1 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 1-2.
2 Ibid, h. 3.
3 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., h. 2.
Moeljatno
Hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara,
yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:4
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,
dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut;
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-
larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila
ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Hazewinkel-Suringa
“Hukum pidana adalah sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan
perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya dian-cam dengan pidana (sanksi
hukum) bagi barang siapa yang membuatnya”.5
Adami Chazawi
Hukum pidana itu adalah bagian dari hukum publik yang memuat/berisi ketentuan-
ketentuan tentang:6
1) Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan) larangan
melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai
dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu;
2) Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk
dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang
dilanggarnya;
3) Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat
perlengkapannya (misalnya Polisi, Jaksa, Hakim), terhadap yang disangka dan didakwa
sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menja-tuhkan
dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang
boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam
9Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Perkembagan Penyusunan Konsep KUHP
Baru), (Jakarta: Kencana, 2008), h. 73-74.
daripada perbuatannya itu sendiri.10 Menurut Moeljatno biasanya asas legalitas ini mengandung
tiga pengertian, yaitu :11
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam aturan undang-undang;
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Selanjutnya dikatakan bahwa pengertian yang pertama, harus ada peraturan undang-
undang. jadi, peraturan hukum yang tertulis lebih dahulu yang dengan jelas tampak dalam Pasal
1 KUHP. Dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya perbuatan-perbuatan pidana menurut
hukum adat, tidak dapat dipidana, sebab tidak ditentukan dengan peraturan tertulis. Mengenai
analogi, dipandang dari sudut psikologis bagi orang yang menggunakannya ada perbedaan yang
besar dengan penafsiran ekstensif. Dalam analogi, sudah tidak berpegang pada aturan yang ada
lagi, sedangkan penafsiran ekstensif masih berpegang pada bunyinya aturan.
Moeljatno tidak memberi penjelasan lebih jauh menyangkut tidak berlaku surutnya
peraturan-peraturan hukum pidana. Hal yang sama menyangkut penerapan hukum adat,
dikatakan oleh R. Soesilo bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP ini merupakan perundang-undangan
hukum pidana modern yang menuntut ketentuan-ketentuan hukum pidana harus ditetapkan
dalam undang-undang yang sah, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat, tidak
berlaku untuk menghukum orang.
Wirjono Projodikoro mengungkapkan bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini terdapat
dua asas dari hukum pidana, yaitu:
1) bahwa sanksi pidana atau straf-sanctie hanya dapat ditentukan dengan undang-undang;
2) bahwa ketentuan sanksi pidana ini tidak boleh berlaku surut atau geen terugwerkende
kracht.12
Menurut Bambang Poernomo bahwa banyak pengertian yang dapat diberikan kepada
Pasal 1 ayat (1) KUHP, antara lain mempunyai makna :
a) “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana,
tanpa peraturan yang mengancam pidana lebih dahulu (sifat umum adagium di dalam
ilmu hukum pidana);
10 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hlm.130
11 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, hlm.25.
12 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm.42.
b) “undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut”;
c) “lex temporis delicti”, yang artinya undang-undang berlaku terhadap delik yang
terjadi pada saat itu”.13
2. Asas Teritorialitas
Asas ini diatur dalam Pasal 2 KUHP
”Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu
tindak pidana di wilayah Indonesia”
Setiap orang yang dimaksud adalah baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak pidana di
wilayah Indonesia. Asas ini menyangkut tempat terjadinya delik. Namun dalam melakukan
tindak pidana orang tidak perlu berada di wilayah Indonesia, misalnya tindak pidana yang
dilakukan di atas kapal Indonesia (Pasal 3 KUHP)
3. Asas Nasional aktif
Asas personalitas bertumpu pada kewarganegaraan pelaku tindak pidana. Artinya, hukum
pidana suatu negara mengikuti ke manapun warga negaranya. Dengan demikian, hukum pidana
Indonesia akan selalu mengikuti warga Negara Indonesia ke mana pun ia berada.14
Dalam KUHP, asas ini diatur dalam Pasal 5 s.d. 7. Pasal 5 ayat (1) ke-1 menentukan
sejumlah pasal yang jika dilakukan oleh orang Indonesia di luar negeri maka diberlakukan
hukum pidana Indonesia. Di sini tidak dipersoalkan apakah tindak pidana tersebut dianggap
sebagai kejahatan menurut hukum pidana negara tempat orang Indonesia itu berada. Karena
dianggap membahayakan kepentingan negara Indonesia, maka sejumlah pasal dalam Pasal 5 ayat
(1) ke-1 tersebut tetap dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia. Pasal 5 ayat (1) ke-2
menentukan bahwa hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar
Indonesia melakukan tindak pidana yang dianggap kejahatan bagi hukum pidana Indonesia dan
di luar negeri tempat tindak pidana dilakukan diancam dengan pidana. Angka ke-2 ini bertujuan
agar orang Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan di luar negeri dan kemudian
pulang ke Indonesia sebelum diadili di luar negeri tidak bebas dari pemidanaan.
