Anda di halaman 1dari 61

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Lanskap DAS Karang Mumus


4.1.1. Faktor Biologi-Fisik
4.1.1.1. Topografi
Secara keseluruhan DAS Karang Mumus memiliki variasi ketinggian
dengan kisaran 0 - 225 m di atas permukaan laut (dpl). Hal ini menyebabkan
tidak terdapatnya perbedaan karakteristik bio-climatic yang jelas antara bagian
hulu, tengah, dan hilir kawasan DAS Karang Mumus. Berbeda dengan kondisi
DAS Cianjur, dengan variasi ketinggian berkisar antara 300 -1000 m dpl, terdapat
perbedaan yang jelas pada karakteristik bio-climaticnya (Saroinsong, 2002;
Pranoto et al., 2008). Dengan demikian, kawasan DAS Karang Mumus dengan
variasi ketinggian 0 – 225 m dpl merupakan daerah dataran rendah dengan bentuk
bentang lahan yang relatif datar, bergelombang, dan berbukit.

4.1.1.2. Kemiringan Lereng


Kemiringan lereng di DAS Karang Mumus (Lampiran 6) terdiri atas lima
kelas, yaitu kelas kemiringan lereng A atau datar (0 - 8%), B atau landai (8 -
15%), C atau agak curam (15 – 25%), D atau curam (25 – 45%), dan E atau curam
sekali (>45%). Pada Tabel 9, dapat dilihat bahwa wilayah DAS Karang Mumus
yang paling luas termasuk ke dalam kelas kemiringan lereng C atau agak curam
(15 – 25%). Kelas lereng C ini mencakup luasan 19.973,6 ha atau 62,0% dari
total luas DAS Karang Mumus. Kelas lereng E atau curam sekali (>45%)
memiliki luasan wilayah terkecil yaitu 46,7 ha (0,2%). Kelas lereng A (0 – 8%),
B (8 – 15%), dan D (25 – 45%) memiliki luasan berturut-turut 4.903,8 ha
(15,2%), 2.908,9 ha (9,0%), dan 4.363,3 ha (13,6%).

Tabel 9. Kelas kemiringan lereng DAS Karang Mumus


No. Kelas lereng Kemiringan Keterangan Luas wilayah
(%) (ha) (%)
1. A 0–8 Datar 4.903,8 15,2
2. B 8 – 15 Landai 2.908,9 9,0
3. C 15 – 25 Agak curam 19.973,6 62,0
4. D 25 – 45 Curam 4.363,3 13,6
5. E >45 Curam sekali 46,7 0,2
Total 32.196,3 100,0
38

Berdasarkan kelas kemiringan lereng tersebut, luasan lereng agak curam


sampai curam sekali jika diakumulasikan maka akan mendominasi hampir
sebagian besar kawasan DAS Karang Mumus, yaitu 24.383,6 ha atau 75,7%. Hal
ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya erosi dan meningkatnya
sedimentasi di DAS Karang Mumus, terutama jika penutupan dan penggunaan
lahan tidak dikelola dengan benar. Kemiringan lereng datar tersebar di daerah
sepanjang sungai Karang Mumus, hal ini menyebabkan terjadinya penggunaan
lahan sebagai permukiman di daerah ini.

4.1.1.3. Geologi
Kawasan DAS Karang Mumus dibangun oleh formasi geologi Alluvium,
Kampung Baru, Balikpapan, dan Pulau Balang (Lampiran 7). Formasi Kampung
Baru memiliki sebaran yang terluas, yaitu sebesar 11.604,4 ha atau 36,0% dari
total luas DAS Karang Mumus. Pada Tabel 10, dapat dilihat luasan masing-
masing formasi geologi penyusun kawasan DAS Karang Mumus. Secara ringkas,
deskripsi masing-masing formasi geologi dapat dilihat pada Lampiran 8.

Tabel 10. Luasan formasi geologi di DAS Karang Mumus


No. Formasi geologi Luasan
ha %
1. Alluvium 8.077,2 25,1
2. Kampung Baru 11.604,4 36,0
3. Balikpapan 9.086,9 28,2
4. Pulau Balang 3.427,8 10,7
Total 32.196,3 100,0

4.1.1.4. Jenis Tanah


Pola spasial jenis tanah dalam lokasi penelitian dapat dilihat pada peta jenis
tanah (Lampiran 9). Klasifikasi tanah yang dipergunakan dalam penetapan jenis
tanah adalah berdasarkan soil taxonomy yang dikembangkan oleh United State
Department of Agriculture (USDA) pada tahun 1999 (Subroto, 2004). Kawasan
DAS Karang Mumus memiliki 6 jenis tanah yang merupakan asosiasi antara
Tropodults dengan Tropoquepts, asosiasi antara Tropodults dengan Dystropepts,
dan asosiasi Rendols dengan Entropepts. Jenis-jenis tanah tersebut memiliki
tekstur dari lempung berpasir sampai lempung berliat, struktur umumnya
39

bergumpal, konsistensi tanah gembur pada lapisan atas dan teguh pada lapisan
bawah. Selain itu, jenis-jenis tanah tersebut mempunyai daya menahan air yang
kurang (Balitbangda, 2002). Dengan demikian, jenis tanah di kawasan DAS
Karang Mumus dapat dikategorikan peka terhadap erosi dan mudah longsor.
Terkait dengan kondisi iklim di DAS Karang Mumus, pada umumnya jenis
tanah yang terbentuk pada bentang alam yang stabil adalah order Ultisols,
sedangkan pada bentuk bentang alam yang masih relatif muda seperti dataran
Aluvial sungai mempunyai order tanah Entisols dan Inceptisols, dan pembagian
sub ordernya sangat ditentukan oleh rejim kelembaban tanah, tekstur tanah, dan
asal bahan induk.

4.1.1.5. Iklim
Data iklim yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan
dan suhu udara selama 10 tahun terakhir (1998 – 2007) yang tercatat pada Stasiun
Meteorologi dan Geofisika Samarinda. Hasil analisis data iklim dapat dilihat pada
Tabel 11.

Tabel 11. Hasil analisis data iklim DAS Karang Mumus tahun 1998 - 2007
Tahun Suhu (0C) Curah hujan (mm) Jumlah bulan
Maks Min Rata-rata Jumlah Rata-rata Kering Lembab Basah
1998 29,8 26,8 28,2 1.851,9 154,3 3 1 8
1999 27,4 26,4 26,9 2.684,0 223,7 - - 12
2000 27,6 26,4 26,9 2.584,2 215,4 - - 12
2001 27,5 26,7 27,2 1.913,3 159,4 1 1 10
2002 27,9 27,1 27,5 1.676,9 139,7 1 2 9
2003 27,8 26,9 27,4 2.347,3 195,6 1 2 9
2004 28,5 27,1 27,5 2.591,5 216,0 3 - 9
2005 28,5 26,9 27,5 2.550,4 212,5 1 2 9
2006 28,1 26,8 27,4 1.964,7 162,2 1 2 9
2007 28,3 26,9 27,5 2.453,7 204,5 - 1 11
Rata-rata 28,1 26,8 27,4 2.259,9 188,3 1,1 1,1 9,8
Sumber: Diolah dari Badan Meteorologi dan Geofisika Samarinda, 2007

Berdasarkan analisis data curah hujan dan suhu udara, diketahui bahwa DAS
Karang Mumus memiliki curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.259,9 mm, curah
hujan bulanan rata-rata sebesar 188,3 mm, suhu udara bulanan rata-rata sebesar
27,40C, suhu udara tertinggi rata-rata 28,10C, dan suhu udara terendah rata-rata
sebesar 26,80C.
40

Berdasarkan data curah hujan tahun 1998 – 2007, iklim DAS Karang
Mumus termasuk tipe iklim A menurut sistem klasifikasi Schmidt dan Ferguson,
dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah sebesar 11,22%. Tipe iklim A
mencirikan daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis. Batasan
kriteria bulan kering adalah bila curah hujan bulanan <60 mm, bulan basah adalah
bila curah hujan bulanan >100 mm, sedangkan bila kondisi curah hujan berada
diantara kedua nilai tersebut dinamakan bulan lembab.
Kondisi iklim di lokasi penelitian yang memiliki curah hujan yang tinggi,
suhu udara rata-rata bulanan tinggi, dan musim kering yang relatif lebih pendek
daripada musim hujan berpotensi untuk mempercepat terjadinya proses pencucian
unsur-unsur basa tanah dan koloid liat tanah sehingga membentuk jenis tanah
Ultisols, Entisols, dan Inceptisols. Oleh karena itu, jika penutupan lahan (land
cover) di lokasi penelitian dalam kondisi banyak terdapat lahan terbuka atau
terdapat sedikit tanaman penutup (cover crop), maka kondisi iklim dapat
mempercepat terjadinya proses erosi dan meningkatnya sedimentasi.

4.1.1.6. Jenis Vegetasi dan Satwa


Hutan alam yang masih dapat dijumpai di wilayah DAS Karang Mumus
adalah hutan yang berada di Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS) yang terletak
di Kelurahan Lempake. Jenis vegetasi awal KRUS adalah hutan alami
Dipterocarpacea, setelah kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1983, 1993,
dan 1998, vegetasi hutan alami menjadi vegetasi hutan sekunder muda.
Berdasarkan piagam atau nota kerja sama (MoU) antara Pemerintah Kota
Samarinda dengan Universitas Mulawarman no. 871/OT/2001-556.6/28/2001
pada tanggal 17 Februari 2001, KRUS dicanangkan sebagai kawasan pendidikan,
wisata, dan seni budaya dengan luas 300 ha. Luasan KRUS hanya 0,93% dari
total luasan DAS Karang Mumus.
Jenis vegetasi yang terdapat di hutan sekunder muda KRUS adalah meranti
kuning (Shorea hofeifolia), bongin atau pauh kijang (Irvingia malayana),
lelantung tokak (Tabernaemontana acrocarpa), kapur (Dryobalanops aromatica),
gambir (Trigonostemon bornensis), ulin (Eusideoxylon zwageri), kayu bawang
(Scorodocarpus bornensis), gaharu (Aqullaria malacensis), kayu arang
41

kalimantan (Diosyiros bornensis), simpur (Delinea sp.). Selain itu, terdapat juga
berbagai jenis anggrek, tanaman perkebunan, tanaman buah-buahan, bambu,
rotan, palem, pakis haji, jamur, alga, lumut, dan paku-pakuan (Tasa, 2005).
Jenis satwa yang terdapat di KRUS adalah laba-laba (Oxyopes sp.), kupu-
kupu (Papilio sp.), bangkong badak (Buceros rhinoceros), beluk ketupa (Ketupa
ketupu), elang bondol (Haliaster alcedo miniting), bangau atau cangak merah
(Ardea purpurea), beo atau tiung (Gracula religiosa), buaya (Crocodilus
porosus), orang utan (Pongo pygmaeus), kukang bukang (Nyctycebus cauncang),
beruk (Macaca nemestrina), trenggiling (Manis javanica), codot krawar
(Cynopterus brachyotis), beruang merah (Helarctos malayan), rusa sambar atau
payau (Cervus unicolor), kuda (Equus pizewalskii), musang luwak (Paradoxurus
hermaphroditus), binturung (Arstictis binturung) (Tasa, 2005).
Keragaman jenis vegetasi dan satwa yang terdapat pada hutan sekunder
muda KRUS masih cukup banyak. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan
pada tahun 2003 terdapat 2.600 vegetasi pohon hidup yang berdiameter >50 cm,
tetapi banyak yang telah cacat.

4.1.1.7. Hidrologi
Sungai utama yang mengalir di kawasan DAS Karang Mumus adalah sungai
Karang Mumus. Sungai Karang Mumus dengan panjang 34,7 km merupakan
sumber air untuk mendukung kehidupan masyarakat DAS Karang Mumus, pada
saat ini fungsi tersebut menurun bahkan sering menimbulkan bahaya banjir dan
sumber penyakit. Banjir yang terjadi di Kota Samarinda beberapa hari menjelang
akhir tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Banjir di Kota Samarinda


42

Dari hasil studi yang dilakukan oleh Balitbangda (2004) menyebutkan,


status mutu air sungai Karang Mumus termasuk cemar berat jika dikomparasikan
dengan kelas mutu air I (penggunaan untuk air minum), II (penggunaan untuk
sarana dan prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar), dan III
(penggunaan untuk peternakan), dan termasuk cemar sedang jika dikomparasikan
kelas mutu air IV (penggunaan untuk pengairan tanaman). Kelas mutu air
tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.82 Tahun 2001
Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
Indikasi penyebab kondisi cemar adalah buangan limbah domestik,
menurunnya kadar oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO), meningkatnya
padatan atau residu yang tersuspensi (Total Suspended Solid/TSS), amonia, dan
beberapa parameter lainnya yang disebabkan erosi dan sedimentasi pada DAS
Karang Mumus, eksistensi permukiman penduduk dan aktivitasnya di sepanjang
bantaran sungai, limbah aktivitas kegiatan usaha kecil masyarakat (UKM), dan
residu pupuk atau pestisida dari kegiatan pertanian.
Pada kawasan DAS Karang Mumus terdapat delapan sub-DAS, yaitu sub-
DAS Pampang, sub-DAS Karang Mumus Ulu, sub-DAS Lantung, sub-DAS
Siring, sub-DAS Jaya Mulya, sub-DAS Muang, sub-DAS Betapus dan sub-DAS
Karang Mumus Ilir (Balitbangda, 2002). Limpasan air dari Sungai Karang
Mumus beserta sub-DASnya mengalir melewati bendungan Benanga, selanjutnya
limpasan air dari bendungan Benanga mengalir ke sungai utama Karang Mumus
menuju Kota Samarinda dan akhirnya bermuara ke Sungai Mahakam.
Berdasarkan pola jaringan aliran sungai (sistem drainase) sungai Karang Mumus
memiliki pola percabangan pohon (dendritic pattern) (Lampiran 10).
Karakteristik dari pola percabangan pohon adalah gerakan limpasan air sungainya
relatif cepat dari bagian hulu menuju ke hilir atau muara sungai dari suatu DAS
(Balitbangda, 2002).

