Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN LUPUS NEFRITIS

1. Definisi
Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus erimatosus sitemik (LES).
Lupus erimatosus sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan. Diagnosis nefritis lupus ini ditegakkan bila pada
lupus erimatosus sistemik (SLE) terdapat tanda-tanda proteuniria dalam jumlah lebih atau
sama dengan 1gram/24jam atau dengan hematuria (>8 eritrosit/LPB) atau dengan
penurunan fungsi ginjal sampai 30%.
Nefritis lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada lupus eritematosus sistemik
(LES). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) atau lebih dikenal dengan nama Systemic
Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum
diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis
dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan
akut dengan gambaran klinis beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat.
Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan secara histopatologis pada
kebanyakan pasien dengan LES dengan biopsy dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien
dewasa akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan
ginjal hanya didapatkan pada 25-50% kasus. Gejala nefritis lupus secara umum adalah
proteinuri, hipertensi, dan gangguan ginjal.
Mengevaluasi fungsi ginjal pada pasien-pasien dengan LES untuk
mendeteksi dini keterlibatan ginjal sangat penting, karena dengan deteksi dan pengobatan
dini, akan meningkatkan secara signifikan fungsi ginjal. Perjalanan klinis NL sangat
bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kecepatan
menegakkan diagnosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat
mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.

2. Epidemiologi
Prevalensi LES di Amerika serikat adalah 1:2000 kasus pada populasi umum.
Karena sulitnya mendiagnosis dan kemungkinan kasus LES tidak terdeteksi, para peneliti
menduga prevalensinya kemungkinan 1 kasus per 500-1000 populasi umum. Prevelansi
penyakit LES di Indonesia belum dapat dipastikan secara tepat, karena sistem pelaporan
masih berupa laporan kasus dengan jumlah terbatas. Penyakit LES dapat ditemukan pada

1
semua umur, tetapi paling sering pada usia 15-45 tahun dan 90% penderitanya adalah
wanita. Rasio insidensi penyakit LES pada wanita dibandingkan dengan pria meningkat
sesuai dengan pertambahan umur, dengan perbandingan 2:1 pada anak-anak dan 9:1 pada
dewasa muda, namun pria dengan LES insidens terjadinya nefritis lupus lebih tinggi
walaupun tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Anak-anak dengan LES
mempunyai resiko lebih besar terkena penyakit ginjal dibandingkan orang dewasa. Orang
Asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras
lainnya.

3. Etiologi
Nefritis lupus terjadi ketika antibody (antinuklear antibody) dan komplemen
terbentuk di ginjal yang menyebabkan terjadinya peradangan. Hal tersebut biasanya
mengakibatkan terjadinya sindrom nefrotik (eksresi protein yang besar) dan dapat
progresi cepat menjadi gagal ginjal. Produk nitrogen sisa terlepas kedalam aliran darah,
lupus erimatosus sistemik (SLE) menyerang berbagai struktur internal dari ginjal,
meliputi nefritis intertitial dan glomerulonefritis membranosa.

4. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan
penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari,
luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid,
klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada
SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor
yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.
Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan
dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :

2
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin dalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen
karena adanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut
membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ
yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
5. Gejala Klinis
Seperti telah disebutkan sebelumnya, NL adalh komplikasi ginjal pada LES dan
ditemukan pada 25-50% dari semua pasien LES. Diagnosis LES ditegakkan berdasarkan
criteria American Rheumatism Association yang telah dimodifikasi pada tahun 1997.
Ditemukan 4 dari 11 kriteria mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sebesar 96% untuk
LES, criteria tersebut meliputi:
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema menetap, datar atau menonjol, pada malar eminence dan
lipat nasolabial
Ruam diskoid Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter
pemeriksa
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter pemeriksa
Atritis non-erosif Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri,
bengkak dan efusi
Pleuritis atau a. Pleuritis  riwayat nyeri pleuritik atau pleuritik friction rub yang
perikarditis didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura
atau
b. Perikarditis  bukti rekaman EKG atau pericardial friction
rubyang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi
perikardial
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau > +3, atau
b. Sedimen urin (bisa eritrosit, hemoglobin, granular, tubular, atau

