Anda di halaman 1dari 11

DASAR-DASAR HUKUM PIDANA

A. Pengertian Hukum Pidana


Merumuskan hukum pidana ke dalam rangakaian kata untuk dapat memberikan sebuah
pengertian yang komprehensif tentang apa yang dimaksud dengan hukum pidana adalah sangat
sukar. Namun setidaknya dengan merumuskan hukum pidana menjadi sebuah penger-tian dapat
membantu memberikan gambaran/deskripsi awal tentang hukum pidana. Banyak pengertian dari
hukum pidana yang diberikan oleh para ahli hukum pidana diantaranya adalah sebagai berikut:
W.L.G. Lemaire menjelaskan tentang hukum pidana, yaitu
“Hukum pidana itu itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan
larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi
berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga
dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan
terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan
bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan
bagi tindakan-tindakan tersebut”.1
Simons menjelaskan pengertian hukum pidana sebagai berikut:
“Hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objek tif atau
strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjectieve
zin. Hukum pidana dalam arti objek tif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga
disebut sebagai hukum positif atau ius poenale”.2
W.F.C. van Hattum
“Hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang
diikuti oleh negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai
pemelihara dari ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang
bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturan-peraturannya
dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman”.3

1 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 1-2.
2 Ibid, h. 3.
3 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 2.
Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:4
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hazewinkel-Suringa
“Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan
perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi
hukum) bagi barang siapa yang membuatnya”.5
Adami Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-
ketentuan tentang:6
1) Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan
melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
2) Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk
dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya;
3) Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa
sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan
dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam

4 Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (1982), h. 1.


5 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 4.
6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), h. 2.
usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya
negara menegakkan hukum pidana tersebut.
B. Sumber Hukum Pidana
Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata dan untuk keperluan itu, para
ahli hukum pidana telah memikirkan agar hukum pidana dapat “pasti” dan “adil” sehingga
timbullah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan atau kitab
undang-undang (kodifikasi). Namun hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara
di dunia, berbentuk undang-undang dan kodi-fikasi. Negara-negara yang menganut sistem
hukum Anglo-Saxon hampir seluruhnya tidak mengenal hukum pidana dalam bentuk kodifikasi
dan hanya sebagian kecil negara-negara itu yang mempunyai kodifikasi hukum pidana.7
Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum.
Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan sumber hukum dalam arti formil.
Menurut Sudarto sumber hukum pidana Indonesia adalah sebagai berikut:8
1. Sumber utama hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis
Induk peraturan hukum pidana positif adalah KUHP, yang nama aslinya adalah Wetboek
van Strafrecht voor nederlandsch indie (W.v.S), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit) tanggal
15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP atau
W.v.S.v.N.I. ini merupakan copie (turunan) dari Wetboek van Strafrecht Negeri Belanda, yang
selesai dibuat tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886 tidak seratus persen sama,
melainkan diadakan penyimpangan-penyimpangan menurut kebutuhan dan keadaan tanah
jajahan Hindia Belanda dulu, akan tetapi asas-asas dan dasar filsafatnya tetap sama.
KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17-
8-1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun
1942 (Undang-undang Pemerintah RI, Yogyakarta), Pasal 1 berbunyi: “Dengan menyimpang
seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa
peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang
ada pada tanggal 8 Maret 1942”.
Ini berarti bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah Bahasa Belanda.

