Anda di halaman 1dari 94

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keselamatan kerja (K3) telah menjadi prioritas setiap pekerja,
terutama dalam lingkup rumah sakit. Ada 5 isu penting yang terkait
dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien,
keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit yang biasa berdampak terhadap keselamatan
pasien dan petugas, keselamatan lingkungan yang berdampak terhadap
pencemaran lingkungan dan keselamatan bisnis rumah sakit yang terkait
kelangsungan hidup rumah sakit. Keselamatan kerja di rumah sakit harus
selalu diperhatikan, terutama dalam hal pemberian obat dan prosedur
operasi yang dalam hal ini mempunyai resiko yang sangat tinggi terhadap
keselamatan pasien dan pekerja rumah sakit.
High alert medications adalah obat yang sering menyebabkan
terjadi kesalahan/kesalahan serius dan obat yang berisiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Prosedur yang digunakan
dalam pemberian high alert medication akan sangat berperan dalam
menentukan keselamatan setiap elemen yang bersangkutan.
Tindakan operasi atau pembedahan adalah suatu tindakan yang sangat
beresiko terhadap kelangsungan hidup pasien. Berbagai kemungkinan
buruk bisa saja terjadi yang akan membahayakan bagi pasien. Maka
sering kali respon yang ditunjukan oleh pasien dan keluarga
mencerminkan perasaan yang sangat mencemaskan. Dalam melakukan
tindakan operasi harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, baik
pra, intra maupun pasca operasi. Semua persiapan harus benar-benar
diperhatikan oleh setiap orang yang terlibat dalam prosedur operasi. Agar
operasi dapat berjalan dengan baik dan lancer, serta membawa hasil yang
baik bagi pasien dan pekerja kesehatan rumah sakit.
Setiap tenaga medis yang bekerja harus mengetahui setiap prosedur
yang ditentukan di rumah sakit agar dapat menjaga keselamatan dalam

1
bekerja. Karena dalam setiap prosedur harus memprioritaskan
keselamatan baik itu keselamatan pasien dan keselamatan petugas medis.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Apa yang dimaksud dengan advers event? Dan apa tujuannya?
1.2.2. Apa yang dimaksud dengan high-alert medication? Bagaimana
prosedur dan apa ksalahan yang sering terjadi dalam pemberian
high-alert medication?
1.2.3. Apa saja yang perlu diperhatikan dalam persiapan procedure
operasi? Dan bagaimana procedure yang harus dilakukan?

1.3. Tujuan
1.3.1. Memahami tentang adverse event dan tujuannya.
1.3.2. Memahami apa itu high-alert medication, tujuan, prosedur dan
kesalahan yang sering terjadi dalam pemberian high-alert
medication.
1.3.3. Mengetahui tentang prosdur operasi, persiapan, tujuan, dan
kesalahan yang sering terjadi dalam prosedur operasi.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Asverse Event


Dalam Institute of Medication, patient safety diidentifikasikan
sebagai “An adverse event result in unintended harm to the patient by an
act of commission or omission rather than by the underlying disease or
condition of the patient”. Sementara dalam PERMENKES RI Nomor
1691 tahun 2011, insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut
insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cidera yang dapat dicegah
pada pasien. Insiden keselamatan pasien juga merupakan akibat dari
melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (omission) (Depkes, 2008). Namun
demikian penyebab terjadinya insiden keselamatan pasien di rumah sakit
sangat komplek, melibatkan semua bagian dalam sistem yang berlaku di
rumah sakit. Jenis insiden berdasarkan PEMRENKES RI nomor 1691
tahun 2011 tentang keselamatan pasien di rumah sakit, yaitu Kejadian
Tidak Diharapkan (TKD) yang dapat disebut dengan “Adverse Event”.
Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverse event yaitu insiden
yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan
bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Cedera dapat
diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis. Suatu
peristiwa yang menyebabkan, atau memiliki potensi yang dapat
menyebabkan, atau menyebabkan hal yang terduga atau tidak diinginkan
sehingga membahayakan keselamatan pengguna alat kesehatan (termasuk
pasien) atau orang lain. (Reporting Adverse Incidents Incidents and
Disseminating Disseminating Medical Medical Device Alerts, Alerts,
MHRA).
Menurut Departement Kesehatan RI (2008), analisis kejadian
berisiko dalam proses pelayanan kefarmasian seperti kesalahan penulisan

3
resep (perscreption error), kejadian obat yang merugikan (adverse drug
events), kesalahan pengobatan (medication errors) dan reaksi obat yang
merugikan (adverse drug reaction) menempati kelompok urutan utama
dalam keselamatan pasien yang memerlukan pendekatan sistem untuk
mengelola, mengingat kompleksitas keterkaitan kejadian antara
”kesalahan merupakan hal yang manusiawi” (to err is human). Menurut
Buku Pedoman Pelaporan Keselamatan Pasien pada tahun 2008 terdapat
Tipe Insiden yaitu, dimana sub tipe insidennya dibagi menjadi tiga yaitu
medikasi/cairan infus yang terkait (daftar medikasi dan daftar cairan
infus), proses penggunaan medikasi/cairan infus (peresapan,
persiapan/dispensing, pemaketan, pemberian, supply/pesan,
penyimpanan, monitoring) dan masalah (salah pasien, salah obat, salah
dosis/kekuatan/frekuensi, salah formulasi/presentasi, salah rute
pemberian, salah jumlah/kuantitas, salah dispensing label/intruksi,
kontraindikasi, salah penyimpanan, ommited medicine or dose, obat
kadaluarsa, dan adverse drug reaction (reaksi efek samping obat).
Masalah (salah pasien, salah darah/produk darah, salah dosis /frekuensi,
salah jumlah form, salah dispensing/intruksi, kontraindikasi, salah
penyimpanan, obat atau dosis yang diabaikan, darah kadaluarsa serta
ketepatan pada prosedur operasi dan efek samping (adverse effect).

2.2. High Alert Medication


Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert),
bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,
manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan
pasien. Obat-obatn yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah
obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan serius
(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang
tidak diinginkan, (adverse event) seperti obat-obatan yang terlibat mirip
(Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip / NORUM), obat-obatan yang sering
disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit
konsentrat secara tidak sengaja (misalnya kalium klorida 2 meq/ml atau

4
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0,9 % dan
magnesium sulfat (50% atau lebih pekat).
Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi
dengan baik di unit pelayanan pasien,atau bila perawat kontrak tidak
diorientasikan terlebih dahulu sebelum ditugaskan atau dalam keadaan
darurat. Cara paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi
kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-
obatan yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit
konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara
kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan / atau prosedur untuk
membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang
ada di rumah sakit.

2.3. Prosedur Operasi


Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi. Salah
operasi, salah prosedur, pasien salah pada operasi adalah sesuai yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini
adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat
antara anggota tim bedah, kurang atau tidak melibatkan pasien di dalam
penandaan lokasi operasi (site marking) dan tidak ada prosedur untuk
verifikasi lokasi operasi. Disamping itu assessment pasien yang tidak

5
adekuat, penelaahan catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak
mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan
yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca dan
pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan
pada tanda yang mudah dikenali. Tanda itu harus digunakan secara
konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator atau orang yang
akan melakukan tindakan, dilaksanakan pada saat pasien terjaga dan sadar
jika memungkinkan, dan harus terlibat sampai akan disayat. Penandaan
lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality),
multivel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multivel level (tulang
belakang).
Maksud proses verifikasi pra operatif adalah untuk:
1) Memverifikasi lokasi prosedur dan pasien yang benar.
2) Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imanging), hasil
pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi lebel dengan baik
dan dipampang.
3) Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan /
atau implant yang dibutuhkan.
Tahap sebelum insisi (time out) memungkinkan semua pertanyaan
atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilaksanakan di tempat, pada
tindakan akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan
seluruh tim operasi.

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Kesalahan dalam Memberikan Obat atau Cairan (Medication


Errors)
3.1.1. Definisi Obat
Obat yaitu zat kimia yang dapat mempengaruhi jaringan
biologi pada organ tubuh manusia (Batubara, 2008). Definisi lain
menjelaskan obat merupakan sejenis subtansi yang digunakan
dalam proses diagnosis, pengobatan, penyembuhan dan perbaikan
maupun pencegahan terhadap gangguan kesehatan tubuh. Obat
adalah sejenis terapi primer yang memiliki hubungan erat dengan
proses penyembuhan sebuah penyakit (Potter & Perry, 2009).
Jadi, definisi obat merupakan sebuah terapi primer tersusun
atas substansi zat kimia yang digunakan dalam proses diagnosis,
penyembuhan atau perbaikan dan pencegahan terhadap proses
penyakit serta berpengaruh terhadap organ tubuh secara biologis.

3.1.2. Kesalahan Pemberian Obat (Medication Errors)


Errors adalah sesuatu yang dilakukan dengan salah karena
ketidaktahuan atau ketidaksengajaan dan kegagalan untuk
menyelesaikannya (Aronson, 2009). Medication errors adalah suatu
kegagalan dalam proses pengobatan yang memiliki potensi
membahayakan pada pasien dalam proses pengobatan ataupun
perawatannya (Aronson, 2009).
Kesalahan pengobatan ini dapat menyebabkan efek yang
merugikan serta berpotensi menimbulkan risiko fatal dari suatu
penyakit (Perwitasari, 2010). Medication errors dapat terjadi pada
setiap tahap proses pengobatan yang kompleks sehingga tingkat
prevalensinya perlu diperkirakan pada setiap fase pengobatan:
prescribing dan dispensing sesuai dengan dampak klinisnya (Belen
et al., 2010).

7
3.1.3. Prosedur Pemberian Obat
Dokter merupakan penanggung jawab utama dalam
pemberian resep obat bagi masing-masing pasien yang dirawat di
rumah sakit. Kemudian apoteker memberikan obat yang sesuai
dengan resep dokter. Sedangkan cara dalam pemberian obat harus
sesuai dengan prosedur dan tergantung padakeadaan umum pasien,
kecepatan respon yang diinginkan, sifat obat, dan tempat kerja obat
yang diinginkan serta pengawasan terkait efek obat dan sesuai
dengan SOP rumah sakit yang bersangkutan (Depkes, 2014).
Prosedur pemberian obat berdasarkan prinsip enam benar
pemberian obat merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
perawat dalam memersiapkan obat yang diberikan kepada pasien
sebagai upaya mencegah terjadinya kesalahan obat yang diterima
pasien.

3.1.4. Prinsip Enam Benar Pemberian Obat


Prinsip enam benar merupakan serangkaian langkah atau
tindakan yang dijadikan pedoman sebelum obat diberikan kepada
pasien yang mengedepankan keamanan demi kesembuhan pasien
(Kee dan Hayes, 2000). Menurut Kuntarti (2005) menyebutkan
prinsip enam benar merupakan prinsip yang harus diperhatikan
oleh perawat dalam pemberian obat untuk menghindari kesalahan
pemberian obat dan keberhasilan pengobatan perawat bertanggung
jawab dalam pemberian obat-obatan yang aman. Perawat harus
mengetahui semua komponen dari perintah pemberian obat dan
mempertanyakan perintah tersebut jika tidak lengkap atau tidak
jelas atau dosis yang diberikan diluar batas yang
direkomendasikan. Supaya dapat tercapainya pemberian obat yang
aman, seorang perawat harus melakukan prinsip enam benar yang
meliputi: benar pasien, benar obat, benar dosis, benar waktu, benar
rute pemberian, dan benar dokumentasi (Kee J. L & Hayes E.R,
2000).

8
Pemberian obat yang dilakukan oleh perawat adalah suatu
bentuk pendelegasian terhadap pemberian terapi obat kepada
pasien dari dokter. Perawat yang dapat melakukan tindakan invasif
dan pemberian obat adalah perawat yang telah mendapat ijin
terdaftar atau register nurse. Penerima delegasi mendapat tanggung
jawab untuk melakukan tugas atau prosedur tersebut, yang
dilaksanakan dengan tanggung gugat dan tanggung jawab yang
diterimanya (Kozier, 2004). Pemberian obat yang aman dan akurat
merupakan salah satu tugas terpenting perawat.
Menurut Kozier (2004) dan Potter & Perry (2009)
menyebutkan upaya dalam menghindari kesalahan dalam
pemberian obat dapat dilaksanakan dengan mengidentifikasi
indikator terhadap prosedur-prosedur yang berhubungan dengan
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pemberian obat. Pemberian
obat harus diperhatikan prinsip enam benar pemberian obat yaitu:
a) Benar Pasien
Obat diberikan kepada pasien yang tepat dengan
memastikan gelang identifikasi sesuai prosedur yang berlaku
pada institusi tersebut. Kejadian kesalahan pemberian obat
terhadap pasien yang berbeda kadang-kadang bisa terjadi.
Sangat penting mengikuti langkah-langkah atau prosedur
sehingga memberikan obat kepada pasien yang tepat.
Sebelum memberikan obat, gunakan paling sedikit dua
identifikasi kapanpun pemberian obat akan diberikan (TJC,
2008) dalam Potter & Perry (2009).
Mengidentifikasi pasien yang dilakukan yaitu: nama
klien, nomor telepon atau identitas pribadi pasien. Jangan
menggunakan identifikasi kamar atau ruangan pasien.
Melakukan identifikasi dilakukan pada saat berhadapan
dengan pasien. Mengidentifikasi pasien dapat dilakukan
dengan memberikan tanda di lengan pasien, kemudian
menanyakan nama lengkap pasien dan agency nya sehingga

9
yakin bahwa perawat sudah berhadapan dengan pasien yang
benar. Beberapa rumah sakit menggunakan barcode sehingga
perawat akan terhindar dari kesalahan identifikasi pasien.
b) Benar Obat
Benar obat adalah obat yang diberikan sesuai dengan
yang diresepkan. Kadang- kadang perawat harus menuliskan
resep yang ada dalam catatan medical record pasien. Pada
saat akan mempersiapkan obat, harus diperiksa sesuai dengan
catatan yang ada dalam medical record pasien. Hal yang
dilakukan dalam upaya mencegah kesalahan terhadap
pemberian obat harus diperiksa ulang tiga kali, yaitu:
sebelum memasukkan dari kontainer, dan pada saat sebelum
disimpan di kontainer. Persiapan pemberian obat tidak boleh
didelegasikan kepada orang lain dan dikelola oleh sendiri
kepada klien.
The Joint Commission (TJC, 2008) dalam Potter &
Perry (2009), menyatakan hal harus diperhatikan terhadap
benar obat, yaitu:
1) Meyakinkan informasi pengobatan kapanpun terhadap obat
yang baru atau obat yang diresepakan pada saat pasien
pindah ke ruang perawatan yang lain.
2) Jangan Pernah menyiapkan obat yang berada dalam
container yang tidak diberi nama atau label yang tidak jelas.
3) Jika memberikan obat harus memperhatikan unuit dosis
dalam kemasan kemudian periksa kembali label pada saat
memberikan obat.
4) Memeriksa kembali seluruh obat yang dibrikan pada klien
sesuai dengan catatan medical record pasien.
5) Memeriksa dua identitas pasien sebelum obat diberikan
pada pasien.

10
c) Benar Dosis
Dosis diberikan sesuai dengan karakteristik pasien
sesuai hasil perhitungannya dan jenis obatnya (tablet, cairan)
dalam jumlah tertentu. Unit dosis sistem sangat baik
dilakukan untuk mencegah kesalahan perhitungan obat.
Perawat harus mampu melakukan perhitungan terhadap
kalkulasi obat yang dibutuhkan pasien.
Tindakan yang dilakukan supaya tepat dalam
memperhitungkan dosis obat yaitu:
1) Kemasan obat tablet dibuka hanya pada saat diberikan
kepada pasien. Bila dibutuhkan dosis obat hanya dosis
tertentu, pemotongan tablet tersebut dilakukan dengan
ujung pisau atau alat potong obat. Beberapa rumah sakit
mengijinkan atau membiarkan perawat untuk menyimpan
obat tablet yang sudah terbuka untuk diberikan pada
pemberian selanjutnya. Institute for Save Medication
Practise (ISMP, 2006) dalam Potter & Perry (2009)
menyatakan bahwa harus diperhatikan kebijakan yang
berkaitan dengan keterampilan memotong tablet yang
dilakukan perawat, sehingga menghindari kesalahan dosis
obat.
2) Sebelum melakukan perhitungan dosis, alat standar
digunakan sesuai kebutuhan, seperti gelas ukur obat,
syringe, dan skala tetesan, untuk mendapatkan pengobatan
dengan ukuran yang tepat.
d) Benar Waktu
Obat yang diberikan harus sesuai dengan program
pemberian, frekuensi dan jadwal pemberian. Perawat terus
mengetahui jadwal pemberian obat dalam setiap kali
pemberian obat yang diberikan setiap 8 jam atau obat yang
diberikan tiga kali dalam satu hari. Hal tersebut dapat

11
dijadwalkan dengan baik, sehingga perawat dapat merubah
waktu sesuai kebutuhan pasien.
e) Benar Rute Pemberian
Obat yang diberikan harus sesuai rute yang
diprogramkan, dan dipastikan bahwa rute tersebut aman dan
sesuai untuk klien. Selalu konsultasikan kepada yang
meresepkan apabila tidak ada petunjuk rute pemberian obat.
Pada saat memberikan injeksi, yakinkan bahwa pemberian
obat benar diberikan dengan cara injeksi. Sangat penting
diperhatikan dalam melakukan persiapan yang benar, karena
komplikasi yang mungkin terjadi adalah abscess atau
kejadian efek secara sistemik.
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang
berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute terbaik
ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon
yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat
kerja yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta
tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat diberikan peroral,
sublingual, parentral, topikal, rektal, inhalasi.
1) Oral, adalah rute pemberian yang paling banyak dipakai,
karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat
juga diarbsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau
bukal) seperti tabler ISDN.
2) Parentral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti
disamping enteron berarti usus, jadi parentral berarti diluar
usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena
(preset/perinfus).
3) Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau
membrane mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray,
tetes mata.
4) Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema
atau suposutoria yang akan mencair pada suhu badan.