4.1.1.8. Pola-Pola Agroforestri


Penutupan dan penggunaan lahan di lokasi penelitian berdasarkan
klasifikasi citra Landsat 2007 terdiri atas hutan konservasi, hutan sekunder, semak
belukar, lahan terbuka, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah,
43

waduk/bendungan, dan permukiman. Kombinasi dari beberapa tipe penutupan dan


penggunaan lahan yang telah disebutkan di atas, menunjukkan terdapatnya pola-
pola lanskap agroforestri di dalam bentang lahan DAS Karang Mumus, terutama
agroforestri terintegrasi.
Di dalam tipe penggunaan lahan seperti pertanian lahan kering dan
permukiman terdapat pola-pola agroforestri kompleks. Pola-pola agroforestri
kompleks yang dapat ditemukan di lokasi penelitian, antara lain, pekarangan,
ladang, dan kebun campuran.
1. Pekarangan
Pekarangan merupakan salah satu pola penggunaan lahan dengan sistem
agroforestri kompleks. Pekarangan adalah lahan yang berada di sekeliling rumah
dengan batas kepemilikan yang jelas, dan biasanya ditanami dengan berbagai
kombinasi tanaman, ikan, dan juga ternak untuk memenuhi kebutuhan subsisten
dan komersial (Arifin et al., 2008).
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, jenis tanaman yang
terdapat di pekarangan, antara lain, kelapa, rambutan, pisang, mangga, nangka,
durian, pepaya, jagung, ubi kayu, belimbing, srikaya, melinjo, elai, cempedak,
tebu, jahe, kunyit, lengkeng, jambu air, jambu, salak, dan sukun. Selain itu, juga
terdapat jenis tanaman sayur-sayuran dan tanaman hias. Beberapa di antaranya
memiliki hewan ternak seperti ayam, bebek, ikan, dan kambing. Hal ini
menunjukkan banyaknya keragaman jenis yang terdapat di pekarangan, walaupun
sebagian besar pekarangan belum dimanfaatkan secara optimal. Pemanfaatan
pekarangan (Gambar 11) di DAS Karang Mumus sangat tergantung pada
kebutuhan pemilik lahan, sebagian ada yang digunakan untuk menjemur hasil
panen, dan ada juga yang digunakan sebagai tempat bersosialisasi.
Seperti diketahui bahwa pekarangan memiliki beberapa fungsi, yaitu fungsi
produksi, sosial budaya, estetika, dan ekologi. Dalam fungsi produksi, berbagai
tanaman di pekarangan, terutama tanaman nursery, buah-buahan, tanaman
industri, sayuran, dan rempah-rempah, dan ternak dapat dipanen. Selain
memberikan kontribusi bagi tambahan diet protein, karbohidrat, vitamin, dan
mineral, pekarangan dapat pula memberikan tambahan pendapatan (Arifin, 2000).
Fungsi ekologis pekarangan diperoleh dari kombinasi jenis tanaman penyusun
44

pekarangan tersebut seperti tingginya keanekaragaman jenis dan konservasi


terhadap tanah dan air. Oleh karena itu, pekarangan dapat dijadikan suatu model
pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri kompleks dengan tercapainya
fungsi-fungsi di dalam pekarangan tersebut.

Gambar 11. Pemanfaatan pekarangan

2. Ladang
Tipe penggunaan lahan ini merupakan usaha tanaman pertanian lahan kering
yang dirotasikan dengan padi ladang atau tanaman palawija. Tanaman yang
umum diusahakan oleh masyarakat di lokasi penelitian adalah padi ladang,
jagung, cabai, ubi kayu, lada, pepaya, dan lain-lain. Pada umumnya ladang atau
tegalan menempati daerah-daerah berlereng dan relatif terbuka. Teknik-teknik
konservasi lahan dapat diterapkan pada tipe-tipe penggunaan lahan seperti ini,
baik secara vegetatif maupun mekanik.
3. Kebun Campuran
Tipe penggunaan lahan kebun campuran merupakan lahan yang ditanami
tanaman tahunan ataupun tanaman semusim, termasuk di dalamnya tanaman
produksi kayu. Beberapa jenis tanaman yang terdapat di kebun campuran adalah
durian, elai, cempedak, kelapa, pisang, dan rambutan. Kebun campuran tersebar
di seluruh lokasi penelitian. Dengan kombinasi jenis tanaman yang hampir
menyerupai hutan, kebun campuran sebagai sistem agroforestri kompleks dapat
direkomendasikan untuk menggantikan tipe penutupan dan penggunaan lahan
berupa semak belukar dan lahan terbuka.
Usaha perkebunan yang berkembang di hulu DAS Karang Mumus ialah
tanaman kakao, kopi, kelapa, salak, coklat, pisang, durian, dan rambutan. Pada
45

beberapa tempat dijumpai pula usaha hutan rakyat yang menanam jenis sengon,
sungkai, dan jati. Pada daerah berbukit di Lempake dijumpai juga tanaman aren.

4.1.1.9. Aksesibilitas
Berdasarkan survei lapang dan pengamatan yang dilakukan di lokasi
penelitian, sungai Karang Mumus sejak tahun 1980 sudah jarang dipergunakan
sebagai jalur transportasi. Kondisi ini dapat dilihat dari sulitnya melakukan
perjalanan melalui sungai Karang Mumus karena keberadaan vegetasi dan pohon-
pohan yang melintang di tengah sungai (Gambar 12). Selain itu, keberadaan
permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai (Gambar 13) dan jembatan-
jembatan yang menghubungkan kedua sisi sempadan sungai semakin
memperparah kondisi sungai Karang Mumus.

Gambar 12. Keberadaan vegetasi yang melintang di tengah sungai Karang


Mumus

Gambar 13. Permukiman penduduk di sepanjang sempadan sungai Karang


Mumus
46

Menurut DPU Kota Samarinda (2003), sebelum tahun 1970-an sungai


Karang Mumus merupakan sarana transportasi bagi petani-petani yang berasal
dari desa Bayur, Muang dan Lempake untuk memasarkan hasil-hasil pertanian,
buruan dan hasil hutan non kayu ke Kota Samarinda yang memerlukan waktu 2- 3
jam dengan perahu dayung, kemudian para transmigran dan penduduk lokal mulai
menggunakan perahu bermesin dengan kekuatan 7 sampai dengan 10 PK. Dalam
perkembangannya, kemudian dimulai pembukaan jalan dari Kota Samarinda
menuju Bontang, Muara Badak dan Sangatta pada tahun 1980 - 1995. Semakin
mudahnya jalur transportasi darat dan dengan biaya yang dikeluarkan hanya
berkisar antara Rp. 10.000,- sampai dengan Rp. 15.000,- dari daerah hulu DAS
Karang Mumus atau Kecamatan Muara Badak menuju daerah hilir atau Kota
Samarinda, maka sungai Karang Mumus sebagai jalur transportasi sungai semakin
dilupakan.

4.1.1.10. Perubahan Penutupan dan Penggunaan Lahan


Analisis spasial dan temporal di dalam penelitian ini dilakukan terhadap
citra satelit Landsat TM tahun 1992 dan 2007. Proses interpretasi kelas
penutupan dan penggunaan lahan berdasarkan pada tampilan citra secara visual
dan divalidasi dengan survei lapang serta data penunjang lainnya.
Berdasarkan hasil interpretasi dari citra satelit Landsat TM tahun 1992 dan
2007 terdapat 8 kelas penutupan dan penggunaan lahan, antara lain permukiman,
waduk, lahan terbuka, semak belukar, pertanian lahan basah, pertanian lahan
kering, hutan sekunder, dan hutan konservasi. Deskripsi dari masing-masing tipe
penutupan dan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 12. Komposisi dan
penyebaran spasial tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang
Mumus dapat dilihat pada Tabel 13, Gambar 14, dan Gambar 15.
47

Tabel 12. Deskripsi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada DAS Karang
Mumus

No. Tipe penutupan dan Deskripsi


penggunaan lahan
1. Permukiman Bentang lahan yang digunakan sebagai lokasi tempat tinggal
penduduk, terdapat kombinasi sarana jalan, bangunan, dan lain-
lain yang mendukung tipe penggunaan sebagai permukiman.
Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga kawasan industri,
perdagangan, dan jasa.
2. Bendungan/waduk Penutupan lahan yang digenangi oleh air yang berasal dari
beberapa anak sungai, terdapat bangunan tanggul penahan air
dan saluran outlet pada sungai utamanya.
3. Lahan terbuka Tanah kosong yang terbuka atau terdapat sedikit vegetasi.
4. Semak belukar Bentang lahan yang didominasi oleh vegetasi semak, rumput-
rumputan, tumbuhan menjalar, dan juga perdu.
5. Pertanian lahan Bentang lahan yang ditanami tanaman pertanian, terutama padi
basah sebagai tanaman utama dengan rotasi tertentu. Pada umumnya
diairi sejak saat penanaman hingga beberapa waktu sebelum
panen. Tipe penggunaan lahan ini termasuk juga perikanan.
6. Pertanian lahan Bentang lahan yang ditanami berbagai jenis tanaman pertanian,
kering terutama padi ladang, palawija, sayuran, dan buah-buahan yang
diusahakan tidak memerlukan air yang banyak. Tipe
penggunaan lahan ini terdiri atas tegalan, ladang, perkebunan,
kebun campuran, dan peternakan.
7. Hutan sekunder Bentang lahan yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan. Pada
umumnya diameter pohon >10 cm dengan tajuk yang cukup
rimbun.
8. Hutan konservasi Bentang lahan yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan. Pada
umumnya diameter pohon >10 cm dengan tajuk yang rimbun.
Perbedaan tipe peggunaan lahan ini dengan hutan sekunder
adalah kepemilikan status hukum.
Sumber: Hasil survei (2008), Sabri (2004), Sehe (2007), dan Kaswanto (2007).

Tabel 13. Komposisi tipe-tipe penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang
Mumus tahun 1992 dan 2007
Tipe penutupan dan penggunaan lahan Luasan Perubahan
1992 2007
ha % ha % ha %
Permukiman 1.277,1 3,9 1.926,9 5,9 649,8 50,9
Waduk/Bendungan 408,9 1,3 408,9 1,3 0 0
Lahan terbuka 119,5 0,4 712,7 2,2 593,2 495,5
Semak belukar 25.297,4 77,9 25.762,1 79,3 464,7 1,8
Pertanian lahan basah 1.034,8 3,2 807,8 2,5 -226,9 21,9
Pertanian lahan kering 170,9 0,5 99,3 0,3 -71,6 41,9
Hutan sekunder 3.969,5 12,2 2.540,5 7,8 -1.429,0 36,0
Hutan konservasi 219,7 0,7 219,7 0,7 0 0
Total* 32.477,7 100,0 32.477,7 100,0
Sumber: Hasil analisis citra Landsat TM 1992 dan 2007
48

Gambar 14. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra
Landsat TM 1992)
49

Gambar 15. Peta penutupan dan penggunaan lahan DAS Karang Mumus (Citra
Landsat TM 2007)
50

Berdasarkan Tabel 13, Gambar 14, dan Gambar 15, dapat dilihat bahwa
penutupan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh semak belukar dengan
persentase sebesar 77,9% pada tahun 1992 dan 79,3% pada tahun 2007. Hutan
sekunder mengalami penurunan persentase luas dari 12,2% menjadi 7,8%.
Permukiman mengalami peningkatan persentase luas dari 3,9% menjadi 5,9%.
Persentase luasan lahan terbuka meningkat dari 0,4% menjadi 2,2%. Pertanian
lahan basah mengalami penurunan luas dari 3,2% pada tahun 1992 menjadi
menjadi 2,5% pada tahun 2007. Persentase luas pertanian lahan kering
mengalami penurunan luas dari 0,5% menjadi 0,3%. Luasan bendungan dan
hutan konservasi tidak mengalami perubahan luasan yaitu masing-masing sebesar
1,3% dan 0,7%. Dari uraian di atas, terlihat adanya perubahan komposisi luasan
pada masing-masing tipe penutupan dan penggunaan lahan. Dengan
membandingkan secara temporal citra Landsat pada tahun 1992 dan 2007 dapat
diketahui bahwa tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa permukiman, lahan
terbuka, dan semak belukar mengalami peningkatan luas. Sebaliknya, terjadi
penurunan luas pada tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, dan hutan sekunder.
Komposisi luasan permukiman meningkat dari 1.277,1 ha menjadi 1.926,9
ha atau meningkat seluas 649,8 ha (50,9%). Lahan terbuka meningkat dari 119,5
ha menjadi 712,7 ha atau meningkat seluas 593,2 ha (495,5%). Semak belukar
meningkat dari 25.297,4 ha menjadi 25.762,1 ha atau meningkat seluas 464,7 ha
(1,8%). Sebaliknya, tipe penutupan dan penggunaan lahan berupa pertanian lahan
basah berkurang dari 1.034,8 ha menjadi 807,8 ha atau berkurang seluas 226,9 ha
(21,9%). Pertanian lahan kering berkurang dari 170,9 ha menjadi 99,3 ha atau
berkurang seluas 71,6 ha (41,9%). Hutan sekunder berkurang dari 3.969,5 ha
menjadi 2.540,5 ha atau berkurang seluas 1.429,0 ha (36,0%). Sebagian besar
berkurangnya luasan pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan hutan
sekunder disebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan sebagai
permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka.
Menurut DPU (2003), fungsi hutan alam berkurang pada DAS Karang
Mumus sekitar 2% per tahun (627 ha/tahun), sebagian besar berubah menjadi
daerah permukiman dan lahan kritis. Pertambahan luas daerah permukiman 0,27%
51

per tahun (85,8 ha/tahun), sebagian besar berasal dari perubahan fungsi hutan dan
daerah pertanian lahan kering (perladangan).
Jika dikaitkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1992 dan 2006, dapat
diketahui bahwa peningkatan jumlah penduduk merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya perubahan penutupan dan penggunaan lahan. Dengan
bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan lahan semakin meningkat dan
ditambah pula dengan kemajuan teknologi yang menyebabkan terjadinya
akselerasi pembukaan lahan-lahan baru. Daerah yang awalnya merupakan daerah
resapan dan penahan air berubah menjadi areal permukiman yang relatif kedap.
Menurut Weng (2001), pertumbuhan penduduk dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi menjadi faktor dominan perubahan penutupan dan penggunaan lahan
hampir di seluruh permukaaan bumi.
Dengan demikian, dapat diprediksi bahwa pada tahun 2012 dengan jumlah
penduduk sebesar 276.756 jiwa, akan terjadi pengkonversian penutupan dan
penggunaan lahan yang ada pada saat ini, terutama pertanian lahan basah,
pertanian lahan kering, semak belukar, dan hutan sekunder menjadi lahan-lahan
permukiman, lahan-lahan pertanian baru, dan juga lahan terbuka. Berdasarkan
kedekatan dengan kota dan tersedianya aksesibilitas jalan, penyebaran konversi
ini akan berkembang dari daerah hilir menuju ke daerah hulu DAS Karang
Mumus. Kondisi ini didukung oleh Sandy (1973) yang mengatakan bahwa pola
penggunaan lahan dipengaruhi oleh jumlah penduduk, penyebaran, profesi, dan
tingkat kehidupan masyarakat, serta aksesibilitasnya. Lahan yang mudah dicapai
akan dimanfaatkan terlebih dahulu dibandingkan dengan lahan yang sukar
dicapai. Dengan demikian, kawasan DAS Karang Mumus akan mengalami
perubahan sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Apabila hal ini tidak menjadi
perhatian berbagai pihak yang terkait, fungsi kawasan DAS Karang Mumus akan
semakin menurun.
Sistem agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengelola
terjadinya perubahan penggunaan lahan yang terus meningkat seiring dengan
meningkatnya laju pertambahan penduduk, mengatasi masalah pangan,
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan juga meningkatkan kualitas
lingkungan (Widianto et al., 2003). Hal ini dapat dibuktikan oleh beberapa
52

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di seluruh wilayah Indonesia.