3
gabungan)
Gangguan Kejang atau psikosis tanpa sebab yang jelas
neurologi
Gangguan Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000 /µL) atau limfopenia
hematologi (<1500 /µL) atau trombositopenia (<100.000 /µL) tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
Gangguan Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau anti-fosfolipid
imunologik
Antibodi Titer abnormal imunoflouresensi ANA
antinuklear

Tabel 1. Kriteria ARA untuk diagnosis SLE


Tanda-tanda gangguan ginjal dapat berupa
Gejala %
Proteinuria 100
Sindrom nefrotik 45-65
Silinder granular 30
Silinder eritrosit 10
Hematuria mikroskopik 80
Hematuria makroskopik 1-2
Penurunan fungsi ginjal 40-80
Penurunan fungsi ginjal yang cepat 30
Gagal ginjal akut 1-2
Hipertensi 15-50
Hiperkalemi 15
Abnormalitas tubulas 60-80

Tabel 2. Gambaran Klinis Nefritis Lupus


Manifestasi klinis nefritis lupus sangat bervariasi. Keterlibatan ginjal sering
didapatkan bersamaan atau tidak lama setelah onset LES, dan akan mengikuti periode
remisi dan eksaserbasi sesuai LES-nya. Pada nefritis lupus klas I WHO didapatkan
adanya proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin. Pada NL klas II WHO
didapatkan kelainan ginjal yang ringan. Biasanya hanya didapatkan anti-dsDNA yang
positif dan kadar komplemen serum yang rendah. Sedimen urin tidak aktif, tanpa
hipertensi, proteinuria ± 1 gram/24jam, dan kadar kreatinin serum serta laju filtrasi

4
glomerulus (LFG) normal. Pada NL klas III WHO biasanya didapatkan sedimen urin
yang aktif. Proteinuria lebih dari 1 gr/24 jam, kira-kira 25-35% pasien dengan proteinuria
>3 gr/24 jam. Peningkatan kreatinin serum didapatkan pada 25% pasien. Pada sebagian
pasien juga didapatkan hipertensi.
Pada nefritis lupus klas IV WHO ditemukan sedimen urin yang aktif pada seluruh
pasien. Proteinuria >3gr/24 jam didapatkan pada 50% pasien, dan hipertensi ditemukan
pada hamper semua pasien, dan penurunan fungsi ginjal sangat tipikal. Pada pasien
nefritis lupus klas V WHO secara klinis ditemukan sindrom nefrotik, sebagian dengan
hematuria dan hipertensi, akan tetapi fungsi ginjal masih normal sedangkan pada nefritis
lupus klas VI WHO dijumpai penurunan fungsi ginjal yang progresif lambat, dengan urin
yang relatif normal.
Kelainan tubulointerstitial tidak jarang ditemukan pada nefritis lupus. Berat
ringannya kelainan ini menentukan prognosa pasien. Bila kelainannya berat, pada
prognosisnya lebih buruk. Secara skematis, hubungan antara gejala klinis dan kelainan
histopatologi dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Hubungan gejala klinis dan kelainan histopatologi nefritis lupus

Gambaran klinis yang ringan dapat berubah bentuk menjadi berat dalam
perjalanan penyakitnya. Beberapa predictor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi
ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam, hematokrit
<26%, kreatinin serum >2.4 mg/dl, kadar C3<76 mg/dl, adanya serebitis dan NL klas IV.

5
6. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan hasil
pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans ecara penurunan
berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan perikarditis. Tidak ada 1
terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang hingga berat, trombositopenia,
leukositosis atau leucopenia dan antibody antinukleus yang positif. Tes imunologi
diagnostik lainnya mungkin tetapi tidak memastikan diagnostik.
a) Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif dan
jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi merupakan
spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada
penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain, hepatitis kronik, infeksi
mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan
pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama
Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya mendekati negativ pada penyakit SLE yang
tenang.
b) Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti dari suatu
sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil yang positif terjadi
pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja karena ANA
juga berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit tersebut.
Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA
diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang lain,
jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium yang lain
tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test serelogi yang lain
untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita SLE. ANA dapat
meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti RNP/antiribonukleo protein.

6
c) Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta untuk
monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P, antikardiolipin,
lupus antikoagulan, urinalisis, serum kreatinin, test fungsi hepar.

