Anda di halaman 1dari 40

Laporan Tutorial Modul 1 Makassar, 7 November 2019

Blok Tropis

LAPORAN TUTORIAL
MODUL “DEMAM”
KELOMPOK 4

DOSEN PEMBIMBING :
dr. Yusriani Mangarengi, M.Kes
Anggota Kelompok:
Rizki Handayani : 110 2017 0061
Andi Safa Fauziah : 110 2017 0062
Fatmawati : 110 2017 0063
Nurafni : 110 2017 0065
Amaliah Fildzah Asilah : 110 2017 0067
A. Muhammad Muslih Rijal : 110 2017 0068
Muhammad Fakhri : 110 2017 0069
Ririn Ramadhani Ridwan : 110 2017 0070
Miftahul Jannah : 110 2017 0071

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
A. SKENARIO
 Seorang anak laki-laki berumur 7 tahun dibawa ke Puskesmas dengan keluhan
lemas dan lesu. Pasien juga mengeluh sering diare, dubur gatal, nyeri perut,
mual tapi tidak muntah, dan sulit konsentrasi. Jika melakukan aktivitas
debaran bertambah dan cepat lelah

B. KATA SULIT
Tidak terdapat kata sulit dalam scenario.

C. KATA KUNCI
 Anak Laki-laki 7 tahun
 Mengeluh lemas dan lesu
 Pasien juga mengeluh sering diare, dubur gatal, nyeri perut, mual tapi tidak
muntah, dan sulit konsentrasi
 Jika melakukan aktivitas debaran bertambah dan cepat lelah

D. PERTANYAAN PENTING
1. Jelaskan etiologi lemas dan lesu!
2. Jelaskan patomekanisme gejala sesuai skenario!
3. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan kondisi yang dialami
pasien?
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario!
5. Jelaskan diagnosis banding sesuai skenario!
6. Jelaskan pencegahan sesuai skenario!
E. JAWABAN PERTANYAAN
1. Etiologi lemas dan lesu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): Lesu adalah
suatu perasaan lemah, lelah, letih dan tidak bersemangat. Kelesuan diartikan
kekurangan tenaga, kepenatan, perasaan lesu dan kehilangan semangat.
 Etiologi Lemas dan Lesu
1) Anemia defisiensi zat besi. Anemia Defisiensi Besi pada anak akan
memberikan dampak yang negatif terhadap pertumbuhan
dan perkembangan anak, yaitu dapat menurunkan sistem kekebalan
tubuh (lesu) sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi.
Selain itu berkurangnya kandungan besi dalam tubuh juga dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh akibat oksigenasi ke
jaringan berkurang.
2) Kurangnya suplai darah ke jaringan (anemia)
3) Penyakit yang mempengaruhi metabolisme tubuh (diabetes mellitus)
4) Konsumsi obat-obatan (anti depresan, obat hipertensi, obat tidur, diuretik)
5) Kelenjar tiroid yang terlalu aktif atau kurang aktif
6) Orang kelainan nafsu makan (anoreksia) dan kurang gizi
7) Penyakit kanker, HIV, Tuberkulosis (TBC), Gagal Ginjal, Gagal Hati,
Gagal Jantung.
 Beberapa Patogen Penyakit yang Menimbulkan Lemah dan Lesu
Penyakit adalah kegagalan dari mekanisme adaptasi suatu organisme
untuk bereaksi secara tepat terhadap rangsangan atau tekanan sehingga
timbul gangguan pada fungsi atau struktur dari bagian, organ atau sistem.
Penyakit dapat timbul oleh karena infeksi.
Terjadinya suatu penyakit dapat disebabkan oleh karena infeksi dan non
infeksi. Contoh keadaan non infeksi yang dapat menyebabkan lesu yaitu
aktivitas fisik yang berlebih, kurang tidur, stres dll. Sedangkan, Infeksi
adalah manifestasi klinis yang terjadi ketika sebuah mikroorganisme
menyerang pejamu, sehingga Penyakit dapat timbul oleh karena infeksi.
Beberapa agen penyebab infeksi adalah sebagai berikut:
a) Bakteri
Bakteri dapat memberikan efek positif bagi kehidupan manusia, namun
juga dapat memberikan efek negative. Efek negative yang disebabkan
oleh bakteri rata-rata karena kontaminasi dari bakteri pathogen.
Penyakit yang ditimbulkan tergantung dengan masing-masing bakteri
yang menginfeksinya. Seperti; Demam Tifoid disebabkan oleh
(Salmonella typhy), Tuberkulosis disebabkan (Mycobacterium
tuberculosis), Difteri disebabakan oleh (Corynebacterium diphteriae)
serta masih banyak lainnya.
b) Virus
Virus hanya bisa bereproduksi dalam makhluk hidup, atau dengan kata
lain virus tidak bisa hidup diluar makhluk hidup. Ia membutuhkan
makhluk hidup yang lain sebagai “tumpangan” untuk hidup dan
berkembang biak. Ada banyak sekali jenis-jenis virus yang menyerang
manusia dan mengancam kehidupan manusia. Terpajannya virus
berpengaruh terhadap system kekebalan tubuh manusia. Contoh, Virus
HIV atau human immunodeficiency virus. Virus HIV atau human
immunodeficiency virus adalah virus yang menyerang sistem
pertahanan (kekebalan manusia). Virus ini mengakibatkan munculnya
penyakit AIDS. Penderita yang terserang atau terinfeksi virus ini
ditandai dengan menurunnya CD4, CD3,CD8 dan sebagainya. Cara
penularan virus ini adalah melalui transfusi darah, air susu ibu,
hubungan seksual dan jarum suntik.
c) Parasit
Parasite juga menyebabkan penyakit pada manusia. Salah satu contoh,
Ascariasis atau cacingan. Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan
oleh Ascaris lumbricoides yang termasuk dalam kelompok Nematoda.
Gambaran klinis dapat asimtomatis bila jumlah cacing dalam tubuh
penderita sedikit. Dapat terjadi muntah dan nyeri perut. Komplikasi
berupa: penuomonitis (setelah migrasi larva ke paru), obstruksi usus
oleh cacing dewasa (pada anak), malnutrisi pada anak, perforasi usus
dan abses hepar (jarang).
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai
infestasisatu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan
nematoda usus.
Cacing parasit golongan Nematoda (cacing usus) di bagi menjadi 2
golongan yaitu Soil Transmitted Helminths (STH) dan golongan Non Soil
Transmitted Helminths (NSTH). Golongan STH adalah sekelompok yang
membutuhkan media tanah dalam penyebarannya. Cacing yang tergolong
STH antara lain cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk
(Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus). Golongan Non STH adalah sekelompok cacing yang
tidak memerlukan media tanah dalam penyebarannya. Cacing yang
tergolong Non STH antara lain Strongiloidiasis (Strongyloides stercoralis)
dan Cacing Kremi (Enterobius vermicularis). Kecacingan dapat
mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktivitas penderita sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan
banyak kerugian yang pada akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber
daya manusia.

