4.1.1.3. Geologi
Kawasan DAS Karang Mumus dibangun oleh formasi geologi Alluvium,
Kampung Baru, Balikpapan, dan Pulau Balang (Lampiran 7). Formasi Kampung
Baru memiliki sebaran yang terluas, yaitu sebesar 11.604,4 ha atau 36,0% dari
total luas DAS Karang Mumus. Pada Tabel 10, dapat dilihat luasan masing-
masing formasi geologi penyusun kawasan DAS Karang Mumus. Secara ringkas,
deskripsi masing-masing formasi geologi dapat dilihat pada Lampiran 8.
bergumpal, konsistensi tanah gembur pada lapisan atas dan teguh pada lapisan
bawah. Selain itu, jenis-jenis tanah tersebut mempunyai daya menahan air yang
kurang (Balitbangda, 2002). Dengan demikian, jenis tanah di kawasan DAS
Karang Mumus dapat dikategorikan peka terhadap erosi dan mudah longsor.
Terkait dengan kondisi iklim di DAS Karang Mumus, pada umumnya jenis
tanah yang terbentuk pada bentang alam yang stabil adalah order Ultisols,
sedangkan pada bentuk bentang alam yang masih relatif muda seperti dataran
Aluvial sungai mempunyai order tanah Entisols dan Inceptisols, dan pembagian
sub ordernya sangat ditentukan oleh rejim kelembaban tanah, tekstur tanah, dan
asal bahan induk.
4.1.1.5. Iklim
Data iklim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan
dan suhu udara selama 10 tahun terakhir (1998 – 2007) yang tercatat pada Stasiun
Meteorologi dan Geofisika Samarinda. Hasil analisis data iklim dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11. Hasil analisis data iklim DAS Karang Mumus tahun 1998 - 2007
Tahun Suhu (0C) Curah hujan (mm) Jumlah bulan
Maks Min Rata-rata Jumlah Rata-rata Kering Lembab Basah
1998 29,8 26,8 28,2 1.851,9 154,3 3 1 8
1999 27,4 26,4 26,9 2.684,0 223,7 - - 12
2000 27,6 26,4 26,9 2.584,2 215,4 - - 12
2001 27,5 26,7 27,2 1.913,3 159,4 1 1 10
2002 27,9 27,1 27,5 1.676,9 139,7 1 2 9
2003 27,8 26,9 27,4 2.347,3 195,6 1 2 9
2004 28,5 27,1 27,5 2.591,5 216,0 3 - 9
2005 28,5 26,9 27,5 2.550,4 212,5 1 2 9
2006 28,1 26,8 27,4 1.964,7 162,2 1 2 9
2007 28,3 26,9 27,5 2.453,7 204,5 - 1 11
Rata-rata 28,1 26,8 27,4 2.259,9 188,3 1,1 1,1 9,8
Sumber: Diolah dari Badan Meteorologi dan Geofisika Samarinda, 2007
Berdasarkan analisis data curah hujan dan suhu udara, diketahui bahwa DAS
Karang Mumus memiliki curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.259,9 mm, curah
hujan bulanan rata-rata sebesar 188,3 mm, suhu udara bulanan rata-rata sebesar
27,40C, suhu udara tertinggi rata-rata 28,10C, dan suhu udara terendah rata-rata
sebesar 26,80C.
40
Berdasarkan data curah hujan tahun 1998 – 2007, iklim DAS Karang
Mumus termasuk tipe iklim A menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson,
dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah sebesar 11,22%. Tipe iklim A
mencirikan daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Batasan
kriteria bulan kering adalah bila curah hujan bulanan <60 mm, bulan basah adalah
bila curah hujan bulanan >100 mm, sedangkan bila kondisi curah hujan berada
diantara kedua nilai tersebut dinamakan bulan lembab.
Kondisi iklim di lokasi penelitian yang memiliki curah hujan yang tinggi,
suhu udara rata-rata bulanan tinggi, dan musim kering yang relatif lebih pendek
daripada musim hujan berpotensi untuk mempercepat terjadinya proses pencucian
unsur-unsur basa tanah dan koloid liat tanah sehingga membentuk jenis tanah
Ultisols, Entisols, dan Inceptisols. Oleh karena itu, jika penutupan lahan (land
cover) di lokasi penelitian dalam kondisi banyak terdapat lahan terbuka atau
terdapat sedikit tanaman penutup (cover crop), maka kondisi iklim dapat
mempercepat terjadinya proses erosi dan meningkatnya sedimentasi.
kalimantan (Diosyiros bornensis), simpur (Delinea sp.). Selain itu, terdapat juga
berbagai jenis anggrek, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, bambu,
rotan, palem, pakis haji, jamur, alga, lumut, dan paku-pakuan (Tasa, 2005).
