Anda di halaman 1dari 8

UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA

Nama : Akbar Kurniadi


NIM : 120170303002
Prodi : Damai & Resolusi Konflik
Matkul : NC (Nature of Conflict)

Review Buku: Webel, Charles & Galtung, Johan, 2007, “Handbook of


Peace and Conflict Studies”, New York, Routledge, hal. 14-32.

1. Pendahulan

Realita dunia dengan berbagai huru haranya menyadarkan


manusia bahwa sejatinya konflik adalah sebuah keniscayaan. Johan
Galtung menyatakan, “jika konflik adalah bagian terpenting dalam
kehidupan, begitupun sebaliknya kehidupan merupakan bagian terpenting
dalam konflik” (Galtung, h. 72). Seperti halnya hidup, konflik memiliki
siklus hidup dan kehidupan yang berwujud nyata, yang dapat diidentifikasi
melalui suatu tindakan atau perilaku (B), dan laten, melalui “attitude” A
dan “contradiction” C (Galtung, h.71).

Gambar 1.1 The Conflit Triangle

Sumber foto: dokumen diakses melalui web


http://learn.tearfund.org/en/resources/publications/footsteps/footsteps_91-
100/footsteps_92/abc_of_conflict_analysis/

1|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


Secara sederhana, ilustrasi gambar di atas menjelaskan bahwa
contradiction/context diidentifikasikan sebagai perwujudan dari sikap
frustasi, dimana tujuan dan kepentingan terhalangi oleh sesuatu atau
aktor lain, yang memicu timbulnya agresifitas sebagai sikap (attitude) dan
lebih lanjut agresifitas sebagai sebuah tindakan (behavior) (Galtung, h.
72).

Perang Dunia I dan II adalah contoh manifestasi konflik dalam


skala besar yang telah bereskalasi menjadi violence, kekejaman luar
biasa, karena tidak melalui mekanisme transformasi konflik yang benar
dalam upaya penyelesainnya (Webel & Galtung, 2007, h. 14). Studi kasus
yang tidak kalah menarik dalam menggambarkan proses transformasi
konflik adalah Krisis Misil Kuba pada masa Perang Dingin. Krisis Misil
Kuba yang terjadi menggambarkan bahwa perdamaian dan konflik
sejatinya tidak hanya berasal dari pengaruh luar, tetapi juga berawal dari
diri individu itu sendiri (self therapy) (Webel & Galtung, 2007, h. 19). Hal
ini terbukti ketika pemimpin Uni Soviet, Nikita Kruschev, menyatakan
bersedia untuk memindahkan rudalnya dengan konsekuensi bahwa
Amerika Serikat berjanji tidak akan menyerang Kuba.

2. Pembahasan

Latar belakang sejarah perang di atas membuka sebuah celah bagi


penelitian seorang ilmuan perdamaian, Galtung, untuk merumuskan obat
penawar konflik dengan cara damai. Dalam nomenklatur damai dan
resolusi konflik, kita menyebutnya sebagai peace by peaceful means
(Webel & Galtung, 2007, h.14) dalam maknanya yang lebih sederhana
“menciptakan perdamaian yang damai”. Dalam pendekatan medis, peace
by peaceful means sering dianalogikan sebagai upaya penyembuhan
pasien dengan cara yang aman tanpa menimbulkan benih penyakit yang
baru (Webel & Galtung, 2007, h. 15). Proses penciptaan perdamaian
yang demikian hanya dapat dicapai melalui tiga proses penting yaitu

2|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


diagnoisis, analisa terhadap tipe penyakit dan kondisi atau sebab
munculnya, prognosis, adanya gambaran detail diagnosa untuk
dilakukannya tahap lanjutan dalam proses penyembuhan, dan therapy,
tindakan yang perlu dilakukan untuk menghindari sekecil mungkin segala
bentuk konsekuensi yang mungkin terjadi.