2. Patomekanisme gejala sesuai scenario


 Lemas
Penderita penyakit cacingan mengalami anemia atau kondisi kekurangan
darah. Anemia yang terjadi dikarenakan cacing dalam usus menghisap
darah penderitanya. Anemia disebabkan oleh menurun nya kadar
Hemoglobin dalam eritrosit. Hemoglobin merupakan pengangkut oksigen
untuk keseluruh jaringan tubuh, dengan kadar hemoglobin turun, kadar
oksigen pun turun secara tidak langsung. Kadar oksigen yang turun
menyebabkan, metabolisme sel turun, dengan turun nya metabolisme sel,
energy yang dihasilkan juga sedikit, sehingga orang tersebut akan mudah
lemah karena kurang nya energy. Saat proses metabolisme sel secara aerob
tidak optimal, berlangsung proses metabolisme anaerob. Pada metabolisme
anaerob, energy yang dihasilkan sedikit dan menghasilkan asam laktat
yang menyebabkan otot lelah.
 Lesu
Lesu dapat disebabkan oleh intake nutrisi penderita berkurang, dimana
penderita tidak mau makan atau tidak lapar, keadaan ini dapat disebabkan
oleh penekanan daerah lateral hipotalamus, sehingga menyebabkan
seseorang merasa kenyang dan tidak merasakan lapar, rasa kenyang ini
juga disebabkan oleh akibat adanya peradangan, infeksi, atau inflamasi,
dimana inflamasi ini akan mengaktifkan mediator radang IL-1, IL-6, IL-8,
dan TNF-alpha. Mediator radang ini akan mengeksitasi daerah peka
glukosa, atau terjadi hiperaktifitas glukosa, sehingga glukosa yang
dihasilkan ini akan memberikan asupan ke otak, dan rangsangan untuk rasa
lapar tidak ada, dan asupan nutrisi yang masuk ke tubuh sebagai penghasil
energi berkurang dan terjadilah lesu. Lesu akibat intake nutrisi juga dapat
disebabkan oleh seseorang yang malas makan, atau tidak merasa nyaman
dibagian abdomennya, sehingga apabila orang tersebut makan, dia akan
merasakan rasa kurang nyaman. Lesu juga dapat diakibatkan oleh
penderita yang mengalami anemia yang diakibatkan oleh hipoksia
jaringan, sehingga kebutuhan oksigen jaringan berkurang, anemia ini dapat
disebabkan oleh antigen yang masuk yang mengambil darah sebagai
asupan makanannya,akibatnya kebutuhan oksigen ke jaringan lain
berkurang, sehingga menyebabkan seseorang lesu.
 Nyeri Perut
Infeksi telur cacing yang tertelan oleh hospes manusia sehingga larva
dilepaskan dari telur dan menembus dinding usus sebelum migrasi ke paru-
paru melalui sirkulasi vena. Mereka kemudian masuk ke dalam ruang
alveolus, naik cabang-cabang bronkus dan trakea dan ditelan kembali.
Sesudah sampai di usus kecil, larva berkembang menjadi cacing dewasa.
Cacing dewasa ini tinggal di antara lipatan mukosa usus halus yang dapat
menimbulkan iritasi sehingga terjadi rasa tidak enak di perut berupa mual
serta sakit perut yang tidak jelas.
 Mual & Diare
Penyakit cacingan menimbulkan dampak yang besar pada manusia karena
mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan
(absorbsi), dan metabolisme makanan. Akibat yang ditimbulkan dari
infeksi cacing berupa kerugian zat gizi karbohidrat dan protein. Masalah
lain yang ditimbulkan adalah kekurangan darah, menghambat
perkembangan fisik, perkembangan mental, kemunduran intelektual, dan
menurunkan imunitas tubuh pada anak-anak. Sel mukosa usus halus
(enterosit) mempunyai brush border yang terdiri dari mikrovili. Didalam
mikrovili ini terdapat berbagai macam enzim pencernaan. Adanya parasit
dalam usus halus dapat menyebabkan kelainan mukosa usus, berupa proses
peradangan pada dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi,
bertambah panjangnya kripta, menurunnya rasio villus kripta dan infiltrasi
sel bulat ke lamina propria, yang berakibat pada gangguan absorpsi
makanan, Akibat lainnya adalah cacing ini menyebabkan hiperperistaltik
sehingga menimbulkan diare, juga dapat mengakibatkan rasa tidak enak
diperut. Interleukin 18 memegang peranan penting untuk terjadinya
gangguan saluran cerna yang kronik sedangkan interleukin 10 berperan
dalam pemeliharaan fungsi pertahanan kolon (colon barrier), sehingga bila
terjadi defisiensi IL 10, fungsi penghalang (barrier) kolon akan terganggu
dan dapat terjadi diare kronik. Sensasi perut yang tidak nyaman dan rasa
penuh akibat cacing yang hidup dan berkembang dalam perut akan
menyebabkan sensasi mual.
 Gatal pada dubur
Cacing akan tumbuh dewasa di dalam saluran pencernaan, lalu
berkembang biak dengan cara bertelur. Biasanya, cacing yang akan
bertelur, keluar melalui anus saat malam hari untuk meletakkan telur-
telurnya pada lipatan kulit di sekitar anus. Telur yang ditinggalkan cacing
kremi di lipatan kulit tersebut dapat menyebabkan gatal dan iritasi.
Masalah pencernaan yaitu diare yang sering terjadi dapat menyebabkan
iritasi lalu disusul dengan dubur gatal. BAB tak terkendali sehingga
lama kontak dengan anus karena tidak segera dibersihkan juga dapat
menyebabkan hal ini.
 Sulit Konsentrasi
Cacing gelang (Ascaris Lumricoides) menyebabkan gangguan pada
paru disertai demam, batuk dan Eosinofilia (keadaan meningkatnya sel
darah putih jenis eosinofil), gangguan usus ringan seperti mual, nafsu
makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi yang berat bisa
menyebabkan malabsorbsi sehingga memperberat malnutrisi bahkan
menyebabkan obstruksi usus. Cacing tambang (Ancylostoma duodenale,
Necator Americamus) menyebabkan daya tahan tubuh berkurang, prestasi
kerja menurun serta menurunan kadar Hemoglobin darah.
Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara Kejadian kecacingan dengan prestasi belajar siswa responden yang
menderita kecacingan, terdapat 8 responden (100%) yang prestasi belajar
kurang baik. Sedangkan diantara 22 responden yang tidak menderita
kecacingan terdapat 12 responden (54,5%) yang berprestasi kurang baik
dan 10 responden (45,5%) berprestasi baik. Hasil analisis diperoleh pula
nilai OR= 1,8 artinya responden yang menderita kecacingan berisiko 1,8
mendapat prestasi belajar kurang baik dibandingkan responden yang tidak
menderita kecacingan.

3. Hubungan usia dan jenis kelamin dengan kondisi yang dialami pasien
Penyakit infeksi cacingan atau bisa pula disebut dengan penyakit cacingan
sangat berkaitan erat dengan masalah hygiene dan sanitasi lingkungan.
Kebanyakan penyakit cacing ditularkan melalui tangan yang kotor. Kuku
jemari tangan yang kotor dan panjang sering terselipi telur cacing karena
kebiasaan anak bermain ditanah. Orang dewasa bekerja di kebun, dan disawah.
Infeksi pada anak sering terjadi karena menelan tanah yang tercemar telur
cacing atau melalui tangan yang terkontaminasi telur cacing. Penularan
melalui air sungai juga dapat terjadi, karena air sungai sering digunakan untuk
berbagai keperluan sehari-hari.
Perilaku anak jajan di sembarang tempat yang kebersihannya tidak dapat
dikontrol oleh orangtua dan tidak terlindung dan dapat tercemar oleh debu dan
kotoran yang mengandung telur cacing, hal ini dapat menjadi sumber
penularan infeksi kecacingan pada anak.
Selain melalui tangan, transmisi telur cacing juga dapat melalui makanan
dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup
rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut
jika diterbangkan oleh angin atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya
hinggap di tanah/selokan, sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing
tersebut, terutama pada jajanan yang tidak tertutup.