7 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h 22


8 Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), h. 15
Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda yang pada tahun 1945 kembali lagi ke
Indonesia, setelah mengungsi selama zaman pen-dudukan Jepang (1942-1945) juga mengadakan
perubahan-peru-bahan terhadap W.v.S. v.N.I. (KUHP), misalnya dengan Staat-blad 1945 No.
135 tentang ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana Pasal 570.
Sudah tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintahan yang saling
bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakekatnya telah
menimbulkan dua buah KUHP yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya sendiri-
sendiri. Jadi boleh dikatakan ada dualisme dalam KUHP (peraturan hukum pidana). Guna
melenyapkan keadaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 (L.N. 1958 No.
127) yang antara lain menyatakan bahwa UU R.I. No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia. Dengan demikian perubahan-perubahan yang diadakan oleh Pemerintah
Belanda sesudah tanggal 8 Maret 1942 dianggap tidak ada.
KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku untuk semua golongan
penduduk, dengan demikian di dalam lapangan hukum pidana telah ada unifikasi. Sumber
hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana yang diatur di luar KUHP,
yaitu peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam peraturan
perundang-undangan hukum pidana lainnya.
2. Hukum pidana adat
Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak
tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik
adat masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada
Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 (L.N. 1951-9) Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih
berlakunya hukum pidana adat (meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja) maka
sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum
pidana tertulis tetap mempunyai peranan yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai
dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan)
M.v.T. adalah penjelasan atas rencana undang-undang pidana, yang diserahkan oleh
Menteri Kehakiman Belanda bersama dengan Rencana Undang-undang itu kepada Parlemen
Belanda. RUU ini pada tahun 1881 disahkan menjadi UU dan pada tanggal 1 September 1886
mulai berlaku. M.v.T. masih disebut-sebut dalam pembicaraan KUHP karena KUHP ini adalah
sebutan lain dari W.v.S. untuk Hindia Belanda. W.v.S. Hindia Belanda (W.v.S.N.I.) ini yang
mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918 itu adalah copy dari W.v.s. Belanda tahun 1886. Oleh
karena itu M.v.T. dari W.v.S. Belanda tahun 1886 dapat digunakan pula untuk memperoleh
penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut di dalam KUHP yang sekarang berlaku.
Dalam menetapkan sumber hukum atau dasar patut dipidananya suatu perbuatan, Konsep
KUHP Baru bertolak dari pendirian bahwa sumber hukum yang utama adalah undang-undang
(hukum tertulis). Jadi bertolak dari asas legalitas dalam pengertian yang formal. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 145 ayat (1) Konsep. Namun berbeda dengan asas legalitas yang
dirumuskan di dalam KUHP (WvS) selama ini, Konsep memperluas perumusannya secara
materiil dengan menegaskan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) itu tidak mengurangi
berlakunya "hukum yang hidup" di dalam masyarakat. Dengan demikian, di samping sumber
hukum tertulis (UU) sebagai kriteria/patokan formal yang utama, Konsep juga masih memberi
tempat kepada sumber hukum tidak tertulis yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar
menetapkan patut dipidananya suatu perbuatan. Berlakunya hukum yang hidup di dalam
masyarakat itu hanya untuk delik-delik yang tidak ada bandingnya (persamaannya) atau tidak
telah diatur di dalam undang-undang.9

C. Asas-Asas Hukum pidana


Berikut akan dijelaskan asas-asas hukum pidana. Adapun asas-asas hukum pidana, yaitu;
1. Asas Legalitas (asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali)
Tata hukum Indonesia, utamanya meletakan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
Kemudian dalam pasangannya, asas ini mensyaratkan terikatnya hakim pada undang-undang. ini
menegaskan agar proses peradilan pidana atau acara pidana dijalankan menurut acara, proses,
atau prosedur yang telah diatur oleh undang-undang, yaitu Pasal 3 KUHAP.
Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengandung asas legalitas, menurut P.A.F. Lamintang
rumusannya dalam bahasa Belanda berbunyi “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene
daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”, yang artinya tiada suatu perbuatan yang dapat
dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang terlebih dahulu

9Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP
Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), h. 73-74.
daripada perbuatannya itu sendiri.10 Menurut Moeljatno biasanya asas legalitas ini mengandung
tiga pengertian, yaitu :11
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam aturan undang-undang;
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian yang pertama, harus ada peraturan undang-
undang. jadi, peraturan hukum yang tertulis lebih dahulu yang dengan jelas tampak dalam Pasal
1 KUHP. Dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya perbuatan-perbuatan pidana menurut
hukum adat, tidak dapat dipidana, sebab tidak ditentukan dengan peraturan tertulis. Mengenai
analogi, dipandang dari sudut psikologis bagi orang yang menggunakannya ada perbedaan yang
besar dengan penafsiran ekstensif. Dalam analogi, sudah tidak berpegang pada aturan yang ada
lagi, sedangkan penafsiran ekstensif masih berpegang pada bunyinya aturan.
Moeljatno tidak memberi penjelasan lebih jauh menyangkut tidak berlaku surutnya
peraturan-peraturan hukum pidana. Hal yang sama menyangkut penerapan hukum adat,
dikatakan oleh R. Soesilo bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP ini merupakan perundang-undangan
hukum pidana modern yang menuntut ketentuan-ketentuan hukum pidana harus ditetapkan
dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat, tidak
berlaku untuk menghukum orang.
Wirjono Projodikoro mengungkapkan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini terdapat
dua asas dari hukum pidana, yaitu:
1) bahwa sanksi pidana atau straf-sanctie hanya dapat ditentukan dengan undang-undang;
2) bahwa ketentuan sanksi pidana ini tidak boleh berlaku surut atau geen terugwerkende
kracht.12
Menurut Bambang Poernomo bahwa banyak pengertian yang dapat diberikan kepada
Pasal 1 ayat (1) KUHP, antara lain mempunyai makna :
a) “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana,
tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu (sifat umum adagium di dalam
ilmu hukum pidana);

10 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.130
11 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.25.
12 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm.42.
b) “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”;
c) “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang
terjadi pada saat itu”.13
2. Asas Teritorialitas
Asas ini diatur dalam Pasal 2 KUHP
”Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu
tindak pidana di wilayah Indonesia”