Pengkombinasian secara tata ruang berbagai komponen agroforestri, yaitu
kehutanan, pertanian, dan permukiman dalam penyebarannya dapat dilakukan
secara horizontal (bidang datar) atau secara vertikal. Penyebaran secara
horizontal ditinjau dari bidang datar pada lahan yang diusahakan untuk
agroforestri (dilihat dari atas, sebagaimana suatu potret udara). Berbeda dengan
penyebaran secara horizontal, penyebaran vertikal dilihat dari struktur kombinasi
komponen penyusun agroforestri berdasarkan bidang samping atau penampang
melintang (cross-section). Penyebaran horizontal dapat dikombinasikan dengan
penyebaran vertikal (Sardjono et al., 2003). Contoh kombinasi komponen
agroforestri secara horizontal dalam skala lanskap dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Contoh kombinasi komponen agroforestri secara horizontal dalam


skala lanskap (Sardjono et al., 2003)

4.1.1.11. Kesesuaian Lahan


Berdasarkan sistem lahan, kawasan DAS Karang Mumus dikelompokkan
menjadi 7 sistem lahan (Lampiran 11). Sistem-sistem lahan tersebut adalah
Mentalat, Teweh, Teweh Baru, Maput, Lawangwang, Kahayan, dan Kota. Hasil
evaluasi kesesuaian lahan DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 14.
53

Tabel 14. Hasil evaluasi kesesuaian lahan DAS Karang Mumus


Tipe penutupan Kelas kesesuaian
dan penggunaan
lahan S1 S2 S3 N
ha % ha % ha % ha %
Kawasan lindung 8.810,5 27,1 12.805,4 39,4 7.947,5 24,5 2.936,6 9,0
Kawasan
konservasi 3.475,5 10,7 682,3 2,1 647,7 2,0 27.694,5 85,2
Pertanian lahan
kering 20.009,7 61,6 2.237,9 6,9 8.580,2 26,4 1.672,1 5,1
Pertanian lahan
basah 12.802,5 39,4 8.264,5 25,4 2.381,0 7,3 9.051,9 27,9
Permukiman 19.520,1 60,1 2.745,7 8,4 362,9 1,1 9.871,3 30,4
Keterangan: S1 = Sangat sesuai; S2 = Cukup sesuai; S3 = Sesuai marjinal; N = Tidak Sesuai

Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan untuk kawasan lindung


diperoleh hasil pembandingan yang dapat dilihat pada Gambar 17. Hasil tersebut
memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan untuk kawasan lindung yang
sangat sesuai (S1) adalah seluas 8.810,5 ha (27,1%); kawasan yang cukup sesuai
(S2) untuk kawasan lindung adalah seluas 12.805,4 ha (39,4%); kawasan yang
sesuai marjinal (S3) adalah seluas 7.947,5 ha (24,5%); kawasan yang tidak sesuai
(N) seluas 2.936,6 ha (9,0%). Kemiringan lereng menjadi salah satu faktor
pembatas untuk kelas kesesuaian kawasan lindung. Kemiringan lereng <15-25%
pada dasarnya dapat digunakan untuk penggunaan-penggunaan lain selain
kawasan lindung. Menurut Saroinsong (2002), semakin meningkat kemiringan
lereng semakin sedikit proporsi sawah dan permukiman. Sebaliknya, semakin
berkurang kemiringan lereng seharusnya semakin besar proporsi hutan, kebun
campuran, dan talun.
Pada Gambar 18 dapat dilihat hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk
kawasan konservasi. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan
untuk kawasan konservasi yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 3.475,5 ha
(10,7%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah 682,3 ha (2,1%); luas
kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah 647,7 ha (2,0%); luas kawasan yang
tidak sesuai (N) adalah 27.694,5 ha (85,2%). Kesesuaian lahan kawasan
konservasi didasarkan atas keberadaan hutan sekunder yang masih mempunyai
jenis-jenis vegetasi dan satwa alami. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka
(2007), penilaian kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi didasarkan atas
kekhasan masing-masing kawasan sesuai dengan tujuan konservasi yang
dilakukan tersebut.
54

Gambar 17. Peta kesesuaian lahan kawasan lindung


55

Gambar 18. Peta kesesuaian lahan kawasan konservasi


56

Hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering dapat


dilihat pada Gambar 19. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian
lahan untuk pertanian lahan kering yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 20.009,7
ha (61,6%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah 2.237,9 ha (6,9%); luas
kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah seluas 8.580,2 ha (26,4%); luas
kawasan yang tidak sesuai (N) adalah 1.672,1 ha (5,1%). Kualitas lahan yang
menjadi faktor pembatas untuk pertanian lahan kering adalah kemiringan lereng
dan drainase. Kawasan dengan kemiringan lereng 15-25% dan drainase agak
terhambat merupakan kawasan yang sesuai marjinal untuk pertanian lahan kering.
Untuk mengatasi faktor pembatas tersebut, diperlukan kegiatan pengelolaan
berupa teknik-teknik konservasi tanah. Teknik-teknik konservasi tanah yang
diterapkan harus sesuai dengan fungsi lahannya, yaitu fungsi lindung, fungsi budi
daya tanaman tahunan, dan fungsi budi daya tanaman semusim (Departemen
Kehutanan, 1986 diacu dalam Hardjowigeno & Widiatmaka, 2007). Upaya
pengelolaan dengan penerapan teknik-teknik konservasi tersebut diharapkan dapat
memperbaiki kualitas lahan menjadi kelas cukup sesuai (S2) untuk pertanian
lahan kering.
Pada Gambar 20 dapat dilihat hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk
pertanian lahan basah. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian
lahan untuk pertanian lahan basah yang sangat sesuai (S1) adalah seluas 12.802,5
ha (39,4%); luas kawasan yang cukup sesuai (S2) adalah seluas 8.264,5 ha
(25,4%); luas kawasan yang sesuai marjinal (S3) adalah seluas 2.381,0 ha (7,3%);
kawasan yang tidak sesuai (N) untuk pertanian lahan basah adalah seluas 9.051,9
ha (27,9%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk pertanian lahan
basah adalah kemiringan lereng dan drainase. Kawasan dengan kemiringan lereng
8->25% dan drainase sedang dan baik merupakan kawasan yang termasuk sesuai
marjinal dan tidak sesuai untuk pertanian lahan basah. Kegiatan pengelolaan yang
dilakukan hanya dapat meningkatkan kualitas lahan menjadi satu tingkat lebih
baik, yaitu menjadi cukup sesuai dan sesuai marjinal. Kegiatan pengelolaan yang
dapat dilakukan adalah penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan air dan
pembuatan saluran irigasi.
57

Gambar 19. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan kering


58

Gambar 20. Peta kesesuaian lahan pertanian lahan basah


59

Hasil pembandingan kesesuaian lahan untuk permukiman dapat dilihat pada


Gambar 21. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kelas kesesuaian lahan yang
sangat sesuai (S1) untuk permukiman adalah 19.520,1 ha (60,1%); luas kawasan
yang cukup sesuai (S2) adalah 2.745,7 ha (8,4%); luas kawasan yang sesuai
marjinal (S3) adalah 362,9 ha (1,1%); kawasan yang tidak sesuai (N) adalah
9.871,3 ha (30,4%). Kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas untuk
permukiman adalah kemiringan lereng dan banjir. Berdasarkan faktor pembatas
kerawanan banjir, kawasan permukiman eksisting yang merupakan pusat Kota
Samarinda berada pada kawasan yang tidak sesuai untuk permukiman. Kegiatan
pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah banjir adalah dengan
memperbaiki saluran-saluran drainase, pengelolaan sampah, pembuatan sumur-
sumur resapan, penanaman vegetasi, dan lain-lain. Berdasarkan hasil evaluasi
kesesuaian lahan ini, diharapkan adanya pertimbangan Pemerintah Kota
Samarinda untuk melakukan pengembangan kawasan permukiman di kawasan
yang sangat sesuai untuk permukiman.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda
(2005), Pemerintah Kota Samarinda akan melakukan pengembangan kawasan
permukiman di wilayah Kecamatan Samarinda Utara. Kecamatan Samarinda
Utara berdasarkan hasil kesesuaian lahan untuk permukiman merupakan kawasan
yang sangat sesuai untuk pengembangan kawasan permukiman. Namun demikian,
dalam pengembangan kawasan permukiman harus tetap memperhatikan dampak-
dampak lingkungan yang akan ditimbulkan akibat adanya pengembangan
kawasan tersebut, termasuk juga memperhatikan kegiatan pengelolaannya.
60

Gambar 21. Peta kesesuaian lahan permukiman


61

4.1.1.12. Sedimentasi
Pengetahuan tentang proses-proses hidrologi yang berlangsung dalam
ekosistem DAS sangat bermanfaat bagi pengembangan sumber daya alam,
khususnya air. Sistem hidrologi erat kaitannya dengan hubungan berlangsungnya
erosi di daerah tangkapan air dan besarnya sedimentasi yang terjadi di aliran
sungai daerah tangkapan air tersebut.
Menurut Asdak (2007), sedimen adalah hasil proses erosi, baik erosi
permukaan, erosi parit, atau jenis erosi tanah lainnya. Sedimen umumnya
mengendap di bagian bawah kaki bukit, di daerah genangan banjir, di saluran air,
sungai, dan bendungan.
Hasil sedimen (sediment yield) adalah besarnya sedimen yang berasal dari
erosi yang terjadi di daerah tangkapan air yang diukur pada periode waktu dan
tempat tertentu. Berdasarkan hasil evaluasi, hasil sedimen yang terjadi di DAS
Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus


Sub-DAS Luas SDR Tanah tererosi (ton/thn) Hasil sedimen (ton/thn)
(ha) 2000 2002 2000 2002
Karang Mumus Ulu 6.926,8 0,127 1.649.271 4.599.956,3 209.457,4 584.194,4
Lantung 1.274,8 0,153 303.530 846.570,5 46.440,1 129.525,3
Pampang 6.925,5 0,127 1.648.961 4.599.092,9 209.418,1 584.084,8
Siring 1.804,3 0,153 429.604 1.198.201,3 65.729,4 183.324,8
Jaya Mulya 2.109,8 0,153 502.344 1.401.078,1 76.858,5 214.364,9
Muang 1.980,0 0,153 471.438 1.314.880,4 72.130,0 201.176,7
Betapus 2.444,0 0,153 581.916 1.623.013,9 89.033,2 248.321,1
Karang Mumus Ilir 8.000,0 0,127 1.904.800 5.312.648,0 241.909,6 674.706,3
Total 31.465,2 7.491.863 20.859.441,5 1.010.976,3 2.819.698,4
Sumber: Diolah dari Hardwinarto (2000), Balitbangda (2002), dan BPDAS-MB (2004).

Berdasarkan data erosi tahun 2000 dan 2002, hasil sedimen yang terjadi di
DAS Karang Mumus mengalami peningkatan yang sangat besar. Pada tahun
2000, hasil sedimen yang diperoleh adalah sebesar 1.010.976,3 ton/tahun
meningkat menjadi 2.819.698,4 ton/tahun pada tahun 2002. Terjadi peningkatan
sebesar 1.808.722,1 ton atau sekitar 178,9%. Prediksi hasil sedimen yang
dihasilkan pada tahun 2008 adalah sebesar 8.245.864,7 ton/tahun, dengan asumsi
bahwa penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus tidak mengalami
perubahan. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang mempengaruhi hasil
sedimen yang terjadi pada suatu DAS.
62

Salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya sedimen yang terjadi adalah
faktor biofisik DAS Karang Mumus. Iklim, jenis tanah, kemiringan lereng, dan
vegetasi mempunyai peranan penting terhadap berlangsungnya proses erosi-
sedimentasi (Asdak, 2007). Kondisi iklim di lokasi penelitian dengan tipe iklim
tropis basah dapat mempercepat proses pelapukan batuan dan pembentukan tanah.
Selain itu, jenis tanah yang tergolong peka terhadap erosi dan mudah longsor juga
menjadi salah satu penyebab besarnya sedimentasi yang terjadi. Tingkat bahaya
erosi-sedimentasi menjadi lebih besar apabila jenis tanah tersebut mempunyai
tingkat kemiringan lereng yang besar. Demikian halnya dengan struktur vegetasi,
semakin luasnya lahan terbuka dan semak belukar tanpa vegetasi penutup tanah
yang baik dapat meningkatkan potensi terjadinya erosi-sedimentasi. Faktor
penyebab yang lain adalah adanya aktivitas manusia yang dilakukan di DAS
Karang Mumus tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Menurut Asdak (2007), tidak semua tanah yang tererosi di permukaan
daerah tangkapan air akan sampai pada titik pengamatan. Sebagian tanah tererosi
tersebut akan terdeposisi di cekungan-cekungan permukaan tanah, di kaki-kaki
lereng, dan bentuk-bentuk penampungan sedimen lainnya. Oleh karena itu,
besarnya hasil sedimen biasanya bervariasi mengikuti karakteristik fisik DAS.
Terjadinya transpor sedimen sebesar 8.245.864,7 ton/tahun di DAS Karang
Mumus ke daerah hilir akan menyebabkan pendangkalan bendungan, sungai,
saluran irigasi, dan terbentuknya tanah-tanah baru di pinggir-pinggir dan di delta-
delta sungai. Dengan demikian, proses sedimentasi dapat memberikan dampak
yang menguntungkan dan merugikan. Dikatakan menguntungkan jika pada tingkat
tertentu adanya aliran sedimen ke daerah hilir dapat menambah kesuburan tanah
serta terbentuknya tanah garapan baru di daerah hilir. Akan tetapi, pada saat
bersamaan aliran sedimen juga dapat menurunkan kualitas air dan pendangkalan
badan air di DAS Karang Mumus.
Dalam konteks pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus,
kegiatan pengelolaan yang akan dilakukan bertujuan mengendalikan atau
menurunkan hasil sedimen yang terjadi karena kerugian yang ditimbulkan oleh
adanya proses sedimentasi jauh lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.
63

