Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di klinik di seluruh dunia,
disamping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara berkembang.
Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai dampak besar terhadap
kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik masyarakat.1

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit


sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup kejaringan perifer.2 Secara praktis, anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar
hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling sering digunakan adalah
hemoglobin dan hematokrit.1,2

Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit


sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer.1 Anemia pada dewasa terjadi jika hematokrit <41% (hemoglobin
13,5gr/dl) pada laki-laki dewasa atau <37% (hemoglobin <12gr/dl) pada perempuan dewasa.3

Parameter yang menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin,


hematokrit dan hitung eritrosit. Kadar hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis
tergantung umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. WHO
menetapkan cut off point anemia untuk keperluan penelitian lapangan yaitu untuk laki-laki
dewasa <13gr/dl, untuk wanita dewasa tidak hamil <12gr/dl, untuk wanita dewasa hamil
<11gr/dl. Namun kriteria WHO ini sulit untuk dilaksanakan karena tidak praktis, sehingga
beberapa peneliti Indonesia mengambil jalan tengah dengan menetapkan hemoglobin
<10gr/dl sebagai awal work up anemia.1

Etiologi dan Klasifikasi anemia

Anemia dapat disebabkan oleh infeksi dan inflammatory disease, penyakit ginjal dan
4
kanker. Anemia merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh berbagai macam
penyebab antara lain.1,3

Tabel 1. Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis1

No Klasifikasi anemia berdasarkan etiopatogenesis


1 Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
A. kekurangan bahan essensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
B. gangguan penggunaan besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
C. kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin: Anemia pada gagal ginjal kronik
2 Anemia akibat hemoragik
A. Anemia pasca perdarahan akut
B. Anemia akibat perdarahan kronik
3 Anemia hemolitik
A. Anemia hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati); anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)
- Thalassemia
- Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE
B. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia hemolitik autoimun
b. Anemia hemolitik mikroangiopati
c. Lain-lain
4 Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks

Klasifikasi lain untuk gambaran anemia dibuat berdasarkan gambaran morfologi


dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi antara lain: 1) anemia hipokrom
mikrositer bila MCV <80fL dan MCH <27pg; 2) anemia normokrom normositer bila MCV
80-95fL dan MCH 27-34pg; 3) anemia makrositer bila MCV>95fL.1

Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi1

No Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi


1 Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia defisiensi besi
b. Thalasemia mayor
c. Anemia akibat penyakit kronik
d. Anemia sideroblastik
2 Anemia normokromik normositer
a. Anemia paska perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologic
3 Anemia makrositer
a. Bentuk megaloblastik
1. anemia defisiensi asam folat
2. anemia defisiensi B12, termasuk anemia perniseosa
b. Bentuk non-megaloblastik
1. anemia pada penyakit hati kronik
2. anemia pada hipotiroidisme
3. anemia pada sindrom mielodiplastik

Secara umum jenis anemia yang sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi
besi, anemia akibat penyakit kronik, dan thalassemia. Pola etiologi anemia pada dewasa di
suatu daerah perlu diperhatikan untuk membuat diagnosis. Di daerah tropis, anemia defisiensi
besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan
thalassemia. Pada perempuan hamil, anemia karena defisiensi asam folat juga perlu
diperhatikan. Pada daerah tertentu, anemia akibat malaria juga sering dijumpai. Pada anak-
anak, thalassemia lebih memerlukan perhatian dibanding dengan anemia akibat penyakit
kronik. Anemia aplastik juga sering dijumpai di Indonesia.1

Patogenesis

Salah satu anemia yang paling sering terjadi di Indonesia diakibatkan oleh adanya
penyakit kronik seperti gastritis erosif yaitu anemia akibat penyakit kronik. Gastritis erosif
secara relatif tidak menyebabkan perdarahan gastrointestinal yang berat (<5% kasus), namun
lebih sering menyebabkan kehilangan darah kronis. Erosi mukosa lambung umumnya
disebabkan oleh NSAID, alkohol dan lain-lain.3

Anemia akibat penyakit kronik umumnya mulai dari ringan sampai sedang, disertai
dengan lemah serta penurunan berat badan. Pada umumnya anemia pada penyakit kronis
ditandai oleh kadar Hb berkisar 7-11gr/dl, kadar Fe serum menurun disertai kadar total iron
binding capacity (TIBC) yang rendah, cadangan Fe yang tinggi dijaringan serta produksi sel
darah merah yang kurang.1,2

