Asuhan Keperawatan Anak Dengan Meningitis
Asuhan Keperawatan Anak Dengan Meningitis
BAB I
PENDAHULUAN
C. Etiologi
a. Bakteri
Merupakan penyebab tersering dari meningitis.Adapun beberapa bakteri yang secara
umum diketahui dapat menyebabkan meningitis adalah:
Haemophillus influenza
Nesseria meningitides (meningococcal)
Diplococcus pneumoniae (pneumococca)
Streptococcus, grup A
Staphylococcus aureus
Escherichia coli
Klebsiella
Proteus
Pseudomonas
b. Virus
Meningitis virus adalah infeksi pada meningen; cenderung jinak dan bisa sembuh
sendiri.Virus biasanya bereplikasi sendiri ditempat terjadinya infeksi awal (misalnya sistem
nasofaring dan saluran cerna) dan kemudian menyebar kesistem saraf pusat melalui sistem
vaskuler.Virus : Toxoplasma Gondhi, Ricketsia.
Ini terjadi pada penyakit yang disebabkan oleh virus seperti: campak, mumps, herpes
simplek, dan herpes zoster. Virus herpes simplek mengganggu metabolisme sel sehingga sel
mengalami nekrosis.Jenis lainnya juga mengganggu produksi enzim atau neurotransmitter yang
dapat menyebabkan disfungsi sel dan gangguan neurologic.
c. Faktor predisposisi
Jenis kelamin: laki-laki lebih sering dibandingkan wanita.
d. Faktor maternal
Ruptur membrane fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir kehamilan.
e. Faktor Imunologi
Defesiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobin, anak yang mendapat obat imunosupresi.
f. Faktor resiko terjadinya meningitis :
1) Infeksi sistemik
Didapat dari infeksi di organ tubuh lain yang akhirnya menyebar secara hematogen sampai ke
selaput otak, misalnya otitis media kronis, mastoiditis, pneumonia, TBC, perikarditis, dll.
Pada meningitis bacterial, infeksi yang disebabkan oleh bakteri terdiri atas faktor pencetus
sebagai berikut diantaranya adalah :
a. Otitis media
b. Pneumonia
c. Sinusitis
d. Sickle cell anemia
e. Fraktur cranial, trauma otak
f. Operasi spinal
g. Meningitis bakteri juga bisa disebabkan oleh adanya penurunan system kekebalan tubuh seperti
AIDS.
2) Trauma kepala
Bisanya terjadi pada trauma kepala terbuka atau pada fraktur basis cranii yang memungkinkan
terpaparnya CSF dengan lingkungan luar melalui othorrhea dan rhinorrhea
3) Kelainan anatomis
Terjadi pada pasien seperti post operasi di daerah mastoid, saluran telinga tengah, operasi
cranium.
D. Manifestasi Klinis
Neonatus : menolak untuk makan, reflex menghisap kurang, muntah atau diare, tonus otot
kurang, kurang gerak, dan menangis lemah.
Anak-anak dan remaja : demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti dengan perubahan
sensori, kejang, mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku
agresif atau maniak, stupor, koma, kaku kuduk, opistotonus. Tanda kernig dan brudzinski positif,
reflex fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus (menunjukkan adanya infeksi meningococcal).
Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun) : demam, malas makan, muntah, mudah
terstimulasi, kejang, menangis dan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk, dan tanda kernig
dan Brudzinsky positif.
E. Patofisiologi
Otak dilapisi oleh tiga lapisan, yaitu : duramater, arachnoid, dan piamater. Cairan otak
dihasilkan di dalam pleksus choroid ventrikel bergerak / mengalir melalui sub arachnoid dalam
sistem ventrikuler dan seluruh otak dan sumsum tulang belakang, direabsorbsi melalui villi
arachnoid yang berstruktur seperti jari-jari di dalam lapisan subarachnoid.
Organisme (virus / bakteri) yang dapat menyebabkan meningitis, memasuki cairan otak
melalui aliran darah di dalam pembuluh darah otak.Cairan hidung (sekret hidung) atau sekret
telinga yang disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak dapat menyebabkan meningitis karena
hubungan langsung antara cairan otak dengan lingkungan (dunia luar), mikroorganisme yang
masuk dapat berjalan ke cairan otak melalui ruangan subarachnoid. Adanya mikroorganisme
yang patologis merupakan penyebab peradangan pada piamater, arachnoid, cairan otak dan
ventrikel. Eksudat yang dibentuk akan menyebar, baik ke kranial maupun ke saraf spinal yang
dapat menyebabkan kemunduran neurologis selanjutnya, dan eksudat ini dapat menyebabkan
sumbatan aliran normal cairan otak dan dapat menyebabkan hydrocephalus.
F. Komplikasi
Komplikasi yang muncul pada anak dengan meningitis, antara lain:
1. Munculnya cairan pada lapisan subdural (efusi subdural). Cairan ini muncul karena adanya
desakan pada intrakranial yang meningkat sehingga memungkinkan lolosnya cairan dari lapisan
otak ke daerah subdural.