Setiap orang yang dimaksud adalah baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di
wilayah Indonesia. Asas ini menyangkut tempat terjadinya delik. Namun dalam melakukan
tindak pidana orang tidak perlu berada di wilayah Indonesia, misalnya tindak pidana yang
dilakukan di atas kapal Indonesia (Pasal 3 KUHP)
3. Asas Nasional aktif
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum
pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana
Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada.14
Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan
sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan
hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap
sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena
dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat
(1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. Pasal 5 ayat (1) ke-2
menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar
Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan
di luar negeri tempat tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan
agar orang Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian
pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan.
Namun demikian, negara Indonesia tidak akan menyerahkan warganya diadili di luar
Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasii bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk

13 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.68
14 PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung. 2011, hlm 12.
kategori kejahatan. Artinya, jika ada orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar
negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia perbuatannya dianggap
sebagai pelanggaran, maka tidak akan diadili di Indonesia. Ayat (2) dari Pasal 5 memperluas
dalam hal penuntutan. Jadi, apabila ada orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri
kemudian melarikan diri ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, tidak membebaskan
dia dari penuntutan pidana.
Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika di negara
tempat dilakukannya tindak pidana tidak diancam dengan pidana mati, maka ketika warga negara
Indonesia itu melarikan diri ke Indonesia, di Indonesia juga tidak akan dipidana mati.
4. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
Asas perlindungan atau biasa disebut dengan asas nasional pasif menentukan bahwa
hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika
perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga
diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang
menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia maupun bukan.15
Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam
asas perlndungan adalah:
a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106, 107, 108,
110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).
b. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia.
c. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia
d. Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)
e. Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).
Tindak pidana-tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara. Oleh
karena itu, asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi
warga negara di luar negeri.
5. Asas Universalitas

15 Ibid
Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum
pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah
negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan
dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia
dapat diterapkan. Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia
berdasarkan asas universal adalah:
a. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP)
yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.
b. Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (Pasal 4 sub 4 KUHP yang diperbaharui
dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada
Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi
Montreal 1971.

D. Pembagian Hukum Pidana


Hukum pidana dapat dibagi/dibedakan dari berbagai segi, antara lain sebagai berikut:
1. Hukum pidana dalam arti objektif dan hukum pidana dalam arti subjektif.
2. Hukum pidana materiil dan hukum pidana formil
Adapun Menurut van Hattum pembagian hukum pidana, yaitu:
a. Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan
tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang
dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap
tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat dijatuhkan
terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak.
b. Hukum pidana formil memuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang bagaimana
caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit.
Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana. 16
c. Hukum pidana yang dikodifikasikan (gecodificeerd) dan hukum pidana yang tidak
dikodifikasikan (niet gecodificeerd). Hukum pidana yang dikodifikasikan misalnya
adalah: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Militer, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun Hukum

16 P.A.F. Lamintang, Op.cit., h. 10.


pidana yang tidak dikodifikasikan misalnya berbagai ketentuan pidana yang tersebar
di luar KUHP, seperti UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi, UU (drt) No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan
Peledak, UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Me-nyampaikan Pendapat di
Muka Umum, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 21
Tahun 2007 ten-tang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan
peraturan lainnya yang di dalamnya mengandung sanksi berupa pidana.
d. Hukum pidana bagian umum (algemene deel) dan hukum pidana bagian khusus
(bijzonder deel). Hukum pidana bagian umum ini memuat asas-asas umum
sebagaimana yang diatur di dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan
Umum. Sedangkan Hukum pidana bagian khusus itu memuat/mengatur tentang
Kejahatan-kejahatan dan Pelanggaran-pelanggaran, baik yang terkodifikasi maupun
yang tidak terkodifikasi.
e. Hukum pidana tertulis dan hukum pidana tidak tertulis17

E. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana


Tirtaamidjaya menyatakan maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi
masyarakat.18 Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat agar
dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Manusia dalam usaha untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan hidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan
antara satu dengan yang lainnya, yang dapat menimbulkan kerugian atau mengganggu
kepentingan orang lain. Agar tidak menimbulkan kerugian dan mengganggu kepentingan orang
lain dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya tersebut maka hukum memberikan aturan-
aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga ia tidak bisa berbuat sekehendak hatinya.
Menurut Sudarto fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai berikut:19

17 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AHM- PTHM, 1982), h.17
18 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.23
19 Ibid, h. 25
1. Fungsi yang umum. Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena
itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk
mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;
2. Fungsi yang khusus. Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper-kosanya
(rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi
pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana
dikatakan sebagai „mengiris dagingnya sendiri‟ atau seba-gai „pedang bermata dua‟,
yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-
kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun
jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan
(menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum
pidana itu memberi aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini
perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah
subsidair,20 artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila
usaha-usaha lain kurang memadai.
Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-
pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang
dapat dipidana.21 Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian
lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-
norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari
bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan
dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari
pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban,
ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja
menimbulkan penderitaan.22

20 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 15.
21 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1979), h. 55.
22 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 9 -10

Anda mungkin juga menyukai