12
Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh efek lokal
seperti konstipasi (dulkolax sup), hemoroid (anusol),
pasien yang tidak sadar/kejang (stesolid sup). Pemberian
obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan
pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya
tidak semua obat disediakan dalam bentuk suposutoria.
5) Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan.
Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat
luas, dengan demikian berguna untuk pemberian obat
secara lokal pada salurannya, misalnya salbutamol
(ventolin) combivent, berotek untuk asma, atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
f) Benar Dokumentasi
Dokumentasi dilaksanakan setelah pemberian obat dan
dokumentasi alasan obat tidak diberikan. Perawat dan
petugas kesehatan yang lain penting melakukan dokumentasi
untuk melakukan komunikasi. Beberapa kesalahan pemberian
obat disebabakan komunikasi yang tidak tepat.
Dokumentasi sebelum melakukan pemberian obat
sesuai standar Medication Administration Record (MAR),
yang harus dilakukan: nama lengkap pasien tidak ditulis
dengan nama singkatan, waktu pemberian, dosis obat yang
dibutuhkan, cara pemberian obat dan frekuensi pemberian
obat.
Masalah yang bisa muncul terhadap penulisan resep
obat diantaranya informasi yang tidak lengkap, tulisan yang
sulit dibaca, tidak jelas, tidak dimengerti, penempatan angka
desimal, untuk dosis obat sehingga terjadi kesalahan dosis
dan tidak sesuai standar (Hughes & Ortiz, 2005 dalam Potter
& Perry, 2005), maka segera dilakukan kontak terhadap yang
menulis resep tersebut. Pembuat resep harus menulis resep
secara akurat, lengkap, dan dapat dimengerti.

13
Dokumentasi setelah melakukan pemberian obat sesuai
standar MAR, yaitu mencatat segera pemberian obat yang
telah diberikan kepada pasien, ketidaktepatan
pendokumentasian terhadap kesalahan pemberian dosis obat
sehingga menyebabkan penanganan yang kurang tepat
terhadap koreksinya, mencatat repson klien setelah
pemberian obat apabila ada efek obat maka
pendokumentasian waktu, tanggal dan nama petugas yang
memberikan dan yang menulis resep dalam catatan medical
record pasien.

3.1.5. Dampak dan Jenis Kesalahan Pemberian Obat (Medication


Errors)
Menurut National Coordinating Council for Medication Error
Reporting and Prevention (NCC MERP), akibat dari terjadinya
medication error dapat dibagi menjadi tiga derajat yaitu; 1) tidak
menyebabkan perubahan fisik, mental, dan psikologis, 2)
menyebabkan perubahan, serta 3) menyebabkan kematian. Derajat
yang paling ringan adalah kejadian medication error terdeteksi
tetapi tidak mengakibatkan perubahan apapun. Medication error
derajat yang kedua akan menyebabkan perubahan yang dapat
sembuh dengan sendirinya atau memerlukan terapi baru. Derajat
paling parah dalam medication error yaitu dapat menyebabkan
yang berakibat kematian. Tabel kategori medication error
berdasarkan dampak diperlihatkan sebagai berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Kesalahan Pemberian Obat (Medication
Error) Berdasarkan Dampak (Sumber: Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2008).

Kesalahan
Kategori Hasil
(Error)

14
No error Kejadian atau yang berpotensi
A
untuk terjadinya kesalahan.

Error, no harm Terjadi kesalahan sebelum obat


B
mencapai pasien.
Terjadi kesalahan dan obat sudah

C diminum /digunakan pasien tetapi


tidak membahayakan pasien.
Terjadinya kesalahan, sehingga

D monitoring ketat harus dilakukan


tetapi tidak membahayakan pasien.
Terjadi kesalahan, hingga terapi
Error, harm
dan intervensi lanjut diperlukan

E dan keslahan ini memberikan efek


yang buruk yang sifatnya
sementara.
Terjadi kesalahan dan
mengakibatkan pasien harus

F dirawat lebih lama di rumah sakit


serta memberikan efek buruk yang
sifatnya sementara.
Terjadi kesalahan yang

G mengakibatkan efek buruk yang


bersifat permanen.
Terjadi kesalahan dan hampir

H merenggut nyawa pasien. Contoh:


syok anafilaktik.

Error, death Terjadi kesalahan dan pasien


I
meninggal dunia.

Tabel 2. Jenis-Jenis Kesalahan Pemberian Obat (Medication


Error) Berdasarkan Alur Jenis Pengobatan (Sumber: Direktorat

15
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI Tahun 2008).

Tipe Medication Errors Keterangan


Unauthorized drug Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien
padahal diresepkan bukan oleh dokter yang
berwenang.
Inmproper Dosis, strength atau jumlah obat yang tidak
dose/quantity sesuai dengan yang dimaksud dalam resep.
Wrong dose preparation Penyiapan/ formulasi atau pencampuran obat
method yang tidak sesuai.
Wrong dose form Obat yang diresepkan dalam dosis dan cara
pemberian yang tidak sesuai dengan yang
diperintahkan di dalam resep.
Wrong patient Obat diserahkan atau diberikan pada pasien
yang keliru yang tidak sesuai dengan yang
tertera diresep.
Omission error Gagal dalam memberikan dosis sesuai
permintaan, mengabaikan penolakan pasien
atau keputusan klinik yang mengisyaratkan
untuk tidak diberikan obat yang
bersangkutan.
Extra dose Memberikan duplikasi obat pada waktu
yang berbeda.
Prescribing error Obat diresepkan secara keliru atau perintah
diberikan secara lisan atau diresepkan oleh
dokter yang tidak berkompeten.
Wrong administration Menggunakan cara pemberian yang keliru
technique termasuk misalnya menyiapkan dengan
teknik yang tidak dibenarkan (misalkan obat
im diberikan secara IV).
Wrong time Obat diberikan tidak sesuai dengan jadwal

16
pemberian atau diluar jadwal yang
ditetapkan.

3.1.6. Faktor yang Mempengaruhi Kesalahan Pemberian Obat


(Medication Errors)
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap insiden medication
error yang disampaikan oleh Carayon & Smith (2000); AHRQ
(2003); Depkes (2008); Henriksen, et al (2008); Vincent (1998);
dapat disimpulkan meliputi:
a) Karakteristik Individu

Karakteristik individu merupakan faktor yang berada pada


barisan pertama yang memiliki dampak secara langsung pada
mutu pelayanan dan meskipun mutu tersebut masih
kemungkinan dipertimbangkan untuk dapat diterima atau
masih dibawah standar baku. Karakteristik individu termasuk
diantaranya adalah kualitas yang dibawa individu tersebut ke
dalam pekerjaan seperti pengetahuan, tingkat keterampilan,
pengalaman, kecerdasan, kemampuan mendeteksi, pendidikan
dan pelatihan, dan bahkan sikap seperti kewaspadaan,
kelalaian, kelelahan, dan motivasi.
b) Sifat Dasar Pekerjaan
Sifat dasar pekerjaan merujuk pada karakteristik pekerjaan
itu sendiri dan meliputi pula sejauh mana prosedur yang
digunakan terdefinisi dengan baik, sifat alur kerja, beban
pasien pada puncak dan tidak, ada atau tidak adanya kerjasama
antar tim, kompleksitas perawatan, fungsional alat dan masa
penyusutan, interupsi dan pekerjaan yang bersaing, dan
persaratan fisik/kognitid untuk melakukan pekerjaan.
Meskipun penelitian empiric terhadap dampak faktor-faktor
yang berhubungan dengan pekerjaan tidak sebanyak penelitian
studi pada faktor-faktor manusia, faktor ini tetap ada
(Henrisken, Kem, et al. 2008).

17
c) Faktor Lingkuangan Fisik
Faktor lingkungan fisik meliputi diantaranya yaitu;
pencahayaan, suara, temperature atau suhu ruangan, susunan
tata ruang, ventilasi. Pengelolaan gedung rumah sakit harus
benar-benar memikirkan keselamatan baik bagi pasien maupun
keselamatan staf didalamnya dengan dengan memperhatikan
syarat-syarat kesehatan lingkungan seperti yang sudah diatur
dalam Permenkes 1204/SK/IX/2004 tentang persyaratan
kesehatan lingkungan rumah sakit.
d) Faktor Interaksi Antara Sistem dan Manusia
Yang termasuk dalam faktor ini meliputi perlengkapan atau
peralatan medis, lokasi atau peletakan alat-alat, pengontrolan
alat. Interaksi sistem dan manusia menunjuk pada tata dimana
dua sistem berinteraksi atau berkomunikasi dalam ruang
lingkup sistem. Perawat menggunakan perangkat medis dan
peralatan secara intensif dan dengan demikian memiliki
banyak pengalaman.
e) Faktor Organisasi dan Lingkungan Sosial
Lingkungan organisasi merupakan lingkungan manusia di
dalam organisasi melakukan pekerjaan mereka. Lingkungan
pekerjaan yakni lingkungan organisasi rumah sakit dapat
menentukan kualitas dan keamanan pelayanan perawat kepada
pasien. Sebagai jumlah tenaga tersebar dalam ketenagaan
kesehatan, perawat mengaplikasikan pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman untuk memerikan kebutuhan
pasien.
f) Faktor Manajemen
Faktor ini terdiri dari budaya keselamatan pasien,
kemudahan akses personal, pengembangan karyawan,
kemampuan kepemimpinan, kebijakan pimpinan dalam hal
SDM, finansial, peralatan dan teknologi. Membangun budaya
kesadaran akan nilai keselamatan pasien, menciptakan

18
kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil merupakan
langkah pertama dalam menetapkan keselamatan pasien
rumah sakit. Faktor manajemen sangat menentukan dan
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan termasuk pada
terjadinya insiden keselamatan pasien.
g) Lingkungan Eksternal
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah pengetahuan
dasar, demografi, teknologi terbaru, kebijakan pemerintah,
keadaan ekonomi, kebijakan kesehatan, kesadaran masyarakat.
Lingkungan eksternal dapat memberikan dampak terhadap
usaha meningkatkan keselamatan pasien. Tekanan eksternal
dapat berupa tuntutan hukum, tuntutan masyarakat terhadap
mutu dan keselamatan pasien. Lingkungan eksternal
merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan agar organisasi
dapat memiliki komitmen yang tinggi dalam menerapkan mutu
melalui keselamatan pasien. Lingkungan eksternal lainnya
berupa regulasi nasional terhadap kompetensi SDM pada
pelayanan kesehatan (standarisasi profesi, penilaian
kompetensi staf, sertifikasi) dan untuk institusi berupa
akreditasi rumah sakit.

3.1.7. Pencegahan Kesalahan Pemberian Obat (Medication Errors)


Perawat memliki kewajiban etis dan profesi untuk
melaporkan kesalahan kepada dokter dan manajer keperawatan.
Dokter dapat memutuskan untuk menetralkan efek kesalahan
dengan memberikan sebuah antidot ketika obat yang diberikan
salah, menunda pemberian obat apabila obat bila obat sebelumnya
diberikan terlalu dini, atau memantau efek obat ketika sebuah obat
diberikan dalam dosis yang tinggi yang tidak lazim. Perawat
sebaiknya tidak menyembunyikan kesalahan pengobatan. Pada
catatan dalam status klien harus ditulis obat apa yang telah
diberikan kepada klien, pemberitahuan kepada dokter, efek

19
samping yang klien alami sebagai respons terhadap kesalahan
pengobatan, dan upaya yang dilakukan untuk menetralkan obat,
misalnya memberikan antidot.
Perawat juga bertanggung jawab melengkapi laporan yang
menjelaskan sifat insiden tersebut. Laporan insiden merupakan
bukan pengakuan tentang suatu kesalahan atau menjadi dasar untuk
memberi hukuman dan bukan merupakan bagian catatan medis
klien yang sah. Laporan ini merupakan analisis objektif tentang apa
yang terjadi dan merupakan penatalksanaan risiko yang dilakukan
institusi untuk memantau kejadian semacam ini. Laporan kejadian
membantu komite interdisiplin mengidentifikasi kesalahan dan
menyelesaikan masalah sistem di rumah sakit yang mengakibatkan
terjadinya kesalahan (Potter & Perry, 2005).
Tabel 3. Cara Mencegah Kesalahan Pemberian Obat (
Sumber: Potter & Perry, 2005).
No Kewaspadaan Rasional
1 Baca label obat dengan Banyak produk yang tersedia dalam
teliti. kotak, warna, dan bentuk yang
sama.
2 Pertanyakan pemberian Kebanyakan dosis terdiri dari satu
banyak tablet atau vial atau dua tablet atau kapsul atau
untuk dosis tunggal. satu vial dosis tunggal.
Interpretasi yang salah terhadap
program obat dapat
mengakibatkan pemberian dosis
tinggi berlebihan.
3 Waspadai obat-obatan Banyak nama obat terdengat sama
bernama sama. (mis. Digoksin, Keflex dan Keflin,
Orinase dan Orinade).
4 Cermati angka di belakang Beberapa obat tersedia dalam
koma. beberapa jumlah yang merupakan
perkalian satu sama lain (contoh,

20
tablet Coumadindalam tablet 2,5
dan 25 mg, Thorazine dalam
spansules (sejenis kapsul) 30 dan
300 mg.
5 Pertanyakan peningkatan Kebanyakan dosis diprogramkan
dosis yang tiba-tiba dan secara secara bertahap supaya
berlebihan. dokter dapat memantau efek
terapeutik dan responsnya.
6 Ketika suatu obat baru atau
Jika dokter juga tidak lazim dengan
yang tidak lazim
obat tersebut maka risiko
diprogramkan,
pemberian dosis yang tidak akurat
konsultasikan kepada
menjadi lebih besar.
sumbernya.
7 Jangan beri obat yang Banyak dokter menggunakan
diprogramkan dengan nam nama pendek atau singkatan tidak
pendek atau singkatan tidak resmi untuk obat yang sering
resmi. diprogramkan. Apabila perawat
atau ahli farmasi tidak mengenal
nama tersebut, obat yang
diberikan atau dikeluarkan bias
salah.
8 Jangan berupaya Apabila ragu, tanyakan dokter.
menguraikan dan Kesempatan terjadinya salah
mengartikan tulisan yang interpretasi besar, kecuali jika
tidak dapat dibaca. perawat mempertanyakan
program yang sulit dibaca.
9 Kenali klien yang Seringkali, satu atau dua orang
memeiliki nama akhir pasien memiliki nama akhir yang
sama. Juga, minta pasien sama atau mirip. Label khusus
menyebutkan nama pada kardeks atau buku obat dapat
lengkapnya. Cermati nama memberi peringatan tentang
yang tertera pada tanda masalah yang potensial.

21
pengenal.
10 Cermati ekuivalen. Saat tergesa-gesa, salah membaca
ekuivalen mudah terjadi (contoh,
dibaca milligram,
padahal milliliter).

3.2. Obat dan Cairan yang Perlu Diwaspadai


3.2.1. Definisi High Alert Medication
High-allert medications adalah obat-obatan yang memiliki
risiko lebih tinggi untuk menyebabkan atau menimbulakan adanya
komplikasi atau membahayakan pasien secara signifikan jika
terdapat kesalahan penggunaan dosis, interval, dan pemilihannya).
Berikut adalah obat-obatan yang termasuk dalam kategori
high alert medications:
Tabel 4. Obat-Obatan dalam Kategori High Alert
Medications

Kategori Obat Jenis Obat

Agonis adnergik IV Epinefrin, isoproter.

Antagonis adrenergic IV
Propanolol, metoprolol,
labetalol.
Agen anestesi (umum, inhalasi, dan
Propofol, ketamin.
IV)

Antiaritmia IV Lidokain, amiodaron.

Antitrombotik, termasuk:

Warfarin, LMWH (low


a. Antikoagulan
molecular- weight heparin),
unfactionated heparin.
b. Inhibitor faktor Xa Fondaparinux.

c. Direct thrombin inhibitors Argatroban, bivalrudin,

22
dabigatran etexilate, lepirudin.
d. Trombolitik Alteplase, reteplase, tenecteplase.

Eptifibatide, abciximab,
e. Inhibitor glikoprotein Iib
tirofiban.

Larutan / solusio kardioplegik

Agen kemoterapi (parenteral dan


oral)

Dekstrosa hipertonik ( ≥ 20%)


Larutan dialysis (peritoneal) dan
hemodialysis

Obat- obatan epidural atau


intratekal

Obat hipoglikemik (oral)

Obat inotropik IV Digoksin, milrinone.

Insulin regular, aspart, NPH,


Insulin (SC dan IV)
glargine.

Obat-obatan dengan bentuk


Amfoterisin B liposomal.
liposomal

Dexmedetomidine,
Agen sedasi moderat / sedang IV
midazolam.
Agen sedasi moderat / sedang oral,
Chloral hydrate, ketamin,
untuk anak
midazolam
Opioid/ narkose

a. IV

b. Transdermal

c. Oral (termasuk konsentrat cair,


formula rapid dan lepas lambat

23
)
Suksinilkolin, rokuronium,
Agen blok neuromuscular
vekuronium,

atrakurium, pankuronium.

Preparat nutrisi parenteral

Agen radiokontras IV
Akua bi destilata, inhalasi, dan irigasi

(dalam kemasan > 100 ml)


NaCl untuk injeksi, hipertonik,
dengan

konsentrasi > 0,9 %.


Konsentrat KCL untuk injeksi

Epoprostenol IV

Injeksi Magnesium Sulfat


(MgSO4)

Digoksin IV
Metotreksat oral (penggunaan non-
onkologi)

Opium tincture

Oksitosin IV

Injeksi natrium nitroprusside

Injeksi kalium fosfat

Prometazin IV

Kalsium intravena

Vasopressin (IV atau intraoseus)

Antikonvulsan Benzodiazepine.

