Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan

rahmat-Nya maka tersusunlah makalah ini. Makalah ini disusun agar kita dapat memahami

tentang kasus hukum dan penegakkannya di Indonesia. Tidak lupa kami juga mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang mendukung tersusunnya makalah ini.

kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu kami

sangat mengharapkan dan berterimakasih apabila anda memberikan kritik dan saran atas

makalah ini, sehingga hal tersebut dapat memotivasi saya agar dapat berkarya dengan lebih baik

lagi.

Medan, November 2019

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................................... i


Daftar Isi .............................................................................................................................. ii

BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................................................1
A. Latar Belakang ..........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .....................................................................................................1

BAB II
PEMBAHASAN ..................................................................................................................2
1. KASUS SUSU FORMULA YANG MENGANDUNG BAKTERI
DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN ......................................................................2
- Kronologi kasus ........................................................................................................2
- Tanggung jawab produk ...........................................................................................2
- Kedigdayaan Produsen..............................................................................................3
- Analisis .....................................................................................................................4
2. KASUS PRITA BESERTA HUKUM TERKAIT (UU ITE) ....................................5
- Krolonogi Kasus .......................................................................................................5
- Analisis .....................................................................................................................6

BAB III
PENUTUP ............................................................................................................................9
3.1 Kesimpulan .....................................................................................................................9
3.2 Saran ...............................................................................................................................9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan
keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial masyarakatnya,
menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun tidak di Indonesia dalam
beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh tragis. Bahkan dari Hasil survei
terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan bahwa 56,0 persen publik menyatakan
tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan
sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya
wibawa hukum di mata publik.

Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya
keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan
kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan mereka
tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan yang amat
tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri .

B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam perkara ini adalah sebagai berikut.
1. Analisa Kasus Susu Formula berbakteri
2. Analisa Kasus Prita Mulia Sari dengan Rumah Sakit Omni Internasional.

1
BAB II
PEMBAHASAN

3. KASUS SUSU FORMULA YANG MENGANDUNG BAKTERI DAN


PERLINDUNGAN KONSUMEN

KRONOLOGIS KASUS
Kasus ini bermula ketika Institut Pertanian Bogor mengungkapkan hasil penelitiannya pada
Februari 2008. Sebanyak 22,73 persen susu formula dan makanan bayi mengandung
Enterobacter sakazakii. Bakteri ini berbahaya bagi organ tubuh seperti pembuluh darah,
selaput otak, saraf tulang belakang, limpa, dan usus bayi.

Penelitian tersebut dilakukan selama 3 tahun terhadap 22 sampel susu yang mengandung
bakteri enterobacter sakazaii antara tahun 2003-2006. Penelitian dilakukan terhadap tikus
yang diinfeksi enterobacter. Hasilnya tikus itu mengidap enteritis (peradangan saluran
pencernaan), sepsis (infeksi peredaran darah) dan meningitis (infeksi pada lapisan urat saraf
tulang belakang dan otak).

Kemudian, sejumlah pihak mendesak Kementerian Kesehatan, BPOM dan IPB


mengumumkan susu formula yang tercemar tersebut. Namun, ketiganya menolak dengan
beberapa alasan antara lain pertimbangan etika, penelitian belum teruji pada manusia tetapi
pada tikus, dan belum ditemukan kasus bayi yang terinfeksi enterobacter setelah
mengkonsumsi susu.

TANGGUNG JAWAB PRODUK


Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365
KUHPerdata) yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
bagi orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti
kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365
KUHPerdata, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan

2
hukum, adanya unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang
menunjukkan adanya kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang.
Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu
perbuatan melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan
sudah memenuhi salah satu unsur saja, maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai
perbuatan melawan hukum.
Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di
Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan
hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat
pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang
besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini tergantung dari
siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi
konsumen.
Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi
(default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi
gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan
melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah diisyaratkan. Bila tidak, konsumen
sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum.
Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur
melawan hukum.
Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya
adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam
proses produksinya. Untuk membuktikan unsur "tidak lalai" perlu ada kriteria berdasarkan
ketentuan hukum administrasi negara tentang "Tata Cara Produksi Yang Baik" yang dikeluarkan
instansi atau departemen yang berwenang.