Tabel 4. Klasifikasi Nefritis Lupus (WHO, 2003)

Sedangkan International Society Nephrology / Renal Pathology Society


(ISN/RPS) membuat klasifikasi baru nefritis lupus. Klasifikasi baru ini terutama
berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan
morfologinya. Dengan pemeriksaan imunofluorese dapat ditemukan deposit imun pada
semua kompartemen ginjal. Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas immunoglobulin,
terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM dan IgA pada sebagian besar
sediaan. Juga bisa diidentifikasi komplemen C3 dan C1q.

7
Tabel 5. Klasifikasi Nefritid Lupus (ISN/RPS, 2003)
Kebanyakan klinisi sepakat akan tujuan terapeutik seperti berikut untuk pasien
yang baru terdiagnosis nefritis lupus : (1) untuk mencapai remisi renal segera, (2) untuk
mencegah kerusakan renal, (3) untuk menghindari gangguan ginjal kronik, (4) untuk
mencapai tujuan-tujuan di atas dengan toksisitas minimal. Walaupun dalam dekade
terakhir angka survival meningkat, harus ditekankan bahwa regimen imunosupresif
hasilnya masih suboptimal. Pertama, angka remisi renal setelah terapi lini pertama paling
baik hanya 81% dalam studi-studi prospektif terbaru. Kedua, relaps renal terjadi pada
sepertiga dari pasien LN, kebanyakan saat pasien masih dalam kondisi imunosupresi.
Ketiga, antara 10-20% pasien mengalami gagal ginjal terminal 5-10 tahun setelah onset
penyakit, walaupun angka ini menurun pada studi-studi berikutnya (5-10%). Akhirnya,
toksisitas terkait pengobatan masih merupakan kekuatiran utama, seperti efek samping
metabolik dan tulang pada kortikosteroid dosis tinggi, infeksi tulang atau gagal ovarium
prematur pada wanita yang menerima siklofosfamid dosis tinggi.
Prinsip pengobatan nefritis lupus:

1. Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal bila tidak
terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan terhadap
komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan tersedianya dokter
ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan sangat berbeda pada kelas
histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi ginjal diperlukan pada pasien
dengan perubahan gambar klinis dimana terapi tambahan agresif diperlukan.

8
2. Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin terutama sedimen,
kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3 komplemen, anti-ds DNA,
proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor tergantung situasi klinis. Pada
penyakit rapidly progressive glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan
kreatinin serum harian, untuk parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2
minggu untuk berubah.
3. Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada pasien dengan
riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg. Beberapa obat antihipertensi
banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi pemilihan angiotensin-converting
enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan terutama untuk pasien dengan
proteinuria menetap. Pemberian ACE inhibitor saja atau dengan kombinasi. Diet
rendah garam direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan lupus
nefritis aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan
mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit yang baik.
4. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko premature
aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan lemak juga harus
dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien nefrotik. Target terapi menurut
Guidelines American Heart Association (AHA) adalah kolesterol serum < 180
mg/dL, risiko kardiovaskular pada pasien dengan SLE masih meningkat pada
kolesterol serum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang menetap
diobati dengan obat penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitors
5. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus, karena infeksi
merupakan penyebab 20% kematian pada pasien SLE
6. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis lebih
dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3 bulan).
Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-obatan seperti
calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat (kecuali terdapat
kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
7. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan parameter
berikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium, gula
darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi gonad, dan
densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana
dapat diperkirakan dampak buruk dari kortokosteroid.

9
8. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat antiin lamasi non steroid, karena dapat
mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta
meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi dengan
kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat diperlukan, maka
diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat, dengan pemantauan
yang ketat.
9. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat risiko
morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian gagal ginjal juga
meningkat.