Namun demikian, negara Indonesia tidak akan menyerahkan warganya diadili di luar
Indonesia. Angka ke-2 ini juga membatasii bahwa yang dapat dipidana adalah yang masuk
13 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.68
14 PAF Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya, Bandung. 2011, hlm 12.
kategori kejahatan. Artinya, jika ada orang Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar
negeri kemudian pulang sebelum diadili di luar negeri, dan di Indonesia perbuatannya dianggap
sebagai pelanggaran, maka tidak akan diadili di Indonesia. Ayat (2) dari Pasal 5 memperluas
dalam hal penuntutan. Jadi, apabila ada orang asing yang melakukan tindak pidana di luar negeri
kemudian melarikan diri ke Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia, tidak membebaskan
dia dari penuntutan pidana.
Prinsip keseimbangan dalam asas ini ditunjukkan dalam Pasal 6, bahwa jika di negara
tempat dilakukannya tindak pidana tidak diancam dengan pidana mati, maka ketika warga negara
Indonesia itu melarikan diri ke Indonesia, di Indonesia juga tidak akan dipidana mati.
4. Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
Asas perlindungan atau biasa disebut dengan asas nasional pasif menentukan bahwa
hukum pidana suatu negara berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri, jika
perbuatan tersebut melanggar kepentingan negara yang bersangkutan. Asas tersebut juga
diberlakukan di Indonesia, sehingga hukum pidana Indonesia berlaku bagi tindak pidana yang
menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia maupun bukan.15
Asas perlindungan ini diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 KUHP, diperluas juga dengan UU
Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan dan UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi. Dalam KUHP, beberapa tindak pidana yang dikelompokkan ke dalam
asas perlndungan adalah:
a. Kejahatan terhadap keamanan negara dan martabat Presiden (Pasal 104, 106, 107, 108,
110, 111 bis ke-1, 127, dan 131).
b. Kejahatan tentang merk atau materai yang dikeluarkan oleh pemerinta Indonesia.
c. Pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas beban Indonesia
d. Kejahatan jabatan (Bab XXVIII Buku II KUHP)
e. Kejahatan pelayaran (Bab XXIX Buku II KUHP).
Tindak pidana-tindak pidana tersebut dianggap menyerang kepentingan negara. Oleh
karena itu, asas ini tidak berlaku jika terjadi pelanggaran terhadap kepentingan individu/pribadi
warga negara di luar negeri.
5. Asas Universalitas
15 Ibid
Asas ini diberlakukan demi menjaga kepentingan dunia/internasional, yaitu hukum
pidana suatu negara dapat diberlakukan terhadap warga negaranya atau bukan, di wilayah
negaranya atau di luar negeri. Di sini, hukum pidana diberlakukan melampaui batas kewilayahan
dan personalitas. Siapapun dan di manapun tindak pidana dilakukan, hukum pidana Indonesia
dapat diterapkan. Beberapa kejahatan yang dapat diberlakukan hukum pidana Indonesia
berdasarkan asas universal adalah:
a. Kejahatan mata uang yang dikeluarkan oleh negara tertentu (Pasal 4 sub ke-2 KUHP)
yang didasarkan pada Konvensi Jeneva 1929.
b. Kejahatan perampokan/pembajakan di laut/udara (Pasal 4 sub 4 KUHP yang diperbaharui
dengan UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan) yang didasarkan pada
Deklarasi Paris 1858, Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi
Montreal 1971.
17 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AHM- PTHM, 1982), h.17
18 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.23
19 Ibid, h. 25
1. Fungsi yang umum. Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh karena
itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk
mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat;
2. Fungsi yang khusus. Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper-kosanya
(rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi
pidana itu terdapat suatu tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana
dikatakan sebagai „mengiris dagingnya sendiri‟ atau seba-gai „pedang bermata dua‟,
yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk melindungi kepentingan-
kepentingan hukum (misalnya: nyawa, harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun
jika terjadi pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan perlukaan
(menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar. Dapat dikatakan bahwa hukum
pidana itu memberi aturan-aturan untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini
perlu diingat pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah
subsidair,20 artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan (dipergunakan) apabila
usaha-usaha lain kurang memadai.
Menurut Van Bemmelen, hukum pidana itu membentuk norma-norma dan pengertian-
pengertian yang diarahkan kepada tujuannya sendiri, yaitu menilai tingkah laku para pelaku yang
dapat dipidana.21 Van Bemmelen menyatakan, bahwa hukum pidana itu sama saja dengan bagian
lain dari hukum, karena seluruh bagian hukum menentukan peraturan untuk menegakkan norma-
norma yang diakui oleh hukum. Akan tetapi dalam satu segi, hukum pidana menyimpang dari
bagian hukum lainnya, yaitu dalam hukum pidana dibicarakan soal penambahan penderitaan
dengan sengaja dalam bentuk pidana, walaupun juga pidana itu mempunyai fungsi yang lain dari
pada menambah penderitaan. Tujuan utama semua bagian hukum adalah menjaga ketertiban,
ketenangan, kesejahteraan dan kedamaian dalam masyarakat, tanpa dengan sengaja
menimbulkan penderitaan.22
20 Jan Remmelink, Hukum Pidana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 15.
21 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1, (Bandung: Binacipta, 1979), h. 55.
22 Andi Hamzah, Op.Cit., h. 9 -10