Patogenesis anemia akibat penyakit kronik

1. Pemendekan masa hidup eritrosit

Diduga anemia yang terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologik,
dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
inflamasi atau kanker.2 Sitokin (IL-1, IL-6, TNF-α, INF-γ) menyebabkan sekuestrasi
makrofag sehingga mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa,
menekan produksi eritropoietin oleh ginjal, serta perangsangan yang inadekuat pada
eritropoiesis di sumsum tulang. Penghambatan eritropoietin sebagai prekursor pembentuk
eritrosit menyebabkan retensi besi di sistem retikuloendotelial, saluran gastrointestinal dan
hepatosit.2,5 Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi menyebabkan penurunan transformasi T4
menjadi T3 menyebabkan hipotiroid fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang
mengangkut O2 sehingga sintesis eritropoietin-pun akhirnya berkurang.1
2. Penghancuran eritrosit

Beberapa penelitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada 20-
30% pasien, defek ini terjadi di ekstrakorpuskular. Aktivasi makrofag oleh sitokin
menyebabkan meningkatnya daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian dari filter
limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor pada eritrosit.1,2

Gambar 1. Patogenesis anemia akibat penyakit kronik5


3. Produksi eritrosit

a. Gangguan metabolisme zat besi

Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup menunjukkan adanya
gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronis, hal ini menunjukkan bahwa anemia
disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb. Pada umumnya memang
terdapat gangguan absorbsi, walaupun ringan. Ambilan zat besi ke sel-sel usus dan
pengikatan oleh apoferritin intrasel masih normal, sehingga defek agaknya terjadi saat
pembebasan Fe dari makrofag dan sel-sel hepar pada pasien penyakit kronis.1,5

Terjadinya hipoferemia disebabkan karena meningkatnya penyimpanan besi, hal ini


disebabkan oleh kerusakan mobilisasi besi dengan peningkatan pengambilan dan retensi besi
pada sistem retikuloendotelial. Terhambatnya pengeluaran besi kedalam sirkulasi
menyebabkan terbatasnya kemampuan besi sebagai progenitor pembentukan eritrosit.
Hepcidin merupakan peptide kecil yang berasal dari hepar yang berfungsi dalam mengatur
transpor besi dari jaringan ke plasma dan memberikan respon terhadap status kadar besi
dalam tubuh, hipoksia dan inflamasi. Hepcidin dapat diisolasi dari plasma dan urin. Sejak
peptide ini diproduksi oleh hepatosit dan memberikan efek antimicrobial, peptida ini menjadi
penanda pertama yang dikeluarkan hepar untuk mengekspresikan antimicrobial peptide-1
(LEAP-1).7

Tabel 3. Perbedaan parameter Fe pada orang normal, anemia defisiensi besi, anemia
penyakit kronik1

No Normal Anemia def. Fe Anemia peny.


Kronik
1 Fe plasma (mg/dl) 70-90 30 30
2 TIBC 250-400 >450 <200
3 Persen saturasi 30 7 15
4 Kandungan Fe di makrofag ++ - +++
5 Feritin serum 20-200 10 150
6 Reseptor transferin serum 8-28 >28 8-28

b. Fungsi sumsum tulang.

Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi pemendekan masa


hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoietin oleh hipoksia akibat anemia. Pada penyakit
kronis, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya pelepasan
atau menurunnya respon terhadap eritropoietin. Penelitian mengenai pelepasan eritropoietin
menunjukkan hasil yang berbeda-beda, hal ini disebabkan oleh sitokin, seperti IL-1 dan TNF-
α yang dikeluarkan oleh sel-sel yang cedera. Penelitian secara in-vitro menunjukkan bahwa
sitokin ini mengurangi sintesis eritropoietin.1,5
Gejala Klinis

Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus
anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala
umum berupa: 1. anoksia organ; 2. mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya
daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar
hemoglobin turun di bawah 7gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
derajat penurunan hemoglobin, usia, dan adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.

Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu:

1. Gejala umum anemia

Disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target akibat
mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul
setiap penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7gr/dl). Sindrom anemia terdiri dari
rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga berdenging, mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin,
pucat, nafas cepat, nafas pendek, sesak nafas, dan dispepsia.5 Pada pemeriksaan pasien
tampak pucat, terutama pada konjungtiva, mukosa mulut telapak tangan dan jaringan
dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh
penyakit diluar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan hemoglobin
(Hb<7gr/dl).1

Gejala klinis anemia akibat penyakit kronik

Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, seringkali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb 7-11gr/dl umumnya asimtomatik.
Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan kapasitas
transport O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa
kelainan yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium.1

2. Gejala khas

Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, kuku sendok.
Anemia megaloblas: glositis, gangguan neurologic pada defisiensi vit B12. Anemia
hemolitik: ikterus, splenomegali, hepatomegali. Anemia aplastik: perdarahan dan tanda2
infeksi.