24
1) Prinsip High Alert Medication
a) Kurangi atau eliminasi kemungkinan terjadinya
kesalahan dengan cara:
 Mengurangi jumlah high alert medications yang di
simpan di suatu unit
 Mengurangi konsentrasi dan volume obat yang
tersedia
 Hindarkan penggunaan high alert medications sebisa
mungkin
b) Lakukan pengecekan ganda
c) Minimalisasi konsekuensi kesalahan
 Misalnya: kesalahan fatal terjadi di mana injeksi
vial 50 ml berisi lidokain 2% tertukar dengan
manitol (kemasan dan cairan obat serupa).
Solusinya: sediakan lidokain 2% dalam vial 10
ml, sehingga kalaupun terjadi salah pemberian,
jumlah lidokain yang diinjeksikan kurang
berdampak fatal
 Pisahkan obat-obat dengan nama atau label yang
mirip (LASA/NORUM)
 Minimalisasi instruksi verbal dan hindarkan
penggunaan singkatan
 Batasi akses terhadap high alert medications
 Gunakan tabel dosis standar (daripada
menggunakan dosis perhitungan berdasarkan
berat badan/fungsi ginjal, di mana rentan terjadi
kesalahan).

2) Prosedur High Alert Medication


Lakukan prosedur dengan aman dan hati-hati selama
memberikan instruksi, mempersiapkan, memberikan obat,
dan menyimpan high alert medications.
a) Peresepan
 Jangan berikan instruksi hanya secara verbal
mengenai high allert medications.

25
 Instruksikan ini harus mencakup minimal:
- Nama pasien dan nomor rekam medis
- Tanggal dan waktu instruksi dibuat
- Nama obat (generik), dosis, jalur pemberian, dan
tanggal pemberian setiap obat
- Kecepatan dan atau durasi pemberian obat
Dokter harus mempunyai diagnosis, kondisi, dan
indikasi penggunaan setiap high alert medications
secara tertulis
 Sistem instruksi elektronik akan memberikan
informasi terbaru secara periodik mengenai standar
pelayanan, dosis, dan konsentrasi obat (yang telah
disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapeutik), serta
informasi yang dibutuhkan untuk mengoptimalisasi
keselamatan pasien.
 Jika memungkinkan, peresepan high alert
medications haruslah terstandarisasi dengan
menggunakan instruksi tercetak
b) Persiapan dan Penyimpanan
 High alert medications disimpan di pos perawat
di dalam troli atau kabinet yang memiliki kunci
 Semua tempat penyimpanan harus diberikan
label yang jelas dan dipisahkan dengan obat-
obatan rutin lainnya. Jika high alert medications
harus disimpan di area perawatan pasien,
kuncilah tempat penyimpanan dengan diberikan
label ‘Peringatan: high alert medications’ pada
tutup luar tempat penyimpanan
 Jika menggunakan dispensing kabinet untuk
menyimpan high alert medications, berikanlah
pesan pengingat di tutup kabinet agar
pengasuh/perawat pasien menjadi waspada dan
berhati-hati dengan high alert medications.
Setiap kotak tempat yang berisi high alert
medications harus diberi label (label dengan
warna dasar merah, dan huruf berwarna hitam)

26
 Infus intravena high alert medications harus
diberikan label yang jelas dengan menggunakan
huruf/tulisan yang berbeda dengan sekitarnya
 Larutan dengan konsentrasi tinggi hanya boleh
disimpan di instalasi farmasi, kamar operasi,
ruang VK, dan High Care Unit, dan khusus KCl
hanya boleh disimpan di Instalasi Farmasi.
c) Pemberian Obat
Perawat harus selalu melakukan pengecekan
ganda (double-check) terhadap semua high alert
medications sebelum diberikan kepada pasien.
Pengecekan Ganda Terhadap High Alert
Medications:
1) Tujuan: identifikasi obat-obatan yang memerlukan
verifikasi atau pengecekan ganda oleh petugas
kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum
memberikan obat dengan tujuan meningkatkan
keselamatan dan akurasi.
2) Kebijakan:
a) Pengecekan ganda diperlukan sebelum
memberikan high alert medications
tertentu/spesifik dan di saat pelaporan pergantian
jaga atau saat melakukan transfer pasien.
b) Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam
medis pasien atau pada catatan pemberian
medikasi pasien.
c) Pengecekan pertama harus dilakukan oleh
petugas yang berwenang untuk menginstruksikan,
meresepkan, atau memberikan obat-obatan,
antara lain: perawat, ahli farmasi, dan dokter.

27
d) Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas
berwenang, teknisi, atau perawat lainnya (petugas
tidak boleh sama dengan pengecek pertama)
e) Kebutuhan minimal untuk melakukan
pengecekan ganda/verifikasi oleh orang kedua
dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
 Setiap akan memberikan injeksi obat
 Untuk infus:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi
obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau
transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
 Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai
dengan instruksi dari dokter
3) Daftar high alert medications yang memerlukan
pengecekan ganda:

Tabel 5. High Alert Medications yang Memerlukan Pengecekan Ganda untuk


Semua Dosis Termasuk Bolus

Obat-Obatan
Kemoterapi
Heparin
Insulin
Infuse Magnesium sulfat pada pasien obstetric
Infuse kateter saraf epidural dan perifer
Abciximab*
Argatroban
Bivalirudin
Eptifibatide*

28
Lepirudan
Citrate ACD-A
Kalsium klorida 8 gm/ 1000ml infuse (untuk CRRT)
*obat-obatan yang sebaiknya tidak diberikan sebagai bolus dari kantong
infuse/ vial.

Tabel 6. Obat-obatan yang Memerlukan Pengecekan Ganda Jika Terdapat


Perubahan Kantong Infus

Obat-Obatan

Infuse benzodiazepine

Kemoterapi

Infuse opioid

Infuse epidural

Infuse kateter saraf perifer

Tabel 7. Obat-obatan yang Memerlukan Pengecekan Ganda jika Terdapat


Perubahan Dosis/Kecepatan Pemberian

Obat-Obatan
Epoprostenol
Kemoterapi
Treprostinil
Infuse Benzodiazepin
Infuse opioid, epidural
Heparin

4) Prosedur:
a) Untuk dosis inisial atau inisiasi infus baru:

29
 Petugas kesehatan mempersiapkan obat dan hal-
hal di bawah ini untuk menjalani pengecekan
ganda oleh petugas kedua:
- Obat-obatan pasien dengan label yang masih
intak
- Rekam medis pasien, catatan pemberian
medikasi pasien, atau resep/instruksi tertulis
dokter
- Obat yang hendak diberikan lengkap dengan
labelnya.
 Petugas kedua akan memastikan hal-hal berikut
ini:
- Obat telah disiapkan dan sesuai dengan
instruksi
- Perawat pasien harus memverifikasi bahwa
obat yang hendak diberikan telah sesuai
dengan instruksi dokter.
- Obat memenuhi 5 persyaratan
- Membaca label dengan suara lantang kepada
perawat untuk memverifikasi kelima
persyaratan ini:
 Obat tepat
 Dosis atau kecepatannya tepat, termasuk
pengecekan ganda mengenai perhitungan
dan verifikasi pompa infus
 Rute pemberian tepat
 Frekuensi/interval tepat
 Diberikan kepada pasien
 Pada beberapa kasus, harus tersedia juga
kemasan/vial obat untuk memastikan bahwa
obat yang disiapkan adalah obat yang benar,
misalnya : dosis insulin

30
 Ketika petugas kedua telah selesai melakukan
pengecekan ganda dan kedua petugas puas
bahwa obat telah sesuai, lakukanlah pencatatan
pada rekam medis/catatan pemberian medikasi
pasien
 Petugas kedua harus menulis ‘dicek oleh’ dan
diisi dengan nama pengecek
 Pengecekan ganda akan dilakukan sebelum obat
diberikan kepada pasien.
 Pastikan infus obat berada pada jalur/selang
yang benar dan lakukan pengecekan selang
infus mulai dari larutan/cairan infus, pompa,
hingga tempat insersi selang.
 Pastikan pompa infus terprogram dengan
kecepatan pemberian yang tepat, termasuk
ketepatan data berat badan pasien.
b) Untuk pengecekan saat pergantian jaga perawat
atau transfer pasien:
 Petugas kedua akan memastikan hal-hal berikut
ini:
- Obat yang diberikan harus memenuhi kelima
persyaratan
- Perawat berikutnya akan membaca label
dengan lantang kepada perawat sebelumnya
untuk memverifikasi kelima persyaratan
(seperti yang telah disebutkan diatas)
 Saat pengecekan telah selesai dan kedua
perawat yakin bahwa obat telah sesuai,
lakukanlah pencatatan pada bagian pengecekan
oleh perawat’ di rekam medis pasien.
5) Sesaat sebelum memberikan obat, perawat
mengecek nama pasien, memberitahukan kepada

31
pasien mengenai nama obat yang diberikan, dosis,
dan tujuannya (pasien dapat juga berperan sebagai
pengecek, jika menungkinkan).
6) Semua pemberian high alert medications intravena
dan bersifat kontinu harus diberikan melalui pompa
infus IV. Pengecualian dapat diberikan pada pasien
di Ruang Rawat Intensif Neonatus (Neonates
Intensive Care Unit – NICU) atau pada pasien risiko
tinggi mengalami kelebihan cairan (volume over-
load). Setiap selang infus harus diberikan label
dengan nama obat yang diberikan di ujung distal
selang pada pintu masuk pompa (untuk
mempermudah verifikasi dan meminimalkan
kesalahan).
7) Pada situasi emergensi, dimana pelabelan dan
prosedur pengecekan ganda dapat
menghambat/menunda penatalaksanaan dan
berdampak negatif terhadap pasien, perawat atau
dokter pertama-tama harus menentukan dan
memastikan bahwakondisi klinis pasien benar-benar
bersifat emergensi dan perlu ditatalaksana segera
sedemikian rupa sehingga pengecekan ganda dapat
ditunda. Petugas yang memberikan obat harus
menyebutkan dengan lantang semua terapi obat yang
diberikan sebelum memberikannya kepada pasien.
8) Obat yang tidak digunakan dikembalikan kepada
farmasi/apotek, dan dilakukan peninjauan ulang oleh
ahli farmasi atau apoteker apakah terjadi kesalahan
obat yang belum diberikan.
9) Dosis ekstra yang digunakan ditinjau ulang oleh
apoteker untuk mengetahui indikasi penggunaan
dosis ekstra

32
3.2.2. Jenis-Jenis High Alert Medication
Beberapa jenis obat yang termasuk High Alert medication:
1) Alkaloid Vinca (Vincristine, Vinblastine, Vinorelbine)
a) Semua dosis vinkristin dan vinblastin disiapkan dan disimpan
dalam larutan 10ml NaCl 0,9% (injeksi).
b) Vinorelbine disiapkan dan disimpan dalam larutan 20ml NaCl
0,9% (injeksi).
c) Spuit harus diberi label dengan peringatan:

 Fatal jika diberikan intratekal.

 Hanya untuk penggunaan IV.

 Perlu pengecekan ganda.

d) Setiap spuit harus disertai tutup dan harus tetap intak hingga
waktu pemberian obat tiba.
2) Pemberian obat melalui intratekal
a) Lakukan pengecekan ganda setelah persiapan dosis obat
intratekal untuk memastikan obat dan pelabelan benar.
b) Pelabelan meliputi peringatan

 Perhatian : hanya untuk penggunaan intratekal.

 Perlu pengecekan ganda.

c) Obat-obatan kemoterapi intratekal akan disimpan dan


disiapkan dalam sediaan spuit 10 ml atau lebih kecil.

d) Tidak boleh ada obat-obatan sitotoksik lainnya di sebelah


tempat tidur pasien selama proses pemberian obat kemoterapi
intratekal.

e) Lakukan pengecekan ganda


3) Agonis Adrenergik IV (Epinefrin, Fenilefrin, Norepinefrin,
Isoproterenol)
a) Instruksi medikasi harus meliputi ‘kecepatan awal’.
b) Saat titrasi obat, haruslah meliputi parameternya

33
c) Konsentrasi standar untuk infuse kontinu:

 Epinefrin: 4 mg/250ml

 Norepinefrin: 8 mg/250ml

 Fenilefrin: 50 mg/250ml

d) Pada kondisi klinis di mana diperlukan konsentrasi infus yang


tidak sesuai standar, spuit atau botol infus harus diberi label
‘konsentrasi yang digunakan adalah adalah ….’

e) Gunakan monitor kardiovaskular pada semua pasien dengan


pemasangan vena sentral.
4) Antagonis Adrenergic (Propanolol, Esmolol, Metoprolol,
Labetalol)
a) Konsentrasi standar esmolol :

 Vial 100 mg/10ml

 Ampul 2,5 g/10ml


5) Dopamine dan Dobutamin
a) Sering terjadi kesalahan berupa obat tertukar karena namanya
yang mirip, konsentrasi yang mirip, dan indikasinya yang
serupa. Gunakan label yang dapat membedakan nama obat
(misalnya: DOBUTamin, DOPamin)
b) Gunakan konsentrasi standar

c) Beri label pada pompa dan botol infus berupa ‘nama obat dan
dosisnya’
6) Kalsium Intravena (sebagai gluceptate, gluconate, atau chloride)
a) CaCl tidak boleh diberikan melalui IM karena bersifat sangat
iritatif terhadap jaringan
b) Faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam
darah adalah kadar fosfor serum dan albumin serum.
c) Efek samping yang dapat terjadi:

 Interaksi obat dengan digoksin (injeksi cepat kalsium dapat

34
menyebabkan bradiaritmia, terutama pada pasien yang
mengkonsumsi digoksin).
 Antagonis terhadap CCB (calcium-channel blocker) dan
peningkatan tekanan darah.
 Hipokalsemia atau hiperkalsemia akibat pemantauan kadar
kalsium yang tidak efisien.
 Rasio kalsium-fosfor yang tidak tepat dalam larutan IV dan
menyebabkan presipitasi dan kerusakan organ.
 Nekrosis jaringan akibat ekstravasasi kalsium klorida.
d) Instruksikan pemberian kalsium dalam satuan milligram.
e) Lakukan pengecekan ganda.
7) Agen Kemoterapi (intravena, intraperitoneal, intraarterial,
intrahepatik, dan intrapleural)
a) Dalam meresepkan obat kemoterapi, perlu dilakukan sertifikasi
dan verifikasi secara tepat sebelum meresepkan dan
memberikan obat.
b) Instruksi kemoterapi harus ditulis di ‘formulir instruksi
kemoterapi’ dan ditandatangani oleh spesialis onkologi.
c) Tidak diperbolehkan memberikan instruksi obat kemoterapi
hanya dalam bentuk verbal (harus tertulis)
d) Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan
menggunakan singkatan.
e) Jangan menggunakan pompa IV jika hanya perlu dosis bolus.

f) Kapanpun memungkinkan, gunakan instruksi yang dicetak


(print) dalam meresepkan obat.

g) Saat meresepkan obat kemoterapi IV, instruksi harus tertulis


dengan dosis individual, bukan jumlah total obat yang
diberikan sepanjang program terapi ini.
8) Infus kontinu Heparin, Lepirudin, Argatroban, Warfarin IV
a) Protokol standar indikasi adalah untuk thrombosis vena dalam
(Deep Vein Thrombosis – DVT), sakit jantung, stroke, dan

35
ultra-filtrasi.
b) Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan
menggunakan singkatan.
c) Standar konsentrasi obat untuk infuse kontinu:

 Heparin: 25.000 unit/500ml dekstrosa 5% (setara dengan 50


unit/ml)

 Iepirudin: 50 mg/250ml dan 100 mg/250ml

 Argatroban: 250 mg/250ml

d) Gunakan pompa infus.

e) Lakukan pengecekan ganda.

f) Berikan stiker atau label pada vial heparin dan lakukan


pengecekan ganda terhadap adanya perubahan kecepatan
pemberian.
g) Untuk pemberian bolus, berikan dengan spuit (daripada
memodifikasi kecepatan infus).
h) Obat-obatan harus diawasi dan dipantau.
i) Warfarin harus diinstruksikan secara harian berdasarkan pada
nilai INR / PT harian.
9) Insulin IV
a) Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan
menggunakan singkatan.

b) Infus insulin : konsentrasi standar = 1 unit/ml, berikan label


‘high alert’ , ikuti protokol standar ICU
10) Konsentrat elektrolit: injeksi NaCl > 0,9% dan injeksi Kalium
(klorida, asetat, dan fosfat) ≥ 0,4 Eq/ml10
a) Jika KCl diinjeksi terlalu cepat (misalnya pada kecepatan
melebihi 10 mEq/jam) atau dengan dosis yang terlalu tinggi,
dapat menyebabkan henti jantung.
b) KCl tidak boleh diberikan sebagai IV push/bolus.

36
c) Hanya disimpan di instalasi farmasi, ICU, ICCU, kamar
bersalin dan kamar operasi, khusus KCl hanya boleh disimpan
di instalasi farmasi.
d) Standar konsentrasi pemberian infus NaCl: maksimal 3%
dalam 500ml.

e) Berikan label pada botol infus: ‘larutan natrium hipertonik 3%’


(Tulisan berwarna merah).
f) Protokol untuk KCl

 Indikasi infus KCl.

 Kecepatan maksimal infus.

 Konsentrasi maksimal yang masih diperbolehkan.

 Panduan mengenai kapan diperlukannya monitor


kardiovaskular .

 Penentuan bahwa semua infus KCl harus diberikan via


pompa.

 Larangan untuk memberikan larutan KCl multipel secara


berbarengan (misalnya: tidak boleh memberikan KCl IV
sementara pasien sedang mendapat infus KCl di jalur IV
lainnya).