10
Tabel 6. Rekomendasi Terapi Nefritis Lupus
Perjalanan penyakit nefritis lupus bervariasi antar pasien LES, bahkan pada
mereka yang memiliki tipe histologis yang sama. Agen imunosupresif dapat menginduksi
remisi pada sebagian besar pasien dengan nefritis lupus proliferatif, tetapi sebagian
proporsi dari mereka berkisar antara 27-66% pada berbagai studi-akan mengalami flare.
Flare merupakan masalah karena bahaya kerusakan kumulatif yang dapat menurunkan
fungsi ginjal dan juga toksisitas akibat imunosupresi tambahan. Terapi rumatan dengan
azathioprine, mycophenolate mofetil atau pulse siklofosfamid biasanya
direkomendasikan. Flare renal dapat dikategorikan sebagai nefritik atau nefrotik dan bisa
ringan atau berat. Mayoritas pasien yang mengalami flare dapat pulih fungsi ginjalnya,
bila didiagnosis dan diobati segera. Mocca dkk mendefinisikan renal flare sebagai
peningkatan 30% dari kreatinin serum atau peningkatan 2,0 gram/hari dari proteinuria
setelah terapi induksi. Pasien dengan indeks aktivitas teinggi dan adanya karyorrhexis
lebih sering mengalami rekurensi penyakit. Ioannidis dkk mendefinisikan penyakit
rekuren sebagai sedimen urin aktif (8-10 RBC/lpb) atau lebih dari 500 mg proteinuria/24
jam.
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi ginjal. Medikamentosa berupa
kortikosteroid dan agen imunosupresif. Dialisis dapat dilakukan untuk mengontrol gejala
gagal ginjal. Transplantasi ginjal juga direkomendasikan (pasien dengan lupus yang aktif
tidak boleh dilakukan transplantasi ginjal). Dosis kumulatif rata-rata dan dosis per sesi
IV, dan masa paparan terhadap Siklofosfamid IV dan Metilprednisolon dalam pengobatan
Nefritis Lupus dan Sindrom Nefrotik ternyata identik dalam penelitian observasional
selama 7 tahun.
Selama pengobatan NL harus menilai keberhasilan terapi, beberapa kriteria
keberhasilan terapi : Renal remission, complete renal remission, disease remission, renal
relaps.
Kriteria renal remission :

a. Berkurangnya proteinuria ≥ 50% dan proteinuria < 3gr/24jam.


b. Hilangnya hematuria ( RBC ≤5 )
c. Hilangnya piuria (WBC ≤5)
d. Hilangnya celluler cast (<1)
e. Stabil (fluktuasi dalam 10% dibanding nilai awal) GFR jika serum kreatinin
awal < 2mg/dl atau peningkatan ≥ 30% jika serum kreatinin awal ≥ 2mg/dl.
Kriteria renal relaps :

11
a. Peningkatan proteinuria ≥ 50% dan proteinuria >1gr/24jam
b. Hematuria (RBC >5)
c. Piuria (WBC > 5)
d. Celluler cast ≥1
e. Penurunan GFR ≥ 30% pada dua pengukuran
Complete renal remission :

a. Proteinuria 24jam ≤ 500mg


b. RBC ≤5
c. WBC ≤5
d. Celluler cast <1
e. GFR ≥ 80ml/menit/1,73. Semua kriteria tersebut paling sedikit pada dua kali
pengukuran selama satu bulan pengobatan
Diseases remission merupakan kombinasi antara complete renal remision dan
tidak adanya manifestasi ekstra renal. Pada penatalaksanaan penting diperhatikan adalah
fokus pada strategi terapi yang bertujuan untuk mengurangi progresifitas penyakit ginjal,
menghambat perkembangan penyakit vaskuler, menghambat kambuhnya penyakit dan
mengurangi efek samping pengobatan. Pengobatan pada NL bertujuan untuk terjadinya
induksi dan mencegah terjadinya relaps. Namun disadari pula maintenance pengobatan
jangka panjang dengan steroid dan cytotoxic agent sering disertai dengan terjadinya efek
samping dan morbiditas. Rata-rata kejadian relaps masih>40% dalam waktu 5 tahun.

7. Penatalaksanaan
Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah
penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang
agresif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor,
maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis
tinggi dan imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk
SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):
1. Kelelahan

12
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau
komplikasi pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di
samping pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu
mengubah gaya hidup. SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar
matahari pada waktu-waktu tersebut.
2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat
LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya.
Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan
menggunakan obat yang mengandung estrogen.
3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada
keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroid namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping
terhadap system gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan
pemeriksaan kreatinin serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis
rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar
sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA
dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar
ultraviolet A dan B atau steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya
betametason valerat dan triamsinolon asetonid.
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan
prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1
gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-
1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE

13
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan
dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus,
faskulitis dan gangguan pada SSP. (Kowalak, Welsh, Mayer . 2002).
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
a. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
b. Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
c. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tanga.
d. Sistem muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi
hari.
e. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum
durum.
f. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
g. Sistem vaskuler