Jenis satwa yang terdapat di KRUS adalah laba-laba (Oxyopes sp.), kupu-
kupu (Papilio sp.), bangkong badak (Buceros rhinoceros), beluk ketupa (Ketupa
ketupu), elang bondol (Haliaster alcedo miniting), bangau atau cangak merah
(Ardea purpurea), beo atau tiung (Gracula religiosa), buaya (Crocodilus
porosus), orang utan (Pongo pygmaeus), kukang bukang (Nyctycebus cauncang),
beruk (Macaca nemestrina), trenggiling (Manis javanica), codot krawar
(Cynopterus brachyotis), beruang merah (Helarctos malayan), rusa sambar atau
payau (Cervus unicolor), kuda (Equus pizewalskii), musang luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), binturung (Arstictis binturung) (Tasa, 2005).
Keragaman jenis vegetasi dan satwa yang terdapat pada hutan sekunder
muda KRUS masih cukup banyak. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan
pada tahun 2003 terdapat 2.600 vegetasi pohon hidup yang berdiameter >50 cm,
tetapi banyak yang telah cacat.
4.1.1.7. Hidrologi
Sungai utama yang mengalir di kawasan DAS Karang Mumus adalah sungai
Karang Mumus. Sungai Karang Mumus dengan panjang 34,7 km merupakan
sumber air untuk mendukung kehidupan masyarakat DAS Karang Mumus, pada
saat ini fungsi tersebut menurun bahkan sering menimbulkan bahaya banjir dan
sumber penyakit. Banjir yang terjadi di Kota Samarinda beberapa hari menjelang
akhir tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 10.
2. Ladang
Tipe penggunaan lahan ini merupakan usaha tanaman pertanian lahan kering
yang dirotasikan dengan padi ladang atau tanaman palawija. Tanaman yang
umum diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah padi ladang,
jagung, cabai, ubi kayu, lada, pepaya, dan lain-lain. Pada umumnya ladang atau
tegalan menempati daerah-daerah berlereng dan relatif terbuka. Teknik-teknik
konservasi lahan dapat diterapkan pada tipe-tipe penggunaan lahan seperti ini,
baik secara vegetatif maupun mekanik.
3. Kebun Campuran
Tipe penggunaan lahan kebun campuran merupakan lahan yang ditanami
tanaman tahunan ataupun tanaman semusim, termasuk di dalamnya tanaman
produksi kayu. Beberapa jenis tanaman yang terdapat di kebun campuran adalah
durian, elai, cempedak, kelapa, pisang, dan rambutan. Kebun campuran tersebar
di seluruh lokasi penelitian. Dengan kombinasi jenis tanaman yang hampir
menyerupai hutan, kebun campuran sebagai sistem agroforestri kompleks dapat
direkomendasikan untuk menggantikan tipe penutupan dan penggunaan lahan
berupa semak belukar dan lahan terbuka.
Usaha perkebunan yang berkembang di hulu DAS Karang Mumus ialah
tanaman kakao, kopi, kelapa, salak, coklat, pisang, durian, dan rambutan. Pada
45
beberapa tempat dijumpai pula usaha hutan rakyat yang menanam jenis sengon,
sungkai, dan jati. Pada daerah berbukit di Lempake dijumpai juga tanaman aren.
4.1.1.9. Aksesibilitas
Berdasarkan survei lapang dan pengamatan yang dilakukan di lokasi
penelitian, sungai Karang Mumus sejak tahun 1980 sudah jarang dipergunakan
sebagai jalur transportasi. Kondisi ini dapat dilihat dari sulitnya melakukan
perjalanan melalui sungai Karang Mumus karena keberadaan vegetasi dan pohon-
pohan yang melintang di tengah sungai (Gambar 12). Selain itu, keberadaan
permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai (Gambar 13) dan jembatan-
jembatan yang menghubungkan kedua sisi sempadan sungai semakin
memperparah kondisi sungai Karang Mumus.
Tabel 12. Deskripsi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada DAS Karang
Mumus
Tabel 13. Komposisi tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang
Mumus tahun 1992 dan 2007
Tipe penutupan dan penggunaan lahan Luasan Perubahan
1992 2007
ha % ha % ha %
Permukiman 1.277,1 3,9 1.926,9 5,9 649,8 50,9
Waduk/Bendungan 408,9 1,3 408,9 1,3 0 0
Lahan terbuka 119,5 0,4 712,7 2,2 593,2 495,5
Semak belukar 25.297,4 77,9 25.762,1 79,3 464,7 1,8
Pertanian lahan basah 1.034,8 3,2 807,8 2,5 -226,9 21,9
Pertanian lahan kering 170,9 0,5 99,3 0,3 -71,6 41,9
Hutan sekunder 3.969,5 12,2 2.540,5 7,8 -1.429,0 36,0
Hutan konservasi 219,7 0,7 219,7 0,7 0 0
Total* 32.477,7 100,0 32.477,7 100,0
Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 1992 dan 2007
48
Gambar 14. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra
Landsat TM 1992)
49
Gambar 15. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra
Landsat TM 2007)
50
Berdasarkan Tabel 13, Gambar 14, dan Gambar 15, dapat dilihat bahwa
penutupan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh semak belukar dengan
persentase sebesar 77,9% pada tahun 1992 dan 79,3% pada tahun 2007. Hutan
sekunder mengalami penurunan persentase luas dari 12,2% menjadi 7,8%.