 Diperbolehkan untuk melakukan substitusi dari KCl oral


menjadi KCl IV, jika diperlukan lakukan pengecekan
ganda.
11) Infus narkose/opiat, termasuk infus narkose epidural
a) Opiate dan substansi lainnya harus disimpan dalam lemari
penyimpanan yang terkunci di apotik / unit farmasi dan di
ruang perawatan pasien.
b) Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print)
sebaiknya tersedia dalam meresepkan obat.
c) Berikan label high alert untuk infus kontinu dengan

37
konsentrasi non-standar yang diberikan /diantarkan ke unit
rawat, jika dperlukan sewaktu-waktu.
d) Konsentrasi standar:

 Morfin: 1 mg/ml

 Meperidin: 10 mg/ml

 Hidromorfin: 0,2 mg/ml (lima kali lebih poten


dibandingkan morfin)

 Fentanil (penggunaan ICU): 10 mcg/ml

e) Konsentrasi tinggi: (berikan label ‘konsentrasi tinggi’)

 Morfin: 5 mg/ml

 Hidromorfin: 1 mg/ml (lima kali lebih poten dibandingkan


morfin)

 Fentanil (penggunaan ICU): 50 mcg/ml

f) Instruksi penggunaan narkose harus mengikuti Kebijakan


Titrasi.

g) Pastikan tersedia nalokson atau sejenisnya di semua area yang


terdapat kemungkinan menggunakan morfin.
h) Tanyakan kepada semua pasien yang menerima opiate
mengenai riwayat alergi.
i) Hanya gunakan nama generic.

j) Jalur pemberian epidural:

 Semua pemberian infus narkose / opiate harus diberikan


dengan pompa infus yang terprogram dan diberikan label pada
alat pompa.
 Gunakan tabung infus yang spesifik (misalnya: wana: kuning
bergaris) tanpa portal injeksi.
 Berikan label pada ujung distal selang infus epidural dan

38
selang infus IV untuk membedakan.
k) Jika diperlukan perubahan dosis, hubungi dokter yang
bertanggungjawab.
l) Lakukan pengecekan ganda.
12) Agen sedasi Iv (Lorazepam, Midazolam, Propofol)
a) Setiap infus obat sedasi kontinu memiliki standar dosis, yaitu:
 Lorazepam: 1 mg/ml
 Midazolam: 1 mg/ml, efek puncak: 5-10 menit
 Propofol: 10 mg/ml
b) Lakukan monitor selama pemberian obat (oksimetri denyut,
tanda vital, tersedia peralatan resusitasi).
13) Infus Magnesium Sulfat
a) Tergolong sebagai high alert medications pada pemberian
konsentrasi melebihi standar, yaitu > 40 mg/ml dalam larutan
100 ml (4 g dalam 100 ml larutan isotonic / normal saline).
b) Perlu pengecekan ganda (perhitungan dosis, persiapan dosis,
pengaturan pompa infus).
14) Infus Alteplase (tPA, Activase) IV
a) Semua infus alteplase yang digunakan di rumah sakit harus
disiapkan oleh ahli farmasi.

b) Untuk penggunaan dalam kondisi emergensi, saat ahli


farmasi tidak ada di tempat untuk mempersiapkan obat, 1
sediaan alteplase akan disimpan di Instalasi Gawat Darurat
(IGD). Saat obat ini hendak digunakan, lakukanlah pencatatan
yang sesuai dan lengkap berisi identifikasi pasien dan alasan /
indikasi pemberian obat. Pencatatan ini harus ditransmisikan
ke farmasi / apotek sebelum dosis obat berikutnya diberikan.
c) Siapkan alteplase dengan dosis spesifik untuk setiap pasien.

d) Tidak diperbolehkan adanya obat ekstra / berlebih di container


obat final yang akan diberikan kepada pasien (contohnya:
hanya obat dengan dosis spesifik dan tepat yang diletakkan di
container obat final).

39
e) Beri label pada setiap dosis obat yang digunakan (di spuit dan
container infus), dan harus meliputi minimal:
 Nama pasien

 Nomor rekam medis pasien

 Lokasi pasien

 Nama generic dan paten obat yang digunakan

 Konsentrasi obat yang dinyatakan dalam mg/ml

 Kuantitas total obat / volume total larutan yang terkandung


di dalam sediaan
 Tanggal kadaluarsa obat
15) Injeksi Tenecteplase IV
a) Pada tempat penyimpanan obat, berikan label yang jelas, untuk
dapat membedakan dengan alteplase dan meminimalisasi
kemungkinan obat tertukar.
b) Lakukan pengecekan ganda.
16) Agen blok neuromuscular (Suksinilkolin, rokuronium,
vekuronium, atrakurium, pankuronium)
a) Harus disimpan di area khusus dan spesifik, seperti: kamar
operasi, Ruang Rawat Intensif (Pediatric Intensive Care
Unit/Neonates Intensive Care Unit / Intensive Care Unit),
IGD, Cath Lab.
b) Berikan label yang terlihat jelas dan dapat dibedakan dengan
obat-obatan lainnya. Farmasi akan memberikan label pada
semua vial untuk penyimpanan obat di luar kamar operasi.
c) Penyimpanan harus dipisahkan dari obat-obatan lainnya,
misalnya dengan kotak berwarna, penyekatan, dan sebagainya.
d) Semua infus agen blok neuromuscular harus memiliki label
yang bertuliskan:
 Peringatan: agen paralisis
 Dapat menyebabkan henti napas

40
e) Lakukan pengecekan ganda.

f) Untuk setiap container obat baru yang disediakan oleh farmasi


(misalnya: vial, spuit, dan sebagainya), pengecekan ganda
harus dicatat oleh kedua petugas di rekam medis pasien.
g) Catatlah jika ada perubahan instruksi, termasuk perubahan
kecepatan infus dan pengaturan pompa infuse.
h) Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print)
sebaiknya tersedia. Instruksi juga harus menyatakan ‘Pasien
harus terpasang ventilator’.
i) Jangan pernah menganggap obat-obatan ini sebagai ‘relaksan’.
j) Harus dihentikan pemberiannya pada pasien yang di-ekstubasi
dan tidak menggunakan ventilator lagi.
17) Obat-obatan inotropik IV (Digoksin, Milrinone)
a) Obat-obatan ini memiliki rentang terapeutik yang sempit dan
memiliki sejumlah interaksi obat.
b) Pasien-pasien yang harus mendapatkan pengawasan ekstra
adalah: lansia (geriatric) yang mendapat dosis tinggi obat
inotropik dan juga mengkonsumsi quinidine.

c) Dalam penggunaan obat, berikan edukasi kepada pasien


mengenai pentingnya kepatuhan pasien dalam hal dosis,
perlunya pemeriksaan darah perifer secara rutin, dan tanda-
tanda peringatan akan terjadinya potensi overdosis.
d) Tingkatkan pemantauan pasien dengan memperbanyak
kunjungan dokter dan pemeriksaan laboratorium.
e) Lakukan pemeriksaan digoksin darah secara rutin.

f) Monitor penggunaan Digibind dan kembangkan suatu protokol


mengenai indikasi penggunaan Digibind.
18) Garam fosfat (Natrium dan Kalium)
a) Sebisa mungkin, berikan terapi pengganti fosfat melalui jalur
oral.

b) Berikan dalam bentuk natrium fostat, kapanpun

41
memungkinkan.

c) Pemberian kalium fosfat berdasarkan pada level / kadar


fosfat inorganic pasien dan faktor klinis lainnya.
d) Dosis normal kalium fosfat: tidak melebihi 0,32 mmol/kgBB
dalam 12 jam. Dosis dapat diulang hingga serum fosfat > 2
mg/dl.
e) Selalu berikan via pompa infuse.
3.3. Prosedur Terkait Pemberian Obat atau Cairan
3.3.1. Pemberian Obat
Obat merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses
penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan dan juga pencegahan
terhadap suatu penyakit. Penentuan obat untuk pasien adalah
wewenang dari dokter, tetapi para perawat dituntut untuk turut
bertanggung jawab dalam pengelolaan obat tersebut. Mulai dari
memesan obat sesuai order dokter, menyimpan dan meracik obat
sesuai order hingga memberikan obat kepada pasien. Memastikan
bahwa obat tersebut aman bagi pasien dan mengawasi akan
terjadinya efek samping dari pemberian obat tersebut pada pasien.
Karena hal tersebut maka perawat dalam menjalankan perannya
harus dibekali dengan ilmu keperawatan sesuai UU No. 23 th.
1992 pasal 32 ayat 3.
Dalam pemberian obat kepada pasien yang aman perawat
perlu memperhatikan lima tepat (five rights) yang kemudian
dikenal dengan istilah lima benar oleh perawat. Istilah lima benar
menurut Tambayong yaitu : pasien yang benar, obat yang benar,
dosis yang benar, cara/rute pemberian yang benar dan waktu yang
benar. Persiapan dan pemberian obat harus dilakukan dengan
akurat oleh perawat. Perawat menggunakan lima benar pemberian
obat untuk menjamin pemberian obat yang aman (benar obat, benar
dosis, benar klien, benar rute pemberian, dan benar waktu).
Dewasa ini prinsip tersebut mulai ditinggalkan setelah
munculnya prinsip 6 benar dalam pemberian obat yang dianggap

42
lebih tepat untuk perawat. Joyce 1996 menyebutkan prinsip enam
benar yaitu : 1) klien yang benar, 2) obat yang benar, 3) dosis yang
benar, 4) waktu yang benar, 5) rute yang benar dan ditambah
dengan 6) dokumentasi yang benar. Six Rights Of medication are :
Right medication, Right dose, Right time, Right role , Right client
and Right documentation.
Hal ini diperlukan pleh perawat sebagai pertanggunggugatan
secara legal tindakan yang dilakukannya. Mengingat di ruang
rawat inap seorang perawat harus memberikan berbagai macam
obat kepada beberapa pasien yang berbeda.
Berdasarkan penelitian dari Auburn University di 36 rumah
sakit dan nursing home di Colorado dan Georgia, USA pada tahun
2002 dari 3216 jenis pemberian obat 43 % diberikan pada waktu
yang salah , 30 % tidak diberikan, 17 % diberikandengan dosis
yang salah , dan 4 % diberikan obat yang salah. Yang dilakukan
oleh Institute of medicine error pada tahun 1999 yaitu kesalahan
medis telah menyebabkan lebih dari satu juta cedera dan 98. 000
kematian dalam setahun. Data yang didapat JCHO juga
menunjukkan bahwa 44.000 dari 98.000 kematian yang terjadi di
rumah sakit setiap tahun disebabkan oleh kesalahan medis.
 Tindakan – tindakan dalam komponen prinsip enam tepat:
1) Tepat Obat

a) Menegecek program terapi pengobatan dari dokter


b) Menanyakan ada tidaknya alergi obat
c) Menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah
memberikan obat
d) Mengecek label obat 3 kali (saat melihat kemasan, sebelum
menuangkan, dan setelah menuangkan obat) sebelum
memberikan obat
e) Mengetahui interaksi obat
f) Mengetahui efek samping obat
g) Hanya memberikan obat yang disiapkan sendiri

43
2) Tepat Dosis

a) Mengecek program terapi pengobatan dari dokter


b) Mengecek hasil hitungan dosis dengan perawat lain (double
check)
c) Mencampur / mengoplos obat sesuai petunjuk panda label /
kemasan obat
3) Tepat Waktu

a) Mengecek program terapi pengobatan dari dokter


b) Mengecek tanggal kadaluarsa obat
c) Memberikan obat dalam rentang 30 menit sebelum sampai 30
menit setelah waktu yang diprogramkan
4) Tepat Pasien

a) Mengecek program terapi pengobatan dari dokter


b) Memanggil nama pasien yang akan diberikan obat
c) Mengecek identitas pasien pada papan / kardeks di tempat
tidur pasien yang akan diberikan obat
5) Tepat Rute

a) Mengecek program terapi pengobatan dari dokter


b) Mengecek cara pemberian pada label / kemasan obat
c) Pemberian per oral : mengecek kemampuan menelan,
menunggui pasien sampai meminum obatnya
d) Pemberian melalui intramuskular : tidak memberikan obat >5
cc pada satu lokasi suntikan
6) Tepat Dokumentasi

a) Mengecek program terapi pengobatan dari dokter


b) Mencatat nama pasien , nama obat, dosis, cara dan waktu
pemberian obat
c) Mencantumkan nama/ inisial dan paraf
d) Mencatat keluhan pasien
e) Mencatat penolakan pasien

44
f) Mencatat jumlah cairan yang digunakan untuk melarutkan
obat ( pada pasien yang memerlukan pembatasan cairan)
g) Mencatat segera setelah memberikan obat
 Universal precaution
1) Mencuci tangan sebelum dan sesudah memberikan obat dan
cairan
2) Menggunakan sarung tangan ketika memberikan obat dan
cairan secara parenteral
3) Membuang jarum suntik bekas pada tempat khusus dalam
keadaan terbuka
 Adapun peran perawat dalam pengobatan yaitu:
1) Melaksanakan pemberian obat kepada pasien sesuai program
terapi dengan menerapkan prinsip 6 benar ( klien, obat, dosis,
cara, waktu dan dokumentasi )
2) Mengelola penempatan, penyimpanan dan pemeliharaan dan
administrasi obat di ruangan agar selalu tersedia, siap pakai,
tidak rusak, mudah ditemukan dan tidak kadaluarsa.
3) Memberikan penyuluhan berkaitan dengan obat yang
digunakan meliputi khasiat obat, makanan yang boleh selama
terapi, ESO dan cara mengatasi kepatuhan obat, dampak
ketidakpatuhan dan penghentian obat
4) Mengamati dan mencatat efek samping, efek terapi, efek toksis
dari pengalaman klinis beberapa pasien selama menggunakan
obat untuk bahan masukan dan laporan.
Beberapa peran perawat dalam memberikan obat yaitu peran
dalam mendukung keefektifan obat, mengobservasi efek samping
obat, menyiapkan menyimpan dan administrasi obat, melakukan
pendidikan kesehatan tentang obat.
3.3.2. Pemberian Cairan
Cairan dan Elektrolit sangat berguna dalam mempertahankan
fungsi tubuh manusia. Kebutuhan Cairan dan Elektrolit bagi
manusia berbeda-beda sesuai dengan tingkat usia seseorang, seperti

45
bayi mempunyai kebutuhan cairan yang berbeda dengan usia
dewasa. Bayi mempunyai tingkat metabolisme air lebih tinggi
mengingat permukaan tubuh yang relatif luas dan persentase air
lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Kebutuhan cairan
sangat diperlukan tubuh dalam mengangkut zat makanan ke dalam
sel, sisa metabolisme, sebagai pelarut elektrolit dan non elektrolit,
memelihara suhu tubuh, mempermudah eliminasi dan membantu
pencernaan.
Disamping kebutuhan cairan, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, klorida dan fosfat) sangat penting untuk menjaga
keseimbangan asam-basa, konduksi saraf, kontraksi muskuler dan
osmolalitas. Kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan cairan dan
elektrolit dapat mempengaruhi sistem organ tubuh terutama ginjal.
Untuk mempertahankan kondisi cairan dan elektrolit dalam
keadaan seimbang, maka pemasukan harus cukup sesuai dengan
kebutuhan. Prosedur pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit
dalam pelayanan keperawatan dapat dilakukan melalui pemberian
per-oral atau intravena.
 Pemberian cairan melalui infus
Tindakan keperawatan ini dilakukan pada klien yang
memerlukan masukan cairan melalui intra vena (Infus). Pemberian
cairan infus dapat diberikan pada pasien yang mengalami
pengeluaran cairan atau nutrisi yang berat. Tindakan ini
memerlukan kesterilan mengingat langsung berhubungan dengan
pembuluh darah.
Pemberian cairn melalui infus dengan memasukkan kedalam
vena (pembuluh darah pasien) diantaranya vena lengan (vena
cefalica basilica dan mediana cubitti), atau vena yang ada di
kepala, seperti vena temporalis frontalis (khusus untuk anak-anak).
Selain pemberian infus pada pasien yang mengalami pengeluaran
cairan, juga dapat dilakukan pada pasien syock, intoksikasi berat,

46
pra dan pasca bedah, sebelum tranfusi darah, atau pasien yang
membutuhkan pengobatan tertentu.
 Tujuan prosedur pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit
1) Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
2) Infus pengobatan dan pemberian nutrisis
 Alat dan bahan prosedur pemenuhan kebutuhan cairan
1) Standart infus
2) Set Infus (Infus Set)
3) Cairan infus sesuai dengan program medik
4) Jarum infus dengan ukuran yang sesuai (Abbocath)
5) Pengalas
6) Torniket
7) Kapas Alkohol
8) Plester
9) Gunting
10) Kasa steril
11) Betadine
12) Sarung tangan
 Prosedur kerja pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit
1) Jelaskan prosedur yang akan dikerjakan
2) Cuci tangan
3) Hubungkan cairan dan infus set dengan menusukkan ke
bagian karet atau akses slang ke botol infus
4) Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan
hingga terisi sebagian dan buka klem slang hingga cairan
memenuhi slang dan udara slang keluar
5) Letakkan pengalas di bawah tempat (vena) yang akan
dilakukan penginfusan
6) Lakukan pembendungan dengan torniket (karet
pembendung) 10 - 20 cm di atas tempat penusukan dan
anjurkan pasien untuk menggenggam dengan gerakan
sirkuler (bila sadar)

47
7) Gunakan sarung tangan steril
8) Desinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan kapas alkohol
9) Lakukan penusukan pada vena dengan meletakkan ibu jari
di bagian bawah vena dan posisi jarum (abbocath)
mengarah keatas
10) Perhatikan keluarnya darah melalui jarum (abbocath /
sorflo). Apabila saat penusukan terjadi pengeluaran darah
melalui jarum (abbocath / sorflo) maka tarik keluar bagian
dalam (jarum) sambil meneruskan tususkan ke dalam vena
11) Setelah jarum infus bagian dalam dilepaskan / dikeluarkan,
tahan bagian atas vena dengan menekan menggunakan jari
tangan agar darah tidak keluar. Kemudian bagian infus di
hubungkan / disambungkan dengan slang infus
12) Buka pengatur tetesan dan atur kecepatan sesuai dengan
dosis yang di berikan
13) Lakukan fiksasi dengan kasa steril
14) Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta catat
ukuran jarum infus yang digunakan
15) Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan
16) Catat jenis cairan, letak infus, kecepatan aliran, ukuran dan
tipe jarum infus
3.4. Pesiapan Operasi
 Persiapan fisik sebelum operasi
Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum
operasi antara lain:
1) Status kesehatan fisik secara umum
Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan
pemeriksaan status kesehatan secara umum, meliputi identitas klien,
riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan
keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status
hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi
ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain.

