Opini Publik
Opini publik terjemahan dari bahasa Inggris public opinion merupakan pendapat dari
sekumpulan orang yang menaruh perhatian terhadap sesuatu hal.
Sesuatu hal yang biasa mendapat perhatian dari individu-individu yang berada pada suatu
kelompok dapat berupa berikut ini.
Opini publik pada hakikatnya merupakan pendapat yang ditimbulkan oleh 4 unsur berikut ini.
Kegiatan Belajar 2:
Opini publik merupakan bagian dari HAM, yaitu hak mengeluarkan pendapat baik secara lisan
maupun tulisan. HAM ialah hak manusia yang melekat pada diri manusia sejak lahir. HAM itu,
meliputi hak-hak asasi pribadi, ekonomi, politik, sosial budaya, buku, dan sebagainya. Piagam
HAM yang bersifat universal dan asasi, yaitu Magna Charta 1215, Habeas Corpus Act 1679, Bill
of Rights 1989, Declaration des Droits del' Homme et du Citoyen 1789, The Four Freedom of
Roosevelt 1941, dan The Universal Declaration of Human Rights 1948. Di Indonesia HAM
tercantum dalam UUD 1945, dan dasar negara Pancasila. HAM dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari manusia dengan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku.
Kegiatan Belajar 3:
Opini publik adalah bagian dari kajian komunikasi, yaitu sebagai hasil suatu proses komunikasi
yang merupakan tanggapan/opini terhadap suatu masalah yang sifatnya kontroversial. Proses
komunikasi adalah kegiatan penyampaian pesan yang dilakukan komunikator kepada komunikan
baik melalui media bahwa maupun media-media lainnya. Unsur-unsur yang paling minimal
dalam kegiatan komunikasi adalah adanya komunikator, pesan, dan komunikan. Bentuk
komunikasi, yaitu proses komunikasi ditinjau dari jumlah komunikan yang dituju, bentuknya:
1. komunikasi personal/pribadi;
2. komunikasi kelompok;
3. komunikasi massa;
4. komunikasi media.
Feedback adalah reaksi yang timbul dari penerima pesan atau pesan itu sendiri, sedangkan efek
adalah hasil dari suatu kegiatan komunikasi.
Daftar Pustaka
Bernard Hennesy. (1981). Public Opinion. Wadsworth Inc.
Frazier, Moore. (1981). Public Relations, Case and Problem. Edisi ke-8. USA: Richard D, Twin
Inc.
Dan Nimmo. (1989). Komunikasi Politik. Terjemahan Tjun Suryaman. Bandung: Remaja Karya.
Leonard W. Doab. (1948). Public Opinion and Propaganda. Henry Halt and USA: Company Inc.
Philip Lesley. (1971). Public Relation Handbook. N.J. USA: Prentice Hall Inc. Englewood
Cliffs.
Santoso Sastrosaputro. (1987). Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan Pendapat Khalayak dalam
Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya.
Sunarno A.P. (1980). Pendapat Umum dalam Sistem Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
MODUL 2
Opini Publik
Opini artinya dalam bahasa Indonesia adalah pendapat. Pendapat adalah pandangan seseorang
mengenai sesuatu. Jadi, pendapat adalah subjektif. Dengan demikian, pendapat adalah evaluasi,
penilaian, dan bukan fakta. Karena bukan fakta maka berubah atau diubah, tergantung situasi
sosial yang berlaku.
Publik adalah sejumlah orang yang berminat dan merasa tertarik terhadap sesuatu masalah dan
berhasrat mencari sesuatu jalan keluar dan mewujudkan tindakan yang konkret. Perkataan publik
melukiskan kelompok manusia yang berkumpul secara spontan dengan syarat-syarat (1) dihadapi
oleh suatu persoalan (isu); (2) berbeda pendapat mengenai persoalan (isu); (3) sebagai akibat
keinginan mengadakan diskusi dengan mencari jalan keluar.
Sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan untuk menyesuaikan diri dalam situasi
sosial atau secara sederhana sikap adalah respons terhadap stimuli sosial yang telah
terkondisikan.
Opini adalah suatu sikap terhadap suatu topik khusus, ketika sikap berkembang menjadi kuat,
akan muncul dalam bentuk opini. Sewaktu opini menjadi cukup kuat akan berubah menjadi
pernyataan penting atau perilaku.
Sikap adalah predisposisi (kecenderungan) cara berpikir tertentu tentang topik tertentu. Suatu
penelitian menggambarkan bahwa sikap sebagai bahan evaluasi bagi orang-orang dalam
membahas masalah atau isu tertentu.