4. Langkah-langkah diagnosis sesuai skenario


 Anamnesis
1) Identitas:
a. Nama: -
b. Umur: 7 thn
c. Jenis kelamin: laki-laki
d. Alamat:-
e. Pekerjaan:-
2) Keluhan utama : lesu dan lemah
3) Onset : sejak kapan munculnya gejala.
4) Frekuensi : ditanyakan berapa kali timbulnya lesu
5) Sifatnya : ditanyakan apakah keluhan yang dialami terjadi secara terus-
menerus atau hilang timbul
6) Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan : misalnya
dipengaruhi oleh aktivitas pola makan atau lainnya
7) Gejala yang menyertai : sering diare, dubur gatal, nyeri perut, sulit
konsentrasi Ditanyakan apakah ada demam, sakit kepala, nyeri menelan,
nyeri perut, mual, muntah atau keluhan lain ?
8) Riwayat pengobatan : ditanyakan apakah sudah pernah ke dokter atau
mengonsumsi obat-obatan tertentu terkait keluhan yang dialami
9) Riwayat penyakit dahulu : ditanyakan apakah pernah menderita keluhan
yang sama sebelumnya, apakah ada penyakit yang sedang diderita ?
10) Riwayat kontak atau berpergian :.Ditanyakan apakah anak punya
kebiasaan bermain tanah. Apakah penderita memakai alas kaki, sarung
tangan, atau alat pelindung lainnya saat sedang bermain
11) Riwayat pola makan : ditanyakan bagaimana kebiasaan sehari-harinya,
apakah mencuci tangan sebelum atau sesudah makan.
12) Riwayat penyakit keluarga atau lingkungan : ditanyakan apakah
dikeluarganya ada yang menderita penyakit infeksi seperti kaki gajah,
malaria dan penyakit-penyakit lain. Ditanyakan pula apakah
dilingkungan tempat tinggal ada yang menderita penyakit infeksi
tertentu dengan keluhan lesu atau lainnya
 Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : dinilai apakah sakit ringan, sedang atau berat serta
kesadarannya
2) Tanda- tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan dan nyeri
3) Inspeksi :
Pasien harus berbaring lurus di tempat tidur. Tangan berada di sisi
tubuh. Setelah itu dilakukan :
a. Evaluasi penampilan umum
b. Menentukan frekuensi pernafasan:
Pernafasan meningkat pada pasien dengan peritonitis generalisata,
pendarahan abdomen atau obstruksi usus
c. Inspeksi Kulit:
Lihat apakah adanya warna kuning yang tampak (ikterus).
d. Inspeksi Tangan:
Lihat apakah ada otot-otot yang mengecil, dan juga melihat
perubahan dari warna dan bentuk kuku Inspeksi Wajah
e. Inspeksi wajah:
Perhatikan warna dan mukosa dari wajah. Contohnya, ketika terdapat
endapan melanin, berarti mengarah kepaa syndrome Peutz Jeghers;
Telangiektasis pada bibir dan lidah mengarah pada sindrome Osler
Weber rendu. Telangiektasi dapat berdarah secara tidak kentara,
sehinggan menyebabkan anemia.
f. Inspeksi abdomen:
Perhatikan apa yang terdapat pada abdomen, apakah ada
ketidaksimetrisan, distensi, massa, atau gelombang peristaltik yang
dapat dilihat. Lihat juga apakah umbilikus alami eversi, dimana itu
menandakan bahwa tekanan intra abdomen meningkat. Dan
perhatikan juga tanda lainnya
4) Palpasi : nilai adanya nyeri tekan pada perut, nilai pembesaran organ
(splenomegali atau hepatomegali)
5) Perkusi : menilai adanya perubahan bunyi jika terjadi suatu kelainan
khususnya pada perut jika terjadi pembesaran organ akan menimbulkan
bunyi timpani yang bisa berubah.
6) Auskultasi : pada kasus kecacingan bising usus biasa akan ternilai
meningkat.
 Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah : untuk mengetahui kadar leukosit
2) Pemeriksaan pada tinja : untuk melihat telur cacing atau cacing yang
terdapat di feses
Pada Ascariasis selama fase pulmonal akan ditemukan eosinophilia.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan cacing atau telur cacing pada tinja
atau karena cacing dewasa keluar tubuh dan ditemukan dalam tinja. Menurut
WHO infeksi berat bila ditemukan >50.000 telur/gram feses, eosinophil
meningkat adalah tanda adanya suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit,
juga disebabkan oleh adanya reaksi sensitifitas.
Trichuriasis, diagnosis mudah ditegakkan dengan menemukan telur yang
terdapat dalam tinja. Pada mikroskop terlihat telur berbentuk seperti tong dan
morfologinya lebih mudah dilihat pada sediaan basah. Menurut WHO
dikatakan infeksi berat apabila ditemukan >10.000 telur/gram feses.

5. Diagnosis banding sesuai skenario


1) ENTEROBIASIS
a. Definisi
Enterobiasis adalah suatu Infeksi Cacing Kremi (Oksiuriasis,
Enterobiasis) adalah suatu infeksi parasit yang terutama menyerang
anak-anak, dimana cacing Enterobius vermicularis tumbuh dan
berkembangbiak di dalam usus.
b. Epidemiologi
Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah
dingin daripada di daerah panas. Hal ini mungkin disebabkan karena
pada umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti
baju dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya
hubungan antara manusia satu dengan lainnya serta lingkungan yang
sesuai.
Frekuensi di Indonesia tinggi, terutama pada anak dan lebih
banyak ditemukan pada golongan ekonomi lemah. Frekuensi pada
orang kulit putih lebih tinggi daripada orang negro. Penyebaran cacing
kremi lebih luas dari cacing lain. Penularan dapat terjadi pada suatu
keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan
yang sama seperti asrama atau rumah piatu. Telur cacing dapat
diisolasi dari debu di ruangan sekolah atau kafetaria sekolah dan
mungkin ini menjadi sumber infeksi bagi anak-anak sekolah. Di
berbagai rumah tangga dengan beberapa anggota keluarga yang
mengandung cacing kremi, telur cacing dapat ditemukan (92%) di
lantai, meja, kursi, bufet, tempat duduk kakus (toilet seats), bak mandi,
alas kasur, pakaian. Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi
pada berbagai golongan manusia 3-80%. Penelitian di daerah Jakarta
Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita
entrobiasis adalah kelompok usia antara 5-9 tahun yaitu terdapat 46
anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
c. Etiologi
Enterobius vermicularis, nama lain Oxyuris vermicularis, cacing
kremi, pinworm, seatworm, threadworm.
Klasifikasi :
Enterobius vermicularis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Nematoda
Kelas : Plasmidia
Ordo : Rabtidia
Famili : Oxyuridea
Genus : Enterobius
Spesies : Enterobius vermicularis
Gejala klinis kebanyakan bersumber pada iritasi di daerah sekitar
anus,perinium,dan vagina oleh migrasi cacing betina yang hamil,
jarang disebabkan aktivitas cacing di dalam usus. Pada anak
perempuan dapat pula terjadi pruritus vulva dan vaginitis (pruritus
lokal). Namun, kadang-kadang cacing dewasa muda dapat bergerak ke
usus halus bagian proksimal sampai ke lambung,esofagus dan hidung
sehingga menyebabkan gangguan di daerah tersebut. Timbulnya rasa
gatal sekitar anus disebut pruritus ani yang terjadi pada malam
hari,anak tidurnya terganggu,cengeng,dan menangis (irritable) pada
malam hari.
d. Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm pada ujung anterior ada
pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus
esophagus jelas sekali,ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing
yang gravid melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran
2-5 mm, juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga
bentuknya seperti tanda Tanya (?), spikulum pada ekor jarang
ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus
besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga
sekum. Makanannya adalah isi dari usus.
Cacing betina yang gravid mengandung 11.000 – 15.000 butir
telur, bermigrasi ke daerah perianal untuk bertelur dengan cara
kontraksi uterus dan vaginanya. Telur-telur jarang dikeluarkan di usus,
sehingga jarang ditemukan dalam tinja. Telur berbentuk lonjong dan
lebih datar pada satu sisi ( asimetris ). Dinding telur bening dan agak
lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. Telur menjadi matang
dalam waktu kira-kira 6 jam setelah dikeluarkan.
Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam
keadaan lembab telur dapat hidup sampai 13 hari.

