkan sebagai usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi
dengan AMDAL.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
37
SALINAN
1
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 94 Tahun 2006;
6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2006 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan
Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya
disingkat AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.
2. Kerangka acuan yang selanjutnya disingkat KA adalah ruang
lingkup kajian AMDAL yang merupakan hasil pelingkupan.
3. Analisis dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
ANDAL adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang
dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau
kegiatan.
4. Rencana pengelolaan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
RKL adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan.
2
5. Rencana pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang
terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha
dan/atau kegiatan.
6. Komisi Penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen
AMDAL.
7. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan
hidup kabupaten/kota.
8. Instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan
hidup provinsi.
9. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
BAB II
PEMBENTUKAN, TUGAS, DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN
KOMISI PENILAI
Bagian Pertama
Pembentukan Komisi Penilai
Pasal 2
(1). Komisi penilai dibentuk oleh:
a. Menteri untuk komisi penilai pusat;
b. gubernur untuk komisi penilai provinsi;
c. bupati/walikota untuk komisi penilai kabupaten/kota.
(2). Komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh:
a. tim teknis komisi penilai yang selanjutnya disebut tim teknis;
dan
b. sekretariat komisi penilai.
(3). Tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibentuk
oleh:
a. pejabat setingkat eselon I yang membidangi AMDAL di
Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk tim teknis pusat;
b. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup provinsi
untuk tim teknis provinsi;
c. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang berbentuk badan atau sekretaris daerah
kabupaten/kota bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
yang berbentuk kantor untuk tim teknis kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Susunan Keanggotaan Komisi Penilai
Pasal 3
(1) Keanggotaan komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) terdiri dari:
a. ketua merangkap anggota;
3
b. sekretaris merangkap anggota; dan
c. anggota.
(2) Ketua komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dijabat oleh:
a. pejabat setingkat eselon I yang membidangi AMDAL di
Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai
pusat;
b. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup provinsi
untuk komisi penilai provinsi;
c. pejabat setingkat eselon II di instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang berbentuk badan atau sekretaris daerah
kabupaten/kota bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
yang berbentuk kantor untuk komisi penilai kabupaten/kota.
(3) Sekretaris komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dijabat oleh:
a. pejabat setingkat eselon II yang membidangi AMDAL di
Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi penilai
pusat;
b. pejabat setingkat eselon III yang membidangi AMDAL di instansi
lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai provinsi;
c. pejabat setingkat eselon III yang membidangi AMDAL di instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota untuk komisi penilai
kabupaten/kota.
(4) Keanggotaan komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdiri atas:
a. komisi penilai pusat, dengan keanggotaan dari unsur-unsur
Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Dalam
Negeri, instansi di bidang kesehatan, instansi di bidang
pertahanan keamanan, instansi di bidang penanaman modal,
instansi di bidang pertanahan, instansi di bidang ilmu
pengetahuan, departemen dan/atau lembaga pemerintah non
departemen yang membidangi usaha dan/atau lembaga
pemerintah non departemen yang terkait, wakil provinsi yang
bersangkutan, dan/atau wakil kabupaten/kota yang
bersangkutan, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di bidang
yang berkaitan, organisasi lingkungan hidup sesuai dengan
bidang usaha dan/atau kegiatan yang dikaji, wakil masyarakat
terkena dampak, serta anggota lain yang dipandang perlu;
b. komisi penilai provinsi, dengan keanggotaan dari unsur-unsur
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi, instansi
lingkungan hidup provinsi, instansi di bidang penanaman modal
daerah, instansi di bidang pertanahan di daerah, instansi di
bidang pertahanan keamanan di daerah, instansi di bidang
kesehatan daerah provinsi, wakil instansi pusat dan/atau
daerah yang membidangi usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan, wakil instansi terkait di provinsi, wakil dari
kabupaten/kota yang bersangkutan, pusat studi lingkungan
hidup perguruan tinggi daerah yang bersangkutan, ahli di
bidang lingkungan hidup, ahli di bidang yang berkaitan,
4
organisasi lingkungan hidup di daerah, organisasi lingkungan
hidup sesuai dengan bidang usaha dan/atau kegiatan yang
dikaji, warga masyarakat yang terkena dampak, serta anggota
lain yang dipandang perlu;
c. komisi penilai kabupaten/kota, dengan keanggotaan dari unsur-
unsur wakil dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah,
wakil dari instansi di bidang lingkungan hidup daerah, wakil
dari instansi di bidang penanaman modal daerah, wakil dari
instansi di bidang pertanahan daerah, wakil dari instansi di
bidang kesehatan daerah, wakil dari instansi-instansi terkait
lainnya di daerah, ahli di bidang lingkungan hidup, ahli di
bidang rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan,
wakil dari organisasi lingkungan yang terkait dengan rencana
usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan, wakil dari
masyarakat yang terkena dampak, dan anggota-anggota lain
yang dipandang perlu.
Pasal 4
Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
terdiri atas:
a. ketua yang secara ex-officio dijabat oleh sekretaris komisi penilai; dan
b. anggota yang terdiri atas:
1. wakil dari instansi lingkungan hidup;
2. wakil dari instansi teknis yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
3. ahli terkait usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan; dan
4. ahli terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan dari usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Bagian Ketiga
Tugas Komisi Penilai
Pasal 5
(1) Komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menilai KA, ANDAL, RKL, dan RPL; dan
b. memberikan masukan dan dasar pertimbangan dalam
pengambilan keputusan KA dan kelayakan lingkungan hidup
atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan kepada:
1. Menteri untuk komisi penilai pusat;
2. gubernur untuk komisi penilai provinsi;
3. bupati/walikota untuk komisi penilai kabupaten/kota.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
komisi penilai wajib mengacu pada:
a. kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
b. rencana tata ruang wilayah; dan
c. kepentingan pertahanan keamanan.
5
Pasal 6
(1) Ketua komisi penilai bertugas melakukan koordinasi proses
penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL.
(2) Sekretaris komisi penilai bertugas:
a. membantu tugas ketua dalam melakukan koordinasi proses
penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL; dan
b. menyusun rumusan hasil penilaian KA, ANDAL, RKL, dan RPL
yang dilakukan komisi penilai.
(3) Anggota komisi penilai bertugas memberikan saran, pendapat dan
tanggapan berupa:
a. kebijakan instansi yang diwakilinya, bagi anggota yang berasal
dari instansi Pemerintah;
b. kebijakan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah,
bagi anggota yang berasal dari pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota;
c. pertimbangan sesuai kaidah ilmu pengetahuan, bagi anggota
yang berasal dari perguruan tinggi;
d. pertimbangan sesuai dengan bidang keahliannya, bagi ahli;
e. kepentingan lingkungan hidup, bagi anggota yang berasal dari
organisasi lingkungan/lembaga swadaya masyarakat;
f. aspirasi dan kepentingan masyarakat, bagi anggota yang
berasal dari wakil masyarakat yang diduga terkena dampak dari
rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7
(1) Tim teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
mempunyai tugas menilai secara teknis KA, ANDAL, RKL, dan RPL
berdasarkan permintaan komisi penilai.
(2) Penilaian secara teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kesesuaian lokasi dengan rencana tata ruang wilayah;
b. kesesuaian dengan pedoman umum dan/atau pedoman teknis
di bidang AMDAL;
c. kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan di bidang
teknis sektor bersangkutan;
d. ketepatan dalam penerapan metoda penelitian/analisis;
e. kesahihan data yang digunakan;
f. kelayakan desain, teknologi dan proses produksi yang
digunakan; dan
g. kelayakan ekologis.
Pasal 8
Sekretariat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b mempunyai tugas di bidang kesekretariatan, perlengkapan,
penyediaan informasi pendukung, dan tugas lain yang diberikan oleh
komisi penilai.
6
Pasal 9
(1) Sekretariat komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf b berkedudukan di:
a. unit kerja eselon II yang membidangi AMDAL di Kementerian
Negara Lingkungan Hidup untuk sekretariat komisi penilai
pusat;
b. instansi lingkungan hidup provinsi untuk sekretariat komisi
penilai provinsi;
c. instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk sekretariat
komisi penilai kabupaten/kota.
(2) Sekretariat komisi penilai dipimpin oleh seorang kepala yang
bertanggung jawab kepada ketua komisi penilai yang dijabat oleh
pejabat eselon setingkat lebih rendah daripada sekretaris komisi
penilai.
BAB III
KEWENANGAN KOMISI PENILAI
Bagian Pertama
Komisi Penilai Pusat
Pasal 10
(1) Komisi penilai pusat berwenang menilai dokumen AMDAL bagi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a. jenis usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis dan/atau
menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai pusat sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau
b. jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II, Lampiran III, dan Lampiran IV yang berlokasi:
1. lebih dari satu wilayah provinsi;
2. di wilayah sengketa dengan negara lain;
3. di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas; dan/atau
4. di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
negara lain.
(2) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada gubernur.
Bagian Kedua
Komisi Penilai Provinsi
Pasal 11
Komisi penilai provinsi berwenang menilai dokumen AMDAL bagi
rencana usaha dan/atau kegiatan yang memenuhi kriteria:
a. jenis usaha dan/atau kegiatan yang bersifat strategis yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai provinsi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
7
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau
b. jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran III dan Lampiran IV yang berlokasi:
1. lebih dari satu wilayah kabupaten/kota;
2. di lintas kabupaten/kota; dan/atau
3. di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil laut dari garis
pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan
untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan
provinsi untuk kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Komisi Penilai Kabupaten/Kota
Pasal 12
(1) Komisi penilai kabupaten/kota berwenang menilai dokumen
AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di
wilayah kabupaten/kota dan memenuhi kriteria:
a. jenis usaha dan/atau kegiatan bersifat strategis yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai kabupaten/kota
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
dan/atau
b. jenis usaha dan/atau kegiatan yang penilaiannya dilakukan oleh
komisi penilai kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(2) Kewenangan penilaian AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya berlaku bagi komisi penilai kabupaten/kota yang
memiliki lisensi sesuai dengan ketentuan dalam peraturan menteri
yang mengatur mengenai tata laksana lisensi komisi penilai AMDAL
kabupaten/kota.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Kewenangan
Pasal 13
(1) Kewenangan komisi penilai pusat, provinsi, dan kabupaten/kota
terhadap dokumen AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan
yang menggunakan pendekatan studi AMDAL kawasan atau
AMDAL terpadu didasarkan atas kriteria sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
(2) Kewenangan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang di
dalamnya terdapat rencana usaha dan/atau kegiatan yang
kewenangannya berada pada lebih dari 1 (satu) komisi penilai,
kewenangan penilaian dokumen AMDAL bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan dimaksud diselenggarakan oleh:
8
a. komisi penilai provinsi, dalam hal rencana usaha dan/atau
kegiatan merupakan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota;
atau
b. komisi penilai pusat, dalam hal rencana usaha dan/atau
kegiatan merupakan kewenangan pusat dan provinsi dan/atau
kabupaten/kota.
Pasal 14
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran terhadap kewenangan penilaian
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL, kepala
instansi lingkungan hidup provinsi dan/atau kepala instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota mengajukan permohonan klarifikasi
secara tertulis kepada Menteri untuk mendapatkan penetapan
kewenangan penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan dimaksud.
Pasal 15
(1) Instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang bertindak sebagai pemrakarsa, wakil instansi
yang bersangkutan tidak dapat melakukan penilaian dokumen
AMDAL bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
(2) Dalam hal instansi lingkungan hidup bertindak sebagai pemrakarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur/bupati/walikota
menunjuk ketua dan sekretaris komisi penilai dari instansi lain di
daerah yang bersangkutan yang menduduki jabatan setara dengan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat
(3), untuk melakukan penilaian dokumen AMDAL.
(3) Dalam hal penilaian dokumen AMDAL dilakukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sekretariat komisi penilai tetap
berkedudukan di instansi lingkungan hidup provinsi atau instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 16
Anggota tim teknis dan/atau anggota komisi penilai yang menyusun
dokumen AMDAL tidak dapat melakukan penilaian terhadap dokumen
AMDAL yang disusunnya.
Pasal 17
(1) Kabupaten/kota yang belum memiliki lisensi atau lisensinya
dicabut, untuk sementara penilaian dokumen AMDAL
diselenggarakan oleh komisi penilai provinsi dan keputusan atas
kelayakan lingkungan hidup diterbitkan oleh gubernur.
(2) Komisi penilai kabupaten/kota yang telah memiliki lisensi namun
belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, atas permintaan bupati/walikota untuk
sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi
penilai provinsi dan keputusan atas kelayakan lingkungan hidup
tetap diterbitkan oleh bupati/walikota.
9
(3) Penilaian dokumen AMDAL oleh komisi penilai provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diselenggarakan
di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Komisi penilai provinsi dalam penyelenggaraan penilaian dokumen
AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan bersama-sama dengan anggota komisi penilai
kabupaten/kota dengan komposisi yang mengutamakan unsur-
unsur komisi penilai kabupaten/kota yang bersangkutan.
(5) Gubernur wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian
dokumen AMDAL kepada bupati/walikota apabila komisi penilai
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2)
telah memiliki lisensi dan mampu menyelenggarakan penilaian
dokumen AMDAL setelah dilakukan pembinaan.
Pasal 18
(1) Komisi penilai provinsi yang belum mampu menyelenggarakan
penilaian dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, atas
permintaan gubernur untuk sementara penilaian dokumen AMDAL
diselenggarakan oleh komisi penilai pusat dan keputusan atas
kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh gubernur.
(2) Penilaian dokumen AMDAL oleh komisi penilai pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di wilayah provinsi yang
bersangkutan.
(3) Komisi penilai pusat dalam menyelenggarakan penilaian dokumen
AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersama-
sama dengan anggota komisi penilai provinsi dengan komposisi
yang mengutamakan unsur-unsur komisi penilai provinsi yang
bersangkutan.
(4) Menteri wajib menyerahkan kembali penyelenggaraan penilaian
dokumen AMDAL kepada gubernur apabila komisi penilai provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mampu
menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL setelah dilakukan
pembinaan.
Pasal 19
(1) Provinsi daerah pemekaran yang belum mempunyai komisi penilai
untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh
komisi penilai provinsi daerah induk.
(2) Komisi penilai provinsi daerah pemekaran yang telah memiliki
komisi penilai namun belum mampu menyelenggarakan penilaian
dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, untuk
sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi
penilai provinsi induk daerah yang bersangkutan.
(3) Gubernur provinsi induk wajib menyerahkan kembali
penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada gubernur
provinsi daerah pemekaran apabila komisi penilai provinsi daerah
pemekaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) telah
mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL.
10
Pasal 20
(1) Kabupaten/kota daerah pemekaran yang belum memiliki lisensi,
untuk sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh
komisi penilai kabupaten/kota induk daerah yang bersangkutan
yang telah memiliki lisensi dan keputusan atas kelayakan
lingkungan hidup diterbitkan oleh bupati/walikota daerah induk.
(2) Komisi penilai kabupaten/kota daerah pemekaran yang telah
memiliki lisensi namun belum mampu menyelenggarakan penilaian
dokumen AMDAL terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, atas permintaan
bupati/walikota untuk sementara penilaian dokumen AMDAL
diselenggarakan oleh komisi penilai kabupaten/kota induk daerah
yang bersangkutan yang memiliki lisensi dan keputusan atas
kelayakan lingkungan hidup tetap diterbitkan oleh bupati/walikota
daerah pemekaran.
(3) Bupati/walikota daerah induk wajib menyerahkan kembali
penyelenggaraan penilaian dokumen AMDAL kepada
bupati/walikota daerah pemekaran apabila komisi penilai
kabupaten/kota daerah pemekaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) telah memiliki lisensi dan mampu
menyelenggarakan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12.
Pasal 21
(1) Kabupaten/kota daerah induk yang belum memiliki lisensi, untuk
sementara penilaian dokumen AMDAL diselenggarakan oleh komisi
penilai provinsi.
(2) Kabupaten/kota daerah induk yang telah memiliki lisensi namun
belum mampu menyelenggarakan penilaian dokumen AMDAL
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
BAB IV
TATA KERJA KOMISI PENILAI
Bagian Pertama
Penilaian Dokumen KA
Paragraf 1
Prosedur Penerimaan
Pasal 22
(1) KA yang dinilai oleh:
a. komisi penilai pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Menteri
melalui sekretariat komisi penilai pusat;
b. komisi penilai provinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada
gubernur melalui sekretariat komisi penilai provinsi; dan
11
c. komisi penilai kabupaten/kota, diajukan oleh pemrakarsa
kepada bupati/walikota melalui sekretariat komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Sekretariat komisi penilai memeriksa kelengkapan administrasi
dokumen KA.
(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan
kepada pemrakarsa terhadap dokumen KA yang telah memenuhi
kelengkapan administrasi dan sudah digandakan sejumlah anggota
komisi penilai yang diundang.
(4) Tanda bukti penerimaan dokumen KA sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib dilengkapi dengan hari dan tanggal penerimaan
dokumen.
(5) Dokumen KA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib
dilakukan penilaian oleh komisi penilai dan pengambilan
keputusan oleh Menteri, gubernur atau bupati/walikota atas hasil
penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung
sejak tanggal tanda bukti penerimaan dokumen KA sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
Paragraf 2
Penilaian oleh Tim Teknis
Pasal 23
(1) Tim teknis melakukan penilaian KA atas permintaan ketua komisi
penilai.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat tim teknis yang dipimpin oleh ketua tim teknis.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat tim
teknis paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal ketua tim teknis tidak dapat memimpin rapat penilaian
KA, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk oleh ketua tim
teknis.
(5) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat
oleh petugas dari sekretariat komisi penilai.
(6) Hasil penilaian KA oleh tim teknis disampaikan pada rapat komisi
penilai.
Paragraf 3
Penilaian oleh Komisi Penilai
Pasal 24
(1) Ketua komisi penilai mengundang anggota untuk menilai KA.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat komisi penilai yang dipimpin oleh ketua komisi
penilai.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat komisi
penilai paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
12
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi
penilai, rapat dipimpin oleh sekretaris komisi penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat
memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh anggota yang
ditunjuk secara tertulis oleh ketua komisi.
Pasal 25
(1) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 24 ayat (2) wajib dihadiri oleh:
a. pemrakarsa atau wakil yang ditunjuk oleh pemrakarsa yang
memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan; dan
b. tim penyusun dokumen AMDAL.
(2) Dalam hal terdapat anggota tim penyusun dokumen AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat
menghadiri rapat tim teknis dan rapat komisi penilai, anggota tim
yang bersangkutan wajib menyampaikan surat keterangan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
(3) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai dapat dibatalkan oleh
pimpinan rapat apabila pemrakarsa dan/atau tim penyusun
dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir.
Pasal 26
(1) Semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapat
dalam rapat komisi penilai.
(2) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan
tanggapan dari masyarakat dalam proses penentuan ruang lingkup
kajian ANDAL.
(3) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat komisi penilai
dapat memberikan masukan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah hari rapat komisi penilai.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai
dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai
dan dituangkan dalam berita acara rapat penilaian.
(5) Dalam melaksanakan penilaian, komisi penilai wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).
Paragraf 4
Perbaikan oleh Pemrakarsa
Pasal 27
(1) Pemrakarsa wajib menanggapi dan menyempurnakan KA
berdasarkan hasil penilaian komisi penilai dan menyerahkan
kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat komisi penilai
sebagaimana yang ditetapkan dalam berita acara rapat penilaian
atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak hari dan
tanggal berita acara rapat penilaian komisi penilai diterima.
(2) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan perbaikan
13
berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi setelah mendengarkan
saran-saran tim teknis berhak meminta pemrakarsa untuk
memperbaiki kembali dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari kerja.
(3) Waktu yang digunakan oleh pemrakarsa untuk menanggapi dan
menyempurnakan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3), tidak termasuk dalam hitungan 75 (tujuh puluh lima) hari
kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5).
(4) Dalam hal pemrakarsa tidak menanggapi dan menyempurnakan KA
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) paling lama 3
(tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya dokumen dimaksud
kepada pemrakarsa oleh komisi penilai untuk dilakukan
penyempurnaan, dokumen KA tersebut dinyatakan kadaluarsa.
Paragraf 5
Penolakan
Pasal 28
Dalam hal rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan
terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan dan/atau peraturan
perundang-undangan, komisi penilai wajib menolak KA dimaksud.
Paragraf 6
Keputusan
Pasal 29
(1) Keputusan kesepakatan KA diterbitkan oleh:
a. Menteri untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat;
b. gubernur untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
provinsi; dan
c. bupati/walikota untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Penerbitan keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus mempertimbangkan hasil rapat penilaian
komisi penilai.
(3) Keputusan kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat kesepakatan tentang ruang lingkup kajian ANDAL yang
akan dilaksanakan.
Paragraf 7
Penyampaian Salinan Keputusan dan Publikasi
Pasal 30
(1) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang
penilaiannya dilakukan komisi penilai pusat disampaikan oleh
Menteri kepada:
a. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
14
b. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
c. gubernur yang bersangkutan;
d. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
e. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
f. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(2) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang
penilaiannya dilakukan oleh komisi penilai provinsi disampaikan
oleh gubernur kepada:
a. Menteri;
b. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
d. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
e. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(3) Salinan keputusan kesepakatan KA beserta dokumennya yang
penilaiannya dilakukan komisi penilai kabupaten/kota
disampaikan oleh bupati/walikota kepada:
a. gubernur yang bersangkutan;
b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota;
d. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota;
(4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota menjamin keputusan
kesepakatan KA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) beserta dokumennya dapat diakses oleh masyarakat.
Bagian Kedua
Penilaian Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL
Paragraf 1
Prosedur Penerimaan Dokumen
Pasal 31
(1) ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh:
a. komisi penilai pusat, diajukan oleh pemrakarsa kepada Menteri
melalui sekretariat komisi penilai pusat;
b. komisi penilai provinsi, diajukan oleh pemrakarsa kepada
gubernur melalui sekretariat komisi penilai provinsi;
c. komisi penilai kabupaten/kota, diajukan oleh pemrakarsa
kepada bupati/walikota melalui sekretariat komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Sekretariat komisi penilai memeriksa kelengkapan administrasi
dokumen ANDAL, RKL, dan RPL.
(3) Sekretariat komisi penilai memberikan tanda bukti penerimaan
kepada pemrakarsa terhadap dokumen ANDAL, RKL, dan RPL yang
telah memenuhi kelengkapan administrasi dan sudah digandakan
15
sejumlah anggota komisi penilai yang diundang.
(4) Tanda bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilengkapi dengan hari dan tanggal penerimaan dokumen.
(5) Dokumen ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), dilakukan penilaian dan pengambilan keputusan atas hasil
penilaian paling lama 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung
sejak tanggal tanda bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Paragraf 2
Penilaian oleh Tim Teknis
Pasal 32
(1) Tim teknis melakukan penilaian ANDAL, RKL, dan RPL atas
permintaan ketua komisi penilai.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat tim teknis yang dipimpin oleh ketua tim teknis.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat tim
teknis paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal ketua tim teknis tidak dapat memimpin rapat tim teknis
ANDAL, RKL, dan RPL, rapat dipimpin oleh anggota yang ditunjuk
oleh ketua tim teknis.
(5) Semua saran, pendapat dan tanggapan anggota tim teknis dicatat
oleh petugas dari sekretariat komisi penilai.
(6) Hasil penilaian ANDAL, RKL, dan RPL oleh tim teknis disampaikan
pada rapat komisi penilai.
Paragraf 3
Penilaian oleh Komisi Penilai
Pasal 33
(1) Ketua komisi penilai mengundang anggota untuk menilai ANDAL,
RKL, dan RPL.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam
bentuk rapat komisi penilai yang dipimpin oleh ketua komisi
penilai.
(3) Undangan dan dokumen diterima oleh seluruh peserta rapat komisi
penilai paling sedikit 10 (sepuluh) hari kerja sebelum dilaksanakan
rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal ketua komisi penilai tidak dapat memimpin rapat komisi
penilai, rapat dipimpin oleh sekretaris komisi penilai.
(5) Dalam hal ketua dan sekretaris komisi penilai tidak dapat
memimpin rapat komisi penilai, rapat dipimpin oleh anggota yang
ditunjuk secara tertulis oleh ketua komisi.
Pasal 34
(1) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 33 ayat (2) wajib dihadiri oleh:
16
a. pemrakarsa atau wakil yang ditunjuk oleh pemrakarsa yang
memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan; dan
b. tim penyusun dokumen AMDAL.
(2) Dalam hal terdapat anggota tim penyusun dokumen AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat
menghadiri rapat tim teknis dan rapat komisi penilai, anggota tim
yang bersangkutan wajib menyampaikan surat keterangan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
(3) Rapat tim teknis dan rapat komisi penilai dapat dibatalkan oleh
pimpinan rapat apabila pemrakarsa dan/atau tim penyusun
dokumen AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir.
Pasal 35
(1) Semua anggota komisi penilai berhak menyampaikan pendapat
dalam rapat komisi penilai.
(2) Komisi penilai wajib memperhatikan saran, masukan dan
tanggapan dari masyarakat.
(3) Anggota komisi penilai yang tidak hadir dalam rapat komisi penilai
dapat memberikan masukan tertulis paling lama 5 (lima) hari kerja
setelah hari rapat komisi penilai.
(4) Semua saran, pendapat dan tanggapan para anggota komisi penilai
dan pemrakarsa dicatat oleh petugas dari sekretariat komisi penilai
dan dituangkan dalam berita acara rapat penilaian.
(5) Dalam melaksanakan penilaian, komisi penilai wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2).
Paragraf 4
Perbaikan oleh Pemrakarsa
Pasal 36
(1) Pemrakarsa wajib menanggapi dan menyempurnakan ANDAL, RKL,
dan RPL berdasarkan hasil penilaian komisi penilai dan
menyerahkan kepada ketua komisi penilai melalui sekretariat
komisi penilai sebagaimana yang ditetapkan dalam berita acara
rapat penilaian atau paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung
sejak hari dan tanggal berita acara rapat penilaian komisi penilai
diterima.
(2) Dalam hal dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi ketentuan perbaikan
berdasarkan hasil penilaian, ketua komisi penilai setelah
mendengarkan saran-saran tim teknis berhak meminta pemrakarsa
untuk memperbaiki kembali dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja.
(3) Waktu yang digunakan oleh pemrakarsa untuk menanggapi dan
menyempurnakan ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), tidak termasuk dalam hitungan 75
(tujuh puluh lima) hari kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (5).
17
(4) Dalam hal pemrakarsa tidak menanggapi dan menyempurnakan
ANDAL, RKL dan RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan
ayat (2), paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak dikembalikannya
dokumen dimaksud kepada pemrakarsa oleh komisi penilai untuk
dilakukan penyempurnaan, dokumen ANDAL, RKL, dan RPL
dimaksud dinyatakan kadaluarsa.
Paragraf 5
Penyampaian Berita Acara Rapat
Penilaian dan Dokumen
Pasal 37
(1) Ketua komisi penilai menyampaikan berita acara rapat penilaian
dan dokumen yang telah disempurnakan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) kepada:
a. Menteri, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi
penilai pusat;
b. gubernur, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh komisi
penilai provinsi; dan
c. bupati/walikota, bagi ANDAL, RKL, dan RPL yang dinilai oleh
komisi penilai kabupaten/kota.
(2) Berita acara dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan kelayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha
dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Paragraf 6
Keputusan
Pasal 38
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan diterbitkan oleh:
a. Menteri, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai pusat;
b. gubernur, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
provinsi; dan
c. bupati/walikota, untuk dokumen yang dinilai oleh komisi penilai
kabupaten/kota.
(2) Penerbitan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan:
a. dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan; dan
b. pertimbangan terhadap saran, pendapat dan tanggapan yang
diajukan oleh warga masyarakat.
Pasal 39
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup menjadi batal atas
kekuatan Peraturan Menteri ini apabila:
a. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai
kabupaten/kota yang belum memiliki lisensi;
18
b. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai
kabupaten/kota yang lisensinya dicabut; dan/atau
c. diterbitkan atas dasar rekomendasi dari komisi penilai pusat,
provinsi, atau kabupaten/kota yang melakukan penilaian tidak
sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12.
(2) Keputusan kelayakan lingkungan hidup dapat dibatalkan oleh
Menteri dan/atau gubernur apabila diterbitkan atas dasar
rekomendasi dari komisi penilai kabupaten/kota yang mengalami
perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan lisensi dan tidak dilakukan pemberitahuan secara
tertulis kepada instansi lingkungan hidup provinsi.
Paragraf 7
Penyampaian Salinan Keputusan dan Publikasi
Pasal 40
(1) Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL
beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai
pusat disampaikan oleh Menteri kepada:
a. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
b. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan;
c. gubernur yang bersangkutan;
d. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
e. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
f. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(2) Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL
beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai
provinsi disampaikan oleh gubernur kepada:
a. Menteri;
b. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di tingkat provinsi;
d. bupati/walikota yang bersangkutan; dan
e. kepala instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(3) Salinan keputusan kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL
beserta dokumennya yang penilaiannya dilakukan komisi penilai
kabupaten/kota disampaikan oleh bupati/walikota kepada:
a. gubernur yang bersangkutan;
b. kepala instansi lingkungan hidup provinsi;
c. pimpinan sektor/instansi yang membidangi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota; dan
d. pimpinan sektor/instansi yang terkait dengan usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan di kabupaten/kota.
19
(4) Menteri, gubernur atau bupati/walikota menjamin keputusan
kelayakan lingkungan ANDAL, RKL, dan RPL sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) beserta dokumennya
dapat diakses oleh masyarakat.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 41
Biaya pelaksanaan kegiatan komisi penilai, tim teknis, dan sekretariat
komisi penilai dibebankan pada:
a. anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk komisi
penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai pusat;
b. anggaran instansi lingkungan hidup provinsi untuk komisi penilai,
tim teknis, dan sekretariat komisi penilai provinsi; dan
c. anggaran instansi lingkungan hidup kabupaten/kota untuk komisi
penilai, tim teknis, dan sekretariat komisi penilai kabupaten/kota.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42
Penilaian dokumen AMDAL suatu usaha dan/atau kegiatan yang
sedang dalam proses penilaian oleh komisi penilai pusat, provinsi atau
kabupaten/kota atau telah diajukan kepada Menteri, gubernur atau
bupati/walikota, namun tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10,
Pasal 11, dan Pasal 12, tetap dinilai oleh komisi penilai pusat, provinsi
atau kabupaten/kota sampai ditetapkannya keputusan kelayakan atau
ketidaklayakan lingkungan hidup bagi rencana usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 1994
tentang Pelingkupan;
2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 54 Tahun 1995
tentang Pembentukan Komisi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Terpadu/Multisektor dan Regional;
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 55 Tahun 1995
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional;
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 57 Tahun 1995
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Usaha dan/atau
Kegiatan Terpadu/Multisektor; dan
20
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 40 tahun 2000
tentang Pedoman Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 44
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 Juli 2008
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR.
ttd
21
Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
A. Bidang Pertahanan
B. Bidang Perhubungan
22
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
c. Pengambilan air tanah ≥ 50 liter/detik
(dari 1 sumur sampai
dengan 5 sumur dalam
satu area < 10 ha)
4. Perluasan bandar udara internasional
beserta/atau fasilitasnya:
a. - Pemindahan penduduk, atau > 200 KK
- Pembebasan lahan > 100 ha
b. Reklamasi pantai:
- Luas, atau > 25 ha
- Volume urugan > 100.000 m3
c. Pemotongan bukit dan pengurugan
lahan dengan volume ≥ 500.000 m3
D. Bidang Perindustrian
23
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial
- Kapasitas, dan/atau
- Jumlah material penutup yang ≥ 300.000 ton/tahun
dipindahkan ≥ 1.000.000 ton
e. Bahan galian bukan logam atau
bahan galian golongan C
- Kapasitas, dan/atau ≥ 250.000 m3/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
3. Tahap eksploitasi bahan galian Semua besaran
radioaktif, termasuk pengolahan,
penambangan dan pemurnian
4. Melakukan penempatan tailing di Semua besaran
bawah laut (Submarine Tailing Disposal)
24
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
b. Pengolahan dan pemurnian
uranium > 100 ton yellow cake/
- Produksi tahun
c. Pengelolaan limbah radioaktif Semua instalasi
(mencakup penghasil, penyimpan,
dan pengolahan)
d. Pembangunan Iradiator (Kategori II
s/d IV)
- Aktivitas sumber > 37.000 TBq (100.000
Ci)
e. Produksi Radioisotop Semua instalasi
Catatan:
1. Penyusunan daftar rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi AMDAL tersebut di
atas berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup.
2. Daftar rencana usaha dan/atau kegiatan di atas akan berubah sesuai perubahan Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
ttd
25
Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
A. Bidang Kehutanan
B. Bidang Perhubungan
26
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
- Luas
C. Bidang Perindustrian
27
No. Jenis Kegiatan Skala/besaran
kecil seperti pengumpul minyak kotor
dan slope oil, timah dan flux solder,
minyak pelumas bekas, aki bekas,
solvent bekas, limbah kaca
terkontaminasi limbah B3.
2. Setiap kegiatan pemanfaatan limbah Semua besaran
B3 sebagai kegiatan utama.