Maka dalam buku “Handbook of Peace and Conflict Studies”,


Galtung memformulasikan suatu pendekatan Transcend (Webel &
Galtung, 2007, h. 14) yang bersifat holistik dan didalamnya melibatkan
model damai dan konflik. Pendekatan ini diilhami dari keperihatinan
bahwa pendekatan kemanan lebih dominan porsinya daripada
pendekatan perdamaian dalam perkembangan politik internasional. Dalam
masa PD II hingga akhir periode 1999 saat berakhirnya Perang Dingin, isu
keamanan menjadi primadona yang tak hentinya menghiasi konstelasi
perpolitikan dunia terbukti dengan dibentuknya PBB dengan UN Security
Council-nya. Bahkan lebih lanjut, Realisme saat itu menjadi satu-satunya
grand theory yang mampu menjelaskan keadaan pada periode PD II dan
Perang Dingin bahwa sistem internasional adalah anarki. Dengan
sistemnya yang anarki, maka dunia dianggap sebagai panggung
pertarungan dan negara lain dipandang sebagai sebuah ancaman yang
harus dihilangkan. Maka, terjadilah balance of power (perimbangan
kekuatan) yang bereskalasi menjadi arm races (perlombaan senjata).
Pada tahap ini tidak akan terjadi konflik dan tercipta perdamaian, seperti
yang terjadi masa Perang Dingin yaitu tidak terjadi kontak langsung
(perang) antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet.

Pasca berakhirnya Perang Dingin, isu tradisional bertransformasi


menjadi isu non tradisional, sementara isu perdamaian menjadi
mainstream yang menjadi fokus dan agenda utama negara-negara di
dunia. Maka Galtung dengan teori perdamaiannya (Transcend Approach)
menawarkan pendekatan holistik yang meliputi di dalamnya,
conceptualization of conflict, two discourses security and peace, peaceful

3|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


conflict transformation, peace culture, peace structure, mediation,
peacebuilding, nonviolence, conciliation, creating virtous cycles, dan goal
restraint and anger transformation.

Dalam usahanya membangun sebuah pondasi dan pijakan utama


bagi peace and conflict studies agar mampu berdiri sebagai dogma dan
disiplin tersendiri, Galtung mendapati bahwa analogi medis adalah yang
paling kompatibel. Proses awal untuk mewujudkan peace by peaceful
mean harus mengetahui jenis penyakit yang muncul untuk memberikan
diagnosa. Selanjutnya kita harus memiliki pengetahuan terkait penyakit
tersebut dan proses penyembuhan untuk meminimalisir efek negatif yang
mungkin terjadi untuk membuat suatu prognosis, dan terakhir melakukan
terapi dalam proses pemulihan.

Sebelum lebih jauh meninjau segala aspek berkaitan dengan


konflik, kita harus lebih dahulu mengetahui bagaimna proses terbentuknya
konflik. Dalam bukunya “Peace by Peaceful Means”, chapter 2, Galtung
menjelaskan bahwa konflik terbentuk melalui proses interaksi antar
struktur dalam sistem (conflict system components) (Galtung, h. 79). Ada
pola saling ketergantungan dalam hubungannya. Lebih lanjut Galtung
menegaskan bahwa pola pembentukan mungkin saja bersifat harmonis
atau mungkin simbiotik (pencapaian tujuan satu negara berkaitan dengan
pencapaian tujuan negara lainnya). Contoh yang sering dijumpai dalam
kehidupan adalah pernikahan yang harmonis memiliki karakter
pencapaian tujuan yang sama antara kedua belah pihak (pasangan) yaitu
sukha-nya seseorang berjalan beriringan dengan sukha pasangannya.
Namun, jika sukha-nya seseorang justru berjalan beriringan dengan dukha
(penderitaan) pasangannya, maka hal ini terindikasi pada pola
disharmonisasi tujuan yang dapat menyebabkan rusaknya hubungan
antar kedua atau lebih pihak terkait. Inilah proses terbentuknya konflik
(Galtung, h. 79).