Kopulasi cacing jantan dan betina mungkin terjadi di sekum.


Cacing jantan mati setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah
bertelur. Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau
bila larva dari telur yang menetas di daerah perianal bermigrasi
kembali ke usus besar.
Bila telur matang yang tertelan, telur menetas di duodenum dan
larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di
yeyunum dan bagian atas ileum.

Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari


tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang
bermigrasi ke daerah perianal,berlangsung kira-kira 2 minggu sampai
2 bulan.
Mungkin daur nya hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena
telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5
minggu sesudah pengobatan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh
sendiri (self limited). Bila tidak ada reinfeksi, tanpa pengobatan pun
infeksi dapat berakhir.
e. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif Enterobius
vermicularis dan tidak diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa
betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan
migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perineum. Migrasi
ini disebut Nocturnal migration. Di daerah perineum tersebut cacing-
cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus, kemudian telur
melekat di daerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada
tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal 23-26 ºC dalam
waktu 6 jam.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan
telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke
daerah perianal,berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.
Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira 1 bulan karena telur-
telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu
sesudah pengobatan.
f. Cara Penularan
a) Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection)
atau pada orang lain sesudah memegang benda yang tercemar telur
infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam penderita.
b) Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur
yang infektif.
c) Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada
penderita sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal
mengadakan migrasi kembali ke usus penderita dan tumbuh
menjadi cacing dewasa.
g. Gejala Klinis dan Komplikasi
Cacing ini relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi besar.
Gejala klinis kebanyakan bersumber pada iritasi di daerah sekitar anus,
perineum, dan vagina oleh migrasi cacing betina yang hamil, jarang
disebabkan aktivitas cacing di dalam usus. Menimbulkan rasa gatal
sekitar anus yang disebut Pruritus ani yang terjadi pada malam hari,
anak tidurnya terganggu, cengeng, dan menangis pada malam hari.
Anak menjadi lemah, nafsu makan menurun, sehingga berat badan
berkurang. Pada anak perempuan, cacing yang sampai ke anus dapat
nyasar ke vulva, masuk ke uterus, tuba falopii, yang dapat
menimbulkan komplikasi seperti Salphyngitis. Jika masuk ke urethra,
ke kandung kemih, anak sering mengompol. Walaupun cacing ini
sering ditemukan pada appendiks, tapi jarang menimbulkan
Appendiksitis.
h. Terapi
Seluruh anggota keluarga sebaiknya diberi pengobatan, bila
ditemukan salah seorang anggota mengandung cacing kremi. Obat
piperazin dosis tunggal 3-4 gram (dewasa) atau 25 mg/kg berat badan
(anak-anak), sangat efektif bila diberikan pagi hari di ikuti minum
segelas air sehingga obat sampai ke sekum dan kolon. Efek samping
yang mungkin terjadi adalah mual dan muntah.
Obat lain yang juga efektif adalah pirantel pamoat dosis 10 mg/kg
berat badan atau mebendazol dosis tunggal 100 mg atau albendazol
dosis tunggal 400 mg. Mebendazol efektif terhadap semua stadium
perkembangan cacing kremi, sedangkan pirantel dan pipreazin dosis
tunggal tidak efektif terhadap stadium muda. Pengobatan sebaiknya
diulang 2-3 minggu kemudian.
i. Pencegahan
Mengingat bahwa Enterobiasis adalah masalah kesehatan
keluarga maka lingkungan hidup keluarga harus diperhatikan, selain
itu kebersihan perorangan merupakan hal yang sangat penting dijaga.
Perlu ditekankan pada anak-anak untuk memotong kuku,
membersihkan tangan sesudah buang air besar dan membersihkan
daerah perianal sebaik-baiknya serta cuci tangan sebelum makan. Di
samping itu kebersihan makanan juga perlu diperhatikan.
Hendaknya dihindarkan dari debu dan tangan yang terkontaminasi
telur cacing E.vermicularis. Tempat tidur dibersihkan karena mudah
sekali tercemar oleh telur cacing infektif . Diusahakan sinar matahari
bisa langsung masuk ke kamar tidur,sehingga dengan udara yang
panas serta ventilasi yang baik pertumbuhan telur akan terhambat
karena telur rusak pada temperatur lebih tinggi dari 46ºC dalam waktu
6 jam. Karena infeksi Enterobius mudah menular dan merupakan
penyakit keluarga maka tidak hanya penderitanya saja yang diobati
tetapi juga seluruh anggota keluarganya secara bersama-sama.
j. Prognosis
Pengobatan secara periodik memberikan prognosis yang baik.
k. Kesimpulan
Enterobiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing
Enterobius vermicularis. Penyakit ini disebabkan oleh cacing, cacing
ini biasanya keluar melalu anus penderita, karena akibat dari telur
cacing yang sampai tertelan manusia. Telur ini bisa terdapat dimana-
mana seperti pada makanan, minuman, atau biasa yang sering terjadi
karena autoinfeksi, yaitu dimana seorang penderita yang menggaruk
daerah anus nya yang terdapat telur cacing tersebut lalu telur tersebut
menempel pada tangan penderita, dan pada saat itu penderita memakan
makanan tanpa cuci tangan terlebih dahulu, jadilah telur cacing
tersebut masuk ke dalam mulut penderita dan tertelan.
Pada anak yang menderita penyakit ini biasanya nafsu makan
menurun dan selalu rewel atau nangis. Karena pada malam harinya
anak ini terus menggaruk bagian anus nya karena gatal yang tak
tertahankan, dimana diakibatkan karena cacing dewasa ini pada malam
hari bermigrasi kedaerah perianal atau sekitar anus untuk
mengeluarkan telur-telurnya, maka dari itulah penderita merasa gatal
pada malam hari.
Pengobatan dari penyakit ini bisa memakai obat-obatan seperti
mebendazol dan albendazol, dan jangan sampai lupa bahwa semua
orang yang terlibat dengan si penderita ini harus di obati juga, karena
bisa jadi orang-orang sekitar juga telah menelan telur cacing ini.