3. Gejala penyakit dasar

Gajala yang timbul akibat penyakit dasar menyebabkan anemia sangat bervariasi
tergantung dari penyebab anemia tersebut.1
Tabel 4. Anemia berdasarkan berat – ringan6

Anemia ringan Anemia sedang Anemia berat


Hb (gr/dl) >10-12 8-10 <8

Tabel 5. Tanda dan gejala anemia6

No Anemia ringan Anemia sedang Anemia berat


1 kelelahan kelelahan Overwhelming
2 Peningkatan detak jantung Sulit konsentrasi Kelelahan
3 Penurunan perfusi jaringan Detak jantung >100 x / Pening
menit
4 Dilatasi sistem vaskular Berdebar-debar Pusing
5 Ekstraksi O2 jaringan naik Dispnea saat Depresi-gangguan tidur
beraktivitas
6 Dispnea saat istirahat

Pemeriksaan

Merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia, terdiri dari:1

1. Pemeriksaan penyaring

Terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi.
Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia tersebut.

2. Pemeriksaan darah seri anemia

Meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang
banyak dipakai hematology analyzer yang memberikan hasil lebih baik.

3. Pemeriksaan khusus

 Anemia defisiensi: serum iron. Total iron binding capacity (TIBC), saturasi
transferin, protoporfirin, eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan
besi pada sumsum tulang (perl’s stain).
 Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan
tes schilling.
 Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes comb, elektroforesis hemoglobin dan lain-lain.
 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang
 Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti tes faal hati, faal ginjal,
faal tiroid.1

Pada anemia akibat penyakit kronik, morfologi umumnya adalah normokrom-


normositer, meskipun banyak pasien yang mempunyai gambaran hipokrom dengan MCHC
<31gr/dl dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV <80fL. Nilai retikulosit
dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan leukosit dan trombosit tidak konsisten,
tergantung dari penyakit dasar. Terjadi penurunan Fe serum setelah onset suatu infeksi atau
inflamasi yang mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi transferin menurun, sehingga
saturasi Fe meningkat dibanding defisiensi besi. Penurunan kadar transferin lebih lambat
dibandingkan Fe serum karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari), dibandingkan
dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.1

Pemeriksaan serum transferring reseptor (sTFR), sTFR ditemukan diseluruh sel


tubuh, tapi keberadaan tertingginya berada pada progenitor pembentuk eritrosit. Selain sTFR,
pemeriksaan red cell terdiri dari reticuloc yte haemoglobin content (CHr) dan the percentage
hypochromic red cells (%HYPO). Pemeriksaan hepcidin dan pemeriksaan growth
8
differentiation factor 15.

4. Pemeriksaan sumsum tulang

Memberikan informasi tentang hematopoiesis. Pemeriksaan ini mutlak diperlukan


untuk anemia aplastik, anemia megaloblastik, dan kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid. Pemeriksaan cadangan besi sumsum tulang merupakan alat
penunjang diagnostik yang paling baik untuk membedakannya. Di anemia defisiensi besi,
cadangan besi sangat berkurang. Sebaliknya di anemia penyakit kronis, cadangan besi
meningkat. Namun, oleh karena teknik pemeriksaan yang invasif menyebabkan cara ini tidak
digunakan dalam pelayanan rutin. Reseptor transferin terlarut lebih banyak digunakan
dibandingkan dengan sumsum tulang untuk mengetahui cadangan besi meskipun pada
kondisi tertentu tidak memberikan korelasi positif terhadap gambaran cadangan besi.9
Diagnosis10
Penatalaksanaan

Dua prinsip terapi pada anemia akibat penyakit kronik:5

1. Anemia dapat dihilangkan oleh diri sendiri, hal ini membutuhkan kompensasi dari jantung
dengan meningkatkan cardiac output untuk tetap dapat menyuplai oksigen keseluruh
jaringan.

2. Anemia terkait dengan buruknya prognosis pada berbagai kondisi.

Pada anemia sedang dibutuhkan koreksi kembali, terutama pada pasien >65 tahun,
dengan faktor risiko tambahan seperi coronary artery disease, pulmonary disease, chronic
kidney disease, atau kombinasi semua faktor risiko. Pada pasien dengan gagal ginjal yang
menerima dialisis dan pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi, koreksi anemia untuk
peningkatan Hb adalah >12gr/dl terkait dengan perbaikan kualitas hidup. Pada pasien yang
memiliki prognosis buruk dengan berbagai kondisi berupa kanker, coronary artery disease,
pulmonary disease, chronic kidney disease.5