Apabila kita memperhatikan pembicaraan sehari-hari dan mengamatinya serta mencatat tentang
jenis-jenis opini itu adalah:
1. opini individu;
2. opini pribadi;
3. opini kelompok;
4. opini konsensus;
5. opini koalisi;
6. opini minoritas;
7. opini mayoritas;
8. opini menurut perhitungan angka;
9. opini aklamasi;
10. opini publik;
11. opini umum; opini khalayak;
12. opini musyawarah;
13. opini kesepakatan.
Daftar Pustaka
Azwar, Saifuddin. (1995). Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hennesy, Bernard. (1989). Pendapat Umum. Alih Bahasa: Amiruddin Nasution. Jakarta:
Erlangga.
Kasali, Rhenald. (1994). Manajemen Public Relations, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Janowitz, Morris dan Hirsch, Paul (Editor). (1981). Reader in Public Opinion and Mass
Communication. New York: The Free Press.
Palapah. M.O. (1984). "Opini Publik" (Makalah). Bandung: Penataran Keterampilan Kabag
Humas se Jawa Barat, Kerja sama Pemda Jawa Barat dengan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad.
Sastropoetro, R.A. Santoso. (1987). Pendapat Publik, Pendapat Umum, dan Pendapat Khalayak
dalam Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya.
Seitel, Fraser P. (1992). The Practice of Public Relations. New York: Macmillan Publishing
Company.
Sunarjo, Djoenaesih S. (1984). Opini Publik. Yogyakarta: Liberty.
MODUL 3
Pembentukan Opini Publik
Meningkatnya peranan opini publik karena (1) adanya paham Sistem Demokrasi; (2)
bertambahnya dan menyebarnya faktor pendidikan; (3) perkembangan teknologi komunikasi; (4)
ada tuntutan atas kebutuhan berbagai pihak untuk mendapatkan dukungan; (5) banyak
kebijaksanaan yang dilakukan pemerintah dalam melaksanakan programnya.
Syarat terbentuknya opini publik terkait dengan alasan mengapa opini publik dibutuhkan
kehadirannya dalam masyarakat karena (1) perusahaan/lembaga makin menjadi besar dan
berkembang; (2) persaingan antara perusahaan dan organisasi semakin ketat; (3) tuntutan
keinginan dan harapan dari masyarakat terhadap pelayanan, pemenuhan kebutuhan akan
informasi semakin tinggi; (4) masyarakat semakin kritis; (5) perkembangan teknologi yang luar
biasa; (6) pengaruh opini publik semakin besar terhadap keadaan ekonomi dan stabilitas sosial
organisasi atau perusahaan.
Empat unsur yang menimbulkan opini publik, yaitu (1) adanya masalah yang kontroversial; (2)
adanya publik yang secara spontan terpikat kepada masalah tersebut; (3) adanya kesempatan
untuk bertukar pikiran atau berdebat; (4) adanya interaksi dari individu-individu dalam publik
yang menghasilkan opini yang bersifat kolektif.
Proses pembentukan opini publik melalui tiga tahap pembicaraan (1) tahap masukan yang masih
semrawut; (2) tahap pembicaraan mulai terarah, mulai membentuk pikiran yang jelas dan
menyatu; (3) tahap dalam mana opini pada tahap kedua disebut telah menyatu telah bulat dan
kuat di antara para anggota.
Karakteristik opini publik (1) terdapat isi, arah dan intensitas; (2) adanya kontroversi; (3) opini
publik mempunyai volume berdasarkan kenyataan bahwa kontroversi menyentuh semua orang;
(4) opini publik itu relatif ada.
Opini publik tidak murni disertai sifat (1) opini publik yang dimanipulasi; (2) opini publik yang
direncanakan; (3) opini publik yang dikehendaki; (4) opini publik yang diprogramkan; (5) opini
publik yang diinginkan.
Daftar Pustaka
Effendy, Onong Uchjana. (1986). Komunikasi dan Modernisasi, Bandung: Alumni. Hennessy
Bernard. (1989). Pendapat Umum. Alih Bahasa: Amiruddin Nasution, Jakarta: Erlangga.
Janowitz Morris dan Hirsch Paul. (1981). Reader in Public Opinion and Mass Communication.
New York: The Free Press. Nimmo Dan. (1993). Komunikasi Politik, Komunikator Pesan dan
Media, Pengantar: Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja Rosdakarya. (1989). Komunikasi
Politik Khalayak dan Efek. Pengantar: Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Remaja Karya.
Satropoetro, R.A. Santoso. (1987). Pendapat Publik Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak
dalam Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya. Susanto, Astrid S. (1975). Pendapat Umum.