Permukiman mengalami peningkatan persentase luas dari 3,9% menjadi 5,9%.
Persentase luasan lahan terbuka meningkat dari 0,4% menjadi 2,2%. Pertanian
lahan basah mengalami penurunan luas dari 3,2% pada tahun 1992 menjadi
menjadi 2,5% pada tahun 2007. Persentase luas pertanian lahan kering
mengalami penurunan luas dari 0,5% menjadi 0,3%. Luasan bendungan dan
hutan konservasi tidak mengalami perubahan luasan yaitu masing-masing sebesar
1,3% dan 0,7%. Dari uraian di atas, terlihat adanya perubahan komposisi luasan
pada masing-masing tipe penutupan dan penggunaan lahan. Dengan
membandingkan secara temporal citra Landsat pada tahun 1992 dan 2007 dapat
diketahui bahwa tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa permukiman, lahan
terbuka, dan semak belukar mengalami peningkatan luas. Sebaliknya, terjadi
penurunan luas pada tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder.
Komposisi luasan permukiman meningkat dari 1.277,1 ha menjadi 1.926,9
ha atau meningkat seluas 649,8 ha (50,9%). Lahan terbuka meningkat dari 119,5
ha menjadi 712,7 ha atau meningkat seluas 593,2 ha (495,5%). Semak belukar
meningkat dari 25.297,4 ha menjadi 25.762,1 ha atau meningkat seluas 464,7 ha
(1,8%). Sebaliknya, tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan
basah berkurang dari 1.034,8 ha menjadi 807,8 ha atau berkurang seluas 226,9 ha
(21,9%). Pertanian lahan kering berkurang dari 170,9 ha menjadi 99,3 ha atau
berkurang seluas 71,6 ha (41,9%). Hutan sekunder berkurang dari 3.969,5 ha
menjadi 2.540,5 ha atau berkurang seluas 1.429,0 ha (36,0%). Sebagian besar
berkurangnya luasan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan
sekunder disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan sebagai
permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka.
Menurut DPU (2003), fungsi hutan alam berkurang pada DAS Karang
Mumus sekitar 2% per tahun (627 ha/tahun), sebagian besar berubah menjadi
daerah permukiman dan lahan kritis. Pertambahan luas daerah permukiman 0,27%
51
per tahun (85,8 ha/tahun), sebagian besar berasal dari perubahan fungsi hutan dan
daerah pertanian lahan kering (perladangan).
Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1992 dan 2006, dapat
diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan lahan semakin meningkat dan
ditambah pula dengan kemajuan teknologi yang menyebabkan terjadinya
akselerasi pembukaan lahan-lahan baru. Daerah yang awalnya merupakan daerah
resapan dan penahan air berubah menjadi areal permukiman yang relatif kedap.
Menurut Weng (2001), pertumbuhan penduduk dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi menjadi faktor dominan perubahan penutupan dan penggunaan lahan
hampir di seluruh permukaaan bumi.
Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa pada tahun 2012 dengan jumlah
penduduk sebesar 276.756 jiwa, akan terjadi pengkonversian penutupan dan
penggunaan lahan yang ada pada saat ini, terutama pertanian lahan basah,
pertanian lahan kering, semak belukar, dan hutan sekunder menjadi lahan-lahan
permukiman, lahan-lahan pertanian baru, dan juga lahan terbuka. Berdasarkan
kedekatan dengan kota dan tersedianya aksesibilitas jalan, penyebaran konversi
ini akan berkembang dari daerah hilir menuju ke daerah hulu DAS Karang
Mumus. Kondisi ini didukung oleh Sandy (1973) yang mengatakan bahwa pola
penggunaan lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, penyebaran, profesi, dan
tingkat kehidupan masyarakat, serta aksesibilitasnya. Lahan yang mudah dicapai
akan dimanfaatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan lahan yang sukar
dicapai. Dengan demikian, kawasan DAS Karang Mumus akan mengalami
perubahan sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Apabila hal ini tidak menjadi
perhatian berbagai pihak yang terkait, fungsi kawasan DAS Karang Mumus akan
semakin menurun.