48
Selain itu pasien harus istirahat yang cukup, karena dengan istirahat
dan tidur yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh
lebih rileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi,
tekanan darahnya dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan
memicu terjadinya haid lebih awal.
2) Status nutrisi
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan
dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein
darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala
bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi sebelum pembedahan untuk
memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi
gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai
komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih
lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga
luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang lama.
Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa
mengakibatkan kematian.
3) Keseimbangan cairan dan elektrolit
Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan
input dan output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus
berada dalam rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya
dilakuakan pemeriksaan diantaranya dalah kadar natrium serum
(normal : 135 – 145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5-5
mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70 – 1,50 mg/dl).
Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal.
Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan
ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka
operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami
gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, nefritis akut
maka operasi harus ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal.
Kecuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa.

49
4) Kebersihan lambung dan kolon
Lambung dan kolon harus di bersihkan terlebih dahulu.
Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah
pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung
dan kolon dengan tindakan enema/lavement. Lamanya puasa
berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai
pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon
adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke
paru-paru) dan menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan
sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan.
Khusus pada pasien yang menbutuhkan operasi CITO (segera),
seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas. Maka pengosongan
lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso
gastric tube).
5) Pencukuran daerah operasi
Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari
terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena
rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi
kuman dan juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan
perawatan luka. Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu
yang tidak memerlukan pencukuran sebelum operasi, misalnya pada
pasien luka incisi pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus
dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka pada
daerah yang dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk
mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman.
Daerah yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis
operasi dan daerah yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat
kelamin (pubis) dilakukan pencukuran jika yang dilakukan operasi
pada daerah sekitar perut dan paha. Misalnya : apendiktomi,
herniotomi, uretrolithiasis, operasi pemasangan plate pada fraktur
femur, hemoroidektomi. Selain terkait daerah pembedahan,

50
pencukuran pada lengan juga dilakukan pada pemasangan infus
sebelum pembedahan.
6) Personal hygine
Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan
operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman
dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada
pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri dan
membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika
pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara
mandiri maka perawat akan memberikan bantuan pemenuhan
kebutuhan personal hygiene.
7) Pengosongan kandung kemih
Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan
pemasangan kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan
kateterisasi juga diperluka untuk mengobservasi balance cairan.
8) Latihan pra operasi
Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum
operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam
menghadapi kondisi pasca operasi, seperti : nyeri daerah operasi,
batuk dan banyak lendir pada tenggorokan.
Kebijakan verifikasi pra-operasi:
Penyimpangan pada verifikasi (tepat lokasi, tepat prosedur, dan
tepat pasien operasi) akan dapat mengakibatkan pelaksanaan prosedur
yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah. Penyebabnya
karena miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya
tidak benar, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi
( site marking) , dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi.
Tepat prosedur operasi merupakan tahapan verifikasi yang harus
dilakukan sebelum tindakan pembedahan dengan tahapan antara lain
pertama menginformasikan kepada pasien dan keluar, kedua
mendokumentasikan semua prosedur operasi, ketiga verifikasi dokumen
informed consent , keempat mempersiapkan semua hasil laboratorium

51
yang relevan, kelima mengecek tanda lokasi operasi, keenam verifikasi
rencana operasi, ketujuh verifikasi prosedur operasi, kedelapan
verifikasi posisi yang benar pada meja operasi dan terakhir verifikasi
kesiapan alat (Panduan Penandaan Area Operasi, 2014). Dari hasil
penelitian disimpulkan semua pelaksanaan penandaan operasi 100%
tepat prosedur sesuai dengan SPO yang berlaku.
Tepat pasien merupakan prosedur pemastian ketepatan pasien
sebelum dilakukan tindakan pembedahan dengan tahapan pertama
melakukan identifikasi pasien (cross check), kedua mencocokkan
identitas tersebut dengan rekam medis, ketiga identifikasi pasien dan
prosedur, sebelum anestesi, dan sebelum dilakukan tindakan insisi dan
yang terakhir memasastikan kelengkapan pemeriksaan penunjang
(Panduan Penandaan Area Operasi, 2014). Dari hasil penelitian
disimpulkan semua pelaksanaan penandaan operasi 100% tepat pasien
sesuai dengan SPO yang berlaku.
Adanya penandaan yang tidak dilakukan dikarenakan operator
membutuhkan waktu yang lebih untuk komunikasi dengan pasien,
sehingga verifikasi yang dilakukan menjadi lebih lama, yang membuat
kerugian dalam hal waktu karena operator melakukan tugas lain seperti
visite pasien, praktek di poliklinik dan operasi pasien yang selanjutnya,
selain itu operator merasa waktu untuk visite kurang, dan dalam
melakukan penandaan menjadi tidak maksimal, atau bahkan tidak
melakukan penandaan sama sekali. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian bahwa jenis operasi yang dilakukan penandaan hanya 55%
sesuai dengan SPO.
Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat praoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien, dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia,
tepat, dan fungsional. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan
mencatat prosedur “Sebelum Insisi ( Time Out) ” tepat sebelum
dimulainya suatu prosedur atau tindakan pembedahan. Proses
penandaan operasi sendiri ada beberapa tahap yaitu:

52
1) Kapan pelaksanaan penandaan operasi Site marking dilaksanakan
sebelum pasien dipindahkan ke ruang operasi. Sebelum dilakukan
pembiusan, pasien dalam keadaan sadar dan dapat berkomunikasi.
Penandaan lokasi operasi (marking) perlumelibatkan pasien dan
dapat dikenali. Tandatersebut digunakan secara konsisten di
rumahsakit dan harus dibuat oleh operator yakni dokteryang akan
melakukan tindakan operasi,dilaksanakan saat pasien terjaga dan
sadar jikamemungkinkan, dan harus terlihat sampai saatakan
disayat.
2) Pelaksana penandaan operasi Yang berhak melakukan penandaan
lokasi operasi adalah dokter operator (pelaskana operasi), asisten
dokter operator (pelaskana operasi), pihak yang diberi
pendelegasian (perawat bedah) yang mengikuti proses operasi
(Panduan Penandaan Area Operasi, 2014).
3) Cara pelaksanaan penandaan operasi Dokter pelaksana operasi
(operator) bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan dan
informasi tentang penandaan operasi mengenai keuntungan dari
penandaan operasi agar tidak terjadi salah lokasi operasi. Dan
diperlukan partisipasi dari pasien dan keluarga pasien untuk bisa
memberikan informasi lengkap sebelum dilakukan operasi dengan
efektif untuk keakuratan lokasi operasi. Rumah sakit harus
menyediakan informasi, menjelaskan tujuan dan kepentingan yang
jelas baik lisan oleh dokter pelaksana operator, ataupun tertulis
yang nantinya akan dimasukkan ke dalam rekam medis kepada
pasien yang akan melakukan operasi mengenai tindakan dan
prosedur operasi. Untuk kasus operasi anak, orang tua yang akan
mendapatkan penjelasan mengenai prosedur operasi. Untuk pasien
dewasa dengan keterbatasan atau tidak dapat melakukan
komunikasi, keluarga terdekat yang bertanggung jawab.
4) Bentuk pelaksanaan penandaan operasi Penandaan lokasi ini bisa
menggunakan tanda centang namun bukan silang karena dapat
menimbulkan ambiguitas apakah tanda silang tersebut adalah

53
lokasi yang akan diinsisi atau yang tidak diinsisi. Selain penandaan
lokasi operasi, operator juga bisa memberikan inisial nama dokter
yang membuat penandaan lokasi tersebut. Atau dengan
menggunakan simbol “YES” untuk area yang akan di operasi.
Penandaan dilakukan sedekat mungkin dengan area yang akan
dioperasi. Kecuali hanya ada satu area yang akan dilakukan
operasi. Bentuk penandaan lokasi harus disepakati dari pihak
rumah sakit dengan pihak lain yang terkait sehingga secara
profesional dan kedisiplinan, prosedur bentuk penandaan operasi
dapat diikuti oleh semua pihak yang terkait.
5) Tempat pelaksanaan penandaan operasi Pada pembedahan yang
bersifat elektif, penandaan operasiharus dilakukan oleh dokter
operator di ruang bangsal. Untuk kasus pembedahan yang bersifat
emergency dapat dilakukan di kamar operasi, di ruang pre operasi
maupun di dalam kamar bedah.
6) Alat yang digunakan untuk penandaan operasi Penandaan
operasidilakukan dengan spidol khusus yang permanen dengan
melingkari daerahyang akan dibedah. Diharapkan penandaan
yangtelah dibuat tidak cepat pudar dikarenakan dalam proses
pembedahan nanti akan dilakukandesinfeksi yang memungkinkan
tanda marking menjadi pudar bahkan hilang.
7) Bagian mana yang perlu dilakukan penandaan operasidan yang
tidak perlu dilakukan penandaan operasi. Bagian organ mana yang
perlu dilakukan penandaan adalah semua tempat yang melibatkan
insisi kulit dan lateralisasi harus ditandai. Bila operasi dilakukan di
sekitar orifisium maka penandaan dilakukan disebelahnya dengan
tanda panah. Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus
termasuk sisi ( laterality ) , multiple struktur (jari tangan, jarikaki,
lesi), atau multiple level (tulang belakang). Bagian yang tidak perlu
dilakukan penandaan operasi yaitu Prosedur endoskopi, Kasus
emergency (darurat), Cateterisasi jantung, Prosedur yang
mendekati atau melalui garis midline tubuh : SC, histerektomi,

54
tyroidektomi, laparotomi, Pencabutan gigi atau operasi gigi,
Operasi pada membran mukosa, Perineum, Ovarium, Kulit yang
rusak atau luka infeksius, Operasi pada bayi dan neonatus atau
pada kelahiran prematur, Pada lokasi-lokasi intraorgan seperti mata
dan organ THT maka penandaan dilakukan pada daerah yang
mendekati organ berupa tanda panah.
 Surgical safety (persiapan anestesi)
Pemeriksaaan status fisik untuk dilakukan pembiuasan dilakukan
untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi
demi kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan
status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko
pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan
adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American
Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat
dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi
pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf. Berikut adalah tabel
pemeriksaan ASA.
ASA grade Status Fisik Mortality (%)
1) Tidak ada gangguan organik, biokimia dan psikiatri. Misal:
penderita dengan herinia ingunalis tanpa kelainan lain, orang tua
sehat, bayi muda yang sehat 0,0.
2) Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan diseababkan
oleh penyakit yang akan dibedah. Misal: penderita dengan obesitas,
penderita dengan bronkitis dan penderita dengan diabetes mellitus
ringan yang akan mengalami appendiktomi 0,4
3) Penyakit sistemik berat; misalnya penderita diabetes mellitus
dengan komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendisitis
akut. 4,5
4) Penyakit/gangguan sistemik berat yang menbahayakan jiwa yang
tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan, misalnya :
insufisiensi koroner atau infark miokard 25

55
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil, pembedahan
dilakukan sebagai pilihan terakhir. Misal: penderita syok berat karena
perdarahan akibat kehamilan di luar rahim pecah.
1) Before Anestesi
 Manajemen Anestesi:
a) Premedikasi
 Anxiolitik. Bila dibutuhkan dapat diberikan midazolam IV
 Profilaksis aspirasi. Penderita dengan kecemasan hebat,
obesitas, hernia hiatal atau penyakit lain yang dapat
meningkatkan risiko aspirasi dapat diberikan antacid, H2
bloker atau metocloperamid
b) Akses intravena. Dilakukan pemasangan jalur intravena.
Infus untuk jalan obat dan pemberian cairan.
c) Standar monitoring. Pemakaian monitoring standar sesuai
dengan standar minimal ruang operasi
d) Anestesi general.
 Induksi. Propofol umum diberikan untuk induksi karena
durasinya yang cepat, depresi reflex faring dan
menurunkan insiden PONV. Sevofluran juga dapat
digunakan untuk induksi inhalasi.
 Pengelolaan jalan napas. Pemilihan untuk penggunaan
anestesi umum dengan masker, LMA atau intubasi
tergantung oleh masing–masing penderita dan prosedur
tindakan.
Obat anestesi inhalasi dengan atau tanpa N2O dapat diberikan.
Penggunaan propofol, fentanyl, alfentanil atau remifentanil dapat
juga diberikan bersamaan. Penggunaan anestesi lokal dapat
diberikan untuk suplemen tambahan sebagai analgesik post operatif.

 Anestesi pada Pre Eklamsi.

56
Tujuan persiapan anestesi: Mencegah/mengendalikan kejang,
mencegah asfiksia, memperbaiki perfusi organ, mengendalikan
tekanan darah dan mengendalikan sistim koagulasi.
Masalah etika yang harus dipertimbangkan:
1) Bila kehamilan belum viable maka kehamilan dipertahankan
sampai viable. Bila tidak mungkin karena menjadi Preeklampsia
berat atau Eklampsia maka harus terminasi.
2) Bila kehamilan> 34 minggu. Maka kendalikan faktor tidak
fisiologis dan lahirkan bayi dengan normal. Pertimbangan untuk
terminasi kehamilan: Pada keadaan berikut ini adalah indikasi
untuk terminasi kehamilan: fetal distress, preeklampsia berat
semakin berat, tekanan darah tinggi sekali, thrombositopeni,
gangguan fungsi hepar dan ginjal; atau terjadi eklampsia.
Optimalisasi pasien pre-operasi:
- Menormalkan volume darah
- Memperbaiki fungsi ginjal dan mengendalikan hipertensi
- Memberikan obat antikonvulsi dan
- Mengobati komplikasi yang muncul.
Bila pasien mengalami PEB maka dalam 24 jam harus persalinan.
Bila sudah menjadi eklampsia maka dalam waktu 12 jam harus
persalinan.
Monitor intra-operasi adalah : Tekanan Darah, Denyut Jantung,
Oksimetri, EKG, CVP (bila tersedia), produksi urine.
Teknik anestesi:
Pemilihan teknik anestesi secara medik adalah disesuaikan kondisi
yang dialami pasien, sehingga dipertimbangkan antara risiko dan
keuntungannya. Namun demikian harus didengar pula keinginan
pasien yang akan memberi informed consent untuk tindakan medik.
a) Anestesi regional
Teknik anestesi regional yang di rekomendasikan anestesi
epidural, tetapi dapat juga dilakukan sub-arachnoid anestesi bila
tidak ada kontra-indikasi.

57
b) Anestesi umum
o Masalah
Yang dihadapi pada anestesi umum adalah gejolak
hemodinamik waktu intubasi, risiko aspirasi, mungkin sulit
intubasi karena edema laring, memakai prinsip neuro-anestesi
untuk neuroproteksi, menjamin sirkulasi uteroplasenta, dan
efek penggunaan MgSO4.
o Teknik anestesi umum
Pemilihan teknik anestesi secara medik adalah disesuaikan
kondisi yang dialami pasien, sehingga dipertimbangkan
antara risiko dan keuntungannya. Namun demikian harus
didengar pula keinginan pasien yang akan memberikan
informed consent. Ketika keputusan untuk melakukan
anestesi umum dibuat, maka dokter anestesi dihadapkan pada
3 tantangan utama, yaitu potensi kesulitan intubasi, gejolak
hemodinamik waktu intubasi dan ekstubasi, dan effek
MgSO4 pada transmissi neromuskuler dan tonus uterus.
Rekomendasi teknik anestesi umum pada preeklampsia berat:
- Pasang akses kanula intravena besar untuk antisipasi
perdarahan postpartum.
- Persiapan kesulitan intubasi
- Bila mungkin diberikan antagonis reseptot H2 dan
metoclopramid iv 30-60 menit sebelum induksi, dan
antasida non-partikel per-oral 30 menit sebelum induksi
- Oksigenisasi pre anestesi.
- Tekanan Darah dikendalikan sampai 140/90 mmHg.
Pilihan obat: nifedipine, nikardipine, sodium nitroprusside
(SNP) atau infus nitrogliserin. Hati-hati SNP atau NTG,
karena berefek preload, sedangkan pasien denga preload
terbatas.
- Monitor denyut jantung.