Catatan:
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
ttd
28
Lampiran III
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
A. Bidang Perhubungan
B. Bidang Perindustrian
29
No. Jenis Kegiatan Skala/Besaran
yang berlokasi di luar hutan lindung:
- Luas perizinan (KP), atau ≥ 200 ha
- Luas daerah terbuka untuk ≥ 50 ha
pertambangan (kumulatif/tahun)
2. Tahap eksploitasi yang berlokasi di luar
hutan lindung:
a. Eksploitasi dan pengembangan uap ≥ 55 MW
panas bumi dan/atau
Pengembangan panas bumi
b. Batubara/gambut
- Kapasitas, dan/atau ≥ 1.000.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 4.000.000 ton
dipindahkan
c. Bijih Primer
- Kapasitas, dan/atau ≥ 400.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
d. Bijih Sekunder/Endapan Alluvial
- Kapasitas, dan/atau ≥ 300.000 ton/tahun
- Jumlah material penutup yang ≥ 1.000.000 ton
dipindahkan
e. Tambang di laut Semua besaran
30
Catatan:
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR.
ttd
31
Lampiran IV
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
A. Bidang Pertanian
B. Bidang Perikanan
32
C. Bidang Perhubungan
D. Bidang Perindustrian
33
No Jenis Kegiatan Skala/besaran
3. Pembangunan Pengaman Pantai dan
perbaikan muara sungai:
- Jarak dihitung tegak lurus pantai > 500 m
4. Normalisasi Sungai (termasuk sodetan)
dan Pembuatan Kanal Banjir
a. Kota besar/metropolitan
- Panjang, atau > 5 km
- Volume pengerukan > 500.000 m3
b. Kota sedang
- Panjang, atau > 10 km
- Volume pengerukan > 500.000 m3
c. Pedesaan
- Panjang, atau > 15 km
- Volume pengerukan > 500.000 m3
5. Pembangunan dan/atau peningkatan
jalan dengan pelebaran yang
membutuhkan pengadaan tanah
a. Kota besar/metropolitan
- Panjang, atau > 5 km
- Pembebasan lahan > 5 ha
b. Kota sedang
- Panjang, atau ≥ 10 km
- Pembebasan lahan ≥ 10 ha
c. Pedesaan
- Panjang, atau ≥ 30 km
- Pembebasan lahan ≥ 30 ha
6. a. Pembangunan subway/underpass, > 2 km
terowongan/tunnel
b. Pembangunan jembatan > 500 m
7. Persampahan
a. Pembangunan TPA sampah domestik
Pembuangan dengan sistem control
landfill/ sanitary landfill termasuk
instalasi penunjangnnya
- Luas kawasan TPA, atau > 10 ha
- Kapasitas total > 10.000 ton
b. TPA di daerah pasang surut,
- Luas landfill, atau > 5 ha
- Kapasitas total > 5.000 ton
c. Pembangunan transfer station
- Kapasitas > 1.000 ton/hari
d. Pembangunan Instalasi Pengolahan
sampah terpadu
- Kapasitas ≥ 500 ton/hari
e. Pengolahan dengan insinerator
- Kapasitas ≥ 500 ton/hari
f. Composting Plant
- Kapasitas ≥ 100 ton/hari
g. Transportasi sampah dengan kereta
api ≥ 500 ton/hari
- Kapasitas
34
No Jenis Kegiatan Skala/besaran
8. Pembangunan
Perumahan/Permukiman > 25 ha
a. Kota metropolitan, luas > 50 ha
b. Kota besar, luas > 100 ha
c. Kota sedang dan kecil, luas
9. Air Limbah Domestik
a. Pembangunan Instalasi Pengolahan
Lumpur Tinja (IPLT), termasuk
fasilitas penunjangnya
- Luas, atau ≥ 2 ha
- Kapasitasnya ≥ 11 m3/hari
Pembangunan Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) limbah domestik
termasuk fasilitas penunjangnya
- Luas, atau ≥ 3 ha
- Beban organik ≥ 2,4 ton/hari
b. Pembangunan sistem perpipaan air
limbah, luas layanan
- Luas layanan, atau ≥ 500 ha
- Debit air limbah ≥ 16.000 m3/hari
10. Pembangunan saluran drainase (primer
dan/atau sekunder) di permukiman
a. kota besar/ metropolitan, panjang ≥ 5 km
b. kota sedang, panjang ≥ 10 km
11. Jaringan air bersih di kota
besar/metropolitan
a. Pembangunan jaringan distribusi
- Luas layanan > 500 ha
b. Pembangunan jaringan transmisi
- Panjang > 10 km
12. Pengambilan air dari danau, sungai,
mata air permukaan, atau sumber air
permukaan lainnya
- Debit pengambilan > 250 l/dt
13. Pembangunan Pusat Perkantoran,
Pendidikan, Olahraga, Kesenian,
Tempat Ibadah, Pusat perdagangan/
perbelanjaan relatif terkonsentrasi
- Luas lahan, atau > 5 ha
- Bangunan >10.000 m2
14. Pembangunan kawasan pemukiman
untuk pemindahan
penduduk/transmigrasi (Pemukiman
Transmigrasi Baru Pola Tanaman
Pangan) > 2000 ha
- Luas lahan
35
F. Bidang Sumber Daya Energi dan Mineral
G. Bidang Pariwisata
Catatan:
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR.
ttd
36
SALINAN
1
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4593);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4737);
6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 94
Tahun 2006;
7. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11
Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau
Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup;
8. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05
Tahun 2008 tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disingkat
AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha
dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan
usaha dan/atau kegiatan.
2. Lisensi adalah tanda bukti telah dipenuhinya persyaratan lisensi komisi
penilai AMDAL kabupaten/kota untuk dapat melakukan penilaian
dokumen AMDAL.
3. Tata laksana lisensi adalah serangkaian kegiatan yang meliputi
permohonan, verifikasi, penerbitan, dan pencabutan lisensi.
4. Komisi penilai AMDAL kabupaten/kota yang selanjutnya disebut komisi
penilai adalah komisi yang bertugas menilai dokumen AMDAL sesuai
dengan kewenangannya.
5. Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup
kabupaten/kota.
6. Instansi lingkungan hidup provinsi adalah instansi yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup
provinsi.
7. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang lingkungan hidup.
BAB II
PERSYARATAN LISENSI KOMISI PENILAI
Pasal 2
(1) Komisi penilai wajib memiliki lisensi yang diterbitkan oleh instansi
lingkungan hidup provinsi.
(2) Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. ketua komisi penilai dipimpin oleh pejabat minimal setingkat eselon II;
b. memiliki sekretariat komisi penilai yang berkedudukan di instansi
lingkungan hidup kabupaten/kota;
c. memiliki tim teknis dengan sumber daya manusia yang telah lulus
pelatihan penyusunan AMDAL paling sedikit 2 (dua) orang, dan
pelatihan penilaian AMDAL paling sedikit 3 (tiga) orang;
d. keanggotaan komisi penilai minimal mencakup tenaga ahli di bidang
biogeofisik-kimia, ekonomi, sosial, budaya, kesehatan, perencanaan
pembangunan wilayah, dan lingkungan hidup;
e. adanya organisasi lingkungan hidup atau lembaga swadaya
masyarakat sebagai salah satu anggota komisi penilai; dan
3
f. adanya kerjasama dengan laboratorium yang terakreditasi, atau yang
mempunyai kemampuan menguji contoh uji kualitas lingkungan
hidup, paling sedikit untuk parameter air dan udara.
BAB III
TATA LAKSANA LISENSI KOMISI PENILAI
Pasal 3
(1) Komisi penilai wajib memiliki lisensi sebagai persyaratan untuk dapat
melakukan penilaian dokumen AMDAL.
(2) Lisensi komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
instansi lingkungan hidup provinsi dengan dibantu oleh tim terpadu yang
terdiri atas:
a. wakil dari Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional setempat;
b. wakil dari instansi yang melakukan penunjukkan dan/atau
memberikan rekomendasi terhadap laboratorium lingkungan; dan
c. wakil dari pusat studi lingkungan perguruan tinggi setempat.
Pasal 4
(1) Instansi lingkungan hidup provinsi dalam memberikan lisensi dilakukan
sesuai dengan tata laksana lisensi komisi penilai.
(2) Tata laksana lisensi komisi penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berpedoman pada bagan alir tata laksana lisensi komisi penilai
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(1) Instansi lingkungan hidup kabupaten/kota mengajukan permohonan
lisensi kepada instansi lingkungan hidup provinsi dengan menggunakan
formulir permohonan lisensi sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(2) Berkas permohonan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai
dengan surat pernyataan dari kabupaten/kota yang menyatakan
keabsahan dari kelengkapan dokumen dimaksud.
(3) Instansi lingkungan hidup provinsi memberikan tanda bukti penerimaan
permohonan lisensi dengan mencantumkan hari dan tanggal diterimanya
berkas permohonan lisensi.
Pasal 6
(1) Berkas permohonan lisensi diverifikasi oleh instansi lingkungan hidup
provinsi dengan dibantu oleh tim terpadu.
(2) Berkas permohonan lisensi yang telah memenuhi persyaratan
administrasi, apabila dipandang perlu dilakukan verifikasi lapangan oleh
instansi lingkungan hidup provinsi dengan dibantu oleh tim terpadu.
4
(3) Instansi lingkungan hidup provinsi dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal yang tertera dalam tanda
bukti diterimanya permohonan lisensi wajib:
a. menerbitkan lisensi kepada instansi lingkungan hidup kabupaten/kota
yang telah memenuhi persyaratan lisensi; atau
b. mengeluarkan surat penolakan kepada instansi lingkungan hidup
kabupaten/kota yang tidak memenuhi persyaratan lisensi.
(4) Bagi instansi lingkungan hidup kabupaten/kota yang permohonannya
ditolak dapat mengajukan kembali permohonan lisensi.
(5) Dalam hal instansi lingkungan hidup provinsi tidak menerbitkan lisensi
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), komisi penilai
yang bersangkutan dianggap telah disetujui permohonannya dan memiliki
lisensi.
(6) Ketentuan mengenai format lisensi tercantum dalam Lampiran III yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 7
(1) Lisensi berlaku selama 2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui.
(2) Permohonan pembaharuan lisensi diajukan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari sebelum berakhirnya masa berlaku lisensi.
Pasal 8
(1) Komisi penilai yang telah memiliki lisensi wajib menyampaikan secara
tertulis setiap perubahan terhadap pemenuhan persyaratan lisensi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) kepada instansi lingkungan
hidup provinsi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak terjadinya
perubahan dimaksud.
(2) Instansi lingkungan hidup provinsi setelah menerima informasi secara
tertulis mengenai perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberikan kesempatan kepada komisi penilai untuk memenuhi
persyaratan lisensi dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 9
(1) Lisensi dapat dicabut, apabila:
a. terdapat bukti bahwa salah satu persyaratan dalam berkas
permohonan lisensi yang diajukan adalah palsu;
b. terjadi perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya salah satu
persyaratan lisensi dan perubahan tersebut tidak diberitahukan secara
tertulis kepada instansi lingkungan hidup provinsi;
c. dalam waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) persyaratan lisensi tidak dipenuhi; dan/atau
d. setelah dilakukan pembinaan dan pengawasan minimal selama 1 (satu)
tahun oleh gubernur dan/atau Menteri ditemukan 5 (lima) dokumen
AMDAL yang telah ditetapkan kelayakan lingkungan hidupnya
berkualitas buruk sampai sangat buruk berdasarkan uji mutu
dokumen AMDAL dan/atau melanggar administrasi proses AMDAL.
5
(2) Pencabutan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
tertulis oleh instansi lingkungan hidup provinsi.
(3) Dalam hal lisensi komisi penilai dicabut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) instansi lingkungan hidup kabupaten/kota dapat mengajukan kembali
permohonan lisensi.
Pasal 10
(1) Dalam hal terjadi penyimpangan pada proses lisensi, bupati/walikota
dapat menyampaikan pengaduan kepada Menteri.
(2) Menteri melakukan verifikasi atas pengaduan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
(3) Menteri mengeluarkan keputusan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
terhitung sejak diterimanya pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
a. perintah kepada provinsi untuk menerbitkan lisensi;
b. persetujuan atas penolakan yang dilakukan oleh provinsi; atau
c. teguran terhadap provinsi atau kabupaten/kota atas penyimpangan
pada proses lisensi.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 11
(1) Untuk mendorong terbentuknya komisi penilai yang memenuhi
persyaratan lisensi, peningkatan kapasitas komisi penilai yang telah
memiliki lisensi, dan pembaharuan lisensi komisi penilai, dilakukan
pembinaan dan pengawasan oleh gubernur dan/atau Menteri.
(2) Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh gubernur dan/atau
Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a . mutu dokumen AMDAL; dan
b . administrasi proses AMDAL.
(3) Pembinaan dan pengawasan terhadap mutu dokumen AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a . kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan; dan
b . konsistensi, keharusan, relevansi dan kedalaman mutu dokumen
AMDAL.
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi proses AMDAL
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri dari:
a. proses dan waktu keterlibatan masyarakat dan keterbukaan
informasi dalam proses AMDAL;
b. persyaratan administrasi dokumen AMDAL meliputi persyaratan tim
penyusun AMDAL dan kesesuaian format dokumen AMDAL;
c. proses dan prosedur pelaksanaan penilaian AMDAL; dan
6
d. keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup dari
suatu rencana usaha dan/atau kegiatan.
(5) Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan Menteri
yang mengatur pembinaan dan pengawasan komisi penilai.
Pasal 12
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap instansi
lingkungan hidup provinsi dalam melakukan proses pemberian lisensi
komisi penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tata laksana
lisensi komisi penilai sesuai dengan kewenangannya.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 13
(1) Biaya untuk pelaksanaan proses penerbitan lisensi komisi penilai
dibebankan pada anggaran instansi lingkungan hidup provinsi.
(2) Biaya untuk proses pemenuhan persyaratan lisensi komisi penilai
dibebankan pada anggaran instansi lingkungan hidup kabupaten/kota.
(3) Biaya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan oleh gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dan Pasal 12 ayat (2) dibebankan
pada anggaran instansi lingkungan hidup provinsi.
(4) Biaya pelaksanaan verifikasi pengaduan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2), biaya pelaksanaan pembinaan dan pengawasan oleh
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dan Pasal 12 ayat (1)
dibebankan pada anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan
Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup Kabupaten/Kota
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
7
Pasal 15
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 16 Juli 2008
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum,
ttd
8
Lampiran I
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 06 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
BAGAN ALIR TATA LAKSANA LISENSI KOMISI PENILAI
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
ttd
9
Lampiran II
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 06 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
Salian sesuai dengan aslinya RACHMAT WITOELAR.
Kepala Biro Umum,
ttd
10
Lampiran III
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 06 Tahun 2008
Tanggal : 16 Juli 2008
LISENSI
Logo Nomor :..........
Provinsi
Diberikan kepada:
Bukti ini menyatakan bahwa komisi penilai dimaksud telah memenuhi persyaratan lisensi dan
dapat melakukan proses penilaian AMDAL di wilayah kerjanya. Bukti lisensi ini berlaku selama
2 (dua) tahun terhitung mulai tanggal ...... bulan ..... tahun ....... sampai dengan tanggal ......
bulan ..... tahun .......
Halaman 1
Keterangan :
Latar belakang bukti lisensi berwarna dasar hijau muda
11
Lisensi diberikan berdasarkan hasil evaluasi terhadap permohonan lisensi yang diterima tanggal ........
Bulan...........Tahun .............yang berisi lampiran:
No. PERSYARATAN
1 a. Ketua komisi penilai
b. Kelembagaan instansi di bidang lingkungan hidup kabupaten/kota
2 Sekretariat berkedudukan di instansi di bidang lingkungan hidup Kabupaten/Kota
3 Tim teknis beranggotakan setidaknya sumber daya manusia bersertifikat:
a. AMDAL Penyusun (2 orang)
b. AMDAL Penilai (3 orang)
4 Ketersediaan tenaga ahli:
a. Biogeofisik-kimia
b. Ekonomi, sosial & budaya
c. Kesehatan
d. Perencanaan pembangunan
5 Ketersediaan organisasi lingkungan atau lembaga swadaya masyarakat
6 Kerjasama dengan laboratorium lingkungan
(....................................)
Halaman 2
Keterangan :
Latar belakang bukti lisensi berwarna dasar hijau muda
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR.
Salian sesuai dengan aslinya
Kepala Biro Umum,
ttd
12
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2000
TENTANG
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT
ttd.
Menimbang :
Mengingat :
Memutuskan:
Menetapkan :
Pedoman Mengenai Ukuran Dampak Penting
Pertama
Kedua
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No. 56 Tahun 1994 Tanggal 18 Maret 1994
I. PENGERTIAN
d. Intensitas Dampak
Intensitas dampak mengandung pengertian perubahan
lingkungan yang timbul bersifat hebat, atau drastis.
Serta berlangsung di area yang relatif luas, dalam kurun waktu
yang relatif singkat. Dengan demikian dampak lingkungan
tergolong penting bila:
_________________________________
LAMPIRAN : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 2 TAHUN 2000
TANGGAL : 21 PEBRUARI 2000
PANDUAN
PENILAIAN DOKUMEN AMDAL
BAB I. PENDAHULUAN
Panduan ini merupakan alat atau sarana kerja bagi para anggota Komisi Penilai AMDAL Pusat, Komisi Penilai
AMDAL Daerah dan aparatnya seperti Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL.
Panduan ini berfungsi sebagai acuan umum untuk menilai dokumen AMDAL di berbagai sektor pembangunan di
tingkat nasional dan daerah. Mengingat fungsinya hanya sebagai acuan umum, maka penilaian harus
memperhatikan berbagai panduan lainnya di bidang AMDAL.
Panduan disusun untuk menuntun para pemakainya dalam menilai dan mengevaluasi 2 (dua) aspek berikut:
1. Kelengkapan dokumen AMDAL;
2. Kualitas dokumen AMDAL yang dinilai.
Ada 3 (tiga) syarat pokok yang harus dipenuhi apabila panduan ini ingin digunakan secara maksimal oleh para
penilai untuk mengevaluasi dokumen AMDAL, yakni:
1. Penilai dokumen AMDAL harus memenuhi salah satu atau lebih dari syarat berikut :
a. Sudah pernah menyusun dokumen AMDAL; dan/atau
b. Sudah memperoleh sertifikat kursus Penyusun AMDAL (AMDAL B), Kursus Penilai AMDAL atau kursus
yang sejenis; dan/atau
c. Berpendidikan sarjana/sederajat (terutama berlatar belakang masalah lingkungan atau ahli dalam
masalah AMDAL); dan/atau
d. Merupakan wakil masyarakat yang terkena dampak/pemerhati lingkungan.
2. Penilai harus memiliki dan menggunakan pedoman-pedoman atau panduan-panduan penyusunan AMDAL
yang berlaku, seperti antara lain: Panduan Kajian Aspek Sosial Dalam AMDAL.
3. Penilai dapat memahami maksud-maksud yang terkandung dalam panduan penilaian dokumen AMDAL ini
dan menggunakannya.
Dari tiga syarat pokok di atas tampak bahwa tingkat kemanfaatan panduan ini sangat ditentukan oleh kemampuan
pemakainya.
A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI
Apabila dokumen KA-ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka
dokumen tersebut siap dan layak untuk dinilai isinya. Sebaliknya apabila belum lengkap, maka pemrakarsa diminta
untuk melengkapi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
B. ISI DOKUMEN
1. Pendahuluan
a. Uraian tentang tujuan dan kegunaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang memberi gambaran manfaat
terhadap pembangunan lokal, regional maupun nasional;
b. Peraturan perundangan beserta alasan penggunaannya sebagai acuan dalam penyusunan ANDAL.
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam ruang lingkup studi ini adalah kejelasan tentang:
a. Komponen rencana kegiatan yang harus dikaji;
b. Komponen lingkungan yang berpotensi terkena dampak;
c. Kegiatan lain di sekitarnya dan interaksinya dengan rencana kegiatan yang diusulkan;
d. Kerangka konseptual analisis dan isu-isu pokok yang harus dikaji sesuai dengan hasil pelingkupan yang
digambarkan antara lain dalam bentuk diagram alir, matrik, dan lain-lain;
e. Batas wilayah studi (spatial), baik batas proyek, batas ekologis, batas sosial maupun batas administrasi,
setelah mempertimbangkan berbagai kendala teknis dan kejelasan batas waktu sesuai dengan tahapan
kegiatannya.
3. Metode studi
Aspek-aspek yang harus dinilai dalam metode studi ini adalah kejelasan dan ketepatan tentang:
4. Pelaksanaan studi
a. Identitas yang jelas mengenai pemrakarsa baik nama dan alamat instansi/perusahaan maupun
penanggungjawab pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. Biaya studi
Komponen yang harus dinilai minimal adalah prosentase jenis biaya yang dibutuhkan dalam penyusunan
studi;
Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah sumber informasi yang berhubungan dengan:
6. Lampiran
Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah keberadaan dan kelengkapan:
a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL (bilamana sudah ditentukan personilnya);
c. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung dokumen KA-ANDAL (misal: keputusan perijinan,
kuesioner yang menjadi bagian metode pelaksanaan studi, hasil konsultasi dan diskusi dengan pihak-
pihak yang terlibat, dan lain-lain).
A. KELENGKAPAN ADMINISTRASI
a. Dokumen Kerangka Acuan (KA) ANDAL yang telah disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab;
b. Dokumen ANDAL dilengkapi dengan dokumen RKL, RPL, Ringkasan Eksekutif, dan Lampiran dalam
jumlah yang telah ditetapkan oleh Komisi Penilai AMDAL;
c. Persyaratan administrasi lainnya yang ditetapkan oleh Komisi Penilai AMDAL, seperti bukti telah
diterimanya dokumen ANDAL, RKL dan RPL.
Apabila dokumen ANDAL yang diserahkan ke Komisi Penilai AMDAL secara administrasi sudah lengkap, maka
dokumen tersebut siap dan layak untuk dinilai isinya, sebaliknya apabila belum lengkap, pemrakarsa harus
melengkapi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
B. ISI DOKUMEN
1. Pendahuluan
a. Pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan studi
ANDAL. Berbagai peraturan perundangan yang dinilai antara lain: peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan, pertanahan, baku mutu lingkungan dan lain-lain.
Hal ini penting mengingat peraturan perundangan tersebut akan terkait erat dengan prediksi dan evaluasi
dampak penting serta pelaksanaan RKL/RPL;
b. Kejelasan pernyataan tujuan dan kegunaan studi ANDAL yang telah dirumuskan dalam KA-ANDAL.
Aspek-aspek yang dinilai dalam ruang lingkup studi adalah sebagai berikut:
3. Metoda studi
Aspek-aspek yang dinilai dalam metode studi adalah kejelasan dan ketepatan serta konsistensi tentang:
Aspek-aspek yang dinilai dalam rencana usaha dan/atau kegiatan adalah kejelasan dan kelengkapan tentang:
Catatan:
Bila deskripsi usaha dan/atau kegiatan mencantumkan alternatif lokasi, rencana usaha dan/atau kegiatan, atau
proses kegiatan, maka uraian agar dibuat secara rinci.
5. Rona lingkungan awal.
Aspek-aspek rona lingkungan awal yang dinilai adalah kejelasan dan kelengkapan data dan informasi tentang
kondisi lingkungan di rencana lokasi usaha dan/atau kegiatan, mencakup:
a. Komponen-komponen lingkungan yang diprakirakan terkena dampak penting sesuai KA-ANDAL dan
temuan komponen lain selama pelaksanaan studi harus diulas secara rinci;
b. Komponen-komponen lingkungan lainnya yang bersifat mendukung butir a;
c. Indikator dan parameter lingkungan yang menjadi tolok ukur perubahan kualitas lingkungan (fisik, kima,
biologi, kependudukan, sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat);
d. Tingkat ketelitian hasil pengamatan dan analisis sesuai dengan tingkat ketelitian alat dan metode yang
dipergunakan;
e. Komponen-komponen dan parameter lingkungan yang tertulis dalam bab ini harus konsisten dengan yang
dikemukakan dalam ruang lingkup studi, prakiraan dan evaluasi dampak penting.
Catatan:
• Tidak semua komponen atau parameter lingkungan yang dinyatakan terkena dampak, perubahannya
dapat diukur secara kuantitatif; misalnya pergeseran tata nilai dan norma.
• Untuk itu komponen atau parameter lingkungan yang perubahannya tidak dapat diukur secara kuantitatif,
perlu dikaji secara deskriptif analitis, dan bila memungkinkan dibuat beberapa skenario masa mendatang
yang mungkin terjadi.
• Deskriptif analitis adalah analisis deskriptif terhadap fakta-fakta secara sistimatis dan rasional, sebagai
upaya untuk menggambarkan perubahan suatu parameter lingkungan. Analisis semacam ini dapat
dilakukan, misalnya dengan cara analogi terhadap proyek serupa di lokasi lain dengan kondisi lingkungan
yang hampir sama, berdasarkan pengalaman ahli atau menggunakan baku mutu lingkungan.
Catatan:
• Hasil kajian secara holistik dan kausatif sedapat mungkin menghasilkan pilihan atas rencana usaha
dan/atau kegiatan.
8. Daftar pustaka
Aspek yang harus diperhatikan dalam daftar pustaka adalah sumber informasi yang berhubungan dengan:
9. Lampiran
Aspek yang harus diperhatikan dalam lampiran adalah keberadaan dan kelengkapan:
a. Peta lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan dan peta pendukung lainnya yang disebut sebagai lampiran;
b. Daftar biodata tim penyusun AMDAL;
c. Cara-cara dan hasil perhitungan;
d. Dasar pertimbangan penetapan kriteria besaran dampak;
e. Saran, pendapat dan tanggapan masyarakat;
f. Hal-hal lain yang dipandang perlu guna mendukung dokumen ANDAL (seperti contoh: kuesioner dan hasil
evaluasinya yang menjadi bagian metode pelaksanaan studi).
A. Lingkup RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada lingkup RKL adalah kejelasan dan konsistensi tentang:
B. Pendekatan RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada pendekatan RKL adalah kejelasan dan relevansi tentang pendekatan yang
digunakan dalam menangani dampak penting yaitu:
a. Pendekatan teknologi
Pendekatan teknologi adalah cara-cara atau teknologi yang dipergunakan untuk mengelola dampak penting
lingkungan.
c. Pendekatan institusi
Pendekatan ini adalah mekanisme kelembagaan yang akan ditempuh pemrakarsa dalam rangka
menanggulangi dampak penting lingkungan.
C. Kedalaman RKL
Aspek-aspek yang dinilai pada kedalaman RKL adalah kejelasan tentang bagian-bagian RKL yang harus
dijabarkan:
Aspek-aspek yang dinilai pada rencana pelaksanaan RKL adalah kejelasan informasi tentang:
E. Pustaka
Aspek yang dievalusi adalah sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RKL.
F. Lampiran
Aspek yang dinilai adalah tabel ringkasan rencana pengelolaan lingkungan hidup dan data, serta informasi penting
yang merujuk dari hasil studi ANDAL.
A. Lingkup RPL
B. Pendekatan RPL
Aspek-aspek yang dinilai pada pendekatan RPL adalah kejelasan tentang kerangka dan landasan pemilihan
pendekatan pemantauan misalnya:
Aspek-aspek yang dinilai pada rencana pelaksanaan RPL adalah kejelasan informasi tentang:
D. Pustaka
Aspek yang dinilai adalah sumber data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RPL.
E. Lampiran
Aspek yang dinilai adalah tabel ringkasan rencana pemantauan lingkungan hidup dan data, serta informasi penting
yang merujuk dari hasil studi ANDAL.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN TERPADU.
Pertama
Keputusan ini mulai berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan
bilamana di kemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan
ditinjau kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Pebruari 2000
Ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
LAMPIRAN
PANDUAN PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN PERMUKIMAN
TERPADU
Hasil langkah 1
1. Diperoleh daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat
merupakan penyebab dampak lingkungan antara lain adalah:
1) Kegiatan pra-konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan survai;
b) Kegiatan pembebasan lahan;
2) Kegiatan konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan pembangunan perumahan;
i. Pembangunan perumahan;
ii. Pemadatan, pengerasan, dan pembangunan jalan
lingkungan;
iii. Penggalian saluran air;
iv. Pengalihan aliran air;
v. Penggalian/pembuatan jaringan air bersih, listrik, dan
telepon;
vi. Pembuatan tempat pembuangan sampah;
b) Kegiatan pembangunan tempat olah raga dan rekreasi:
i. Pembangunan gedung otah raga;
ii. Pembangunan Lapangan goLf;
iii. Pembuatan taman kota dan tempat bermain;
iv. Penananian tanaman (penghijauan/rektarnasi);
c) Kegiatan pembangunan fasilitas perekonomian dan
perdagangan:
i. Pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan;
ii. Pembangunan pasar;
iii. Pembangunan pergudangan;
iv. Pembangunan terminal dan transportasi angkutan;
d) Kegiatan pembangunan industri kecil/menengah:
i. Industri kulit (sepatu dan tas);
ii. Industri makanan;
iii. Industri mebel kayu dan rotan;
iv. Unit pengolahan limbah;
3) Kegiatan Permukiman Terpadu, yang meliputi kegiatan:
a) Kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
b) Aktivitas sosial masyarakat di fasilitas-fasilitas
sosial/umum yang ada;
c) Perekonomian dan perdagangan;
d) Transportasi;
e) Olah raga dan rekreasi;
f) Pariwisata;
g) Pendidikan;
h) Industri kecil dan menegah;
i) Penunjang kesehatan masyarakat;
j) Ketertiban dan keamanan;
k) Seni budaya;
Langkah 2
Identifikasi tipe-tipe ekosistem yang akan menjadi lokasi proyek dan/atau
yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek sebagaimana dimaksud pada
hasil langkah 1.
Hasil langkah 2
Diperoleh daftar tipe-tipe ekosistem yang akan menjadi lokasi proyek
dan/atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek, pada ruang dan
waktu tertentu yang diantaranya adalah:
1) Lahan basah, yang diantaranya metiputi tipe-tipe ekosistem sebagai
berikut:
- Hutan bakau;
- Hutan rawa payau;
- Hutan rawa air tawar;
- Hutan rawa bergambut;
- Danau/situ;
- Tambak udang/bandeng;
- Tambak garam;
- Sawah;
- Kolam budidaya ikan air tawar;
2) Ekosistem Lahan kering, yang diantaranya meliputi tipe-tipe ekosistem
sebagai berikut:
- Hutan tropika basah (berstatus konversi);
- Kebun/talun;
- Perkebunan karet/kelapa sawit;
- Tegalan/pertanian lahan kering;
- Tanaman pekarangan
Langkah 3
Identifikasikan komponen lingkungan atau struktur ekosistem yang
berpotensi terkena dampak akibat proyek pada dua tingkat, yakni:
a) Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut hasil
langkah 2
b) Di tingkat regional yang merupakan dampak regional dari
pengembangan permukiman terpadu
Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen Lingkungan atau struktur ekosistem yang
potensial terkena dampak proyek, yakni:
1. Daftar spesifik untuk setiap ekosistem yang terkena dampak, misalnya
adalah:
1) Komponen Fisik-Kimia:
a) Iklim:
i. Suhu udara;
ii. Kelembaban nisbi udara;
iii. Kualitas udara;
b) Hidrologi:
i. Tinggi muka air tanah;
ii. Pola aliran dan debit sungai;
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
c) Tanah:
i. Topologi
ii. Sifat fisik tanah;
iii. Sifat kimia tanah.
2) Komponen Biologi:
a) Komunitas Vegetasi:
i. Komunitas biota;
ii. Struktur dan komposisi vegetasi;
iii. Produktivitas lahan pertanian;
b) Komunitas Satwa Liar:
i. Komunitas biota akuatik;
ii. Jenis dan poputasi satwa Liar;
iii. Jenis satwa Liar langka dan/atau dilindungi;
iv. Produktivitas budidaya perairan.
2. Daftar potensial dampak regional, misalnya adalah:
1) Komponen Fisik-Kimia:
a) Kualitas udara;
b) Hidrologi:
i Tinggi muka air tanah,
ii. Pola aliran dan debit sungai;
iii. Tinggi, lama dan frekuensi genangan/banjir;
iv. Kualitas air permukaan (sumur, sungai);
2) Komponen Biologi:
a) Komunitas Vegetasi;
b) Komunitas Satwa Liar;
3) Komponen Sosial Ekonomi dan Budaya:
a) Demografi/kependudukan;
i. Pertumbuhan;
ii. Mobilisasi, migrasi, urbanisasi;
iii. Sektor informal/multiplier effect;
b) Fasititas sosial dan fasilitas umum;
c) Sarana dan prasarana perhubungan darat;
d) Sumber mata pencaharian;
e) Peluang bekerja dan berusaha;
f) Rekreasi dan pariwisata;
g) Kepemilikan tanah masyarakat setempat (tanah milik,
tanah adat);
h) Perubahan gaya hidup dan tradisi masyarakat lokal;
i) Akulturasi dan asimilasi;
j) Pola konsumsi;
k) Pusat pertumbuhan baru dan ekonomi regional;
l) Persepsi masyarakat terhadap proyek.
Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut hasil langkah 2, identifikasikan fungsi
ekosistem yang potensial terkena dampak penting akibat adanya proyek.
Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi untuk setiap tipe ekosistem yang potensial terkena
dampak, yang diantaranya meliputi :
1. Bila ekosistem lahan basah yang terkena dampak, maka fungsi
ekosistem yang akan terkena dampak misalnya adalah :
1) Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa
air bersih yang dapat angsung dimanfaatkan oteh masyarakat
dan/atau sebagai pemasok ke aquifer (groundwater recharge) dan
lokasi lahan basah lainnya;
2) Fungsi pengendalian air terutama pengendalian banjir;
3) Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air
permukaan;
4) Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa
perlindungan garis pantai, pengendalian erosi, dan pemecah angin
(windbreak);
5) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen;
6) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara;
7) Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan
beracun;
8) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti:
kayu, ikan, daging satwa liar, rotan, getah, obat, dan gambut;
9) Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti:
pasokan bahan anorganik dan organik dan hara terlarut
bagi wilayah hilir dan pasokan bagi ikan serta burung-burung
migran;
10) Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu dan listrik-hidro;
11) Fungsi transportasi/perhubungan;
12) Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan
populasi satwa Liar;
13) Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi habitat
satwa liar dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem,
dan lansekap lahan basah,
14) Fungsi rekreasi dan pariwisata;
15) Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan
dan spiritual serta peninggalan sejarah;
16) Fungsi sosial ekonomi, misalnya: berupa sumber mata
pencaharian bagi penduduk setempat dan tanah adat
masyarakat setempat;
17) Fungsi penetitian dan pendidikan;
18) Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti: proses
ekologi, geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon sink)
dan pencegahan perluasan tanah sulfat masam;
Langkah 5
a) Buat matrik dampak komponen yang pada bagian kolom memuat
rencana usaha dan atau kegiatan proyek (hasil langkah 1) dan pada
bagian baris memuat komponen lingkungan atau struktur ekosistem
(hasil langkah 3).
b) Buat matrik dampak ekosistem pada bagian kolom memuat
rencana usaha dan atau kegiatan proyek (hasil langkah 1) dan pada
bagian baris memuat fungsi ekosistem (hasil langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem
menurut hasil langkah 2
Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan atau struktur
ekosistem seperti contoh pada Lampiran 3-1. Matrik sebanyak jumlah tipe
ekosistem menurut hasil Langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada
Lampiran 3-2. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil
Langkah 2.
Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan
identifikasi dampak dengan cara:
Beri tanda “X”atau “V" atau simbol lainnya pada komponen lingkungan
tertentu dan fungsi tertentu dari tipe ekosistem yang potensial terkena
dampak kegiatan tertentu dari proyek.
Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh
daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang
potensial terkena dampak.
Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang Pedoman Penentuan
Dampak besar dan Penting untuk mengevaluasi penting tidaknya hasil
langkah 6.
Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem
yang terkenan dampak penting. Komponen lingkungan yang terkena
dampak penting .dikelompokkan atas 2 (dua) kelompok, yakni (lihat
pengelompokkan pada hasil langkah 3):
a) Daftar dampak penting spesifik untuk masing-masing tipe ekosistem;
b) Daftar dampak penting untuk tingkat/skala regional.
Adapun untuk fungsi ekosistem yang terkena dampak penting, daftar
dampak penting dikelompokkan menurut masing-masing tipe ekosistem.
Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam
dalam studi ANDAL
Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem
yang harus diteliti secara mendalam pada studi ANDAL kawasan
pengembangan permukiman terpadu, yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah
7;
b. Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil Langkah
7, karena data/informasi tentang komponen lingkungan bersangkutan
sangat terbatas.
Komponen lingkungan (struktur) dan fungsi ekosistem yang tidak terkena
dampak penting tidak diteliti dalam studi ANDAL.
Langkah 9
Kelompokkan dampak penting hasil langkah 8 atas beberapa isu pokok
lingkungan
Catatan langkah 9 :
Dampak penting hasil langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam beberapa
isu pokok lingkungan melalui :
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak
penting di suatu lokasi; dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan
fungsi tertentu dari ekosistem yang terkena dampak penting proyek.
Hasil langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahan-
perubahan penting yang akan dialami ekosistem sebagai akibat adanya
proyek.
Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan hasil langkah 9 menurut kepentingan
dari segi ekonomi, sosial maupun ekologi.
Hasil langkah 10
Diperoleh urutan isu-isu pokok Lingkungan berdasarkan kepentingan
ekonomi, sosial dan ekologi.
Catatan Langkah 1:
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana
usaha dan/atau kegiatan proyek akan melakukan kegiatan pra-konstruksi,
konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan sumber
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.
Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek pengembangan permukiman
terpadu di atas peta yang digunakan;
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas
masyarakat atau lembaga- lembaga masyarakat yang akan terkena
dampak penting kegiatan proyek.
Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada langkah 1
dengan cara :
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek , melalui
media air, terhadap ekosistem disekitarnya; dan/atau
b) Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi terjadinya perubahan fungsi
ekosistem sebagai akibat adanya proyek
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghosilkan betas
ekologis. Hasil langkah 2 sampai 4 dari proses identifikasi dampak
potensial, dapat memandu mengarahkan hal ini
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas
masyarakat dan/atau lembaga-lembaga masyarakat yang berpotensi
berubah secara mendasar akibat rusaknya sumber daya atom dan/atau
pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek pengembangan
permukiman terpadu.
Catatan Langkah 2 :
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak
dari kegiatan proyek menurut media transportasi limbah (air dan udara)
dan/atau menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam, dimana
proses-proses alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut
diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar.
Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang digunakan pada langkah
1;
b) Di dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas
masyarakat atau lembaga- lembaga masyarakat yang akan terkena
dampak penting kegiatan proyek.
Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada langkah 1
dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada hasil langkah 1 dan 2;
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas
proyek dan batas ekologis namun berpotensi terkena dampak
penting akibat proyek, misalnya: akibat aktivitas rekruitmen tenaga
kerja, pembangunan fasilitas umum dan fasiltias sosial.
Catatan Langkah 3 :
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang
merupakan tempat berlangsungya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilai tertentu yang sudah mapan (termasuk
sistem dan struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan
mendasar akibat proyek. Batas sosial dapat menyebar di beberapa lokasi
dan dapat lebih luas dari batas proyek atau batas ekologi.
Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada langkah 1.
Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada
langkah 1 dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola
sumber daya alam dan lingkungan tertentu yang keabsahannya diakui oleh
lembaga formal pemerintahan, lembaga non pemerintah dan/atau
lembaga lokal masyarakat setempat.
Catatan langkah 4 :
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembaga-
lembaga masyarakat tertentu mempunyai kewenangan tertentu untuk
mengatur/ mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu
berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah
batas administratif pemerintahan daerah, batas kuasa pertambangan,
batas kawasan perkebunan. di dalam ruang tersebut masyarakat dapat
secara leluasa melakukan kegiatan sosial ekonomi dan sosial budaya
sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
HasiL langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang
digunakan pada langkah1.
Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan
pada langkah 1 dengan cara:
a) buat batas terluar dari gabungan batas proyek (hasil langkah 1),
batas ekologi (hasil langkah 2), batas sosial hasil langkah 3), dan
batas administratif (hasil langkah 4);
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan
hasil kegiatan butir a) di atas dengan dana, waktu, dan tenaga yang
tersedia.
Hasil Langkah 5
diperoleh wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang
digunakan pada langkah 1. Batas dimaksud merupakan resultante dari
batas kegiatan proyek batas ekologi, batas sosial, batas administratif, dan
kendala teknis yang dihadapi.
Tabel 4-1. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik kimia
Tabel 4-2. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik
biologi
Tabel 4-3. Contoh metode pengumpulan dan analisis data aspek fisik sosial
(2) Aspek konsepsi pengembangan permukiman terpadu, misal
kota dibangun berdasarkan konsep kota bisnis, kota
wisata, atau kota ramah lingkungan;
(3) Aspek rencana daya tampung atau jumlah penghuni
permukiman terpadu;
(4) Aspekjangka waktu pengembangan;
(5) Aspek rencana lokasi, yakni lokasi administratif dan rencana
luas/ skala permukiman terpadu;
(6) Aspek tata ruang mikro permukiman terpadu;
(7) Aspek manajemen kota/kelembagaan;
(8) Aspek kegiatan persiapan, konstruksi dan hunian permukiman
terpadu. Perlu diketahui aspek kegiatan ini tidak berjalan
secara sekuensial serentak untuk seluruh kawasan
permukiman terpadu. Oleh karena itu kegiatan persiapan,
konstruksi dan hunian sering dijumpai berlangsung secara paralel,
sehingga pembangunan permukiman terpadu dapat
menelan waktu bertahun-tahun tergantung pada skala/ luas
kota dan permintaan masyarakat. Kegiatan pembangunan
dimaksud dideskripsikan dengan penekanan pada pokok uraian
berikut ini :
1) Kegiatan persiapan atau pra-konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan survei;
b) Kegiatan pembebasan lahan;
2) Kegiatan konstruksi, yang meliputi:
a) Kegiatan pembangunan perumahan:
i. Pembangunan perumahan;
ii. Pemadatan, pengerasan,dan pembangunan jalan
lingkungan;
iii. Penggalian saluran air;
iv. Pengalihan aliran air;
v. Penggalian/pembuatan jaringan air bersih, listrik dan
telepon;
vi. Pembuatan tempat pembuangan sampah;
b) Kegiatan pembangunan tempat olah raga dan rekreasi:
i. Pembangunan gedung olah raga;
ii. Pembangunan lapangan golf;
iii. Pembuatan taman-taman kota dan tempat bermain;
iv. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi);
c) Kegiatan pembangunan fasilitas perekonomian dan
perdagangan:
i. Pembangunan pusat pertokoan dan perbelanjaan;
ii. Pembangunan pasar;
iii. Pembangunan pergudangan;
iv. Pembangunan terminal dan transport angkutan;
d) Kegiatan pembangunan industri kecil, misal:
i. Industri kulit (sepatu dan tas);
ii. Industri makanan;
iii. Industri mebel kayu dan rotan;
iv. Unit Pengolahan limbah;
3) Kegiatan hunian, yang meliputi:
a) Kehidupan manusia sehari-hari dalam permukiman;
b) Kegiatan masyarakat dalam fasititas sosial & fasilitas
umum yang dibangun;
c) Perekonomian dan perdagangan;
d) Transportasi;
e) Olahraga dan rekreasi;
f) Pariwisata;
g) Pendidikan;
h) Industri kecil atau menengah;
l) Penunjang kesehatan masyarakat;
j) Ketertiban dan keamanan;
k) Seni budaya;
Dari berbagai jenis kegiatan yang diutarakan pada angka (7)
usahakan dapat dipaparkan :
a) Disain teknik yang akan diaplikasikan. Mengingat studi
ANDAL ini dilakukan saat proyek berada pada tahap
studi kelayakan, maka disain teknik yang diutarakan
masih belum bersifat rinci/detil;
b) Alternatif lokasi, alternatif ruas jalan, atau alternatif
disain teknik yang sedang ditetaah;
c) Jenis dan jumtah peralatan yang digunakan dalam
kegiatan konstruksi;
d) Teknologi dan proses yang digunakan pada saat
kegiatan hunian (misal sarana pengolahan air limbah);
e) Tenaga kerja yang dicurahkan untuk kegiatan
persiapan, konstruksi dan hunian.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Pedoman Penyusunan AMDAL serta Pedoman Teknis Penyusunan
AMDAL (Sektoral) dapat digunakan sebagai rujukan untuk
pengumpulan data dan informasi tentang rencana usaha dan/atau
kegiatan yang akan dibangun.
Langkah 1:
Prakiraan dampak penting dengan cara:
prakiraan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang
terdapat dalam angka 3.1.2., khususnya Langkah 8: Komponen dampak
penting yang ditelaah ANDAL.
Hasil langkah I
Diperoleh prakiraan perihal besar (magnitude) dampak pada dua tingkat
analisis yakni :
a) Tingkat ekosistem yang terkena dampak penting
Prakiraan besar dampak untuk setiap komponen lingkungan dari
ekosistem (dengan kata ain struktur ekosistem) yang dinyatakan terkena
dampak penting menurut hasil langkah 8 dalam proses pelingkupan;
b) Tingkat dampak penting regional
Prakiraan besar dampak untuk setiap komponen lingkungan tingkat
regional yang dinyatakan terkena dampak penting menurut hasil
langkah 8 dalam ,proses pelingkupan.
Langkah 2
Lakukann hal yang sama seperti langkah 1 di atas untuk setiap alternatif
kegiatan proyek menurut yang terdapat dalam angka 3.1.1. khususnya
langkah 1: Identifikasi rencana usaha dan/atau kegiatan proyek.
Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (magnitude) dampak yang akan dialami oleh
setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem dan setiap
alternatif tertentu usaha dan/atau kegiatan proyek.
Langkah 1:
Telaah secara komprehensif seluruh dampak penting yang dialami oleh
struktur sistem, baik tingkat ekosistem maupun regional, sebagai akibat
alternatif usaha dan/atau kegiatan tertentu, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin di
kalangan seluruh komponen dampak penting tingkat ekosistem, yang
tercantum pada angka 4.5. (hasil langkah 2), berikut dengan penyebab
utama perubahan tersebut;
b) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin di
kalangan seluruh komponen dampak penting tingkat ekosistem
regional, yang tercantum pada angka 4.5. (hasil langkah 2), berikut
dengan penyebab utama perubahan tersebut;
c) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a)
tersebut dengan menggunaokan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang
Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Catatan langkah 1 :
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan
penyebab utama perubahan struktur ekosistem dapat dilakukan melalui
metode matrik (misal, matrik Leopold), metode Daftar Uji Berkala dengan
Pembobotan (misal,Environmental Evaluation System), dan/atau metode
bagan alir.
Hasil langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu
dari proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal :
a) fenomena perubahan struktur ekosistem akibat adanya alternatif
tertentu dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan
tersebut;
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.
Langkah 2
Telaahan secara komprehensif sejauh mana perubahan struktur ekosistem
dan regional yang dimaksud pada langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi
ekosistem dan ekonomi regional dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada
angka 3.1.1 (yakni langkah 4 proses pelingkupan), dan yang tercantum
pada angka 4.4.2. (yakni rona lingkungan hidup awal) akan berubah
secara mendasar.
b) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekonomi regional akan berubah
secara mendasar akibat adanya proyek pengembangan permukiman
terpadu.
c) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) dan b)
tersebut dengan menggunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang
Pedoman Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Hasil langkah 2
Diperoleh sintesis komprehensif perihat fungsi ekosistem dan regional
yang terkena dampak penting menurut alternatif tertentu dari proyek,
dengan fokus pada :
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem dan ekonomi regional akibat
adanya alternatif tertentu dari proyek;
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem dan ekonomi di kawasan
permukiman terpadu dimaksud.
Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari usaha dan/atau kegiatan proyek, dengan
cara:
a) Untuk setiap alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek, lakukan
telaahan sejauh mana dampak penting yang ditimbulkan terhadap (i)
struktur dan fungsi ekosistem, serta (ii) struktur dan fungsi ekonomi
regional, sebagaimana dimaksud pada langkah 1 dan 2, memenuhi
Pasal 22 PP Nomor 27 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek memenuhi Pasal
22 PP Nomor 27 Tahun 1999, maka pilih alternatif yang paling
minimum menimbulkan dampak penting negatif terhadap kehidupan
ekosistem dan ekonomi regional di kawasan permukiman terpadu.
Hasil langkah 3
Diperoleh informasi perihal alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan hidup.
Langkah 4
Dari alternatif usaha dan/atau kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan,. rumuskan arahan untuk RKL dan RPL dengan prioritas pada
pencegahan dampak lingkungan.
Hasil Langlcah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta
meningkatkan dampak positif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pengetotaan Lingkungan Hidup (RKL);
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
ttd
Dr. A. Sonny Keraf
ttd
Nadjib Dahlan, SH
Lampiran 3.1
Matrik Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Komponen
Lingkungan
Keterangan :
Lampiran 3.2
Matrik Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Fungsi
Ekosistem Kawasan Pengembangan Pemukiman Terpadu untuk
Tipe Ekosistem : lahan basah dan lahan kering
Keterangan :
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 5 Tahun 2000
Tentang : Panduan Penyusunan AMDAL Kegiatan
Pembangunan Di Daerah Lahan Basah
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PANDUAN
PENYUSUNAN AMDAL KEGIATAN PEMBANGUNAN DI DAERAH LAHAN BASAH.
PERTAMA
KEDUA
Keputusan ini berlaku efektif pada tanggal 7 November 2000 dan bilamana di
kemudian hari terdapat kekeliruan, maka Keputusan ini akan ditinjau kembali.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :
ttd.
Kelima faktor mutu lahan yang diindikasikan pada Tabel 2-1 tersebut
penting diperhatikan dalam penentuan kesesuaian lahan untuk
kegiatan pertanian. Adapun faktor No. 1,4 , dan 5 merupakan hal yang
patut dipertimbangkan dalam menentukan lokasi proyek pembangunan
non pertanian.
Tabel 2-2 Pola Pemanfaatan Lahan Rawa Pasang Surut Sesuai dengan Tipologi
Lahan dan Tipe Luapannya
Lahan potensial, gambut dan sulfat masam dengan tipe luapan A dan B
dimanfaatkan untuk sawah. Sawah dapat dilakukan sebanyak dua kali
dalam setahun pada lahan dengan tipe luapan A. Dengan sistem
Surjan, lahan dengan tipe luapan B juga dapat disawahkan sebanyak
dua kali dalam setahun. Lahan dengan tipe luapan C juga dapat
disawahkan dalam musim hujan bila diterapkan sistem surjan. Pada
guludan dapat ditanam beberapa jenis tanaman pangan lainnya serta
tanaman hortikultura. Pemanfaatan lahan dengan tipe luapan D adalah
berupa usaha tani lahan kering untuk tanaman pangan/hortikultura
atau perkebunan kelapa. Pada lahan gambut sebaiknya diusahakan
sebagai lahan perkebunan kelapa sawit yang didahului dengan tanaman
pangan dan hortikultura untuk beberapa musim. Sedangkan pada lahan
sulfat masam, sebaiknya dimanfaatkan langsung sebagai lahan
perkebunan kelapa.
Namun, dalam konsepsi hak ulayat tersebut ternyata masih ada hak
anggota masyarakat secara individu menguasai sebagian obyek
penguasaan Hak Ulayat tersebut dengan sistem tertentu, misalnya
sistem lelang lebak-lebung di Sumatera Selatan. Oleh karena itu dapat
dipahami jika terhadap sumberdaya alami yang dilingkupi oleh hak
ulayat itu terdapat gengsi kesukuan yang tinggi. Kehati-hatian
diutamakan di sini, karena suatu keputusan yang tidak transparan oleh
aparat tidak akan didukung oleh masyarakat setempat. Selain itu,
apabila terjadi pengambilalihan tanah Hak Ulayat maka perlu
dipertimbangkan untuk seyogyanya tidak secara penuh meliputi setiap
jenis sumberdaya terkait yang justru menjadi sumber nafkah
penduduk. Misalnya, hak untuk menanam ikan diperairan dalam
kawasan proyek bekas tanah Hak Ulayat hendaknya tetap diberikan
kepada penduduk setempat.
Langkah 1
Buat daftar rencana kegiatan proyek yang akan dibangun di daerah
lahan basah.
Hasil Langkah 1
Daftar kegiatan atau aktivitas proyek yang dapat merupakan penyebab
dampak lingkungan antara lain adalah:
1. Kegiatan pra konstruksi yang meliputi:
a) Kegiatan survei.
b) Kegiatan pembebasan lahan
2. Kegiatan konstruksi, yang meliputi :
a) Kegiatan yang bersifat merubah lahan/lansekap lahan:
i. Pengurangan/pembuangan lahan
Seperti antara lain : pembangunan tambak
ii. Penambahan/pengurukan lahan
Seperti antara lain : pembangunan jalan
iii. Pemadatan lahan
b) Kegiatan yang bersifat mengubah rejim hidrologi
i. Pembangunan saluran drainase
ii. Kanalisasi sungai
iii. Pengalihan aliran
iv. Konstruksi dam
c) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi vegetasi
i. Penebangan vegetasi
ii. Pemungutan hasil
iii. Penanaman tanaman (penghijauan/reklamasi)
iv. Introduksi spesies asing
d) Kegiatan yang bersifat mengubah komposisi satwa
i. Pengambilan/perburuan satwa
ii. Introduksi spesies asing
3. Kegiatan operasi, yang meliputi:
a) Kegiatan proses produksi yang menimbulkan pencemaran
i. Minyak
ii. Kimia
iii.Radioaktif
iv.Limbah domestik
v. Limbah Industri
vi. Panas
vii. Udara
b) Kegiatan instalasi dan operasi pengolah limbah
i. Limbah padat
ii. Limbah cair
iii. Limbah gas
c) Kegiatan pengambilan/pemanfaatan air untuk kebutuhan
domestik dan kebutuhan proses produksi
i. air permukaan (sungai, danau)
ii. air tanah dalam
d) Kegiatan penerimaan tenaga kerja
e) Kegiatan yang mendorong pengembangan wilayah
i. Aksesibilitas wilayah
ii. Pusat-pusat pertumbuhan baru
Langkah 2
Identifrkasi tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi
pro dan/atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek
sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1.
Hasil Langkah 2
Daftar tipe-tipe ekosistem lahan basah yang akan menjadi lokasi
proyek dan/ atau yang akan terpengaruh oleh kegiatan proyek. Dalam
Panduan ini tipe ekosistem dimaksud dibatasi pada:
1. hutan bakau,
2. hutan rawa payau,
3. hutan rawa air tawar, dan
4. hutan rawa bergambut.
Langkah 3
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan
komponen ekosistem yang akan mengalami perubahan akibat adanya
proyek.
Hasil Langkah 3
Diperoleh daftar komponen lingkungan untuk setiap tipe ekosistem
lahan basah yang potensial terkena dampak proyek, yang diantara
adalah:
1. Komponen Fisik-Kimia
a) Iklim, yang meliputi:
i. Curah hujan
ii. Suhu dan kelembaban nisbi udara
iii. Panjang penyinaran matahari
iv. Kecepatan angin
b) Hidrologi, yang meliputi:
i. Tinggi dan elevasi muka air (pasang surut)
ii. Debit dan pola aliran
iii. Tinggi, lama, dan frekuensi genangan/banjir
iv. Pola sedimentasi dan drainase
v. Sifat fisik dan kimia air permukaan
c) Tanah, yang meliputi:
i. Fisiografi, litologi
ii. Sifat fisik tanah
iii. Sifat kimia tanah
2. Komponen Biologi
a) Komunitas Vegetasi
i. Keanekaragaman jenis/komunitas vegetasi
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/phytoplankton
iii. Struktur dan komposisi vegetasi
iv. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekonomi tinggi
v. Jenis dan populasi vegetasi yang bernilai ekologi tinggi
vi. Zona habitat khusus dan plasma nutfah
b) Komunitas Satwa Liar
i. Keanekaragaman jenis/komunitas satwa liar
ii. Keanekaragaman jenis/komunitas biota air/zooplankton, nekton
iii. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekonomi tinggi
iv. Jenis dan populasi satwa liar bernilai ekologi tinggi
v. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekonomi tinggi
vi. Jenis dan populasi nekton yang bernilai ekologi tinggi
vii. Jenis satwa liar yang langka dan/atau dilindungi
3. Komponen Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya
a) Kepadatan dan pertumbuhan penduduk
b) Persebaran penduduk
c) Peluang bekerja dan berusaha
d) Pemilikan dan penguasaan atas sumber daya alam
e) Persarana perhubungan air
f) Pemukiman penduduk
g) Fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan
h) Adat istiadat
i) Kelembagaan tradisional
j) Aktivitas perekonomi dan perdagangan
k) Sistem pertanian
t) Akulturasi dan asimilasi
m) Kesehatan masyarakat
n) Kesehatan lingkungan
Langkah 4
Di setiap tipe ekosistem menurut Hasil Langkah 2, identifikasikan fungsi atau
manfaat yang masih dimiliki oleh ekosistem bersangkutan yang akan
mengalami perubahan mendasar akibat adanya proyek.
Hasil Langkah 4
Diperoleh daftar fungsi atau manfaat untuk setiap tipe ekosistem lahan basah
yang terkena dampak yang diantaranya meliputi:
1. Fungsi pemasok air (kualitas dan kuantitas air), yang berupa air bersih
yang dapat langsung dimanfaatkan oleh masyarakat dan/atau sebagai
pemasok ke aquifer (ground water recharge) dan lokasi lahan basah
lainnya.
2. Fungsi pengendalian air, terutama pengendalian banjir
3. Fungsi pencegah intrusi air laut ke air tanah dan/atau air permukaan.
4. Fungsi perlindungan terhadap kekuatan alam, yang berupa perlindungan
garis pantai, pengendalian erosi, dan pemecah angin (windbreak)
5. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan sedimen
6. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan unsur hara
7. Fungsi penangkapan dan/atau pengendapan bahan-bahan beracun
8. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi, seperti kayu, ikan
dan daging satwa liar, rotan, getah, obat, dan gambut.
9. Fungsi pemasok bahan-bahan yang bernilai ekologi seperti, pasokan bahan
anorganik dan organik dan hara terlarut bagi wilayah hilir dan bagi ikan
serta burung-burung migran.
10. Fungsi pemasok energi, seperti energi kayu, dan listrik-hidro.
11. Fungsi transportasi/perhubungan
12. Fungsi bank gen bagi spesies tumbuhan komersil dan populasi satwa liar.
13. Fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, habitat satwa liar
dan tumbuhan penting, komunitas, ekosistem, dan lansekap lahan basah.
14. Fungsi rekreasi dan pariwisata
15. Fungsi sosial budaya, berupa estetika lansekap, keagamaan dan spiritual,
serta peningggalan sejarah.
16. Fungsi sosial ekonomi, misal berupa sumber mata pencaharian bagi
penduduk setempat dan tanah adat masyarakat setempat.
17. Fungsi penelitian dan pendidikan
18. Fungsi pemeliharaan proses-proses alam, seperti proses ekologi,
geomorfologi dan geologi, rosot karbon (carbon sink) dan pencegahan
perluasan tanah sulfat masam.
Langkah 5
a) Buat matrik dampak kompanen lingkungan yang pada bagian kolom
memuat rencana kegiatan proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris
memuat komponen lingkungan lahan basah (Hasil Langkah 3).
b) Buat matrik dampak fungsi ekosistem yang pada bagian kolom memuat
rencana kegiatan proyek (Hasil Langkah 1) dan pada bagian baris memuat
komponen fungsi ekosistem lahan basah (Hasil Langkah 4).
c) Masing-masing jenis matrik dibuat sebanyak jumlah tipe ekosistem
sebagaimana Hasil Langkah 2.
Hasil langkah 5
a) Terbentuk matrik dampak komponen lingkungan ekosistem seperti
contoh pada Lampiran 3-1. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem
menurut hasil langkah 2.
b) Terbentuk matrik dampak fungsi ekosistem seperti contoh pada
Lampiran 3-2. Matrik sebanyak jumlah tipe ekosistem menurut hasil
Langkah 2.
Langkah 6
Disetiap jenis matrik yang diperoleh dari hasil langkah 4 lakukan identifikasi
dampak dengan cara:
Beri tanda “X”atau “V" atau simbol lainnya pada komponen lingkungan
tertentu dan fungsi tertentu dari tipe ekosistem lahan basah yang potensial
terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.
Hasil Langkah 6
Disetiap tipe ekosistem sebagaimana dimaksud hasil langkah 2, diperoleh
daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang potensial akan
terkena dampak.
Langkah 7
Gunakan Keputusan Kepala BA PEDAL tentang Pedoman Penentuan Dampak
besar dan Penting untuk mengevaluasi penting tidaknya hasil langkah 6 dari
identifikasi dampak potensial.
Hasil Langkah 7
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi lahan basah yang
berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman Penentuan
Dampak besar dan Penting tergolong terkena dampak besar dan penting.
Lihat pula matrik pada lampiran 3-1 sebagai contoh.
Langkah 8
Tetapkan dampak penting (hipotesis) yang akan diteliti secara mendalam
dalam studi ANDAL
Hasil Langkah 8
Diperoleh daftar komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah
yang harus diteliti secara mendalam pada studi ANDAL,yakni yang meliputi:
a. Potensial terkena dampak penting proyek berdasarkan hasil langkah 7;
b.Tidak dapat di evaluasi sifat pentingnya berdasarkan hasil langkah 7,
karena data/informasi tentang komponen lingkungan bersangkutan sangat
terbatas.
Komponen lingkungan dan fungsi ekosistem lahan basah yang tidak terkena
dampak penting tidak diteliti dalam studi ANDAL.
3.1.3 Pemusatan dampak besar dan penting (Focussing)
Tujuan pemusatan dampak besar dan penting adalah untuk
mengelompokkan dan mengorganisir dampak potensial yang telah
dirumuskan pada tahap evaluasi dampak potensial (butir 3.1.2.) dengan
maksud agar diperoleh isu-isu pokok lingkungan yang secara komprehensif
dapat menggambarkan:
a) Keterkaitan antara rencana kegiatan proyek dengan komponen
lingkungan yang akan terkena dampak besar dan penting;
b) Keterkaitan antar dampak besar dan penting yang telah di identifikasi
pada butir 3.1.2.
Langkah yang dapat ditempuh untuk memandu pemusatan dampak besar
dan penting adalah sebagai berikut:
Langkah 9
Kelompokan dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 atas beberapa isu
pokok lingkungan.
Catatan Lanqkah 9
Dampak besar dan penting Hasil Langkah 8 dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa isu pokok lingkungan melalui:
- Pengelompokkan berdasarkan konsentrasi persebaran dampak besar dan
penting di suatu lokasi, dan/atau
- Pengelompokkan berdasarkan struktur (komponen lingkungan) dan fungsi
tertentu dari ekosistem lahan basah yang terkena dampak besar dan
penting proyek.
Hasil Langkah 9
Diperoleh beberapa isu pokok lingkungan yang merefleksikan perubahan-
perubahan pokok yang akan dialami ekosistem lahan basah yang bersifat
mendasar akibat adanya proyek.
Langkah 10
Urutkan isu-isu pokok lingkungan Hasil Langkah 9 menurut kepentingan dari
segi ekonomi, sosial maupun ekologi.
Hasil Langkah 10
Isu-isu pokok lingkungan berdasarkan kepentingan ekonomi, sosial dan
ekologi.
Langkah 1
Buat batas proyek dengan cara:
a) Plotkan pada peta vegetasi/peta tata guna tanah/peta sistem lahan yang
tersedia, batas terluar kegiatan proyek dalam melakukan kegiatan pra
konstruksi, konstruksi dan operasi di daerah lahan basah. Termasuk dalam
hal ini alternatif lokasi kegiatan proyek. Hasil Langkah I dari butir 3.1.1
dapat digunakan untuk memandu hal ini.
b) Dalam batas proyek tersebut identifikasikan komunitas masyarakat dan/
atau lembaga-lembaga masyarakat (social institution) yang berpotensi
berubah secara mendasar akibat adanya proyek.
Catatan Langkah 1
Yang dimaksud dengan batas proyek adalah ruang dimana suatu rencana
usaha atau kegiatan/proyek akan melakukan kegiatan pra konstruksi,
konstruksi dan operasi. Ruang kegiatan proyek ini merupakan sumber
dampak terhadap lingkungan di sekitarnya.
Hasil Langkah 1
a) Diperoleh batas kegiatan proyek di daerah lahan basah di atas peta yang
digunakan.
b) Di dalam batas proyek dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau
lembaga-lembaga masyarakat yang akan terkena dampak penting
kegiatan proyek.
Langkah 2
Buat batas ekologis pada peta yang sama yang digunakan pada Langkah 1
dengan cara:
a) Plotkan batas terjauh dari transportasi limbah proyek, melalui media
air,terhadap ekosistem lahan basah di sekitarnya, dan/atau
b)Plotkan batas terjauh atau lokasi-lokasi tempat terjadinya gangguan atau
kerusakan terhadap fungsi ekosistem lahan basah sebagai akibat adanya
proyek.
c) Gabungkan hasil langkah a) dan b) sehingga menghasilkan batas ekologis.
Hasil Langkah 2 sampai 4 dari proses Identifikasi Dampak Potensial, dapat
memandu mengarahkan hal ini.
d) Di dalam batas ekologis tersebut identifikasikan komunitas masyarakat
dan/atau lembaga-lembaga masyarakat yang berpotensi berubah
mendasar sebagai akibat rusaknya sumber daya alam dan pencemaran
lingkungan yang ditimbulkan oleh proyek.
Catatan Langkah 2
Yang dimaksud dengan batas ekologis adalah ruang persebaran dampak dari
kegiatan proyek menurut media transportasi limbah (air, udara) dan/atau
menurut timbulnya kerusakan sumber daya alam, dimana proses-proses
alami yang berlangsung di dalam ruang tersebut diperkirakan akan
mengalami perubahan mendasar.
Hasil Langkah 2
a) Diperoleh batas ekologis di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada Langkah 1.
b) Dalam batas ekologis dimaksud teridentifikasi komunitas masyarakat atau
lembaga-lembaga masyarakat yang terkena dampak penting kegiatan
proyek.
Langkah 3
Buat batas sosial di atas peta yang sama yang digunakan pada Langkah I
dengan cara:
a) Plotkan lokasi komunitas masyarakat dan/atau lembaga-lembaga
masyarakat sebagaimana dimaksud pada Hasil Langkah 1 dan 2.
b) Plotkan lokasi komunitas masyarakat yang berada di luar batas proyek dan
batas ekologi namun berpotensi terkena dampak mendasar dari proyek
misalnya, melalui penyerapan tenaga kerja, pembangunan fasilitas umum
dan fasifitas sosial
Catatan Langkah 3
Yang dimaksud dengan batas sosial adalah ruang di sekitar proyek yang
merupakan tempat berlangsungnya berbagai interaksi sosial yang
mengandung norma dan nilaii tertentu yang sudah mapan (termasuk sistem
dan struktur sosial), yang diperkirakan akan mengalami perubahan mendasar
akibat proyek. Batas sosial dapat menyebar di beberapa lokasi dan dapat
lebih luas dari batas proyek atau batas ekologi.
Hasil Langkah 3
Diperoleh batas sosial di atas peta yang sama dengan yang digunakan pada
Langkah 1.
Langkah 4
Buat batas administratif di atas peta yang sama yang digunakan pada
Langkah I dengan cara:
Plotkan batas-batas kewenangan tertentu untuk mengatur/mengelola sumber
daya alam dan lingkungan tertentu yang keabsahannya diakui oleh lembaga
formal pemerintahan, swasta dan/atau lembaga lokal masyarakat setempat
Catatan Langkah 4
Yang dimaksud dengan batas administratif adalah ruang dimana lembaga-
lembaga masyarakat tertentu mempunyai kewenangan tertentu untuk
mengatur/mengelola sumber daya alam dan lingkungan tertentu berdasarkan
peraturan perundangan yang ada. Sebagai contoh adalah batas administratif
pemerintahan daerah; batas kuasa pertambangan; batas HPH. Di dalam
ruang tersebut masyarakat dapat sesara leluasa melakukan kegiatan sosial
ekonomi dan sosial budaya sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku:
Hasil Langkah 4
Diperoleh batas administratif di atas peta yang sama dengan yang digunakan
pada Langkah 1.
Langkah 5
Buat batas wilayah studi ANDAL di atas peta yang sama yang digunakan pada
Langkah 1 dengan cara:
a) Buat batas terluar dari gabungan batas proyek (Hasil Langkah 1), batas
ekologi (Hasil Langkah 2), batas sosial (Hasil Langkah 3), dan batas
administratif (Hasil Langkah 4).
b) Tetapkan batas wilayah studi ANDAL dengan mempertimbangkan hasil
kegiatan butir a) di atas dengan dana, waktu, dan tenaga yang tersedia.
Hasil Langkah 5
Diperoleh batas wilayah studi ANDAL pada peta yang sama dengan yang
digunakan pada Langkah 1. Batas dimaksud merupakan resultante dari batas
proyek, batas ekologi, batas sosial, batas administratif dan kendala teknis
yang dihadapi.
Gambar 3-1. Skema Proses Pelingkupan Dampak Penting dan Studi
Tabel 4-1 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Fisik Kimia
Tabel 4-2 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Biologi
Tabel 4-3 Contoh Metode Pengumpulan dan Analisi data- Aspek Sosial
4.2.4. Metode prakiraan dampak dan evaluasi damnpak
Metode prakiraan dampak dan metode evaluasi dampak yang
digunakan dalam studi ANDAL Daerah Lahan Basah agar mengikuti
panduan yang terdapat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Pedoman Penyusunan AMDAL.
Langkah 1:
Prakirakan dampak penting dengan cara:
a) prakirakan besar dampak untuk setiap komponen dampak lingkungan yang
terdapat dalam angka 3.1.2, khususnya Langkah 8: Komponen Dampak Besar
dan Penting yang ditelaah dalam ANDAL
b) prakiraan dilakukan untuk setiap tipe ekosistem lahan basah yang terdapat
dalam angka 3.1.1 khususnya Langkah 2 : Identifikasi Tipe Ekosistem.
Hasil Langkah 1
Diperoleh data dan informasi perihal besar (atau magnitude) dampak yang
akan dialami oleh setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem
tertentu yang terkena dampak kegiatan tertentu dari proyek.
Langkah 2
Lakukan hal yang sama seperti Langkah 1 di atas untuk setiap alternatif
kegiatan proyek menurut yang terdapat dalam angka 3.1.1 khususnya
Langkah 1: Identifikasi Rencana Kegiatan Proyek.
Hasil Langkah 2
Diperoleh prakiraan besar (atau magnitude) dampak yang akan dialami oleh
setiap komponen dampak penting dari setiap tipe ekosistem dan setiap
alternatif tertentu kegiatan proyek.
Langkah 1:
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak; telaah secara komprehensif
perubahan seluruh komponen yang terkena dampak penting (atau dalam hal
ini perubahan struktur ekosistem lahan basah) akibat alternatif kegiatan
tertentu proyek, dengan cara:
a) telaah fenomena hubungan sebab-akibat yang potensial terjalin dikalangan
seluruh komponen dampak penting yang tercantum pada angka 4.5. (Hasil
Langkah 2), berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut
dengan menggunakan Keputusan Kepala BAPEDAL tentang Pedoman
Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Catatan Langkah 1
Penelaahan secara komprehensif fenomena hubungan sebab akibat dan
penyebab utama perubahan struktur ekosistem, dapat dilakukan melalui
metode matrik (misal, matrik Leopold), metode daftar uji berskala dengan
pembobotan (misal, Environmental Evaluation System), dan/atau metode
bagan alir.
Hasil Langkah 1
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari
proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan struktur ekosistem: akibat adanya alternatif tertentu
dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya struktur ekosistem lahan basah dimaksud.
Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak, telaah secara komprehensif
sejauh mana perubahan struktur ekosistem lahan basah yang dimaksud pada
Langkah 1 berpengaruh terhadap fungsi ekosistem, dengan cara:
a) telaah sejauh mana fungsi-fungsi ekosistem yang tercantum pada angka
3.1.1 (yakni langkah 4 proses pelingkupan), dan yang tercantum pada angka
4.4.2 (yakni Rona Lingkungan Hidup) akan berubah secara mendasar.
b) telaah arti penting dari perubahan yang dimaksud pada huruf a) tersebut
dengan menggunakan Keputusan Kepala BAPfDAL tentang Pedoman
Penentuan Dampak Besar dan Penting.
Hasil Langkah 2
Di setiap tipe ekosistem yang terkena dampak menurut alternatif tertentu dari
proyek diperoleh sintesis komprehensif perihal:
a) fenomena perubahan fungsi ekosistem, akibat adanya alternatif tertentu
dari proyek, berikut dengan penyebab utama perubahan tersebut.
b) arti penting dari berubahnya fungsi ekosistem lahan basah dimaksud
Langkah 3
Telaah kelayakan lingkungan dari kegiatan proyek, dengan cara:
a) Untuk setiap alternatif kegiatan proyek, lakukan telaahan sejauh mana
dampak besar dan penting yang ditimbulkan terhadap struktur dan fungsi
ekosistem lahan basah sebagaimana dimaksud pada Langkah 1 dan 2,
memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21 Tahun 1999.
b) Bila seluruh alternatif kegiatan proyek memenuhi Pasal 22 PP Nomor 21
Tahun 1999, maka pilih alternatif yang paling minimum menimbulkan
dampak penting negatif terhadap ekosistem lahan basah.
Hasil Langkah 3
Diperoleh informasi perihat alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi
lingkungan hidup.
Langkah 4
Dari alternatif kegiatan proyek yang layak dari segi lingkungan, rumuskan
arahan untuk RKL dan RPL dengan prioritas pada pencegahan dampak
lingkungan.
Hasil Langkah 4
Diperoleh langkah-langkah strategis untuk:
a) mencegah dan menanggulangi dampak penting negatif serta meningkatkan
dampak positif sebagai arahan untuk penyusunan dokumen Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL),
b) memantau dampak penting negatif sebagai arahan untuk penyusunan
dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL).
ttd
Dr.A Sonny Keraf
ttd
Nadjib Dahlan, SH
Lampiran 3-I
Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Komponen Lingkungan
Daerah Lahan Basah
Keterangan :
Lampiran 3-2.