2. Peradangan pada daerah ventrikuler ke otak (ventrikulitis). Abses pada meningen dapat sampai
ke jaringan kranial lain baik melalui perembetan langsung maupun hematogen termasuk ke
ventrikuler.
3. Hidrosepalus. Peradangan pada meningen dapat merangsang kenaikan produksi Liquor
Cerebro Spinal (LCS). Cairan LCS pada meningitis lebih kental sehingga memungkinkan
terjadinya sumbatan pada saluran LCS yang menuju medulla spinalis. Cairan tersebut akhirnya
banyak tertahan di intrakranial.
4. Abses otak. Abses otak terjadinya apabila infeksi sudah menyebar ke otak karena meningitis
tidak mendapat pengobatan dan penatalaksanaan yang tepat.
5. Epilepsi
6. Retardasi mental. Retardasi mental kemungkinan terjadi karena meningitis yang sudah menyebar
ke serebrum sehingga mengganggu gyrus otak anak sebagai tempat menyimpan memori.
7. Serangan meningitis berulang. Kondisi ini terjadi karena pengobatan yang tidak tuntas
atau mikroorganisme yang sudah resisten terhadap antibiotik yang digunakan untuk pengobatan.
G. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Terapeutik
- Isolasi
- Terapi antimikroba: antibiotik yang diberikan berdasarkan pada hasil kultur, diberikan dengan
dosis tinggi melalui intravena.
- Mempertahankan hidrasi optimum: mengatasi kekurangan cairan dan mencegah kelebihan
cairan yang dapat menyebabkan edema.
- Mencegah dan mengobati komplikasi: aspirasi efusi subdural (pada bayi), terapi heparin pada
anak yang mengalami DIC,
- Mengontrol kejang: pemberian terapi antiepilepsi
- Mempertahankan ventilasi
- Mengurangi meningkatnya tekanan intra cranial
- Penatalaksanaan syok bacterial
- Mengontrol perubahan suhu lingkungan yang ekstrim
- Memperbaiki anemia
b. Penatalaksanaan Medis
- Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
- Steroid untuk mengatasi inflamasi
- Antipiretik untuk mengatasi demam
- Antikonvulsant untuk mencegah kejang
- Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa dipertahankan
- Pembedahan: seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Periton).
- Pemberian cairan intravena. Pilihan awal yang bersifat isotonik seperti asering atau ringer laktat
dengan dosis yang dipertimbangkan melalui penurunan berat badan anak atau tingkat dehidrasi.
Ini diberikan karena anak yang menderita meningitis sering datang dengan penurunan kesadaran
karena kekurangan cairan akibat muntah, pengeluaran cairan melalui proses evaporasi akibat
hipertermia dan intake cairan yang kurang akibat kesadaran yang menurun.
- Pemberian diazepam apabila anak mengalami kejang. Pada dosis awal diberikan diazepam 0,5
mg/Kg BB/kali pemberian secara intravena. Setelah kejang dapat diatasi maka diberikan
fenobarbital dengan dosis awal pada neonatus 30 mg, anak kurang dari 1 tahun 50 mg sedangkan
yang lebih 1 tahun 75 mg. Untuk rumatannya diberikan fenobarbital 8-10 mg/Kg BB/ dibagi
dalam 2 kali pemberian diberikan selama 2 hari. Sedangkan pemberian fenobarbital 2 hari
berikutnya dosis diturunkan menjadi 4-5 mg/Kg BB/ dibagi dalam 2 kali pemberian. Pemberian
diazepam selain untuk menurunkan kejang juga diharapkan dapat menurunkan suhu tubuh
karena selain hasil toksik kuman peningkatan suhu tubuh juga berasal dari kontraksi otot akibat
kejang.
- Penempatan pada ruangan yang minimal rangsangan seperti rangsangan suara, cahaya dan
rangsangan polusi. Rangsangan yang berlebihan dapat membangkitkan kejang pada anak karena
peningkatan rangsangan depolarisasi neuron yang dapat berlangsung cepat.
- Pembebasan jalan nafas denga menghisap lendir melalui section dan memposisikan anak pada
posisi kepala miring hiperekstensi. Tindakan pembebasan jalan nafas dipadu dengan pemberian
oksigen untuk mensupport kebutuhan metabolisme yang meningkat selain itu mungkin juga
terjadi depresi pusat pernafasan karena peningkatan tekanan intrakranial sehingga perlu
diberikan oksigen bertekanan lebih tinggi yang lebih mudah masuk ke saluran pernafasan.
Pemberian oksigen pada anak dengan meningitis dianjurkan konsentrasi yang masuk bisa tinggi
melalui masker oksigen.
- Pemberian antibiotik yang sesuai dengan mikroorganisme penyebab. Antibiotik yang sering
dipakai adalah ampisillin dengan dosis 300-400mg/KgBB dibagi dalam 6 dosis pemberian secara
intrevena dikombinasikan dengan kloramfenikol 50 mg/KgBB dibagi dalam 4 dosis pemberian.