58
- RSI (rapid sequence induction) dengan propofol dan
pelumpuh otot sebelum laringoskopi.
- Pemeliharaan: agen volatil atau propofol iv dan O2 100%
sebelum bayi lahir. Setelah bayi lahir agen volatil atau
propofol diturunkan untuk mengurangi risiko atonia dan
berikan opioid dengan/ atau tanpa benzodiazepine. Tidak
menambah pelumpuh otot.
- Pada akhir operasi, reverse pelumpuh otot dan dapat
diberikan lagi obat (misal lidocain 2 mg/kgBB) untuk
mencegah hipertensi akibat ekstubasi. Pasien yang tidak
segera pulih kesadarannya masuk ICU dengan terintubasi.
Bila kesadaran tidak segera pulih segera evaluasi
nerologis. Pada ibu preeklampsia berat meskipun bayi
sudah lahir masih ada risiko edema pulmonum, hipertensi,
stroke, thromboemboli, sumbatan jalan nafas, kejang,
bahkan eklampsia dan sindroma HELP.
- Pengobatan Post-partum Pada periode postpartum dapat
dilakukan intrathecal atau epidural opioids (bila sudah
terpasang), Diberikan Analgesi Kendali Pasien (PCA)
morphin atau fentanyl (bila anestesi umum). Untuk
mencegah terjadinya kejang maka diberikan MgSO4
postpartum 12-24 jam. Pada postpartum tekanan darah dan
balans cairan harus dikendalikan. Prognosis terjadinya
morbiditi dan mortaliti tergantung pada umur kehamilan
saat mulai preeklampsia. Prognosis diinformasikan kepada
keluarga pasien sebelum tindakan medik dikerjakan.
2) Before Isisi
Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang
penting dalam pelayanan kesehatan. Tindakan pembedahan
merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi.
Namun demikian, pembedahan yang dilakukan juga dapat

59
menimbulkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawa (WHO,
2009). Data World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa selama lebih dari satu abad perawatan bedah telah menjadi
komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia.
Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di
seluruh dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al.
2009).
Penelitian di 56 negara dari 192 negara anggota WHO tahun
2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap
tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008).
Berbagai penelitian menunjukkan komplikasi yang terjadi setelah
pembedahan. Data WHO menunjukkan komplikasi utama
pembedahan adalah kecacatan dan rawat inap yang berkepanjangan
3-16% pasien bedah terjadi di negara-negara berkembang. Secara
global angka kematian kasar berbagai operasi sebesar 0,2-10%.
Diperkirakan hingga 50% dari komplikasi dan kematian dapat
dicegah di negara berkembang jika standar dasar tertentu perawatan
diikuti (WHO, 2009).
Kejadian luka traumatis, kanker dan penyakit kardiovaskular
terus meningkat. WHO memprediksi bahwa dampak dari intervensi
bedah pada sistem kesehatan masyarakat akan juga terus tumbuh.
Untuk alasan ini, WHO telah melakukan inisiatif untuk upaya
keselamatan bedah. Dunia Aliansi untuk keselamatan pasien mulai
bekerja pada Januari 2007 dan WHO mengidentifikasi tiga fase
operasi yaitu sebelum induksi anestesi ("sign in"), sebelum sayatan
kulit ("time out"), dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi
("sign out") (Cavoukian, 2009).
a) Fase Sign In
Fase sign In adalah fase sebelum induksi anestesi koordinator
secara verbal memeriksa apakah identitas pasien telah
dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang
akan dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah

60
diberikan, oksimeter pulse pada pasien berfungsi. Koordinator
dengan profesional anestesi mengkonfirmasi risiko pasien
apakah pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas,
reaksi alergi.
2) Fase Time Out
Fase Time Out adalah fase setiap anggota tim operasi
memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi
memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal.
Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim
mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan
operasi yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga
mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan
dalam 60 menit sebelumnya.
3) Fase sign out
Fase Sign Out adalah fase tim bedah akan meninjau operasi
yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan
spons, penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen,
kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani. Langkah
akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan
memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta
pemulihan sebelum memindahkan pasien dari kamar operasi
(Surgery & Lives, 2008).
Kematian dan komplikasi akibat pembedahan dapat dicegah.
Salah satu pencegahannya dapat dilakukan dengan surgical safety
checklist. Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa
untuk memberikan pembedahan yang aman dan berkualitas pada
pasien. Surgical safety checklist merupakan alat komunikasi untuk
keselamatan pasien yang digunakan oleh tim profesional di ruang
operasi. Tim profesional terdiri dari perawat, dokter bedah, anestesi
dan lainnya. Tim bedah harus konsisten melakukan setiap item yang
dilakukan dalam pembedahan mulai dari the briefing phase, the time

61
out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap
risiko yang tidak diinginkan (Safety & Compliance, 2012).
3) Before Leaves Operating Room
a) Membersihkan lingkungan operasi
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait pembersihan lingkungan
operasi:
 Pembuangan sisa-sisa bekas operasi
- Sisa patologi manusia yang meliputi jaringan, organ, bagian
tubuh, dan cairan
- Darah dan komponen darah yang meliputi serum, plasma, dan
komponen darah
- Benda tajam
- Sisa-sisa alat atau benda yang terkontaminasi pasien
- Benda-benda tajam yang tidak terpakai
Ketika menangani sisa-sisa bekas operasi, petugas yang
bertugas mengumpulkan termasuk petugas kebersihan harus
memakai alat pelindung diri untunk mencegah pejana.
Setelah sisasisa tersebut terkumpul, harus ditranspor ke area
penyimpanan yang sesuai. Selama transpor harus diperhatikan
bahwa benda terkontaminasi tidak kontak dengan alat steril.
Untuk mencegah penyebaran infeksi, kereta pembawanya harus
dibersihkan dan didesinfeksi sesuai jadwal.
 Transportasi laundry terkontaminasi
Sebelum membersihkan ruangan, linen kotor harus diangkat
terlebih dahulu. Tekstil, linen, dankain terkontaminasi harus
dipindahkan dengan kontak seminimal mungkin dengan udara,
permukaan, dan personel dalam ruangan. Sebelum
memindahkan laundry dari permukaan,harus dipastikan benda
tajam dan barang non-laundry lainnya telah dipisahkan untuk
memastikan keamanan transportasi dan trauma benda tajam.
Dalam melipat linen, pastikan bagian terkontaminasi berada di
tengah / di bagian dalam sehingga bagian yang bersih berperan

62
sebagai barrier terhadap bagian yang kotor. Laundry
terkontaminasi ditempatkan dikontainer berwarna merah atau
yang bertandabiohazard . Laundry yang basah harusditempatkan
di kantong-kantong yang anti bocor. Dalam transportasi,
personel laundry tidak boleh memegang kantong berisi
laundryterkontaminasi dengan dengan tubuhnya atau meremas
kantongnya untuk mencegah tertusuk jarum atau benda tajam
lain yang tanpa sengaja tertinggal.
 Membersihkan area operasi
- Kamar operasi minimal harus dibersihkan setiap 24 jam bila
tidak ada kegiatan atau ruangan tidak dipakai
- Bila area terkontaminasi, maka kontaminasi harus
dibersihkan/diangkat terlebih dahulu baru area dibersihkan
dengan desin!ektan karena banyak kontaminan menginaktivasi
desinfektan
- Bila kontaminasi basah, luas, dan infeksius, maka harus
diletakkan kain yang bisa menyerap cairan dan desinfektan
dituang ke atas kain tersebut sampai semuanya basah
terendam. Dapat juga digunakan bubuk penyerap yang
memadatkan cairan
- Bahan desinfektan terhadap darah dan cairan tubuh yang
direkomendasikan adalah yang efektif terhadap virus hepatitis
B dan HIV, tuberkulosis, dan yang cocok untuk segala jenis
permukaan, misalnya berpori maupun non-pori
- Debu harus ditangani dengan menggunakan kain khusus debu
atau alat pel yang mencegah terbangnya debu. Untuk area yang
lebih tinggi dari bahu, petugas kebersihanharus menggunakan
alat yang khusus didesain untuk permukaan tinggi. Alat
pembersih debu tidak boleh digoyang-goyangkan karena spora
jamur bisa beterbangan di udara
- Untuk menghindari terpeleset atau tersandung, ada beberapa
hal yang harus diperhatikan:

63
Area yang licin harus ditutup untuk sementara untuk semua
karyawan, kecuali petugas kebersihan
Tutup pintu dan tempatkan tanda dilarang masuk
Mulai dari area yang paling bersih ke daerah yang paling
kotor
Gunakan wax atau alas bergerigi untuk menciptakan
permukaan anti slip
Pindahkan penghalang atau tanda-tanda dilarang masuk
hanya setelah lantai keringsempurna
Tim bedah harus menggunakan alas kaki anti slip
Keset harus tahan slip dan bila keset tersaturasi oleh cairan,
harus segera diganti
Pastikan kabel-kabel tidak melintang di tengah jalan. Kabel
harus dibundel sebaiknya di langit-langit jika
memungkinkan
Alat-alat dan monitor harus ditempatkan sedemikian rupa
sehingga akses jalan tidak terhalang dan lantai dapat terlihat
Pencahayaan harus diatur dengan baik agar dapat melihat
dengan jelas di dalam ruang operasi
b) Post operative care
 Mengkaji satus mental pasien
 Mengkaji status fisik pasien, dapat dilakukan dengan
memeriksa tanda vital, derajat nyeri,adanya pembengkakan,
fungsi respirasi, drainage luka, efek samping anestesi, atau
deep veinthrombosis
 Mengkaji obat-obatan yang dibutuhkan, hal ini meliputi obat-
obatan apa yang harus diteruskandari operasi, atau mana yang
harus distop atau obat-obat baru, termasuk darah dan
komponen-komponen darah yang diperlukan. Peresepan dan
pemberian obat-obatan tersebut harus dicatat dengan baik
sesuai urutannya, semua perintah verbal diulang kembali, dan

64
dilabel secara benar. Dapat dipikirkan peman!aatan teknologi
komputer untuk pendokumentasian maupun pengingat
 Mencegah infeksi &khususnya dari surgical site, kateter urin,
dan akses intravena
 Monitor ketat suhu tubuh dan kadar glukosa darah untuk
mengurangi risikoinfeksi postoperatif dari surgical site
 Gunakan kateter urin hanya bila diperlukan-kurangi waktu
penggunaan kateter urin, kateter harus sering diganti
secara berkala
 Gunakan teknik yang benar untuk insersi dan perawatan
 Catat semua penggunaan kateter urin
c) Pembuatan laporan operasi/tindakan bedah
 Laporan dibuat oleh dokter bedah / operator, baik tindakan
bedah dikamar oprasi maupun diluarkamar oprasi
 Laporan harus tersedia sebelum pasien meninggalkan ruang
pulih pasca anestesi / ruangtindakan
 Menggambarkan informasi terkait tindakan bedah, meliputi:
 Diagnosis pasca operasi / tindakan
 Nama dokter bedah dan asisten ? asisten
 Nama prosedur bedah
 Specimen bedah untuk pemeriksaan
 Catatan spesi!ik komplikasi atau tidak adanya komplikasi
selama operasi
 Jumlah kehilangan darah
 Tanggal, waktu, dan tanda tangan dokter yang
bertanggung jawab
 Laporan ditulis / dicatat pada lembar laporan opersi.
d) Sepuluh prinsip pelayanan bedah
 Tim bedah mengoperasi pasien yang benar pada lokasi tubuh
(situs) yang tepat

65
 Tim bedah menggunakan cara-cara yang tepat untuk mencegah
hal-hal yang membahayakanyang diakibatkan penggunaan
anestesi dalam melindungi pasien dari nyeri
 Tim bedah mengenali dan siap secara efektif menangani
terhadap keadaan-keadaan jalan napas atau fungsi respirasi
yang mengancam nyawa
 Tim bedah mengenali dan siap secara efektif menangani risiko
pasien kehilangan darahmasif
 Tim bedah menghindari mencetuskan reaksi alergi atau efek
samping obat di mana pasien telah diketahui memiliki risiko
 Tim bedah secara konsisten menggunakan cara-cara yang tepat
untuk meminimalisasi risiko infeksi di lokasi/lapangan operasi
 Tim bedah mencegah ketidaksengajaan meninggalkan kassa
atau instrumen bedah didalam luka operasi
 Tim bedah mengamankan dan mengidentifikasi secara akurat
semua spesimen bedah
 Tim bedah mengkomunikasikan secara efektif segala informasi
penting yang diperlukandemi keamanan penanganan operasi
 Rumah sakit dan sistem kesehatan menetapkan surveilans rutin
tentang surgical capacity,volume, dan results
 Penyebab kesalahan lokasi, prosedur dan pasien saat operasi
Salah lokasi, salah prosedur, pasien salah pada operasi adalah
sesuai yang mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit.
Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau
yang tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang atau tidak
melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi operasi (site marking) dan
tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Disamping itu
assessment pasien yang tidak adekuat, penelaahan catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar
anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan
tangan yang tidak terbaca dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor
konstribusi yang sering terjadi.

66
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan
pada tanda yang mudah dikenali. Tanda itu harus digunakan secara
konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator atau orang yang
akan melakukan tindakan, dilaksnakan pada saat pasien terjaga dan
sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat sampai akan disayat.
Penandaan lokasi operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi
(laterality), multivel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau multivel
level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi pra operatif adalah untuk:
1) Memverifikasi lokasi, prosedur dan pasien yang benar.
2) Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil
pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi lebel dengan baik dan
dipampang.
3) Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan / atau
implant yang dibutuhkan.
 Persiapan fisik setelah operasi
Latihan yang diberikan pada pasien setelah operasi antara lain:
1) Latihan nafas dalam
Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk
mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien
relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan
dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat
meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi
umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif
dan benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera
setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien.
Latihan nafas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
- Pasien tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk
(semifowler) dengan lutut ditekuk dan perut tidak boleh tegang.
- Letakkan tangan diatas perut, hirup udara sebanyak-banyaknya
dengan menggunakan hidung dalam kondisi mulut tertutup rapat.

67
- Tahan nafas beberapa saat (3-5 detik) kemudian secara perlahan-
lahan, udara dikeluarkan sedikit demi sedikit melalui mulut.
- Lakukan hal ini berulang kali (15 kali).
- Lakukan latihan dua kali sehari praopeartif.
2) Latihan batuk efektif
Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien
terutama klien yang mengalami operasi dengan anstesi general.
Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama
dalam kondisi teranstesi. Sehingga ketika sadar pasien akan
mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa
banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat
bermanfaat bagi pasien setalah operasi untuk mengeluarkan lendir
atau sekret tersebut.
Pasien dapat dilatih melakukan teknik batuk efektif dengan cara:
 Pasien condong ke depan dari posisi semifowler, jalinkan jari-
jari tangan dan letakkan melintang diatas incisi sebagai bebat
ketika batuk.
 Kemudian pasien nafas dalam seperti cara nafas dalam (3-5 kali)
 Segera lakukan batuk spontan, pastikan rongga pernafasan
terbuka dan tidak hanya batuk dengan mengadalkan kekuatan
tenggorokan saja karena bisa terjadi luka pada tenggorokan.
 Hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak
berbahaya terhadap incisi.
 Ulangi lagi sesuai kebutuhan.
 Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bisa
menambahkan dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan
handuk yang lembut untuk menahan daerah operasi dengan hati-
hati sehingga dapat mengurangi guncangan tubuh saat batuk.
3) Latihan gerak sendi
Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien
sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai

68
pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses
penyembuhan.
Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai pandangan yang
keliru tentang pergerakan pasien setalah operasi. Banyak pasien yang
tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek
atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas
keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak
maka pasien akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus)
sehingga pasien akan lebih cepat kentut/flatus. Keuntungan lain
adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan
dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus.
Status kesehatn fisik merupakan faktor yang sangat penting
bagi pasien yang akan mengalami pembedahan, keadaan umum yang
baik akan mendukungh dan mempengaruhi proses penyembuhan.
Sebaliknya, berbagai kondisi fisiologis dapat mempengaruhi proses
pembedahan. Demikian juga faktor usia/penuaan dapat
mengakibatkan komplikasi dan merupakan faktor resiko
pembedahan. Oleh karena itu sangatlah penting untuk
mempersiapkan fisik pasien sebelum dilakukan pembedahan/operasi.

Salah satu contoh untuk latihan ROM (Range of Motion), yaitu


latihan yang bertujuan untuk menggerakkan persendian seoptimal
dan seluas mungkin sesuai kemampuan seseorang (klien) yang tidak
memaksakan pergerakan sehingga tidak menimbulkan rasa nyeri
pada sendi yang digerakkan. Adanya pergerakan pada persendian
akan menyebabkan terjadinya peningkatan aliran darah ke dalam
kapsula sendi (Astrand, et al., 2003 ; Junquera, 1998).

Menurut Durstine et al., (2000) dalam Brown (2006), ada tiga


tujuan utama latihan ROM khususnya bagi yang mengalami
ketidakmampuan atau keterbatasan untuk berpartisipasi dalam
aktivitas fisik, yaitu memulihkan kondisi dari bedrest atau
keterbatasan aktivitas, mengoptimalkan fungsi fisik dan
meningkatkan kesehatan serta kesejahteraan.

Untuk melakukan ROM terdapat dua metode, yaitu metode


aktif dan pasif. Metode aktif yaitu dimana perawat hanya

69
mencontohkan gerakan dan kemudian diikuti oleh pasien secara
mandiri. Sedangkan metode pasif dilakukan oleh pasien dengan
mendapat bantuan dari perawat untuk melakukan gerakan ROM.
Berikut cara untuk melakukan ROM :

1) Gerakan pada leher


 Fleksi 45⁰ gerakan dagu menempel ke dada
 Ekstensi 45⁰ kembali ke posisi tegak (kepala tegak)
 Hiperekstensi 10⁰ menggerakkan kepala kearah belakang
 Rotasi 180⁰ memutar kepala sebanyak 4 kali putaran
 Fleksi lateral kanan 40-45⁰ dan fleksi lateral kiri 40-45⁰
memiringkan kepala menuju kedua bahu kiri dan kanan.

2) Gerakan pada Bahu


 Fleksi 180⁰ menaikkan lengan ke atas sejajar dengan kepala
 Ekstensi 180⁰ mengembalikan lengan ke posisi semula
 Hiperekstensi 45-60⁰ menggerakkan lengan kebelakang
 Abduksi 180⁰ lengan dalam keadaan lurus sejajar bahu lalu
gerakkan kearah kepala
 Adduksi 360⁰ lengan kembali ke posisi tubuh
 Rotasi internal 90⁰ tangan lurus sejajar bahu lalu gerakkan dari
bagian siku kearah kepala secara berulang
 Rotasi eksternal 90⁰ dan kearah bawah secara berulang

3) Gerakan pada siku


 Fleksi 150⁰ menggerakkan daerah siku mendekati lengan atas
 Ekstensi 150⁰ dan luruskan kembali

70
4) Gerakan pada lengan bawah
 Supinasi 70-90⁰ menggerakkan tangan dengan telapak tangan
diatas
 Pronasi 70-90⁰ menggerakkan tangan dengan telapak tangan
dibawah

5) Gerakan pada pergelangan tangan


 Fleksi 80-90⁰ menggerakkan pergelangan tangan kearah bawah
 Ekstensi 80-90⁰ menggerakkan tangan kembali lurus
 Hiperekstensi 89-90⁰ menggerakkan tangan kearah atas

6) Gerakan pada jari-jari tangan


 Fleksi 90⁰ tangan menggenggam
 Ekstensi 90⁰ membuka genggaman
 Hiperekstensi 30-60⁰ menggerakkan jari-jari kearah atas

71
 Abduksi 30⁰ meregangkan jari-jari tangan
 Adduksi 30⁰ merapatkan kembali jari-jari tangan

7) Gerakan pada ibu jari


 Fleksi 90⁰ menggenggam
 Ekstensi 90⁰ membuka genggaman
 Abduksi 30⁰ menjauhkan/meregangkan ibu jari
 Adduksi 30⁰ mendekatkan kembali ibu jari
 Oposisi mendekatkan ibu jari ke telapak tangan.