Matriks Interaksi Dampak Kegiatan Proyek dengan Fungsi Ekosistem Lahan
Basah untuk Tipe Ekosistem: hutan bakau/hutan rawa payau/hutan rawa
bergambut/hutan rawa air tawar
Keterangan :
__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 42 TAHUN 2000
TENTANG
SUSUNAN KEANGGOTAAN KOMISI PENILAI DAN TIM TEKNIS
ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP PUSAT
ttd.
Pasal 4
Kriteria ketidakpatuhan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
menjadi dasar dikeluarkannya perintah pelaksanaan audit lingkungan hidup
yag diwajibkan, meliputi :
a. ketidakpatuhan terhadap baku mutu lingkungan hidup, dan atau;
b. ketidakpatuhan terhadap kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dan atau;
c. ketidakpatuhan terhadap persyaratan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang
harus dilakukan, dan atau;
d. ketidakpatuhan yang mengindikasikan bahwa penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan tidak memiliki dokumen pengelolaan
lingkungan hidup atau tidak melaksanakan system pengelolaan
lingkungan secara efektif.
Pasal 5
(1). Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dinyatakan tidak mematuhi
peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup,
apabila telah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
(2). Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila
menunjukkan:
a. telah terjadi hal yang sama atau berkaitan secara berulangkali, dan;
b. telah diberikan peringatan oleh Menteri dan atau Gubernur dan atau
Bupati dan atau Walikota sekurang-kurangnya 3 (tiga) kali dalam
jangka waktu setahun terakhir dan atau patut diduga akan terjadi lagi di
masa mendatang.
Pasal 6
(1). Menteri berwenang memerintahkan kepada penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
apabila penanggung jawab usaha dan atau kegiatan menunjukkan
ketidakpatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.
(2). Apabila Gubernur/Bupati/Walikota menilai bahwa suatu usaha dan atau
kegiatan di wilayahnya menunjukkan ketidakpatuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, maka Gubernur/Bupati/Walikota
mengusulkan kepada Menteri untuk memerintahkan penanggung jawab
Pasal 12
(1). Berdasarkan rekomendasi Tim Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (6) huruf a, Menteri dapat menyetujui atau tidak menyetujui
usulan perintah audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(2). Apabila Menteri menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup yang
diwajibkan, Menteri mengeluarkan surat perintah pelaksanaan audit
lingkungan hidup yang diwajibkan kepada penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan yang bersangkutan.
(3). Apabila Menteri tidak menyetujui usulan perintah audit lingkungan hidup
yang diwajibkan, Menteri memberikan alas an-alasan mengenai
ketidaksetujuan tersebut.
Pasal 13
(1). Dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
dikeluarkannya surat perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (2), penanggung jawab usaha dan atau kegiatan telah menunjuk
auditor dengan pemberitahuan kepada Menteri.
(2). Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penangung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melaksanakan perintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), Menteri dapat :
a. melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan dengan
membentuk Tim Audit, atau;
b. menugaskan pihak ketiga yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan.
(3). Jumlah beban biaya pelaksanaan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri
Pasal 14
(1). Tim audit merumuskan Kerangka Acuan audit lingkungan hidup yang
diwajibkan berdasarkan ruang lingkup yang ditetapkan oleh Menteri
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah tim audit ditetapkan.
(2). Tim audit mulai melaksanakan audit lingkungan hidup yang diwajibkan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah Kerangka Acuan
mendapat persetujuan dari Menteri.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 September 2001
Menteri Negara Lingkungan Hidup
ttd.
Nabiel Makarim, MPA, MSM
ttd.
Sudharto P. Hadi
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 45 TAHUN 2005
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN PELAKSANAAN
RENCANA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP (RKL) DAN
RENCANA PEMANTAUAN LINGKUNGAN HIDUP (RPL)
1
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838);
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
2
b. Rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) adalah upaya pemantauan
komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari
rencana usaha dan/ atau kegiatan;
c. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu
rencana usaha dan/ atau kegiatan yang akan dilaksanakan.
Pasal 2
(1) Pedoman yang diatur dalam Keputusan ini bertujuan agar terdapat keseragaman
format pelaporan dalam pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup
(RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) sehingga dapat tercipta
kepastian hukum dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dalam menetapkan
kebijakan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Teknik dan metodologi pengelolaan dan pemantauan yang digunakan dalam
pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup (RKL) dan rencana
pemantauan lingkungan hidup (RPL) wajib dilakukan sesuai dengan teknik dan
metodologi standar atau yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 3
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh pemrakarsa usaha
dan/ atau kegiatan untuk pelaporan kepada instansi yang berkepentingan dalam
pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan minimum
dalam melakukan pelaporan pelaksanaan rencana pengelolaan lingkungan hidup
(RKL) dan rencana pemantauan lingkungan hidup (RPL) dan dapat
dikembangkan sesuai dengan usaha dan/ atau kegiatan yang dilakukan.
Pasal 4
3
Pasal 5
Keputusan ini mulai berlaku efektif 6 (enam) bulan sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 5 April 2005
_______________________
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
4
Lampiran
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 45 Tahun 2005
Tanggal : 5 April 2005
______________________________________________________________________________________
I. PENJELASAN UMUM
Sistematika dalam Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL ini
merupakan persyaratan minimum yang harus dilaporkan oleh pemrakarsa. Dalam
pelaksanaannya, pelaporan ini dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan
informasi lingkungan yang diperlukan oleh instansi terkait.
Penyusunan pedoman ini dilatarbelakangi antara lain oleh beberapa hal sebagai
berikut:
1. Dalam proses pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL selama ini tidak
menggunakan format pelaporan yang seragam;
2. Format pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL sebelumnya dianggap
membingungkan, tidak jelas dan terjadi pengulangan sehingga menyulitkan
pemrakarsa dalam melakukan pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL-nya;
3. Format pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL sebelumnya belum
menggambarkan tujuan dari pemantauan RKL dan RPL yaitu memberikan
gambaran kecenderungan perubahan kualitas lingkungan di lokasi dan sekitar
rencana usaha dan/ atau kegiatan, dan penaatan terhadap ketentuan yang
berlaku (misalnya: ketentuan dalam RKL dan RPL).
1
Pedoman Penyusunan Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL ini dimaksudkan
untuk memberikan acuan dalam penyusunan laporan pelaksanaan RKL dan RPL.
Tujuan pedoman penyusunan laporan pelaksanaan RKL dan RPL ini adalah:
1. Memberikan kemudahan kepada pemrakarsa dalam melaporkan pelaksanaan
RKL dan RPL;
2. Memberikan kemudahan kepada berbagai instansi terkait dalam pengawasan
pelaksanaan RKL dan RPL;
3. Mendorong pemrakarsa memanfaatkan data-data pemantauan lingkungan
dalam menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang berdasarkan prinsip-
prinsip perbaikan secara menerus (continual improvement).
Laporan pelaksanaan RKL dan RPL wajib dilaporkan oleh pemrakarsa kepada
instansi yang membidangi usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan, instansi
yang ditugasi mengelola lingkungan hidup di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/
Kota.
Laporan disampaikan dalam bentuk buku laporan dan dianjurkan untuk disertai
dengan file elektronik seperti Compact Disc (CD) atau disket.
Selain laporan pelaksanaan RKL dan RPL yang disampaikan kepada Pemerintah,
pemrakasa usaha dan/ atau kegiatan sangat dianjurkan untuk membuka informasi
pelaksanaan RKL dan RPL tersebut kepada publik, baik dalam bentuk buku
laporan atau sistem informasi elektronik lainnya seperti situs internet (internet
website).
V. FREKUENSI PELAPORAN
2
Frekuensi pelaporan pelaksanaan RKL dan RPL dilakukan sesuai dengan Surat
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup. Oleh sebab itu, pemrakarsa wajib
memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Surat Keputusan
Kelayakan Lingkungan Hidup tersebut. Dalam hal frekuensi pelaporan tidak
ditetapkan dalam Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, maka pelaporan
dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.
BAB I
PENDAHULUAN
A. IDENTITAS PERUSAHAAN
Tuliskan secara jelas lokasi usaha dan atau kegiatan (alamat lengkap dan
nomor telepon). Lengkapi dengan peta dan koordinat.
C. DESKRIPSI KEGIATAN
3
Uraikan secara singkat kegiatan dan status pelaksanaan kegiatan tersebut pada
saat pelaporan beserta kapasitas produksi dan atau luasan lahan yang
dimanfaatkan. Uraian ini harus dapat menjelaskan apakah kegiatan
perusahaan tersebut dalam tahap pra-kontruksi, konstruksi, operasi atau pasca
operasi.
Pemrakarsa dapat mencantumkan berbagai penghargaan yang dimiliki, baik
dari dalam negeri, luar negeri atau institusi lain (misalnya: ISO 14000,
Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan - PROPER).
BAB II
PELAKSANAAN DAN EVALUASI
A. PELAKSANAAN
Dalam penulisan laporan, harus ada kesesuaian uraian antara dampak yang
dikelola dengan komponen lingkungan yang dipantau. Uraian pelaksanaan
pengelolaan dapat dilakukan per komponen kegiatan dan pelaksanaan
pemantauan per komponen lingkungan.
1. RKL
4
• Untuk memberikan gambaran tentang pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup perlu diuraikan tentang besaran dampak dari
masing-masing sumber dampak. Misalnya untuk menjelaskan
pengelolaan dampak penurunan kualitas udara akibat emisi dari
cerobong perlu diuraikan tentang besaran sumber dampak (dalam hal
ini adalah uraian tentang berapa emisi yang dikeluarkan dari cerobong)
dan uraian tentang besaran dampak yang terjadi di lingkungan (dalam
hal ini informasi hasil pemantauan kualitas udara ambien).
2. RPL
B. EVALUASI
5
1. Evaluasi Kecenderungan (trend evaluation)
Ketiga jenis evaluasi di atas dapat dilakukan untuk menilai tingkat penaatan
terhadap ketentuan yang berlaku maupun untuk menilai kinerja pengelolaan
lingkungan hidup dari suatu usaha dan atau kegiatan.
BAB III
KESIMPULAN
Uraikan dalam bab ini hal-hal penting yang dihasilkan dari pelaksanaan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. Dalam bab ini dapat diuraikan
pula temuan dan usulan untuk perbaikan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup selanjutnya, yaitu:
6
2. Kesimpulan mengenai kesesuaian hasil pelaksanaan pengelolaan lingkungan
dan pemantauan lingkungan dengan rencana pengelolaan dan pemantauan
dalam dokumen RKL dan RPL.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Keputusan Kepala Bapedal No. 08 Tahun 2000
Tentang : Keterlibatan Masyarakat Dan Keterbukaan
Informasi Dalam Proses Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup perlu
ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
tentang Ketertibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam
Proses AnaLisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup;
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3838);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 1/M Tahun 2000
tentang Pengangkatan Kepata Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
TENTANG KETERLIBATAN MASYARAKAT DAN KETERBUKAAN
INFORMASI DALAM PROSES ANALISIS MENGENAI DAMPAK
LINGKUNGAN HIDUP.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tangga : 17 Pebruari 2000
ttd.
1. PENDAHULUAN
1.1 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan masyarakat
dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk:
1) Melindungi kepentingan masyarakat;
2) Memberdayakan masyarakat dalam pengambilan
keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan
pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak
besar dan penting terhadap Lingkungan;
3) Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan
proses AMDAl dari rencana usaha dan/atau kegiatan; dan
4) Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara
semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan
menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan
informasi dan mewajibkan semua pihak untuk
menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain
yang terpengaruh.
1.2 Prinsip Dasar Pelaksanaan
1) Kesetaraan posisi di antara pihak-pihak yang terlibat;
2) Transparansi dalam pengambilan keputusan;
3) Penyelesaian masalah yang bersifat adil dan bijaksana;
dan
4) Koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dikalangan pihak-
pihak yang terkait
1.3 Pengertian
Masyarakat yang Berkepentingan :
Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang
terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL
berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut:
kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau
kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial
budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat
berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi
masyarakat terkena dampak dan, masyarakat pemerhati.
Masyarakat Terkena Dampak :
Masyarakat terkena dampak adalah masyarakat yang akan
merasakan dampak dari adanya rencana usaha dan/atau
kegiatan, terdiri dari masyarakat yang akan mendapatkan
manfaat dan masyarakat yang akan mengalami kerugian.
Masyarakat Pemerhati :
Masyarakat Pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena
dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, tetapi
mempunyai perhatian terhadap rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut, maupun dampak- dampak lingkungan yang
akan ditimbulkannya.
Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL :
Keterlibatan Masyarakat dalam Proses AMDAL adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
tentang AMDAL. Dalam proses ini, masyarakat menyampaikan
aspirasi, kebutuhan, dan nilai- nilai yang dimiliki masyarakat,
serta usulan penyelesaian masalah dari masyarakat yang
berkepentingan dengan tujuan memperoleh keputusan yang
terbaik.
Wakil Masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL :
Wakil Masyarakat dalam Komisi Penilai AMDAL adalah wakil dari
masyarakat terkena dampak yang telah memenuhi kriteria yang
ditetapkan untuk dapat duduk sebagai anggota komisi penilai
AMDAL.
2. Hak dan Kewajiban
2.1 Hak-hak Warga Masyarakat
Hak-hak Warga Masyarakat dalam proses AMDAL adalah :
1) Memperoleh Informasi mengenai :
a) rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib
menyusun AMDAL;
b) dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak
Lingkungan Hidup (KA-ANDAL);
c) dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup
(ANDAL);
d) dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup
(RKL);
e) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup
(RPL);
f) proses penilaian dokumen AMDAL oleh Komisi
Penilai AMDAL;
g) sikap instansi yang bertanggung jawab atas saran,
pendapat dan tanggapan masyarakat yang
disampaikan; dan
h) keputusan hasil penilaian dokumen AMDAL;
2) Memberikan saran, pendapat, dan/atau tanggapan atas
rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun
AMDAL dan dokumen KA- ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL
dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Penyampaian Saran, Pendapat,
dan Tanggapan Bentuk tertulis (contoh: surat, e-
mail) atau bentuk cetak (contoh : surat pembaca di
media massa) sehingga mudah didokumentasikan
b) Spesifikasi Teknik Penyampaian Saran, Pendapat,
dan Tanggapan
(1) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik
dan benar;
(2) Menuliskan dengan jelas sehingga mudah
dibaca;
(3) Menjelaskan dan atau melampirkan identitas
pribadi.
c) Tata Cara
Tata cara penyampaian saran, pendapat, dan
tanggapan dijelaskan Lebih lanjut dalam bab 3.
3) Duduk sebagai anggota Komisi Penilai AMDAL;
khusus bagi warga masyarakat terkena dampak
yang penetapannya dilaksanakan berdasarkan
ketentuan butir a) dibawah, dan dengan
menggunakan mekanisme perwakilan yang
pelaksanaannya berdasarkan ketentuan butir b)
dibawah.
a) Penetapan lingkup masyarakat terkena
dampak
Penetapan lingkup warga masyarakat
terkena dampak pada tahap penyusunan KA-
ANDAL dilakukan atas kesepakatan bersama
antara instansi yang bertanggungjawab,
pemrakarsa dan masyarakat terkena
dampak terkait dengan tetap
memperhatikan kemungkinan
penyempurnaannya kembali pada tahap
proses penilaian dokumen ANDAL, RKL, dan
RPL di Komisi Penilai.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam
menentukan lingkup masyarakat terkena
dampak adalah:
(1) Memperhatikan karakter rencana
usaha dan/atau kegiatan yang akan
diusulkan
Contoh :
- jenis-jenis usaha dan/atau
kegiatan yang membutuhkan
dukungan semua Lapisan
masyarakat setempat berarti
menjadikan seluruh masyarakat
setempat sebagai kelompok
yang terkena dampak (misalnya
: proyek pembukaan Lahan
pertanian skala besar,
pembuatan infrastruktur desa,
proyek peremajaan kota, dan
lain-lain);
- jenis usaha dan/atau kegiatan
yang menyebabkan pengaruh
positif atau negatif besar pada
satu kelompok masyarakat
tertentu menjadikan hanya
sebagian masyarakat menjadi
kelompok yang terkena dampak
(misalnya: proyek transmigrasi/
pemindahan pemukim
perambah hutan yang akan
mempengaruhi penduduk yang
dipindahkan dan penduduk
yang akan menerima, atau
proyek pertambangan terhadap
masyarakat suku terasing);
(2) Memperhatikan jenis isu pokok/
dampak besar dan penting yang
muncul
Sebuah rencana usaha dan/atau
kegiatan bisa memiliki lingkup warga
masyarakat yang terkena dampak
berbeda-beda menurut jenis isu
pokok/dampak besar dan penting.
Contoh :
- adanya perbedaan antara
kelompok warga masyarakat
terkena dampak akibat isu
konflik sosial budaya dengan
kelompok akibat isu
pencemaran lingkungan, dan
lain sebagainya.
(3) Mengacu pada batas wilayah dampak
yang ditetapkan dalam studi AMDAL
Warga masyarakat yang terkena
dampak harus warga yang memang
berada di dalam wilayah dampak yang
batas-batasnya ditetapkan dalam
studi AMDAL.
(4) Memperhatikan tahapan proses kajian
AMDAL
Semakin jelas permasalahan dan
alternatif mitigasi dampak, lingkup
warga masyarakat yang terkena
dampak dapat membesar/ mengecil.
Contoh :
- identifikasi dampak dan wilayah
sebarannya pada saat KA-
ANDAL mungkin hanya
menghasilkan satu kelompok
masyarakat terkena dampak,
namun pada saat evaluasi
dampak akan dapat
teridentifikasi kelompok
masyarakai terkena dampak
baru. Demikian pula halnya
pada saat ditemukannya
alternatif mitigasi dampak
dalam RKL dan RPL, dimana
kemudian dapat memunculkan
kelompok masyarakat terkena
dampak yang tidak
teridentifikasi sebelumnya.
b) Penetapan wakil masyarakat terkena
dampak yang duduk dalam Komisi Penilai
AMDAL
Warga masyarakat terkena dampak memilih
sendiri wakil yang duduk dalam Komisi
Penilai AMDAL. Kriteria dan syarat wakil
masyarakat terkena dampak adalah:
(1) Seseorang yang diakui sebagai juru
bicara dan/atau mendapat mandat
dan kelompok masyarakat terkena
dampak Wujud dan pengakuan ini
dapat berupa bukti yang sifatnya
formal (misalnya: surat persetujuan
bersama dan kelompok masyarakat
yang diwakili), atau bentuk-bentuk
pengakuan lainnya yang ditetapkan
dan disetujui oleh ketompok
masyarakat terkena dampak yang
diwakilinya (misalnya: menetapkan
tokoh masyarakat formal seperti
Kepala Desa dan LKMD, atau informal
seperti tokoh adat dan tokoh agama
setempat sebagai wakil yang
disepakati);
(2) Menyuarakan semua bentuk aspirasi
dan pendapat masyarakat yang
diwakilinya secara apa adanya,
termasuk juga pendapat pendapat
yang saling bertentangan;
(3) Melakukan komunikasi dan konsultasi
rutin dengan masyarakat yang
diwakilinya.
2.2 Kewajiban Instansi yang Bertanggung Jawab
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang
akan memulai penyusunan AMDAL dengan ketentuan:
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Media cetak lokal dan nasional;
(2) Papan pengumuman kantor instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pusat dan/atau
daerah; dan dapat ditambahkan dengan
(3) Media elektronik televisi dan/atau radio; dan
(4) Pusat dan/atau tempat pengumuman resmi
yang ditetapkan dan diatur oleh instansi
yang bertanggung jawab.
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
(1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis
maupun tidak tertulis harus menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar,
disampaikan dengan jelas dan mudah
dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat;
(2) Pengumuman tertulis di media cetak harus
berukuran minimal 5 cm x 3 cm dan ditulis
dengan huruf standar sekurang-kurangnya
berukuran 10 (sepuluh). Ukuran minimal
tidak boleh dijadikan alasan tidak
lengkapnya lingkup materi yang
disampaikan;
(3) Pengumuman pada papan pengumuman
harus sekurang-kurangnya :
- Ditulis dengan warna hitam dan dasar
putih;
- Ditulis dengan huruf cetak standar
dengan ukuran minimal 12;
- Berukuran minimal 60 cm x 100 cm
(4) Pengumuman pada media elektronik dapat
berupa berita ataupun spot iklan, dengan
lama minimal 10 (sepuluh) detik untuk
televisi dan 20 (dua puluh) detik untuk radio
c) Tata Cara Pengumuman
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut
dalam bab 3.
2) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat yang disampaikan;
3) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan
tanggapan dari warga masyarakat serta respon dan sikap
atas saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat
tersebut kepada Komisi Penilai AMDAL;
4) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil
keputusan penilai dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL,
dan RPL kepada warga masyarakat yang berkepentingan;
dan
5) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga
masyarakat atas informasi dan berperan serta dalam
proses AMDAL.
2.3 Kewajiban Pemrakarsa
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatannya
sebelum memul penyusunan dokumen AMDAL sesuai
dengan ketentuan :
a) Spesifikasi Media Pengumuman
(1) Papan pengumuman di lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
(2) Papan pengumuman di lokasi-lokasi strategis
yang ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di tingkat pusat atau
daerah; dan
(3) Media lain yang dianggap tepat dengan
situasi setempat; misalnya brosur, surat,
media cetak, dan/atau media etektronik
b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman
Spesifikasi tampilan pengumuman sesuai dengan
ketentuan b) dalam butir 1) sub bab 2.2.
c) Tata Cara Pengumuman
Tatacara pengumuman dijelaskan lebih lanjut
dalam bab 3.
2) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat
yang berkepentingan dalam penyusunan dokumen KA-
ANDAL
3) Memberikan informasi mengenal dokumen, KA-ANDAL,
ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat yang
memerlukannya
4) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang
disampaikan oleh warga masyarakat yang berkepentingan
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf
ttd.
Sudarsono, SH
MEMUTUSKAN :
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan
manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ketingkat
tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi
fungsinya;
2. Pengendalian pencemaran udara adalah upaya pencegahan dan/atau
penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara;
3. Sumber pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
4. Udara ambien adalah udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan
troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik
Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia,
makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya;
5. Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau komponen
lain yang ada di udara bebas;
6. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu
tempat pada saat dilakukan inventarisasi;
7. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi,
dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara
ambien;
8. Perlindungan mutu udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar
udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana mestinya;
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-3-
-4-
-5-
Pasal 2
Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha
dan/atau kegiatan sumber bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber
tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik yang dilakukan
dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber ganggunan
yang bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.
BAB II
PERLINDUNGAN MUTU UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara
ambien, status mutu udara ambien, baku mutu emisi, ambang batas
emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas kebisingan dan
Indeks Standar Pencemar Udara.
Bagian Kedua
Baku Mutu Udara Ambien
Pasal 4
(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas
maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya
pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan
Pemerintah ini.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 5
(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan
pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang
bersangkutan.
(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari
baku mutu udara ambien nasional.
(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Bagian Ketiga
Status Mutu Udara Ambien
Pasal 6
(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi
dan/atau penelitian terhadap mutu udara ambien, potensi sumber
pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna
tanah.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-
Pasal 7
(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menunjukkan status mutu udara
ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien nasional
Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien
daerah yang bersangkutan sebagai udara tercemar.
(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara
ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Gubernur wajib
melakukan penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien.
Bagian Keempat
Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang
Pasal 8
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu
emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan bermotor lama.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan parameter dominan dan kritis,
kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.
(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 9
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap
baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor.
Bagian Kelima
Baku Tingkat Ganggunan dan Ambang Batas Kebisingan
Pasal 10
(1) Kepala instansi yang beranggung jawab menetapkan baku tingkat
gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan
kendaraan bermotor.
-9-
(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas
kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.
Pasal 11
(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap
baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas
kebisingan kendaraan bermotor.
Bagian keenam
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
Pasal 12
(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar
Pencemar Udara.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Pasal 13
Pasal 14
(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun
pemantau kualitas udara ambien secara otomatis dan
berkesinambungan.
Pasal 15
Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian
stasiun kualitas udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan
penanggulangan pencemaran. serta pemulihan mutu udara dengan
melakukann inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan sumber
pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak
termasuk sumber gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.
Pasal 17
(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian
pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.
Pasal 18
(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah
dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
- 12 -
Pasal 19
(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional
pengendalian pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan program
kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.
Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran Udara dan
Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup
Pasal 20
Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah
terjadinya pencemaran udara dengan cara :
a. penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak
bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan
kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II
Peraturan Pemerintah ini;
Pasal 21
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang
mengeluarkan emisi dan/atau baku tingkat gangguan ke udara ambien
wajib :
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
a. menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat
gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang
dilakukannya;
Pasal 22
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib
memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau gangguan yang
ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 23
Setiap udaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai
dampak lingkungan hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui
ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
Pasal 24
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis
mengenai dampak lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang
menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan mewajibkan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan yang mematuhi ketentuan baku mutu
emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
menanggulangi pencemaran udara akibat dilaksanakannya rencana
usaha dan/atau kegiatannya.
Bagian Ketiga
Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara
Pasal 25
(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
menyebabkan terjadinya pencemaran udara dan/atau ganggunan
wajib melakukan upaya penanggulangan dan pemulihannya.
Paragraf 1
Keadaan Darurat
Pasal 26
(1) Apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar
Udara mencapai nilai 300 atau lebih berarti udara dalam kategori
berbahaya maka :
- 15 -
Pasal 27
Paragraf 2
Sumber Tidak Bergerak
Pasal 28
Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi
pengawasan terhadap penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan
pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan dan mutu udara ambien di
sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan
persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.
Pasal 29
(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.
- 16 -
Pasal 30
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku
mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan emisi wajib manaati ketentuan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Paragraf 3
Sumber Bergerak
Pasal 31
Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi
pengawasan terhadap penaatan ambang batas emisi gas buang,
pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar
jalan, pemerksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan
pengadaan bahan bakar minyak bebas timah hitam serta solar berkadar
belerang rendah sesuai standar internasional.
Pasal 32
(1) Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak.
- 17 -
Pasal 33
Pasal 34
(1) Kendaraan bemotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.
(2) Bagi kendaraan bemotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe
emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe
emisi.
(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan
metode uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.
(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.
Pasal 35
(1) Hasil uji tipe kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu llintas dan angkutan
jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) wajib
disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
- 18 -
Pasal 36
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 4
Sumber Gangguan
Pasal 37
Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumebr gangguan
meliputi pengawasan terhadap penaatan baku tingkat gangguan,
pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya dan pemerksaan
penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian
pencemaran udara.
Pasal 38
(1) Instansi yang bertanggung jawba mengkoordinasikan pelaksanaan
penanggulangan pencemaran udara dari sumber gangguan.
- 19 -
Pasal 39
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan
baku tingkat gangguan.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak
bergerak yang mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan
persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Pasal 40
Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang
mengeluarkan kebisingan wajib memenuhi ambang batas kebisingan.
Pasal 41
(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe
kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus
uji tipe kebisingan.
(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
oleh Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan.
Pasal 42
(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala
instansi yang bertanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Pasal 43
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan
berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 44
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan
terjadinya pencemaran udara.
Pasal 45
(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah
Daerah, Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II
dapat melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggungjawab
usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau gangguan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
Pasal 46
Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala
instansi yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya sekali dalam 1
(satu) tahun.
Pasal 47
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan
pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen
dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat
tertentu, mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi,
memeriksa peralatan, memeriksa instalasi serta meminta keterangan
dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib :
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
Pasal 49
Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu
emisi, baku tingkat gangguan dan indeks standar pencemar udara yang
dilakukan oleh pajabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan disebarluarkan kepada
masyarakat.
Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian laporan hasil
pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan
kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi
terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertangung
jawab.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
Pasal 51
(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan
pemantauan terhadap mutu udara ambien.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 52
Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian
pencemaran udara dan/atau gangguan dari sumber tidak bergerak yang
dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dibebankan
kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 53
Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan
kebisingan kendaraan bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam
rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau gangguan dibebankan
kepada perakit, pembuat, pengimpor kendaraan bermotor.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
BAB VI
GANTI RUGI
Pasal 54
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran udara wajib menanggung
biaya penanggulangan pencemaran udara serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran
udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasal 55
Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut
oleh Menteri.
BAB VII
SANKSI
Pasal 56
(1) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1),
Pasal 23, Pasal 24 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39,
Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1) Peraturan
Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau
mengakibatkan pencemaran udara dan/atau ganggugan diancam
dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengolahan Lingkunga Hidup.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 57
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
- 26 -
Pasal 59
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangakan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd.
PROF. DR. H. MULADI, S.H.
LAMPIRAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 41 TAHUN 1999
TANGGAL : 26 MEI 1999
Waktu Metode
No . Parameter Baku Mutu Peralatan
Pengukuran Analisis
3
1. SO2 1 Jam 900 ug/Nm Pararosanilin Spektrofotometer
3
(Sulfur Dioksida) 24 Jam 365 ug/Nm
3
1 Thn 60 ug/Nm
3
2. CO 1 Jam 30.000 ug/Nm NDIR NDIR Analyzer
3
(Karbon 24 Jam 10.000 ug/Nm
Monoksida) 1 Thn -
3
3. NO2 1 Jam 400 ug/Nm Saltzman Spektrofotometer
3
(Nitrogen 24 Jam 150 ug/Nm
3
Dioksida) 1 Thn 100 ug/Nm
3
4. O3 1 Jam 235 ug/Nm Chemiluminescent Spektrofotometer
3
(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm
3
5. HC 3 Jam 160 ug/Nm Flame lonization Gas Chromatogarfi
(Hidro Karbon)
3
6. PM10 (*) 24 Jam 150 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
(Partikel<10 um)
3
PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
(Partikel<2,5um) 1 Thn 15 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
7. TSP 24 Jam 230 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm
3
8. Pb 24 Jam 2 ug/Nm Gravimetric Hi – Vol
3
(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm Ekstraktif
Pengabuan AAS
2
9. Dustfall 30 hari 10 Ton/km /Bulan Gravimetric Cannister
(Debu Jatuh) (Pemukiman)
2
20 Ton/km /Bulan
(Industri)
-2-
Waktu Metode
No . Parameter Baku Mutu Peralatan
Pengukuran Analisis
Impinger atau
3
10 . Total Fluorides 24 Jam 3 ug/Nm Spesific Ion Countinous
3
(asF) 90 hari 0,5 ug/Nm Electrode Analyzer
3
11. Fluor Indeks 30 hari 40 ug/100 cm Colourimet ric Limed Filter Paper
dari kertas limed
filter
3
12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm Spesific Ion Impinger atau
Khlorine Dioksida Electrode Countinous
Analyzer
3
13. Suphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100 cm Colourimet ric Lead
Dari Lead
Peroksida Paroxida Candle
Catatan :
Nomor 10 s/d 13 Hanya diberlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar
Contoh : - Industri Petro Kimia
- Industri Pembuatan Asam Sulfat
PENJELASAN
ATAS
UMUM
Udara mempunyai arti yang sangat penting di dalam kehidupan makhluk hidup dan
keberadaan benda-benda lainnya. Sehingga udara merupakan sumber daya alam yang
harus dilindungi untuk hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Hal ini
berarti bahwa pemanfaatannya harus dilakukan secara bijaksana dengan
memperhitungkan kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Untuk
mendapatkan udara sesuai dengan tingkat kualitas yang diinginkan maka pengendalian
pencemaran udara menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Pencemaran udara diartikan dengan turunnya kualitas udara sehingga udara mengalami
penurunan mutu dalam penggunaannya yang akhirnya tidak dapat digunakan lagi
sebagaimana mestinya sesuai dengan fungsinya. Dalam pencemaran udara selalu terkait
dengan sumber yang menghasikan pencemaran udara yaitu sumber yang bergerak
(umumnya kendaraan bermotor) dan sumber yang tidak bergerak (umumnya kegiatan
industri) sedangkan pengendalian selalu terkait dengan serangkaian kegiatan
pengendalian yang bermuara dari batasan baku mutu udara. Dengan adanya tolok ukur
baku mutu udara akan dapat dilakukan penyusunan dan penetapan kegiatan pengendalian
pencemaran udara. Penjabaran kegiatan pengendalian pencemaran udara nasional
merupakan arahan dan pedoman yang sangat penting untuk pengendalian pencemaran
udara di daerah. Disamping sumber bergerak dan sumber tidak bergerak seperti tersebut
di atas, terdapat emisi yang spesifik yang penanganan upaya pengendalian masih belum
ada acuan baik di tingkat nasional maupun internasional. Sumber emisi ini adalah pesawat
terbang, kapal laut, kereta api, dan kendaraan berat spesifik lainnya. Maka penggunaan
sumber-sumber emisi spesifik tersebut di atas harus tetap mempertimbangkan
kaidah-kaidah pengelolaan lingkung hidup.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
Mengacu kepada Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan bahwa
sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan mempertimbangkan generasi
kini dan yang akan datang serta terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana. Pengendalian pencemaran udara mengacu kepada sasaran tersebut sehingga
pola kegiatannya terarah dengan tetap mempertimbangkan hak dan kewajiban serta peran
serta masyarakat.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa hak setiap anggota masyarakat atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat yan gdiikuti dengan kewajiban untuk memelihara dan melestarikan
fungsi lingkungan hidup. Sehingga setiap orang mempunyai peran yang jelas di dalam
hak dan kewajibannya mengelola lingkungan hidup. Dalam peraturan pemerintah ini juga
diatur hak dan kewajiban setiap anggota masyarakat serta setiap pelaku usaha dan/atau
kegiatan agar dalam setiap langkah kegiatannya tetap menjaga dan memelihara
kelestarian fungsi lingkungan hidup.
-3-
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Yang dimaksud dengan udara ambien dapat memenuhi fungsi sebagaimana
mestinya adalah udara ambien di luar lingkungan kerja yang sehat dan bersih
yang aman untuk kesehatan dan keselamatan manusia dan makhluk hidup
lainnya.
Angka 9
Cukup jelas
Angka 10
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas
Angka 16
Cukup jelas
Angka 17
Cukup jelas
Angka 18
Yang dimaksud dengan menggunakan suatu media udara atau padat untuk
penyebarannya adalah :
a. melalui media (perantara) udara untuk sumber gangguan kebisingan dan
kebauan;
b. melalui media (perantara) padatan untuk sumber gangguan getaran.
Angka 19
Cukup jelas
Angka 20
Cukup jelas
Angka 21
Cukup jelas
Angka 22
Yang dimaksud dengan diproduksi ulang adalah kegiatan rancang bangun
kendaraan bermotor untuk menghasilkan kendaraan bermotor tipe baru yang
menyebabkan berubahnya kondisi mesin baik dari dimensi, transmisi daya
maupun teknologi pembakarannya. Sehingga pada akhirnya dapat mengubah
emisi gas buang yang dihasilkannya.
Angka 23
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Angka 24
Cukup jelas
Angka 25
Cukup jelas
Angka 26
Cukup jelas
Angka 27
Cukup jelas
Angka 28
Cukup jelas
Angka 29
Cukup jelas
Angka 30
Cukup jelas
Pasal 2
Sehubungan dengan adanya keterbatasan teknis dalam penyusunan dan
pelaksanaan di lapangan, maka untuk saat ini pengendalian pencemaran udara dari
sumber bergerak spesifik dan sumber tidak bergerak sepesifik belum diatur lebih
lanjut dalam peraturan pemerintah ini.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Baku mutu udara embien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum kualitas
udara ambien nasional yang diperbolehkan untuk di semua kawasan di seluruh
Indonesia. Sehingga arah dan tujuan dari penetapan baku mutu ini adalah untuk
mencegah pencemaran udara dalam rangka pengendalian pencemaran udara
nasional.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Pasal 5
Ayat (1)
Status mutu udara ambien daerah adalah mutu udara ambien yang
menggambarkan keadaan kualitas udara ambien di suatu lokasi pada waktu
tertentu. Langkah untuk penetapan status mutu udara ambien daerah adalah
dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi teknis tertentu saat dilakukannya
pengambilan sampel udara ambien. Dalam penetapan status mutu udara ambien
daerah terdapat beberapa kegiatan pokok yang harus diperhatikan, diantaranya :
a. Inventarisasi data-data Indeks Standar Pencemar Udara atau data-data
kualitas udara ambien daerah;
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) merupakan angka yang
menggambarkan kualitas udara ambien di suatu area pada waktu tertentu
dengan peralatan pemantau kualitas udara secara kontinyu dan otomatis.