Bandung: Bina Cipta.
MODUL 4
Memahami Karakteristik, Bnetuk dan Sifat, serta Potensi dan
Kompetensi Opini Publik Opini Publik
Kegiatan Belajar 1: Karakteristik Opini Publik
Beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar sosiologi, psikologi dan komunikasi
tentang opini publik, menunjukkan beberapa unsur opini publik yang membedakan dengan opini
lainnya.
Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi opini publik dapatlah ditentukan
karakteristik opini publik, yaitu:
adanya interaksi antara "individu-individu" dalam publik yang menghasilkan suatu pendapat
yang bersifat kolektif dan diekspresikan.
Masalah kontroversial di dalam masyarakat muncul karena adanya berbagai pendapat yang
bertentangan. Hal ini menyebabkan kontroversi dalam menghadapi isu adalah:
Bentuk opini publik dibedakan ke dalam 3 hal, yaitu opini kelompok, opini rakyat, dan opini
massa.
Pengungkapan opini cenderung diarahkan berdasarkan ungkapan dari kepercayaan nilai dan
harapan. Kepercayaan mengacu pada apa yang diterima sebagai benar atau tidak benar tentang
sesuatu. Nilai melibatkan kesukaan dan ketidaksukaan seseorang, sedangkan harapan ditentukan
oleh perkembangan terhadap apa yang terjadi di masa lalu, keadaan sekarang dan apa yang kira-
kira akan terjadi bila suatu perbuatan dilakukan.
Publik dapat dibedakan antara publik massa, publik berminat, dan publik pembuat pendapat.
Menurut sifatnya opini publik dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis, yaitu opini publik yang statis
dan opini publik yang dinamis.
Kualitas opini publik pada dasarnya bergantung pada kualitas dan kuantitas informasi.
Harword Childs menyatakan hubungan antara pemerintah dan opini publik adalah two way
relationship, reciprocal dan cyclical. Opini publik mempengaruhi pemerintah secara langsung
melalui Pemilihan Umum, referendum dan public opinion polling. Sebaliknya pemerintah
mempengaruhi opini publik melalui aksi-aksi dan komunikasi.
Sifat opini publik yang statis, dinamis ataupun laten bergantung pada faktor-faktor perangsang
dari luar, misalnya peristiwa yang mengguncangkan.
Opini publik merupakan dasar hukum, dan kekuatan hukum adalah berdasarkan dukungan opini
publik.
Komunikasi dapat mempengaruhi opini publik dan opini publik dapat mempengaruhi
komunikasi.
Opini publik merupakan suatu penilaian sosial dan mempunyai kekuatan tersendiri, yaitu
pendukung kelangsungan berlakunya adat istiadat, mempertahankan eksistensi suatu lembaga.
Opini publik juga memiliki hukum-hukum yang disusun dari hasil penelitian yang dikemukakan
Hadley Cantril dan Emory S. Bogardus.
Daftar Pustaka
Bernard Hennessy. (1981). Public Opinion, Wadsworth, Inc.
Bernard Hennssey. (1990). Pendapat Umum. Terjemahan Amirudin Nasution). Jakarta:
Erlangga.
Dan Nimmo. (1989). Komunikasi Politik. Terjemahan Tjun Suryaman. Bandung: Remaja Karya.
Dedy Djamaludin Malik dan Yosal Iriantara. (1994). Komunikasi Persuasif. Bandung: Remaja
Karya.
Frazier Moore. (1987). Hubungan Masyarakat, Prinsip, Zasus, dan Masalah. Terjemahan
Lilawati Trino, Deddy F Djamaludin Malik, penyunting Onong U. Effendy). Bandung: Remaja
Karya.
Frazier Moore. (1981). Public Relations, Casses and Problem. 8th edition. USA: Richard D.
Twin, Inc.
Kartini Kartono. (1981). Psikologi Sosial Perusahaan dan Industri. Jakarta: Rajawali.
Leonard W. Doab. (1948). Public Opinion and Propaganda. USA: Henry Hart and Company,
Inc.
Morris Janowitrz and Paul Hirsch. (1981). Reader in Public Opinion and Mass Communication.
Third edition. New York: the Free Press.
Philip Iesley. (1971). Public Relation Handbook. Englewood, Cliffs, N.J. USA: Prentice Hall
Inc.
Rhenald Kasali. (1994). Manajemen Publik Relation. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Santoso Sastrosaputro. (1987). Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam
Komunikasi Sosial. Bandung: Remaja Karya.