2) ASCARIASIS
a. Definisi Ascariasis
Ascariasis adalah infeksi kecacingan yang disebabkan oleh cacing
Ascaris lumbricoides. Ascariasis sendiri termasuk penyakit cacing
yang paling besar prevalensinya diantara penyakit cacing lainnya yang
menginfeksi tubuh manusia. Manusia merupakan satu-satunya hospes
untuk A.lumbricoides.
Cacing A.lumbricoides merupakan golongan nematoda.
Nematoda berasal dari kata nematos yang berarti benang dan oidos
yang berarti bentuk, sehingga cacing ini sering disebut cacing gilik
ataupun cacing gelang. Nematoda itu sendiri dibagi menjadi 2 jenis
yakni nematoda usus dan nematoda jaringan. Manusia merupakan
hospes untuk beberapa nematoda usus yang dapat menimbulkan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesi. Diantara nematoda usus
yang ada terdapat beberapa spesies yang membutuhkan tanah untuk
pematangannya dari bentuk non infektif menjadi bentuk infektif yang
disebut Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing yang termasuk
golongan STH adalah A.lumbricoides, Trichuris trichiura,
Ancylostoma duodenale, Necator americanus, Strongyloides
stercoralis, dan beberapa spesies Trichostrongylus.
b. Etiologi
Ascariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Ascaris
lumbricoides. Kondisi lingkungan yang optimal untuk
keberlangsungan hidup Ascaris lumbricoides adalah keadaan tropis
dengan kelembaban yang tinggi, tanah liat, serta keadaan higiene dan
sanitasi yang buruk. Indonesia mempunyai iklim dan kondisi yang
sesuai untuk tempat hidup Ascaris lumbricoides, sehingga prevalensi
ascariasis tinggi.
Ascariasis lumbricoides adalah cacing yang berwarna merah dan
berbentuk silinder, dengan ukuran cacing jantan 15-25 cm x 3 mm dan
betina 25-35 cm x 4 mm. Cacing betina mampu bertahan hidup selama
1-2 tahun dengan memproduksi 26 juta telur atau sekitar 200.000 telur
per hari. Ukuran telur 40-60 µm dan dilapisi lapisan tebal sebagai
pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai sehingga telur
dapat bertahan hidup dalam tanah sampai berbulan-bulan bahkan
sampai 2 tahun. Infeksi cacing betina saja pada usus akan menghasilkan
telur infertil.
c. Epidemiologi
Ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing terbanyak yang
menyebabkan infeksi pada manusia. Angka kejadian infeksi
A.lumbricoides ini cukup tinggi di negara berkembang seperti
Indonesia dibandingkan dengan negara maju. Tingginya angka
kejadian Ascariasis ini terutama disebabkan oleh karena banyaknya
telur disertai dengan daya tahan larva cacing pada keadaan tanah
kondusif. Parasit ini lebih banyak ditemukan pada tanah liat dengan
kelembaban tinggi dan suhu 25°- 30°C, sehingga sangat baik untuk
menunjang perkembangan telur cacing A.lumbricoides tersebut.
Telur A.lumbricoides mudah mati pada suhu diatas 40° C,
sedangkan dalam suhu dingin tidak mempengaruhinya. Telur cacing
tersebut tahan terhadap desinfektan dan rendaman yang bersifat
sementara pada berbagai bahan kimiawi keras.
Infeksi A. lumbricoides dapat terjadi pada semua usia, namun
cacing ini terutama menyerang anak usia 5-9 tahun dengan frekuensi
kejadian sama antara laki-laki dan perempuan. Bayi yang menderita
Ascariasis kemungkinan terinfeksi telur Ascariasis dari tangan ibunya
yang telah tercemar oleh larva infektif . Prevalensi A.lumbricoides
ditemukan tinggi di beberapa pulau di Indonesia yaitu di pulau
Sumatera (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara
Barat (92%), dan Jawa Barat (90%).
d. Morfologi
Secara umum dapat dilihat bahwa cacing A.lumbricoides
berwarna merah berbentuk silinder. Cacing jantan lebih kecil
ukurannya daripada cacing betina. Pada stadium dewasa, cacing ini
akan hidup dan berkembang didalam rongga usus kecil.

Gambar 2.1 Cacing A. lumbricoides betina dan jantan


Cacing jantan berukuran 15-25 cm x 3 mm disertai ujung
posteriornya yang melengkung ke arah ventral dan diikuti adanya
penonjolan spikula yang berukuran sekitar 2 mm. Selain itu, di bagian
ujung posterior cacing juga terdapat banyak papil-papil kecil. Cacing
betina berukuran 25-35 cm x 4 mm dengan ujung posteriornya yang
lurus. Cacing ini memiliki 3 buah bibir, masing-masing satu dibagian
dorsal dan dua lagi dibagian ventrolateral.
Cacing dewasa hidup dalam jangka waktu ±10–24 bulan . Cacing
dewasa dilindungi oleh pembungkus keras yang kaya akan kolagen
dan lipid serta menghasilkan enzim protease inhibitor yang berfungsi
untuk melindungi cacing agar tidak tercerna di sistem pencernaan
manusia. Cacing ini juga memiliki sel-sel otot somatik yang besar dan
memanjang sehingga mampu mempertahankan posisinya di dalam
usus kecil. Jika otot somatik tersebut lumpuh oleh obat cacing, maka
cacing akan mudah keluar melalui anus karena gerakan peristaltik di
usus.
Cacing betina mampu bertahan hidup selama 1- 2 tahun dan
memproduksi 26 juta telur selama hidupnya dengan 100.000 – 200.000
butir telur per hari yang terdiri dari telur yang telah dibuahi (fertilized),
yang tidak dibuahi (unfertilized), maupun telur dekortikasi. Telur
dekortikasi adalah telur A.lumbricoides yang telah dibuahi tapi
kehilangan lapisan albuminoid.

Gambar 2.2 Telur cacing A. lumbricoidesfertilized dan unfertilized


Telur yang telah dibuahi berbentuk bulat atau oval dengan
permukaaan tidak teratur, memiliki lapisan yang tebal, dan berwarna
kuning kecoklatan dengan ukuran 60 - 45µm. Pada telur ini, terdapat
lapisan tebal albumin dan lapisan dalamnya yang terdapat selubung
vitelin tipis namun cukup kuat. Kedua lapisan tersebut berfungsi
sebagai pelindung terhadap situasi lingkungan yang tidak sesuai
sehingga telur dapat bertahan hidup di tanah sampai dengan
berbulanbulan bahkan bertahun-tahun.
Telur yang telah dibuahi ini berisikan embrio regular yang tidak
bersegmen. Dalam lingkungan yang sesuai yakni di tanah liat, dengan
kelembaban tinggi, dan suhu yang sesuai, dapat terjadi pematangan
telur atau larva dari bentuk yang tidak infektif menjadi infektif. Kedua
kutub pada telur ini juga terdapat rongga yang tampak sebagai daerah
yang terang berbentuk bulan sabit.
Telur yang tidak dibuahi adalah telur yang dihasilkan oleh cacing
betina yang tidak subur ataupun terlalu cepat dikeluarkan oleh cacing
betina yang subur, telur tersebut berbentuk memanjang, terkadang
segitiga dengan lapisan yang tipis dan berwarna coklat, lalu berukuran
90–40 πm. Telur yang berwarna kecoklatan ini akibat pengaruh dari
pigmen empedu di saluran cerna dan tidak terdapatnya rongga udara.
e. Siklus Hidup
Siklus hidup A.lumbricoides terjadi dalam 3 stadium yaitu stadium
telur, larva, dan dewasa. Siklus ini biasanya membutuhkan fase di luar
tubuh manusia (hospes) dengan atau tanpa tuan rumah perantara.
Telur cacing yang telah dibuahi dan keluar bersama tinja penderita
akan berkembang menjadi infektif jika terdapat di tanah yang lembab
dan suhu yang optimal dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Seseorang
akan terinfeksi A.lumbricoides apabila masuknya telur A.lumbricoides
yang infektif kedalam mulut bersamaan dengan makanan atau
minuman yang terkontaminasi tanah yang mengandung tinja penderita
Ascariasis.