4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya


4.2.2.1. Jumlah dan Kepadatan Penduduk
Jumlah dan kepadatan penduduk merupakan unsur yang sangat penting
dalam kependudukan. Kepadatan penduduk suatu wilayah dapat didekati dari dua
cara, yaitu kepadatan geografis atau population density (orang per km2) dan
kepadatan agraris atau man land ratio (orang per ha). Kepadatan geografis
menggambarkan jumlah penduduk untuk setiap satuan luas wilayah, sedangkan
kepadatan agraris menggambarkan beban lahan pertanian untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia yang menghuninya (Sehe, 2007). Perkiraan jumlah
penduduk, kepadatan geografis, dan kepadatan agraris penduduk DAS Karang
Mumus dapat dilihat pada Tabel 16. Dengan demikian, kepadatan agraris
penduduk DAS Karang Mumus untuk tahun 2006 berturut-turut adalah 68 jiwa/ha
untuk Kecamatan Samarinda Ulu, 71 jiwa/ha untuk Kecamatan Samarinda Ilir, 6
jiwa/ha untuk Kecamatan Samarinda Utara, dan 3 jiwa/ha untuk Kecamatan
Muara Badak. Total kepadatan agraris penduduk DAS Karang Mumus adalah 8
jiwa/ha. Hal ini berarti bahwa setiap 1 ha lahan pertanian di DAS Karang Mumus
harus dapat memenuhi kebutuhan hidup 8 jiwa penduduk yang menghuninya.

Tabel 16. Perkiraan jumlah, kepadatan geografis, dan kepadatan agraris


penduduk DAS Karang Mumus
Kecamatan Luas Tahun 1992 Tahun 2001 Tahun 2006
(km2) Jumlah Kepadatan Jumlah Kepadatan Jumlah Kepadatan Kepadatan
penduduk geografis penduduk geografis penduduk geografis agraris
(jiwa) (jiwa/km2) (jiwa) (jiwa/km2) (jiwa) (jiwa/km2) (jiwa/ha)
Samarinda 5,59 41.246 7.379 33.781 6.043 37.855 6.772 68
Ulu
Samarinda 3,69 95.395 25.852 29.584 8.017 26.131 7.082 71
Ilir
Samarinda 277,8 - - 120.486 434 163.137 587 6
Utara
Muara 27,57 3.135 114 4.023 146 8.395 304 3
Badak
Jumlah 314,65 139.776 444 187.874 597 235.518 749 8
Sumber: Diolah dari BPS Samarinda (1992, 2001, dan 2007), BPS Kukar (1995, 2001, dan 2006)

Berdasarkan data penduduk pada Tabel 16, diperoleh laju pertumbuhan


penduduk DAS Karang Mumus sebesar 4,9% per tahun. Prediksi jumlah
penduduk pada tahun 2012 yaitu 276.756 jiwa, kepadatan geografis 879 jiwa/km2,
dengan asumsi laju pertumbuhan penduduk setiap tahun hingga tahun 2012 adalah
64

konstan (tetap). Setiap tahun terjadi pertambahan penduduk sebesar 6.849 jiwa.
Pada tahun 2012, kepadatan agraris mencapai 9 jiwa/ha. Berarti terjadi
penambahan beban untuk 1 ha lahan pertanian agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup 9 jiwa penduduk yang menghuninya.
Terkait dengan penutupan dan penggunaan lahan di DAS Karang Mumus,
pada tahun 2012 lahan pertanian dengan luas yang semakin berkurang yaitu
907,102 ha pada tahun 2007 akan menanggung beban sebesar 305 jiwa/ha.

4.2.2.2. Umur Responden


Umur adalah jangka waktu dalam tahun mulai dari tahun kelahiran
responden sampai pada saat penelitian dilaksanakan. Umur merupakan salah satu
identitas yang dapat mempengaruhi pola fikir dan kemampuan kerja (Purwanti,
2007). Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur dapat
dilihat pada Gambar 22.

40 38
35
30 Umur Responden 28

25 Persentase
Responden

20
15
15 13

10
5 15,96% 13,83% 40,43% 29,79%
0
20 - 30 30 - 40 40 - 50 >50
Kelompok Umur

Gambar 22. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kelompok umur

Dari Gambar 22 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden yang bekerja
di bidang pertanian adalah kelompok umur 40 - 50 tahun, yaitu sebanyak 38
responden dengan persentase 40,43%, dan responden dengan kelompok umur >50
tahun sebanyak 28 responden dengan persentase 29,79%. Jika diakumulasikan
antara kedua kelompok umur tersebut, sebanyak 66 responden atau 70,22%
responden yang bekerja di bidang pertanian adalah kelompok umur 40 tahun ke
atas. Akumulasi responden kelompok umur antara 20 – 30 dan 30 - 40 tahun
65

adalah sebanyak 28 responden dengan persentase 29,78%. Responden dengan


kelompok umur antara 20 – 40 tahun dapat dikategorikan sebagai petani atau
tenaga kerja muda. Dengan melihat perbandingan persentase kelompok umur
antara 20 – 40 tahun dan kelompok umur 40 tahun ke atas, dapat dilihat
kurangnya minat angkatan tenaga kerja muda untuk bekerja di bidang pertanian.
Dari hasil wawancara terhadap responden diperoleh informasi bahwa angkatan
tenaga kerja muda cenderung lebih memilih pekerjaan di bidang lain daripada
pertanian, misalnya sebagai karyawan perusahaan, pedagang, bekerja di bidang
pendidikan, jasa dan pemerintahan.
Sangat disayangkan, bila tenaga kerja muda yang memiliki banyak potensi
kurang mempunyai minat bekerja di bidang pertanian. Tenaga kerja muda dengan
fisik yang masih sehat, pola fikir yang lebih terbuka dan lebih dinamis dalam
menerima perubahan hal-hal baru merupakan potensi untuk mengembangkan
pertanian (Purwanti, 2007), terutama dalam pengelolaan lanskap agroforestri yang
tidak terlepas dari bidang pertanian. Dengan demikian, perlu adanya upaya dari
berbagai pihak agar tenaga kerja muda berminat untuk mengembangkan pertanian
berbasis lanskap agroforestri.

4.2.2.3. Tingkat Pendidikan Responden


Tingkat pendidikan responden yang dimaksud dalam penelitian ini diukur
berdasarkan tingkat pendidikan formal yang pernah diikuti. Tingkat pendidikan
dibagi menjadi empat, yaitu SD atau sederajat, SMP atau sederajat, SMA atau
sederajat, dan tidak sekolah. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian
dapat dilihat pada Gambar 23. Berdasarkan Gambar 23, dapat dilihat bahwa
responden dengan tingkat pendidikan SMA atau sederajat hanya 6 responden
dengan persentase 6,38%. Responden dengan tingkat pendidikan SMP atau
sederajat hanya sebanyak 14 responden atau 14,89% dari total responden.
Responden dengan tingkat pendidikan SD atau sederajat mencapai 63 responden
atau 67,02%. Responden yang tidak pernah mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan sekolah sebanyak 11 responden atau 11,70%.
Akumulasi responden dengan tingkat pendidikan SD atau sederajat dan responden
yang tidak mendapatkan pendidikan sekolah adalah sebanyak 74 responden atau
78,72%.
66

70 63
60
Pendidikan Responden
50

Responden
40 Persentase
30
20 14 11
10 6
67,02% 14,89% 6,38% 11,70%
0
SD/sederajat SMP/sederajat SMA/sederajat Tidak sekolah
Tingkat Pendidikan

Gambar 23. Tingkat pendidikan responden di lokasi penelitian

Tingkat pendidikan responden secara tidak langsung berkaitan dengan


kelompok umur responden. Sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan
SD atau sederajat dan responden yang tidak mendapatkan pendidikan sekolah
merupakan responden dengan kelompok umur 40 tahun ke atas. Hal ini
memberikan indikasi bahwa tingkat pendidikan responden yang bekerja di bidang
pertanian tergolong masih rendah.
Melihat kondisi tingkat pendidikan responden yang masih rendah tersebut,
dikhawatirkan responden kurang dapat mengelola lahan pertaniannya dengan baik
sehingga lahan tersebut menjadi lebih cepat miskin hara. Kondisi ini sesuai
dengan pendapat Adhawati (1997) yang menyebutkan tingkat pendidikan
mempengaruhi seseorang dalam kemampuan berfikir memahami arti pentingnya
pengelolaan usaha pertanian dengan tetap memperhatikan konservasi tanah
dengan baik dan mencari solusi atau pemecahan setiap permasalahan.

4.2.2.4. Jumlah Tanggungan Keluarga


Tanggungan keluarga yang dimaksud di dalam penelitian ini adalah semua
orang yang tinggal dalam satu rumah ataupun yang berada di luar dan menjadi
tanggungan kepala keluarga, yang meliputi istri, anak, dan anggota keluarga lain
yang ikut menumpang. Banyaknya jumlah tanggungan keluarga merupakan
beban kepala keluarga untuk dapat memenuhi segala macam kebutuhannya.
Semakin banyak anggota keluarga yang tinggal bersama, semakin banyak juga
67

biaya hidup yang harus dikeluarkan. Jumlah anggota keluarga responden di DAS
Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Jumlah anggota keluarga responden


No. Jumlah anggota Jumlah responden Persentase (%) Rata-rata
keluarga (orang)
1. 0 5 5,32 -
2. 1–2 28 29,79 1,9
3. 3–4 48 51,06 3,5
4. 5–6 12 12,77 5,4
5. 7–8 1 1,06 7
Total 94 100,00 3,6
Sumber: Hasil survei (2008)

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa sekitar 51,06% atau 48 responden


memiliki anggota keluarga pada kisaran 3 – 4 orang. Secara rata-rata responden
di lokasi penelitian memiliki jumlah tanggungan keluarga sebanyak 4 orang.
Dengan demikian, berarti satu kepala keluarga petani harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup 4 orang anggota keluarganya. Anggota keluarga
sebanyak 4 orang per kepala keluarga merupakan sumber tenaga kerja potensial
dan apabila dikelola secara baik dapat meringankan beban kepala keluarga.
Menurut Sehe (2007), anggota keluarga petani merupakan aset untuk petani
berupa tenaga kerja yang dapat dimanfaatkan dalam mengelola usaha pertanian.
Jika potensi tenaga kerja keluarga tersebut dimanfaatkan secara optimal, akan
terjadi perubahan ke arah perbaikan status ekonomi rumah tangga tani.

4.2.2.5. Kelayakan Usaha Tani dan Kebutuhan Hidup Layak


Hasil perhitungan rasio B/C memperlihatkan bahwa tipe penggunaan lahan
pertanian lahan basah dengan komoditas padi sawah memberikan hasil yang
menguntungkan (rasio B/C = 2,7) (Lampiran 12). Pertanian lahan kering (jagung
manis, jagung manis unggul, dan cabai) juga memperlihatkan hasil yang layak
untuk diusahakan dengan rasio B/C berturut-turut adalah 1,2, 2,8, dan 3,4
(Lampiran 13, 14, dan 15). Pertanian lahan kering dengan tanaman komoditi cabai
memperlihatkan rasio B/C tertinggi, yaitu 3,4.
Kebutuhan hidup layak (KHL) sebuah keluarga atau kebutuhan hidup yang
berada pada ambang kecukupan terjadi apabila keluarga tersebut memiliki
penghasilan sekurang-kurangnya 2,5 kali kebutuhan hidup minimum (KHM)
68

(Rauf, 2008). Menurut Sajogjo (1977), KHM yang merupakan standar minimal
penghasilan untuk sekedar bertahan hidup per kapita per tahun di pedesaan
nilainya rata-rata setara dengan 320 kilogram beras. Untuk mencapai KHL, suatu
keluarga harus berpenghasilan yang dapat memenuhi KHM sekaligus dapat
membiayai sekolah anak-anaknya, berobat bila sakit, memenuhi sarana prasarana
kehidupan sehari-hari, membiayai kegiatan sosial, dan menabung (2,5 kali KHM).
Dengan harga beras pada saat penelitian dilakukan sebesar Rp. 4.500,-
per kilogram, nilai KHM setiap keluarga petani dengan lima orang anggota
keluarga adalah sebesar Rp. 7.200.000,- per tahun, sedangkan nilai KHLnya
sebesar Rp. 18.000.000,- per tahun. Akan tetapi, KHL sebesar Rp. 18.000.000,-
per tahun untuk lima anggota keluarga petani ini tidak dapat memenuhi KHL di
lokasi penelitian jika berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku.
Sebagai perbandingan, berdasarkan harga barang konsumtif yang berlaku di
lokasi penelitian pada tahun 2008 diperoleh KHL untuk satu keluarga petani
sebesar Rp. 63.000.000,- (Lampiran 16). Dengan demikian, diperoleh kebutuhan
lahan untuk pertanian lahan basah (padi sawah) seluas 3,14 ha dan pertanian lahan
kering (jagung manis, jagung manis unggul, dan cabai) berturut-turut adalah 9,50
ha, 3,81 ha, dan 0,28 ha untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) satu
keluarga petani dengan lima anggota keluarga. Kebutuhan hidup layak (KHL)
berdasarkan harga barang konsumtif atau hasil survei ini diharapkan dapat
menjadi dasar penetapan upah minimum regional untuk tahun yang akan datang.
Upah minimum regional (UMR) yang berlaku di Samarinda pada tahun 2008,
yaitu sebesar Rp. 842.000,- per bulan. Dengan demikian, diperoleh KHL untuk
lima orang anggota keluarga petani, yaitu sebesar Rp. 50.520.000,-.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden di lokasi penelitian,
terdapat 58 responden (61,7%) responden mempunyai pendapatan di atas UMR,
sedangkan 36 responden (38,3%) di antaranya mempunyai pendapatan di bawah
UMR. Dengan demikian, sekitar 38,3% responden belum dapat memenuhi KHL-
nya berdasarkan UMR.
Terkait dengan beban 1 ha lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan
hidup 305 jiwa, diharapkan dapat diperoleh melalui fungsi-fungsi pengelolaan
lanskap agroforestri.
69

4.2.2.6. Latar Belakang Budaya dan Keinginan Masyarakat


Berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner yang diperoleh dari responden,
sebagian besar responden berasal dari pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Jawa Barat dengan akumulasi persentase sebesar 59,58%. Selanjutnya
diikuti oleh responden yang berasal dari Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Barat. Persentase latar
belakang budaya masyarakat di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 24.