4|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


Ditinjau dari proses eskalasinya, suatu konflik dapat berubah
menjadi kekerasan terbuka melalui beberapa tahapan (Webel & Galtung,
2007, h. 16), yaitu; 1) aktor individual yang terbentuk melalui nature dan
structure baik dari dalam maupun luar diri seseorang; 2) adanya kelompok
sosial yang terbentuk atas pembedaan jender dan generasi, negara dan
bangsa, serta wilayah dan peradaban; 3) setiap aktor memiliki tujuan yang
lahir melalui nature, kebutuhan dasar, culture, nilai, dan structure,
kepentingan, yang saling berdialektika satu dengan yang lain; 4) tujuan
terbagi kedalam dua bentuk yaitu positively coupled (harmonis) dan
negatively coupled (bertentangan); 5) tujuan yang harmonis berpotensi
menciptakan kondisi damai, sementara tujuan yang saling bertentangan
cenderung menimbulkan potensi konflik; 6) konflik selalu menimbulkan
sikap frutasi karena terjadi penjegalan pencapaian kepentingan atau
tujuan dari satu aktor terhadap aktor lainnya; 7) frustasi menimbulkan
polarisasi yaitu adanya self-identification sampai pada tahap
categorization antara “Us vs Them” dan “Self vs Other”; 8) saat terjadi
polarisasi maka timbul perlakuan diskriminatif (dehumanisasi) terhadap
orang lain; 9) saat terjadi kegiatan dehumanisasi maka frustasi
bereskalasi menjadi tindakan agresi, dicirikan dengan tumbuhnya
kebencian yang menghantui diri seseorang kemudian diekspresikan
kedalam bentuk kekerasan; 10) tindak kekerasan menimbulkan korban
dan menciptakan efek trauma; 11) adanya trauma dalam diri korban
menyebabkan mungkin terjadinya kegiatan balas dendam sebagai tindak
serangan balik terhadap pelaku (kejahatan).

Tahapan eskalasi konflik di atas didukung oleh pendapat Galtung


yang dilampirkan pada tabel 2.1 bahwa baris 1-4 (kebutuhan dasar,
disharmonisasi tujuan, meta-konflik) (Webel & Galtung, 2007, h. 17)
merupakan diagnosis yang menggambarkan akar permasalahan dalam
berbagai instrumennya yang berkaitan dengan pencapaian tujuan. Jika
tujuan yang hendak dicapai oleh seseorang adalah kebutuhan yang

5|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


sifatnya dasar, tidak dapat ditawar, seperti ketahanan, kesejahteraan,
kemerdekaan atau kebebasan, dan identitas, intensitas konflik cenderung
semakin dalam. Jika dibiarkan tanpa penanganan, maka tercipta
pembusukan luka yang berpotensi mengaktifkan baris 5-9 (emosi,
polarisasi, dehumanisasi, kebencian yang mendalam, trauma,
pembalasan dendam) dan berakibat fatal bagi terjadinya eskalasi konflik
yang lebih parah (prognosis) (Webel & Galtung, 2007, h. 19).

Selanjutnya dalam kolom IV, Therapy, menjelaskan berbagai


instrumen yang dapat dipakai sebagai media untuk mencapai perdamaian
dengan cara damai. salah satu metode yang digunakan adalah
transformasi konflik, yaitu upaya untuk mendamaikan aktor terlibat dengan
cara menemuinya dan melakukan dialog mendalam secara terpisah. Hal
demikian dilakukan untuk membangun mediation capacity dalam diri aktor,
selanjutnya diharapkan mampu menciptakan suatu realitas baru yang
dapat mengakomodir keduanya untuk membina hubungan baru, seperti
Uni Eropa, dimana keduanya atau aktor yang terlibat dapat hidup dan
berkembang bersama (Webel & Galtung, 2007, h. 19).