Dengan analisis data ini (bulanan dan tahunan) akan diketahui
kecenderungan tentang kualitas udara di daerah yang bersangkutan.
Sedangkan data-data kualitas udara ambien diperoleh dari pengambilan
sampel secara manual.
b. Inventarisasi sumber-sumber pencemar dan potensi emisinya;
Pada dasarnya pencemaran yang terjadi ditimbulkan oleh berbagai
aktivitas. Aktivitas utama yang sangat berpengaruh bagi timbulnya
pencemaran adalah industri, transportasi, rumah tangga, pembakaran
buangan padat (sampah), pembukaan lahan-lahan lain-lain. Potensi
masing-masing sumber dalam mengemisikan pencemar perlu diketahui agar
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-7-
dapat dihitung besarnya emisi yang timbul serta kontribusi yang diberikan
oleh masing-masing aktivitas di setiap kota.
c. Inventarisasi kondisi atmosfir di daerah;
Kondisi ini meliputi meteorologi dan topografi dari daerah yang
bersangkutan. Meteorologi memungkinkan terjadinya berbagai pergerakan
dan reaksi polutan di atmosfer. Sedangkan topografi berpengaruh terhadap
sifat penyebaran pencemar. Sehingga secara tidak langsung hal ini akan
mempengaruhi dalam penentuan status mutu udara ambien.
Ayat (2)
Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan sebagai batas maksimum kualitas
udara ambien daerah yang diperbolehkan dan berlaku diseluruh wilayah udara
diatas batas administratif daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Parameter dominan dan kritis adalah parameter yang konsentrasinya relatif
tinggi dibandingkan dengan parameter lain yang dikeluarkan dari cerobong
industri atau pipa gas buang kendaraan bermotor.
Selanjutnya, kualitas bahan bakar yang dimaksudkan adalah kadar parameter
tertentu yang dalam proses pembakarannya akan mempengaruhi mutu emisi
yang dikeluarkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Pengkajian baku mutu emisi untuk kendaraan bermotor tipe baru akan
diperketat sesuai dengan kemampuan teknologi kendaraan bermotor yang
tersedia saat ini, pilihan-pilihan teknologi pengendalian emisi gas buang
kendaraan bermotor yang akan datang seperti penggunaan catalitic converter
(suatu peralatan yang dapat mereduksi kadar polutan gas buang kendaraan
bermotor sampai dengan 90%) serta penggunaan bahan bakar khususnya solar
dengan kadar belerang (S) yang rendah serta bensin bebas Timah Hitam (Pb)
atau timbal.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-9-
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Baku tingkat gangguan lainnya adalah baku tingkat gangguan
elektromagnetik.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Baku tingkat gangguan untuk sumber tidak bergerak akan dikaji sesuai dengan
perkembangan teknologi pengendalian kebisingan, kebauan, dan getaran untuk
saat ini dan masa mendatang.
Ayat (2)
ukup jelas
Pasal 12
Ayat (2)
Indeks Standar Pencemar Udara adalah indeks atau angka yang sudah baku
yang diambil dari negara-negara maju.
Penetapan pertimbangan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia,
hewan, tumbuh-tumbuhan, bangunan dan nilai estetika adalah sudah baku yang
diambil dari negara-negara maju.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Data Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) diperoleh dari statisun pemantau
kualitas udara ambien secara otomatis sehingga dapat diperoleh :
a. data harian;
b. data yang teal time (waktu nyata);
c. data yang kontinyu dari waktu ke waktu.
Ketiga data di atas adalah data yang dipersyaratkan dalam pemakaian
sistem Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Pengumuman Indkes Standar Pencemar Udara (ISPU) dilakukan setiap hari secara
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
nasional oleh Instansi yang bertanggung jawab. Sedangkan untuk wilayah tingkat
II dilakukan oleh Bupati/Walikotamadya yang bersangkutan. Pengumuman ini
dapat dilakukan melalui media cetak (surat kabar) dan/atau elektronik (misalnya
televisi, radio, dan internet).
Pasal 16
Pengendalian pencemaran udara yang unsur-unsurnya terdiri dari pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan kualitas udara berpijak pada 2 (dua) kegiatan
pokok yaitu penaatan baku mutu dan pemantauan mutu udara baik emisi maupun
ambien. Sedangkan kegiatan penanggulangan dan pemulihan pada umumnya
dilakukan setelah kedua kegiatan pokok di atas dilaksanakan.
Pasal 17
Ayat (1)
Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional berisikan
kebijaksanaan tentang
a. penetapan dan pelaksanaan program kerja nasional di bidang pengendalian
pencemaran udara;
b. pembinaan teknis di bidang pengendalian pencemaran udara kepada
Pemerintah Daerah;
c. evaluasi terhadap pelaksanaan program kerja pengendalian pencemaran
udara di daerah.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Penetapan kebijaksanaan dalam rangka pencegahan pencemaran udara,
misalnya penggunaan bahan bakar bersih, peningkatan peran masyarakat,
penetapan pola pemasyarakatan program dan penetapan kebijaksanaan yang
lain yang strategis.
Pasal 21
Huruf a
Menaati baku mutu (udara ambien, emisi dan gangguan) berarti di bawah baku
mutu untuk parameter-parameter tertentu dengan melihat jenis dan kondisi
kegiatan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
ukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Angka 300 merupakan suatu angka yang diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian internasional yang menyatakan
bahwa angka 300 berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Ayat (2)
Pengumuman keadaan darurat kepada masyarakat dapat dilakukan melalui
media cetak surat kabar) dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio,
dan internet)
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan persyaratan teknis adalah persyaratan pendukung
dalam kaitannya dengan penaatan baku mutu emisi, ambien dan kebisingan.
Contohnya : persyaratan lubang sampling di cerobong asap, persyaratan titik
sampling untuk udara ambien, persyaratan pelaporan dan persyaratan teknis
lainnya.
Pasal 31
Kebijaksanaan dasar penanggulangan pencemaran udara untuk sumber bergerak
dapat dilakukan dengan cara penggunaan bahan bakar bebas timbal dan kadar
belerang rendah untuk kendaraan bermotor baru dan lama, penggunaan catalitic
converter (peralatan yang dapat mereduksi polutan gas buang kendaraan bermotor
sampai dengan 90 %), dan meningkatkan penggunaan bahan bakar gas serta
meningkatkan partisipasi swasta dan masyarakat untuk merawat kendaraan
bermotor sehingga emisi gas buang menjadi rendah.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Uji tipe emisi terhadap kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan cara
sampling. Artinya, tidak setiap kendaraanbermotor tipe baru dilakukan uji tipe
emisi melainkan untuk tiap sejumlah produk akan diambil satu sampel.
Selanjutnya, pengujian kendaraan bermotor tipe baru dilakukan dengan alat
Chasis Dynamometer dengan suatu standar mode yang berbeda-beda untuk
setiap jenis dan berat kendaraan bermotor. Pengujian ini dilakukan oleh orang
yang memiliki keahlian khusus untuk pengujian mode (Type approval).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru diumumkan
kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar)
dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (2)
Pedoman teknis dan tata cara hasil uji tipe emisi akan memuat hasil uji tipe
emisi gas buang kendaraan bermotor sesuai dengan baku mutu emisinya,
metode pengujian yang digunakan dan mekanisme pengujiannya.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
Pasal 36
Ayat (1)
Berbeda dengan kendaraan bermotor tipe baru, setiap kendaraan bermotor lama
wajib menjalani uji emisi berkala. Uji emisi berkala terhadap kendaraan
bermotor lama dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama, untuk
kendaraan bermotor berbahan bakar bensin dilakkan pada kondisi mesin hidup
dengan perseneling dalam keadaan netral (kondisi idle). Kedua, untuk
kendaraan bermotor berbahan solar dilakukan pada kondisi percepatan bebas,
yaitu kondisi mesin hidup dengan gas ditekan pada percepatan penuh.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Hasil pengujian tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru diumumkan
kepada masyarakat melalui media diantaranya, media cetak (surat kabar)
dan/atau media elektronik (misalnya televisi, radio, dan internet).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Pemantauan terhadap mutu udara ambien yang dilakukan oleh masyarakat
dilakukan di luar area kegiatan.
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
EMISI SUMBER TIDAK BERGERAK
Pasal 1
1. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah batas maksimum emisi
yang diperbolehkan dimasukkan ke dalam lingkungan;
2. Emisi adalah makluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain yang
dihasilkan dari kegiatan yang masuk atau dimasukkan ke dalam udara
ambient;
3. Batas maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke udara ambient;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap
untuk dilaksanakan pembangunan fisiknya;
5. Menteri adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisiknya;
6. Badan adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
7. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I , Gubernur Kepala
Daerah khusus Ibu kota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan :
1. Indusrti besi dan baja sebagaimana tersebut dalam Lampiran I A dan
Lampiran I B;
(2) Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku
Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2.000;
2. tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini,
dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Emisi Lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu emisi Lampiran B
selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
3. Bagi jenis kegiatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) yang tahap
perenacanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini berlaku Baku Mutu Emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran B;
4. Bagi jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberi jangka
waktu selama satu tahun sejak ditetapkannya keputusan ini untuk
mencapai baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A;
(3) Baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri menetapkan baku mutu emisi untuk kegiatan di luar jenis kegiatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1);
(2) Selama baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka jenis kegiatan di luar jenis kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran V keputusan ini.
Pasal 4
(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi untuk jenis-jenis kegiatan di
daerahnya lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat
(1);
(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi daerah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan (2), Gubernur mengikutsertakan pihak-pihak yang
berkepentingan;
Pasal 6
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagaimana berikut :
membuat cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana pendukung dan alat
pengaman;
(2) memasang alat ukur pemantauan yang melitputi kadar dan laju alir volume
untuk setiap cerobong emisi yang tersedia serta alat ukur arah dan kecepatan
angin;
(3) melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari setiap cerobong
emisi;
(5) melaporkan kepada Gubernur serta kepala Badan apabila ada kejadian tidak
normal dan atau dalam keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi
dilampaui.
(6) Kepala Badan menetapkan pedoman teknis pembuatan unit pengendalian
pencemaran udara sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.
Pasal 8
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Baku Mutu Udara emisi sumber tak bergerak
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Negara kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : kep-02/MENKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan
Baku Mutu Lingkungan, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 7 Maret 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd.
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida,
Metil Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran III-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/ m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-A
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
Lampiran I-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Untuk sumber pembakaran, partikulat dikoreksi sebesar 10% oksigen.
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95 % waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran II-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- TRS ditentukan sebagai H2. TRS meliputi adanya senyawa Hidrogen Sulfida, Metil
Merkaptan, Dimetil Sulfida, Dimetil Disulfida.
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Koreksi 8% oksigen untuk Tungku Recovery.
- Koreksi 7% oksigen untuk Boiler.
- Koreksi 10% untuk sumber lain (selain Tungku Recovery dan Boiler).
- Volume gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantuan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu normal selama tiga bulan.
Lampiran III-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Konsentrasi partikulat dikoreksi sebesar 3% O2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan Tekanan 1 atm).
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran IV-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Nitrogen oksida ditentukan sebagai NO2.
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
- Konsentrasi partikel untuk sumber pembakaran (misal: Kiln) harus dikoreksi
sampai 7% oksigen.
- Standar diatas berlaku untuk proses kering.
- Batas maksimum total partikel untuk:
(i) Proses basah = 250 mg/m3
(ii) Shaft kiln = 500 mg/m3
- Opasitas digunakan sebagai indikator praktis pemantauan dan dikembangkan
untuk memperoleh hubungan korelatif dengan pengamatan total partikel.
- Pemberlakuan BME untuk 95% waktu operasi normal selama tiga bulan.
Lampiran V-B
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 13 Tahun 1995 tanggal 7 Maret 1995
Catatan:
- Volume Gas dalam keadaan standar (25oC dan tekanan 1 atm).
__________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT KEBISINGAN
Pasal 1
2. Tingkat kebisingan adalah ukuran energi bunyi yang dinyatakan dalams atuan
Desibel disingkat dB;
Pasal 2
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat kebisingan untuk usaha atau kegiatan di luar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebisingan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran I.
(2) Apablia Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebisingan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Pasal 6
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin
yang relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap usaha atau
kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 7
Pasal 8
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
Ttd.
Sarwono Kusumaatmadja.
LAMPIRAN I : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996
b. Lingkungan Kegiatan
1. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
2. Sekolah atau sejenisnya 55
3. tempat ibadah atau sejenisnya 55
Keterangan :
*)
disesuaikan dengan ketentuan Menteri Perhubungan
LAMPIRAN II : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-48/MENLH/11/1996
TANGGAL : 25 NOPEMBER 1996
1. Metoda Pengukuran
2) Cara Langsung
Dengan sebuah integrating sound level meter yang mempunyai fasilitas
pengukuran LTM5, yaitu Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik, dilakukan
pengukuran selama 10 (sepuluh) menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktifitas 24 jam (LSM) dengan cara pada
siang hari tingkat aktifitas yang paling tinggi selama 16 jam (LS) pada selang
waktu 06.00 – 22.00 dan aktifitas malam hari selama 8 jam (LM) pada selang
22.00 – 06.00.
Keterangan :
2. Metoda Perhitungan
(dari contoh)
3. Metoda Evaluasi
Nilai LSM yang dihitung dibandingkan dengan nilai baku tingkat kebisingan
yang ditetapkan dengan toleransi + 3 dB (A)
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Getaran
Menimbang :
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat tingkat getaran
yang dihasilkan;
Mengingat :
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
GETARAN
Pasal 1
5. Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut adalah batas maksimal
tingkat getaran mekanik yang diperbolehkan dari usaha atau kegiatan
pada media padat sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap
kenyamanan dan kesehatan serta keutuhan bangunan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku tingkat getaran mekanik dan getaran kejut untuk kenyamanan dan
kesehatan, getaran berdasarkan dampak kerusakan, getaran berdasarkan jenis
bangunan, adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran I, II, III dan IV
Keputusan ini.
(2) Metoda pengukuran dan analisis tingkat getaran adalah sebagaimana tersebut
dalam Lampiran V Keputusan ini.
Pasal 3
Menteri menetapkan baku tingkat getaran untuk usaha atau kegiatan diluar
peruntukan kawasan/lingkungan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini setelah memperhatikan masukan dari instansi teknis yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat getaran maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
(1) Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi usaha atau kegiatan
mensyaratkan baku tingkat getaran lebih ketat dari ketentuan dalam Lampiran
(2) Keputusan ini, maka untuk usaha atau kegiatan tersebut berlaku baku tingkat
getaran sebagaimana disyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
Pasal 7
1. baku tingkat getaran lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2. baku tingkat getaran lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
Pasal 8
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
Konversi :
Percepatan = (2pf)2 x simpangan
Kecepatan = 2pf x simpangan
p = 3,14
Untuk frekuensi > 100 Hz, sekurang-kurangnya nilai yang tersebut dalam kolom
harus dipakai.
Lampiran IV Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 49 Tahun 1996 Tanggal 25 November 1996
a. Peralatan
Pedoman yang dipakai ialah:
b. Cara pengukuran
c. Cara Evaluasi
Ke-13 data yang digambarkan pada grafik Lampiran l.2 dan/atau 11.2
dibandingkan terhadap batas-batas baku tingkat getaran. Getaran disebut
melampaui baku tingkat getaran apabila getaran pada salah satu frekuensi
sudah melampaui nilai baku getaran yang ditetapkan.
Baku tingkat Getaran dibagi dalam 4 kelas, yaitu a, b, c, dan d dengan batas
seperti pada Grafik ll.2
Defnisi :
1. Struktur bangunan adalah bagian dari banguann yang direncanakan,
diperhitungkan dan dimaksudkan untuk :
a) mendukung segala macam beban (beban mati, beban hidup dan beban
sementara)
b) menjamin stabilitas bangunan secara keseluruhan dengan
memperhatikan persyaratan kuat, kaku, dan andal.
Misal : struktur kerangka kaku (frame), struktur dinding pemikul
(Bearing wall)
2. Komponen srtuktur adalah bagian dari suatu struktur bangunan, yang
menjamin fungsi struktur.
Misal : balok, kolom dan slab dari frame.
3. Dinding pemikul adalah struktur bangunan berupa bidang tegak yang berfungsi
mendukung beban diatasnya seperti slab lantai tingkat atau atap.
4. Non struktur adalah bagian dari bangunan yang tidak direncanakan atau
difungsikan untuk mendukung beban.
Misal : dinding partisi, kerangka jendela/pintu.
1. Rusak ringan adalah rusak yang tidak membahayakan stabilitas bangunan dan
dapat diperbaiki tanpa mengurangi kekuatannya.
2. Rusak sedang adalah rusak yang dapat mengurangi kekuatan struktur untuk
mengembalikan kepada kondisi semula, harus disertai dengan tambahan
perkuatan.
3 Rusak berat adalah rusak yang membahayakan bangunan dan dapat
merobohkan bangunan.
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996
Tentang : Baku Tingkat Kebauan
Menimbang :
2. bahwa salah satu dampak dari usaha atau kegiatan yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, makhluk lain dan lingkungan adalah akibat bau yang
dibuang ke lingkungan;
Mengingat :
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara Serta Susunan Organisasi Staf
Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU TINGKAT
KEBAUAN
Pasal 1
1. Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indera
penciuman;
2. Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu
tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan
lingkungan;
3. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang
diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan
kenyamanan lingkungan;
4. Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan
rangsangan bau pada keadaan tertentu;
5. Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun cmpuran
berbagai macam senyawa;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota atau Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 3
(1) Gubernur dapat menetapkan baku tingkat kebauan lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur belum menetapkan baku tingkat kebauan maka berlaku
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 4
Pasal 5
1. baku tingkat kebauan lebih longgar dari ketentuan dalam Keputusan ini,
wajib disesuaikan dalam waktu selambat-lambatnya 2 (dua) tahun
terhitung sejak ditetapkan Keputusan ini.
2. baku tingkat kebauan lebih ketat dari Keputusan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
Pasal 7
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 25 Nopember 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
Lampiran
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 50 Tahun 1996 tanggal 25 november 1996
______________________________________
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 129 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU EMISI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
MINYAK DAN GAS BUMI
1
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
1. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat,
termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumin yang diperoleh dari
proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan
hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang
tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi;
2. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi
tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses
penambangan Minyak dan Gas Bumi;
3. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi;
4. Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi adalah batas
kadar maksimum emisi kegiatan minyak dan gas bumi yang diperbolehkan
masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien;
2
7. Produksi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan
Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas
pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan,
penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan
Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya;
9. Kegiatan Kilang LNG adalah kegiatan untuk menghasilkan bahan bakar gas
dari hasil kegiatan eksploitasi gas alam melalui serangkaian proses físika dan
atau kimia;
10. Unit Penangkapan Sulfur adalah unit proses pengolahan polutan gas yang
mengandung sulfur yang dikonversi menjadi produk lain;
11. Keadaan darurat adalah keadaan yang memerlukan tindakan secara cepat,
tepat, dan terkoordinasi terhadap sistem peralatan atau proses yang sedang
dalam kondisi tidak normal, sehingga baku mutu emisi kegiatan minyak dan
gas bumi tidak terlampaui;
12. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
Baku mutu emisi usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi dalam
Keputusan ini meliputi jenis kegiatan eksplorasi dan produksi, kilang minyak,
kilang LNG, unit penangkapan sulfur dan kegiatan yang melakukan proses
pencampuran bahan bakar lebih 1 (satu) jenis (fuel blending).
Pasal 3
3
Pasal 4
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan hidup bagi usaha dan atau
kegiatan mensyaratkan baku mutu emisi yang lebih ketat dari baku mutu emisi
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut ditetapkan baku mutu emisi sebagaimana disyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.
Pasal 5
Untuk pengelolaan limbah dari usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
yang termasuk kategori limbah bahan berbahaya dan beracun yang diolah secara
thermal mengacu pada peraturan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun yang berlaku.
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan minyak dan gas bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2:
a. wajib menyediakan dan mengoperasikan sarana dan prasarana yang
mencakup pencegahan, pengolahan dan pemantauan yang antara lain alat
pemantauan kualitas emisi, cerobong emisi yang dilengkapi dengan sarana
pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga dan aliran listrik serta
persyaratan lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
b. wajib memasang Continuous Emission Monitoring (CEM) pada cerobong
tertentu yang pelaksanaannya dikonsultasikan dengan Menteri dan bagi
cerobong yang tidak dipasang peralatan Contiuous Emission Monitoring (CEM)
wajib dilakukan pengukuran secara manual dalam waktu 6 (enam) bulan
sekali;
c. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali untuk hasil pemantauan dengan
peralatan otomatis;
d. wajib menyampaikan laporan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud
dalam butir (b) kepada Gubernur, Bupati/Walikota dengan tembusan kepada
Menteri setiap 6 (enam) sekali bulan untuk pemantauan yang menggunakan
peralatan manual;
e. wajib melaporkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta Menteri apabila
ada keadaan darurat yang mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui;
f. dilarang melakukan pembakaran terbuka (open burning) dari burn pit;
4
g. wajib melakukan pengelolaan terhadap sumber-sumber yang berpotensi
sebagai sumber fugitive emission.
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Keputusan ini akan dilakukan evaluasi sekurang kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
Pasal 10
Pasal 11
Ttd
ttd
Hoetomo, MPA.
5
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR:141 TAHUN 2003
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR TIPE BARU DAN
KENDARAAN BERMOTOR YANG SEDANG DIPRODUKSI
(CURRENT PRODUCTION)
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production);
2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan atau transmisi
tipe baru yang siap diproduksi dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan
tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin dan atau sistem transmisinya, atau kendaraan
bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan wilayah
Republik Indonesia;
3. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (Current production) adalah kendaraan bermotor dengan
tipe dan jenis yang sama dan sedang diproduksi atau produksi ulang kendaraan bermotor yang telah
beroperasi di jalan dan atau kendaraan bermotor yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built up)
atau dalam keadaan tidak utuh tanpa perubahan desain mesin dan atau transmisi tetapi sudah beroperasi di
jalan wilayah Republik Indonesia;
4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan bermotor tipe baru yang beroda 4
(empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi
sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
5. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor tipe baru beroda 2 (dua) atau 3
(tiga) dengan penggerak Motor bakar catus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah
atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002,
6. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori M, N, 0 adalah kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak motor bakar cetus api
dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi sesuai dengan SNI 09-1825-2002;
7. Kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) kategori L adalah kendaraan
bermotor yang sedang produksi (current production) beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor
bakar cetus api dan penggerak Motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah atau 4 langkah) sesuai dengan
SNI 09-1825-2002,
8. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor adalah orang perseorangan
dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan atau melakukan impor kendaraan
bermotor dalam keadaan utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh;
9. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertugas di bidang pengelolaan lingkungan hidup
dan pengendalian dampak lingkungan
Pasal 2
Ruang lingkup dalam Keputusan Menteri ini meliputi ambang batas emisi gas buang, tata cara dan metoda
uji serta tata cara pelaporan uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang
sedang diproduksi (current production).
Pasal 3
(1) Ambang batas emisi dan metoda uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I.A, I.B, I.C
dan I.D.
(2) Formulir pengisian untuk uji emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor
yang sedang diproduksi (current production) sebagaimana tercantum dalam Lampiran II keputusan ini.
Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) untuk :
a. kendaraan bernotor tipe baru katagori M, N, 0 den L diberlakukan efektif mulai 1 Januari tahun 2005;
Pasal 5
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor.
(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh (completely built-up) dengan
akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang;
(3) Bagi kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) yang diimpor dalam keadaan
utuh (completely built-up) dan atau dalam keadaan tidak utuh dengan akumulasi mencapai lebih dari 10
(sepuluh) unit wajib dilakukan pengujian emisi gas buang.
(4) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) den ayat (3) merupakan bagian dari
persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
(5) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) untuk pengujian wajib menggunakan bahan bakar dangan spesifikasi reference fuel
menurut Economic Commission for Europe (ECE) disesuaikan dengan ambang batas pada Keputusan ini.
Pasal 6
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan.
(2) Instansi sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dalam melakukan uji tipe emisi gas buang kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) wajib
memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan laboratorium pengujian dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Instansi yang melakukan pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mendapatkan akreditasi
dari Komite Akreditasi Nasional atau Badan Akreditasi yang diakui secara Internasional.
Pasal 7
(1) Hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang
diproduksi (current production) yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas
dan angkutan jalan wajib disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab dan penanggung jawab
usaha dan atau kegiatan.
(2) Salisan asli hasil uji tipe emisi yang diterima oleh penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi
kendaraan bermotor wajib diserahkan kepada instansi yang bertanggung jawab.
(3) Instansi yang bertanggung jawab menilai dan melakukan verifikasi terhadap hasil uji tipe emisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya
hasil uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current production).
Pasal 8
(1) Berdasarkan penilaian dan verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam, Pasal 7 ayat (3)
instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan rekomendasi verifikasi hasil uji tipe emisi gas buang
kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ialu lintas dan angkutan jalan dan atau penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(3) Rekomendasi dari verifikasi hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
yang dikeluarkan oleh instansi yang bertanggung jawab merupakan salah satu syarat untuk diterbitkan tanda
lulus uji tipe emisi oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 9
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor yang telah memperoleh
sertifikat uji tipe kendaraan bermotor wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru
den kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada setiap promosi
merek kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production)
kepada masyarakat melalui media cetak dan atau elektronik.
Pasal 10
(1) Instansi yang bertanggung jawab dan instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan dapat secara bersama-sama atau sendiri-sendiri berdasarkan wewenangnya masing-masing melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan
bermotor yang sedang diproduksi (current production).
(2) Pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap unit yang melaksanakan
pengujian emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi
(current produktion) sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
Pasal 11
(1) Segala biaya yang timbul sebagai akibat pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi (current production) dan pelaporan dibebankan
kepada penanggung jawab usaha dan atau kegiatan produksi kendaraan bermotor.
(2) Segala biaya yang timbul dalam kegiatan pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 7 serta pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara masing-masing instansi yang bersangkutan.
Pasal 12
Keputusan ini akan ditinjau kembali sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Dengan diberlakukannya Keputusan Menteri ini, maka keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor
dinyatakan tidak berlaku lagi untuk uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan yang sedang
diproduksi (current production) sejak ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan
kendaraan yang sedang diproduksi (current production) dalam keputusan ini berlaku secara efektif.
Pasal 14
------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi 1 MENLH Bidang Kebijakan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd.
Hoetomo, MPA
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 133 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU EMISI BAGI KEGIATAN INDUSTRI PUPUK
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
2. Baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk adalah batas kadar
maksimum emisi kegiatan industri pupuk yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam udara ambien;
3. Emisi adalah zat, energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari
suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkan ke dalam udara ambien
yang mempunyai dan atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur
pencemar;
4. Perencanaan adalah proses kegiatan rancang bangun sehingga siap untuk
dilaksanakan pembangunan fisik bagi kegiatan industri pupuk;
Pasal 2
Baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk meliputi jenis pabrik pupuk :
Amonium Sulfat (ZA), Urea, Fosfat (SP-36, TSP), Asam Fosfat dan Hasil
Samping, dan Majemuk-NPK.
Pasal 3
(2) Bagi industri pupuk sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf
a,b,c dan d yang:
a. telah beroperasi sebelum ditetapkan Keputusan ini, berlaku baku
mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IA, IIA, IIIA,
IVA, dan wajib memenuhi baku mutu emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IB, IIB, IIIB, IVB, selambat-lambatnya tanggal 1
Januari 2009;
b. tahap perencanaanya dilakukan sebelum ditetapkan Keputusan ini
dan beroperasi setelah ditetapkan Keputusan ini, berlaku baku mutu
emisi Lampiran IA, IIA, IIIA, IVA, dan wajib memenuhi baku mutu
emisi Lampiran IB, IIB, IIIB, IVB, selambat-lambatnya tanggal 1
Januari 2009;
c. tahap perencanaan dan beroperasinya dilakukan setelah ditetapkan
Keputusan ini, berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran IB, IIB, IIIB, IVB.
(3) Bagi industri pupuk sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf e,
berlaku baku mutu emisi sebagaimana dimaksud dalam Lampiran V
setelah ditetapkan Keputusan ini.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan baku mutu emisi bagi
kegiatan industri pupuk di daerah selain parameter sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini setelah berkonsultasi dengan
Menteri.
(2) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi bagi kegiatan industri
pupuk di daerah sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (1).
(3) Dalam menetapkan baku mutu emisi bagi kegiatan industri pupuk di
daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), Gubernur
mengikutsertakan instansi terkait dan para ahli.
Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan industri pupuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib:
a. menyediakan sarana dan prasarana pengendalian pencemaran udara
yang meliputi antara lain cerobong emisi yang dilengkapi dengan
sarana pendukung seperti lubang pengambilan sampel, tangga,
lantai kerja (platform) dan aliran listrik serta sarana pengendalian
pencemaran udara lainnya sebagaimana ditetapkan di dalam
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor 205/Bapedal/07/1996 tentang Pedoman Teknis
Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak;
Pasal 8
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : Agustus 2004
_____________________________
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IA
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK AMONIUM
SULFAT (ZA)
TANGGAL :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IB
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK AMONIUM
SULFAT (ZA)
TANGGAL :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IIA
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK UREA
TANGGAL :
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN II B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI
PABRIK PUPUK UREA
TANGGAL :
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN III A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK FOSFAT (SP-36,
TSP)
TANGGAL :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN III B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK FOSFAT (SP-36,
TSP)
TANGGAL :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IV A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK ASAM FOSFAT DAN
HASIL SAMPING
TANGGAL :
BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ASAM FOSFAT DAN HASIL SAMPING
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN IV B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR :
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK ASAM FOSFAT DAN
HASIL SAMPING
TANGGAL :
BAKU MUTU EMISI UNTUK PABRIK PUPUK ASAM FOSFAT DAN HASIL SAMPING
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya,
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN V
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : TAHUN 2004
TENTANG : BAKU MUTU EMISI PABRIK
PUPUK MAJEMUK - NPK
TANGGAL : 2004
Catatan:
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal :
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 05 TAHUN 2006
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR LAMA
Tim Editor :
1. Ridwan D. Tamin, M.S
2. Ir. Edy Purwanto Moh. Bakri, MAS
3. Endang Nooryastuti, ST
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa maka atas perkenan-Nya telah
ditetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Ambang Batas
Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama Nomor 05 tanggal 1 Agustus 2006.
Peraturan Menteri ini ditetapkan sebagai pengganti dari Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor. Peraturan Menteri ini diharapkan dapat menjawab
perkembangan keadaan di lapangan dalam upaya mengendalikan pencemaran
udara dari kendaraan bermotor yang saat ini terus meningkat terutama yang
dirasakan di kota-kota besar di Indonesia.
Kami berharap Peraturan Menteri ini dapat ditaati oleh masyarakat dan sebagai
bentuk kepedulian terhadap terciptanya kualitas udara yang lebih baik dan sehat
Hal tersebut dapat terwujud dengan meningkatkan perawatan kendaraan bermotor
sehingga memenuhi standar emisi gas buang yang telah ditetapkan.
KU
NT
NGA
KE M E
N HID UP
i
PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 05 TAHUN 2006
TENTANG
AMBANG BATAS EMISI GAS BUANG
KENDARAAN BERMOTOR LAMA
1
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3839);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3530);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3853);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah Pusat dan Kewenangan Pemerintah
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3952);
7. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Negara Republik Indonesia;
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama adalah batas
maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari
pipa gas buang kendaraan bermotor lama;
2. Kendaraan Bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh peralatan teknik
yang berada pada kendaraan itu;
2
3. Kendaraan Bermotor Lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit
atau diimpor dan sudah beroperasi di wilayah Republik Indonesia;
4. Uji emisi kendaraan bermotor lama adalah uji emisi gas buang yang wajib
dilakukan untuk kendaraan bermotor lama secara berkala;
5. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pengelolaan lingkungan hidup;
6. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi;
7. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 2
Ruang lingkup peraturan ini meliputi ambang batas emisi gas buang, metode uji,
prosedur pengujian, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan penaatan ambang batas
emisi gas buang kendaraan bermotor lama.
Pasal 3
(1) Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2) Metode uji kandungan CO dan HC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diukur
pada kondisi tanpa beban (idle) sedangkan kandungan asap diukur pada
kondisi percepatan bebas (free accelaration).
(3) Prosedur pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mengacu pada
Lampiran II Peraturan Menteri ini yang meliputi:
a. Cara uji kadar CO/HC untuk kendaraan bermotor kategori M, N dan O
(roda empat atau lebih) berpenggerak cetus api pada kondisi idle
menggunakan SNI 19-7118.1-2005.
b. Cara uji kadar opasitas asap untuk kendaraan bermotor kategori M, N
dan O (roda empat atau lebih) berpenggerak penyalaan kompresi pada
kondisi akselerasi bebas menggunakan SNI 19-7118.2-2005.
c. Cara uji kadar CO/HC untuk kendaraan bermotor kategori L (sepeda motor)
pada kondisi idle menggunakan SNI 19-7118.3-2005.
3
(4) Format pelaporan pelaksanaan uji emisi sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) huruf a, huruf b, dan huruf c tercantum dalam Lampiran III Peraturan
Menteriini.
(5) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) serta
perubahan-perubahannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri Ini.
Pasal 4
(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib memenuhi ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1).
(2) Setiap kendaraan bermotor lama wajib melakukan uji emisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 5
Pengujian emisi kendaraan bermotor lama dilakukan di tempat pengujian milik
pemerintah atau swasta yang telah mendapat sertifikasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 6
(1) Bupati/Walikota melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor lama yang
terdaftar di daerahnya.
(2) Bupati/Walikota dapat bekerjasama dengan Bupati/Walikota lain dalam
melaksanakan uji emisi kendaraan bermotor lama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Bupati/Walikota melakukan evaluasi pelaksanaan uji emisi kendaraan
bermotor lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan
laporan pelaksanaan uji emisi kepada Gubernur minimal 6 (enam) bulan
sekali.
(4) Bupati/Walikota mengumumkan hasil uji emisi minimal 1 (satu) tahun sekali
kepada masyarakat melalui media cetak maupun elektronik.
4
Pasal 7
(1) Gubernur mengkoordinasikan kegiatan pelaksanaan uji emisi di daerahnya.
(2) Gubernur melaksanakan evaluasi kegiatan uji emisi minimal 1 (satu) tahun
sekali dan mengumumkan hasil uji emisi berkala kepada masyarakat melalui
media cetak maupun elektronik.
(3) Gubernur melaporkan hasil uji emisi yang dilaksanakan oleh Bupati/Walikota
di wilayahnya kepada Menteri sekurang-kurangnya 1(satu) tahun sekali.
Pasal 8
(1) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama di daerahnya sama atau lebih ketat dari ambang batas
kendaraan bermotor lama sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran I
Peraturan Menteri ini.
(2) Gubernur dapat menetapkan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama di daerahnya dengan tidak menambah maupun mengurangi
parameter yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal Gubernur belum menetapkan ambang batas emisi gas buang
kendaraan bermotor lama di daerahnya maka berlaku ambang batas emisi
gas buang kendaraan bermotor lama dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 9
Dalam rangka penaatan ambang batas emisi gas buang kendaran bermotor lama,
Menteri berwenang:
a. mengevaluasi pelaksanaan penaatan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor lama;
b. melakukan uji petik emisi (spot check) dalam rangka pengumpulan data;
c. memberikan pembinaan (bimbingan teknis) terhadap pelaksanaan penaatan
ambang batas kendaraan bermotor lama.