40
35 35,11%
Persentase
30
Asal Daerah Responden
25
Responden

20 20,21%
33
15 13,83%
12,77%
10 8,51% 19
12 13 4,26% 3,19%
5 8
1,06% 1,06% 4
1 1 3
0
Jateng Kalsel Sulsel Sumbar Jatim Sulteng Kaltim Jabar Lain-lain
Asal Daerah

Gambar 24. Latar belakang budaya masyarakat

Berdasarkan sejarah perkembangan kawasan DAS Karang Mumus,


masyarakat yang bermukim di DAS Karang Mumus adalah masyarakat yang
berasal dari pulau Jawa yang mengikuti program transmigrasi pemerintah,
kemudian diikuti dengan migrasi spontan masyarakat Sulawesi Selatan,
Kalimantan Selatan, suku Dayak Kenyah, serta masyarakat lokal yang berasal dari
suku Kutai. Kedatangan masyarakat dari berbagai daerah ini dengan tujuan
memperoleh kehidupan yang lebih layak dan mendekati kota untuk tujuan
memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, dan bekerja di bidang
pemerintahan (DPU, 2003).
Di dalam pengelolaan agroforestri, keinginan masyarakat untuk ikut terlibat
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Dari hasil penelitian di lapang,
92,55% responden menyatakan berminat untuk terlibat di dalam pengelolaan
agroforestri, sedangkan 7,45% responden masih berkeinginan untuk mempunyai
70

usaha di bidang lain. Selain itu, 89,36% responden di lokasi penelitian telah
bekerja di bidang pertanian selama 6 - >31 tahun. Besarnya minat masyarakat
terhadap pengelolaan agroforestri ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik,
mengingat permasalahan yang ada di lapang sangat kompleks.

4.2.3. Faktor Kebijakan


Pemerintah Kota Samarinda menyadari pentingnya sungai Karang Mumus
sebagai sumber daya alam yang mempunyai fungsi serba guna bagi kehidupan dan
penghidupan masyarakat Kota Samarinda dari dulu sampai sekarang. Fungsi
tersebut antara lain, sebagai sumber air bersih, pengendali banjir, angkutan sungai,
sumber perikanan, dan obyek wisata. Namun, dari waktu ke waktu fungsi tersebut
terus mengalami penurunan seiring dengan perkembangan perkotaan,
bertambahnya jumlah penduduk, dan meningkatnya aktivitas manusia baik yang
berada di sepanjang maupun di luar aliran DAS Karang Mumus. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya pendangkalan dan penyempitan badan sungai hingga
tidak mampu lagi menahan debit air yang lebih besar. Pada akhirnya terjadi
banjir/genangan di beberapa wilayah Kota Samarinda. Selain itu, kualitas air
sungai Karang Mumus sudah tidak layak digunakan sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat dan biota khas Samarinda.
Pada tahun 1989 dalam Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air Sungai di
Surabaya, yang dihadiri oleh delapan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, dan
Kalimantan Timur, untuk pertama kalinya dicanangkan program kali bersih
(PROKASIH). Kedelapan provinsi ini kemudian menjadi provinsi pertama
peserta PROKASIH yang meliputi 15 daerah aliran sungai dan 35 ruas sungai,
termasuk sungai Karang Mumus sebagai sub-DAS Mahakam. Tujuan dari
PROKASIH adalah meningkatkan kualitas air sungai, memulihkan fungsi,
kedayagunaan, dan kemanfaatan sungai bagi kepentingan umum, dan
meningkatkan sumber daya dan kapasitas kelembagaan (institutional resources) di
bidang pengendalian pencemaran air (PEMKOT Samarinda, 2007).
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan PROKASIH dan terjadinya banjir di
Kota Samarinda pada tahun 1998, dilaksanakan program relokasi penduduk tepi
71

sungai Karang Mumus. Kebijakan relokasi ini merupakan salah satu langkah
program penataan sungai Karang Mumus. Langkah-langkah penataan sungai
Karang Mumus yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda, yaitu 1) kawasan
permukiman kumuh yang berada di bantaran sungai Karang Mumus pada jarak ±
5 – 20 m akan direlokasi ke luar kawasan, 2) memindahkan atau menutup
industri-industri kecil di sepanjang sungai Karang Mumus, 3) memperlebar jalan
di tepi sungai, 4) penataan/relokasi pasar yang ada, dan 5) membuat jalur hijau
dan taman, jalur rekreasi di lahan sepanjang sungai yang terkena relokasi.
Dengan terjadinya banjir pada bulan Juli – Agustus 1998, seluruh program
pembangunan diprioritaskan untuk penanganan sungai Karang Mumus, baik
melalui program normalisasi sungai maupun program percepatan relokasi
penduduk Karang Mumus.
Selain program penataan sungai Karang Mumus, pemerintah juga telah dan
sedang melakukan program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis untuk
penanganan DAS Karang Mumus. Berdasarkan hasil wawancara, pemerintah
telah melakukan upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis dengan menyediakan bibit
berupa tanaman buah-buahan, perkebunan, dan penyedia energi, seperti durian,
sengon, dan lain-lain. Masih banyak responden di lokasi penelitian yang
meragukan keberhasilan program rehabilitasi ini karena banyaknya permasalahan
di lapang, seperti pendistribusian sarana dan biaya produksi yang tidak tepat
sasaran dan tidak tepat waktu, pemanfaatan dan pemasaran hasil produksi yang
juga belum jelas.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten Kutai
Kartanegara (2007), Kecamatan Muara Badak dialokasikan sebagai kawasan budi
daya non kehutanan. Kecamatan Muara Badak akan dikembangkan sebagai
kawasan perkotaan dengan fungsi sebagai pusat perdagangan dan jasa,
pertambangan, dan permukiman. Sebagai daerah hulu dari DAS Karang Mumus,
rencana pengembangan yang akan dilakukan di Kecamatan Muara Badak ini
harus diarahkan pada konsep konservasi lingkungan, sehingga pengembangan
kawasan perkotaannya perlu dibatasi. Pada saat ini telah berkembang kegiatan
perdagangan dan jasa skala sub-wilayah di Kecamatan Muara Badak.
72

Berdasarkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Samarinda


(2005), alokasi kawasan budi daya pertanian tersebar di seluruh Kecamatan
Samarinda. Kawasan lindung dialokasikan di Kecamatan Samarinda Utara
(Kelurahan Sei Siring, Bayur, Sempaja, dan Lempake). Kawasan lindung yang
dimaksud di sini adalah kawasan yang masih mempunyai vegetasi heterogen yang
dilindungi sebagai penangkap air hujan untuk suplai air Kota Samarinda seperti
KRUS, kawasan sempadan sungai sekurang-kurangnya 100 meter di kanan kiri
sungai besar dan 50 meter di kanan kiri anak sungai yang berada di luar
permukiman, kawasan sepanjang tepian waduk/bendungan yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik waduk/bendungan antara 50-100
meter dihitung dalam keadaan pasang tertinggi ke arah daratan, yaitu sekitar
1.857,19 ha. Pada kenyataannya, masyarakat masih menganggap bahwa kawasan
lindung seperti sempadan sungai dan kawasan sekitar bendungan adalah harta
milik bersama (common property) sehingga masih terjadi berbagai bentuk
penggunaan lahan di kawasan ini. Kekhawatiran terhadap bentuk penggunaan ini
adalah jika dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan
sehingga menimbulkan degradasi lingkungan yang semakin parah.
Kawasan wisata dialokasikan di Kecamatan Samarinda Utara (Kelurahan
Lempake, Pampang, dan Sungai Siring). Lempake direncanakan sebagai kawasan
wisata dengan tetap memperhatikan fungsi lingkungan, yaitu dengan tetap
berupaya mempertahankan dan memanfaatkan vegetasi heterogen sebagai
cathment area (daerah tangkapan air) dan juga sebagai fungsi pariwisata alam
dengan terdapatnya taman wisata tanah merah, lapangan golf, tempat-tempat
pemancingan dan peristirahatan. Pampang dan Sungai Siring dialokasikan
sebagai kawasan cagar budaya Dayak yang merupakan kawasan permukiman
suku Dayak Kenyah dan Benoa Baru. Untuk menarik para wisatawan, atraksi seni
dan budaya Dayak Kenyah (Gambar 25) tetap dipertahankan dan dilakukan setiap
minggu di rumah Lamin Pampang.
73

Gambar 25. Seni dan budaya Dayak Kenyah

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, Kecamatan Samarinda


Utara juga dialokasikan untuk perluasan permukiman, realisasi Sungai Siring
sebagai Bandara Internasional dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.
Menurut Saroinsong (2002), perubahan penggunaan lahan menyangkut
peningkatan kebutuhan penduduk tidak bisa dibendung begitu saja. Namun, yang
menjadi persoalan adalah bagaimana mengontrol perubahan yang terjadi dan
meminimalkan dampak negatif sekaligus memaksimalkan dampak positif. Dasar
pengembangan wilayah yang akan dilakukan seharusnya dengan tidak mengubah
begitu banyak kondisi fisik dan lingkungan yang ada, jenis kegiatan yang
diijinkan, dan lokasi yang diijinkan dikembangkan harus mengacu pada
ketentuan-ketentuan teknis yang diberlakukan secara ketat, terutama untuk
mendukung pengembangan Bandara Internasional Sei Siring. Pengembangan
Bandara Internasional Sei Siring akan memberikan pengaruh yang cukup besar
dalam perkembangan wilayah Kota Samarinda, terutama kawasan DAS Karang
Mumus sebagai wilayah ekologisnya.
Dari hasil kajian di atas, pengelolaan penggunaan lahan yang dilakukan di
DAS Karang Mumus, baik oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
maupun Pemerintah Kota Samarinda harus tetap memperhatikan fungsi kawasan
DAS Karang Mumus. Selain itu, juga harus tetap dapat mempertahankan
keanekaragaman hayati yang ada, mengkonservasi tanah dan air, mempertahankan
cadangan karbon, dan mempertahankan keindahan kawasan. Dengan demikian,
kondisi yang terjadi saat ini dapat menjadi salah satu faktor pendorong rencana
pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus.
74

4.2. Faktor-Faktor Pendorong Pengelolaan Lanskap Agroforestri


Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik lanskap DAS Karang
Mumus, faktor-faktor yang menjadi pendorong di dalam pengelolaan lanskap
agroforestri adalah sebagai berikut. 1) Faktor pendorong yang merupakan faktor
biologi-fisik adalah aksesibilitas, perubahan penutupan dan penggunaan lahan,
dan kesesuaian penggunaan lahan. 2) Faktor pendorong yang merupakan faktor
sosial-ekonomi-budaya adalah laju pertumbuhan penduduk, kelayakan usaha
pertanian, dan latar belakang budaya dan keinginan masyarakat. 3) Faktor
pendorong yang merupakan faktor kebijakan adalah program-program pemerintah
dalam rangka penanganan permasalahan lingkungan di kawasan DAS Karang
Mumus, seperti program relokasi permukiman di sempadan sungai Karang
Mumus dan juga program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis.
Hasil pendapat gabungan para ahli yang menunjukkan besarnya tingkat
pengaruh yang diberikan terhadap masing-masing faktor pendorong rencana
pengelolaan lanskap agroforestri di DAS Karang Mumus dapat dilihat pada Tabel
18.

Tabel 18. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh faktor-faktor pendorong


Faktor Bobot Tingkat pengaruh
Kebijakan 0,59 1
Sosial-ekonomi-budaya 0,25 2
Biologi-fisik 0,16 3
Sumber: Hasil survei (2008)

Menurut penilaian responden, faktor kebijakan merupakan faktor yang


paling berpengaruh terhadap rencana pengelolaan lanskap agroforestri dengan
bobot 0,59. Selanjutnya faktor pendorong dengan tingkat pengaruh kedua dan
ketiga adalah faktor sosial-ekonomi-budaya dengan bobot 0,25 dan faktor biologi-
fisik dengan bobot 0,16. Nilai rasio konsistensi yang diperoleh dari hasil analisis
adalah sebesar 0,05. Nilai ini menunjukkan bahwa penilaian yang dilakukan
berada pada tingkat kepercayaan yang cukup tinggi, cukup baik, dan dapat
diterima. Responden konsisten dalam memberikan penilaian terhadap tingkat
pengaruh masing-masing faktor.
Faktor kebijakan menjadi faktor yang paling berpengaruh disebabkan bahwa
pengelolaan yang dilakukan terhadap suatu kawasan seperti DAS Karang Mumus
75

merupakan tanggung jawab pemerintah. Dengan adanya program-program


pemerintah yang dilakukan untuk penataan kawasan merupakan salah satu
pendorong tercapainya pengelolaan lanskap agroforestri.
Sosial-ekonomi-budaya merupakan faktor pendorong kedua. Beragamnya
kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat di DAS Karang Mumus dapat menjadi
salah satu pendorong pengelolaan lanskap agroforestri. Masyarakat di DAS
Karang Mumus dapat dilibatkan dalam pengembangan agroforestri. Menurut
Sundawati (2008), keterlibatan masyarakat di dalam pengembangan agroforestri
telah mencegah perambahan hutan yang semakin luas dan menghentikan
penebangan liar yang dilakukan masyarakat. Selain itu, pengembangan
agroforestri telah dapat memberikan tambahan pendapatan tunai bagi masyarakat
melalui diversifikasi sumber pendapatan.
Faktor biologi-fisik menjadi faktor pendorong ketiga di dalam pengelolaan
lanskap agroforestri. Menurut pendapat responden, menurunnya fungsi kawasan
DAS Karang Mumus disebabkan karena pengelolaan yang dilakukan pada saat ini
belum tepat.