Dalam merangkul kedua pendekatan security dan peace. Galtung


menguraikannya sebagai berikut, bahwa peace approach menyatakan
konflik terbentuk akibat adanya berbagai macam tujuan dan kepentingan
antar kelompok yang tidak harmonis. Hal ini menyebabkan timbulnya
infeksi pada luka yang sudah lama membusuk sehingga probabilitas
eskalasi konflik semakin tinggi. Maka diharuskan adanya tindakan
pentransformasian konflik ke dalam pola legitimate goals (tujuan logis)
tanpa kekerasan dengan metode yang kreatif. Sementara security
approach menegaskan bahwa tidak semua kelompok dikendalikan oleh
legitimate grievance (tujuan/keluhan logis), karena bebearapa kelompok
ada pula yang dikendalikan oleh keserekahan. Adanya gesekan antara
kedua pendekatan tersebut dapat ditangani dengan transcended

6|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


approach yaitu penyelesaian konflik melalui soft peacekeeping, yang
memadukan antara kekuatan dengan mediasi.

Secara garis besar pendekatan Transcend meliputi tujuh langkah


penting di antaranya: 1) peace culture, menentang mainstream dualisme;
2) peace structure, usaha membangun infrastuktur, gender, generation,
race, class, disequilibrated and equilibrated, secara sama, adil, dan dalam
hubungan timbal balik; 3) mediation, masalah perbedaan tujuan antar
kelompok diatasi dengan cara membangun sebuah realitas baru yang
dapat diterima dan berkelanjutan dimana setiap kelompok merasa seperti
di rumahnya sendiri sehingga kontradiksi dapat di minimalisir bahkan
dihilangkan; 4) peacebuilding, adanya pola dualisme yang mengakar
dalam struktur sosial seperti baik dan buruk, tuhan dan setan. Pola yang
mengakar ini dikikis dengan proses humanisasi dan depolarisasi sehingga
memunculkan citra yang baik antar kelompok; 5) nonviolence, adagium
sosial yang berkembang bahwa kekerasan harus dibalas dengan
kekerasan dan seterusnya digantikan dengan menciptakan perdamaian
dengan cara damai karena damai adalah jalan terbaik satu-satunya; 6)
conciliation, menghilangkan trauma masa lalu dengan menawarkan
pendekatan kerjasama yang mampu membangun hubungan baru yang
lebih baik; 7) creating virtous cycles, mengeliminasi penggunaan langsung
kekuatan militer dengan mengenalkan struktur dan budaya damai.

3. Kesimpulan

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa dalam bentuk kehidupan


nyata, harmoni dan disharmoni merupakan bagian tak terpisahkan. Konflik
dan kerjasama adalah siklus kehidupan yang terus berulang dan selalu
ditemui. Dalam proses pembentukan konflik, disharmonisasi adalah aspek
paling dominan dan kentara. Sementara, kemungkinan untuk membangun
kerjasama (aspek harmonis) antar pihak atau aktor menjadi dasar dan
pondasi penting dalam proses transformasi konflik (Galtung, h. 80).

7|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies


Sebagai akhir dari review ini, paling tidak dapat disimpulkan bahwa
Transcend Approach meliputi beberapa program penting didalamnya
yaitu, 1) conflict transformation, upaya menghilangkan konflik; 2) peace
building, menentang polarisasi dan dehumanisasi pada tataran attitude
and behaviour; 3) peace keeping, memperkecil level kekerasan melalui
soft methods; dan 4) reconciliaion, proses pemulihan hubungan dan
mengakhiri bentuk kejahatan dalam lingkaran konflik (transcend and
transform, (Galtung, 2004, h. 187).

Daftar Pustaka

Galtung, Johan, “Peace by Peaceful Means, Peace and Conflict,


Development and Civilization”, Oslo, PRIO (International Peace
Research Institute.

Galtung, Johan. 2004, “Transcend and Transform, An Introduction to


Conflict Work”, London, Pluto Press.

Webel, Charles & Galtung, Johan, 2007, “Handbook of Peace and Conflict
Studies”, New York, Routledge.

8|Review Handbook Of Peace & Conclict Studies

Anda mungkin juga menyukai