Anda di halaman 1dari 12

PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 4 (2)

Manajemen perpajakan adalah usaha menyeluruh yang dilakukan taxmanager


dalam suatu perusahaan atau organisasi agar hal-hal yang berhubungan dengan
perpajakan dari perusahaan atau organisasi tersebut dapat dikelolah dengan baik,
efisien, dan ekonomis, sehingga memberi konstribusi maksimum bagi peruaahaan.
Perencanaan Pajak (Tax Planning) adalah Proses mengorganisasikan usaha
pajak orang pribadi maupun badan usaha sedemikian rupa dengan memanfaatkan
berbagai celah kemungkinan yang dapat ditempuh oleh perusahaan dalam koridor
ketentuan peraturan perpajakan , agar perusahaan dapat membayar pajak dalam
jumlah minimum.
Yang menjadi tujuan utama Tax planning adalah agar dapat membayar pajak
dalam jumlah minimal dan secara legal (sesuai ketentuan peraturan perpajakan).

Persyaratan TaxPlanning Yang Baik


Terdapat 3 syarat yang baik dalam dalam taxmanajemen / taxplanning:
1. Tidak melanggar ketentuan perpajakan.
Jadi rekayasa perpajakan yang didesain dan diimplementasikan bukan
merupakan taxevasion.
2. Secara bisnis masuk kapal.
Kewajaran melakukan transaksi bisnis harus berpegang kepada praktik
perdagangan yang sehat dan menggunakan
standardarmslengthpriceatau harga pasar yang wajar, yakni tingkat
harga antara pembeli dan penjual yang independen, bebas melakukan
transaksi.
3. Didukung oleh bukti-bukti pendukung yang memadai (misalnya
kontrak, invoice, faktur pajak, PO, dan DO)
Kebenaran formal dan materil suatu transaksi keuangan perusahaan
dapat dibuktikan dengan adanya kontrak perjanjian dengan pihak
ketiga atau purchaseorder (PO) dari pelanggan, bukti penyerahan
barang/jasa (delivery order), invoice, faktur pajak sebagai bukti
penagihan serta pembukuannya (generalledger).

1. Pajak Penghasilan Pasal 22


PPh Pasal 22 merupakan pajak penghasilan yang dipungut oleh
bendaharawan pemerintah (pusat, daerah, instansi, dan lembaga negara
lainnya) berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang, dan
badan-badan tertentu baik pemerintah maupun swasta berkenaan dengan
kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Tax Management Pemotongan dan Pemungutan
Pajak Penghasilan Pasal 22 diatur dalam KMK-254/KMK.03/2001
sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK No.08/PMK.03/2008,

1
pajak ini menyangkut PPh pasal 22 impor, PPh pasal 22 Bendaharawan
dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan
barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan
usaha lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen,
otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008). Di sini yang
akan dibicarakan adalah masalah PPh Pasal 22 impor.
Kalau perusahaan mengimpor barang, harus membayar PPh Pasal 22
impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah
Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kedit
pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 impor bervariasi, tergantung
apakah perusahaan punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan
kalau tidak dikuasai artinya barang tak bertuan.
Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai impor, kalau non API 7,5%,
dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai 7,5% dari harga jual lelang.
Persemtase tersebut dihitung dari harga barang atau nilai CIF + BM (Cost
Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan, jika ada).
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentu yang
dipikirkan oleh tax planner adalah meencari tarif terendah, sehingga dalam
melakukan impor, tax planner yang baik akan merekomendasikan impor
dengan API.
Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API tersebut bisa terjadi
digunakan oleh unit-unit bisnis dalam grupperusahaan atau kolongmerat
yang satu dengan yang lainnya sudah saling kenal dan berada dalam
payung kepemilikan perusahaan yang sama, malah itu mungkin menjadi
suatu kebijakan bisnis grupnya yang harus dijalankan dan dipatuhi.kalau
kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa tersenyum karena
“berhasil” menekan beban PPh Pasal 22 menjadi sebesar 5%, dari yang
tadinya 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan untuk menghemat cash flow
perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal 22
ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT
Tahunan PPh Badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping (laut dan udara), kita mengenal adanya
“handling fee”, yakni jumlah fee yang harus dibayarkan bedasarkan
perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan
pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee
tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin bisa dipakai oleh orang
atau perusahaan yang tidak punya API dengan “meminjam” bendera
perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan
kompensasi pemberian “handling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar
dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%), maka si

2
pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22
sebesar 3%-3,5% dari harga barang impor tadi (yakni dari cost insurance
& freight + bea masuk).
Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi, cara ini akan bisa
menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh
Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang tidak
bertuan, adalah membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada
non API.
Tax management dan tax planning yang baik mensyratkan beberapa
hal, seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk
akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang
memadai (kontrak, invoice). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi
fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan
membuat kontrak yang jelas dan jelas dan secara transparan
mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh
Pasal 22 yang tidak bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang
bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.