Sunarso A.P. (1990). Pendapat Umum dalam Sistem Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
MODUL 5
Memahami Prinsip-prinsip Opini Publik Ditinjau dari Aspek Sosiologi,
Psikologi, dan Lingkungan
Sosiologi adalah ilmu sosial yang mempelajari manusia dari sudut hubungannya dengan manusia
lain dalam masyarakat. Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan. Tidak ada ukuran mutlak tentang jumlah orang yang hidup bersama dalam
masyarakat. Namun, mereka berkumpul dalam waktu cukup lama dan terjadi interaksi sosial
sehingga timbul sistem komunikasi di antara mereka.
Individu sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup tanpa individu lainnya dalam menghadapi
alam sekeliling. Oleh karena tidak dapat hidup sendiri maka manusia-manusia berkelompok dan
terbentuklah kelompok sosial. Suatu himpunan manusia dapat disebut kelompok sosial bila
memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Pada dasarnya hakikat kelompok sosial bukan terletak
pada kedekatan jarak fisik melainkan pada kesadaran untuk berinteraksi.
Kelompok sosial menurut bentuknya dibedakan antara kelompok sendiri (In Group) dan
kelompok luar (Out Group) keduanya penting dan saling mempengaruhi. Beberapa sarjana
mengklasifikasikan kelompok sosial yang berbeda namanya Charles Harton Cooley
mengklasifikasikan kelompok sosial dalam kelompok primer dan kelompok sekunder, sedangkan
Ferdinand Tonies membedakan bentuk kehidupan bersama, yaitu Gemenschaft (paguyuban) dan
Gesselshaft (patembayan) selain kelompok sosial dikemukakan di atas masih ada dua bentuk
kelompok sosial yang tidak teratur, yaitu kerumunan dan publik.
Kelompok sosial yang telah dijelaskan tersebut mempunyai peran dalam pembentukan opini
publik. Masyarakat melahirkan kebudayaan yang kompleks dan menimbulkan kelompok-
kelompok kepentingan. Munculnya suatu isu peristiwa atau masalah akan ditanggapi berbeda
sesuai dengan kelompok-kelompok kepentingan dan menghasilkan opini.
Opini yang sama dari kelompok-kelompok sosial yang diungkapkan baik melalui media massa
maupun nirmassa dan mendapat tanggapan dari berbagai pihak akan menimbulkan opini publik.
Opini publik dapat muncul secara tidak disengaja dan dapat juga disengaja melalui suatu
perencanaan.
Manusia merupakan makhluk hidup yang tertinggi derajatnya di alam ciptaan Tuhan. Dalam
kegiatannya manusia merupakan makhluk individual, makhluk sosial dan makhluk ber-Ke-
Tuhanan.
Sikap manusia mengalami perkembangan yang khas dalam kehidupannya walaupun dalam
lingkungan dan keadaan hidup yang sama. Berdasarkan latar belakang budaya, pengalaman masa
lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita-berita yang berkembang manusia memiliki persepsi yang
khas.
Selain mempunyai persepsi manusia juga mempunyai sikap berdasarkan keyakinan dan perasaan
yang melekat tentang sesuatu objek tertentu. Sikap mengandung tiga komponen yaitu kognitif
(keyakinan), emosi (perasaan) dan perilaku (tindakan), sedangkan sikap dapat dibedakan antara
sikap individu dengan sikap sosial yang dinyatakan oleh kegiatan yang sama dan berulang-ulang
terhadap objek sosial.
Pengaruh sosial dapat meliputi orang tua, teman sebaya dan media massa. Persepsi dan sikap
mempunyai peran dalam pembentukan opini. Seseorang mempersepsikan stimulus tertentu akan
dicocokkan dengan rekaman yang ada berdasarkan latar belakang budaya, pengalaman masa
lalu, nilai-nilai yang dianut dan berita yang berkembang dalam memberikan interpretasi yang
akan menentukan sikap. Sikap yang dinyatakan melalui lisan, tulisan, simbol, bahasa tubuh,
eksperimen dan warna yang digunakan menunjukkan opini.
Opini-opini yang berkembang pada suatu masyarakat akan mencapai suatu konsensus yang
matang dan menyatu dalam masyarakat yang membentuk opini publik.
Faktor lingkungan dapat dibedakan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan
fisik berupa keadaan sekeliling, musim, letak geografi yang mempengaruhi pada mata
pencaharian atau kebiasaan.
Lingkungan sosial merupakan sarana bagi manusia untuk bersosialisasi. Faktor sosial dapat
dibedakan antara faktor sosial primer dan faktor sosial sekunder. Faktor sosial primer sangat
berperanan bagi individu karena manusia pertama-tama berkembang dan dididik dalam
lingkungan ini. Lingkungan sosial primer mempengaruhi individu dalam memperoleh kerangka
dan kemungkinan untuk mengembangkan sifat-sifat sosialnya.