5
Pasal 10
Pembiayaan atas pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor lama di daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah.
Pasal 11
Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor lama dievaluasi sekurang-
kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 12
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini maka Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor : KEP-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2006
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.
KU
NT
NGA
KE M E
N HID UP
Hoetomo, MPA.
6
Lampiran I : Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 05 Tahun 2006
Tentang : Ambang Batas Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor Lama
Tanggal : 1 Agustus 2006
KU
NT
NGA
KE M E
N HID UP
Hoetomo, MPA.
LAMPIRAN II : PERATURAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 05 Tahun 2006
TANGGAL : 1 Agustus 2006
1. SNI 19-7118.1-2005
2. SNI 19-7118.2-2005
3. SNI 19-7118.3-2005
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 1 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M,
N, dan O berpenggerak penyalaan cetus api pada
kondisi idle
SNI 19-7118.1-2005
Daftar Isi
Daftarisi .................................................................................................. i
Prakata .................................................................................................... ii
1 Ruang lingkup .................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................... 1
3 Istilahdandefinisi .............................................................................. 1
4 Carauji .............................................................................................. 2
5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu .................................................... 3
Lampiran A Pelaporan ........................................................................... 4
Lampiran B Format pelaporan ................................................................. 5
Lampiran C Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang ........................ 6
Bibliografi ........................................................................................... 7
i
Prakata
SNI ini merupakan hasil pengkajian dari SNI 09-2765-1992, Cara uji kadar CO/HC gas
buang kendaraan bermotor pada motor putaran stasioner. SNI ini menggunakan referensi
metode standar dari International Organization for Standardization (ISO) dan Regulasi
United Nation for Economic Commission for Europe (UN-ECE). Secara teknis, SNI ini disiapkan
dan telah diuji coba oleh laboratorium yang terakreditasi dalam rangka validasi dan verifikasi
metoda serta dikonsensuskan oleh Subpanitia teknis Kualitas Udara dari Panitia Teknis
207S, Sistem Manajemen Lingkungan.
Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat konsensus dengan peserta rapat
yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis, pemerintah terkait dari
pusat maupun daerah pada tanggal 5 Nopember 2004 di Depok.
i
Emisi - Sumber bergerak -
Bagian 1 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M, N, dan O
berpenggerak penyalaan cetus api pada kondisi idle
1 Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk mengukur kadar gas karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon
(HC) dengan menggunakan gas analyzer pada kondisi idle untuk kendaraan bermotor
kategori M, N dan O berpenggerak penyalaan cetus api.
Cara uji ini berlaku untuk:
a. Kendaraan bermotor lama (yang beroperasi di jalan).
b. Keperluan pemeriksaan dan perawatan.
2 Acuan normatif
ISO 3930/OIML R99, instrument for measuring vehicle exhaust emissions, edisi 2000.
1 dari 7
3.6
gas analyzer
alat yang minimal dapat mengukur parameter karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon
(HC)
3.7
idle
kondisi dimana mesin kendaraan pada putaran dengan:
a) sistem kontrol bahan bakar (misal: choke, akselerator) tidak bekerja;
b) posisi transmisi netral untuk kendaraan manual atau semi otomatis;
c) posisi transmisi netral atau parkir untuk kendaraan otomatis;
d) perlengkapan atau asesoris kendaraan yang dapat mempengaruhi putaran tidak
dioperasikan atau dapat dijalankan atas rekomendasi manufaktur.
4 Cara uji
4.1 Prinsip
Pengujian idle dilakukan dengan cara menghisap gas buang kendaraan bermotor alat uji
gas analyser kemudian diukur kandungan karbon monoksida (CO) dan hidro karbon (HC).
4.2 Peralatan
a) Alat ukur gas (analyzer);
Alat uji emisi gas buang yang digunakan sebagaimana persyaratan yang diberikan
oleh ISO 3930 atau OIML R99;
b) Alat ukur temperatur oli mesin;
c) Alat ukur putaran mesin;
d) Alat ukur temperatur lingkungan.
2 dari 7
4.4 Persiapan peralatan
Persiapan gas analyzer dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a) Pastikan bahwa alat dalam kondisi telah terkalibrasi;
b) Hidupkan sesuai prosedur pengoperasian (sesuai dengan rekomendasi manufaktur
alatuji).
CATATAN 1 Untuk pipa gas buang (knalpot) kendaraan terdiri dari dua atau lebih, maka perlu dilakukan
penyambungan dengan pipa tunggal dengan spesifikasi yang direkomendasikan oleh manufaktur.
CATATAN 2 Bila CATATAN 1 secara praktis tidak memungkinkan untuk dilakukan maka perlu dilakukan pengukuran
emisi gas buang pada tiap pipa gas buang dan hasil yang diperoleh dirata-rata;
CATATAN 3 Untuk gas analyser yang mempunyai kemampuan mengukur parameter CO2, maka parameter CO
(karbon monoksida) yang ditampilkan adalah CO terkoreksi.
3 dari 7
Lampiran A
(normatif)
Pelaporan
4 dari 7
Lampiran B
(Informatif)
Format pelaporan
Tanggal Uji :
DATA KENDARAAN
Merek :
Tipe :
Tahun Produksi :
No. Kendaraan :
No. Identifikasi Kendaraan (NIK) :
No. Mesin :
Odometer :
Tipe Mesin :
Kapasitas & Jumlah silinder :
Bahan Bakar :
DATA HASIL PENGUKURAN/PENGUJIAN
No. Pengujian 1 2 3 4 5
0
Temp.oli mesin C
Putaran mesin rpm
CO %
CO CORR %
CO2 %
HC ppm
O2 %
l
Catatan :
Pengujian :
Tanda tangan :
5 dari 7
Lampiran C
(Informatif)
Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang
6 dari 7
Bibliografi
ISO 3929, Road vehicles – Measurement method for exhaust gas emissions during inspection
or maintenance, 2003.
UN-ECE Regulasi No. 83, Uniform provision concerning to the approval of vehicle with
regard to the emission of pollutants according to engine fuel requirement,2000.
7 dari 7
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 2 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M,
N, dan O berpenggerak penyalaan kompresi
pada kondisi akselerasi bebas
SNI 19-7118.2-2005
Daftar Isi
Daftarisi .................................................................................................. i
Prakata .................................................................................................... ii
1 Ruang lingkup .................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................... 1
3 Istilahdandefinisi .............................................................................. 1
4 Carauji ............................................................................................. 2
5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu .................................................... 3
Lampiran A Pelaporan ........................................................................... 4
Lampiran B Format pelaporan ................................................................. 5
Lampiran C Gambar diagram skematik smoke opacimeter .............................. 6
Bibliografi ......................................................................................... 7
i
Prakata
SNI ini merupakan hasil pengkajian dari SNI 09-2766-1992, Cara uji pengukuran tingkat
kepekatan gas buang kendaraan bermotor jenis motor nyala kompresi. SNI ini menggunakan
referensi metode standar dari International Organization for Standardization (ISO) dan
Regulasi United Nation for Economic Commission for Europe (UN-ECE). Secara teknis, SNI
ini disiapkan dan telah diuji coba oleh laboratorium yang terakreditasi dalam rangka
validasi dan verifikasi metoda serta dikonsensuskan oleh Subpanitia Teknis Kualitas Udara
dari Panitia Teknis 207S, Sistem Manajemen Lingkungan.
Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat konsensus dengan peserta rapat
yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis, pemerintah terkait dari
pusat maupun daerah pada tanggal 5 Nopember 2004 di Depok.
i
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 2 : Cara uji kendaraan bermotor kategori M, N, dan O
berpenggerak penyalaan kompresi pada kondisi akselerasi bebas
1 Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk mengukur opasitas asap menggunakan smoke opacimeter
pada kondisi akselerasi bebas kendaraan bermotor kategori M, N dan O berpenggerak
penyalaan kompresi.
Cara uji ini berlaku untuk :
a. kendaraan bermotor lama (yang beroperasi di jalan)
b. keperluan pemeriksaan dan perawatan
2 Acuan normatif
ISO 11614:1999, Reciprocating internal compression-ignition engines - Apparatus for
measurement of the opacity and for determination of the light absorption coefficient of
exhaust gas.
1 dari 7
3.3.3
kategori O
kendaraan bermotor penarik untuk gandengan atau tempel
4 Cara uji
4.1 Prinsip
Pengujian akselerasi bebas dilakukan dengan cara melewatkan gas buang kendaraan
bermotor kedalam suatu tabung asap pada alat smoke opacimeter kemudian nilai opasitas
asap dibaca pada alat dengan metoda penyerapan cahaya (light absorption).
4.2 Peralatan
a) Smoke opacimeter.
Alat uji emisi gas buang yang digunakan sebagaimana persyaratan yang diberikan
oleh ISO 11614.
b) Alat ukur temperatur oli mesin.
c) Alat ukur putaran mesin.
d) Alat ukur temperatur lingkungan.
2 dari 7
4.5 Pengukuran dan Pencatatan
Pengujian opasitas asap menggunakan smoke opacimeter dengan tahapan sebagai berikut:
a) persiapkan kendaraan uji sesuai langkah 4.3;
b) siapkan alat uji sesuai langkah 4.4;
c) naikkan (akselerasi) putaran mesin hingga mencapai 2.900 rpm sampai dengan 3.100
rpm kemudian tahan selama 60 detik dan selanjutnya kembalikan pada kondisi idle;
d) masukkan probe alat uji ke pipa gas buang sedalam 30 cm, bila kurang dari 30 cm
maka pasang pipa tambahan;
e) injak pedal gas maksimum (full throttle) secepatnya hingga mencapai putaran mesin
maksimum, selanjutnya tahan 1 hingga 4 detik. Lepas pedal gas dan tunggu hingga
putaran mesin kembali stationer. Catat nilai opasitas asap;
f
) ulangi proses 4.5 butir (e) ini minimal tiga kali;
g) catat nilai prosentase rata-rata opasitas asap dari langkah 4.5 butir (f) dalam satuan
persen (%) yang terukur pada alat uji.
CATATAN 1 Untuk pipa gas buang (knalpot) kendaraan terdiri dari dua atau lebih maka perlu dilakukan
penyambungan dengan pipa tunggal dengan spesifikasi yang direkomendasikan oleh manufaktur.
CATATAN 2 Bila CATATAN 1 secara praktis tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka perlu dilakukan pengukuran
emisi gas buang pada tiap pipa gas buang dan hasil yang diperoleh dirata-rata.
3 dari 7
Lampiran A
(normatif)
Pelaporan
4 dari 7
Lampiran B
(Informatif)
Format pelaporan
Tanggal Uji :
DATA KENDARAAN
Merek :
Tipe :
Tahun Produksi :
No. Kendaraan :
No. Identifikasi Kendaraan (NIK) :
No. Mesin :
Odometer :
Tipe Mesin :
Kapasitas & Jumlah silinder :
Bahan Bakar :
DATA HASIL PENGUKURAN/PENGUJIAN
No. Pengujian 1 2 3 4 5
0
Temp.oli C
Putaran mesin rpm
Opasitas % HSU
NilaiK m-1
Catatan :
Pengujian :
Tanda tangan :
5 dari 7
Lampiran C
(Informatif)
Gambar diagram skematik smoke opacimeter
6 dari 7
Bibliografi
SAE J1667, Snap acceleration smoke test prosedure for heavy-duty powered vehicle,1996
UN-ECE, Regulasi No. 24, Uniform provisions concerning: the approval of compression ignition
(C) engines with regard to the emission of visible pollutants.
7 dari 7
Emisi gas buang – Sumber bergerak –
Bagian 3 : Cara uji kendaraan bermotor kategori L
Pada kondisi idle
SNI 19-7118.3-2005
Daftar Isi
Daftarisi .................................................................................................. i
Prakata .................................................................................................... ii
1 Ruang lingkup .................................................................................... 1
2 Acuan normatif ................................................................................... 1
3 Istilahdandefinisi .............................................................................. 1
4 Carauji ............................................................................................. 2
5 Jaminan mutu dan pengendalian mutu .................................................... 3
Lampiran A Pelaporan ........................................................................... 4
Lampiran B Format pelaporan ................................................................. 5
Lampiran C Gambar rangkaian peralatan uji emisi gas buang ........................ 6
Lampiran D Gambar pemasukan sampling probe ke dalam pipa gas buang ....... 7
Bibliografi ......................................................................................... 8
i
Prakata
SNI ini merupakan hasil pengkajian dari SNI 09-3678-1995, Cara uji karbon monoksida
emisi gas buang kendaraan bermotor roda dua pada putaran idle. SNI ini menggunakan
referensi metode standar dari International Organization for Standardization (ISO) dan
Regulasi United Nation for Economic Commission for Europe (UN-ECE). Secara teknis, SNI
ini disiapkan dan telah diuji coba oleh laboratorium yang terakreditasi dalam rangka
validasi dan verifikasi metoda serta dikonsensuskan oleh Subpanitia Teknis Kualitas Udara
dari Panitia Teknis 207S, Sistem Manajemen Lingkungan.
Standar ini telah disepakati dan disetujui dalam rapat konsensus dengan peserta rapat
yang mewakili produsen, konsumen, ilmuwan, instansi teknis, pemerintah terkait dari
pusat maupun daerah pada tanggal 5 Nopember 2004 di Depok.
i
Emisi gas buang – Sumber bergerak -
Bagian 3 : Cara uji kendaraan bermotor kategori L
pada kondisi idle
1 Ruang lingkup
Cara uji ini digunakan untuk mengukur kadar gas karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon
(HC) dengan menggunakan gas analyzer pada kondisi idle untuk kendaraan bermotor
kategori L berpenggerak penyalaan cetus api 2 langkah atau 4 langkah.
Cara uji ini berlaku untuk :
a. Kendaraan bermotor lama (yang beroperasi di jalan).
b. Keperluan pemeriksaan perawatan.
2 Acuan normatif
ISO 3930/ OIML R99, Instrument for measuring vehicle exhaust emissions, edisi 2000.
1 dari 8
b) Posisi transmisi netral untuk kendaraan manual atau semiotomatis.
c) Posisi transmisi netral atau parkir untuk kendaraan otomatis.
d) Perlengkapan atau asesoris kendaraan yang dapat mempengaruhi putaran tidak
dioperasikan atau dapat dijalankan atas rekomendasi manufaktur.
4 Cara uji
4.1 Prinsip
Pengujian idle dilakukan dengan cara menghisap gas buang kendaraan bermotor ke dalam
alat uji gas analyzer kemudian diukur kandungan karbon monoksida (CO) dan hidro karbon
(HC).
4.2 Peralatan
2 dari 8
4.4 Persiapan peralatan
Persiapan gas analyzer dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a) pastikan bahwa alat dalam kondisi telah terkalibrasi;
b) hidupkan sesuai prosedur pengoperasian (sesuai dengan rekomendasi manufaktur
alatuji).
CATATAN 1 Untuk pipa gas buang (knalpot) kendaraan terdiri dari dua pipa atau lebih, maka perlu dilakukan
penyambungan dengan pipa tunggal dengan spesifikasi yang direkomendasikan oleh manufaktur.
CATATAN 2 Bila CATATAN 1 secara praktis tidak memungkinkan untuk dilakukan maka perlu dilakukan pengukuran
emisi gas buang pada tiap pipa gas buang dan hasil yang diperoleh dirata-rata;
CATATAN 3 Untuk gas analyser yang mempunyai kemampuan mengukur parameter CO2, maka parameter CO
(karbon monoksida) yang ditampilkan adalah CO terkoreksi.
3 dari 8
Lampiran A
(normatif)
Pelaporan
4 dari 8
Lampiran B
(Informatif)
Format pelaporan
Tanggal Uji :
DATA KENDARAAN
Merek :
Tipe :
Tahun Produksi :
No.Polisi :
No. Induk Kend. (NIK) :
No. Mesin :
Odometer :
Catatan :
Pengujian :
Tanda tangan :
6 dari 8
Lampiran D
(Informatif)
Gambar pemasukan sampling probe ke dalam pipa gas buang
7 dari 8
Bibliografi
ISO 3929, Road Vehicle – Measurement method for exhaust gas emissions during inspection
or maintenance, 2003.
UN-ECE, Regulasi No. 40, Uniform provisions concerning to the approval of motorcycle
equipped with a positive-ignition engine with regard to the emission of gaseous pollutants
by the engine, 1996.
8 dari 8
LAMPIRAN III : PERATURAN MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 05 TAHUN 2006
TANGGAL : 1 Agustus 2006
FORMAT
PELAPORAN PELAKSANAAN UJI EMISI
I
. DATA UMUM PENGUJIAN KENDARAAN BERMOTOR
(diisi oleh pengujian pemerintah)
1 Nama PKB :
2 Alamat :
3 No Telpon/Fax :
4 Home Page :
5 Penanggungjawab/Kepala PKB :
6 Jumlah Pegawai :
7 Luas total PKB (m2 ) :
8 Prosentase tempat uji/Luas total PKB :
VI I I . DATA HASI L PENGUJI AN EMI SI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR RODA EMPAT ATAU
LEBI H BERPENGGERAK MOTOR BAKAR KOMPRESI ( BERBAHAN BAKAR SOLAR)
ttd
I r. Rachmat Wi t oelar
KU
NT
NGA
KE M E
N HID UP
1
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun
2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437);
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
2
2. Bahan bakar biomassa adalah bahan bakar yang berasal dari tumbuhan
atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang,
dan/atau akar termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan
pertanian, perkebunan, dan/atau hutan tanaman.
3. Ampas adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pemerahan tebu
di stasiun gilingan pada pabrik gula.
4. Serabut adalah limbah padat yang dihasilkan dari proses pengepresan
buah sawit di industri minyak sawit (Crude Palm Oil).
5. Cangkang adalah kulit inti sawit (kernel) yang dihasilkan dari proses
pemisahan kernel sawit di industri minyak sawit.
6. Bahan bakar batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang
terbentuk dari tumbuh-tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan
terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama.
7. Bahan bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dari semua cairan
organik yang tidak larut/bercampur dalam air baik yang dihasilkan dari
tumbuh-tumbuhan dan/atau hewan maupun yang diperoleh dari
kegiatan penambangan minyak bumi.
8. Bahan bakar gas adalah bahan bakar berupa hidrokarbon yang dalam
kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas.
9. Bahan bakar gabungan adalah bahan bakar yang merupakan campuran
dari ampas, serabut, cangkang, batu bara, minyak, dan/atau gas.
10. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap adalah batas
maksimum emisi dari ketel uap yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam lingkungan.
11. Emisi ketel uap adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang
dihasilkan oleh ketel uap dari kegiatan industri yang masuk dan/atau
dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak
mempunyai potensi sebagai unsur pencemar.
12. Keadaan darurat adalah keadaan tidak berfungsinya ketel uap, cerobong,
dan/atau pengendali emisi udara sebagaimana mestinya karena adanya
bencana alam, kebakaran, dan/atau huru hara.
13. Kejadian tidak normal adalah kondisi dimana ketel uap, cerobong,
dan/atau alat pengendali emisi udara tidak beroperasi sebagaimana
mestinya dikarenakan adanya kerusakan dan/atau tidak berfungsinya
peralatan tersebut.
14. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup.
3
Pasal 2
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini meliputi ketel uap yang menggunakan bahan bakar:
a. biomassa berupa serabut dan/atau cangkang;
b. biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu kering;
c. biomasa selain yang disebutkan dalam huruf a dan huruf b;
d. batu bara;
e. minyak;
f. gas; dan
g. gabungan.
(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini tidak berlaku untuk industri besi dan baja, industri
pulp dan kertas, industri semen, pembangkit listrik tenaga uap, industri
pupuk, dan usaha dan/atau kegiatan minyak dan gas bumi.
Pasal 3
(1) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi ketel uap yang
menggunakan bahan bakar:
a. biomassa berupa serabut dan/atau cangkang adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini;
b. biomassa berupa ampas dan/atau daun tebu kering adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini;
c. biomassa selain yang dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri
ini;
d. batubara adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan
Menteri ini;
e. minyak adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan
Menteri ini;
f. gas adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan
Menteri ini;
g. gabungan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
Peraturan Menteri ini.
(2) Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
4
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan baku mutu emisi sumber tidak bergerak
bagi ketel uap sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Pasal 5
Pasal 6
5
g. melaporkan kejadian tidak normal dan/atau keadaan darurat yang
mengakibatkan baku mutu emisi dilampaui serta rincian upaya
penanggulangannya kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan Gubernur
dan Menteri.
Pasal 7
Dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan
Menteri ini, usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan ketel uap berbahan
bakar biomassa berupa serabut dan/atau cangkang, biomassa berupa ampas
dan/atau daun tebu kering, batu bara, minyak, dan/atau gas yang sedang
berjalan dan baku mutunya diatur dalam Lampiran V B Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu
Emisi Sumber Tidak Bergerak wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 8 Mei 2007
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
6
SALINAN
1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3853);
6. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia,
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru adalah
batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan
langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor tipe baru.
2. Kendaraan bermotor tipe baru adalah kendaraan bermotor yang
menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang siap diproduksi
dan akan dipasarkan, atau kendaraan bermotor yang sudah beroperasi
di jalan tetapi akan diproduksi dengan perubahan desain mesin
dan/atau sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang diimpor
dalam keadaan utuh (completely built-up) tetapi belum beroperasi di jalan
wilayah Republik Indonesia.
3. Kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, O adalah kendaraan
bermotor tipe baru yang beroda 4 (empat) atau lebih dengan penggerak
motor bakar cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi
sesuai dengan SNI 09-1825-2002.
4. Kendaraan bermotor tipe baru kategori L adalah kendaraan bermotor
tipe baru beroda 2 (dua) atau 3 (tiga) dengan penggerak motor bakar
cetus api dan penggerak motor bakar penyalaan kompresi (2 langkah
atau 4 langkah) sesuai dengan SNI 09-1825-2002.
5. Laboratorium terakreditasi adalah laboratorium yang melakukan uji
emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru yang terakreditasi oleh
lembaga akreditasi nasional atau badan yang diakui secara
internasional.
6. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor adalah orang perseorangan dan/atau kelompok orang
dan/atau badan hukum yang memproduksi kendaraan bermotor tipe
baru dan/atau melakukan impor kendaraan bermotor dalam keadaan
utuh (completely built-up) atau dalam keadaan tidak utuh.
7. Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan bermotor tipe
baru.
8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang pengelolaan lingkungan hidup.
2
Pasal 2
Ruang lingkup dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru;
b. metode uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru; dan
c. tata cara pelaporan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru.
Pasal 3
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor tipe baru wajib melakukan uji tipe emisi dan memenuhi
ambang batas emisi gas buang.
(2) Kendaraan bermotor tipe baru yang diimpor dalam keadaan utuh
(completely built-up) dengan akumulasi mencapai lebih dari 10 (sepuluh)
unit dari populasi nasional wajib dilakukan uji tipe emisi.
(3) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru merupakan
bagian dari persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor.
(4) Uji tipe emisi gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
menggunakan metode uji sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(5) Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 4
Ambang batas emisi gas buang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(5) untuk:
a. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N dan O untuk pengujian
kadar asap motor diesel mulai berlaku paling lama 24 bulan setelah
peraturan ini ditetapkan;
b. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N dan O untuk pengujian idle
mulai berlaku paling lama 12 bulan setelah peraturan ini ditetapkan;
c. kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N dan O dengan GVW > 3,5
ton berbahan bakar gas mulai berlaku paling lama 18 bulan setelah
peraturan ini ditetapkan.
Pasal 5
(1) Uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dilaksanakan
dengan tahapan:
a. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan mengajukan
permohonan uji tipe emisi kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
b. instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan melakukan uji emisi di laboratorium yang terakreditasi.
(2) Dalam melakukan uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, instansi yang bertanggung
jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, serta laboratorium
3
terakreditasi wajib mengisi formulir laporan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(3) Hasil uji tipe emisi yang dikeluarkan oleh laboratorium wajib
menggunakan format isian sebagaimana tercantum dalam Lampiran III
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(4) Instansi yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan
jalan wajib menyampaikan hasil uji sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) kepada Menteri dan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya hasil uji.
(5) Menteri mengumumkan hasil uji sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 6
(1) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) wajib
menggunakan bahan bakar dengan spesifikasi reference fuel menurut
Economic Comission for Europe (ECE).
(2) Dalam hal tidak tersedia reference fuel di Indonesia, dapat digunakan
bahan bakar minyak yang beredar di pasar dengan spesifikasi untuk
bahan bakar kendaraan dengan penggerak penyalaan:
a. cetus api (bensin) dengan parameter bahan bakar RON minimal 95,
kandungan timbal (Pb) maksimal 0,013 g/l dan kandungan sulfur
minimal 500 ppm;
b. kompresi (diesel) dengan parameter bahan bakar Cetane Number
minimal 51, kandungan sulfur minimal 500 ppm dan kekentalan
(viscosity) minimal 2 mm2/s dan maksimal 4,5 mm2/s;
c. cetus api (LPG) dengan parameter bahan bakar RON minimal 98,
kandungan sulfur maksimal 100 ppm; atau
d. cetus api (CNG) dengan parameter bahan bakar C1+C2 minimal 62%
vol, relativy density pada suhu 280 C minimal 0,56.
Pasal 7
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan produksi kendaraan
bermotor yang telah memperoleh sertifikat uji tipe kendaraan bermotor
wajib mengumumkan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru.
(2) Pengumuman hasil uji tipe emisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada setiap promosi merek kendaraan bermotor tipe baru
kepada masyarakat melalui media cetak dan/atau elektronik.
(3) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Pasal 8
(1) Menteri melakukan evaluasi penaatan terhadap ambang batas emisi gas
buang kendaraan bermotor tipe baru paling sedikit 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun.
(2) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diumumkan.
4
Pasal 9
(1) Biaya pelaksanaan uji tipe emisi gas buang kendaraan bermotor tipe
baru dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
produksi kendaraan bermotor.
(2) Biaya pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 10
Peraturan Menteri ini ditinjau kembali paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi
Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang
Sedang Diproduksi (current production) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 12
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal: 25 Maret 2009
MENTERI NEGARA
LINGKUNGAN HIDUP,
ttd
RACHMAT WITOELAR
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang
Penaatan Lingkungan,
ttd
Ilyas Asaad.
5
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
Menimbang :
a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi
sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk
memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan
faktor utama pembangunan;
b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi
kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan
memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta
keseimbangan ekologis;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat
(2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3046);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3839);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
-2-
1. Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan
tanah, kecuali air laut dan air fosil;
2. Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah
permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air,
sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan muara;
3. Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga
tercapai kualitas air yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk
menjamin agar kualitas air tetap dalam kondisi alamiahnya;
4. Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk
menjamin kualitas air agar sesuai dengan baku mutu air;
5. Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metoda tertentu
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk
dimanfaatkan bagi peruntukan tertentu;
7. Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air;
8. Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi
pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan
ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas-nya, dan atau fungsi
ekologis;
9. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur
pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air;
10. Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan
kondisi cemar atau kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu
tertentu dengan membandingkan dengan baku mutu air yang
ditetapkan;
11. Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,
zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan
manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya;
12. Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang
terkandung dalam air atau air limbah;
13. Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu
sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa
mengakibatkan air tersebut menjadi cemar;
14. Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang
berwujud cair;
15. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air
dari suatu usaha dan atau kegiatan;
16. Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/ Kepala
Lembaga Pemerintah Nondepartemen;
17. Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau
badan hukum;
18. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan
© Legal Agency
-3-
Pasal 2
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
diselenggarakan secara terpadu dengan pendekatan ekosistem.
(2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada
tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang
diinginkan sesuai peruntukannya agar tetap dalam kondisi
alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air
agar sesuai dengan baku mutu air melalui upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran air serta pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan pada :
a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c. akuifer air tanah dalam.
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dilakukan di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) huruf c ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
BAB II
PENGELOLAAN KUALITAS AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan
atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas
Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di
Kabupaten/Kota.
Pasal 6
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana
© Legal Agency
-4-
Bagian Kedua
Pendayagunaan Air
Pasal 7
(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota
menyusun rencana pendayagunaan air.
(2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi
ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam
masyarakat setempat.
(3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air
berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan
atau fungsi ekologis.
Bagian Ketiga
Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air
Pasal 8
(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air
baku air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar,
peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan
lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi
pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan
mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk
mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 9
(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada :
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan
atau merupakan lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan
Keputusan Presiden.
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah
Kabupaten/Kota dapat diatur dengan Peraturan Daerah Propinsi.
© Legal Agency
-5-
Bagian Keempat
Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air, Dan Status Mutu Air
Pasal 10
Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria
mutu air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan
atau penambahan parameter pada air yang lintas Propinsi dan atau
lintas batas negara, serta sumber air yang pengelolaannya di bawah
kewenangan Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari
instansi terkait.
Pasal 12
(1) Pemerintah Propinsi dapat menetapkan :
a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dan
atau
b. tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku
mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 13
(1) Pemantauan kualitas air pada :
a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah
© Legal Agency
-6-
Pasal 14
(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan :
a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air;
b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air.
(2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status mutu
air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan
status mutu air ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota
sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan upaya
penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air dengan
menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota
sesuai dengan kewenangan masing-masing mempertahan-kan dan atau
meningkatkan kualitas air.
Pasal 16
(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi
untuk melakukan analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka
pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah
dilakukan oleh laboratorium yang ditunjuk Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air
limbah dari dua atau lebih laboratorium maka dilakukan verifikasi
ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh
© Legal Agency
-7-
BAB III
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
Bagian Pertama
Wewenang
Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air
yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaan air pada
sumber air yang lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pence-maran
air pada sumber air yang berada pada Kabupaten/Kota.
Pasal 19
Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi
atau Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 20
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
dengan kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran
air pada sumber air berwenang :
a. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
e. memantau kualitas air pada sumber air; dan
f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.
Pasal 21
(1) Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri
dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
(2) Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Propinsi dengan ketentuan sama atau lebih ketat dari baku mutu air
limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri
secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal 22
© Legal Agency
-8-
Pasal 23
(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya
tampung beban pencemaran air pada sumber air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipergunakan untuk :
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air;
c. penetapan rencana tata ruang;
d. pemberian izin pembuangan air limbah;
e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian
pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagai-mana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Retribusi Pembuangan Air Limbah
Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana
pengelolaan air limbah yang disediakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga
Penanggulangan Darurat
Pasal 25
Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penang-gulangan
pencemaran air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga
lainnya.
Pasal 26
Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan
penanggulangan dan pemulihan.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 27
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran
© Legal Agency
-9-
Pasal 28
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5)
Bupati/Walikota/Menteri dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga
untuk melaksanakannya atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 29
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang
ditunjuk untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan
kualitas air, wajib menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/
Menteri.
BAB V
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak
Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi
mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta
pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai
© Legal Agency
- 10 -
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 31
Setiap orang wajib :
a. melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3)
b. mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 32
Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan
kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib
memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 34
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin aplikasi air
limbah pada tanah.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegitan wajib
menyampaikan laporan tentang penaatan persyaratan izin
pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib
disampaikan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada
Bupati/Walikota dengan tembusan disampaikan kepada Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
BAB VI
PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN PEMBUANGAN AIR LIMBAH
Bagian Pertama
Pemanfaatan Air Limbah
Pasal 35
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah
ke tanah untuk aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari
Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasar-kan
pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan
© Legal Agency
- 11 -
Pasal 36
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke
tanah untuk aplikasi pada tanah.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
sekurang-kurangnya :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati/ Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang
diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) menunjukkan bahwa pemanfaatan air limbah ke tanah untuk
aplikasi pada tanah layak lingkungan, maka Bupati/ Walikota
menerbitkan izin pemanfaatan air limbah.
(6) Penerbitan izin pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam
ayat (5) diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90
(sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan izin.
(7) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kedua
Pembuangan Air Limbah
Pasal 37
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air
limbah ke air atau sumber air wajib mencegah dan menang-gulangi
terjadinya pencemaran air.
Pasal 38
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang
air limbah ke air atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang
ditetapkan dalam izin.
(2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dicantumkan :
a. kewajiban untuk mengolah limbah;
b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke
media lingkungan;
c. persyaratan cara pembuangan air limbah;
d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur
penanggulangan keadaan darurat;
e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air
© Legal Agency
- 12 -
limbah ;
f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis
mengenai dampak lingkungan yang erat kaitannya dengan
pengendalian pencemaran air bagi usaha dan atau kegiatan yang
wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau
pelepasan dadakan;
h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya
penaatan batas kadar yang dipersyaratkan;
i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk
melaporkan hasil swapantau.
(3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bagi air limbah yang mengandung radioaktif, Bupati/ Walikota wajib
mendapat rekomendasi tertulis dari lembaga pemerintah yang
bertanggung jawab di bidang tenaga atom.
Pasal 39
(1) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang
diizinkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) didasarkan
pada daya tampung beban pencemaran pada sumber air.
(2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) belum dapat ditentukan, maka batas mutu air limbah
yang diizinkan ditetapkan berdasarkan baku mutu air limbah nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
Pasal 40
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air
atau sumber air wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan
pada hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian
Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 41
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air
atau sumber air.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
sekurang-kurangnya:
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
pemrakarsa mengajukan permohonan izin kepada Bupati/ Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang
diajukan oleh pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4) menunjukkan bahwa pembuangan air limbah ke air atau sumber
air layak lingkungan, maka Bupati/Walikota menerbitkan izin
pembuangan air limbah.
© Legal Agency
- 13 -
Pasal 42
Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air
dan atau sumber air.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 43
(1) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan pembinaan untuk meningkatkan ketaatan penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan dalam pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup;
b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif.
(3) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan upaya pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air
limbah rumah tangga.
(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dapat dilakukan oleh pemerintah Propinsi, pemerintah
Kabupaten/Kota dengan membangun sarana dan prasarana
pengelolaan limbah rumah tangga terpadu.
(5) Pembangunan sarana dan prasasara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 44
(1) Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penaatan
persyaratan yang tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (2).
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
© Legal Agency
- 14 -
Pasal 45
Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan
terhadap penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin melakukan usaha
dan atau kegiatan.
Pasal 46
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45
berwenang :
a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan,
perekaman audio visual, dan pengukuran;
b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepenting-an,
karyawan yang bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan
perangkat pemerintahan setempat;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang
diperlukan, antaran lain dokumen perizinan, dokumen AMDAL,
UKL, UPL, data hasil swapantau, dokumen surat keputusan
organisasi perusahaan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang
dibuang, bahan baku, dan bahan penolong;
f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi,
utilitas, dan instalasi pengolahan limbah;
g. memeriksa instalasi, dan atau alat transportasi;
h. serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas
usaha dan atau kegiatan;
(2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf c meliputi pembuatan denah, sketsa, gambar, peta, dan atau
deskripsi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pengawasan.
Pasal 47
Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihat-kan
surat tugas dan atau tanda pengenal.
BAB VIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administrasi
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar
ketentuan Pasal 24 ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35,
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40, dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang
menjatuhkan sanksi administrasi.
© Legal Agency
- 15 -
Pasal 49
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar
ketentuan Pasal 25,Bupati/Walikota/Menteri berwenang menerap-kan
paksaan pemerintahan atau uang paksa.
Bagian Kedua
Ganti Kerugian
Pasal 50
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau
perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang
lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang
paksa atas setiap hari keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu
tersebut.
Bagian Ketiga
Sanksi Pidana
Pasal 51
Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal
37, Pasal 38, Pasal 41, dan Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya
pencemaran air, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
Baku mutu air limbah untuk jenis usaha dan atau kegiatan tertentu yang
telah ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 53
(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk
aplikasi pada tanah, maka dalam jangka waktu satu tahun setelah
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini wajib memiliki izin
pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati/Walikota.
(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum memiliki
izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air, maka dalam
waktu satu tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini
wajib memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air
dari Bupati/Walikota.
