1
pajak ini menyangkut PPh pasal 22 impor, PPh pasal 22 Bendaharawan
dan BUMN/BUMD atas pembayaran untuk pembelian dan penyerahan
barang yang dibebankan ke APBN/APBD, PPh Pasal 22 atas kegiatan
usaha lain (hasil penjualan: produksi Pertamina, produksi rokok, semen,
otomotif, baja, kertas, dan lain-lain), PPh Pasal 22 atas penjualan barang
yang tergolong sangat mewah (PMK No. 253/PMK.03/2008). Di sini yang
akan dibicarakan adalah masalah PPh Pasal 22 impor.
Kalau perusahaan mengimpor barang, harus membayar PPh Pasal 22
impor pada saat pembayaran bea masuk, dan yang memungut adalah
Ditjen Bea Cukai atau bank devisa. PPh Pasal 22 impor merupakan kedit
pajak yang dapat dikurangkan dari PPh yang terutang di akhir tahun pajak.
Dalam hal impor, tarif PPh Pasal 22 impor bervariasi, tergantung
apakah perusahaan punya angka pengenal impor (API) atau tidak, dan
kalau tidak dikuasai artinya barang tak bertuan.
Kalau ada API tarifnya 2,5% dari nilai impor, kalau non API 7,5%,
dan untuk barang tidak dikuasai juga dikenai 7,5% dari harga jual lelang.
Persemtase tersebut dihitung dari harga barang atau nilai CIF + BM (Cost
Insurance & Freight + Bea Masuk + Bea Masuk Tambahan, jika ada).
Rate yang berbeda ini mendorong adanya tax planning. Tentu yang
dipikirkan oleh tax planner adalah meencari tarif terendah, sehingga dalam
melakukan impor, tax planner yang baik akan merekomendasikan impor
dengan API.
Memfasilitasi penggunaan (“peminjaman”) API tersebut bisa terjadi
digunakan oleh unit-unit bisnis dalam grupperusahaan atau kolongmerat
yang satu dengan yang lainnya sudah saling kenal dan berada dalam
payung kepemilikan perusahaan yang sama, malah itu mungkin menjadi
suatu kebijakan bisnis grupnya yang harus dijalankan dan dipatuhi.kalau
kebijakan ini diimplementasikan, tax planner bisa tersenyum karena
“berhasil” menekan beban PPh Pasal 22 menjadi sebesar 5%, dari yang
tadinya 7,5% menjadi 2,5%. Lumayan untuk menghemat cash flow
perusahaan selama masa tertentu, walaupun pada akhirnya PPh Pasal 22
ini akan menjadi kredit pajak dari PPh Badan yang terutang dalam SPT
Tahunan PPh Badan (bila perusahaan dapat profit).
Dalam dunia shipping (laut dan udara), kita mengenal adanya
“handling fee”, yakni jumlah fee yang harus dibayarkan bedasarkan
perjanjian handling fee antara importir yang mempunyai API dengan
pemilik barang atas jasa yang diberikan. Atas pengenaan handling fee
tersebut, dipotong PPh Pasal 23. Cara ini mungkin bisa dipakai oleh orang
atau perusahaan yang tidak punya API dengan “meminjam” bendera
perusahaan yang punya API untuk mengeluarkan barang impornya dengan
kompensasi pemberian “handling fee”. Bila benefitnya (5%) lebih besar
dari cost of handling fee yang dikeluarkan (misalnya 1,5% - 2%), maka si
2
pemilik barang masih bisa memperoleh tax saving dalam PPh Pasal 22
sebesar 3%-3,5% dari harga barang impor tadi (yakni dari cost insurance
& freight + bea masuk).
Sedangkan bagi perusahaan yang masih rugi, cara ini akan bisa
menghemat cash flow untuk masa tertentu, karena kredit pajak dari PPh
Pasal 22 tersebut hanya akan menyebabkan lebih bayar.
Ketentuan untuk barang yang tidak dikuasai, atau barang tidak
bertuan, adalah membayar dengan rate yang sama dengan dikenakan pada
non API.
Tax management dan tax planning yang baik mensyratkan beberapa
hal, seperti tidak melanggar ketentuan perpajakan, secara bisnis masuk
akal (reasonable), serta didukung oleh bukti-bukti pendukung yang
memadai (kontrak, invoice). Oleh sebab itu untuk meminimalisasi koreksi
fiskal pihak fiskus terhadap hal-hal tersebut, solusinya adalah dengan
membuat kontrak yang jelas dan jelas dan secara transparan
mencantumkan hak dan kewajiban perpajakan masing-masing pihak.
Perusahaan yang dikenai PPh Pasal 22 dapat mengkreditkan PPh
Pasal 22 yang tidak bersifat final. Sedangkan untuk PPh Pasal 22 yang
bersifat final tidak dapat dikreditkan dalam SPT Tahunan PPh.
3
c. Pajak penghasilan yang dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan
yang akan terutang.