Penatalaksaan anemia akibat penyakit kronik1,5,8

a. Terapi utama adalah mengobati penyakit dasarnya.

b. Transfusi merupakan pilihan untuk kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamik.

c. Preparat besi, pemberian preparat besi dengan tujuan mencegah pembentukan TNF-α.
Selain itu, pada inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti meningkatkan
hemoglobin. Namun, sampai saat ini preparat besi belum direkomendasikan untuk diberikan
pada anemia penyakit kronik.

d. Eritropoietin, memberikan keuntungan berupa: mempunyai efek anti inflamasi dengan cara
menekan TNF-α dan interferon-γ. Namun, juga dapat meningkatkan proliferasi sel-sel kanker
ginjal, meningkatkan rekurensi kanker kepala dan leher.1,5

e. Pengobatan terbaru yaitu dengan mengurangi produksi hepcidin dan meningkatkan


aktivitas ferroportin yang dapat memperbaiki bioavailabilitas besi dari makanan dan
memobilisasi pengeluaran besi dari penyimpanan dalam tubuh untuk eritropoiesis, tanpa
menyebabkan risiko yang merugikan.1
Diagnosis Banding

Tabel 6. Diagnosis Banding1

Anemia Anemia akibat Anemia


thalassemia
defisiensi besi peny. kronik sideroblastik
Derajat anemia Ringan-berat ringan ringan Ringan-berat
MCV ↓ ↓/N ↓ ↓/N
MCH ↓ ↓/N ↓ ↓/N
Besi serum ↓<30 ↓<50 ↑/N ↑/N
TIBC ↑>360 ↓<300 ↓/N ↓/N
Saturasi ↓<15% ↓/N 10-20% ↑>20% ↑>20%
transferin
Besi sumsum - ++ +++ + dg ring
tulang sideroblas
Protoporfirin ↑ ↑ N N
eritrosit
Feritin serum ↓<20μg/l N20-200μg/l ↑>50μg/l ↑>50μg/l
Elektroforesis N N ↑ Hb.A2 N
Hb
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, W.A., Setiyo, H., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta Pusat
2. Hassan, B.A. 2013. Anemia of Chronic Diesease(ACD).Available from:
http://www.esciencecentral.org/journals/anemia-of-chronic-diseases-acd-2329-
6836.1000e104.pdf [Accessed: 2 November 2019]
3. Mcpee, S.J., Papadakis, M.A. 2011. Current Medical Diagnosis and Treatment.
Lange. Mc Graw Hill
4. NIH. 2009. Anemia of Inflamation and Chronic Disease. Available from:
http://www.niddk.nih.gov/health-information/health-topics/blood-diseases/anemia-
inflammation-chronic-disease/Documents/Anemia-ChronicDisease_508.pdf
[Accessed: 2 November 2019]
5. Weiss, G., Goodnough, L.T. 2005. Anemia of Chronic Disease. The New England
Journal of Medicine. Available from:
http://www.researchgate.net/profile/Guenter_Weiss/publication/7976451_Anemia_of
_chronic_disease._N_Engl_J_Med/links/00b4951b04fc0599cd000000.pdf?inViewer=
true&pdfJsDownload=true&&origin=publication_detail&inViewer=true [Accessed: 2
November 2019]
6. Panjaitan, S. 2003. Beberapa aspek anemia penyakit kronik pada lanjut usia.
Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6356/1/penydalam-
suryadi.pdf [Accessed: 2 November 2019]
7. Anemia of Chronic Disease: A Unique Defect of Iron Recycling for Many Different
Chronic Disease. Available from: http://www.ejinme.com/article/S0953-
6205(13)00189-1/pdf [Accessed: 2 November 2019]
8. Cullis, J.O. 2011. Diagnosis and Management of Anemia of Chronic Disease. Brithish
Journal of Haematology. Available from:
https://s3.amazonaws.com/objects.readcube.com/articles/downloaded/wiley/c819f132
2b5e4b6226b61fb833994b3582f73b50511abe261257a2f1054007ff.pdf?AWSAccess
KeyId=AKIAIJZYFKH6APDFT3HA&Expires=1445904000&Signature=wwWeCGo
vIZWjCTyIDo%2BSHr%2FJQW0%3D&response-content-
disposition=attachment%3B%20filename%3D%22Cullis-2011-
British_Journal_of_Haematology.pdf%22 [Accessed: 2 November 2019]
9. Muhammad, A., Sianipar, O. 2005. Penentuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit
Kronis Menggunakan Peran Indeks Stfr-F. Available from:
http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf [Accessed: 2 November
2019]
10.Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid II. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:2580-81

Anda mungkin juga menyukai