© Legal Agency
- 16 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (3) wajib ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 55
Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dan Pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan, berlaku kriteria
mutu air untuk Kelas II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Pemerintah ini sebagai baku mutu air.
Pasal 56
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang telah
ditetapkan sebelumnya wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
(2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air dalam Peraturan Pemerintah ini, maka baku
mutu air sebelumnya tetap berlaku.
Pasal 57
(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu
air limbahnya, maka baku mutu air limbah yang berlaku di daerah
tersebut dapat ditetapkan setelah mendapat rekomendasi dari
Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah
ini.
Pasal 59
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran
Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409)
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
© Legal Agency
- 17 -
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
© Legal Agency
- 18 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 82 TAHUN 2001
TENTANG
PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR
UMUM
Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak
sehingga perlu dilindungi agar dapat tetap bermanfaat bagi hidup dan
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Untuk menjaga atau mencapai kualitas air sehingga dapat dimanfaatkan
secara berkelanjutan sesuai dengan tingkat mutu air yang diinginkan, maka
perlu upaya pelestarian dan atau pengendalian. Pelestarian kualitas air
merupakan upaya untuk memelihara fungsi air agar kualitasnya tetap pada
kondisi alamiahnya.
Pelestarian kualitas air dilakukan pada sumber air yang terdapat di hutan
lindung. Sedangkan pengelolaan kualitas air pada sumber air di luar hutan
lindung dilakukan dengan upaya pengendalian pencemaran air, yaitu upaya
memelihara fungsi air sehingga kualitas air memenuhi baku mutu air.
Air sebagai komponen sumber daya alam yang sangat penting maka harus
dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal ini
berarti bahwa penggunaan air untuk berbagai manfaat dan kepentingan
harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhitungkan kepentingan
generasi masa kini dan masa depan. Untuk itu air perlu dikelola agar
tersedia dalam jumlah yang aman, baik kuantitas maupun kualitasnya, dan
bermanfaat bagi kehidupan dan perikehidupan manusia serta makhluk hidup
lainnya agar tetap berfungsi secara ekologis, guna menunjang pembangunan
yang berkelanjutan. Di satu pihak, usaha dan atau kegiatan manusia
memerlukan air yang berdaya guna, tetapi di lain pihak berpotensi
menimbulkan dampak negatif, antara lain berupa pencemaran yang dapat
mengancam ketersediaan air, daya guna, daya dukung, daya tampung, dan
produktivitasnya. Agar air dapat bermanfaat secara lestari dan
pembangunan dapat berkelanjutan, maka dalam pelaksanaan pembangunan
perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
© Legal Agency
- 19 -
Dengan ditetapkannya baku mutu air pada sumber air dan memperhatikan
kondisi airnya, akan dapat dihitung berapa beban zat pencemar yang dapat
ditenggang adanya oleh air penerima sehingga air dapat tetap berfungsi
sesuai dengan peruntukannya. Beban pencemaran ini merupakan daya
tampung beban pencemaran bagi air penerima yang telah ditetapkan
peruntukannya.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Mengingat sifat air yang dinamis dan pada umumnya berada
dan atau mengalir melintasi batas wilayah administrasi pemerintahan,
© Legal Agency
- 20 -
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelolaan kualitas air dimaksudkan untuk memelihara
kualitas air untuk tujuan melestarikan fungsi air, dengan melestarikan
(conservation) atau mengendalikan (control). Pelestarian kualitas air
dimaksudkan untuk memelihara kondisi kualitas air sebagaimana
kondisi alamiahnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kondisi alamiah air pada sumber air dalam hutan lindung, mata
air dan akuifer air tanah dalam secara umum kualitasnya sangat baik.
Air pada sumber_sumber air tersebut juga akan sulit dipulihkan
kualitasnya apabila tercemar, dan perlu waktu bertahun-tahun untuk
pemulihannya. Oleh karena itu harus dipelihara kualitasnya
sebagaimana kondisi alamiahnya. Mata air kualitas airnya perlu
dilestarikan sebagaimana kondisi alamiahnya, baik mata air di dalam
maupun di luar hutan lindung. Air di bawah permukaan tanah berada
di wadah atau tempat yang disebut akuifer.
Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada di antara
dua lapisan batuan geologis tertentu, yang menerima resapan air dari
bagian hulunya.
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
© Legal Agency
- 21 -
Ayat (4)
Upaya pengendalian pencemaran air antara lain dilakukan
dengan membatasi beban pencemaran yang ditenggang masuknya ke
dalam air sebatas tidak akan menyebabkan air menjadi cemar
(sebatas masih memenuhi baku mutu air).
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pendayagunaan air meliputi penggunaan untuk
pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana
pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu
air dan mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui arah program
pengelolaan kualitas air.
Ayat (2)
Air pada lingkungan masyarakat setempat dapat mempunyai
fungsi dan nilai yang tinggi dari aspek sosial budaya. Misalnya air
untuk keperluan ritual dan kultural.
Ayat (3)
Pendayagunaan air adalah pemanfaatan air yang digunakan
sekarang ini (existing uses) dan potensi air sebagai cadangan untuk
pemanfaatan di masa mendatang (future uses).
Pasal 8
Ayat (1)
Pembagian kelas ini didasarkan pada peringkat (gradasi)
tingkatan baiknya mutu air, dan kemungkinan kegunaannya.
Tingkatan mutu air Kelas Satu merupakan tingkatan yang terbaik.
Secara relatif, tingkatan mutu air Kelas Satu lebih baik dari Kelas
Dua, dan selanjutnya.
Tingkatan mutu air dari setiap kelas disusun berdasarkan
kemungkinan kegunaannya bagi suatu peruntukan air (designated
beneficial water uses).
Air baku air minum adalah air yang dapat diolah menjadi air
yang layak sebagai air minum dengan pengolahan secara sederhana
dengan cara difiltrasi, disinfeksi, dan dididihkan.
Klasifikasi mutu air merupakan pendekatan untuk menetapkan
kriteria mutu air dari tiap kelas, yang akan menjadi dasar untuk
penetapan baku mutu air. Setiap kelas air mempersyaratkan mutu air
© Legal Agency
- 22 -
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pengkajian yang dimaksud adalah kegiatan untuk mengetahui
informasi mengenai keadaan mutu air saat ini (existing quality),
rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang
diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan dicapai (objective
quality).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pedoman pengkajian yang dimaksud meliputi pedoman untuk
menentukan keadaan mutu air, penyusunan rencana penggunaan air,
dan penentuan tingkat mutu air yang ingin dicapai. Pedoman
pengkajian mencakup antara laiketatalaksanaan pada sumber air yang
bersifat lintas daerah (Kabupaten/Kota dan Propinsi).
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Pengetatan dan atau penambahan parameter tersebut
didasarkan pada kondisi spesifik, antara lain atas pertimbangan
karena di daerah tersebut terdapat biota dan atau spesies sensitif
yang perlu dilindungi.
Yang dimaksud dengan yang lebih ketat adalah yang tingkat
kualitas airnya lebih baik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
© Legal Agency
- 23 -
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air meliputi,
antara lain, rencana pemantauan, pengharmonisasian operasi
pemantauan kualitas air, pelaporan dan pengelolaan data hasil
pemantauan.
Pasal 14
Ayat (1)
Status mutu air merupakan informasi mengenai tingkatan mutu
air pada sumber air dalam waktu tertentu.
Dalam rangka pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian
pencemaran air, perlu diketahui status mutu air (the state of the
water quality). Untuk itu maka dilakukan pemantauan kualitas air
guna mengetahui mutu air, dengan membandingkan mutu air.
Tidak memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil
pemantauan kualitas air tingkat kualitas airnya lebih buruk dari baku
mutu air.
Memenuhi baku mutu air adalah apabila dari hasil pemantauan
kualitas air tingkat kualitas airnya sama atau lebih baik dari baku
mutu air.
Dalam hal metoda baku penilaian status mutu air belum
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dapat digunakan
kaidah ilmiah.
Contoh parameter yang belum tercantum dalam kriteria mutu
air sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini
antara lain, parameter-parameter bio-indikator dan toksisitas.
Ayat (2)
Kondisi cemar dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan,
seperti tingkatan cemar berat, cemar sedang, dan cemar ringan.
Demikian pula kondisi baik dapat dibagi menjadi sangat baik dan
cukup baik. Tingkatan tersebut dapat dinyatakan antara lain dengan
menggunakan suatu indeks.
Pasal 15
Ayat (1)
Penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air
yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, meliputi pula program kerja pengendalian
pencemaran air dan pemulihan kualitas air secara berkesinambungan.
Mutu air sasaran (water quality objective) adalah mutu air yang
© Legal Agency
- 24 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Akreditasi dilakukan oleh lembaga yang berwenang
melaksanakan akreditasi laboratorium di bidang pengelolaan
lingkungan hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penunjukan laboratorium oleh Menteri sebagai laboratorium
rujukan dimaksudkan antara lain untuk menguji kebenaran teknik,
prosedur, metode pengambilan dan metode analisis sampel.
Kesimpulan yang ditetapkan tersebut menjadi alat bukti tentang
mutu air dan mutu air limbah.
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Inventarisasi adalah pengumpulan data dan informasi yang
diperlukan untuk mengetahui sebab dan faktor yang menyebabkan
penurunanan kualitas air.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Faktor lain yang dimaksud antara lain faktor fluktuasi debit.
© Legal Agency
- 25 -
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inventarisasi sumber pencemaran air diperlukan antara
lain untuk penetapan program kerja pengendalian pencemaran air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Daya tampung beban pencemaran pada suatu sumber air dapat
berubah dari waktu ke waktu mengingat antara lain karena fluktuasi
debit atau kuantitas air dan perubahan kualitas air.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pengenaan retribusi tersebut sebagai konsekuensi dari
penyediaan sarana pengolahan (pengelolaan) air limbah yang
disediakan oleh Kabupaten/ Kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Pencemaran air akibat keadaan darurat dapat disebabkan antara lain
kebocoran atau tumpahan bahan kimia dari tangki penyimpanannya
akibat kegagalan desain, ketidak-tepatan operasi, kecelakaan dan
atau bencana alam.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Pejabat yang berwenang yang dimaksud, antara lain, adalah
Kepala Desa/Lurah, Camat, dan Polisi.
© Legal Agency
- 26 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan
perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium
kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing),
proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah
(TPA).
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air yang dimaksud dapat berupa data, keterangan, atau
informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan
atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya
memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi
hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun
pemantauan perubahan kualitas air, dan rencana tata ruang.
Ayat (3)
Peran serta sebagaimana dimaksud meliputi proses
pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan
maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan
antara lain dalam proses penilaian dan atau perumusan kebijaksanaan
pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran air, dan
melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip
keterbukaan. Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut
memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam
pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.
Pasal 31
Huruf a
Cukup jelas
© Legal Agency
- 27 -
Huruf b
Air pada sumber air dan air yang terdapat di luar hutan lindung
dilakukan pengendalian terhadap sumber yang dapat menimbulkan
pencemaran. Hal ini karena terdapat berbagai kegiatan yang akan
mengakibatkan penurunan kualitas air. Namun, penurunan kualitas air
tersebut masih dapat ditenggang selama tidak melampaui baku mutu
air.
Pasal 32
Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan
perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium
kegiatan penelitian dan pendidikan, fasilitas umum rumah sakit,
pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing),
proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah
(TPA).
Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
Pemberian informasi dilakukan melalui media cetak, media elektronik
atau papan pengumuman yang meliputi antara lain:
a. status mutu air;
b. bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem;
c. sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya;
d. dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau
e. langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan
upaya pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian
pencemaran air.
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Laporan dimaksud dibuat sesuai dengan format terminal data
(data base) pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Air limbah dari suatu usaha dan atau kegiatan tertentu dapat
dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanaman tertentu dengan cara
aplikasi air limbah pada tanah (land aplication), namun dapat berisiko
terjadinya pencemaran terhadap tanah, air tanah, dan atau air.
© Legal Agency
- 28 -
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung
jawab atas suatu rencana usaha atau kegiatan yang akan
dilaksanakannya.
Aplikasi pada tanah perlu dilakukan penelitian terlebih dahulu
secara spesifik berkenaan dengan kandungan dan debit air limbah,
sifat dan luasan tanah areal pertanaman yang akan diaplikasi, dan
jenis tanamannya, untuk mengetahui cara aplikasi yang tepat
sehingga dapat mencegah pencemaran tanah, air tanah, dan air serta
penurunan produktivitas pertanaman.
Ayat (2)
Persyaratan penelitian dimaksud merupakan persyaratan
minimal yang harus dipenuhi. Oleh karena itu maka persyaratan lain
berdasarkan penelitian yang dianggap perlu dimungkinkan untuk
ditambahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Pedoman pengkajian meliputi, antara lain, petunjuk mengenai
rencana penelitian, metode, operasi, dan pemeliharaan.
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Pembuangan air limbah adalah pemasukan air limbah secara
pelepasan (discharge) bukan secara dumping dan atau pelepasan
dadakan (shock discharge).
Pembuangan air limbah yang berupa sisa dari usaha dan atau
kegiatan penambangan, seperti misalnya "air terproduksi" (produced
water), yang akan dikembalikan ke dalam formasi asalnya juga wajib
menaati baku mutu air limbah yang ditetapkan secara spesifik untuk
jenis air limbah tersebut.
© Legal Agency
- 29 -
Air yang keluar dari turbin pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
bukan merupakan sisa kegiatan PLTA, sehingga tidak termasuk dalam
ketentuan Pasal ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Masuknya air limbah ke dalam air dapat menurunkan kualitas
air tergantung beban pencemaran air limbah dan kemampuan air
menerima beban tersebut.
Air yang kondisi kualitasnya lebih baik dari baku mutu air
berarti masih memiliki kemampuan untuk menerima beban
pencemaran. Apabila beban pencemaran yang masuk melebihi
kemampuan air menerima beban tersebut maka akan menyebabkan
pencemaran air, yaitu kondisi kualitas air tidak memenuhi baku mutu
air.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Pengertian limbah padat termasuk limbah yang berwujud lumpur dan
atau slurry.
Contoh dari pembuangan limbah padat misalnya pembuangan atau
penempatan material sisa usaha dan atau kegiatan penambangan
berupa tailing, ke dalam air dan atau sumber air.
Contoh dari pembuangan gas misalnya memasukkan pipa pembuangan
gas yang mengandung unsur pencemar seperti Ammonium dan atau
uap panas ke dalam air dan atau pada sumber air.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Contoh kebijakan insentif antara lain dapat berupa
pengenaan biaya pembuangan air limbah yang lebih murah dari tarif
baku, mengurangi frekuensi swapantau, dan pemberian penghargaan.
© Legal Agency
- 30 -
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Hal tertentu yang dimaksud antara lain daerah belum mampu
melakukan pengawasan sendiri, belum ada pejabat pengawas
lingkungan daerah, belum tersedianya sarana dan prasarana atau
daerah tidak melakukan pengawasan.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Pemotretan/rekaman visual sepanjang tidak
membahayakan keamanan usaha dan atau kegiatan yang
bersangkutan, seperti kilang minyak dan petro kimia.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
© Legal Agency
- 31 -
Pasal 49
Paksaan pemerintahan adalah tindakan untuk mengakhiri terjadinya
pelanggaran, menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh
pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan dan
atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan yang bersangkutan. Atau tindakan tersebut di atas dapat
diganti dengan uang paksa (dwangsom).
Pasal 50
Ayat (1)
Pengaturan ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum
lingkungan hidup yang disebut asas pencemar membayar. Selain
diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan atau perusak
lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan
tindakan hukum tertentu, misalnya perintah untuk :
a. memasang atau memperbaiki unit pengolahan limbah
sehingga limbah sesuai dengan baku mutu lingkungan hidup
yang ditentukan;
b. memulihkan fungsi lingkungan hidup;
c. menghilangkan atau memusnahkan penyebab timbulnya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Tindakan tertentu yang dimaksud antara lain melakukan
penyelamatan dan atau tindakan penanggulangan dan atau pemulihan
lingkungan hidup. Tindakan pemulihan mencakup kegiatan untuk
mencegah timbulnya kejadian yang sama dikemudian hari.
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
© Legal Agency
- 32 -
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
© Legal Agency
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : KEP-51/MENLH/10/1995
TENTANG
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang
setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi
untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasan industri;
2. Baku Mutu Limbah Cair Industri adalah batas maksimum limbah cair yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
3. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri
yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan;
4. Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit, kadar
dan beban pencemaran;
5. Debit Maksimum adalah debit tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;
6. Kadar Maksimum adalah kadar tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke
lingkungan;
7. Beban Pencemaran Maksimum adalah beban tertinggi yang masih diperbolehkan
dibuang ke lingkungan
SALINAN
Pasal 2
(2) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini, ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar, kecuali jenis
industri pestisida formulasi pengemasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir
20 dan butir 21 pasal ini ditetapkan berdasarkan kadar.
(3) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
yang :
a. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya Keputusan ini, berlaku Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran B selambat-lambatnya
tanggal 1 Januari tahun 2000.
b. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan
beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair
lampiran A dan wajib memenuhi Baku Mutu Limbah Cair Lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000.
(4) Bagi jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
yang tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya
keputusan ini, maka berlaku baku mutu limbah cair sebagaimana tersebut dalam
Lampiran B.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimanan tersebut dalam Lampiran Keputusan ini setiap
saat tidak boleh dilampaui.
(6) Perhitungan tentang debit limbah cair maksimum dan beban pencemaran maksimum
adalah sebagaimana tersebut dalam lampiran D Keputusan ini.
(7) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau
secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Menteri setelah berkonsultasi dengan Menteri lain dan/atau pimpinan lembaga
pemerintah non departemen yang bersangkutan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
untuk jenis-jenis industri di luar jenis-jenis industri sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1).
(2) Selama Baku Mutu Limbah Cair sebagaiman dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
belum ditetapkan, Gubernur dapat menggunakan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran C Keputusan ini.
(3) Gubernur dapat melakukan penyesuaian jumlah parameter sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(4) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan diluar parameter yang tercantum
dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaiman tersebut dalam Lampiran A dan B
keputusan ini, setelah mendapat persetujuan Menteri.
SALINAN
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu LImbah Cair lebih ketat atau sama
dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan
ini, maka berlaku Baku Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini.
Pasal 5
Pasal 6
Setiap penanggung jawab kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
Keputusan ini wajib :
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair yang kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit
harian limbha cair tersebut;
d. Tidak melakukan pengeceran limbah cair, termasuk mencampurkan buangan air
bekas pendingin ke dalam aliran pembuangan limbah cair ;
e. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut
dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam
sebulan.
f. Memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
g. Melakukan pencatatan produksi bulanan senyatanya.
h. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian, kadar parameter Baku Mutu
Limbah Cair, produksi bulanan senyatanya sebagaimana dimaksud dalam huruf c, e, g
sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada Kepala Bapedal, Gubernur, instansi
teknis yang membidangi industri lain yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
SALINAN
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5 Keputusan ini dan Persyaratan
Pasal 26 Peraturan Pemerintahan Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder
Ordonnantie).
Pasal 8
Apabila jenis-jenis kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan sebelum keputusan ini :
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku
Mutu Limbah Cair dalam Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah
ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Dengan berlakunya keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Nomor : KEP-03/MENKLH/II/1991 tentang Baku Mutu Limbah Cair
Bagi Kegiatan Yang Sudah Beroperasi dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 10
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
SALINAN
PROSES
PROSES RAKSA (Hg) MEMBRAN/DIAFRAGMA
PARAMETER KADAR BEBAN KADAR BEBAN
MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
(mg/L) MAKSIMUM (mg/L) MAKSIMUM
(Kg/ton)
COD 150 1,5 kg/ton 150 1,5
TSS 50 0,5 kg/ton 50 0,5
Raksa (Hg) 0,005 0,05 g/ton - -
Timbal (Pb) - - 3,0 0,03
Tembaga (Cu) - - 0,3 0,003
Seng (Zn) - - 2,0 0,02
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 10 m per ton produk soda kostik 10 m3 per ton produk soda kostik
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan
dalam kg atau gram parameter per ton produk soda kostik.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan
dalam gram parameter per m2 produk pelapisan logam.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton bahan baku (penggaraman kulit mentah).
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
milligram parameter per Liter air Limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per tom produk minyak sawit.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pulp dan atau kertas kering.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
milligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk karet kering.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk gula.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
milligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tapioka.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk pupuk urea.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk ethanol.
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk MSG.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg atau gram parameter per ton m3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
4. 2,8 m3 air limbah per m3 produk = 10 m3 air limbah per 3,6 m3 produk dengan
ketebalan 3,6 milimeter.
SALINAN
Catatan :
1. Pabrik Susu Dasar : menghasilkan susu cair, susu kental manis dan atau susu
bubuk
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produk susu, keju, mentega dan atau es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg ke parameter per ton total padatan susu atau produk susu.
SALINAN
3
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM (gram/m )
DENGAN DENGAN TANPA TANPA
KADAR PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN PENCUCIAN
PARAMETER MAKSIMUM BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN BOTOL DAN
( mg/L ) DENGAN TANPA DENGAN TANPA
PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN PEMBUATAN
SIROP SIROP SIROP SIROP
BOD5 100 600 500 300 200
TSS 90 540 450 270 180
Minyak dan Lemak 12 72 60 36 24
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
5 L pper 5 L pper 3 L pper 2 L pper
L produk L produk L produk L produk
Debit Limbah Maksimum minuman minuman minuman minuman
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk minuman ringan yang
dihasilkan.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk sabun atau minyak atau diterjen.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg parameter per hektoliter produk bir.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam miligram parameter per kg produk baterai yang dihasilkan.
SALINAN
BEBAN
KADAR PENCEMARAN
PARAMETER MAKSIMUM MAKSIMUM
3
( mg/L ) (gram/m )
BOD5 100 80
TSS 60 48
Merkuri (Hg) 0,015 0,012
Seng (Zn) 1,5 1,2
Timbal (Pb) 0,40 0,32
Tembaga (Cu) 1,0 0,80
+6
Krom Heksavalen (Cr ) 0,25 0,20
Titanium (Ti) 0,5 0,40
Kadmium (Cd) 0,10 0,08
Fenol 0,25 0,20
Minyak dan Lemak 15 12
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah Maksimum 0,8 L per L produk cat water base
Zero Discharge untuk cat solvent base
Catatan :
1. Solvent – Based Cat harus Zero Discharge ; semua limbah cair yang dihasilkan
harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh dibuang di perairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk cat.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kilogram per ton produk pestisida.
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram/ton )
TSS 25 75,0
Cl2 tersisa (Khlor) 0,5 1,5
Tembaga (Cu) 1,0 3,0
Timbal (Pb) 0,8 2,4
Seng (Zn) 1,0 3,0
Krom Total (Cr) 0,5 1,5
Nikel (Ni) 1,2 3,6
Raksa (Hg) 0,004 0,01
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 3,0 m per ton produk soda kostik atau
3
Maksimum 3,4 m per ton Cl2
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per ton produk soda kostik.
SALINAN
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram/M2 )
TSS 20 0,4
Sianida Total (CN) tersisa 0,2 0,004
Krom Total (Cr) 0,5 0,010
Krom Heksavalen (Cr+6) 0,1 0,002
Tembaga (Cu) 0,6 0,012
Seng (Zn) 1,0 0,020
Nikel (Ni) 1,0 0,020
Kadmium (Cd) 0,05 0,001
Timabal (Pb) 0,1 0,002
pH 6,0 - 9,0
2
Debit Limbah 20 L per m produk pelapis logam
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m2 produk pelapisan logam.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram meter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum pada tabel diatas dinyatakan dalam kg per ton
bahan baku (penggaraman kulit mentah)
3. N Total jumlah N organik + Amonia Total + NO3 + NO2
SALINAN
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 100 0,25
COD 350 0,88
TSS 250 0,63
Minyak dan Lemak 25 0,063
Nitrogen Total (sbg N) 50,0 0,125
pH 6,0 - 9,0
2
Debit Limbah 2,5 m per ton produk minyak sawit (CPO)
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk minyak sawit (CPO)
3. Nitrogen Total ádalah jumlah Nitrogen Organik + Amonia Total + NO3 + NO2
SALINAN
PARAMETER
PROSES/ DEBIT BOD5 COD TSS
PRODUK Kadar Beban Kadar Beban Kadar Beban
Maksimum Pencemaran Maksimum Pencemaran Maksimum Pencemaran
Maksimum Maksimum Maksimum
( mg/ton ) ( kg/ ton ) ( mg/ton ) ( kg/ ton ) ( mg/ton ) ( kg/ ton )
A. PULP
Kraft dikelantang 85 100 8,5 350 29,75 100 8,5
Pulp larut 95 100 9,5 300 28,5 100 9,5
Kraft yang tidak 50 75 3,75 200 10,0 60 3,0
di kelantang
Mekanik (CMP 60 50 3,0 120 7,2 75 4,5
dan Grounwood)
Semi Kimia 70 100 7,0 200 14,0 100 7,0
Pulp Soda 80 100 8,0 300 24,0 100 8,0
De-ink Pulp (dari 60 100 6,0 300 18,0 100 6,0
kertas bekas)
B. KERTAS
Halus 50 100 5,0 200 10,0 100 5,0
Kasar 40 90 3,6 175 7,0 80 3,2
Sparet 175 60 10,5 100 17,5 45 7,8
Kertas yang 35 75 2,6 160 5,6 80 2,8
dikelantang
pH 6,0 - 9,0
Catatan :
A. PULP
1. Proses Kraft (dikelantang dan tidak dikelantang) adalah produksi pulp yang
menggunakan cairan pemasak natrium hidroksida yang sangat alkalis dan
natrium sulfida. Proses Kraft yang dikelantang digunakan pada produksi
kertas karton dan kertas kasar lain yang berwarna. Pengelantangan adalah
penggunaan bahan pengoksidasi kuat yang diikuti dengan ekstraksi alkali
SALINAN
untuk menghilangkan warna dari pulp, untuk suatu rentang produk kertas yang
lengkap.
2. Proses Pulp larut adalah produk pulp putih dan sangat murni dengan
menggunakan pemasakan kimiawi yang kuat. Pulpnya digunakan untuk
pembuatan rayon dan produk lain yang mensyaratkan hampir tidak
mengandung logam.
3. Proses grounwood adalah penggunaan defibrasi mekanis (pemisahan serat)
dengan menggunakan gerinda atau penghalus (refiners) dari batu. CMP
(proses pembuatan pulp kimia mekanis) menggunakan cairan pemasak kimia
untuk memasak kayu secara parsial sebelum pemisahan serta secara mekanik.
TMP (proses pembuatan pulp termo-mekanis) merupakan pemasakan singkat
dengan menggunakan kukus dan kadang-kadang bahan kimia pemasak,
sebelum tahap mekanis.
4. Proses semi kimia merupakan penggunaan cairan pemasak sulfit netral tanpa
pengelantangan untuk menghasilkan produk kasar untuk lapisan dalam karton
gelombang berwarna coklat.
5. Proses soda adalah produksi pulp dengan menggunakan cairan pemasak
natrium hidroksida yang sangat alkalis.
6. Proses penghilangan tinta (De-ink) merupakan salah satu proses pembuatan
kertas yang menggunakan kertas bekas yang didaur ulang melalui proses
penghilangan tinta dengan kondisi alkali dan kadang-kadang dibuat cerah atau
diputihkan untuk menghasilkan pulp sekunder, sering kali berkaitan dengan
proses konvensional.
B. KERTAS
1. Kertas halus berarti produksi kertas halus yang dikelantang seperti kertas
cetak dan kertas tulis.
2. Kertas besar berarti produksi kertas berwarna ciklat, seperti lineboard, kertas
karton berwarna coklat atau karton.
3. Kertas lain berarti produksi kertas yang dikelantang selain yang tercantum
dalam golongan halus, seperti kertas koran.
SALINAN
Proses Penyamakan
LATEKS PEKAT Menggunakan Daun-daunan
KADAR BEBAN KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton ) ( mg/L produk) ( kg/ton )
BOD5 100 4 60 2,4
COD 250 10 200 8
TSS 100 4 100 4
Amonia Total (sebagai NH3-N) 15 0,6 5 0,2
Nitrogen Total (sebagai N) 25 1,0 10 0,4
pH 6,0 - 9,0 6,0 - 9,0
3 3
Debit Limbah 40 m / ton produk karet 40 m / ton produk karet
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk karet kering atau lateks
padat
3. Nitrogen Total jumlah N Organik + Amonia Total + NO3 + NO2
SALINAN
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 60 0,3
COD 100 0,5
TSS 50 0,25
Minyak dan Lemak 5 0,025
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0025
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 5,0 m per ton produk gula
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk gula.
3. Debit limbah cair maksimum tidak termasuk air injeksi dan air pendingin.
SALINAN
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 150 4,5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 30 m per ton produk tapioka
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tapioka.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk tekstil.
SALINAN
Catatan :
1. Pengukuran beban limbah cair dilakukan pada satu saluran pembuangan akhir.
2. Beban limbah cair (kg/ton produk) = konsentrasi tiap parameter x debit limbah.
3. Beban limbah cair industri amoniak, berlaku pula untuk industri pupuk urea dan
pupuk nitrogen lain yang memproduksi kelebihan amoniak.
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 100 1,5
COD 300 4,5
TSS 100 1,5
Sulfida (sbg S) 0,5 0,0075
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 15 m per ton produk tapioka
Maksimum
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg per ton produk ethanol.
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( kg/ton )
BOD5 80 9,6
COD 150 18,0
TSS 100 12,0
pH 6,0 - 9,0
3
Debit Limbah 120 m per ton produk MSG
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas
dinyatakan dalam kg parameter per ton produk MSG.
SALINAN
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram/m3 produk)
BOD5 75 22,5
COD 125 37,5
TSS 50 15
Fenol 0,25 0,08
Amonia Total ( sbg N ) 4 1,2
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 0,30 m3 per m3 produk kayu lapis
Maksimum
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk kayu lapis.
3. 1000 m2 produk = 3,6 m3 produk dengan ketebalan 3,6 milimeter.
Catatan :
1. Pabrik susu dasar menghasilkan susu cair dan krim, susu kental manis dan atau
susu bubuk.
2. Pabrik terpadu : menghasilkan produksi dari susu seperti keju, mentega dan atau
es krim.
3. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakn dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
4. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kg per ton total padatan susu atau produk susu.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk minuman ringan yang
dihasilkan
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk sabun, minyak nabati dan
diterjen.
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( m g/L ) ( gram / hektoliter )
BOD5 40 24,0
COD 100 60,0
TSS 40 24,0
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 6 hektoliter per hektoliter bir
Maksimum
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram hektoliter produk bir.
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter diatas dinyatakan dalam
miligram parameter per kg produk baterai.
SALINAN
KADAR BEBAN
PARAMETER MAKSIMUM PENCEMARAN
MAKSIMUM
( mg/L ) ( gram / M3 )
BOD5 80 40
TSS 50 25
Merkuri (Hg) 0,01 0,005
Seng (Zn) 1,0 0,50
Timbal (Pb) 0,30 0,15
Tembaga (Cu) 0,80 0,40
Krom Heksavalen (Cr+6) 0,20 0,10
Titanium (Ti) 0,40 0,20
Kadmium (Cd) 0,08 0,04
Fenol 0,20 0,10
Minyak dan Lemak 10 5
pH 6,0 - 9,0
Debit Limbah 0,5 L per L produk cat water base
Maksimum Zero Discharge untuk cat solvent base
Catatan :
1. Solvent-Based Cat harus Zero Discharge ; semua limbah cair yang dihasilkan
harus ditampung atau diolah kembali dan tidak boleh di buang diperairan umum.
2. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
3. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam gram parameter per m3 produk cat.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
SALINAN
Catatan :
1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam
miligram parameter per Liter air limbah.
2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas
dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk pestisida.
SALINAN
GOLONGAN BAKU
NO PARAMETER SATUAN MUTU LIMBAH CAIR
I II
FISIK
1 Temperatur der. C 38 40
2 Zat padat larut mg / L 2000 4000
3 Zat padar tersuspensi mg / L 200 400
KIMIA
1 pH 6,0 sampai 9,0
2 Besi terlarut (Fe) mg / L 5 10
3 Mangan terlarut (Mn) mg / L 2 5
4 Barium (Ba) mg / L 2 3
5 Tembaga (Cu) mg / L 2 3
6 Seng (Zn) mg / L 5 10
+6
7 Krom Heksavalen (Cr ) mg / L 0,1 0,5
8 Krom Total (Cr) mg / L 0,5 1
9 Cadmium (Cd) mg / L 0,05 0,1
10 Raksa (Hg) mg / L 0,002 0,005
11 Timbal (Pb) mg / L 0,1 1
12 Stanum mg / L 2 3
13 Arsen mg / L 0,1 0,5
14 Selenum mg / L 0,05 0,5
15 Nikel (Ni) mg / L 0,2 0,5
16 Kobalt (Co) mg / L 0,4 0,6
17 Slanida (CN) mg / L 0,05 0,5
18 Sulfida (H2S) mg / L 0,05 0,1
19 Fluorida (F) mg / L 2 3
20 Klorin bebas (Cl2) mg / L 1 2
21 Amonia bebas (NH3-N) mg / L 1 5
22 Nitrat (NO3-N) mg / L 20 30
23 Nitrit (NO2-N) mg / L 1 3
24 BOD5 mg / L 50 150
25 COD mg / L 100 300
26 Senyawa aktif biru metilen mg / L 5 10
27 Fenol mg / L 0,5 1
28 Minyak Nabati mg / L 5 10
29 Minyak Mineral mg / L 10 50
30 Radioaktivitas **) mg / L - -
SALINAN
Catatan :
*) Untuk memenuhi baku mutu limbah cair tersebut kadar parameter limbah tidak
diperbolehkan dicapai dengan cara pengenceran dengan air secara langsung diambil
dari sumber air kadar parameter limbah tersebut adalah limbah maksimum yang
diperbolehkan .
**) Kadar radioaktivitas mengikuti peraturan yang berlaku.
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNAGN HIDUP
NOMOR : KEP-52/MENLH/X/1995
TENTANG
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL,
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3, 4, 5 adalah
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Bagi kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
SALINAN
(3) Bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap
perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini
berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;
(4) Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala
sekurang-kuranngnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak
diberikan tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebuut dianggap
disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama
dengan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu
Limbah Cair seperti dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah
Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
SALINAN
Pasal 4, maka untuk kegiatan hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan;
b. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak
terjadi perembesan limbah cair ke lingkungan;
c. Memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit
harian limbah cair tersebut;
d. Memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
f. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan e sekurang-
kurangnya tiga bulan sekali kepada Bapedal, Gubernur, dan instansi teknis yang
membidangi hotel, dan instansi lain yang dianggap perlu sesuai dengan
perundang-undangan yang belaku.
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan persyaratan
Pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang Gangguan (Hinder Ordonantie).
Pasal 8
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini :
1. Baku Mutu Cair lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku ;
SALINAN
2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgat daripada Baku Mutu Limbah Cair
sebagimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini wajib disesuaikan dengan
Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum dalam Lampiran Keputusan in
selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
Ttd
Hambar Martono
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 52 Tahun 1995
Tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Hotel
Menimbang: 1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi dan
kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian
terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
2. bahwa kegiatan hotel mempunyai potensi menimbulkan pencemaran lingkungan
hidup, oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah
cair dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
3. bahwa untuk melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah
ditetapkan dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian pencemaran Air, perlu ditetapkan lebih lanjut dengan keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu limbah Cair Bagi Kegiatan
Hotel;
Mengingat: 1. Undang-undang Gangguan (Hinder ordonantie) Tahun 1926, stbl. Nomor 226,
setelah diubah dan ditambah terakhir dengan stbl. 1940 Nomor 14 dan Tahun 450;
2. Undang-undang Nomor Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38 Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046)
3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Negara Nomor 3046)
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor
38.Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215)
5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata (Lembaran Negara
Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1979 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintah Dalam Bidang Kepariwisataan kepada Daerah Tingkat I
(Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3144);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air ( Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3409);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis mengenai Dampak
Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan Lembaran
Negara Tahun 1993 nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
9. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M tahun 1993 tentang
Pembentukan Kabinet Pembangunan VI);
10. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang kedudukan,
Tugas pokok, Fungsi dan Tata Kerja Menteri Negara serta Susunan organisasi staf
Menteri Negara ;
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Hotel adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk
menyediakan jasa pelayanan penginapan yang dikelola secara komersial yang meliputi hotel
berbintang dan hotel melati.