Pengecualian-Pengecualian (Tax Exemption) PPh Pasal 22


Dikecualikan dari pemungutan pajak penghasilan pasal 22, adalah:
a) Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak
Penghasilan
b) Impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan atau
Pajak Pertambahan Nilai; sebagaimana ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.03/2001 yang telah
diubah dengan KMK No. 392/KMK.03/2001 dan
236/KMK.02/2003 dan 154/PMK.02/2007 dan terakhir diubah
dengan PMK No. 08/PMK.03/2008.

Pengajuan SKB PPH Pasal 22


Sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002, wajib pajak dapat
mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau
pemungutan PPh Pasal 22 oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak
karena:
a. Wajib pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak
akan terulang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiscal.
b. Wajib pajak berhak melakukan kompensasi kerugian fiscal sepanjang
kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari perkiraan penghasilan
neto tahun pajak yang bersangkutan.

3
c. Pajak penghasilan yang dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan
yang akan terutang.

Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang
memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak
di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan memontum
kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi
lebih bayar pajak penghasilan.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya
pungutan pajak, diatur dengan Peraturan Materi Keuangan. Ketentuan
Materi Keuangan mengenai pengenaan pph pasal 22 diatur dalam KMK-
254/KMK.03/200 sebagai mana telah diubah terakhir dengan PMK
No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat
3 kelompok yaitu:
1. PPH Pasal 22 Impor

Besarnya PPh Pasal 22 Impor adalah:


1. Yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API):
 Atas impor kedelai, gandum,dan tepung terigu oleh
importer, dikenal tarif sebesar 0,5% dari nilai impor.
 Selain impor gandum dan tepung teriguoleh importir yang
memiliki API tetap dikenai 2,5% dari nilai impor.
2. Yang tidak menggunakan API sebesar 7,5% (tujuh setengah
persen) dari nilai impor.
3. Yang tidak dikuasai sebesar 7,5% (tujuh setengah lima persen)
dari harga jual lelang.

Catatan:
- Nilai impor Harga Patokan Impor ( nilai CIF)+ Bea Masuk +Bea
masuk tambahan (jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs
berdasarkan Keputusan Materi Keuangan.

PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Dirjen Bea dan
Cukai atau bank devisa pada saat pembayaran Bea masuk. PPh Pasal
22 impor merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh
terutang di akhir tahun pajak.
Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final
 Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang
atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai
PPh Pasal 22 impor.

4
 WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang
bersangkutan.
 Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak
digunakan akan kegiatan untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh
final, maka PPh Pasal 22 yang terutang aka ditagih beserta dengan
sanksi bunganya.

2. PPh Pasal 22 Bendaharawan dan BUMN/BUMD


Atas pembayaran untuk pembelian atau penyerahan barang yang
dibebankan ke APBN/D, besarnya PPh Pasal 22 yang harus dipungut
adalah sebesar 1,5% dari harga beli yang dipungut pada saat
pembayaran. Pemugutan dilakukan oleh Ditjen Anggaran, Kantor
Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN), atau BUMN/D yang
dananya berasal dari APBN/D.
PPh Pasal 22 tersebut merupakan kredit pajak bagi wajib pajak
penjual dan harus disetor oleh pemungut dengan menggunukan SSP
atas nama Wajib Pajak yang dipungutan (penjual).

3. PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat


Mewah
Sesuai dengan PMK No.253/PMK.03/2008 tentang Wajib pajak
badan tertentu sebagai pemungut PPh dari pembeli atas Penjualan
barang yang Tergolong Sangat Murah, pemungut pajak adalah Wajib
Pajak Badan yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat
mewah yang diwajibkan memungut pajak penghasilan pada saat
melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Besarnya pajak penghasilan adalah sebesar 5% dari harga jual,
tidak termasuk PPN dan pajak penjualan atas barang mewah. Barang
yang tergolong sangat mewah sebagai mana dimaksud adalah:
a. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih Rp 20 miliar
b. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp. 10
miliar
c. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari dari 500m2
d. Apertemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual
atau pengalihannya lebih dari Rp. 10 miliar dan atau luas
bangunan lebih ari 400m2
e. Kendaran bermotor roda empat pengangkutan orang kurang
dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle(suv),
multi purpose vehicle(mpv), minibus dan sejenisnya dengan
harga ual lebih dari Rp, 5 miliar dan dengan kapasitas lebih
dari 3.000 cc.