Sistem agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengelola
terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terus meningkat seiring dengan
meningkatnya laju pertambahan penduduk, mengatasi masalah pangan,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan juga meningkatkan kualitas
lingkungan (Widianto et al., 2003). Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa
52
4.1.1.12. Sedimentasi
Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam
ekosistem DAS sangat bermanfaat bagi pengembangan sumber daya alam,
khususnya air. Sistem hidrologi erat kaitannya dengan hubungan berlangsungnya
erosi di daerah tangkapan air dan besarnya sedimentasi yang terjadi di aliran
sungai daerah tangkapan air tersebut.
Menurut Asdak (2007), sedimen adalah hasil proses erosi, baik erosi
permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya
mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air,
sungai, dan bendungan.
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari
erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan
tempat tertentu. Berdasarkan hasil evaluasi, hasil sedimen yang terjadi di DAS
Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 15.
Berdasarkan data erosi tahun 2000 dan 2002, hasil sedimen yang terjadi di
DAS Karang Mumus mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun
2000, hasil sedimen yang diperoleh adalah sebesar 1.010.976,3 ton/tahun
meningkat menjadi 2.819.698,4 ton/tahun pada tahun 2002. Terjadi peningkatan
sebesar 1.808.722,1 ton atau sekitar 178,9%. Prediksi hasil sedimen yang
dihasilkan pada tahun 2008 adalah sebesar 8.245.864,7 ton/tahun, dengan asumsi
bahwa penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tidak mengalami
perubahan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil
sedimen yang terjadi pada suatu DAS.
62
Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya sedimen yang terjadi adalah
faktor biofisik DAS Karang Mumus. Iklim, jenis tanah, kemiringan lereng, dan
vegetasi mempunyai peranan penting terhadap berlangsungnya proses erosi-
sedimentasi (Asdak, 2007). Kondisi iklim di lokasi penelitian dengan tipe iklim
tropis basah dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan tanah.
Selain itu, jenis tanah yang tergolong peka terhadap erosi dan mudah longsor juga
menjadi salah satu penyebab besarnya sedimentasi yang terjadi. Tingkat bahaya
erosi-sedimentasi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut mempunyai
tingkat kemiringan lereng yang besar. Demikian halnya dengan struktur vegetasi,
semakin luasnya lahan terbuka dan semak belukar tanpa vegetasi penutup tanah
yang baik dapat meningkatkan potensi terjadinya erosi-sedimentasi. Faktor
penyebab yang lain adalah adanya aktivitas manusia yang dilakukan di DAS
Karang Mumus tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Menurut Asdak (2007), tidak semua tanah yang tererosi di permukaan
daerah tangkapan air akan sampai pada titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi
tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki
lereng, dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karena itu,
besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS.
Terjadinya transpor sedimen sebesar 8.245.864,7 ton/tahun di DAS Karang
Mumus ke daerah hilir akan menyebabkan pendangkalan bendungan, sungai,
saluran irigasi, dan terbentuknya tanah-tanah baru di pinggir-pinggir dan di delta-
delta sungai. Dengan demikian, proses sedimentasi dapat memberikan dampak
yang menguntungkan dan merugikan. Dikatakan menguntungkan jika pada tingkat
tertentu adanya aliran sedimen ke daerah hilir dapat menambah kesuburan tanah
serta terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir. Akan tetapi, pada saat
bersamaan aliran sedimen juga dapat menurunkan kualitas air dan pendangkalan
badan air di DAS Karang Mumus.
Dalam konteks pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus,
kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan bertujuan mengendalikan atau
menurunkan hasil sedimen yang terjadi karena kerugian yang ditimbulkan oleh
adanya proses sedimentasi jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.
63
konstan (tetap). Setiap tahun terjadi pertambahan penduduk sebesar 6.849 jiwa.
Pada tahun 2012, kepadatan agraris mencapai 9 jiwa/ha. Berarti terjadi
penambahan beban untuk 1 ha lahan pertanian agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup 9 jiwa penduduk yang menghuninya.
Terkait dengan penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus,
pada tahun 2012 lahan pertanian dengan luas yang semakin berkurang yaitu
907,102 ha pada tahun 2007 akan menanggung beban sebesar 305 jiwa/ha.
40 38
35
30 Umur Responden 28
25 Persentase
Responden
20
15
15 13
10
5 15,96% 13,83% 40,43% 29,79%
0
20 - 30 30 - 40 40 - 50 >50
Kelompok Umur
Dari Gambar 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang bekerja
di bidang pertanian adalah kelompok umur 40 - 50 tahun, yaitu sebanyak 38
responden dengan persentase 40,43%, dan responden dengan kelompok umur >50
tahun sebanyak 28 responden dengan persentase 29,79%. Jika diakumulasikan
antara kedua kelompok umur tersebut, sebanyak 66 responden atau 70,22%
responden yang bekerja di bidang pertanian adalah kelompok umur 40 tahun ke
atas. Akumulasi responden kelompok umur antara 20 – 30 dan 30 - 40 tahun
65
70 63
60
Pendidikan Responden
50
Responden
40 Persentase
30
20 14 11
10 6
67,02% 14,89% 6,38% 11,70%
0
SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Tidak sekolah
Tingkat Pendidikan
biaya hidup yang harus dikeluarkan. Jumlah anggota keluarga responden di DAS
Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 17.