2. Hotel berbintang adalah jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan
yang untuk menyediakan jasa pelayanan penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi
umum.
3. Baku Mutu Limbah cair Hotel Adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke
lingkungan.
4. Limbah Cair Hotel adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh kegiatan hotel yang
dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan.
5. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup. Bapedal adalah Badan
Pengendalian Dampak Lingkungan.
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus ibukota, atau
Gubernur Kepala Daerah Istimewa.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan hotel meliputi hotel berbintang 3 ,4 ,5 adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Bagi Kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang :
1. telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi telah dikeluarkannya
keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran A dan
wajib memenuhi Baku mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam lampiran B selambat-
lambatnya tanggal 1 Januari tahun 2000;
2. tahap perencanaan dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperasi setelah
dikeluarkannya keputusan ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair Lampiran A dan wajib memenuhi
Baku Mutu Limbah cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B selambat-lambatnya tanggal
1 Januari tahun 2000;
3. Bagi kegiatan hotel sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini yang tahap perencanaannya
dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini berlaku Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran B;
4. Baku Mutu Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditinjau secara berkala sekurang-
kurangnya sekali dalam lima tahun.
Pasal 3
(1) Gubernur setelah mendapat persetujuan Menteri dapat menetapkan parameter tambahan di luar
parameter yang tercantum dalam Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran
keputusan ini.
(2) Menteri memberikan tanggapan dan atau persetujuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan
tanggapan dan atau persetujuan, maka permohonan tersebut dianggap disetujui.
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dari ketentuan sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran keputusan ini, maka berlaku Baku Mutu
Limbah Cair seperti dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Analis mengenai dampak lingkungan kegiatan hotel mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair Lebih ketat
atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, maka untuk kegiatan
hotel tersebut ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis
mengenai dampak lingkungan.
Pasal 6
(1) Setiap penanggung jawab kegiatan hotel wajib untuk:
1. melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang dibuang ke lingkungan tidak
melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang ditetapkan;
2. membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan limbah cair ke lingkungan;
3. memasang alat ukur debit atau alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian limbah
cair tersebut;
4. memisahkan saluran pembuangan limbah cair dengan saluran limpahan air hujan;
5. memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran
keputusan ini secara periodik sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan;
6. menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan e sekurang-kurangnya tiga bulan sekali kepada
Bapedal, Gubernur, dan isntansi teknis yang membidangi hotel, dan instansi lain yang dianggap
perlu sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 7
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Keputusan ini dan persyaratan Pasal 26
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air Wajib dicantumkan
dalam izin Undang-undang gangguan (Hinder Ordonantie)
Pasal 8
(1) Apabila Baku Mutu Limbah Cair kegiatan hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah
ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair
seperti yang tercantum dalam Lampiran keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 9
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Oktober 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 52 TAHUN 1995 TANGGAL 23 OKTOBER 1995
BAKU MUTU LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN HOTEL
Menimbang : 1. bahwa untuk melestarikan lingkungan hidup agar tetap bermanfaat bagi hidup
dan kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya perlu dilakukan
pengendalian terhadap pembuangan limbah cair ke lingkungan;
2. bahwa kegiatan rumah sakit mempunyai potensi menghasilkan limbah yang
dapat menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair yang dibuang ke
lingkungan dengan menetapkan Baku Mutu Limbah Cair bagi kegiatan
Rumah Sakit;
3. bahwa sehubungan dengan huruf a dan b tersebut di atas dan untuk
melaksanakan pengendalian pencemaran air sebagaimana telah ditetapkan
dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah
Sakit;
MEMUTUSKAN
Pasal 1
Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Rumah Sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan
kesehatan serta dapat berfungsi sebagai tempat pendidikan tenaga kesehatan dan
penelitian;
2. Limbah cair adalah semua bahan buangan yang berbentuk cair yang kemungkinan
mengandung mikroorganisme pathogen, bahan kimia beracun, dan radioaktivitas;
3. Baku Mutu Limbah cair Rumah Sakit adalah batas maksimal limbah cair yang
diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari suatu kegiatan rumah sakit;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup;
5. Bapedal adalah badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
6. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan rumah sakit adalah sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini.
(2) Baku Mutu limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditinjau secara
berkala sekurang-kurangya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 3
Bagi setiap rumah sakit yang:
1. Telah beroperasi sebelum dikeluarkannya keputusan ini, berlaku baku Mutu Limbah cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran A dan wajib memenuhi Baku mutu limbah cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari 2000;
2. Tahap perencanaannya dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan ini, dan beroperaasi
setelah dikeluarkannya keputusan ini, berlaku baku Mutu Limbah Cair lampiran A dan wajib
memenuhi Baku Mutu Limbah cair lampiran B selambat-lambatnya tanggal 1 Januari tahun
2000;
3. Tahap perencanaannya dilakukan dan beroperasi setelah dikeluarkannya keputusan ini
berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran B.
Pasal 4
Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter Baku mutu Limbah cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini setelah mendapat persetujuan:
1. Menteri dan menteri yang membidangi rumah sakit untuk parameter nonradioaktivitas
2. Menteri dan Direktur Jenderal Bidang Atom nasional untuk parameter radioaktivitas.
3. Tanggapan dan/atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diberikan
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya
permohonan.
4. Apabila dalam jangka waktu senagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini tidak diberikan
tanggapan dan/atau persetujuan, maka permohonan dianggap telah disetujui.
Pasal 5
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah cair lebih ketat dari ketentuan
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan baku Mutu limbah cair lebih ketat atau sama dengan
baku Mutu limbah Cair sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini, maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan kegiatan rumah sakit mensyaratkan baku Mutu
limbah cair lebih ketat dari Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(1) dan/atau pasal 5 ayat (1), maka bagi kegiatan rumah sakit tersebut berlaku Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab kegiatan atau pengelola rumah sakit wajib:
1. Melakukan pengelolaan limbah cair sebelum dibuang ke lingkungan sehingga mutu limbah
cair yang dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang telah
ditetapkan;
2. Membuat saluran pembuangan limbah cair tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan ke tanah serta terpisah dengan saluran limpahan air hujan;
3. Memasang alat ukur debit laju alir limbah cair dan melakukan pencatatan debit harian
limbah cair tersebut;
4. Memeriksakan kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam
lampiran keputusan ini kepada laboratorium yang berwenang sekurang-kurangnya satu kali
dalam sebulan;
5. Menyampaikan laporan tentang catatan debit harian dan kadar parameter baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud huruf c dan d sekurang-kurangnya tiga bulan sekali
kepada Gubernur dengan tembusan Menteri, Kepala Bapedal, Direktur Jenderal Badan
Tenaga Atom Nasional, instansi teknis yang membidangi rumah sakit serta instansi lain
yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Pasal 8
(1) Bagi kegiatan rumah sakit yang menghasilkan limbah cair yang mengandung atau terkena
zat radioaktif pengelolanya dilakukan sesuai dengan ketentuan Badan Tenaga Atom
Nasional.
(2) Komponen parameter radioaktivitas yang diberlakukan bagi rumah sakit sesuai dengan
bahan radioaktif yang dipergunakan oleh rumah sakit yang bersangkutan.
(3) Bagi rumah sakit yang tidak menggunakan bahan radiokatif dalam kegiatannya, tidak
diberlakukan kelompok parameter radioaktivitas dalam pemeriksaan limbah cair rumah
sakit yang bersangkutan
Pasal 9
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau pasal 6 Keputusan ini, dan
persyaratan dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1990 tentang
Pengendalian pencemaran Air Wajib dicantumkan dalam izin Undang-undang gangguan
(Hinder Ordinnantie).
Pasal 10
Apabila baku Mutu limbah Cair bagi kegiatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
1. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam lampiran keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
2. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu Limbah cair sebagaimana
tersebut dalam lampiran keputusan ini wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair
dalam Keputusan ini selambat-lambatnya satu tahun setelah ditetapkannya keputusan ini.
Pasal 11
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Desember 1995
Menteri Negara Lingkungan Hidup
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN A
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
LAMPIRAN B
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 58 TAHUN 1995 TANGGAL 21 DESEMBER 1995
Menimbang:
a. bahwa untuk melestarikan fungsi dan tatanan lingkungan hidup agar
tetap bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk
hidup lainnya perlu dilakukan pengendalian terhadap pembuangan
limbah cair ke lingkungan;
b. bahwa tindak lanjut ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air, perlu
ditetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas dipandang perlu
menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas
Bumi;
Mengingat :
1. Mijnpolitie Reglement 1930 (Stbld. 1930 Nomor 341);
2. Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Lembaran
Negara Tahun 1960 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2070);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintah di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
4. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran
Negara Tahun 1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3046);
5. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan
Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di
Daerah Lepas Pantai (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3031);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan
Kerja Pada Pemurnian dan Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi
(Lembaran Negara Nomor 18 Tahun 1979, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3135);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 24, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3409);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai
(Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3445);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 8538);
11. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96/M Tahun 1993
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI;
12. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1993 tentang
Kedudukan, Tugas Pokok, Fungsi dan tata Kerja Menteri Negara Serta
Susunan Organisasi staf Menteri Negara;
13. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 1994 tentang
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Eksplorasi adalah segala cara penyelidikan geologi pertambangan
untuk menetapkan adanya dan keadaan bahan-bahan galian minyak
dan gas serta panas bumi.
2. Eksploitasi adalah pekerjaan pertambangan dengan maksud untuk
menghasilkan bahan-bahan galian minyak dan gas serta panas bumi
dengan jalan yang lazim;
3. Pengilangan minyak adalah usaha memproses minyak dan gas bumi di
daratan atau di daerah lepas pantai dengan cara mempergunakan
proses fisika, kimia guna memperoleh dan mempertinggi mutu bahan-
bahan galian minyak dan gas serta panas bumi yang dapat digunakan;
4. Depot adalah tempat kegiatan penerimaan, penimbunan dan
penyaluran kembali Bahan Bakar Minyak (BBM) yang penerimaan /
penyalurannya dilaksanakan dengan menggunakan sarana angkutan
pengairan (sungai, laut) sistem pipa, mobil tangki/bridgen dan Rail
Tank Wagon (RTW);
5. Baku Mutu Limbah cair Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
adalah batas kadar dan jumlah unsur pencemar yang ditenggang
adanya dalam limbah cair untuk dibuang dan kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi;
6. Limbah Cair adalah limbah dalam bentuk cair yang dihasilkan oleh
kegiatan dibidang minyak dan gas serta panas bumi yang dibuang ke
lingkungan dan berpotensi menurunkan kualitas lingkungan;
7. Debit maksimum limbah cair adalah debit tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
8. Kadar maksimum limbah cair adalah kadar tertinggi yang masih
diperbolehkan dibuang ke lingkungan;
9. Beban pencemaran maksimum adalah beban tertinggi yang masih
diperbolehkan di buang ke lingkungan;
10. Bapedal adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan;
11. Instansi teknis ada instansi yang bertanggung jawab di bidang
kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi;
12. Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala
Daerah Khusus Ibukota dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa;
13. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair bagi jenis kegiatan Minyak dan Gas serta
Panas Bumi:
a. Eksplorasi dan produksi migas adalah sebaga tersebut dalam
Lampiran I dan II;
b. Eksplorasi dan produksi panas bumi adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran III;
c. Pengilangan minyak bumi adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran IV dan V;
d. Pengilangan LNG dan LPG adalah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran VI;
e. Instalasi, depot dan terminal minyak adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran VII;
(2) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditetapkan berdasarkan kadar, kecuali jenis kegiatan pengilangan
minyak bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c pasal ini
ditetapkan berdasarkan beban pencemaran dan kadar.
Pasal 3
Bagi jenis kegiatan:
a. Eksplorasi dan produksi migas yang:
1) Telah beroperasi sebelum ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagammana dimaksud dalam
Lampiran I;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Lmmbah Cair sebagaimana dimaksud dalam
lampiran I;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setelah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran II;
4) Apabila menggunakan fasilitas pengolahan yang lama untuk
kegiatan pengembangan kilang Migas, berlaku Baku Mutu
Limbab Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I;
b. Pengilangan minyak bumi yang:
1) Telah beroperasi sebelum dmtetapkan keputusan ini, berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
2) Tahap perencanaannya dilakukan sebelum ditetapkan keputusan
ini dan beroperasi setelah ditetapkan keputusan ini berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
IV;
3) Tahap perencanaannya dilakukan setetah ditetapkan keputusan
ini, berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran V;
Pasal 4
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setiap saat tidak boleh dilampaui.
Pasal 5
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan
in ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5(lima) tahun.
Pasal 6
(1) Gubernur dapat menetapkan parameter tambahan di luar parameter
yang tercantum dalam Iampiran keputusan ini setelah mendapat
persetujuan dan Menteri.
(2) Menteri mengeluarkan keputusan mengenai parameter tambahan
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan instansi teknis yang
bersangkutan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan selambat
lambatnya 4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan
persetujuan.
(4) Apabila telah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) tidak diberikan keputusan, maka dianggap Menteri telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 7
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan
ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
setelah berkonsultasi dengan Menteri dan Instansi teknis yang
bersangkutan.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini maka berlaku Baku
Mutu Limbah Cair seperti tersebut dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
Apabila analisis mengenai dampak lingkungan bagi kegiatan Minyak dan Gas
serta Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mensyaratkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana dimaksud dalam lampiran keputusan ini, maka untuk kegiatan
tersebut berlaku Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana yang dipersyaratkan
oleh analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 9
Setiap penanggungjawab kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib untuk:
a. Melakukan pengelolaan limbah cair sehingga mutu limbah cair yang
dibuang ke lingkungan tidak melampaui Baku Mutu Limbah Cair yang
telah ditetapkan.
b. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan melakukan
pencatatan debit harian limbah cair tersebut khusus untuk kegiatan
pengilangan Migas.
c. Memeriksa kadar parameter Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Keputusan ini secara periodik sekurang
kurangnya 1 (satu) kali dalam sebulan.
d. Menyampaikan laporan tentang pencatatan debit harian khusus
kegiatan Pengilangan Migas dan kadar parameter Baku Mutu Limbah
Cair sebagaimana dimaksud dalam huruf b dan c sekurang-kurangnya
3 (tiga) bulan sekali kepada Gubernur, Kepala Bapedal, Menteri dan
instansi teknis serta pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 10
Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dicantumkan
ke dalam izin yang dianggap relevan untuk pengendalian pencemaran bagi
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan ini.
Pasal 11
Apabila Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) telah ditetapkan sebelum keputusan ini:
a. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini
dinyatakan tetap berlaku;
b. Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dan Baku Mutu Limbah Cair
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan ini, wajib
disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair seperti yang tercantum
dalam Lampiran Keputusan ini selambat-lambatnya 1 (satu) tahun
setelah ditetapkan Keputusan ini.
Pasal 12
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Di tetapkan di : Jakarta
Pada tanggal 9 Oktober 1996
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd,
Sarwono Kusumaatmadja
ttd
Hambar Martono
LAMPIRAN I
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN II
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN IV
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
LAMPIRAN VI
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NO. 42 TAHUN 1996 TANGGAL 9 OKTOBER 1996
______________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 9 Tahun 1997
Tentang : Perubahan Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun 1996 Tentang :
Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Minyak Dan Gas
Serta Panas Bumi
Menimbang :
c. bahwa kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran lingkungan hidup, oleh karena itu perlu
dilakukan pengendalian terhadap pembuangan limbah cair dengan
menetapkan Baku Mutu Limbah Cair;
Mengingat :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU
LIMBAH CAIR BAGI KEGIATAN MINYAK DAN GAS SERTA PANAS BUMI.
Pasal I
Pasal II
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal: 22 Appril 1997
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
__________________________________
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
No. 3 Tahun 1998
Tentang : Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan
Industri
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU
MUTU LIMBAH CAIR BAGI KAWASAN INDUSTRI
Pasal 1
Pasal 2
(1) Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kawasan Industri yang telah
mempunyai Unit Pengolah Limbah Terpusat adalah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran I Keputusan ini.
(5) Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini ditinjau secara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam
5 (lima) tahun.
Pasal 3
Pasal 4
(1) Gubernur dapat menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih ketat
dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini.
(2) Apabila Gubernur tidak menetapkan Baku Mutu Limbah Cair lebih
ketat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal ini maka berlaku
Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
Pasal 5
Pasal 6
c. Memasang alat ukur debit atau laju alir limbah cair dan
melakukan pencatatan debit harian limbah cair tersebut;
Pasal 7
Pasal 8
(a) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih ketat atau sama dengan Baku
Mutu Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I
Keputusan ini dinyatakan tetap berlaku;
(b) Baku Mutu Limbah Cairnya lebih longgar dari pada Baku Mutu
Limbah Cair sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini
wajib disesuaikan dengan Baku Mutu Limbah Cair sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini selambat-lambatnya 1
(satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 9
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Menteri Negara Lingkungan
Hidup,
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
LAMPIRAN I
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
Ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
LAMPIRAN II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 03/MENLH/1998
Tanggal : 15 Januari 1998
Penerapan baku mutu limbah cair pada pembuangan limbah cair melalui penetapan
beban pencemaran maksimum sebagaimana tercantum dalam lampiran I
berdasarkan pada jumlah unsure pencemar yang terkandung dalam aliran limbah
cair. Untuk itu digunakan perhitungan sebagai berikut :
1. Beban Pencemaran Maksimum
BPM = (Cm)j x Dm x A x f . . . . . . . . . . . . . . . . (II.1.1)
Keterangan :
BPM = Beban Pencemaran maksimum yang diperbolehkan,
dinyatakan dalam kg parameter per hari.
(Cm)j = Kadar maksimum parameter j seperti tercantum dalam
lampiran I Keputusan ini, dinyatakan dalam mg/l.
Dm = Debit Limbah cair maksimum seperti tercantum dalam
lampiran I, dinyatakan dalam L limbah cair per detik per
hectare.
A = Luas lahan kawasan yang terpakai, dinyatakan dalam hectare
(HA).
f = factor konversi = 1 kg * 24 x 3600 detik = 0,086 …
(II.1.2)
1.000.000 mg hari
3. Evaluasi
Penilaian beban pencemaran adalah :
BPA tidak boleh melewati BPM
4. Contoh penerapan
Data yang diambil dari lapangan untuk penerapan Baku Mutu Limbah Cair
Kawasan Industri adalah :
- Luas areal kawasan industri yang terbangun (A) [hectare, HA]
- Kadar sebenarnya (CA) untuk setiap parameter [mg/l]
- Debit limbah hasil pengukuran (DA) [liter/detik]
Contoh perhitungan :
Suatu kawasan industri mempunyai luas lahan kawasan terpakai 1.500
hektare. Parameter dari Lampiran I yang akan dijadikan contoh perhitungan
adalah parameter (j) BOD.
Data lapangan
- Kadar BOD hasil pengukuran (CA) = 60 mg/liter
- Debit hasi pengukuran (DA) = 1.000 l/det
- Luas lahan Kawasan terpakai (A) = 1.500 HA
Dari contoh diatas BPA (5.160 kg/hari) lebih kecil dari pada BPM (6.450
kg/hari), jadi untuk parameter BOD kawasan tersebut memenuhi Baku Mutu
Limbah Cair.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 15 Januari 1998
ttd
Sarwono Kusumaatmadja
ttd.
Hambar Martono
______________________________________
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 112 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH DOMESTIK
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 82
Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka
dipandang perlu menetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Baku
Mutu Air Limbah Domestik;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR
LIMBAH DOMESTIK.
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real
estate), rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama;
2. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang
atau dilepas ke air permukaan;
3. Pengolahan air limbah domestik terpadu adalah sistem pengolahan air limbah yang dilakukan
secara bersama-sama (kolektif) sebelum dibuang ke air permukaan;
4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan pengendalian dampak
lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah domestik berlaku bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate),
rumah makan (restauran), perkantoran, perniagaan dan apartemen.
(2) Baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku untuk pengolahan air
limbah domestik terpadu.
Pasal 3
Baku mutu air limbah domestik adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 4
Baku mutu air limbah domestik dalam keputusan ini berlaku bagi :
a. semua kawasan permukiman (real estate), kawasan perkantoran, kawasan perniagaan, dan
apartemen;
b. rumah makan (restauran) yang luas bangunannya lebih dari 1000 meter persegi; dan
c. asrama yang berpenghuni 100 (seratus) orang atau lebih.
Pasal 5
Baku mutu air limbah domestik untuk perumahan yang diolah secara individu akan ditentukan kemudian.
Pasal 6
(1) Baku mutu air limbah domestik daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan
ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah domestik daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah domestik sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Keputusan ini.
Pasal 7
Apabila hasil kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau hasil kajian Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan dari usaha dan atau kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 mensyaratkan baku mutu air limbah domestik lebih ketat, maka diberlakukan baku mutu
air limbah domestik sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup atau Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan .
Pasal 8
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restauran),
perkantoran, perniagaan dan apartemen wajib :
a. melakukan pengolahan air limbah domestik sehingga mutu air limbah domestik yang dibuang ke
lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah domestik yang telah ditetapkan;
b. membuat saluran pembuangan air limbah domestik tertutup dan kedap air sehingga tidak terjadi
perembesan air limbah ke lingkungan.
c. membuat sarana pengambilan sample pada outlet unit pengolahan air limbah.
Pasal 9
(1) Pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat dilakukan secara
bersama-sama (kolektif) melalui pengolahan limbah domestik terpadu.
(2) Pengolahan air limbah domestik terpadu harus memenuhi baku mutu limbah domestik yang berlaku
Pasal 10
(1) Pengolahan air limbah domestik terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 menjadi tanggung
jawab pengelola.
(2) Apabila pengolahan air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjuk
pengelola tertentu, maka tanggung jawab pengolahannya berada pada masing-masing penanggung
jawab kegiatan
Pasal 11
Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dalam izin
pembuangan air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama.
Pasal 12
Menteri meninjau kembali baku mutu air limbah domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 secara
berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal 13
Apabila baku mutu air limbah domestik daerah telah ditetapkan sebelum keputusan ini :
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah domestik tersebut tetap berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini,
maka baku mutu air limbah domestik tersebut wajib disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun setelah ditetapkannya Keputusan ini.
Pasal 14
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
baku mutu air limbah domestik bagi usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan
(restauran), perkantoran, perniagaan, apartemen dan asrama yang telah ada, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Keputusan ini.
Pasal 15
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim,MPA,MSM.
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 113 TAHUN 2003
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU
KEGIATAN PERTAMBANGAN BATU BARA
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah serangkaian kegiatan
penambangan dan kegiatan pengolahan/pencucian batu bara;
2. Batu bara adalah bahan bakar hidrokarbon padat yang terbentuk dari tetumbuhan
dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang
berlangsung lama;
3. Kegiatan penambangan batu bara adalah pengambilan batu bara yang meliputi
penggalian, pengangkutan dan penimbunan baik pada tambang terbuka maupun
tambang bawah tanah;
5. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara adalah air yang berasal
dari kegiatan penambangan batu bara dan air buangan yang berasal dari kegiatan
pengolahan/pencucian batu bara;
6. Baku mutu air limbah batu bara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar
dan atau jumlah unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam air
limbah batu bara yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan;
7. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
2
8. Keadaan tertentu adalah keadaan terhentinya operasi pada sebagian atau seluruh
kegiatan sampai dimulainya kembali kegiatan operasi dan operasi percobaan awal
dalam usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara;
9. Kondisi cuaca tertentu adalah terjadinya curah hujan di atas kondisi normal pada
lokasi penambangan sesuai dengan data penelitian atau data meteorologi dalam
usaha dan kegiatan penambangan batu bara;
10. Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I Keputusan ini.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan/pencucian batu bara sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini setiap
saat tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu air limbah batu bara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
terlampaui karena keadaan tertentu dan atau kondisi cuaca tertentu maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan menyampaikan
kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota dengan tembusan
kepada Gubernur dan Menteri.
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi dengan ketentuan sama atau lebih
ketat dari ketentuan sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila Baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum
ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah batu bara sebagaimana tersebut
dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 5
Apabila hasil kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) atau hasil
kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan
(UPL) dari usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara mensyaratkan baku mutu
air limbah lebih ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
maka diberlakukan baku mutu air limbah sebagaimana yang dipersyaratkan oleh
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup atau UKL dan UPL.
3
Pasal 6
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib melakukan
pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan penambangan dan air limbah yang
berasal dari kegiatan pengolahan/pencucian, sehingga mutu air limbah yang dibuang
ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah yang telah ditetapkan dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
mengelola air yang terkena dampak dari kegiatan penambangan melalui kolam
pengendapan (pond).
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib
melakukan kajian lokasi titik penaatan (point of compliance) air limbah dari kegiatan
pertambangan.
(2) Lokasi titik penaatan (point of compliance) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus berada pada saluran air limbah yang :
a. ke luar dari kolam pengendapan (pond) air limbah sebelum dibuang ke air
permukaan dan tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air
lain selain dari kegiatan penambangan tersebut.
b. keluar dari unit pengelola air limbah dari proses pengolahan/pencucian batu
bara sebelum dibuang ke air permukaan dan tidak terkena pengaruh dari
kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari kegiatan pengolahan tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan mengajukan
permohonan penetapan lokasi titik penaatan (point of compliance) kepada
Bupati/Walikota.
(4) Bupati/Walikota menetapkan dan mencantumkan dalam izin pembuangan air
limbah mengenai lokasi titik penaatan (point of compliance).
Pasal 9
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan dan atau
karena pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang dan mengajukan permohonan kembali
kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan (point of
compliance) yang baru.
4
Pasal 10
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan wajib mentaati
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penanggung jawab usaha
dan atau kegiatan pertambangan batu bara wajib untuk :
Pasal 11
Pasal 12
Pasal 13
Pada saat berlakunya Keputusan ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan
batu bara yang telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Keputusan ini.
5
Pasal 14
Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 10 Juli 2003
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
6
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 400
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 113 Tahun 2003
Tanggal : 10 Juli 2003
pH 6-9
Residu Tersuspensi mg/l 200
Besi (Fe) Total mg/l 7
Mangan (Mn) Total mg/l 4
Volume air limbah maksimum
2m3 per ton produk batu bara
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
8
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 202 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA
1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah
serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan
atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan
meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang;
2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih
emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;
2
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan
atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
yang berwujud cair;
5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan
atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah
yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga;
6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari :
a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air
yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga
sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung
dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut;
b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang
ke badan air;
c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau
tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan ini.
(3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri tersendiri.
(2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.
3
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini
tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena :
maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan
menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.
Pasal 5
(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
4
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan
penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah
yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari
usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.
(2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada
pada saluran air limbah yang :
a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke
badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau
sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga
tersebut; dan atau
b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak
terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari
kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan
kepada Bupati/Walikota.
Pasal 9
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang
dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.
5
Pasal 10
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga wajib untuk:
a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah,
sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah;
c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf
b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Pasal 12
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.
6
Pasal 13
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
8
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004
Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut .
• ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses
• Cyanidasi.
• CN dalam bentuk CN bebas.
• *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air,
maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar
maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
--------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini seuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
9
.
10
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 202 TAHUN 2004
TENTANG
BAKU MUTU AIR LIMBAH BAGI USAHA DAN ATAU KEGIATAN
PERTAMBANGAN BIJIH EMAS DAN ATAU TEMBAGA
1
5. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun
2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);
MEMUTUSKAN :
Pasal 1
1. Usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga adalah
serangkaian kegiatan penambangan dan kegiatan pengolahan bijih emas dan
atau tembaga menjadi konsentrat atau logam emas dan atau tembaga dan
meliputi juga kegiatan paska penutupan tambang;
2. Kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga adalah pengambilan bijih
emas dan atau tembaga yang meliputi penggalian, pengangkutan dan
penimbunan baik pada tambang terbuka maupun tambang bawah tanah;
2
4. Air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga adalah air yang berasal dari kegiatan penambangan bijih emas dan
atau tembaga dan sisa dari kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
yang berwujud cair;
5. Baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga adalah ukuran batas atau kadar maksimum unsur pencemar dan
atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah
yang akan dibuang atau dilepas ke sumber air dari usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga;
6. Titik penaatan (point of compliance) adalah satu atau lebih lokasi yang dijadikan
acuan untuk pemantauan dalam rangka penaatan baku mutu air limbah;
7. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal 2
(1) Air limbah kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga terdiri dari :
a. air limbah kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga yaitu air
yang terkena dampak kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga
sehingga kualitasnya berubah dan perubahan tersebut terkait langsung
dengan kegiatan penambangan bijih emas dan atau tembaga tersebut;
b. air limbah kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga yang dibuang
ke badan air;
c. air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang.
(2) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan bijih emas dan atau
tembaga serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I Keputusan ini.
(3) Baku mutu air limbah bagi kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga
serta metode analisisnya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II
Keputusan ini.
Pasal 3
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan paska penutupan tambang akan ditetapkan
dengan Keputusan Menteri tersendiri.
(2) Selama baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas
belum ditetapkan, berlaku baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.
3
Pasal 4
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan penambangan dan atau pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebagaimana dimaksud dalam lampiran Keputusan ini
tidak boleh dilampaui.
(2) Apabila baku mutu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlampaui karena :
maka penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melaporkan dan
menyampaikan kegiatan penanggulangan pencemaran kepada Bupati/Walikota
dengan tembusan kepada Gubernur dan Menteri.
Pasal 5
(1) Baku mutu air limbah daerah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari ketentuan sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.
(2) Apabila baku mutu air limbah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum ditetapkan, maka berlaku baku mutu air limbah usaha dan atau kegiatan
pertambangan bijih emas dan atau tembaga sebagaimana tercantum dalam
lampiran Keputusan ini.
Pasal 6
4
Pasal 7
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan pengolahan air limbah yang berasal dari kegiatan
penambangan dan atau pengolahan bijih emas dan atau tembaga, sehingga mutu
air limbah yang dibuang ke badan air tidak melampaui baku mutu air limbah
yang telah ditetapkan dalam lampiran Keputusan ini.
Pasal 8
(1) Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga wajib melakukan kajian lokasi titik penaatan air limbah dari
usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau tembaga.
(2) Lokasi titik penaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus berada
pada saluran air limbah yang :
a. keluar dari sistim pengolahan air limpasan (run off) sebelum dibuang ke
badan air dan sengaja tidak terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau
sumber lain selain dari kegiatan penambangan emas dan atau tembaga
tersebut; dan atau
b. keluar dari sistim pengolahan air limbah dari proses pengolahan bijih
emas dan atau tembaga sebelum dibuang ke badan air dan sengaja tidak
terkena pengaruh dari kegiatan lain dan atau sumber air lain selain dari
kegiatan pengolahan bijih emas dan atau tembaga tersebut.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan
atau tembaga mengajukan permohonan penetapan lokasi titik penaatan
kepada Bupati/Walikota.
Pasal 9
Dalam hal terjadi perubahan lokasi usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih
emas dan atau tembaga dan atau pertimbangan kondisi lingkungan tertentu, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan pengkajian ulang
dan mengajukan permohonan kembali kepada Bupati/Walikota untuk
memperoleh persetujuan lokasi titik penaatan yang baru.
5
Pasal 10
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan pertambangan bijih emas dan atau
tembaga wajib untuk:
a. melakukan swapantau harian kadar parameter baku mutu air limbah,
sekurang-kurangnya memeriksa pH air limbah;
c. melakukan analisis air limbah sebagaimana tercantum dalam huruf a dan huruf
b dan menyampaikan laporan tentang hasil analisis tersebut sekurang-
kurangnya 3 (tiga) bulan sekali kepada Bupati/Walikota, dengan tembusan
Gubernur dan Menteri, serta instansi lain yang terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 11
Pasal 12
(2) Dalam hal baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih
ketat dari baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam lampiran
Keputusan ini, maka baku mutu air limbah sebelumnya tetap berlaku.
6
Pasal 13
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran I :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
8
Lampiran II :
Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup
Nomor : 202 Tahun 2004
Tentang : Baku Mutu Air Limbah
Bagi Usaha dan atau
Kegiatan Pertambangan
Bijih Emas dan atau
Tembaga
Tanggal : 13 Oktober 2004
Keterangan :
• * = Sebagai konsentrasi total ion logam terlarut .
• ** = Parameter khusus untuk pengolahan bijih emas yang menggunakan proses
• Cyanidasi.
• CN dalam bentuk CN bebas.
• *** = Jika ada versi yang telah diperbaharui, maka digunakan versi yang terbaru
• Apabila pada keadaan alamiah pH air pada badan air berada di bawah atau di atas baku mutu air,
maka dengan rekomendasi Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dapat menetapkan kadar
maksimum untuk parameter pH sesuai dengan kondisi alamiah lingkungan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
--------------------------------------------------
Menteri Negara
Lingkungan Hidup
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan ini seuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
9
.
10
SALINAN
1
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
2
MEMUTUSKAN:
Pasal 1
3. Air limbah RPH adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan RPH
yang berwujud cair;
4. Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah ukuran batas atau
kadar maksimum unsur pencemar dan/atau jumlah pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam air limbah kegiatan RPH yang akan
dibuang atau dilepas ke media lingkungan;
3
Pasal 2
Baku mutu air limbah dalam Peraturan Menteri ini berlaku untuk kegiatan
RPH:
a. Sapi;
b. Kerbau;
c. Babi;
d. Kuda;
e. Kambing dan/atau;
f. Domba.
Pasal 3
Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH ditetapkan dengan tujuan:
a. menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup;
b. menurunkan beban pencemaran lingkungan melalui upaya
pengendalian pencemaran dari kegiatan RPH.
Pasal 4
Sasaran penetapan baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH dimaksudkan
untuk mendorong penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH
mengolah air limbah sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
Pasal 5
(1) Baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran A dan Lampiran B Peraturan Menteri ini.
4
b. beroperasi setelah diberlakukannya Peraturan Menteri ini, berlaku
baku mutu air limbah sebagaimana tercantum dalam Lampiran B
Peraturan Menteri ini.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Apabila baku mutu air limbah bagi kegiatan RPH daerah telah ditetapkan
sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka dalam hal baku mutu
air limbah daerah:
a. lebih ketat atau sama dengan baku mutu air limbah sebagaimana
tersebut dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, maka dinyatakan tetap
berlaku;
b. lebih longgar dari baku mutu air limbah sebagaimana tersebut dalam
Lampiran Peraturan Menteri ini wajib disesuaikan dengan baku mutu air
limbah bagi kegiatan RPH sebagaimana tersebut dalam Lampiran
Peraturan Menteri ini selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah
ditetapkannya Peraturan Menteri ini.
5
Pasal 9
6
Pasal 10
Pasal 11
Pasal 12
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2006
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
7
Lampiran A
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 02 Tahun 2006
Tanggal : 20 April 2006
pH - 6-9
Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 2.0 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.2 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.9 m3/ekor/hari
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.
8
Lampiran B
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor : 02 Tahun 2006
Tanggal : 20 April 2006
NH3-N mg/L 25
pH - 6-9
Volume air limbah maksimum untuk sapi, kerbau dan kuda : 1.5 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk kambing dan domba : 0.15 m3/ekor/hari
Volume air limbah maksimum untuk babi : 0.65 m3/ekor/hari
Menteri Negara
Lingkungan Hidup,
ttd
Ir. Rachmat Witoelar.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Penaatan Lingkungan,
Hoetomo, MPA.