Telur infektif yang tertelan oleh manusia akan melewati lambung


tanpa terjadi kerusakan oleh asam lambung akibat proteksi yang tebal
pada lapisan telur tersebut dan akan menetas di dalam usus halus.
Kemudian larvanya akan secara aktif menembus dinding usus halus
menuju vena porta hati dan pembuluh limfe. Bersama dengan aliran
vena, larva A.Lumbricoides akan beredar menuju jantung kanan dan
berhenti di paru. Saat di dalam paru-paru larva yang berdiameter 0,02
mm akan masuk kedalam kapiler paru yang hanya berukuran 0,01 mm
maka kapiler tersebut akan pecah dan larva akan masuk ke alveolus
kemudian larva berganti kulit. Larva tersebut akan ke alveoli lalu naik
ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus setelah dari kapiler paru.
Selanjutnya mengarah ke faring dan terjadi refleks batuk hingga
tertelan untuk kedua kalinya sampai ke usus halus. Masa migrasi ini
berlangsung selama 10 – 15 hari. Cacing akan berkembang menjadi
dewasa, kawin, dan bertelur di usus halus dalam waktu 6 – 10 minggu.
f. Cara Penularan
Cara penularan Ascariasis terjadi melalui beberapa jalan, yakni
telur infektif A.lumbricoides yang masuk ke dalam mulut bersamaan
dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi, melalui tangan
yang kotor tercemar terutama pada anak, atau telur infektif yang
terhirup udara bersamaan dengan debu. Pada keadaan telur infektif
yang terhirup oleh pernapasan, telur tersebut akan menetas di mukosa
alat pernapasan bagian atas dan larva akan segera menembus pembuluh
darah dan beredar bersama aliran darah. Cara penularan Ascariasis juga
dapat terjadi melalui sayuran dan buah karena tinja yang dijadikan
pupuk untuk tanaman sayur-mayur maupun buah-buahan.
g. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul dari Ascariasis tergantung dari beratnya
infeksi, keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita
terhadap infeksi cacing ini. Penderita Ascariasis tidak akan merasakan
gejala dari infeksi ini (asimptomatik) apabila jumlah cacing sekitar 10-
20 ekor didalam tubuh manusia sehingga baru dapat diketahui jika ada
pemeriksaan tinja rutin ataupun keluarnya cacing dewasa bersama
dengan tinja. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bisa dimulai dari
gejala yang ringan seperti batuk sampai dengan yang berat seperti sesak
nafas dan perdarahan.
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis berdasarkan migrasi
larva dan perkembangbiakan cacing dewasa, yaitu:
1) Gejala akibat migrasi larva A.lumbricoides
Selama fase migrasi, larva A.lumbricoides di paru penderita akan
membuat perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan
batuk dan demam. Pada foto thorak penderita Ascariasis akan
tampak infiltrat yaitu tanda terjadi pneumonia dan eosinophilia di
daerah perifer yang disebut sebagai sindrom Loeffler. Gambaran
tersebut akan menghilang dalam waktu 3 minggu.
2) Gejala akibat cacing dewasa
Selama fase didalam saluran pencernaan, gejala utamanya berasal
dari dalam usus atau migrasi ke dalam lumen usus yang lain atau
perforasi ke dalam peritoneum. Cacing dewasa yang tinggal
dilipatan mukosa usus halus dapat menyebabkan iritasi dengan
gejala mual, muntah, dan sakit perut. Perforasi cacing dewasa A.
lumbricoides ke dalam peritoneum biasanya menuju ke umbilikus
pada anak sedangkan pada dewasa mengarah ke inguinal. Cacing
dewasa A. lumbricoides juga dapat menyebabkan obstruksi
diberbagai tempat termasuk didaerah apendiks (terjadi apendisitis),
di ampula vateri (terjadi pancreatitis haemoragis), dan di duktus
choleduchus terjadi cholesistitis. Penderita Ascariasis juga dapat
mengalami alergi yang berhubungan dengan pelepasan antigen oleh
A. lumbricoides dalam darah dan kemudian merangsang sistem
imunologis tubuh sebagai defence mechanism dengan gejala berupa
asma bronkial, urtikaria, hipereosinofilia, dan sindrom Loeffler.
h. Status Gizi
Anak yang menderita Ascariasis akan mengalami gangguan gizi
akibat malabsorpsi yang disebabkan oleh cacing dewasa. A.
lumbricoides perhari dapat menyerap 2,8 gram karbohidrat dan 0,7
gram protein, sehingga pada anak anak dapat memperlihatkan gejala
berupa perut buncit, pucat, lesu, dan rambut yang jarang.
Penderita Pada anak di bawah umur 5 tahun menyebabakan
gangguan nutrisi berat karena cacing dewasa dan dapat di ukur secara
langsung dari peningkatan nitrogen pada tinja. Gangguan absorpsi
karbohidrat dapat kembali normal setelah cacing dieleminasi.
Askaris dapat menyebabkan protein energy malnutrition. Pada
anak-anak yang diinfeksi 13-14 cacing dewasa dapat kehilangan 4
gram protein dari diet yang mengandung 35-50 gram protein/hari.
Efek terhadap ekonomi telah banyak diketahui orang, yaitu,
menguras banyak uang, karena kemampuan A. lumbrikoides memakan
karbohidrat yang cukup besar.
i. Komplikasi
Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di
usus halus dapat menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit.
Keadaan ini juga dapat menyebabkan lactose intolerance, malabsorpsi
dari vitamin A dan nutrisi lainnya.Hepatobiliary dan pancreatic
ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari
dudenum ke orificium ampullary dari saluran empedu, timbul kolik
empedu, kolesistitis, kolangitis, pankreatitis dan abses hepar.
j. Diagnosis
Diagnosis pasti askariasis adalah ditemukannya cacing dewasa
pada atau muntahan penderita, atau ditemukannya telur cacing pada
tinja atau cairan empedu penderita. Cacing pada saluran empedu dapat
terlihat bila dilakukan kolangiografi intravena. Diagnosis juga dapat
dilakukan melalui radiografi, dengan mengamati cacing yang
memakan barium. Cacing tampak sebagai gambaran memanjang
radiolusen.
Tinja yang tidak mengandung telur Ascaris lumbricoides dapat
didapatkan bila:
 Cacing di usus belum menghasilkan telur.
 Hanya ada cacing jantan.
 Penyakit masih dalam waktu inkubasi, yaitu baru terdapat bentuk
larva.
Telur pada tinja penderita dapat ditemukan dalam berbagai
bentuk, yaitu:
 Telur yang dibuahi (fertilized). Berukuran 40 x 60 μm dengan
dinding albuminoid, berbenjol-benjol, berwarna kuning tengguli,
dengan lapisan hialin tebal transparan pada bagian bawahnya.
 Telur yang tidak dibuahi (unfertilized). Berukuran 40 x 90 μm,
bentuknya lebih panjang dan lebih langsing daripada telur yang
dibuahi, dan tampak sejumlah granula di dalamnya.
 Telur tanpa korteks (decorticated) tanpa lapisan yang berbenjol-
benjol, dibuahi atau tidak dibuahi. Telur tanpa korteks ini hanya
terkadang ditemukan, dan sangat mungkin merupakan artefak.
k. Penatalaksanaan
Askariasis dapat ditatalaksana dengan pirantel pamoat,
albendazol, mebendazol, dan piperazin.
 Dosis tunggal pirantel pamoat 10 mg/kgBB menghasilkan angka
penyembuhan 85-100%. Efek samping dapat berupa mual, muntah,
diare, dan sakit kepala, namun jarang terjadi.
 Albendazol diberikan dalam dosis tunggal (400 mg) dan
menghasilkan angka penyembuhan lebih dari 95%, namun tidak
boleh diberikan kepada ibu hamil. Pada infeksi berat, dosis tunggal
perlu diberikan selama 2-3 hari.
 Mebendazol diberikan sebanyak 100 mg, 2 kali sehari selama 3
hari. Pada infeksi ringan, mebendazol dapat diberikan dalam dosis
tunggal (200 mg).
 Piperazin merupakan obat antihelmintik yang bersifat fast-acting.
Dosis piperazin adalah 75 mg/kgBB (maksimum 3,5 gram) selama
2 hari, sebelum atau sesudah makan pagi. Efek samping yang
kadang ditemukan adalah gejala gastrointestinal dan sakit kepala.
Gejala sistem saraf pusat juga bisa ditemukan, tetapi jarang.
Piperazin tidak boleh diberikan pada penderita dengan insufisiensi
hati dan ginjal, kejang atau penyakit saraf menahun.
l. Pencegahan
Berdasarkan kepada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka
upaya pencegahannya dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik dan
tepat guna, hygiene keluarga dan hygiene pribadi seperti :
a) Tidak menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman.
b) Sebelum melakukan persiapan makanan dan hendak makan, tangan
dicuci terlebih dahulu dengan menggunkan sabun dan air mengalir.
c) Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar (mentah) sebagai lalapan,
hendaklah dicuci bersih dengan air mengalir.
d) Mengadakan terapi massal setiap 6 bulan sekali didaerah endemik
ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit askariasis.
e) Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan.
f) Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan
siklus hidup cacing misalnya memakai jamban/WC.
g) Makan makanan yang dimasak saja.
h) Menghindari sayuran mentah (hijau) dan selada di daerah yang
menggunakan tinja sebagai pupuk. Karena telur cacing Ascaris
dapat hidup dalam tanah selama bertahun- tahun, pencegahan dan
pemberantasan di daerah endemik adalah sulit.
m. Prognosis
Pada umumnya, askariasis memiliki prognosis yang baik.
Kesembuhan askariasis dengan pengobatan mencapai 70% hingga
99%.
3) TRICHURIASIS
a. Definisi
Trichuriasis disebabkan oleh infeksi cacing T.trichiuira yang melekat
pada
mukosa usus manusia, terutama di daerah kolon
b. Epidemiologi
Infeksi T.trichiura tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih sering
terjadi di daerah beriklim tropis berhawa panas, lembab dan sering
terlihat bersama-sama dengan infeksi ascariasis Jumlah cacing dapat
bervariasi, apabila jumlahnya sedikit, biasanya tanpa gejala Infeksi
T.trichiura hanya ditularkan dari manusia ke manusia, sehingga cacing
ini bukan parasit zoonotik. Faktor lingkungan mempunyai pengaruh
yang penting dalam proses transmisi, sanitasi yang buruk, higienitas
yang jelek, populasi yang padat, umumnya dijumpai pada tempat yang
kumuh dan tingkat sosioekonomi yang rendah sangat menguntungkan
perkembangan cacing T.trichiura.
Indonesia mempunyai empat area ekologi utama terhadap
transmisi T.trichiura yaitu dataran tinggi, dataran rendah, kering dan
hujan. Angka prevalensi tertinggi terjadi pada anak umur 5-15 tahun,
yang terinfeksi karena terlelan telur yang infeksius dari tanah yang
terkontaminasi. Telur T.trichiura tidak dapat bertahan dalam suasana
yang kering (37oC) atau yang dingin sekali Temperatur lethal untuk
T.trichiura +52oC dan -9o.
Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap
infeksi cacing STH, terutama anak kecil yang bermain di tanah. Anak
yang bertempat tinggal di lingkungan sanitasi buruk dan hiegenitas yang
rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi. Sekolah di
pedesaan biasanya suplai air ataupun fasilitas jamban kurang memadai,
pendidikan higienie yang rendah dan tumpukan sampah di lingkungan
sekolah juga mendukung tingginya prevalensi.
Oleh karena itu, trichuriasis lebih sering terjadi di daerah yang
hangat dan lembab. Telur dengan lingkungan yang optimal dapat
bertahan 6 tahun. Anak usia sekolah mempunyai prevalensi yang tinggi
terhadap infeksi cacing STH, terutama anak kecil yang bermain di
tanah. Anak yang bertempat tinggal di lingkungan sanitasi buruk dan
hiegenitas yang rendah mempunyai risiko terinfeksi yang lebih tinggi.
Sekolah di pedesaan biasanya suplai air ataupun fasilitas jamban kurang
memadai, pendidikan higienie yang rendah dan tumpukan sampah di
lingkungan sekolah juga mendukung tingginya prevalensi.
c. Etiologi
Trichuriasis disebabkan oleh anggota genus Trichuris, parasit
nematoda dalam keluarga Trichuridae. Trichuris spp. morfologi cacing
dewasa, dengan lebih dari 60 spesies, termasuk setidaknya 20 pada
hewan pengerat. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa
morfologi cacing cambuk mungkin dipengaruhi oleh inang tempat
mereka tinggal. Studi genetik dapat mengklarifikasi jumlah spesies
yang valid di masa depan. Orang biasanya terinfeksi T. trichiura, yang
dipelihara pada manusia dan beberapa primata bukan manusia.
Beberapa garis keturunan dari organisme ini, beberapa di antaranya
mungkin merupakan spesies yang terpisah, telah dikenali pada primata
bukan manusia.
d. Morfologi