5
Berikut contoh disertai dengan pencatatannya
CV Jaya merupakan ATK. Pada bulan Oktober 2016 menjual ATK kepada
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Malang sebesar Rp. 5.000.000 (tidak
termasuk PPN). PPh Pasal 22 terutang yang harus dipungut oleh bendahara Dinas
P&K Kab. Malang adalah ?
Jawab :
1,5% x Rp.5.000.000 = Rp.75.000
Jika CV Jaya tidak memiliki NPWP:
3% x Rp.5.000.000 = Rp.150.000
Ayat jurnal yang disusun oleh CV Jaya
 Saat terjadi transaksi
Kas dan Bank 5.075.000
PPh Pasal 22 terutang 75.000
Penjualan 5.000.000
 Saat penyetoran PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 terutang 75.000
Kas dan Bank 75.000
Ayat jurnal yang disusun oleh Dinas P&K Kab. Malang
 Saat membeli barang
Pembelian 5.000.000
PPh Pasal 22 75.000
Kas dan Bank 5.075.000
 Saat pengkreditan pajak
PPh terutang 75.000
PPh Pasal 22 75.000

2. Pajak Penghasilan Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan pajak atas penghasilan yang


diterima atau diperolh WP dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal,
pemberian jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
sebagaimana dimaksud dalam PPh 21, yang dibayarkan atau terutang olh
badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan,
BUT, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
Apabila perusahaan memiliki proyek tidak memotong PPh Pasal 23,
dan transaksi ini ditemukan oleh fiskus pada saat dilakukan pemeriksaan
pajak maka perusahaan memiliki proyek akan dikenai kewajiban unuk
membayar PPh Pasal 23 yang terutang ditambah denda keterlambatan
penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak.
Solusinya:
1. Nilai transaksi harus di gross up, misalnya sewa bangunan Rp. 72 juta,
di gross up menjadi 100/90*Rp 72 juta= Rp 80 juta. Bila jumlah

6
transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut,
maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80 juta-Rp 72juta= 8
juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh finaldan
dividen.
2. Namun bila perusahaan memiliki proyek membayarkan sendiri PPh
pasal 23 yang terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up( jadi 10% x
Rp72juta=Rp7,2juta).
Tapi apakah hal itu akan dikuasai fiskus? Jelas tidak, karena cara
ini baru dilakukan secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung.
Agar biaya sewa bangunan bias dibiayakan, termasuk pajaknya, maka
kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk mengubah
invoice, ftransaksi pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir
pemotongan pajak PPh pasal 23 atas pembayaran sewa bangunan
tersebut, agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.
Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai
sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80juta, dan setelah itu
pemilik gedung memotong PPh pasal 4(2) final 10%*Rp 80 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi

Pengenaan Pajak atas Deviden


UU PPh No.10 Tahun 1994 menyebutkan, bahwa dividen yang diterima oleh
Perseroan dalam negeri (selain bank atau lembaga keuangan lainnya) tidak
termasuk objek pajak PPh Badan dengan syrat bahwa:
1) Deviden berasal dari laba yang ditahan
2) Kepemilikan saham perseroan yang menerima deviden tersebut paling
sedikit memiliki 25% dari nilai saham yang disetor dari badan yang
membayar deviden (operating compny).

Pada tahun 1994, para pemegang saham orang pribadi cepat-cepat


membuat perseroan terbatas (PT) dengan mereka sebagai pemegang
sahamnya. Di PT yang tidak mempunyai kegiatan apa-apa mereka hanya
bertindak sebagai pemegang saham. Dilain pihak ada operating company
yang membayar dividen ke PT Tanpa dikenai pajak.
Bagaimana kalau kepemilikan sahamnya kurang dari 25%, jalan
keluarnya adalah merger untuk mencukupi kekurangan dana yang harus
diinvestasikan ke operating company.