8) Gerakan pada pinggul


 Fleksi 90-120⁰ menggerakkan tungkai keatas
 Ekstensi 90-120⁰ meluruskan tungkai
 Hiperekstensi 30-50⁰ menggerakkan tungkai kebelakang
 Abduksi 30-50⁰ menggerakkan tungkai ke samping menjauhi
tubuh
 Adduksi 30-50⁰ merapatkan tungkai kembali mendekat ke
tubuh
 Rotasi internal 90⁰ memutar tungkai kearah dalam
 Rotasi eksternal 90⁰ memutar tungkai kearah luar.

72
9) Gerakan pada lutut
 Fleksi 120-130⁰ menggerakkan lutut kearah belakang
 Ekstensi 120-130⁰ menggerakkan lutut kembali keposisi
semula lurus.

10) Gerakan pada pergelangan kaki


 Dorso fleksi 20-30⁰ menggerakkan telapak kaki kearah atas
 Plantar fleksi 20-30⁰ menggerakkan telapak kaki kearah bawah
 Inversi/supinasi 10⁰ memutar/mengarahkan telapak kaki kearah
samping dalam
 Eversi/Pronasi 10⁰ memutar/mengarahkan telapak kaki kearah
samping luar

11) Gerakan pada jari kaki


 Fleksi 30-60⁰ menekuk jari-jari kaki kearah bawah
 Ekstensi 30-60⁰ meluruskan kembali jari-jari kaki
 Abduksi 15⁰ mereganggkan jari-jari kaki
 Adduksi 15⁰ merapatkan kembali jari-jari kaki

73
3.5. Persiapan Psikologis
Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya
dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau
labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan
merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integeritas seseorang
yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis
(Barbara C. Long).
-Contoh perubahan fisiologis yang muncul akibat
kecemasan/ketakutan antara lain:
1) Pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan
sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan
darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan.
2) Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat
mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi
terpaksa harus ditunda
Setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda dalam
menghadapi pengalaman operasi sehingga akan memberikan respon yang
berbeda pula, akan tetapi sesungguhnya perasaan takut dan cemas selalu
dialami setiap orang dalam menghadapi pembedahan. Berbagai alasan
yang dapat menyebabkan ketakutan/kecemasan pasien dalam
menghadapi pembedahan antara lain:
a) Takut nyeri setelah pembedahan
b) Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak
berfungsi normal (body image)
c) Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti)

74
d) Takut/cemas mengalami kondisi yang dama dengan orang lan yang
mempunyai penyakit yang sama.
e) Takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan
petugas.
f) Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi.
g) Takut operasi gagal.
Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat
dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti:
meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakan-gerakan tangan
yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menayakan
pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering berkemih. Perawat
perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien
dalam menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal
yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah
ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat
perkembangan pasien, faktor pendukung/support system.
Untuk mengurangi dan mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat
menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan operasi, antara lain:
 Pengalaman operasi sebelumnya
 Pengertian pasien tentang tujuan/alasan tindakan operasi
 Pengetahuan pasien tentang persiapan operasi baik fisik maupun
penunjang.
 Pengetahuan pasien tentang situasi/kondisi kamar operasi dan
petugas kamar operasi.
 Pengetahuan pasien tentang prosedur (pre, intra, post operasi)
 Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum
operasi dan harus dijalankan setalah operasi, seperti : latihan nafas
dalam, batuk efektif, ROM, dll.
Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang
pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya
pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke

75
rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda
operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu.
Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk
diperhatikan dan didukung oleh keluarga/orang terdekat pasien.
Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan
perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung
persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien
sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan kata-kata
yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk
menjalani operasi.
Peranan perawat dalam memberikan dukungan mental dapat
dilakukan dengan berbagai cara:
1) Membantu pasien mengetahui tentang tindakan-tindakan yang
dialami pasien sebelum operasi, memberikan informasi pada pasien
tentang waktu operasi, hal-hal yang akan dialami oleh pasien selama
proses operasi, menunjukkan tempat kamar operasi, dll.
Dengan mengetahui berbagai informasi selama operasi maka
diharapkan pasien mejadi lebih siap menghadapi operasi, meskipun
demikian ada keluarga yang tidak menghendaki pasien mengetahui
tentang berbagai hal yang terkait dengan operasi yang akan dialami
pasien.
2) Memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum setiap tindakan
persiapan operasi sesuai dengan tingkat perkembangan. Gunakan
bahasa yang sederhana dan jelas. Misalnya: jika pasien harus puasa,
perawat akan menjelaskan kapan mulai puasa dan samapai kapan,
manfaatnya untuk apa, dan jika diambil darahnya, pasien perlu
diberikan penjelasan tujuan dari pemeriksaan darah yang dilakukan,
dll. Diharapkan dengan pemberian informasi yang lengkap,
kecemasan yang dialami oleh pasien akan dapat diturunkan dan
mempersiapkan mental pasien dengan baik
3) Memberi kesempatan pada pasien dan keluarganya untuk
menanyakan tentang segala prosedur yang ada. Dan memberi

76
kesempatan pada pasien dan keluarga untuk berdoa bersama-sama
sebelum pasien di antar ke kamar operasi.
4) Mengoreksi pengertian yang saah tentang tindakan pembedahan dan
hal-hal lain karena pengertian yang salah akan menimbulkan
kecemasan pada pasien.
5) Kolaborasi dengan dokter terkait dengan pemberian obat pre
medikasi, seperti valium dan diazepam tablet sebelum pasien tidur
untuk menurunkan kecemasan dan pasien dapat tidur sehingga
kebutuhan istirahatnya terpenuhi.
Pada saat pasien telah berada di ruang serah terima pasien di kamar
operasi, petugas kesehatan di situ akan memperkenalkan diri sehingga
membuat pasien merasa lebih tenang. Untuk memberikan ketenangan
pada pasien, keluarga juga diberikan kesempatn untuk mengantar pasien
samapi ke batas kamar operasi dan diperkenankan untuk menunggu di
ruang tunggu yang terletak di depan kamar operasi.
 Obat-obatan pre-medikasi
Sebelum operasi dilakukan pada esok harinya. Pasien akan
diberikan obat-obatan permedikasi untuk memberikan kesempatan
pasien mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Obat-obatan
premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium atau diazepam.
Antibiotik profilaksis biasanya di berikan sebelum pasien di operasi.
Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis
biasanya di berikan 1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan
pasca beda 2- 3 kali. Antibiotik yang dapat diberikan adalah
ceftriakson 1gram dan lain-lain sesuai indikasi pasien.
 Persiapan pasien di kamar operasi
Persiapan operasi dilakukan terhadap pasien dimulai sejak
pasien masuk ke ruang perawatan sampai saat pasien berada di
kamar operasi sebelum tindakan bedah dilakukan. Persiapan di ruang
serah terima diantaranya adalah prosedur administrasi, persiapan
anastesi dan kemudian prosedur drapping.

77
Di dalam kamar operasi persiapan yang harus dilakukan
terhdap pasien yaitu berupa tindakan drapping yaitu penutupan
pasien dengan menggunakan peralatan alat tenun (disebut : duk)
steril dan hanya bagian yang akan di incisi saja yang dibiarkan
terbuka dengan memberikan zat desinfektan seperti povide iodine
10% dan alkohol 70%.
Prinsip tindakan drapping adalah:
 Seluruh anggota tim operasi harus bekerja sama dalam
pelaksanaan prosedur drapping.
 Perawat yang bertindak sebagai instrumentator harus mengatahui
dengan baik dan benar prosedur dan prinsip-prinsip drapping.
 Sebelum tindakan drapping dilakukan, harus yakin bahwa sarung
tangan tang digunakan steril dan tidak bocor.
 Pada saat pelaksanaan tindakan drapping, perawat bertindak
sebagai omloop harus berdiri di belakang instrumentator untuk
mencegah kontaminasi.
 Gunakan duk klem pada setiap keadaaan dimana alat tenun
mudah bergeser.
 Drape yang terpasang tidak boleh dipindah-pindah sampai operasi
selesai dan harus di jaga kesterilannya.
 Jumlah lapisan penutup yang baik minimal 2 lapis, satu lapis
menggunkan kertas water prof atau plastik steril dan lapisan
selanjutnya menggunakan alat tenun steril.
Teknik Drapping:
 Letakkan drape di tempat yang kering, lantai di sekitar meja
operasi harus kering
 Jangan memasang drape dengan tergesa-gesa, harus teliti dan
memepertahankan prinsip steril
 Pertahankan jarak antara daerah steril dengan daerah non steril
 Pegang drape sedikit mungkin
 Jangan melintasi daerah meja operasi yang sudah terpasang
drape/alat tenun steril tanpa perlindungan gaun operasi.

78
 Jaga kesterilan bagian depan gaun operasi, berdiri membelakangi
daerah yang tidak steril.
 Jangan melempar drape terlalu tinggi saat memasang drape (hati-
hati menyentuh lampu operasi)
 Jika alat tenun yang akan dipasang terkontaminasi. Maka perawat
omloop bertugas menyingkirkan alat tenun tersebut.
 Hindari tangan yang sudah steril menyentuh daerah kulit pasien
yang belum tertutup.
 Setelah semua lapisan alat tenun terbentang dari kaki sampai
bagian kepala meja operasi, jangan menyentuh hal-hal yang tidak
perlu.
 Jika ragu-ragu terhdap kesterilan alat tenun, lebih baik alat tenun
tersebut dianggap terkontaminasi.
Tindakan keperawatan pre operetif merupakan tindakan yang
dilakukan oleh perawat dalam rangka mempersiapkan pasien untuk
dilakukan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk menjamin
keselamatan pasien intraoperatif. Persiapan fisik maupun
pemeriksaan penunjang serta pemeriksaan mental sangat diperlukan
karena kesuksesan suatu tindakan pembedahan klien berawal dari
kesuksesan persiapan yang dilakukan selama tahap persiapan.
Kesalahan yang dilakukan pada saat tindakan preoperatif apapun
bentuknya dapat berdampak pada tahap-tahap selanjutnya, untuk itu
diperlukan kerjasama yang baik antara masing-masing komponen
yang berkompeten untuk menghasilkan outcome yang optimal, yaitu
kesembuhan pasien secara paripurna.
3.6. Persiapan Administratif
Medication error adalah setiap kejadian yang sebenarnya dapat
dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada penggunaan
obat yang tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat berada
diluar kontrol (Windarti, 2008).

79
Medication error merupakan suatu kesalahan pengobatan sebagai
kegagalan dalam proses pengobatan yang memiliki potensi
membahayakan bagi pasien dalam proses perawatan (Aronson, 2009).
Berdasarkan keputusan Mentri kesehatan NO.1027/MENKES/SK/
IX/2004 medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat
pemakaian obat selama dalam penanganan tenaga kesehatan, yang
sebetulnya dapat dicegah. Kesalahan pengobatan biasa terjadi di rumah
sakit dan kesalahan dapat terjadi pada setiap tahap. dari peresepan
(dokter), melalui dispensing (apoteker atau staf dispensing), untuk
administrasi (staf keperawatan atau pasien sendiri) (Muhtar, 2003).
Persyaratan administratif:
1) Nama, SIP, dan alamat dokter.
2) Tanggal penulisan resep.
3) Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.
4) Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien.
5) Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta.
6) Cara pemakaian yang jelas
3.7. Persiapan Penunjang atau Laboratorium
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan
penunjang, maka dokter bedah tidak meungkin bisa menentukan tindakan
operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan penunjang yang
dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun
pemeriksaan lain seperti ECG, dan lain-lain.
Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi
pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait dengan
keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan penyakit
yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan untuk dilakukan
operasi maka dokter anstesi berperan untuk menentukan apakan kondisi
pasien layak menjalani operasi. Untuk itu dokter anastesi juga
memerlukan berbagai macam pemrikasaan laboratorium terutama
pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan

80
(clotting time) darah pasien, elektrolit serum, Hemoglobin, protein darah,
dan hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG.
Dibawah ini adalah berbagai jenis pemeriksaan penunjang yang
sering dilakukan pada pasien sebelum operasi (tidak semua jenis
pemeriksaan dilakukan terhadap pasien, namun tergantung pada jenis
penyakit dan operasi yang dijalani oleh pasien). Pemeriksaan penunjang
antara lain:
a) Pemeriksaan Radiologi dan diagnostik, seperti : Foto thoraks,
abdomen, foto tulang (daerah fraktur), USG (Ultra Sono Grafi), CT
scan (computerized Tomography Scan), MRI (Magnrtic Resonance
Imagine), BNO-IVP, Renogram, Cystoscopy, Mammografi, CIL
(Colon in Loop), EKG/ECG (Electro Cardio Grafi), ECHO, EEG
(Electro Enchephalo Grafi), dll.
b) Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksan darah : hemoglobin,
angka leukosit, limfosit, LED (laju enap darah), jumlah trombosit,
protein total (albumin dan globulin), elektrolit (kalium, natrium, dan
chlorida), CT BT, ureum kretinin, BUN, dll. Bisa juga dilakukan
pemeriksaan pada sumsun tulang jika penyakit terkaut dengan
kelainan darah.
c) Biopsi, yaitu tindakan sebelum operasi berupa pengambilan bahan
jaringan tubuh untuk memastikan penyakit pasien sebelum operasi.
Biopsi biasanya dilakukan untuk memastikan apakah ada tumor
ganas/jinak atau hanya berupa infeksi kronis saja.
d) Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD). Pemeriksaan KGD dilakukan
untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien dalan rentang
normal atau tidak. Uji KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10 jam
(puasa jam 10 malam dan diambil darahnya jam 8 pagi) dan juga
dilakukan pemeriksaan KGD 2 jam PP (ppst prandial).
3.8. Inform Concent
Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang
terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum
dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Inform Consent. Baik

81
pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis,
operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien
yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan
persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan anastesi).
Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi
tidak dapat dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien.
Dan dalam kondisi nyata, tidak semua tindakan operasi mengakibatkan
komplikasi yang berlebihan bagi klien. Bahkan seringkali pasien dapat
pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa komplikasi atau
resiko apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini terkait
dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup
istirahat, kepatuhan terhadap pengobatan, kerjasama yang baik dengan
perawat dan tim selama dalam perawatan.
Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung
tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab
terhdap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan
operasi. Artinya apapun tindakan yang dilakukan pada pasien terkait
dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta
segala resiko dan konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum
menandatangani surat pernyataan tersut akan mendapatkan informasi
yang detail terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan,
pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum
menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/keluarganya berhak untuk
menanyakan kembali sampai betul-betul paham. Hal ini sangat penting
untuk dilakukan karena jika tidak meka penyesalan akan dialami oleh
pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan.
Berikut ini merupakan contoh form inform consent:
PERNYATAAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS/OPERASI:
Nama Pasien : (L/P)
No. RM :
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Umur : tahun

82
Jenis kelamin :
Alamat :
Suami/istri/ayah/ibu/keluarga* dari pasien yang bernama:

Surabaya, ...........2017

Mengetahui, Mengetahui,
Saya yang menyatakan, Saya yang menyatakan
Dokter yang merawat suami/istri/ayah/ibu/keluarga*

(tanda tangan dan nama lengkap) (tanda tangan dan nama lengkap)

Saksi dari Rumah Sakit Saksi dari keluarga

(tanda tangan dan nama lengkap) (tanda tangan dan nama lengkap)
*coret yang tidak perlu
3.9. Prosedur dalam Memastikan Lokasi
Patient Safety merupakan suatu sistem (nilai, proses, hasil) rumah
sakit menerapkan pengelolaan dan asuhan pasien lebih aman untuk
mencegah terjadinya cidera, disebabkan kesalahan tindakan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Berdasarkan pengertian
tersebut, untuk mencapai keselamatan (safety) di rumah sakit baik bagi
pasien, petugas dan pengunjung rumah sakit diperlukan upaya mencegah
terjadinya kesalahan. Terdapat 3 komponen utama dalam penerapan
patient safety di rumah sakit yaitu: manajemen risiko (risk management),
clinical governance dan quality assurance.
Aspek patient safety menjadi indikator akreditasi rumah sakit,
termasuk lingkup patient safetydi kamar bedah yang meliputi 6 IPSG
yaitu:
1) Mengidentifikasi pasien secara benar,
2) Meningkatkan komunikasi efektif,

83
3) Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai
dengan obat yang rupa dan nama sama,
4) Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar,
5) Pengurangan Resiko Infeksi terkait Pelayanan Kesehatan,
6) Mengurangi resiko jatuh.
Berdasarkan teori Preced Proceed Model (Lawrence Green,1991)
menjelaskan bahwa pelaksanaan patient safetysebagai perilaku/tindakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor predisposing, faktor
enabling (pendukung) dan faktor reinforcing (pendorong).
WHO Guidelines for Safe Surgery (2009) menyebutkan bahwa
penandaan lokasi operasi harus dilakukan sebelum operasi. Hal ini
bertujuan untuk mencegah kesalahan lokasi, pasien dan prosedur ketika
akan operasi. Penandaan lokasi operasi harusnya dilakukan biasanya
menggunakan tip marker atau spidol hitam yang permanen dan tidak akan
terhapus saat dilakukan drapping. Penandaan lokasi ini bisa menggunakan
tanda centang namun bukan silang karena dapat menimbulkan ambiguitas
apakah tanda silang tersebut adalah lokasi yang akan diinsisi atau yang
tidak diinsisi. Selain penandaan lokasi operasi, operator juga memberikan
inisial nama dokter yang membuat penandaan lokasi tersebut. Penandaan
lokasi operasi dikhususkan meliputi operasi pada organ lateral, multi
struktur dan multi level. Sedangkan untuk organ tunggal area penandaan
bisa dilakukan langsung pada lokal area yang dituju.
Menurut Universal Protokol Penandaan Lokasi Operasi Sesuai
WHO (2009) bahwa penandaan area operasi seharusnya dilakukan di
bangsal sebelum pasien dibawa ke ruang operasi dan mendapatkan pre
medikasi sedative yaitu pasien dalam keadaan sadar.