Telur Trichuris trichiura


Cacing dewasa biasanya berukuran 3-5 sentimeter (1,2-2,0 in),
dengan betina lebih besar daripada jantan seperti tipikal
nematoda. Mayoritas tubuh yang tipis dan jernih (ujung anterior,
seperti cambuk) adalah kerongkongan, dan itu adalah ujung ulat yang
masuk ke mukosa usus besar. Daerah tubuh abu-abu yang melebar dan
berwarna merah muda adalah bagian posterior, dan merupakan bagian
akhir yang berisi usus parasit dan organ reproduksi. Telur T.
trichiura adalah spheroids , bentuk bola yang digunakan dalam sepak
bola Rugby dan Gridiron . Panjangnya sekitar 50–54 μm (0,0020-
0,0021 in) dan memiliki sumbat kutub (juga dikenal sebagai refractile
prominences) di setiap ujungnya.
e. Gejala Klinis
Gejala klinis yang timbul berhubungan dengan jumlah cacing.
Jumlah cacing yang besar dapat menimbulkan anemia berat, disentri,
nyeri perut, mualmuntah, berat badan menurun dan prolapsus ani.
T.trichiura mengisap darah dari host diperkirakan 0,005 ml
darah/hari/ekor cacing, sehingga menyebabkan anemia, perdarahan
dapat terjadi pada perlekatannya dan mudah terjadi infeksi sekunder
oleh bakteri/parasit usus lain.
f. Status Gizi
Akibat penghisapan zat-zat makanan dan menghisap darah oleh
cacing, semakin lama tubuh akan kekurangan zat-zat makanan yang
diperlukan oleh tubuh sehingga menyebabkan tubuh penderita menjadi
kurus dan status gizinya menurun. Hal ini berdampak pada status gizi
anak usia sekolah yang masih rendah.
g. Diagnosis
Diagnosis berdasarkan identifikasi dan ditemukan telur cacing
T.trichiura dalam tinja. Pemeriksaan yang direkomendasikan adalah
pemeriksaan sampel tinja dengan tehnik hapusan tebal cara Kato-Katz.
Metode ini dapat mengukur intensitas infeksi secara tidak langsung
dengan menunjukkan jumlah telur per gram tinja Dengan metode Kato-
Katz, penghitungan egg per gram didapat dengan mengalikan jumlah
telur yang dihitung dengan faktor multiplikasi. Faktor ini bervariasi
bergantung dari berat tinja yang digunakan. WHO merekomendasikan
hapusan yang menampung 41,7 mg tinja, di mana dengan faktor
multiplikasinya 24. Derajat intensitas infeksi sebagai berikut :
a) Derajat ringan : 1 – 999 Epg
b) Derajat sedang : 1.000 – 9.999 Epg
c) Derajat berat : > 10.000 Epg
h. Penatalaknaan
Trichuriasis pada manusia diobati dengan anthelmintik, paling
sering mebendazole atau albendazole. Sebuah dosis tunggal kadang-
kadang digunakan jika beban cacing ringan, tetapi 3 kali sehari dosis
umumnya direkomendasikan dalam kasus klinis. Kemanjuran
albendazole terhadap T. trichiura telah menurun selama 2 dekade
terakhir di beberapa daerah. Terapi kombinasi (mis., Ivermectin dengan
albendazole atau mebendazole; albendazole dengan oxantel pamoate
menjanjikan terhadap T. trichiura dalam beberapa uji klinis).
i. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Feses
b) Pemeriksaan makroskopis dilakukan untuk menilai warna,
konsistensi, jumlah, bentuk, bau dan ada tidaknya mukus. Pada
pemeriksaan ini juga dinilai ada tidaknya gumpalan darah yang
tersembunyi, lemak, serat daging, empedu, sel darah putih dan gula.
Sedangkan, pemeriksaan mikroskopisbertujuan untuk memeriksa
parasit dan telur cacing
c) Pemeriksaan Kotoran kuku
d) Pemeriksaan kotoran kuku dapat dijadikan pemeriksaan penunjang
dalam menegakan diagnosis kecacingan. Prinsip dari pemeriksaan
ini diambil dari potongan dan swab kotoran kuku lalu diperiksa
dibawah mikroskop. Pemeriksaan ini untuk memastikan keberadaan
telur cacing.
j. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memasak makanan sampai matang
dan mencuci tangan sebelumm emasak. Tindakan lain termasuk
meningkatkan akses kebersihan, memastikan penggunaan toilet yang
fungsional dan bersih serta akses ke air bersih.
Pencegahan trikuriasis tergantung pada pencegahan infeksi
Trichuris pada hewan dan mengurangi kontaminasi lingkungan dari
kotorannya, bersama dengan kebersihan yang baik. Tangan dan
makanan mentah harus dicuci sebelum makan, dan air minum yang
tidak aman harus direbus atau disaring. Anak-anak harus diajari untuk
tidak makan sebelum mencuci tangan, setelah bermain di luar atau
dengan hewan peliharaan. Pencegahan akses hewan ke daerah-daerah
seperti taman bermain anak-anak.
k. Prognosis
Prognosisnya baik jika infeksinya ringan atau jika diobati. Infeksi
berat yang tidak diobati bisa serius, terutama pada pasien malnutrisi.
l. Komplikasi
Koinfeksi T. trichiura dengan parasit lain adalah umum dan
dengan beban cacing yang lebih besar dapat menyebabkan eksaserbasi
gejala trichuriasis yang berbahaya seperti perdarahan gastrointestinal
masif dan memperburuk gejala dan patogenesis parasit lainnya. infeksi.
Koinfeksi parasit dengan HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria juga
umum terjadi, terutama di Afrika Sub-Sahara , dan koinfeksi cacing
berdampak buruk terhadap sejarah alami dan perkembangan
HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria dan dapat meningkatkan
keparahan klinis malaria. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di
Senegal, infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah seperti T.
trichiura menunjukkan peningkatan risiko dan peningkatan kejadian
malaria. Infestasi berat dapat menyebabkan diare berdarah. Kehilangan
darah yang berlangsung lama dapat menyebabkan anemia defisiensi
besi . Kekurangan vitamin A juga bisa terjadi akibat infeksi