Pemberian antibiotik ini yang paling rasional melalui kultur dari pembelian cairan serebrospinal
melalui lumbal fungtio.
c. Penatalaksanaan di Rumah:
- Tempatkan anak pada ruangan dengan sirkulasi udara baik, tidak terlalu panas dan tidak terlalu
lembab. Sirkulasi udara yang baik berfungsi mensupport penyediaan oksigen lingkungan yang
cukup karena anakyang menderita demam terjadi peningkatan metabolisme aerobik yang praktis
membutuhkan masukan oksigen yang cukup. Selain itu ruangan yang cukup oksigen juga
berfungsi menjaga fungsi saluran pernafasan dapat berfungsi dengan baik. Adapun
lingkunganyang panas selain mempersulit perpindahan panas anak ke lingkungan juga dapat
terjadi sebaliknya kadang anak yang justru menerima paparan sinar dari lingkungan.
- Tempatkan anak pada tempat tidur yang rata dan lunak dengan posisi kepala miring
hiperektensi. Posisi ini diharapkan dapat menghindari tertekuknya jalan nafas sehingga
mengganggu masuknya oksigen ke saluran pernafasan.
- Berikan kompres hangat pada anak untuk membantu menurunkan demam. Kompres ini
berfungsi memindahan panas anak melalui proses konduksi. Perpindahan panas anak biar dapat
lebih efektif dipadukan dengan pemberian pakaian yang tipis sehingga panas tubuh anak mudah
berpindah ke lingkungan.
- Berikan anak obat turun panas (dosis disesuaikan dengan umur anak). Untuk patokan umum
dosis dapat diberikan anak dengan usia sampai 1 tahun 60 – 120 mg, 1-5 tahun 120-150 mg, 5
tahun ke atas 250-500 mg yang diberikan rata-rata 3 kali sehari.
- Anak diberikan minum yang cukup dan hangat dengan patokan rata-rata kebutuhan 30-40
cc/KgBB/hari. Cairan ini selain secara volume untuk mengganti cairan yang hilang karena
peningkatan suhu tubuh juga berfungsi untuk menjaga kelangsungan fungsi sel tubuhyang
sebagian besar komposisinya adalah unsur cairan. Sedangkan minuman hangat dapat membantu
mengencerkan sekret yang kental pada saluran pernafasan.
B. Pemeriksaan Penunjang
Lumbal Pungsi:
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein, cairan
serebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK.
Meningitis bacterial: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat,
glukosa menurun, kultur positif terhadap beberapa jenis bakteri.
Glukosa & dan LDH : meningkat.
LED/ESRD: meningkat.
CT Scan/MRI: melihat lokasi lesi, ukuran ventrikel, hematom, hemoragik.
Rontgent kepala: mengindikasikan infeksi intrakranial.
Kultur Darah
Kultur Swab Hidung dan Tenggorokan
3. Resiko terjadinya injuri sehubungan dengan adanya kejang, perubahan status mental dan
penurunan tingkat kesadaran
Tujuan:
- Pasien bebas dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
INTERVENSI RASIONALISASI
Independent
monitor kejang pada tangan, kaki, Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
mulut dan otot-otot muka lainnya memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman Melindungi pasien bila kejang terjadi
seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat pasien.
Pertahankan bedrest total selama fae Mengurangi resiko jatuh / terluka jika
akut vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi
Berikan terapi sesuai advis dokter Untuk mencegah atau mengurangi kejang.
seperti; diazepam, phenobarbital, dll. Catatan : Phenobarbital dapat
menyebabkan respiratorius depresi dan
sedasi.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Tujuan:
- Suhu tubuh klien menurun dan kembali normal.
Kriteria hasil:
- Suhu tubuh 36,5 - 37,5 ° C
INTERVENSI RASIONALISASI
Ukur suhu badan anak setiap 4 jam suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses
penyakit infeksius
Pantau suhu lingkungan Untuk mempertahankan suhu badan
mendekati normal
Berikan kompres hangat Untuk mengurangi demam dengan proses
konduksi
Berikan selimut pendingin Untuk mengurangi demam lebih dari
39,5 0C
Kolaborasi dengan tim medis : Untuk mengurangi demam dengan aksi
pemberian antipiretik sentralnya di hipotalamus
7. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
Tujuan:
- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada anak tidak
terjadi
Kriteria Hasil:
- Masukan nutrisi adekuat
- Tidak mengalami penurunan BB
INTERVENSI RASIONALISASI
Kaji kemampuan pasien untuk Berpengaruh terhadap pemilihan jenis
mengunyah, menelan, batuk dan makanan
mengatasi sekresi
Hindari makanan yang Meminimalkan mual dan muntah
memperburuk mual dan muntah
Anjurkan menyajikan diet dalam makanan hangat meminimalkan risiko
keadaan hangat muntah
Anjurkan kepada orang tua untuk meningkatkan proses pencernaan dan
memberikan makanan dalam porsi toleransi pasien terhadap nutrisi yang
kecil tapi sering diberikan
Timbang BB setiap hari Menunjukkan status nutrisi
Auskultasi bising usus Menentukan respon makan atau
berkembangnya komplikasi
Kolaborasi dengan tim gizi Merupakan sumber yang efektif untuk
mengidentifikasi kebutuhan nutrisi pasien
Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak adekuat pada bayi baru lahir
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan oleh kelainan anatomi
kelenjar tiroid, kelainan genetik, kesalahan biosintesis tiroksin serta pengaruh lingkungan.