Untuk PPh Pasal 22 yang tidak termasuk PPh Final, dapat diajukan
permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) oleh wajib pajak yang
memenuhi kriteria, seperti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen Pajak
di atas, dan tax planner yang baik akan selalu memanfaatkan memontum
kapan permohonan SKB PPh pasal 22 tersebut diajukan agar tidak terjadi
lebih bayar pajak penghasilan.
Ketentuan mengenai dasar pemungutan, kriteria, sifat, dan besarnya
pungutan pajak, diatur dengan Peraturan Materi Keuangan. Ketentuan
Materi Keuangan mengenai pengenaan pph pasal 22 diatur dalam KMK-
254/KMK.03/200 sebagai mana telah diubah terakhir dengan PMK
No.08/PMK.03/2008. Secara garis besar pengenaan PPh Pasal 22 terdapat
3 kelompok yaitu:
1. PPH Pasal 22 Impor
Catatan:
- Nilai impor Harga Patokan Impor ( nilai CIF)+ Bea Masuk +Bea
masuk tambahan (jika ada)
- Kurs yang digunakan untuk menghitung nilai impor adalah kurs
berdasarkan Keputusan Materi Keuangan.
PPh Pasal 22 impor tersebut di atas dipungut oleh Dirjen Bea dan
Cukai atau bank devisa pada saat pembayaran Bea masuk. PPh Pasal
22 impor merupakan kredit pajak yang dapat dikurangkan dari PPh
terutang di akhir tahun pajak.
Impor barang untuk kegiatan yang dikenakan PPh Final
Atas impor barang yang digunakan untuk kegiatan atau jasa yang
atas imbalannya semata-mata dikenakan PPh final, tidak dikenai
PPh Pasal 22 impor.
4
WP dapat meminta surat keterangan bebas atas impor barang yang
bersangkutan.
Jika kemudian diketahui bahwa atas impor tersebut tidak
digunakan akan kegiatan untuk kegiatan yang tidak dikenakan PPh
final, maka PPh Pasal 22 yang terutang aka ditagih beserta dengan
sanksi bunganya.
5
Berikut contoh disertai dengan pencatatannya
CV Jaya merupakan ATK. Pada bulan Oktober 2016 menjual ATK kepada
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Malang sebesar Rp. 5.000.000 (tidak
termasuk PPN). PPh Pasal 22 terutang yang harus dipungut oleh bendahara Dinas
P&K Kab. Malang adalah ?
Jawab :
1,5% x Rp.5.000.000 = Rp.75.000
Jika CV Jaya tidak memiliki NPWP:
3% x Rp.5.000.000 = Rp.150.000
Ayat jurnal yang disusun oleh CV Jaya
Saat terjadi transaksi
Kas dan Bank 5.075.000
PPh Pasal 22 terutang 75.000
Penjualan 5.000.000
Saat penyetoran PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 terutang 75.000
Kas dan Bank 75.000
Ayat jurnal yang disusun oleh Dinas P&K Kab. Malang
Saat membeli barang
Pembelian 5.000.000
PPh Pasal 22 75.000
Kas dan Bank 5.075.000
Saat pengkreditan pajak
PPh terutang 75.000
PPh Pasal 22 75.000
6
transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus dipungut,
maka atas jumlah pajak yang dibayarkan (Rp 80 juta-Rp 72juta= 8
juta) boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali untuk PPh finaldan
dividen.
2. Namun bila perusahaan memiliki proyek membayarkan sendiri PPh
pasal 23 yang terutang (PPh ditanggung) tanpa di gross up( jadi 10% x
Rp72juta=Rp7,2juta).
Tapi apakah hal itu akan dikuasai fiskus? Jelas tidak, karena cara
ini baru dilakukan secara sepihak oleh perusahaan pemilik gedung.
Agar biaya sewa bangunan bias dibiayakan, termasuk pajaknya, maka
kontrak perjanjian tersebut harus diubah dulu, termasuk mengubah
invoice, ftransaksi pajak, dan dokumen lain yang mengakomodir
pemotongan pajak PPh pasal 23 atas pembayaran sewa bangunan
tersebut, agar terdapat kesesuaian antara penerima dan pemberi jasa.
Jadi kontrak perjanjian harus direvisi dengan mencantumkan nilai
sewa bangunan setelah di gross up sebesar Rp 80juta, dan setelah itu
pemilik gedung memotong PPh pasal 4(2) final 10%*Rp 80 juta, dan
menyetorkannya ke kas Negara atau bank persepsi
7
2) 2% dari peredaran bruto atas jasa-jasa seperti sewa, jasa manajemen,
jasa kontruksi, jasa konsultan, dan jasa lainnya.
8
Tarif dan Pengenaan PPh Pasal 23
a. 15% dari penghasilan bruto, meliputi :
1. Dividen; kecuali yang diterima oleh PT, BUMN/BUMD, koperasi,
dengan syarat kepemilikan saham minimal 25% (kecuali koperasi)
dann dividen tersebut diambil dari laba ditahan.
2. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang.