KEDIGDAYAAN PRODUSEN.
Berdasarkan prinsip kesejajaran kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen, hal itu
mestinya tidak dengan sendirinya membawa konsekuensi konsumen harus membuktikan semua
unsur perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, terhadap doktrin perbuatan melawan hukum
dalam perkara konsumen, seyogiannya dilakukan "deregulasi" dengan menerapkan doktrin strict
product liability ke dalam donktrin perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat dijumpai landasan
hukumnya dalam pasal 1504 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menegaskan bahwa
penjual bertanggung jawab adanya "cacat tersembunyi" pada produk yang dijual.
Menurut doktrin strict product liability, tergugat dianggap telah bersalah (presumption of
quality), kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kelalaian/kesalahan.
Seandainya ia gagal membuktikan ketidaklalaiannya, maka ia harus memikul risiko kerugian

3
yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya. Doktrin tersebut memang masih
merupakan hal baru bagi Indonesia. Kecuali Jepang, semua negara di Asia masih memegang
teguh prinsip konsumen harus membuktikan kelalaian pengusaha.
Sekalipun doktrin strict product liability belum dianut dalam tata hukum kita, apabila
perasaan hukum dan keadilan masyarakat menghendaki lain, kiranya berdasarkan Pasal 27 ayat 1
Undang-Undang No 14 Tahun 1970, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law) Walhasil, berkait kasus susu formula ada hal
yang patut ditarik pelajaran. Ternyata, selama ini yang masih terpampang adalah “kedigdayaan”
produsen atau pelaku usaha termasuk pengambil kebijakan. Terlihat, pihak-pihak terkait bersikap
defensif dengan seolah menantang konsumen yang merasa dirugikan untuk membuktikan unsur
“ada/tidaknya kelalaian/ kesalahan” terhadap sebuah produk. Padahal, pihak-pihak
berwenanglah yang harus membuktikan apakah betul ada kesalahan/kelalaian dalam
produknya tersebut.

ANALISIS

Berdasarkan studi kasus diatas, perlindungan konsumen di Indonesia masih sangat lemah.
Hal ini terlihat ketika Kementerian Kesehatan baru mengumumkan setelah setahun lamanya para
konsumen susu formula bayi ingin mengetahui fakta bahwa susu formula bayi untuk usia 0-6
bulan tersebut apakah mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii atau tidak.
Namun fakta yang diumumkan oleh Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan hasil
penelitian dari temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan 22,73% susu formula
(dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni
2006 terkontaminasi E. Sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut,
yang jelas kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut
perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum)
konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran
konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Dalam perlindungan konsumen sesungguhnya ada doktrin yang disebut strict product
liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat
menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik,
supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini
tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian bagi konsumen.

4
4. KASUS PRITA BESERTA HUKUM TERKAIT (UU ITE)

KRONOLOGIS KASUS PRITA

Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di RS


Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan BAB,
sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit, dr. Hengky Gosal,
Sp.PD dan dr. Grace Herza Yarlen Nela, Prita didiagnosis menderita Demam berdarah, atau
Tifus. Setelah dirawat selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan,
gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan
pembengkakan pada leher. Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan
yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, di samping kondisi
kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil
laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa. Disebabkan karena
pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam medis serta hasil laboratorium
awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit Prita kemudian menulis surat elektronik
tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis. Surel tersebut
kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan
atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik
secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata
pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak
rumah sakit sehingga harus membayar kerugian material sebesar Rp161 juta sebagai pengganti
uang klarifikasi di koran nasional dan Rp100 juta untuk kerugian immaterial. Pada tanggal 13
Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena
dikhawatirkan akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti. Pada tanggal 3 Juni 2009
Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status tahanan diubah menjadi tahanan kota.
Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan
kota.

Melalui persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 25 Juni


2009, Majelis hakim menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum atas kasus Prita Mulyasari
tidak jelas, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan
Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, oleh karenanya melalui persidangan tersebut kasus Prita
akhirnya dibatalkan demi hukum.

5
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita Mulyasari tidak terbukti
secara sah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni International Alam Sutera
Serpong Tangerang Selatan, Selasa (29/12/2009). Keputusan itu dibacakan majelis hakim yang
diketuai Arthur Hangewa.