6. Pencegahan sesuai skenario


Salah satu upaya pencegahan kecacingan adalah dengan memberikan
edukasi kecacingan untuk meningkatkan perilaku kebersihan diri sehingga
dapat mencegah penyakit kecacingan. Pada usia anak-anak, merupakan masa
mereka aktif untuk bermain untuk kesenangannya, sehingga perlu diajarkan
oleh orangtuanya mengenai kebersihan diri atau perilaku hygine.
 Salah satu contohnya, Berdasarkan perilaku mencuci tangan dengan sabun
baik sebelum makan mapun sesudah BAB dapat melindingi seseorang dari
infeksi kecacingan. Menurut penelitian Umar13 terdapat hubungan
bermakna antara perilaku cuci tangan memakai sabun sebelum makan
dengan kejadian kecacingan. Cuci tangan adalah salah satu tindakan
sanitasi dengan membersihkan tangan dan jari jemari dengan
menggunakan air ataupun cairan lainnya dengan tujuan untuk menjadi
bersih. Menurut WHO,14 cuci tangan adalah tindakan paling utama dan
menjadi salah satu cara mencegah terjadinya penularan penyakit dan tujuan
utamanya secara higienis adalah untuk menghalangi transmisi kuman
patogen secara cepat dan efektif. Menurut Satari dalam Luthfianti,15
kebiasaan mencuci tangan pada anak sebetulnya merupakan bagian dari
toilet training. Pemberian informasi cuci tangan disertai dengan peragaan
cuci tangan yang benar memberikan efek pada penurunan angka infeksi
kecacingan.
 Faktor risiko lain yang berhubungan dengan infeksi kecacingan adalah
kebersihan kuku karnna kuku dapat menjadi perantara masuknya telur
cacing ke dalam tubuh manusia. Untuk menjaga agar kuku tetap bersih
biasanya dilakukan dengan menggunting kuku secara berkala.
 Edukasi kecacingan yang diberikan mengenai pentingnya kuku yang harus
selalu bersih tampaknya memberi kesadaran pada anak-anak untuk
menurunkan angka infeksi.
 Selain itu, mengubah kebiasaan diri seperti menghisap jari atau menggigit
kuku untuk mengurangi re-infection.

F. KESIMPULAN
Kecacingan adalah kondisi infeksi cacing melalui kontaminasi dimana
paling sering terjadi pada anak usia 5-9 tahun (masa aktif). Gejala penyakit
cacing antara lain : Lemas, Lesu, Diare, Nyeri perut.
Dari diagnosis yang kami dapatkan diantara 3 golongan cacing nematoda
yang paling mendekati ialah kecacingan Enterobiasis yang disebabkan oleh
Enterobius Vermicularis dengan gejala khas pruritus perianal. Pencegahan
mengenai kondisi yang dialami yang paling utama ialah dengan menjaga
perilaku hygine.
DAFTAR PUSTAKA
1. Rawina Winita, Mulyati, Hendri Astuty. Departemen Parasitologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Patofisiologi, konsep – konsep klinis proses – proses penyakit, Sylvia A. Price
Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Guyton Diktat Kuliah Hematologi &
Imunologi FK Univ. Kristen Maranatha.
3. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Patofisiologi. Jakarta. EGC.
4. Behrman, Robert M, Kliegman, Ann M.Arvin, 2000, Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Volume 3 Edisi 15 .Jakarta: EGC.
5. Prastiono A, Hardono H. Kecacingan Sebagai Salah Satu Faktor Penyebab
Menurunnya Prestasi Belajar Siswa. J Aisyah J Ilmu Kesehat. 2016;1(1):69.
6. Markum, H.M.s. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis. Jakarta : Fakultas
Kedokteran UI. 2005
7. Swartz, Mark H. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta : EGC. 1995
8. Hassan R, Alatas H. Ilmu kesehatan anak jilid 2. edisi ke-11.Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI;2007.hal.648-9.
9. Parasitologi kedokteran : ditinjau dari organ tubuh yang diserang.Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.hal.88-91.
10. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI;2010.hal.94.
11. Buku ajar parasitologi kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran
UI;2008.hal.25-8.
12. Mardjono M. Farmakologi dan terapi.Edisi kelima. Gunawan SG,et
all,editor.Jakarta: Fakultas kedokteran universitas Indonesia; 2008.
13. Ariwati, Ni Luh. 2017. Infeksi Ascaris lumbricoides. Bagian Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
14. Acha PN, Szyfres B (Pan American Health Organization [PAHO]). Zoonoses
and communicable diseases common to man and animals. Volume 3.
Parasitoses. 3rd ed. Washington DC: PAHO; 2003. Scientific and Technical
Publication No. 580. Trichuriasis of animal origin; p. 302-5.
15. Winita R, Mulyati, Astuty H. 2012. UPAYA PEMBERANTASAN
KECACINGAN DI SEKOLAH DASAR. Departemen Parasitologi, Fakultas
Kedokteran. Universitas Indonesia. Hal 69-70.

Anda mungkin juga menyukai