Lingkungan sosial sekunder dalam kehidupan manusia diperlukan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu dalam kehidupan bermasyarakat secara objektif dan rasional. Interaksi dalam lingkungan
sosial sekunder berdasarkan perhitungan untung rugi yang rasional dan objektif.
Manusia sebagai makhluk sosial berinteraksi satu sama lainnya baik dalam lingkungan primer
ataupun dalam lingkungan sosial sekunder. Faktor-ktor yang mendasari terjadinya interaksi
adalah imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati.
Daftar Pustaka
Bimo Walgito. (1981). Pengantar Psikologi Umum. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM.
Gerungan. (198). Psikologi Sosial. Bandung: PT Eresco.
Jalaludin Rakhmat. (1985). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Karya.
James F Calhoun. (1990). Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan
(terjemahan). Semarang: IKIP Press.
Paul B Horton, Chester L Hund. (1987). Sosiologi (terjemahan). Jakarta: Erlangga.
Rhenald Kasali. (1954). Manajemen Public Relations. Jakarta: Grafiti.
Saifudin Azwar. (1995). Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soerjono Soekanto. (1987). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
MODUL 6
Opini Publik dan Kebijakan
Dalam melakukan aktivitas guna mencapai tujuan, setiap organisasi baik organisasi sosial,
ekonomi maupun politik membutuhkan adanya pedoman-pedoman umum bagi keputusan dan
tindakannya.
Kebijakan yang diambil akan berbeda dari satu organisasi ke organisasi lain sesuai dengan visi,
misi, dan tugas yang dimiliki oleh pengambil kebijakan. Namun,, apabila dilihat dari
penahapannya aktivitas yang dilakukan organisasi guna mengambil kebijakan akan mempunyai
kesamaan, yaitu analisis dan penerapan.
Hal yang sangat membedakan kebijakan dalam lembaga sosial lebih pada kebijakan normatif,
yaitu kebijakan yang lebih mengutamakan nilai dan prinsip pelayanan dengan tidak
meninggalkan prosedur rasional.
Opini yang berkembang di masyarakat yang kemudian ditangkap dan dirumuskan merupakan
suatu bahan bagi pengambil keputusan untuk menentukan nilai kemungkinan setiap alternatif
kebijakan yang akan diambil oleh para penentu kebijakan.
Sesuai dengan visi dan misi yang dimilikinya, kebijakan dalam lembaga ekonomi lebih
mendekati pada tipe kebijakan rasional, yaitu kebijakan yang menitikberatkan pada prosedur
dengan teknik-teknik kuantifikasi yang ketat dan biasanya dilakukan oleh para profesional
(analisis kebijakan).
1. pengetahuan teknis,
2. permintaan produk,
3. pengetahuan suplai faktor, dan
4. suplai dana modal untuk membeli faktor-faktor produksi.
Walaupun bukan sesuatu hal yang mudah, namun guna keberhasilan manajer dalam penentuan
kebijakan, kemampuan untuk mengerti dan memahami motivasi serta perilaku konsumen
merupakan hal yang harus dimiliki oleh perumus ataupun analis kebijakan perusahaan.
Demokrasi diartikan sebagai pemerintahan oleh rakyat, ini berarti bahwa apa yang dilakukan
pemerintah harus sesuai dengan apa yang dipikirkan dan disuarakan (opini) rakyatnya.
Beberapa indikator yang menyulitkan dalam mengkaji perumusan kebijakan politik, antara lain
berikut ini.
Guna memahami perumusan kebijakan politik suatu negara maka dibutuhkan pemahaman atas
semua proses politik yang berlaku di negaranya.
Agar sebuah opini/tuntutan masuk agenda politik dan dirumuskan menjadi kebijakan maka
tuntutan atau opini harus disuarakan lewat saluran-saluran yang diakui pemerintah.
Daftar Pustaka
Beattie Bruce R. (1994). Ekonomi Produksi. Terjemahan Soeratno Josoharjono. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Bernard Hennessy. (1981). Public Opinion. Wadsworth, Inc.
Duverger Maurice. (1981). Partai Politik dan Kelompok-kelompok Penekan. Terjemahan Laila
Hasyim. Bina Aksara.
Iatridis Demitrius. (1994). Social Policy.
IKIP Bandung. Mimbar Pendidikan (No. 4 Tahun XIV 1995). Bandung: University Press IKIP
Bandung.