ANALISIS KASUS PRITA

UU ITE adalah Undang-Undang yang berlaku untuk semua masyarakat Indonesia yang
melakukan pelanggaran baik itu pemerintahan ataupun masyarakat umum di dunia informasi
teknologi dan elektronik.

UU ITE Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang
telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

UU ITE Bab 1 Pasal Ayat 2 menyebutkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik
lainnya.

Dari bunyi UU ITE BAB 1 Pasal 1 Ayat 1 dan 2 diatas, dapat dipahami apa yang
dilakukan Prita tersebut merupakan sebuah prilaku informasi dan transaksi elektronik. Namun,
apakah benar perbuatannya itu merupakan sebuah pelanggaran hukum?

Berdasarkan sumber informasi yang menyebutkan bahwa Prita melanggar aturan hukum
dan dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Adapun bunyi pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sbb. :

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan
sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu
lima ratus rupiah.

(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.

6
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Dan adapun Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE) berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau
pencemaran nama baik.

Kronologis singkat kasus, Prita menulis surat elektronik tentang tanggapan serta keluhan
atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis, namun surel tersebut kemudian menyebar luas
sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang
dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata
maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi
yang dilakukan Prita hanyalah mengungkapkan kekecewaannya sebagai seorang konsumen yang
tidak puas akan pelayanan dari produsen, dimana hak konsumen untuk menyampaikan keluhan,
dan hak atas kenyamanan dalam pelayanan itu diakui UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen


adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), dimana surel yang dimuat Prita itu tidak bermuatan penghinaan dan atau
pencemaran nama baik. Kalimat dalam surel adalah kritik yang dilakukan Prita demi

7
kepentingan umum. Tujuannya agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek rumah sakit
dan/atau dokter yang tidak memberikan pelayanan medis yang baik terhadap orang sedang sakit
yang mengharapkan sembuh dari sakit. Dengan demikian Prita terbukti tidak terbukti melakukan
tindakan pidana dan/atau perdata yang dijerat dengan pasal-pasal tersebut.

Dalam undang-undang dijelaskan bahwa hak konsumen untuk menyampaikan keluhannya


mengenai pelayanan publik, tapi dalam hal ini terjadi ketidak selarasan yang menimbulkan
kebingungan antara UU ITE dengan UU konsumen. UU ITE juga dianggap oleh banyak pihak
bahwa undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat
dan menghambat kreativitas dalam berinternet, padahal negara juga menjamin kebebasan untuk
hak berpendapat di Indonesia.

Oleh sebab itu sebenarnya masih banyak yang harus direvisi oleh pemerintah untuk UU ITE
ini, karena belum semua menjelaskan apa yang di lakukan dengan apa yang disertakan
hukumannya. Sehingga lebih spesifik, jelas dan tidak menimbulkan hal yang sama terulang
kembali.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan
terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi
di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik merupakan aktor utama dari
segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini. Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun
tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, Namun keburukan
penegakan ini seakan menutupi segala keselaran hukum yang berjalan di mata masyarakat.
Begitu banyak kasus-kasus hukum yang silih berganti dalam kurun waktu relatif singkat, bahkan
bersamaan kejadiaannya. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena permasalahan hukum ini
merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana masyarakat bisa terjamin keamanannya
atau bagaimana masyarakat bisa merasakan keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur
semua itu, dan perlu digaris-bawahi bahwa hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan
masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan baik pribadi maupun
kelompok merupakan penggagas segala kebobrokan hukum di negeri ini.
Penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang berbunyi “Negara
Indonesia adalah Negara hukum”, harus dilaksanakan, karena sudah demikian ketetapan itu
berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri pribadi ataupun kelompok yang
berkepentingan.

3.2 SARAN
Indonesia merupakan negara hukum beserta hukum yang tersusun atas bermacam
undang-undang yang mengatur hubungan warganegara dan negara. Indonesia merupakan negara
hukum yang demokratis, dengan demikian adalah perlindungan terhadap kebebasan dan
perlindungan hak asasi manusia menjadi prioritas prinsip utama negara hukum yang demokratis..

Anda mungkin juga menyukai