84
BAB IV

KASUS

4.1. Kasus
JAKARTA, KOMPAS.com — Rumah Sakit Siloam Karawaci,
Tangerang, mendapat sanksi teguran terkait kasus meninggalnya pasien
setelah diberi obat bius. Teguran itu diberikan lantaran pihak rumah sakit
tidak langsung melaporkan kejadian tersebut pada Kementerian
Kesehatan ataupun dinas kesehatan setempat. "Kami memberikan teguran
kepada direksi RS Siloam Karawaci untuk melaporkan kejadian tersebut
secara segera, resmi kepada Kemenkes atau dinas kesehatan," kata
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek di Gedung Kemenkes, Jakarta, Senin
(23/3/2015).
Nn. Xungkapkan, berdasarkan hasil investigasi tim kasus sentinel
serius (KSS), pihak rumah sakit telah melakukan operasi sesuai prosedur.
Tim KSS terdiri dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),
Badan Pengawas Rumah Sakit (BPRS), dan pakar organisasi profesi
kedokteran.
Berdasarkan wawancara dan pemeriksaan dokumen di RS Siloam
Karawaci, tidak ditemukan penyimpangan yang dilakukan petugas
kesehatan selama proses operasi dua pasien. Selain itu, proses penyerahan
obat Buvanest kepada dokter pun tidak bermasalah karena telah dilakukan
sesuai prosedur di rumah sakit. "Aktivitas pengelolaan obat mulai dari
pemesanan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian obat, hingga
penyiapan kit spinal di kamar operasi telah dilakukan sesuai SOP," terang
Nila.
Hasil investigasi pun menyimpulkan bahwa dua pasien RS Siloam
meninggal dunia karena kesalahan kandungan obat yang diberikan.
Kemasan Buvanest Spinal yang diberikan dokter kepada pasien ternyata
bukan berisi Bupivacaine yang merupakan obat bius, tetapi asam
traneksamat golongan antifibrinolitik yang bekerja mengurangi
pendarahan. Dua pasien yang meninggal adalah seorang perempuan yang

85
menjalani operasi caesar dan seorang laki-laki yang menjalani operasi
urologi.
4.2. Skenario Role Play
Skenario K3 ADVERSE EVENT
PEMAIN
Pasien : Ainul Fidiatun Nofa
Suami Pasien : Hilmy Ghozi Alsyafrud
Dokter Bius : Galang Tegar Indrawan
Perawat : Ramadhani Wahyuningtyas

*Pada suatu hari di rumah sakit terdapat pasien yang akan melakukan
operasi cesar, pada pagi itu operasi akan segera dimulai ...
Perawat : selamat pagi ibu, perkenalkan saya ners rani disini saya
yang bertugas untuk merawat ibu, mulai sebelum operasi hingga selesai
operasi nanti
Pasien : baik sus terimakasih
Perawat : untuk pagi ini ibu akan menjalani operasi, untuk itu ibu
akan segera di pindahkan ke ruang operasi.
Pasien : baik sus, saya sudah siap
Perawat : baik ibu nofa, mari ibu saya antarkan ke ruang operasi
*operasi akan di mulai, pasien diantar oleh perawat dan suaminya di
ruang operasi...
* operasi dimulai
* saat operasi usai, terjadi kejadian yang terjadi pada ibu nofa, bayi yang
dilahirkan selamat dan sehat namun keadaan ibu nofa mengalami drop...
* perawat berusaha menjelaskan ke suami pasien ....
Perawat : permisi bapak...
Suami : bagaimana suster keadaan istri dan anak saya?
Perawat : jadi begini bapak, kondisi anak bapak normal dan sehat
namun kondisi istri bapak mengalami drop sehingga harus dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui penyebabnya,
Suami : lalu bagaimana sus jika terjadi sesuatu dengan istri saya?

86
Perawat : bapak tenang dahulu, kami tim medis dalam operasi akan
berusaha dengan maksimal untuk menyelamatkan nyawa istri bapak
Suami : saya tidak bisa tenang sus, lakukan yang terbaik sus..
Perawat : baik bapak, bapak tunggu kabar dari kami
*dilakukan identifikasi pasien ternyata dengan kondisi pasien yang drop
sehingga mengakibatkan pasien meninggal dunia.
Suami : bagaimana ini sus tanggung jawab pihak tim medis
operasi, mengapa istri saya bisa sampai meninggal dan tidak tertolong.
Saya bisa menuntut kalian semua ke pihak yang berwajib
perawat : begini pak kami mengerti ini suasana berduka, tapi kami
dari tim medis akan menjelaskan kepada bapak hasil identifikasi yang
kami lakukan
dokter bius : jadi begini bapak, terjadinya kasus ini disebabkan karena
terjadi kesalahan kandungan obat yang diberikan oleh kami, dari tim
medis bertujuan memberikan obat bius, namun dalam tim medis
memberikan asam traneksamat golongan antifibrinolitik yang bekerja
mengurangi pendarahan saat menjalani operasi cesar.

*dari kejadan tersebut pihak keluarga tetap melakukan tuntutan atas


kesalahan yang dilakukan oleh perawat dengan kesalahan yang
seharusnya memberikan obat bius namun diberikan obat mengurangi
pendarahan. Tuntutan dari pihak keluarga berdasarkan Pasal 8 Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/148/2010, kedua; mampu
bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami
konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan,
telah mendapat pelatihan dan pendidikan.

87
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Kejadian tidak diharapkan (KTD)/ adverse event yaitu insiden
yang mengakibatkan cedera pada pasien akibat melaksanakan suatu
tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil, dan
bukan karena penyakit dasarnya atau kondisi pasien. Cedera dapat
diakibatkan oleh kesalahan medis atau bukan kesalahan medis. Suatu
peristiwa yang menyebabkan, atau memiliki potensi yang dapat
menyebabkan, atau menyebabkan hal yang terduga atau tidak diinginkan
sehingga membahayakan keselamatan pengguna alat kesehatan (termasuk
pasien) atau orang lain.
5.2. Saran
Cara paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian
tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obatan
yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari
unit pelayanan pasien ke farmasi. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan dan / atau prosedur untuk membuat
daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di
rumah sakit.

88
DAFTAR PUSTAKA
Ariastuti, N. P., A. M., & W. H. (n.d.). (2013) ANALISIS FAKTOR - FAKTOR
YANG MEMPENGARUHI PERAWAT DALAM MELAKSANAKAN
PATIENT SAFETY DI KAMAR BEDAH. Semarang: Jurnal.
Ari Elizabeth, Lidwina dan Sisilia. 2008-2009. Perbedaan Tekhnik Mendefinfeksi
Alkohol 70% antara cara Spray dengan Oles saat Pemasangan Insud dalam
Menurunkan Jumlah Bakteri pada Site Infuse di RS Santo Yusup Bandung.
Volume 10 No. XIX Hal 76.
Armiyati Yunie, Ernawati dan Riwayati . Hubungan Tingkat Pendidikan dan
Lama Kerja Perawat dengan Penerapan Prinsip “Enam Tepat” Dlam Pemberian
Obat di ruang rawat inapRS Dr.Kariadi SEMARANG: http://jurnal.unimus.ac.id.
Endang dan Agus. 2008. Pengaruh Pemberian Informasi Pra Bedah Terhadap
Tingkat Kecemasan pada Pasien Pra Bedah Mayor di Bangsal Orthopedi RSUI
KUSTATI SURAKARTA. Berita Ilmu Keperawatan ISSN 1979-2697, Vol . 1
No.1, Maret 2008 :13-18.
Ika. Susanti. (2013). IDENTIFIKASI MEDICATION ERROR PADA FASE
PRESCRIBING, TRANSCRIBING, DAN DISPENSING DI DEPO FARMASI
RAWAT INAP PENYAKIT DALAM GEDUNG TERATAI, INSTALASI
FARMASI RSUP FATMAWATI . Jakarta: UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 76.
Institute for Safe Medication Practices (ISMP). ISMP’s List of High-Alert
Medications. ISMP; 2012.
Nurkhasanah Wiwit Siti. 2014. Analisis Pelaksanaan Surgical. Purwokerto :
Jurnal Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan UMP.
Asrrin, Kamaludin A 2008. Hubungan Pengetahuan tentang SPO dengan
Kepatuhan Perawat terhadap Pelaksanaan SPO Profesi Pelayanan Keperawatan.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 3
no.1.
Redha. (2016). Gambaran Pemberian Obat Dengan Prinsip 7 Oleh Perawat Di Rsu
Pku Muhammadiyah Bantul. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
Rumah Sakit Ibu dan Anak Puri Betik Hati. Panduan High Alert Medications
(Obat-Obatan Dengan Pengawasan Tinggi). Bandar Lampung.
Samsu. Hidayat. (2015). GAMBARAN PELAKSANAAN PENANDAAN
LOKASI OPERASI PADA PASIEN PRE OPERASI DI INSTALASI BEDAH
SENTRAL RSUP DR SARDJITO YOGYAKARTA. Yogyakarta: SEKOLAH
TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH 76.
Siti Arifah dan Ida Nuriala Trise. 2012. Pengaruh Pemberian Informasi Tentang
Persiapan Operasi dengan Pendekatan Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat

89
Kecemasan Pasien Pre Operasi. Yogyakarta: Jurnal Kebidanan, Vol. IV, No. 01,
Juni 2012
Ulfah, Siti Sahirah, Dan Soraya Ratnawulan Mita. (2017). Medication Errors Pada
Tahap Prescribing, Transcribing, Dispensing Dan Administering. Bandung:
Universitas Padjajaran.
Yana, I Made Kresna. (2015). Hubungan Pelaksanaan Prinsip Enam Benar
Terhadap Insiden Medication Errors (Kesalahan Pemberian Obat). Denpasar:
Universitas Udayana.
Hasri, Eva Tirtabayu. 2012. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD X.
Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
World Health Organization. WHO guidelines for safe surgery 2009. Geneve,
Switzerland: World Health Organization; 2009
Haynes AB, Weisher TG, Berry WR, Lipsits SR, Breizat A. Hadi S, Dellinger EP,
Herbosa T, et al. A Surgical Safety Checklist to Reduce Morbidity and Mortality
in a Global Population. N Engl J Med 2009; 360:491-499. DOI: 10.1056/
NEJMsa081011
Wiwit Siti Nurkhasanah. 2014. Analisis Pelaksanaan Dalam Pengelolaan
Keselamatan Pasien Di Instalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD Banyumas.
Purwokerto: Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Ulliya,S. dkk. 2007. Pengaruh Latihan Range of Motion (ROM) Terhadap
Fleksibilitas Sendi Lutut pada Lansia di Panti Wreda Wening Wardoyo Ungaran.
Nurse Media: Journal of Nursing. Vol.01. No.02. Oktober 2007.
Indra hermawan, Saryono and Dadi. 2014, Jurnal ilmiah kesehatan keperawatan.
Vol 10. No 3.

90
TANYA JAWAB

Mitha: 6 ipsg itu apa? Sifat dasar pekerjaan kenapa dapat mempengaruhi?

Patient Safety merupakan suatu sistem (nilai, proses, hasil) rumah sakit
menerapkan pengelolaan dan asuhan pasien lebih aman untuk mencegah
terjadinya cidera, disebabkan kesalahan tindakan atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya dilakukan. Berdasarkan pengertian tersebut, untuk
mencapai keselamatan (safety) di rumah sakit baik bagi pasien, petugas dan
pengunjung rumah sakit diperlukan upaya mencegah terjadinya kesalahan.
Terdapat 3 komponen utama dalam penerapan patient safety di rumah sakit
yaitu: manajemen risiko (risk management), clinical governance dan quality
assurance.

Aspek patient safety menjadi indikator akreditasi rumah sakit, termasuk


lingkup patient safetydi kamar bedah yang meliputi 6 IPSG yaitu:

1. Mengidentifikasi pasien secara benar,


2. Meningkatkan komunikasi efektif,
3. Meningkatkan keamanan obat-obatan yang harus diwaspadai dengan obat
yang rupa dan nama sama,
4. Memastikan lokasi pembedahan yang benar, prosedur yang benar,
pembedahan pada pasien yang benar,
5. Pengurangan Resiko Infeksi terkait Pelayanan Kesehatan,
6. Mengurangi resiko jatuh.

Berdasarkan teori Preced Proceed Model (Lawrence Green,1991)


menjelaskan bahwa pelaksanaan patient safetysebagai perilaku/tindakan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor predisposing, faktor
enabling (pendukung) dan faktor reinforcing (pendorong).

WHO Guidelines for Safe Surgery (2009) menyebutkan bahwa penandaan


lokasi operasi harus dilakukan sebelum operasi. Hal ini bertujuan untuk
mencegah kesalahan lokasi, pasien dan prosedur ketika akan operasi.
Penandaan lokasi operasi harusnya dilakukan biasanya menggunakan tip
marker atau spidol hitam yang permanen dan tidak akan terhapus saat

91
dilakukan drapping. Penandaan lokasi ini bisa menggunakan tanda centang
namun bukan silang karena dapat menimbulkan ambiguitas apakah tanda
silang tersebut adalah lokasi yang akan diinsisi atau yang tidak diinsisi. Selain
penandaan lokasi operasi, operator juga memberikan inisial nama dokter yang
membuat penandaan lokasi tersebut. Penandaan lokasi operasi dikhususkan
meliputi operasi pada organ lateral, multi struktur dan multi level. Sedangkan
untuk organ tunggal area penandaan bisa dilakukan langsung pada lokal area
yang dituju.

Menurut Universal Protokol Penandaan Lokasi Operasi Sesuai WHO


(2009) bahwa penandaan area operasi seharusnya dilakukan di bangsal
sebelum pasien dibawa ke ruang operasi dan mendapatkan pre medikasi
sedative yaitu pasien dalam keadaan sadar.

Khilya: interaksi antara sistem dan manusia, sistem apa yang dimaksud?

Yang termasuk dalam faktor ini meliputi perlengkapan atau peralatan


medis, lokasi atau peletakan alat-alat, pengontrolan alat. Interaksi
sistem dan manusia menunjuk pada tata dimana dua sistem berinteraksi
atau berkomunikasi dalam ruang lingkup sistem. Perawat menggunakan
perangkat medis dan peralatan secara intensif dan dengan demikian
memiliki banyak pengalaman.

Yanti: cara komunikasi perawat dan keluarga bagaimana? Konsekuensi rs


ke perawat jika terdapat tuntutan?

Dalam role play perawat menjelaskan dengan kata-kata yang seharusnya


disampaikan namun sebagai perawat harus tetap belajar dalam berkomunikasi
secara baik dan benar sesuai situasi yang dialami pasien.

92
Konsekuensi yang diberikan kepada perawat dari pihak RS yaitu tergantung
dari kebijakan RS itu sendiri, yang sesuai dengan SOP setiap RS, seperti halnya
konsekuensi dengan cara memberhentikan perawat dari RS atau dituntut secara
hukum. Peraturan Hukum berdasarkan peraturan Undang-Undang Pasal 29 dalam
hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya,
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.

Perlindungan Pasien (Pasal 58) , (1) Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan
yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan
kesehatan yang diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana
dimaksud pada

Cici:insulin termasuk high alert namun insulin digunakan dengan cara tanpa
pengawasan perawat pada penderita diabetes cara menanggulangi hal
tersebut? Role play tentang label itu kesalahan perawat apa farmasi?

Benar, Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan


singkatan. Infus insulin : konsentrasi standar = 1 unit/ml, berikan label ‘high
alert’ , ikuti protokol standar ICU. Jadi insulin merupakan high alert dan juga
merupakan obat untuk diabetes, namun untuk insulin yang digunakan untuk
diabetes sudah diberikan edukasi dalam penggunaannya. Dalam edukasi ini
bertujuan agar tidak terjadi kesalahan fatal, selain itu dalam edukasi ini juga
terdapat pembelajaran tentang penggunaan seperti tepat dosis, tepat jadwal
pemberian dan pengawasan oleh setiap individu dan didukung oleh pihak
keluarga.

Untuk role play tentang pemberian label tersebut awalnya memang kesalahan
pihak farmasi namun dalam kesalahan tindakan operasi dalam memberikan
obat merupakan kesalahan perawat yang tidak mengecek ulang obat tersebut,
sedangkan seharusnya sebelum memberikan obat perawat harus melalukan
pengecekan berulang kali untuk menghindari adverse event.

93
Mitha: obat yang tidak lazim itu apa dan sumbernya siapa?

Ketika suatu obat baru atau yang tidak lazim diprogramkan, konsultasikan kepada
sumbernya. Dimana obat lazim merupakan obat yang baru ditemukan dan
sumbernya merupakan penemu obat itu sendiri atau orang yang melakukan
penelitian tentang obat tersebut. Oleh karena itu dokter juga tidak lazim dengan
obat tersebut maka risiko pemberian dosis yang tidak akurat menjadi lebih besar.

94

Anda mungkin juga menyukai