(Rauf, 2008). Menurut Sajogjo (1977), KHM yang merupakan standar minimal
penghasilan untuk sekedar bertahan hidup per kapita per tahun di pedesaan
nilainya rata-rata setara dengan 320 kilogram beras. Untuk mencapai KHL, suatu
keluarga harus berpenghasilan yang dapat memenuhi KHM sekaligus dapat
membiayai sekolah anak-anaknya, berobat bila sakit, memenuhi sarana prasarana
kehidupan sehari-hari, membiayai kegiatan sosial, dan menabung (2,5 kali KHM).
Dengan harga beras pada saat penelitian dilakukan sebesar Rp. 4.500,-
per kilogram, nilai KHM setiap keluarga petani dengan lima orang anggota
keluarga adalah sebesar Rp. 7.200.000,- per tahun, sedangkan nilai KHLnya
sebesar Rp. 18.000.000,- per tahun. Akan tetapi, KHL sebesar Rp. 18.000.000,-
per tahun untuk lima anggota keluarga petani ini tidak dapat memenuhi KHL di
lokasi penelitian jika berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku.
Sebagai perbandingan, berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku di
lokasi penelitian pada tahun 2008 diperoleh KHL untuk satu keluarga petani
sebesar Rp. 63.000.000,- (Lampiran 16). Dengan demikian, diperoleh kebutuhan
lahan untuk pertanian lahan basah (padi sawah) seluas 3,14 ha dan pertanian lahan
kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) berturut-turut adalah 9,50
ha, 3,81 ha, dan 0,28 ha untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) satu
keluarga petani dengan lima anggota keluarga. Kebutuhan hidup layak (KHL)
berdasarkan harga barang konsumtif atau hasil survei ini diharapkan dapat
menjadi dasar penetapan upah minimum regional untuk tahun yang akan datang.
Upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Samarinda pada tahun 2008,
yaitu sebesar Rp. 842.000,- per bulan. Dengan demikian, diperoleh KHL untuk
lima orang anggota keluarga petani, yaitu sebesar Rp. 50.520.000,-.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian,
terdapat 58 responden (61,7%) responden mempunyai pendapatan di atas UMR,
sedangkan 36 responden (38,3%) di antaranya mempunyai pendapatan di bawah
UMR. Dengan demikian, sekitar 38,3% responden belum dapat memenuhi KHL-
nya berdasarkan UMR.
Terkait dengan beban 1 ha lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan
hidup 305 jiwa, diharapkan dapat diperoleh melalui fungsi-fungsi pengelolaan
lanskap agroforestri.
69
40
35 35,11%
Persentase
30
Asal Daerah Responden
25
Responden
20 20,21%
33
15 13,83%
12,77%
10 8,51% 19
12 13 4,26% 3,19%
5 8
1,06% 1,06% 4
1 1 3
0
Jateng Kalsel Sulsel Sumbar Jatim Sulteng Kaltim Jabar Lain-lain
Asal Daerah
usaha di bidang lain. Selain itu, 89,36% responden di lokasi penelitian telah
bekerja di bidang pertanian selama 6 - >31 tahun. Besarnya minat masyarakat
terhadap pengelolaan agroforestri ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik,
mengingat permasalahan yang ada di lapang sangat kompleks.
sungai Karang Mumus. Kebijakan relokasi ini merupakan salah satu langkah
program penataan sungai Karang Mumus. Langkah-langkah penataan sungai
Karang Mumus yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda, yaitu 1) kawasan
permukiman kumuh yang berada di bantaran sungai Karang Mumus pada jarak ±
5 – 20 m akan direlokasi ke luar kawasan, 2) memindahkan atau menutup
industri-industri kecil di sepanjang sungai Karang Mumus, 3) memperlebar jalan
di tepi sungai, 4) penataan/relokasi pasar yang ada, dan 5) membuat jalur hijau
dan taman, jalur rekreasi di lahan sepanjang sungai yang terkena relokasi.
Dengan terjadinya banjir pada bulan Juli – Agustus 1998, seluruh program
pembangunan diprioritaskan untuk penanganan sungai Karang Mumus, baik
melalui program normalisasi sungai maupun program percepatan relokasi
penduduk Karang Mumus.
Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah juga telah dan
sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk
penanganan DAS Karang Mumus. Berdasarkan hasil wawancara, pemerintah
telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit
berupa tanaman buah-buahan, perkebunan, dan penyedia energi, seperti durian,
sengon, dan lain-lain. Masih banyak responden di lokasi penelitian yang
meragukan keberhasilan program rehabilitasi ini karena banyaknya permasalahan
di lapang, seperti pendistribusian sarana dan biaya produksi yang tidak tepat
sasaran dan tidak tepat waktu, pemanfaatan dan pemasaran hasil produksi yang
juga belum jelas.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai
Kartanegara (2007), Kecamatan Muara Badak dialokasikan sebagai kawasan budi
daya non kehutanan. Kecamatan Muara Badak akan dikembangkan sebagai
kawasan perkotaan dengan fungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa,
pertambangan, dan permukiman. Sebagai daerah hulu dari DAS Karang Mumus,
rencana pengembangan yang akan dilakukan di Kecamatan Muara Badak ini
harus diarahkan pada konsep konservasi lingkungan, sehingga pengembangan
kawasan perkotaannya perlu dibatasi. Pada saat ini telah berkembang kegiatan
perdagangan dan jasa skala sub-wilayah di Kecamatan Muara Badak.
72
Tabel 19. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor kebijakan
Kriteria Bobot Tingkat pengaruh
Relokasi permukiman tepi sungai 0,67 1
Reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis 0,33 2
Sumber: Hasil survei (2008)
Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006, pemerintah telah merelokasi
1.260 bangunan dari 3.915 bangunan yang ada. Sumber dana yang diperoleh
pemerintah berasal dari subsidi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan
APBD Kota Samarinda dengan total nilai sebesar Rp. 93.169.287.941,- (DPU,
2003).
Program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis sebagai kriteria dengan
tingkat pengaruh kedua. Secara kelembagaan, kegiatan reboisasi dan rehabilitasi
berada di bawah koordinasi Pemerintah. Namun demikian, harus disadari bahwa
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ini tidak hanya merupakan tanggung-jawab dari
Pemerintah, tetapi merupakan tanggung-jawab seluruh masyarakat yang berada di
wilayah DAS Karang Mumus. Masyarakat dalam hal ini dikategorikan sebagai
petani pemilik lahan, petani penggarap, tokoh masyarakat, tokoh agama, LKMD,
tokoh adat, LSM dan lembaga-lembaga lain yang berada di wilayah DAS Karang
Mumus. Jika kelembagaan masyarakat ini berjalan dengan baik, maka program
reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis ini diharapkan akan berhasil.
Tabel 20. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor sosial-
ekonomi-budaya
Kriteria Bobot Tingkat pengaruh
Laju pertumbuhan penduduk 0,43 1
Latar belakang budaya masyarakat 0,43 1
Kelayakan usaha pertanian 0,14 2
Sumber: Hasil survei (2008)
Tabel 21. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor biologi-
fisik
Kriteria Bobot Tingkat pengaruh
Aksesibilitas 0,58 1
Kesesuaian penggunaan lahan 0,23 2
Perubahan penutupan dan penggunaan lahan 0,19 3
Sumber: Hasil survei (2008)
Tabel 22. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh alternatif pengelolaan terhadap
tujuan
Alternatif Pengelolaan Bobot Tingkat pengaruh
Mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu 0,57 1
kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi
lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan
memperindah kawasan)
kawasan lindung. Hutan lindung adalah hutan yang perlu dibina dan
dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk
kepentingan hidro-orologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi,
memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan hutan yang
bersangkutan maupun kawasan sekitarnya yang dipengaruhi (Hardjowigeno &
Widiatmaka, 2007). Kawasan lindung dialokasikan seluas 12.972,8 ha (39,2%).
Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, alokasi
kawasan lindung pada suatu kawasan DAS minimal 30% dari luas DAS tersebut.
Kondisi eksisting penggunaan lahan yang dialokasikan untuk kawasan
lindung sebagian besar berupa semak belukar, lahan terbuka, dan permukiman.
Dalam hal ini, kebijakan pemerintah sangat berperan untuk dapat memenuhi
alokasi kawasan lindung sebesar 39,2% tersebut.
Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan yang
dapat dilakukan pada kawasan lindung diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
2. Kawasan konservasi
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kawasan konservasi terdiri
atas hutan suaka alam, hutan wisata, dan hutan konservasi lain. Pada dasarnya,
pengertian hutan konservasi adalah hutan yang perlu dipertahankan dan dibina
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan
alam, dan kekhasan masing-masing hutan dengan berbagai tujuan konservasi.
Alokasi kawasan konservasi di DAS Karang Mumus adalah seluas 3.475,5 ha
(10,5%).
Hutan-hutan sekunder yang masih tersisa di DAS Karang Mumus sebaiknya
dipertahankan sebagai hutan konservasi. Hal ini didasarkan karena masih
terdapatnya jenis-jenis vegetasi alami pada hutan sekunder yang masih tersisa.