Kelenjar tiroid janin berasal dari endoderm foregut yang kemudian bermigrasi ke inferior sampai ke
daerah kartilago tiroid. Segala sesuatu yang terjadi selama proses migrasi ini dapat menyebabkan
terjadinya tiroid ektopik. Pada usia 7 minggu, kelenjar tiroid sudah terdiri dari 2 lobus.
Thyrotropin Releasing Hormone (TRH) mulai terdapat dalam neuron pada neonatus saat usia 4 minggu
sedangkan Tiroid Stimulating Hormone (TSH) mulai dihasilkan oleh hipofisis pada usia 9 minggu, dan
dapat dideteksi dalam sirkulasi pada usia 11 sampai 12 minggu. Kadar TSH dalam darah mulai meningkat
pada usia 12 minggu sampai aterm. Pada usia 4 minggu, janin mulai mensintesis tiroglobulin. Aktivitas
tiroid mulai tampak pada usia 8 minggu kehamilan. Pada usia kehamilan 8 sampai 10 minggu, janin dapat
melakukan ambilan (trapping) iodium dan pada usia 12 minggu dapat memproduksi T4 yang secara
bertahap kadarnya terus meningkat sampai mencapai usia 36 minggu. Produksi TRH oleh hipotalamus
dan TSH oleh hipofisis terjadi dalam waktu yang berrsamaan, tetapi integrasi dan fungsi aksis
hipotalamus-hipofisis-tiroid dengan mekanisme umpan baliknya belum terjadi sampai trimester kedua
kehamilan.
Sebelum memasuki trimester kedua kehamilan, perkembangan normal janin sangat bergantung pada
hormon tiroid ibu. Kira-kira sepertiga kadar T4 ibu dapat melewati plasenta dan masuk ke janin. Apabila
ibu hamil mengalami kelainan tiroid atau mendapatkan pengobatan anti tiroid, misalnya penyakit Grave’s
maka, obat anti tiroid juga melewati plasenta sehingga janin beresiko mengalami hipotiroid.
Sesudah bayi lahir terjadi kenaikan TSH mendadak yang menyebabkan peningkatan kadar T3 dan T4 yang
kemudian secara perlahan-lahan menurun dalam 4 minggu pertama kehidupan bayi. Pada bayi prematur
kadar T4 saat lahir rendah kemudian meningkat mencapai kadar bayi aterm dalam usia 6 minggu. Semua
tahap yang melibatkan sintesis hormon tiroid termasuk trapping, oksidasi, organifikasi, coupling dan
sekresinya berada di bawah pengaruh TSH.
2.2.2 Etiologi
Ada beberapa penyebab penyakit hipotiroid kongenital. Tergantung dari penyebabnya hipotiroid
kongenital dapat bersifat permanen (pada sebagian besar kasus, > 90%), dapat pula bersifat sementara
atau transient (pada sebagian kecil kasus, <20%).
1. Kesalahan pada pembentukan kelenjar tiroid pada masa perkembangan janin, seperti kegagalan
total atau partial dari perkembangan kelenjar tiroid dan tumbuhnya kelenjar tiroid pada tempat
yang salah. Kesalahan pada pembentukan kelenjat tiroid ini adalah penyebab tersering (80-85 %
kemungkinan terjadi ) namun kemungkinan berulang pada anak yang berikutnya sangat jarang
dengan frekuensi 1 dari 4000 bayi lahir.
2. Gangguan pada proses pembuatan hormon tiroid, walaupun pembentukan kelenjar tiroid
normal. Gangguan ini menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya produksi hormon tiroid
sehingga bayi menderita hipotiroid kongenital. Gangguan ini diturunkan dari orang tua kepada
anaknya dengan kemungkinan pada setiap kehamilan berikutnya 1 dari 4 anaknya akan
menderita gangguan proses pembuatan hormon tiroid.
3. Gangguan pada otak yang mengatur produksi hormon tiroid. gangguan ini adalah penyebab
hipotiroid kongenital yang paling jarang (<5%) dan bisa bersifat keturunan atau tidak.
2. Kadar yodium yang berlebihan selama masa kehamilan / menyusui akibat penggunaan obat-
obatan yang mengandung yodium pada ibu yang tidak menderita kekurangan yodium. Walaupun
yodium sangat penting dalam pembuatan hormon tiroid, kadar yang terlalu tinggi dalam tubuh
bayi dapat menurunkan fungsi kelenjar tiroid sehingga produksi hormon terganggu.