4.2.1. Faktor Kebijakan


Di dalam faktor kebijakan, relokasi permukiman tepi sungai Karang Mumus
dengan bobot 0,67 merupakan kriteria dengan tingkat pengaruh pertama (Tabel
19). Selanjutnya diikuti oleh kriteria reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis
dengan bobot 0,33.

Tabel 19. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor kebijakan
Kriteria Bobot Tingkat pengaruh
Relokasi permukiman tepi sungai 0,67 1
Reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis 0,33 2
Sumber: Hasil survei (2008)

Responden lebih memilih relokasi permukiman tepi sungai yang lebih


berpengaruh dibandingkan dengan reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis.
Program relokasi permukiman tepi sungai yang dilakukan Pemerintah Kota
Samarinda akan sangat mendukung tersedianya lahan untuk kawasan lindung.
Kawasan lindung berupa jalur ini sebagian besar dimanfaatkan oleh pemerintah
sebagai jalur hijau, taman, dan jalur rekreasi.
76

Sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2006, pemerintah telah merelokasi
1.260 bangunan dari 3.915 bangunan yang ada. Sumber dana yang diperoleh
pemerintah berasal dari subsidi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan
APBD Kota Samarinda dengan total nilai sebesar Rp. 93.169.287.941,- (DPU,
2003).
Program reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis sebagai kriteria dengan
tingkat pengaruh kedua. Secara kelembagaan, kegiatan reboisasi dan rehabilitasi
berada di bawah koordinasi Pemerintah. Namun demikian, harus disadari bahwa
pelaksanaan kegiatan rehabilitasi ini tidak hanya merupakan tanggung-jawab dari
Pemerintah, tetapi merupakan tanggung-jawab seluruh masyarakat yang berada di
wilayah DAS Karang Mumus. Masyarakat dalam hal ini dikategorikan sebagai
petani pemilik lahan, petani penggarap, tokoh masyarakat, tokoh agama, LKMD,
tokoh adat, LSM dan lembaga-lembaga lain yang berada di wilayah DAS Karang
Mumus. Jika kelembagaan masyarakat ini berjalan dengan baik, maka program
reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis ini diharapkan akan berhasil.

4.2.2. Faktor Sosial-Ekonomi-Budaya


Laju pertumbuhan penduduk dan latar belakang budaya masyarakat
merupakan kriteria-kriteria yang paling berpengaruh di dalam faktor sosial-
ekonomi-budaya dengan bobot masing-masing 0,43 (Tabel 20). Selanjutnya
adalah kriteria kelayakan usaha pertanian dengan bobot 0,14.

Tabel 20. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor sosial-
ekonomi-budaya
Kriteria Bobot Tingkat pengaruh
Laju pertumbuhan penduduk 0,43 1
Latar belakang budaya masyarakat 0,43 1
Kelayakan usaha pertanian 0,14 2
Sumber: Hasil survei (2008)

Menurut pendapat responden, laju pertumbuhan penduduk dan latar


belakang budaya merupakan kriteria yang paling berpengaruh di dalam faktor
sosial-ekonomi-budaya. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan
dengan latar belakang budaya yang beragam di DAS Karang Mumus
menyebabkan meningkatnya berbagai kebutuhan hidup yang mencakup kebutuhan
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan sandang, pangan, dan papan ini akan
77

terpenuhi jika penduduk dapat meningkatkan kelayakan usaha pertaniannya. Hal


ini akan tercapai jika didukung oleh tingkat pendidikan masyarakat. Responden
berpendapat bahwa meningkatnya jumlah penduduk seharusnya diikuti dengan
meningkatnya tingkat pendidikan dan keterampilan agar dapat mengelola usaha
pertaniannya dengan lebih baik lagi.

4.2.3. Faktor Biologi-Fisik


Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa aksesibilitas dengan bobot 0,58
merupakan kriteria yang paling berpengaruh di dalam faktor biologi-fisik.
Selanjutnya diikuti oleh kriteria kesesuaian penggunaan lahan dengan bobot 0,23
dan perubahan penutupan dan penggunaan lahan dengan bobot 0,19.

Tabel 21. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh kriteria di dalam faktor biologi-
fisik
Kriteria Bobot Tingkat pengaruh
Aksesibilitas 0,58 1
Kesesuaian penggunaan lahan 0,23 2
Perubahan penutupan dan penggunaan lahan 0,19 3
Sumber: Hasil survei (2008)

Aksesibilitas menjadi kriteria pendorong yang pertama karena aksessibilitas


merupakan infrastruktur yang penting di dalam pengelolaan lanskap agroforestri.
Pendistribusian produk-produk agroforestri tentunya sangat tergantung pada
aksesibilitas. Aksesibilitas berupa jalan tanah, jalan batu, dan jalan aspal telah
dibangun di Kota Samarinda sepanjang 1.164,1 km. Rencana pembangunan jalan
masih terus dilakukan oleh pemerintah, baik Pemerintah Kota Samarinda maupun
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Selain itu, pemanfaatan sungai Karang
Mumus sebagai aksesibilitas seharusnya juga menjadi perhatian pemerintah.
Kesesuaian penggunaan lahan dan perubahan penutupan dan penggunaan
lahan menjadi kriteria kedua dan ketiga karena responden berpendapat bahwa
penggunaan lahan seharusnya dilakukan berdasarkan kesesuaian penggunaan
lahannya. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kesesuaian penggunaan
lahan akan mengakibatkan barbagai dampak lingkungan, ditambah lagi dengan
teknik pengelolaannya yang kurang tepat.
78

4.2.4. Alternatif Rencana Pengelolaan


Pada Tabel 22 dapat dilihat bahwa mengkombinasikan beberapa tujuan
dalam satu kegiatan pengelolaan, seperti relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi
dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan dengan bobot 0,57
merupakan alternatif pengelolaan yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan
pengelolaan lanskap agroforestri. Selanjutnya diikuti oleh alternatif pengelolaan
dengan melakukan konsolidasi lahan dan menambah ruang terbuka hijau terutama
kawasan konservasi dan mempertahankan penggunaan lahan yang ada dengan
mengoptimalkan pengelolaannya.

Tabel 22. Penilaian bobot dan tingkat pengaruh alternatif pengelolaan terhadap
tujuan
Alternatif Pengelolaan Bobot Tingkat pengaruh
Mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu 0,57 1
kegiatan pengelolaan (relokasi dan konsolidasi
lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan, dan
memperindah kawasan)

Melakukan konsolidasi lahan dan menambah 0,22 2


ruang terbuka hijau terutama kawasan konservasi

Mempertahankan penggunaan lahan yang ada 0,21 3


dengan mengoptimalkan pengelolaannya

Sumber: Hasil survei (2008)


Diantara ketiga alternatif pengelolaan yang telah disebutkan di atas,
responden memilih alternatif mengkombinasikan beberapa tujuan dalam satu
kegiatan pengelolaan, seperti relokasi dan konsolidasi lahan, reboisasi dan
rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan memperindah kawasan sebagai alternatif
pertama. Responden berpendapat bahwa pengelolaan lanskap agroforestri di DAS
Karang Mumus akan berhasil jika terdapat kegiatan pengelolaan, seperti relokasi
permukiman tepi sungai, konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan
kritis, dan kegiatan memperindah kawasan. Kegiatan pengelolaan yang telah
disebutkan di atas sangat perlu untuk dilakukan oleh pemerintah.dan didukung
sepenuhnya oleh masyarakat dan pengusaha. Menurut DPU (2003), upaya
pemulihan kondisi DAS karang Mumus merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat, dan pengusaha, termasuk dalam hal
pendanaannya.
79

4.3. Pengelolaan Lanskap Agroforestri


Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus berdasarkan kondisi biologi-fisik
dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Karakteristik lanskap DAS Karang Mumus


Karakteristik Lanskap DAS Karang Mumus
Luas kawasan (ha) 32.196,3
Bentuk bentang lahan Datar, bergelombang, dan berbukit
Kemiringan lereng Datar – curam sekali
Penggunaan lahan Hutan konservasi, hutan sekunder, pertanian lahan
basah, pertanian lahan kering, semak belukar, lahan
terbuka, dan bendungan
Kondisi sempadan sungai Jalur hijau dan taman, lahan pertanian, permukiman
dan industri kecil
Wilayah administratif 1. Kota Samarinda: Kecamatan Samarinda Ulu,
Kecamatan Samarinda Ilir, dan Kecamatan
Samarinda Utara
2. Kabupaten Kutai Kartanegara: Kecamatan Muara
Badak
Penggunaan sungai Air minum, MCK, pengairan, perikanan, memancing
ikan, pembuangan sampah dan limbah
Sub DAS Karang mumus Ulu, Lantung, Pampang, Siring, Jaya
Mulya, Muang, Betapus, dan Karang mumus Ilir
Pola drainase Percabangan pohon (dendritic pattern)
Sumber air Sungai, hujan, dan sumur
Komoditas tanaman utama Tanaman pangan: padi ladang, padi sawah, jagung,
lada, dan lombok
Tanaman buah-buahan: cempedak, durian, elai,
rambutan
Tanaman perkebunan: kelapa, kakao, dan kopi

Berdasarkan hasil evaluasi dan analisis terhadap karakteristik lanskap dan


faktor-faktor pendorong pengelolaan lanskap agroforestri, sistem penggunaan
lahan agroforestri terintegrasi dapat diterapkan di kawasan DAS Karang Mumus.
Sistem agroforestri terintegrasi merupakan salah satu sistem penggunaan lahan
yang memadukan komponen-komponen kehutanan, pertanian, dan permukiman
pada suatu bentang lahan, yaitu DAS Karang Mumus. Dengan demikian, alokasi
tipe penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi di DAS Karang
Mumus adalah sebagai berikut.
1. Kawasan lindung
Kawasan lindung yang dimaksud di dalam penelitian ini tidak hanya berupa
hutan lindung, tetapi juga berupa hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan
lain-lain penggunaan dengan tetap mengacu pada fungsi kawasan sebagai
80

kawasan lindung. Hutan lindung adalah hutan yang perlu dibina dan
dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap untuk
kepentingan hidro-orologi, yaitu mengatur tata air, mencegah banjir dan erosi,
memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan hutan yang
bersangkutan maupun kawasan sekitarnya yang dipengaruhi (Hardjowigeno &
Widiatmaka, 2007). Kawasan lindung dialokasikan seluas 12.972,8 ha (39,2%).
Berdasarkan Undang-Undang Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007, alokasi
kawasan lindung pada suatu kawasan DAS minimal 30% dari luas DAS tersebut.
Kondisi eksisting penggunaan lahan yang dialokasikan untuk kawasan
lindung sebagian besar berupa semak belukar, lahan terbuka, dan permukiman.
Dalam hal ini, kebijakan pemerintah sangat berperan untuk dapat memenuhi
alokasi kawasan lindung sebesar 39,2% tersebut.
Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan yang
dapat dilakukan pada kawasan lindung diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
2. Kawasan konservasi
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kawasan konservasi terdiri
atas hutan suaka alam, hutan wisata, dan hutan konservasi lain. Pada dasarnya,
pengertian hutan konservasi adalah hutan yang perlu dipertahankan dan dibina
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, tipe ekosistem, gejala dan keunikan
alam, dan kekhasan masing-masing hutan dengan berbagai tujuan konservasi.
Alokasi kawasan konservasi di DAS Karang Mumus adalah seluas 3.475,5 ha
(10,5%).
Hutan-hutan sekunder yang masih tersisa di DAS Karang Mumus sebaiknya
dipertahankan sebagai hutan konservasi. Hal ini didasarkan karena masih
terdapatnya jenis-jenis vegetasi alami pada hutan sekunder yang masih tersisa.
Jenis tegakan pohon yang umumnya masih terdapat di hutan sekunder adalah
meranti, kayu manis, karet, jati, mahoni, dan lain-lain. Jenis tegakan pohon ini
masih banyak diminati oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan. Jika
memungkinkan dilakukan rehabilitasi kembali terhadap lahan semak belukar,
81

sehingga semak belukar dapat dikembalikan menjadi hutan, terutama dalam


mendukung fungsi kawasan sebagai kawasan konservasi.
Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan yang
dapat dilakukan pada kawasan konservasi diatur berdasarkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
3. Pertanian lahan kering
Pertanian lahan kering dialokasikan seluas 6.056,5 ha (18,3%). Pertanian
lahan kering di dalam penggunaannya termasuk juga penggunaan sebagai
peternakan. Kombinasi jenis tanaman untuk pertanian lahan kering dapat berupa
tanaman semusim, tanaman pohon, dan tanaman pakan ternak. Selain kombinasi
berbagai jenis tanaman pertanian, penggunaan dapat juga dikombinasikan dengan
hewan ternak. Untuk penggunaan pertanian lahan kering ini, diperlukan adanya
perbaikan bentuk pengelolaan terutama disebabkan adanya dampak erosi dan
sedimentasi yang ditimbulkannya.
4. Pertanian lahan basah
Pertanian lahan basah dialokasikan seluas 7.342,4 ha (22,1%). Komoditi
utama yang diusahakan adalah padi sawah. Selain diusahakan sebagai lahan
sawah, alokasi pertanian lahan basah ini juga dapat diusahakan untuk perikanan
darat.
Dari alokasi pertanian lahan kering dan lahan basah dengan total luas
15.910,4 ha, diperoleh kepadatan agraris sebesar 15 jiwa/ha. Dengan demikian,
beban lahan pertanian menjadi lebih ringan jika dibandingkan beban lahan
pertanian berdasarkan luasan eksisting.
5. Permukiman
Permukiman dialokasikan seluas 3.256,3 ha (9,8%). Berdasarkan hasil
analisis yang telah dilakukan, kawasan permukiman yang dialokasikan di dalam
penelitian ini bukan merupakan lokasi kawasan permukiman eksisting. Faktor
pembatas yang menjadi pertimbangan adalah kerawanan banjir.
Kawasan permukiman eksisting di DAS Karang Mumus merupakan
kawasan pusat Kota Samarinda dengan berbagai pemanfaatan. Kawasan
82

permukiman eksisting terletak di Kecamatan Samarinda Ulu dan Kecamatan


Samarinda Ilir. Kawasan permukiman eksisting terutama permukiman di
sepanjang sungai Karang Mumus merupakan kawasan yang rawan terhadap banjir
karena terletak lebih rendah dari permukaan laut. Selain itu, sebagian besar
permukiman yang berada di tepi sungai masih menganggap sungai merupakan
”halaman belakang” tempat membuang segala macam sampah atau limbah.
Pembuangan sampah dan limbah ke sungai menyebabkan terjadinya pencemaran
terhadap kualitas air sungai dan merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir.
Selain itu, besarnya hasil sedimen yang terjadi di DAS Karang Mumus
menyebabkan terjadinya pendangkalan sungai yang juga merupakan penyebab
terjadinya banjir.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Kota Samarinda dimasa
yang akan datang, Pemerintah Kota Samarinda akan melakukan pengembangan
kawasan permukiman di wilayah Kecamatan Samarinda Utara dan Kecamatan
Palaran sebagai salah satu alternatif untuk menampung pertambahan jumlah
penduduk. Hal ini didasarkan pada jumlah kepadatan penduduk di wilayah
Kecamatan Samarinda Utara (587 jiwa/km2) dan Kecamatan Palaran (212
jiwa/km2 pada tahun 2003) masih di bawah kepadatan rata-rata geografis
penduduk DAS Karang Mumus (749 jiwa/km2), selain itu, wilayah Kecamatan
Samarinda Utara dan Kecamatan Palaran mempunyai wilayah yang cukup luas
dibandingkan wilayah Kecamatan-Kecamatan yang lainnya.
Sebaran alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi
secara spasial dapat dilihat pada Gambar 26.
83