Kamaluddin Rustian. (1992). Bunga Rampai Pembangunan Nasional dan Daerah. Jakarta:
Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI.
Lindblom Charles E. (1986). Proses Penetapan Kebijakan. Terjemahan dari Ardian Syamsudin.
Jakarta: Erlangga.
MacAndrews Colin dan Mochtar Masoed. (1995). Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Oemar Hamalik. (1993). Pengolahan Sistem Informasi. Bandung: Trigenta Karya.
Sjahrir. (1994). Kebijakan Negara Mengantisipasi Masa Depan. Jakarta: Obor Indonesia.
Sumarno. (1990). Pendapat Umum dalam Sistem Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Supandi. (1988). Kebijakan dan Keputusan Pendidikan. Jakarta: Depdikbud.
MODUL 7
Kelompok Primer, Pengarus Personal pada Opini Publik
Penilaian sosial adalah bagian dari opini publik karena suatu permasalahan biasanya hangat
dibicarakan.
Kekuatan opini publik dapat dijelaskan secara sosiologis, psikologis dan politis. Perbedaan
pandangan manusia biasanya apabila menyangkut masalah-masalah demokrasi, kehidupan yang
layak, keputusan yang adil, kemakmuran, hidup sederhana, kenakalan remaja, harga sembako
yang murah.
Opini publik dan sikap pribadi mempunyai hubungan yang erat karena itu pengalaman pribadi
seseorang akan menentukan sikapnya, yang juga dipengaruhi norma-norma yang hidup pada
masyarakatnya.
Opini publik dalam lingkup kegiatan politik dibentuk oleh perilaku tokoh-tokoh politik yang ada
di sekitarnya.
Opini publik kampus perlu dicermati oleh kelompok-kelompok atau publik yang ada pada
masyarakat, sebab umumnya mereka beropini, merupakan bentuk kepedulian terhadap masalah-
masalah yang ada pada masyarakat.
Opini publik mengenai permasalahan apa saja, seperti berbagai masalah yang ada pada
masyarakat, tokoh-tokoh penting yang dibicarakan di suatu negara produk-produk yang
dikonsumsi massa, dan lembaga-lembaga negara yang dibicarakan masyarakat baru berarti jika
sudah dimuat, disiarkan, dicetak, dan disebarluaskan oleh media massa.
Media adalah alat atau sarana yang digunakan seseorang dalam penyampaian pesan kepada
orang lain. Media massa adalah media yang dipakai dalam komunikasi massa, media massa
tersebut misalnya televisi, radio, pers (surat kabar/majalah), dan film.
1. Kelompok yang kerja samanya erat, seperti keluarga dan rukun tetangga.
2. Kelompok yang saling kenal-mengenal yang menekankan kepada sifat hubungan
antarpribadi, seperti simpati, kerja sama, dan sopan.
Setiap orang yang berpengaruh di masyarakat, seperti para pemuka pendapat, biasanya opininya
didengar orang.
Daftar Pustaka
Bernard Hennesy. (1981). Public Opinion. Wadsworth Inc.
Frazier, Moore. (1981). P
Opini
Kamis, 04 September 2008 05:31
Akan tetapi, sebagai orang yang mengamati Islam dalam konteks pembangunan
politik Indonesia, ada beberapa catatan yang dapat diberikan. Dalam konteks
perundang-undangan Islam di tingkat nasional, menarik melihatnya sebagai
bentuk akomodasi parsial negara terhadap Islam.
Jika mereka percaya bahwa orang yang mencuri itu hendaknya dipotong
tangannya, secara teoretis mereka diperbolehkan oleh UUD 1945 untuk
menjalankan ajaran atau pemahaman keagamaan seperti itu. Demikian pula
dengan soal perzinaan, pembunuhan, dan sebagainya.
Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa tidak semua orang Islam, dalam
jumlah yang amat banyak, menganut paham bahwa orang yang mencuri harus
dipotong tangannya. Bisa saja mereka berpaham bahwa orang yang mencuri
diputus kekuasaannya atau kesempatannya untuk mencuri.
Akan tetapi, karena negara Indonesia bukan negara teokrasi atau negara agama,
tidak serta-merta pandangan mengenai paham keagamaan seperti itu bisa
dilaksanakan. Pernah ada orang yang memotong jari anaknya yang mencuri, dia
dikenai hukuman.
Demikian pula ketika Ja’far Umar Thalib menghukum rajam salah seorang
pengikutnya, yang mengaku berbuat zina, dan minta dirajam, yang bersangkutan
juga dikenai hukuman. Untuk menghindari hal yang sedemikian ini, agar terdapat
keserasian hukum antara pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan KUHAP, negara
perlu ikut mengatur kehidupan beragama.