Gangguan pertumbuhan dan retardasi mental merupakan gejala yang tersering dan dan yang paling
dirasakan. Namun selain itu terdapat pula gejala-gejala yang tampak secara fisik seperti : pembesaran
kelenjar tiroid atau gondok, frekuensi buang air besar yang berkurang, suara serak, kulit dan rambut
tampak kering, anak tampak pucat dan frekuensi denyut jantungnya lebih jarang dari anak normal.
Namun seorang anak yang menderita hipotiroid kongenital tidak selalu memiliki semua gejala-gejala
tersebut. Gejala dapat timbul segera setelah lahir atau setelah anak tersebut mengalami proses belajar,
tergantung dari faktor penyebab dan beratnya penyakit.
Dicurigai adanya hipotiroid bila skor Apgar hipotiroid kongenital > 5; tetapi tidak adanya gejala atau
tanda yang tampak, tidak menyingkirkan kemungkinan hipotiroid kongenital.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Meningitis merupakan peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat. Yang disebabkan oleh bakteri,
virus, faktor maternal dan faktor imunologi. Berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak adalah meningitis serosa dan meningitis purulenta, sedangkan berdasarkan etiologinya
meningitis dibedakan atas meningitis bakteri, meningitis virus dan meningitis jamur. Meningitis
purulent adalah adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula
spinalis dan Meningitis serosa ( bakteri ) merupakan peradangan yang disebabkan oleh
organisme pada bakteri seperti meningococcus, staphylococcus, Baccilus influenza, Baccilus
tubercula, Neiserria meningitides, sreptococus pnemoniae (pada dewasa), haimopilus influenza
(pada anak-anak dan remaja).
3.2 Saran
1. Tenaga kesehatan
Sebagai tim kesehatan agar lebih bisa meningkatkan pengetahuan tentang meningitis dan
problem solving yang efektif dan juga sebaiknya kita memberikan informasi atau health
education mengenai meningitis kepada para orang tua anak yang paling utama.
2. Masyarakat
Masyarakat sebaiknya mengindari hal-hal yang dapat memicu terjadinya meningitis dan
meningkatkan pola hidup yang sehat.
BAB II
TINJAUAN MEDIS
A. PENGERTIAN
Bronchopneumonia adalah radang pada paru-paru yang mempunyai penyebaran berbercak,
teratur dalam satu area atau lebih yang berlokasi di dalam bronki dan meluas ke parenkim paru
(Brunner dan Suddarth, 2001).
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru
yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat (Whalley and Wong, 1996).
Bronchopneumina adalah frekwensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang lama, tanda
dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan meningkat (Suzanne G.
Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang disebabkan
oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing (Sylvia Anderson, 1994).
Dari beberapa penngertian tersebut dapat disimpulkan,Bronkopneumonia adalah radang paru-
paru yang mengenai satu atau beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-
bercak infiltrat yang disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur dan benda asing
C. ETIOLOGI
Pada umumnya tubuh terserang Bronchopneumonia karena disebabkan oleh penurunan
mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme patogen.Penyebab
Bronchopneumonia yang biasa ditemukan adalah:
1. Bakteri : Diplococus Pneumonia, Pneumococcus, Stretococcus Hemoliticus Aureus,
Haemophilus Influenza, Basilus Friendlander (Klebsial Pneumoni), Mycobacterium
Tuberculosis.
2. Virus : Respiratory syntical virus, virus influenza, virus sitomegalik.
3. Jamur : Citoplasma Capsulatum, Criptococcus Nepromas, Blastomices Dermatides,
Aspergillus Sp, Candinda Albicans, Mycoplasma Pneumonia. Aspirasi benda asing.
4. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya Bronchopnemonia adalah
a) Faktor predisposisi
-usia /umur
-genetik
b) Faktor pencetus
-gizi buruk/kurang
-berat badan lahir rendah (BBLR)
-tidak mendapatkan ASI yang memadai
-imunisasi yang tidak lengkap
-polusi udara
-kepadatan tempat tinggal
D. PATOFISIOLOGI
Bronkopneumonia merupakan infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh virus penyebab
Bronchopneumonia yang masuk ke saluran pernafasan sehingga terjadi peradangan broncus dan
alveolus dan jaringan sekitarnya. . Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret,
sehingga terjadi demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual. Setelah itu mikroorganisme
tiba di alveoli membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
A. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung pada daerah
baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler
di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos
vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan
eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang
harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
B. Stadium II/hepatisasi (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin
yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena
menjadi padat oleh karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada
atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat
singkat, yaitu selama 48 jam.
C. Stadium III/hepatisasi kelabu (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan
terjadi fagositosis sisa-sisa sel.Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih
tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
D. Stadium IV/resolusi (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda, sisa-
sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke
strukturnya semula. Inflamasi pada bronkus ditandai adanya penumpukan sekret, sehingga terjadi
demam, batuk produktif, ronchi positif dan mual.