Jenis tegakan pohon yang umumnya masih terdapat di hutan sekunder adalah
meranti, kayu manis, karet, jati, mahoni, dan lain-lain. Jenis tegakan pohon ini
masih banyak diminati oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan. Jika
memungkinkan dilakukan rehabilitasi kembali terhadap lahan semak belukar,
81
Gambar 26. Peta alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi
84
Selain itu, melalui pengelolaan sumber daya air, Pemerintah Kota dapat
memperoleh pendapatan melalui pembeli, seperti perusahaan daerah air minum,
perusahaan minuman kemasan, dan pembangkit listrik tenaga air. Pengelolaan
sumber daya air yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten
Kutai Kartanegara sebaiknya memperhatikan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
2. Mempertahankan cadangan karbon (carbon stock)
Isu internasional tentang mekanisme pembangunan bersih (CDM) sesuai
dengan protokol Kyoto dapat digunakan sebagai acuan bahwa sistem agroforestri
merupakan salah satu program CDM yang sangat mungkin diterapkan di
Indonesia dalam perdagangan karbon internasional. Namun demikian, merujuk
pada protokol Kyoto, kegiatan reforestasi dapat dijadikan proyek CDM jika lahan
yang digunakan merupakan lahan yang sebelum tanggal 31 Desember 1989 sudah
bukan hutan. Demikian juga kegiatan aforestasi, kegiatan alih fungsi lahan dari
86
pertanian menjadi hutan yang dapat dijadikan sebagai kegiatan CDM jika sejak 50
tahun lalu lahan tersebut telah berfungsi sebagai lahan pertanian (Jalid, 2004).
Dengan adanya prasyarat di atas, tidak ada luas lahan DAS Karang Mumus
yang layak untuk proyek CDM. Pembukaan lahan yang dilakukan di DAS Karang
Mumus dimulai pada tahun 1972 dengan adanya proyek transmigrasi. Namun,
jika proposal Canada untuk mengubah batas waktu 1990 menjadi 2000 tentang
status lahan dapat diterima, luas lahan yang layak untuk proyek CDM sesuai
dengan alokasi untuk kawasan lindung dan kawasan konservasi adalah 16.448,3
ha. Penyerapan karbon dari satu hektar hutan adalah sebesar 6 ton karbon per
tahun. Dengan demikian, diperoleh total karbon sebesar 98.689,8 ton karbon per
tahun. Berdasarkan artikel Guardian – Inggris diacu dalam Nasution (2008),
cadangan karbon pada saat ini dihargai sampai dengan USD 30 per ton karbon.
Dengan demikian, proyek perdagangan karbon akan menghasilkan USD
2.960.694 per tahun. Jika biaya transaksi untuk mendapatkan proyek perdagangan
karbon tersebut sekitar USD 1,7 per ton karbon (Murdiyarso, 2003 diacu dalam
Jalid, 2004), akan diperoleh keuntungan sebesar USD 2.792.921 per tahun. Untuk
satu ton karbon akan diperoleh keuntungan sebesar USD 28,3 per ton karbon per
tahun, sedangkan untuk satu hektar hutan akan diperoleh keuntungan sebesar USD
169,8 per tahun. Namun demikian, keuntungan yang diperoleh petani ternyata
masih kurang atraktif.
3. Mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity)
Keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan agroforestri dan ketegasan
pemerintah terhadap hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan hal yang sangat
penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Berkurangnya luas lahan
hutan sekunder di DAS Karang Mumus dari tahun 1992 sampai dengan 2007
sebesar 36,0% mengakibatkan hilangnya berbagai jenis vegetasi dan satwa yang
terdapat di dalamnya. Menurut Suhardi (2008), setiap satu spesies hilang akan
diikuti oleh hilangnya 10-30 spesies lainnya.
Upaya pengelolaan lanskap agroforestri pada dasarnya adalah untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati. Alokasi lahan hutan lindung, hutan
konservasi, dan pertanian lahan kering merupakan potensi yang cukup besar untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati melalui program reboisasi dan
87
rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Akan tetapi, jenis vegetasi yang
digunakan sebaiknya adalah jenis vegetasi lokal. Keberhasilan pengelolaan untuk
membentuk kembali kondisi lahan kritis seperti hutan akan mendatangkan
berbagai spesies satwa yang merasa sesuai dengan habitatnya.
Dalam skala mikro, pengembangan agroforestri di Hutan Pendidikan
Gunung Walat (HPGW) telah meningkatkan keanekaragaman jenis tanaman yang
sebelumnya didominasi oleh Agathis lorathifolia dan Pinus merkusii yang
ditanam secara monokultur. Peningkatan keanekaragaman jenis tanaman tersebut,
antara lain, Ammomum cardamomum, Manihot esculenta, Coffea robusta,
Swietenia macrophylla, Colocasia esculentum, Musa sp, dan Paraserianthes
falcataria (Sundawati, 2008).