Hingga kini yang paling memungkinkan untuk diatur atau diakomodasi oleh
negara adalah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan hukum keluarga seperti
telah disebutkan di atas. Itu pun, menurut Munawir Syadzali, bersifat ”sukarela”.
Mereka yang tidak merasa nyaman bisa pergi ke lembaga peradilan umum.
Sementara syariat Islam yang berkaitan dengan hukum pidana sulit atau tidak bisa
diakomodasi. Pertimbangan-pertimbangan politik mengharuskan negara untuk
melakukan akomodasi seperti itu. Itu semua dilakukan dalam rangka mencari jalan
tengah, jalan yang paling memungkinkan seperti dalam kasus Aceh.
Tidak banyak daerah yang diberi kewenangan khusus. Meski demikian, reformasi
dan perkembangan politik pascamundurnya Presiden Soeharto mengharuskan
pemerintah pusat untuk memberi otonomi seluas-luasnya kepada daerah – kecuali
beberapa hal yang berkaitan dengan kebijakan moneter/fiskal, pertahanan,
keamanan, yustisi, agama, dan politik luar negeri.
Dalam pandangan daerah, meski tidak lepas dari motivasi-motivasi politik, jika
pusat memiliki kewenangan membuat undang-undang yang berbau syariat Islam
dan Aceh juga demikian pula adanya, apa ”salahnya” (dalam pengertian
diskriminasi, mengancam NKRI, bertentangan dengan UUD 1945 dan ideologi
Pancasila, berlawanan dengan hak asasi manusia/HAM) jika daerah juga membuat
perda yang berbau syariah?
Tentu, tidak semua ”perda syariah” itu masuk akal atau penting bagi kemajuan
suatu daerah. Bahkan, mungkin saja perda-perda itu justru menghambat
perkembangan daerah. Melarang wanita untuk keluar rumah setelah pukul 9
malam adalah jenis peraturan daerah yang tidak masuk akal.
Demikian pula keharusan untuk bisa membaca Alquran atau menjadikan
kemampuan membaca Alquran sebagai faktor dalam menentukan posisi birokratis
seorang pejabat publik. Dalam konteks yang telah disebutkan, tidak bisa perda-
perda tersebut serta-merta dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan
Pancasila atau UUD 1945.
Tidak pula bisa dipandang sebagai hal yang otomatis membahayakan NKRI atau
bertentangan dengan HAM. Saya tidak yakin aturan-aturan tersebut dibuat untuk
dikenakan kepada semua penduduk daerah.
Soal membaca Alquran atau berbusana muslim pasti diperuntukkan bagi pegawai-
pegawai muslim. Meski demikian, penting juga para pembuat perda itu diingatkan
bahwa apa yang disebut busana muslim juga sesuatu yang multitafsir – karenanya
tidak bisa dipaksakan.
Tata cara berpakaian dalam Islam, bukan dalam ibadah ritual tertentu seperti
ketika melaksanakan sembahyang atau haji, lebih disemangati oleh prinsip
decency, kesopanan, dan kewajaran sesuai dengan tradisi masyarakatnya. Dalam
hal-hal tertentu di pemerintahan dibolehkan adanya peraturan-peraturan yang
bersifat spesifik atau berlaku khusus. Sebab hal ini berkaitan dengan posisi-posisi
khusus yang mengharuskan kemampuan spesifik. Soal kemampuan membaca
Alquran, misalnya.
Bisa saja hal ini diberlakukan dalam posisi-posisi tertentu yang berkaitan dengan
soal agama Islam. Misalnya, soal posisi imam besar sebuah masjid negara.
Demikian pula hakim-hakim yang mengurusi soal keagamaan Islam. Juga bagi
mereka yang memiliki kewenangan untuk menikahkan atau menceraikan warga
negara menurut hukum Islam.
Akan tetapi, meskipun boleh, pencantuman persyaratan khusus juga tidak mesti
harus diadakan. Tanpa aturan khusus, orang yang bakal diberi jabatan imam besar
pasti adalah orang yang bacaan Alqurannya istimewa. Dalam konteks jabatan
seperti itu, kemampuan tersebut sudah bersifat inheren.
Untuk itu, saya ingin mengajak kita semua melihat persoalannya secara lebih pas.
Semuanya harus diletakkan dalam aturan main dan realitas politik yang ada.