14
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau
sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
h. Sistem renal
Edema dan hematuria.
i. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun
manifestasi SSP lainnya.
2. Diagnosa Keperawatan dan intervensi
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
miokard kurang dari kebutuhan.
Tujuan : Perbaikan dalam pernafasan
Kriteria hasil : -Pasien tidak merasa sesak
-Dapat bernafas kembali dengan normaL
Intervensi Rasional
1.Catat frekuensi jantung, irama, dan 1.kecenderungan menentukan respon
perubahan TD sebelum, selama, sesudah pasien terhadap aktivitas dan dapt
aktivitassesuai indikasi. Hubungkan mengindifikasikan penurunan oksigen
dengan laporan nyeri dada/nafas pendek. miokardia yang memerlukan penurunan
tingkat aktivitas/kembali tirah baring,
perubahan program obat, penggunaan
oksigen tambahan
2.Tingkatkan istirahat {tempat tidur 2.menurunkan kerja miokardia/konsumsi
/kursi}. Batasi aktivitas pada dasar oksigen, menurunkan resiko komplikasi
nyeri/respon hemodimanik. .berikan {contoh; perluasan miokardium}
aktivitas sengang yang tidak berat
3.Batasi penugunjung atau kunjungan oleh 3.Pembicaraan yang panjang sangat
pasien mempengaruhi pasien, namun periode yang
tenang bersifat teraupetik.
4.Aktivitas memerlukan menahan nafas dan
4.Anjurkan pasien menghindari menunduk dapat mengakibatkan barikardi
peningkatan tekanan abdomen, contoh juga menurunkan jurah jantung dan
mengejan saat defikasi takikardi dan peningkatan TD
5.Aktivitas yang maju memberikan control
jantung, meningkatkan regangan dan

15
5.Jelaskan pola peningkatan bertahap dari mencegah aktivitas berlebihan.
tingkat aktivitas, contoh bangun dari kursi
bila tak ada nyeri, ambulasi dan istirahat
setelah makan

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,


penumpukan kompleks imun.
Tujuan : Pemeliharaan integritas kulit
Kriteria hasil : -Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
-Tidak terjadi perubahan pada fungsi kulit
Intervensi Rasional
1.lindungi kulit yang sehat terhadap 1.Agar kulit tidak terpajan dengan sinar
kemungkinan malserasi UV
2.Juga dengan cermat terhadap resiko 2.Menghindari kerusakan integritas kulit
terjadinya cedera termal akibat penggunaan
kompres panas yang terlalu panas.
3.Nasehati pasien untuk menggunakan 3.Menghambat reaksi sinar UV
kosmetik dan preparat tabir surya
4.Kolaborasi pemberian NSAID dan
kortikosteroid 4.Untuk memberikan efek antipiretik,
antiinflamasi dan analgesic

Nyeri berhubungn dengan kerusakan jaringan.


Tujuan : Perbaikan dalam tingkat kenyamanan
kriteria hasil : - Pasien merasa derajat nyeri menurun
- Dapat melakukan relaksasi dan distraksi

Intervensi Rasional
1.Lakukan sejumlah tindakan yang 1.mengendalikan rasa nyeri dan relaksasi
memberikan kenyaman atau kompres terhadap nyeri
panas/ dingin: masase, perubahan posisi,
istirahat, kasur busa, bantal penyangga,
bidai teknik relaksasi aktivitas yang
mengalihkan perhatian.
2.Berikan preparat anti inflamasi analgesic

16
seperti yang dianjurkan 2.Mengurangi rasa nyeri dan memberikan
3.Sesuaikan jadwal pengobatan untuk kenyaman pasien
memenuhi kebutuhan pasien terhadap 3.Mengatur kesiapan pasien untuk
penatalaksanaan nyeri melakukan pengobatan
4.Dorong pasien untuk mengutarakan
perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat 4.Mengetahui derajat keparahan nyeri
kronik penyakitnya pasien
5.Jelaskan patofisiologik nyeri dan
membantu pasien untuk menyadari bahwa
rasa nyeri sering membawanya kemetode 5.Menjelaskan efek dari pengobatan yang
terapi yang belum terbukti manfaatnya sedang dijalani sekarang
6.Bantu dalam mengenali nyeri dalam
kehidupan seorang yang membawa pasien
untuk memakai metode terapi yang belum 6.metode terapi yang tepat
terbukti manfaatnya
7.Lakukan penilaian terhadap perubahan
subjektif pada rasa nyeri 7.mengetahui rasa nyeri

Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya edema


Tujuan : Dapat memberikan keseimbangan cairan untuk mengurangi edema
Kriteria hasil: -Tidak terjadi edema
-Adanya pemberian cairan yang seimbang
INTERVENSI RASIONAL
1.Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang 1.Mengidentifikasi luas masalah dan
kondisi dan pengobatan, dan ansietas perlunya intervensi.
sehubungan dengan situasi saat ini.
2.Diskusikan arti kehilangan/ perubahan 2.Beberapa pasien memandang situasi
pada pasien sebagai tantangan, beberapa sulit menerima
perubahan hidup/penampilan peran dan
kehilangan kemampuan control tubuh
sendiri.

3.Perhatikan perilaku menarik diri, tidak 3.Indikator terjadinya kesulitan menagani


efektif menggunakan pengingkaran atau steres terhadap apa yang terjadi.

17
perilaku yang mengindikasikan terlalu
mempermasalahkan tubuh dan fungsinya.
4.Kaji penggunaan substansi adiktif, contoh 4.menunjukkan disfungsi koping dan upaya
alcohol. Pengerusakan diri/perilaku bunuh untuk menangani masalah dalam tindakan
diri. tidak efektif.
5.Tentukan tahap berduka. Perhatiakan 5.Identifikasi tahap yang pasien sedang
tandadepresi berat/lama. alami memberikan pedoman untuk
mangenal dan menerima perilaku dengan
tepat. Depresi lama menunjukkan perlunya
intervensi lanjut.
6.Akui kenormalan perasaan. 6.Pengenalan perasaan tersebut daharapkan
membantu pasien untuk menerima dan
mengatasinya secara efektif.

7.Dorong menyatakan konflik kerja dan 7.Membantu pasien mengidantifikasi dan


pribadi yang mungkintimbul, dan dengar solusi masalah.
dengan aktif. 8.Penyakit lama/permanen dan
8.Tentukan peran pasien dalam keluarga ketidakmampuan pasien untuk memenuhi
dan persepsi pasien akan diharapkan diri peran dalam keluarga/kerja.
dan orang lain.
9.Anjurkan orang terdekat memperlakukan 9.Menyampaikan harapan bahwa pasien
pasien secara normal dan bukan sebagai mampu untuk mengatur situasi dan
orang cacat. membantu untuk mempertahankan
perasaan harga diri dan tujuan hidup.
10.Bantu pasien untuk memasukkan 10.Kebutuhan pengobatan memberikan
manajemen penyakit dalam pola hidup. aspek labil normal bila ini adalah bagian
ruti sehari-hari.
11.Identifikasi kakuatan, kaberhasilan 11.Berfokus pada ingatan akan kemempuan
dahulu, metode sebelumnya yang berhasil sendiri mengahadapi amsalah dapat
untuk mengatasi steesor hidup. membantu pasien mengatasi situasi pasien
12.Bantu pasien mengidentifikasi area saat ini.
dimana mereka mempunyai beberapa 12.Memeberikan perasaan control di atas
tindakan konrtol. Beriakn kesempatan situasi tak terkontrol, mengembalikan
untuk berpartisipasi dalam proses kemandirian.
pengambilan keputusan.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Bawazier LA, Dharmeizar, Markum MS. Nefritis Lupus. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Ed 5. Jakarta. Pusat Penerbitan Dept. Ilmu Penyakit Dalam FK-
UI.
2. Bevra HH. Systemic Lupus Erythematosus. 2005. Harrison Principles Of
International Medicine ed 18th. Vol II. McGraw-Hill Medical Publishing
Division
3. Cameron JS. Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999; 10; 413-424
4. Lawrence H Brent, MD; Venchi Batuman, MD, FACP. Lupus Nefritis. Update
Jun 2011. Available at http://www,emedicine.medscape.com.
5. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. 2011.
6. Weening JJ, D’Agati VD, Schwartz MM, Seshan SV, Alpers CE, Appel GB. The
classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. J
Am Soc Nephrol. 2004;15(2):241-50
7. Carpenito and Moyet, (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 10.
Jakarta: EGC
8. Kowalak. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
9. Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
10. Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Jakarta : EGC.

19

Anda mungkin juga menyukai