3. Royalty.
4. Hadia dan penghargaan lain selain yang telah dipotong PPH Pasal
21.
b. 15% dari penghasilan bruto dan bersifat final atas bunga simpanan
yang dibayar oleh koperasi, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan menteri keuangan.
c. 2% dari imbalan bruto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta yang telah dikenai PPh Final.
d. Imbalan sehubungan denga jasa teknik, jasa manajemen, jasa
kontruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Analisis Ekualisasi Objek PPh Pasal 23 pada SPT Tahunan PPh Badan
dengan SPT Masa PPh Pasal 23
Ekualisasi pajak adalah mencocokan data di SPT (pencocokannya disajikan
terperinci per transaksi) dengan pos-pos yang terdapat dibuku-buku
pengeluaran/pembelian/ penjualan yang memiliki hubungan dalam pembukuan
dan atau laporan jenis pajak yang lain (baik sebgian maupun keseluruhan).
Dalam melakukan ekualisasi terhadap PPh Pasal 23, jumlah penghasilan
Bruto dalam SPT Masa PPh Pasal 23 dicocokan dengan pos pengeluaran yang
menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam banyak kaasus, terjadi pengenaan kurang bayar atas pemotongan PPh
Pasal 23 yang ditemukan oleh pemeriksa (fiskus) sehingga menyebabkan
terbitnya SKP Kurang Bayar dari hasil pemeriksaan terssebut.
Hal ini disebabkan karena :
1. Ditemukan biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang belum
dilakukan pemotongan oleh wajib pajak pemberi kerja.
2. Jumlah PPh Pasal 23 yang disetorkan ke kas Negara tidak cocok atau lebih
rendah dari jumlah yang di potong oleh wajib pajak.
3. Jumlah PPh Pasal 23 yang dibukukan di buku besar atau ledger
pembukuan tidak cocok dengan SPT PPh Masa PPH Pasal 23.
Contoh :
Berikut ini adalah rekapitulasi dari ekualisasi PPh Pasal 23 :
Jumlah PPh Pasal 23 menurut tax review, berdasarkan penjumlahan
transaksi dari keseluruhan objek PPH Pasal 23 Rp 400.000.000
Jumlah PPh Pasal 23 menurut SPT Masa PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
9
kekurangan bayar atau setor PPh Pasal 23 Rp 200.000.000
Hasil ekualisasi tersebut mengindikasikan adanya potensi kekurangan bayar
atau setor PPh Pasal23 sebesar Rp 200.000.000 yang harus dilakukan
pengecekan lebih lanjut oleh wajib pajak terhadap bukti-bukti pendukung dan
transaksi-transaksi apa saja yang dimuat dalam kontrak perjanjian yang sudah
disetujui.
Tentu saja kelalaian atau keterlambatan dalam penyelesaian kurang bayar
atau setor PPh Pasal 23 tersebut hanya akanm menambah beban tambahan
bagi wajib pajak dari pengenaan bunga pajak 2% setiap bulannya maksimum
24 bulan (Pasal 13 ayar 2 UU KUP).
10
PPh Pasal 4 ayat (2) dikenal sebagai PPh yang bersifat Final. Artinya, PPh
yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan sebagai pengurang PPh Pasal 29
di akhir tahun. Oleh karena itu penghasilan yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2)
pun dilaporkan dalam lampiran tersendiri dan dikoreksi dari pelaporan
penghasilan neto fiskal dalam SPT Tahunan PPh.
Jenis penghasilan yang dikenai PPh Pasal 4 ayat (2) diantaranya :
PP No 5/2002,
Penghasilan dari sewa tanah 10% x jumlah bruto nilai
KEP
dan/atau bangunan persewaan
227/PJ/2002
PP 51/2008 jo
Penghasilan dari jasa konstruksi sesuai PP 51/2008
PP 40/2009
11
Pendapatan berupa bunga
deposito dan tabungan serta 20% x jumlah bruto bunga PP 131/2000
sertifikat bank indonesia (SBI)
Mengingat PPh Pasal 4 ayat (2) ini bersifat final,maka dapat dijadikan sebagai
uang muka pajak dalam pencatatannya. Oleh karena itu PPh Pasal 4 ayat (2)
dicatat sebagai beban bagi pihak yang dipotong dan dicatat sebagai utang bagi
pihak yang memotong apabila prosedur yang harus dilakukan adalah dipotong dan
memotong. Namun apabila sifatnya setor sendiri, maka dicatat sebagai utang oleh
yang bersangkutan.
Contoh:
PT Surya merupakan perusahaan yang bergerak dibidang jasa konstruksi
(memiliki SIUJK) dan telah dikukuhkan sebagai PKP. Pada bulan Januari 2015
memberikan jasa perbaikan kepada PT Matahari dengan nilai kontrak Rp
100.000.000,-
Maka pencatatannya adalah:
Keterangan Debit Kredit
Kas Rp 108.000.000,-
PPh Pasal 4 ayat (2) Rp 2.000.000,-
PPN Keluaran Rp 10.000.000,-
Pendapatan Rp 100.000.000,-
12