Perubahan Tarif PPh Pasal 23


UU PPh yang baru No. 36 Tahun 2008 telah menurunkan Tarif PPh Pasal
23 yang semula 15% menjadi:
1) 15% dari peredaran bruto atas dividen, bunga, royalti, dan hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya.

7
2) 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen,
jasa kontruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.

Bunga pinjaman bank bagi perusahaan peminjam jelas dapat di


bayarkan, sedangkan bagi bank, pendapatan bunga tersebut tidak dikenai
PPh final karena itu adalah business income dari bank tersebut.di luar
bunga pinjaman bank terkena pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 15%.

Pengajuan SKB PPH Pasal 23


Seperti pengajuan SKB pasal 22 yang telah dibahas diatas, ketentuan yang
sama berlaku juga pasa PPh Pasal 23 dengan dasar peraturan pelaksanaan
yang sama, yakni sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak No. 192/PJ/2002,
dimana wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan
pemotongan dan atau pemungutan PPh Pasal 23 oleh pihak lain kepada
Direktur Jendral Pajak dengan kriteria seperti yang dimaksud dalam
keputusan Dirjen Pajak. Tax Planner yan baik akan selalu memanfaatkan
momentum pengajuan permohonan SKB PPh Pasal 23 tersebut agar tidak
terjadi lebih bayar pajak penghasilan.
PPh Pasal 23 merupakan pemotongan pajak atas penghasilan yang
diperoleh wajib pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong
PPh Pasal 21.
Pemotong PPh Pasal 23
1. Badan Pemerintah.
2. Subjek pajak dalam nnegeri.
3. Bentuk usaha tetap (BUT) atau perwakilan perusahaan dalam negeri.
4. Orang pribadi sebagai WPDN yang ditunjuk DJP, yaitu :
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, PPAT (kecuali camat),
pengacara, konsultan yang melakukan pekerjaan bebas.
 Orang pribadi yang menjalankan usaha dan yang
menyelenggarakan pembukuan.

Subjek Pajak PPh Pasal 23:


1. Wajib Pajak Dalam Negeri.
2. Bentuk Usaha Tetap.
3. Wajib Pajak luar negeri.

Objek Pajak PPh Pasal 23:


Adalah penghasilan yang berassal dari :
1. Modal yang diterima wajib pajak badan dan orang pribadi.
2. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib Pajak badan.
3. Penyerahan jasa yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi selain
yang telah dipotong PPh Pasal 21.

8
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23
a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi :
1. Dividen; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD, koperasi,
dengan syarat kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi)
dann dividen tersebut diambil dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
3. Royalty.
4. Hadia dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPH Pasal
21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan
yang dibayar oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan menteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan denga jasa teknik, jasa manajemen, jasa
kontruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan
terperinci per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat dibuku-buku
pengeluaran/pembelian/ penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan
dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebgian maupun keseluruhan).
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan
Bruto dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam banyak kaasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 23 yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan terssebut.
Hal ini disebabkan karena :
1. Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum
dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang di potong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPH Pasal 23.

Contoh :
Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23 :
 Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan penjumlahan
transaksi dari keseluruhan objek PPH Pasal 23 Rp 400.000.000
 Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp 200.000.000

9
 kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar
atau setor PPh Pasal23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan
pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan
transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah
disetujui.
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar
atau setor PPh Pasal 23 tersebut hanya akanm menambah beban tambahan
bagi wajib pajak dari pengenaan bunga pajak 2% setiap bulannya maksimum
24 bulan (Pasal 13 ayar 2 UU KUP).

Berikut contoh disertai dengan cara pencatatan


Dalam acara syukuran atas tercapainya target penjualan tahun 2016, PT
Arnold Coorporation mengadakan acara makan bersama seluruh
karyawannya. Menu makanan dipesan dari SEDAP Catering, jumlah
pemesanan catering adalah Rp. 20.000.000. PPh Pasal 23 yang terutang dan
wajib dipotong oleh PT Arnold Coorporation adalah ?
Jawab :
2% x Rp.20.000.000 = Rp.400.000
Ayat jurnal yang dibuat PT Arnold Coorporation (pembeli)
 Saat pembelian
Biaya katering 20.000.000
PPh Pasal 23 terutang 400.000
Kas dan Bank 19.600.000
 Saat menyetor ke kas negara
PPh Pasal 23 terutang 400.000
Kas dan Bank 400.000
Ayat jurnal yang dibuat SEDAP Catering
 Saat menerima
Kas dan Bank 19.600.000
PPh Pasal 23 400.000
Penjualan 20.000.000
 Saat pengkreditan
PPh terutang 400.000
PPh Pasal 23 400.000

3. PPh Pasal 4 ayat (2)


PPh Pasal 4 Ayat 2/PPh Final adalah pajak penghasilan atas jenis
penghasilan-penghasilan tertentu yang bersifat final dan tidak dapat
dikreditkan dengan Pajak Penghasilan terutang.