Kenyataan bahwa UUD 1945 mencantumkan bab soal agama (dengan segala
tafsirannya) – bahwa pemerintah pusat beserta DPR juga mengundangkan sesuatu
yang sebanding dengan ”perda syariah”, bahkan lebih luas cakupannya dan bahwa
Aceh merupakan daerah yang kental warna perda syariatnya – hendaknya itu
semua menjadi pertimbangan penting di dalam melihat kasus ”perda syariah”.
Jika ”perda syariah” dilihat dari kacamata melawan atau menentang Pancasila dan
UUD 1945 atau bahkan mengancam atau membahayakan kelangsungan NKRI
atau secara ideologis dan teritorial bertentangan dengan NKRI, bagaimana UUPA,
dan undang-undang Islam lain yang disahkan DPR itu harus dilihat? Demi
keadilan, bukankah kita harus melihatnya dalam kacamata yang sama?
Bersediakah kita melihat bahwa UUPA atau undang-undang tentang zakat, infak,
dan sedekah dalam konteks membahayakan NKRI? Sebaliknya, para pelopor
”perda syariah” yang sebagian besar justru bukan para aktivis partai Islam
hendaknya menahan diri untuk tidak menonjolkan simbol.
Jika ”perda syariah” itu (hanya) sibuk mengatur soal baju, lama waktu baca
Alquran, atau keharusan shalat berjamaah, hal tersebut justru mereduksi makna
syariat dalam kehidupan muslim. Jika itu yang dilakukan, sebenarnya ”perda
syariah” yang seperti itu bertentangan dengan trademark ”Islam sebagai rahmat
bagi seluruh alam”.
Mestinya, tanpa harus menciptakan hal-hal yang tidak perlu, para pembuat perda
itu merumuskan peraturan yang dengan semangat prinsip dan etika Islam untuk
mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, memerangi kebodohan, dan membuat
masyarakat lebih mampu mengarungi kehidupan sosial-ekonomi dan politik yang
masih serba tidak pasti ini.
Apa yang disebut dengan ”perda syariah” mestinya diuji dari segi isi, kepatutan,
dan kelayakannya. Bukan dari sifat simbolik yang menyertainya, terlebih jika hal
tersebut terkait dengan bias ideologis dan politis yang ada dalam sejarah kita.
Bisa saja sebuah daerah membikin perda yang isinya adalah keharusan untuk
memperkuat cinta Tanah Air, sebab cinta Tanah Air itu bagian dari iman. Tanpa
memakai kata sifat syariah, perda seperti ini oleh sebagian orang pasti akan dilihat
sebagai perda syariah.
Pengaitan, secara sadar atau tidak sadar, perda syariah dengan perlawanan atau
pertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 hanya akan membuka stigma lama
yang sudah secara susah payah kita usahakan untuk selesai – meski belum tuntas.
Membuka stigma sejarah lama, yang mempertentangkan Islam dengan Pancasila,
inilah sebenarnya yang bisa mengancam kelangsungan NKRI.(*)
*Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanpa tujuan-tujuan kebijakan yang jelas, pembaruan pemerintahan dikhawatirkan akan tidak
terarah dan menjadi tidak efektif.
Kebijakan publik di Indonesia bervariasi mulai dari yang dipertimbangkan dengan baik dan
matang sampai yang tidak masuk akal, saling bertentangan dan kaku, bukti akan adanya
pengelolaan sumber daya manusia yang lemah dalam tubuh aparatur negara dan kurangnya
perencanaan strategis berjangka panjang.
Alih-alih menjadi penyedia layanan dan advokasi bagi masyarakat miskin dan kehilangan
haknya, terlalu sering penegakan hukum, peradilan, dan partai politik Indonesia tidak dapat
bertanggung gugat kepada rakyat dan terperosok dalam kronisme dan korupsi.
Selama satu dasawarsa terakhir serangkaian suksesi pemerintah nasional telah berusaha, dengan
tingkat keberhasilan yang berbeda-beda, untuk membuat lembaga-lembaga negara menjadi
profesional, mencabut akar yang busuk dan membangun kembali dengan visi ke masa depan.
Kemitraan bekerja dengan berbagai CSO untuk secara aktif meningkatkan kapasitas mereka
memantau dan terlibat dengan negara.
Sayangnya sampai saat ini belum ada pusat informasi atau pusat penelitian yang mengumpulkan
dan menerbitkan upaya-upaya yang telah dilaksanakan selama ini secara koheren.
Kemitraan sedang berupaya mengisi kekosongan ini, dimulai pada tahun 2008 dengan
menyelesaikan indeks tata pemerintahan, yang menetapkan tolok ukur yang sama dan
mengevaluasi semua provinsi berdasarkan kartu skor indikator-indikator tata pemerintahan yang
ketat dan menyeluruh.