Bila penyebaran kuman sudah mencapai alveolus maka komplikasi yang terjadi adalah kolaps
alveoli, fibrosis, emfisema dan atelektasis.Kolaps alveoli akan mengakibatkan penyempitan jalan
napas, sesak napas, dan napas ronchi. Fibrosis bisa menyebabkan penurunan fungsi paru dan
penurunan produksi surfaktan sebagai pelumas yang berfungsi untuk melembabkan rongga
fleura. Emfisema ( tertimbunnya cairan atau pus dalam rongga paru ) adalah tindak lanjut dari
pembedahan. Atelektasis mengakibatkan peningkatan frekuensi napas, hipoksemia, acidosis
respiratori, pada klien terjadi sianosis, dispnea dan kelelahan yang akan mengakibatkan
terjadinya gagal napas.
E. MANIFESTASI KLINIK
• Biasanya didahului infeksi traktus respiratoris atas
• Demam (390 – 400C) kadang-kadang disertai kejang karena demam yang tinggi
• Anak sangat gelisah,dan adanya nyeri dada yang terasa ditusuk-tusuk, yang dicetuskan oleh
bernapas dan batuk
• Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung
dan mulut.
• Kadang-kadang disertai muntah dan diare
• Adanya bunyi tambahan pernapasan seperti ronchi, whezing.
• Rasa lelah akibat reaksi peradangan dan hipoksia apabila infeksinya serius.
• Ventilasi mungkin berkurang akibat penimbunan mokus yang menyebabkan atelektasis
absorbsi.
F. KOMPLIKASI
1. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps paru merupakan
akibat kurangnya mobilisasi atau refleks batuk hilang.
2. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga pleura terdapat di
satu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
4. Infeksi sistemik
5. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
6. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan radiologi yaitu pada foto thoraks, konsolidasi satu atau beberapa lobus yang
berbercak-bercak infiltrat
Pemeriksaan laboratorium didapati lekositosit antara 15000 sampai 40000 /mm3.
Hitung sel darah putih biasanya meningkat kecuali apabila pasien mengalami imunodefiensi.
Pemeriksaan AGD (analisa gas darah), untuk mengetahui status kardiopulmoner yang
berhubungan dengan oksigen.
Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsi jarum, untuk mengetahui
mikroorganisme penyebab dan obat yang cocok untuk menanganinya.
H. PENATALAKSANAAN
A. Farmakologi
Pemberian antibiotik misalnya penisilin G, streptomisin, ampicillin, gentamisin.
Pemilihan jenis antibiotik didasarkan atas umur, keadaan umum penderita, dan dugaan kuman
penyebab:
1. Umur 3 bulan-5 tahun,bila toksis disebabkan oleh streptokokus pneumonia, Hemofilus
influenza atau stafilokokus.Pada umumnya tidak diketahui penyebabnya, maka secara praktis
dipakai :
Kombinasi : penisilin prokain 50.000-100.000 KI/kg/24 jam IM, 1-2 kali sehari dan
Kloramfenikol 50-100 mg/kg/24 jam IV/oral, 4 kali sehari. Atau kombinasi Ampisilin 50-100
mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari dan Kloksasilin 50 mg/kg/24 jam IM/IV, 4 kali sehari atau
kombinasi Eritromisin 50 mg/kg/24 jam, oral 4 kali sehari dan Kloramfenikol (dosis sama
dengan diatas).
2. Anak –anak < 5 tahun, yang non toksis, biasanya disebabkan oleh : Streptokokus pneumonia:
o Penisilin prokain IM atau o Fenoksimetilpenisilin 25.000-50.000 KI/24 jam oral, 4 kali sehari o
Eritromisin atau o Kotrimoksazol 6/30 mg/kg/24 jam, oral 2 kali sehari. o Oksigen 1-2 L/menit.
IVFD dekstrose 5 % ½ NaCl 0,225% 350cc / 24 jam ASI/PASI 8 x 20cc per sonde B. Non
farmakologi 1. Istirahat, umumnya penderita tidak perlu dirawat, cukup istirahat dirumah. 2.
Simptomatik terhadap batuk. 3. Batuk yang produktif jangan ditekan dengan antitusif 4. Bila
terdapat obstruksi jalan napas, dan lendir serta ada febris, diberikan broncodilator. 5. Pemberian
oksigen umumnya tidak diperlukan, kecuali untuk kasus berat. Antibiotik yang paling baik
adalah antibiotik yang sesuai dengan penyebabnya.
I. PENCEGAHAN
Penyakit bronkopneumonia dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan penderita atau
mengobati secara dini penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya bronkopneumonia
ini. Selain itu hal-hal yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan daya tahan tubuh kita
terhadap berbagai penyakit saluran nafas seperti : cara hidup sehat, makan makanan bergizi dan
teratur ,menjaga kebersihan ,beristirahat yang cukup, rajin berolahraga, dll. Melakukan vaksinasi
juga diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terinfeksi antara lain: 1. Vaksinasi
Pneumokokus 2. Vaksinasi H. Influenza 3. Vaksinasi Varisela yang dianjurkan pada anak dengan
daya tahan tubuh rendah 4. Vaksin influenza yang diberikan pada anak sebelum anak sakit.