Gambar 26. Peta alokasi penutupan dan penggunaan lahan agroforestri terintegrasi
84

Tujuan yang ingin dicapai di dalam pengelolaan lanskap agroforestri adalah


sebagai berikut.
1. Mempertahankan pengelolaan sumber daya air (water resources management)
Dampak perubahan penggunaan lahan terhadap degradasi lingkungan di
DAS Karang Mumus dapat dilihat dari besarnya hasil sedimen yang terjadi.
Kandungan sedimen yang tinggi pada air sungai akan berdampak pada penyediaan
air bersih yang bersumber dari air permukaan, sehingga biaya pengolahan air
bersih akan menjadi lebih mahal. Melalui pengelolaan lanskap agroforestri,
diharapkan dapat mengurangi besarnya sedimentasi yang terjadi dan dapat
mempertahankan pengelolaan sumber daya air.
Pada sistem agroforestri, vegetasi pohon dengan sistem perakarannya yang
kuat dapat menahan partikel-partikel tanah agar tidak tererosi sehingga dapat
mempertahankan kestabilan tanah. Sementara itu, tumbuhan bawah (tanaman
pertanian semusim) dapat menurunkan energi kinetik hujan yang ditimbulkan oleh
vegetasi pohon, sehingga dapat mengurangi erosi dan meningkatkan kesempatan
air hujan untuk berinfiltrasi (Widianto et al., 2003).
Kapasitas infiltrasi pada kawasan hutan dan sistem agroforestri tergolong
sangat tinggi dan cukup tinggi, yaitu sebesar 69,4 mm/jam dan 42,3 mm/jam. Hal
ini terjadi karena rapatnya tajuk vegetasi penutup tanah dan strata tajuk yang
lengkap yang berpengaruh dalam mengendalikan air ke dalam air (Kusumandari
et al., 2008). Air yang masuk ke dalam tanah tetapi tidak cukup dalam karena
adanya lapisan tanah kedap air menyebabkan air akan keluar ke permukaan tanah
di bagian bawah lereng atau masuk ke sungai dan terkumpul di dalam waduk
(water harvest). Air bawah tanah ini umumnya jernih dan tidak menimbulkan
erosi (Arsyad, 2006).
Alokasi lahan agroforestri berupa kawasan lindung dan kawasan konservasi
sebesar 49,7% untuk DAS Karang Mumus diharapkan dapat meningkatkan
kapasitas infiltrasi air hujan yang jatuh di atas kawasan. Dengan demikian, akan
semakin banyak terbentuk sumber-sumber mata air untuk memenuhi kapasitas
bendungan Benanga. Bendungan Benanga pada tahun 2008 telah mendapat
bantuan alat pengolah air bersih dari BNI (Gambar 27) dan dapat melayani 450
pelanggan, walaupun kapasitasnya hanya 7,5 liter per detik yang mengalir selama
85

18 jam/hari. Kapasitas air yang dihasilkan akan semakin meningkat dengan


semakin banyaknya sumber-sumber mata air bersih, sehingga dapat melayani
lebih banyak pelanggan.
Melalui rencana pengelolaan lanskap agroforestri diharapkan bahwa peran
air yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat dapat
terpenuhi. Air yang berasal dari sungai dan bendungan bukan hanya sebagai air
bersih untuk keperluan rumah tangga, tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi, sarana transportasi, dan sarana rekreasi. Dengan demikian,
masyarakat dapat memperoleh tambahan pendapatan melalui pengelolaan sumber
daya air tersebut.

Gambar 27. Alat pengolah air bersih

Selain itu, melalui pengelolaan sumber daya air, Pemerintah Kota dapat
memperoleh pendapatan melalui pembeli, seperti perusahaan daerah air minum,
perusahaan minuman kemasan, dan pembangkit listrik tenaga air. Pengelolaan
sumber daya air yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda dan Kabupaten
Kutai Kartanegara sebaiknya memperhatikan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 42 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air.
2. Mempertahankan cadangan karbon (carbon stock)
Isu internasional tentang mekanisme pembangunan bersih (CDM) sesuai
dengan protokol Kyoto dapat digunakan sebagai acuan bahwa sistem agroforestri
merupakan salah satu program CDM yang sangat mungkin diterapkan di
Indonesia dalam perdagangan karbon internasional. Namun demikian, merujuk
pada protokol Kyoto, kegiatan reforestasi dapat dijadikan proyek CDM jika lahan
yang digunakan merupakan lahan yang sebelum tanggal 31 Desember 1989 sudah
bukan hutan. Demikian juga kegiatan aforestasi, kegiatan alih fungsi lahan dari
86

pertanian menjadi hutan yang dapat dijadikan sebagai kegiatan CDM jika sejak 50
tahun lalu lahan tersebut telah berfungsi sebagai lahan pertanian (Jalid, 2004).
Dengan adanya prasyarat di atas, tidak ada luas lahan DAS Karang Mumus
yang layak untuk proyek CDM. Pembukaan lahan yang dilakukan di DAS Karang
Mumus dimulai pada tahun 1972 dengan adanya proyek transmigrasi. Namun,
jika proposal Canada untuk mengubah batas waktu 1990 menjadi 2000 tentang
status lahan dapat diterima, luas lahan yang layak untuk proyek CDM sesuai
dengan alokasi untuk kawasan lindung dan kawasan konservasi adalah 16.448,3
ha. Penyerapan karbon dari satu hektar hutan adalah sebesar 6 ton karbon per
tahun. Dengan demikian, diperoleh total karbon sebesar 98.689,8 ton karbon per
tahun. Berdasarkan artikel Guardian – Inggris diacu dalam Nasution (2008),
cadangan karbon pada saat ini dihargai sampai dengan USD 30 per ton karbon.
Dengan demikian, proyek perdagangan karbon akan menghasilkan USD
2.960.694 per tahun. Jika biaya transaksi untuk mendapatkan proyek perdagangan
karbon tersebut sekitar USD 1,7 per ton karbon (Murdiyarso, 2003 diacu dalam
Jalid, 2004), akan diperoleh keuntungan sebesar USD 2.792.921 per tahun. Untuk
satu ton karbon akan diperoleh keuntungan sebesar USD 28,3 per ton karbon per
tahun, sedangkan untuk satu hektar hutan akan diperoleh keuntungan sebesar USD
169,8 per tahun. Namun demikian, keuntungan yang diperoleh petani ternyata
masih kurang atraktif.
3. Mempertahankan keanekaragaman hayati (biodiversity)
Keterlibatan masyarakat di dalam pengelolaan agroforestri dan ketegasan
pemerintah terhadap hak pengusahaan hutan (HPH) merupakan hal yang sangat
penting dalam mempertahankan keanekaragaman hayati. Berkurangnya luas lahan
hutan sekunder di DAS Karang Mumus dari tahun 1992 sampai dengan 2007
sebesar 36,0% mengakibatkan hilangnya berbagai jenis vegetasi dan satwa yang
terdapat di dalamnya. Menurut Suhardi (2008), setiap satu spesies hilang akan
diikuti oleh hilangnya 10-30 spesies lainnya.
Upaya pengelolaan lanskap agroforestri pada dasarnya adalah untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati. Alokasi lahan hutan lindung, hutan
konservasi, dan pertanian lahan kering merupakan potensi yang cukup besar untuk
mempertahankan keanekaragaman hayati melalui program reboisasi dan
87

rehabilitasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Akan tetapi, jenis vegetasi yang
digunakan sebaiknya adalah jenis vegetasi lokal. Keberhasilan pengelolaan untuk
membentuk kembali kondisi lahan kritis seperti hutan akan mendatangkan
berbagai spesies satwa yang merasa sesuai dengan habitatnya.
Dalam skala mikro, pengembangan agroforestri di Hutan Pendidikan
Gunung Walat (HPGW) telah meningkatkan keanekaragaman jenis tanaman yang
sebelumnya didominasi oleh Agathis lorathifolia dan Pinus merkusii yang
ditanam secara monokultur. Peningkatan keanekaragaman jenis tanaman tersebut,
antara lain, Ammomum cardamomum, Manihot esculenta, Coffea robusta,
Swietenia macrophylla, Colocasia esculentum, Musa sp, dan Paraserianthes
falcataria (Sundawati, 2008).
4. Mempertahankan keindahan lanskap (landscape beautification)
Kawasan DAS Karang Mumus juga berpotensi untuk dikembangkan
menjadi kawasan wisata. Kawasan-kawasan wisata yang terdapat di DAS Karang
Mumus, antara lain, kawasan cagar budaya Dayak, taman wisata tanah merah,
lapangan golf, tempat-tempat pemancingan, dan tempat-tempat peristirahatan.
Melalui pengelolaan lanskap agroforestri, kawasan DAS Karang Mumus
juga dapat dikembangkan menjadi kawasan eco-tourism, agrowisata, dan kawasan
wisata sungai. Kawasan lindung dapat menjadi sumber pendapatan daerah dengan
adanya eco-tourism. Selain itu, masyarakat dapat memanfaatkan kegiatan
pertaniannya sebagai obyek wisata untuk pengembangan kawasan agrowisata.
Masyarakat dapat memperoleh penghasilan tambahan dari usaha pertaniannya
tersebut. Pengembangan kawasan wisata sungai (Gambar 28) dapat dilakukan jika
relokasi permukiman tepi sungai telah berhasil dilakukan seluruhnya. Dengan
demikian, untuk pengembangan kawasan wisata, kesiapan obyek wisata pertanian
dan kesiapan masyarakat harus menjadi perhatian pemerintah.
Tujuan-tujuan pengelolaan agroforestri di atas merupakan jasa lingkungan
yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat DAS Karang Mumus. Hal ini dapat
dilakukan untuk mengatasi semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat DAS Karang Mumus.
88

Gambar 28. Potensi wisata sungai


Pedoman pelaksanaan pengelolaan penggunaan lahan di kawasan DAS
Karang Mumus diadaptasi dari Gregersen et al. (1987) diacu dalam Asdak (2007)
adalah sebagai berikut.
1. Perencanaan pengelolaan harus mencakup daerah hulu dan hilir dari DAS
Karang Mumus. Hal ini terkait dengan kondisi biogeofisik kawasan DAS.
Pada umumnya DAS dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir. Daerah
hulu DAS dicirikan sebagai daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase
lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar, bukan
merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola
drainase, dan jenis vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara, daerah hilir
DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai sangat kecil, pada
beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian
air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman
pertanian. Dengan adanya aktivitas perubahan lanskap di daerah hulu seperti
perubahan penggunaan lahan, pembalakan liar, pembangunan jalan, dan lain-
lain akan memberi dampak terhadap seluruh kawasan DAS, termasuk daerah
hilirnya.
2. Pengelolaan yang dilakukan harus mempertimbangkan karakteristik kawasan.
Pengelolaan yang dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus diharapkan
tidak menghilangkan fungsi kawasan sebagai cathment area (daerah
tangkapan air) dan tidak menghilangkan karakteristik fisik lainnya.
89

3. Pengelolaan harus menyelaraskan kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan


lingkungan. Pengelolaan yang dilakukan di kawasan DAS Karang Mumus
diupayakan tidak menimbulkan konflik-konflik sosial, ekonomi, dan budaya
di dalam masyarakat. Pengetahuan tentang kearifan lokal yang bersumber dari
budaya masyarakat harus menjadi perhatian di dalam pengelolaan kawasan.
4. Pengelolaan yang dilakukan harus mempertimbangkan batas ekologi dan batas
administrasi. Terdapatnya dua wilayah administrasi di DAS Karang Mumus
menyebabkan sulitnya melakukan pengelolaan dengan tujuan yang sama.
Pengelolaan kawasan DAS harus bersifat lintas batas dan lintas sektoral.
Sebagai contoh, pada DAS Karang Mumus, kawasan hulu DAS merupakan
kawasan yang termasuk wilayah Kecamatan Muara Badak, Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai batas administratifnya. Karena berada dalam satu
kawasan DAS seharusnya terjadi koordinasi antarinstitusi atau lembaga di
dalam menentukan pengelolaan yang akan dilakukan terhadap kawasan DAS
Karang Mumus tersebut. Hal ini didukung oleh Asdak (2007) yang
menyebutkan bahwa pola pengelolaan suatu ekosistem DAS dikenal sebagai
konsep satu DAS, satu rencana, satu pengelolaan (one watershed, one plan,
one management).
5. Pengelolaan harus dilakukan secara holistik dan integratif. Pengelolaan DAS
yang dibuat dan dilaksanakan mencakup pedoman 1 – 4 harus dapat
mendorong semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan sumber
daya alam untuk saling menyadari dampak yang akan ditimbulkan oleh
kegiatan yang dilakukan. Dengan demikian, dapat segera dilakukan evaluasi
dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan tindakan
perbaikan yang diperlukan. Selain itu, perlunya dilakukan koordinasi antara
Pemerintah Kota Samarinda dan Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara
termasuk lembaga-lembaga di dalamnya terkait kebijakan-kebijakan mengenai
konservasi lingkungan sehingga pengelolaan dapat dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu.
90

Kegiatan pengelolaan penggunaan lahan di kawasan DAS merupakan


kegiatan yang bersifat sekuensial dan saling berkaitan. Berikut ini adalah konsep
kegiatan-kegiatan utama di dalam pengelolaan penggunaan lahan di DAS Karang
Mumus yang diadaptasi dari Hufschmidt (1986) diacu dalam Asdak (2007).
1. Kegiatan pertama adalah pembagian kawasan DAS Karang Mumus menjadi
lima tipe penutupan dan penggunaan lahan, yaitu kawasan lindung, kawasan
konservasi, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, dan permukiman.
Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada daerah hulu, tengah, dan
hilir dapat dilihat pada Tabel 24. Di daerah hulu DAS Karang Mumus,
kawasan lindung dialokasikan seluas 4.833,4 ha (49,4%), kawasan konservasi
dialokasikan seluas 26,9 ha (0,3%), pertanian lahan kering dialokasikan seluas
2.451,2 ha (25,0%), pertanian lahan basah dialokasikan seluas 2.113,8 ha
(21,6%), dan permukiman dialokasikan seluas 364,3 ha (3,7%). Di daerah
tengah DAS Karang Mumus, kawasan lindung dialokasikan seluas 7.693,7 ha
(34,9%), kawasan konservasi dialokasikan seluas 3.448,6 ha (15,7%),
pertanian lahan kering dialokasikan seluas 3.333,9 ha (15,1%), pertanian lahan
basah dialokasikan seluas 4.681,2 ha (21,3%), dan permukiman dialokasikan
seluas 2.855,1 ha (12,9%). Di daerah hilir DAS Karang Mumus, kawasan
lindung dialokasikan seluas 445,7 ha (41,3%), pertanian lahan kering
dialokasikan seluas 49,1 ha (4,6%), pertanian lahan basah dialokasikan seluas
547,4 ha (50,7%), dan permukiman dialokasikan seluas 36,9 ha (3,4%).