4. Mempertahankan keindahan lanskap (landscape beautification)
Kawasan DAS Karang Mumus juga berpotensi untuk dikembangkan
menjadi kawasan wisata. Kawasan-kawasan wisata yang terdapat di DAS Karang
Mumus, antara lain, kawasan cagar budaya Dayak, taman wisata tanah merah,
lapangan golf, tempat-tempat pemancingan, dan tempat-tempat peristirahatan.
Melalui pengelolaan lanskap agroforestri, kawasan DAS Karang Mumus
juga dapat dikembangkan menjadi kawasan eco-tourism, agrowisata, dan kawasan
wisata sungai. Kawasan lindung dapat menjadi sumber pendapatan daerah dengan
adanya eco-tourism. Selain itu, masyarakat dapat memanfaatkan kegiatan
pertaniannya sebagai obyek wisata untuk pengembangan kawasan agrowisata.
Masyarakat dapat memperoleh penghasilan tambahan dari usaha pertaniannya
tersebut. Pengembangan kawasan wisata sungai (Gambar 28) dapat dilakukan jika
relokasi permukiman tepi sungai telah berhasil dilakukan seluruhnya. Dengan
demikian, untuk pengembangan kawasan wisata, kesiapan obyek wisata pertanian
dan kesiapan masyarakat harus menjadi perhatian pemerintah.
Tujuan-tujuan pengelolaan agroforestri di atas merupakan jasa lingkungan
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat DAS Karang Mumus. Hal ini dapat
dilakukan untuk mengatasi semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat DAS Karang Mumus.
88
Tabel 24. Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada daerah hulu,
tengah, dan hilir
Tipe penutupan dan Hulu Tengah Hilir
penggunaan lahan ha % ha % ha %
Kawasan lindung 4.833,4 49,4 7.693,7 34,9 445,7 41,3
Kawasan
konservasi 26,9 0,3 3.448,6 15,7 0 0
Pertanian lahan
kering 2.451,2 25,0 3.333,9 15,1 49,1 4,6
Pertanian lahan
basah 2.113,8 21,6 4.681,2 21,3 547,4 50,7
Permukiman 364,3 3,7 2.855,1 12,9 36,9 3,4
Total 9.789,6 100,0 22.012,5 100,0 1.301,2 100,0
91
alam. Salah satu contoh pola pertanian berkelanjutan adalah pola pertanian
yang memadukan tanaman, ikan, dan ternak (Mugnisjah et al., 2004).
Kegiatan usaha tani yang dilakukan dengan memadukan tanaman,
ikan, dan ternak memiliki beberapa dampak positif, baik dari segi ekologi,
ekonomi maupun sosial. Secara ekologis adanya tiga kegiatan budi daya
(tanaman, ikan, dan ternak) memungkinkan terjadinya daur materi sebagai
akibat dari adanya pemanfaatan limbah dari suatu kegiatan budi daya
untuk kegiatan budi daya lainnya. Sehubungan dengan penggunaan pupuk
organik, misalnya, kompos menyebabkan CO2 yang dihasilkan dilepas ke
atmosfir dan menurunkan keasaman tanah, sedangkan pemberian pupuk
kandang mempercepat proses pengomposan dan menghasilkan kualitas
kompos yang lebih baik. Dari segi ekonomi, adanya keterpaduan
antarkegiatan budi daya dapat mengurangi biaya produksi yang harus
dikeluarkan petani. Hal tersebut disebabkan adanya faktor produksi yang
dapat dipenuhi dari sistem produksi lainnya. Dari segi sosial sistem LEISA
yang diusahakan berkontribusi bagi ketahanan pangan keluarga petani
tersebut dan membantu penduduk sekitar dalam memperoleh pendapatan
sehingga turut mengurangi jumlah pengangguran (Mugnisjah et al., 2004).
d. Pertanian lahan basah
Tipe pertanian lahan basah terdiri atas sawah dan perikanan.
Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan juga
dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pertanian LEISA.
Berdasarkan hasil penelitian Mugnisjah et al. (2004), penerapan sistem
LEISA pada kegiatan usaha tani terpadu padi-ikan-itik yang dilakukan di
Kampung Karang Sari, Desa Sindang Asih, Kecamatan Karang Tengah,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dengan menggunakan lahan pertanian
yang terdiri atas dua ekosistem yang berbeda yaitu sawah (1.2 ha) dan
kolam (0.5 ha) merupakan kegiatan produksi yang dapat meningkatkan
penggunaan sumber daya lokal sehingga dapat menekan penggunaan
masukan eksternal buatan, yang oleh karenanya dapat menekan biaya
produksi yang dikeluarkan. Dengan adanya tiga komoditi yang
diusahakan, petani LEISA dapat mengurangi resiko kegagalan, selain itu,
96