BAB III
TINJAUAN KEPERAWATAN/ASKEP
1.1 PENGKAJIAN
a) Identitas.
Umumnya anak dengan daya tahan terganggu akan menderita pneumonia berulang atau tidak
dapat mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Selain itu daya tahan tubuh yang menurun akibat
KEP, penyakit menahun, trauma pada paru, anesthesia, aspirasi dan pengobatan antibiotik yang
tidak sempurna.
b) Riwayat Keperawatan.
i. Keluhan utama.
Anak sangat gelisah, dispnea, pernapasan cepat dan dangkal, diserai pernapasan cuping hidupng,
serta sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang disertai muntah dan diare.atau diare, tinja
berdarah dengan atau tanpa lendir, anoreksia dan muntah.
ii. Riwayat penyakit sekarang.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas selama
beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40oC dan kadang disertai
kejang karena demam yang tinggi.
iii. Riwayat penyakit dahulu.
Pernah menderita penyakit infeksi yang menyebabkan sistem imun menurun.
iv. Riwayat kesehatan keluarga.
Anggota keluarga lain yang menderita penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menularkan
kepada anggota keluarga yang lainnya.
c) Riwayat kesehatan lingkungan.
Menurut Wilson dan Thompson, 1990 pneumonia sering terjadi pada musim hujan dan awal
musim semi. Selain itu pemeliharaan ksehatan dan kebersihan lingkungan yang kurang juga bisa
menyebabkan anak menderita sakit. Lingkungan pabrik atau banyak asap dan debu ataupun
lingkungan dengan anggota keluarga perokok.
d) Imunisasi.
Anak yang tidak mendapatkan imunisasi beresiko tinggi untuk mendapat penyakit infeksi saluran
pernapasan atas atau bawah karena system pertahanan tubuh yang tidak cukup kuat untuk
melawan infeksi sekunder.
e) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
f) Nutrisi.
Riwayat gizi buruk atau meteorismus (malnutrisi energi protein = MEP).
6. Pemeriksaan persistem.
a.Sistem kardiovaskuler.
Takikardi, iritability.
b.Sistem pernapasan.
Sesak napas, retraksi dada, melaporkan anak sulit bernapas, pernapasan cuping hdidung, ronki,
wheezing, takipnea, batuk produktif atau non produktif, pergerakan dada asimetris, pernapasan
tidak teratur/ireguler, kemungkinan friction rub, perkusi redup pada daerah terjadinya
konsolidasi, ada sputum/sekret. Orang tua cemas dengan keadaan anaknya yang bertambah sesak
dan pilek.
c.Sistem pencernaan.
Anak malas minum atau makan, muntah, berat badan menurun, lemah. Pada orang tua yang
dengan tipe keluarga anak pertama, mungkin belum memahami tentang tujuan dan cara
pemberian makanan/cairan personde.
d.Sistem eliminasi.
Anak atau bayi menderita diare, atau dehidrasi, orang tua mungkin belum memahami alasan
anak menderita diare sampai terjadi dehidrasi (ringan sampai berat).
e.Sistem saraf.
Demam, kejang, sakit kepala yang ditandai dengan menangis terus pada anak-anak atau malas
minum, ubun-ubun cekung.
f. Sistem lokomotor/muskuloskeletal.
Tonus otot menurun, lemah secara umum,
g. Sistem endokrin.
Tidak ada kelainan.
h. Sistem integumen.
Turgor kulit menurun, membran mukosa kering, sianosis, pucat, akral hangat, kulit kering, .
i. Sistem penginderaan.
Tidak ada kelainan.
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas, perubahan pola nafas, kerusakan pertukaran gas
berhubungan dengan produksi mukus pada paru dn ketidak efektifan batuk.
Tujuan : Bersihkan jalan nafas, pola nafas, perubahan pola nafas, kerusakan pertukaran gas
efektif dengan kriteria pernafsan spontan suara nafas Vesikuler, frekuensi pernafasan normal (30-
60 X/menit pada bayi dan 15-30 X/menit pada anak). Tidak sesak dan tidak sianosis, batuk
spontan, AGD normal (Pa O2 80 – 100 dan CO2 35 – 45).
Intervensi
- Lakukan Auskultasi Suara 2 – 4 Jam
R/ mengetahui obstruksi pada saluran nafas dan manifestainya pada suara nafas.
- Berikan posisi kepala lebih tinggi dari posisi badan dan kaki.
R/ penurunan diafragma dapat membantu ekspansi paru lebih maximal.
- Latih dan anjurkan klien untuk lebih efektif
R/ batuk merupakan mekanisme alamiah untuk mengeluarkan benda asing dari saluran nafas
dengan baik dan benar.