Tabel 24. Alokasi tipe penutupan dan penggunaan lahan pada daerah hulu,
tengah, dan hilir
Tipe penutupan dan Hulu Tengah Hilir
penggunaan lahan ha % ha % ha %
Kawasan lindung 4.833,4 49,4 7.693,7 34,9 445,7 41,3
Kawasan
konservasi 26,9 0,3 3.448,6 15,7 0 0
Pertanian lahan
kering 2.451,2 25,0 3.333,9 15,1 49,1 4,6
Pertanian lahan
basah 2.113,8 21,6 4.681,2 21,3 547,4 50,7
Permukiman 364,3 3,7 2.855,1 12,9 36,9 3,4
Total 9.789,6 100,0 22.012,5 100,0 1.301,2 100,0
91

2. Kegiatan kedua adalah pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan


pengelolaan.
a. Kawasan lindung
Pada dasarnya, kawasan lindung mempunyai fungsi secara ekologis
dan ekonomis. Secara ekologis, kawasan lindung berfungsi sebagai
pelindung tata air. Kawasan lindung juga menyediakan keanekaragaman
jenis vegetasi dan satwa. Secara ekonomis, kawasan lindung dapat
dimanfaatkan sebagai kawasan wisata eco-tourism. Akan tetapi, kegiatan
wisata ini harus memperhatikan pembatasan-pembatasan kegiatan agar
tidak merusak kawasan lindung. Pelaksanaan kegiatan reboisasi dan
rehabilitasi juga perlu dilakukan pada lahan-lahan kritis yang berfungsi
sebagai kawasan lindung. Kawasan lindung berupa hutan lindung dan
hutan produksi di dalam pengelolaannya sebaiknya memperhatikan
Peraturan Pemerintah yang berlaku.
Berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3
Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan, wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok
dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari disebut
dengan kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang meliputi KPH konservasi
(KPHK), KPH lindung (KPHL), dan KPH produksi (KPHP). Selanjutnya
dijelaskan bahwa pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat
hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan
masyarakat. Pemanfaatan hutan dapat dilakukan melalui kegiatan
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu.
Pemanfaatan kawasan hutan lindung dilakukan melalui kegiatan usaha
budi daya tanaman obat, budi daya tanaman hias, budi daya jamur, budi
daya lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa, dan budi daya
hijauan pakan ternak. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung
dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan
92

air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan


perlindungan lingkungan, dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu, antara lain, berupa rotan, madu,
getah, buah, jamur, atau sarang burung walet.
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilakukan, antara lain,
melalui kegiatan usaha budi daya tanaman obat, budi daya tanaman hias,
budi daya jamur, budi daya lebah, penangkaran satwa, dan budi daya
sarang burung walet. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi
dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan
air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan
perlindungan lingkungan, dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi
dapat dilakukan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau
pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem.
b. Kawasan konservasi
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008, pemanfaatan
kawasan konservasi berupa hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan
hutan, yaitu kawasan hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona
rimba, dan zona inti dalam taman nasional. Cagar alam, zona rimba, dan
zona inti dalam taman nasional merupakan zona preservasi sehingga
diharapkan tidak terdapat pemanfaatan kawasan pada zona preservasi
tersebut.
Kawasan konservasi yang berada di DAS Karang Mumus adalah
Kebun Raya Unmul Samarinda (KRUS). Kawasan ini menjadi satu-
satunya hutan yang dikonservasi di kawasan ini. Dengan adanya status
hukum sebagai kawasan konservasi, maka pengembangan pemanfaatan
sumber daya dan kegiatan pengelolaan dilakukan oleh pihak pengelola
yang telah ditunjuk.
Selain KRUS, hutan sekunder juga masih terdapat di kawasan DAS
Karang Mumus. Jenis tegakan pohon yang umumnya masih terdapat di
hutan sekunder adalah meranti, kayu manis, karet, jati, mahoni, dan lain-
lain. Jenis tegakan pohon ini masih banyak diminati oleh masyarakat
93

untuk kebutuhan bahan bangunan. Hutan sekunder yang tidak memiliki


status hukum sangat rawan perambahan liar. Perlu adanya penentuan zona
preservasi dan konservasi serta upaya untuk melakukan reboisasi,
rehabilitasi, dan juga restorasi terhadap kawasan konservasi di DAS
Karang Mumus. Untuk menghindari perambahan liar yang dilakukan
masyarakat perlu adanya penambahan kawasan penyangga untuk kawasan
hutan konservasi.
Selain itu, pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan kawasan
penyangga dapat menjadi satu alternatif pengembangan pemanfaatan
sumber daya. Pemberdayaan masyarakat berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 3 Tahun 2008 dapat dilakukan melalui hutan desa, hutan
kemasyarakatan, atau kemitraan. Hutan desa dapat diberikan pada hutan
lindung dan hutan produksi.
c. Pertanian lahan kering
Tipe pertanian lahan kering meliputi pekarangan, ladang, kebun
campuran, perkebunan, dan peternakan. Pengembangan pemanfaatan
sumber daya dan kegiatan pengelolaan untuk pertanian lahan kering dapat
dilakukan dengan menerapkan sistem pertanian konservasi (SPK). Sistem
pertanian konservasi menurut Direktorat Pendayagunaan Lingkungan
adalah sistem pertanian yang mengintegrasikan tindakan atau teknik
konservasi tanah dan air ke dalam sistem pertanian yang sesuai dengan
tujuan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani serta menekan
erosi sehingga sistem pertanian tersebut dapat berlanjut secara lestari dan
berkelanjutan. Sistem pertanian ini dicirikan dengan potensi erosi yang
kecil, produktivitas usaha tani cukup tinggi dengan pendapatan yang
cukup tinggi, teknologi dan sistem usaha tani yang diterapkan dapat
diterima dan dilaksanakan oleh petani dengan pengetahuan dan sumber
daya lokal. Kondisi lahan pertanian di DAS Karang Mumus dan contoh
penerapan teknologi pertanian pada lahan berlereng dapat dilihat pada
Gambar 29 dan 30.
94

Gambar 29. Kondisi lahan pertanian di DAS Karang Mumus

Gambar 30. Contoh penerapan teknologi pertanian pada lahan


berlereng (Friday et al., 2000)

Selain dengan menerapkan sistem pertanian konservasi, untuk


mengelola lahan pertanian dengan luasan yang terbatas, yaitu ± 0,25 ha
yang pada umumnya dimiliki oleh petani dalam rangka memenuhi KHL-
nya dapat dikelola dengan menerapkan sistem LEISA (Low-External-Input
and Sustainable Agriculture, pertanian berkelanjutan dengan masukan
eksternal rendah). Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai
pengelolaan sumber daya yang berhasil untuk usaha pertanian guna
membantu kebutuhan manusia yang berubah, sekaligus mempertahankan
atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya
95

alam. Salah satu contoh pola pertanian berkelanjutan adalah pola pertanian
yang memadukan tanaman, ikan, dan ternak (Mugnisjah et al., 2004).
Kegiatan usaha tani yang dilakukan dengan memadukan tanaman,
ikan, dan ternak memiliki beberapa dampak positif, baik dari segi ekologi,
ekonomi maupun sosial. Secara ekologis adanya tiga kegiatan budi daya
(tanaman, ikan, dan ternak) memungkinkan terjadinya daur materi sebagai
akibat dari adanya pemanfaatan limbah dari suatu kegiatan budi daya
untuk kegiatan budi daya lainnya. Sehubungan dengan penggunaan pupuk
organik, misalnya, kompos menyebabkan CO2 yang dihasilkan dilepas ke
atmosfir dan menurunkan keasaman tanah, sedangkan pemberian pupuk
kandang mempercepat proses pengomposan dan menghasilkan kualitas
kompos yang lebih baik. Dari segi ekonomi, adanya keterpaduan
antarkegiatan budi daya dapat mengurangi biaya produksi yang harus
dikeluarkan petani. Hal tersebut disebabkan adanya faktor produksi yang
dapat dipenuhi dari sistem produksi lainnya. Dari segi sosial sistem LEISA
yang diusahakan berkontribusi bagi ketahanan pangan keluarga petani
tersebut dan membantu penduduk sekitar dalam memperoleh pendapatan
sehingga turut mengurangi jumlah pengangguran (Mugnisjah et al., 2004).
d. Pertanian lahan basah
Tipe pertanian lahan basah terdiri atas sawah dan perikanan.
Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan juga
dapat dilakukan dengan menerapkan sistem pertanian LEISA.
Berdasarkan hasil penelitian Mugnisjah et al. (2004), penerapan sistem
LEISA pada kegiatan usaha tani terpadu padi-ikan-itik yang dilakukan di
Kampung Karang Sari, Desa Sindang Asih, Kecamatan Karang Tengah,
Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, dengan menggunakan lahan pertanian
yang terdiri atas dua ekosistem yang berbeda yaitu sawah (1.2 ha) dan
kolam (0.5 ha) merupakan kegiatan produksi yang dapat meningkatkan
penggunaan sumber daya lokal sehingga dapat menekan penggunaan
masukan eksternal buatan, yang oleh karenanya dapat menekan biaya
produksi yang dikeluarkan. Dengan adanya tiga komoditi yang
diusahakan, petani LEISA dapat mengurangi resiko kegagalan, selain itu,
96

juga berkesempatan memperoleh pendapatan yang lebih sering. Sistem


LEISA yang diciptakan oleh usaha tani terpadu tersebut juga dapat
mengupayakan kegiatan produksi yang tidak berdampak buruk bagi
lingkungan.
e. Permukiman
Pengembangan pemanfaatan sumber daya dan kegiatan pengelolaan
yang akan dilakukan untuk tipe penggunaan lahan permukiman sangat
banyak. Salah satu contohnya adalah pembangunan permukiman ekologis
sebagai permukiman sehat. Kriteria permukiman ekologis sebagai
permukiman sehat diadaptasi dari Frick (2005), terdapat sepuluh kriteria,
yaitu (1) menciptakan kawasan penghijauan di antara kawasan terbangun
sebagai paru-paru hijau, (2) memilih tapak bangunan yang bebas gangguan
geobiologis, (3) menggunakan bahan bangunan alamiah, (4) memilih
lapisan permukaan dinding dan langit-langit rumah yang mampu
mengalirkan uap air, (5) menggunakan ventilasi alam untuk menyejukkan
udara dalam bangunan, (6) menghindari kelembaban tanah yang naik ke
dalam konstruksi bangunan, (7) meminimalkan medan elektromagnetik
buatan, (8) mempertimbangkan bentuk dan proporsi ruang berdasarkan
aturan harmonis, (9) menjamin bahwa bangunan yang direncanakan tidak
mencemari lingkungan maupun membutuhkan energi yang berlebihan, dan
(10) menjamin bahwa pembangunan berkelanjutan dapat diterapkan secara
luas sehingga tidak mengakibatkan efek samping yang merugikan.
Untuk permukiman yang sudah terbentuk, kegiatan pengelolaan lebih
banyak dilakukan terhadap pengelolaan saluran pembuangan air limbah
(SPAL), pengelolaan lingkungan sekitar permukiman, pemanfaatan lahan
pekarangan secara optimal, dan lain sebagainya.
Pemerintah Kota Samarinda melalui Dinas Pekerjaan Umum dalam
rangka penanganan drainase di kawasan permukiman sedang melakukan
rehabilitasi saluran drainase, yang meliputi saluran sekunder sepanjang
14,9 km, saluran tersier sepanjang 24,1 km, dan gorong-gorong sebanyak
18 unit. Sementara itu, pembangunan saluran sekunder baru juga sedang
dilakukan dengan panjang 8 km, saluran tersier 21,3 km.
97

3. Kegiatan ketiga di dalam pengelolaan penggunaan lahan adalah


pengembangan kegiatan pengelolaan yang tidak hanya dilakukan di daerah
hilir DAS Karang Mumus, tetapi juga di daerah tengah dan hulu DAS.
Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi relokasi permukiman tepi sungai,
konsolidasi lahan, reboisasi dan rehabilitasi lahan-lahan kritis, dan
memperindah kawasan. Selain itu, kegiatan yang dapat dilakukan adalah
pengerukan lumpur di sungai, bendungan, dan saluran-saluran air, pengelolaan
sampah dan limbah, konservasi sempadan sungai dengan pembuatan turap
penahan longsor, dan penanaman vegetasi. Kegiatan pengelolaan yang lain
adalah pengendalian pencemaran air. Menurut DPU (2003), beberapa upaya
pengendalian pencemaran air yang dapat dilakukan, antara lain,
mengupayakan reduksi limbah sejak pra produksi, penghematan penggunaan
material dalam proses produksi, pemberian sanksi dan penghargaan terhadap
masyarakat yang terkait dengan kegiatan pengendalian pencemaran air, dan
pengawasan kegiatan pengendalian pencemaran air yang intensif dari pihak
instansi yang terkait.

Anda mungkin juga menyukai