10
PPh Pasal 4 ayat (2) dikenal sebagai PPh yang bersifat Final. Artinya, PPh
yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan sebagai pengurang PPh Pasal 29
di akhir tahun. Oleh karena itu penghasilan yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)
pun dilaporkan dalam lampiran tersendiri dan dikoreksi dari pelaporan
penghasilan neto fiskal dalam SPT Tahunan PPh.
Jenis penghasilan yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) diantaranya :

Uraian Tarif Dasar Hukum

PP No 5/2002,
Penghasilan dari sewa tanah 10% x jumlah bruto nilai
KEP
dan/atau bangunan persewaan
227/PJ/2002

Penghasilan dari Pengalihan 5% x jumlah bruto nilai


PP 48/1994, PP
hak atas tanah dan/atau pengalihan atau 1% x jumlah bruto
71/2008
bangunan nilai pengalihan (RS/RSS)

PP 51/2008 jo
Penghasilan dari jasa konstruksi sesuai PP 51/2008
PP 40/2009

Penghasilan dari penjualan 0,1% x jumlah bruto nilai transaksi


PP 41/1994 jo
saham yang dilakukan di bursa dan tambahan 0,5% x nilai saham
PP 14/1997
efek untuk saham pendiri

15% x jumlah bruto


Penghasilan berupa
bunga/diskonto untuk WPDN dan PP 16/2009
bunga/diskonto obligasi
20% untuk WPLN

Penghasilan dari bunga Surat


20% x diskonto SPN PP 27/2008
Perbendaharaan Negara (SPN)

Penghasilan Deviden yang


diterima oleh Wajib Pajak 10% x jumlah bruto deviden PP 19/2009
Orang Pribadi Dalam Negeri

0% x bunga simpanan sampai


Bunga simpanan koperasi yang
dengan Rp240.000,- dan 10% x
dibayarkan kepada anggota PP 15/2009
bunga simpanan di atas Rp
koperasi orang pribadi
240.000,-

11
Pendapatan berupa bunga
deposito dan tabungan serta 20% x jumlah bruto bunga PP 131/2000
sertifikat bank indonesia (SBI)

Penghasilan berupa hadiah


25% x jumlah bruto nilai hadiah PP 132/2000
undian

Penghasilan dari penjualan


0,1% x jumlah bruto nilai transaksi PP 4/1995
saham milik modal ventura

Penghasilan usaha Wajib Pajak


1% x peredaran usaha setiap bulan
yang memiliki peredaran bruto PP 46/2013
setiap tempat kegiatan usaha
tertentu

Mengingat PPh Pasal 4 ayat (2) ini bersifat final,maka dapat dijadikan sebagai
uang muka pajak dalam pencatatannya. Oleh karena itu PPh Pasal 4 ayat (2)
dicatat sebagai beban bagi pihak yang dipotong dan dicatat sebagai utang bagi
pihak yang memotong apabila prosedur yang harus dilakukan adalah dipotong dan
memotong. Namun apabila sifatnya setor sendiri, maka dicatat sebagai utang oleh
yang bersangkutan.
Contoh:
PT Surya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang jasa konstruksi
(memiliki SIUJK) dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Pada bulan Januari 2015
memberikan jasa perbaikan kepada PT Matahari dengan nilai kontrak Rp
100.000.000,-
Maka pencatatannya adalah:
Keterangan Debit Kredit
Kas Rp 108.000.000,-
PPh Pasal 4 ayat (2) Rp 2.000.000,-
PPN Keluaran Rp 10.000.000,-
Pendapatan Rp 100.000.000,-

Jurnal yang dibuat oleh PT Matahari adalah:


Keterangan Debit Kredit
Beban Jasa Konstruksi Rp 100.000.000,-
PPN Masukan Rp 10.000.000,-
Utang PPh Pasal 4 ayat (2) Rp 2.000.000,-
Kas Rp 108.000.000,-

12

Anda mungkin juga menyukai