- Ubah posisi klien sesering mungkin tiap 2 jam
R/ Posisi klien yang tetap secara terus menerus dapat mengakibatkan akumulasi sekret dan cairan
pada lobus yang berada di bagian bawah.
- Lakukan suction bila perlu
R/ peningkatan mucus/lendir di saluran nafas dapat menyumbat jalan nafas.
- Monitor tanda vital tiap 4 jam
R/ peningkatan frekwensi nafas mengindikasikan tingkat keparahan.
- Lakukan kolaborasi pemberian O2
R/ kebutuhan oksigen yang masuk ke tubuh dapat dibantu dengan tambahan oksigen yang
diberikan.
- Lakukan pemijatan dinding dada dan perut serta pemberian nebulizer hati. Hati pada anak
yang sesak dan suhu tubuh yang tinggi.
R/ getaran dan pemijatan membantu melepaskan sekret yang menempel pada dinding saluran
nafas, nebulizer merangkang batuk efektif klien.
- Berikan obat ekspektoran, broncodilator, mukolitik dan pemeriksaan penunjang.
R/ pelebaran saluran nafas, sekret yang mudah keluar akan mempermudah klien bernafas, deteksi
sejauh mana kebutuhan O2 dapat diberikan dengan pemeriksaan penunjang.
Tujuan : Suhu tubuh dan tanda vital dalam batas normal dengan kriteria suhu tubuh normal 365
– 375 o C (bayi) 36-37 (anak) nadi normal 120 140 X/menit (bayi) 100-120 X/menit (anak)
Respirasi normal 30-60 X/ment (bayi) 30-40X/menit (anak).
Intervensi :
- Monitor suhu tubuh tiap 2-4 Jam
R/ perubahan suhu tubuh dapat mengetahui adanya infeksi.
- Berikan kompres hangat
R/ kompres hangat menurunkan panas dengan cara konduksi yaitu kontak langsung dengan
obyek.
- Berikan antipiretik, analgetik sesuai program dokter
R/ menurunkan panas di pusat hepotalamus.
Tujuan : klien mampu meningkatkan aktivitas fisiknya dengan kriteria mampu melaksanakan
aktifitas ringan dan mampu mempertahankan gerak.
Intervensi
- Rencanakan periode istirahat sering pada klien untuk penghematan energi.
R/ istirahat yang cukup dapat mengembalikan tenaga klien secara bertahap dan mencegah
pengeluaran yang berlebihan.
- Ciptakan lingkungan yang tenang tanpa stress
R/ Lingkungan yang tenang dapat memberikan rasa nyaman pada klien
- Ubah posisi secara bertahap dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
R/ membantu mobilisasi secara bertahap
- Sertakan orang tua dalam meningkatkan kebutuhan istirahat
R/ istirahat tidur lebih efektif dengan peran serta orang tua.
(4) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan
dampak dari usaha peningkatan proses bernafas.
Tujuan : volume cairan tubuh sumbang antara intake dan output dengan kriteria kebutuhan
cairan terpenuhi, urine normal, turgor kulit baik dan membran mukosa lembab, tidak demam.
Intervensi :
- Tingkatkan frekwensi pemasukan cairan melalui oral
R/ Membantu mengencerkan sekresi pernafasan dan mencegah status cairan tubuh.
- Libatkan orang tua dalam menemukan cara untuk memenuhi kebutuhan cairan.
- Monitor pengeluaran urine tiap 8 jam
R/ mengetahui perbandingan antara pemasukan dan pengeluaran cairan.
- Berikan cairan infus sesuai program dokter
R/ memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
- Kolaborasi tentang pemberian antipiretik
R/ mencegah timbulnya demam
(5) Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
proses penyakit dan perawatan di rumah.
Tujuan : Secara verbal keluarga dapat menjelaskan proses penyakit, penyebab dan penyegahan
penyakit dengan kriteria keluarga menunjukkan pemahaman menganai instruksi evaluasi dan
mengatakan rencana keperawatan untuk istirahat cairan diet dan perawatan evaluasi.
Intervensi :
- Berikan penjelasan pada keluarga tentang perlunya istirahat
R/ Meminimalkan gerak sehingga klien tidak kelelahan
- Jelaskan perlunya diet bergizi sesuai dengan usia dan cairan tambahan
R/ Diet bergizi dapat menimbilkan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi
-Diskusikan tanda dan gejala distres pernafasan
R/ keluarga mengetahui lebih dini gejala distres pernafasan
- Libatkan keluarga dalam setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan
R/ Keluarga dapat melakukannya.
-Libatkan keluarga dalam setiap tindakan keperawatan yang akan dilakukan.
R/ menghindari kesalah pahaman dalam tindakan dan membantu peran aktif keluarga.
- Ajarkan nama antibiotik dan antibiotik, dosis waktu pemberian dan tujuan serta efek
sampingnya pada keluarga.
R/ Keluarga dapat memberikan obat yang tepat sesuai kondisi klien.