Asbabun Nuzulil Quran
Asbabun Nuzulil Quran
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama
dan utama yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan
di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak
hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin
untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah dilaksanakan sejak Nabi Muhammad SAW
masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain
upaya tersebut telah dilaksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini.
Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar apabila
mempelajari dan memahami sebab-sebab turun Al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan
bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur‟an itu telah masuk dalam ruang
lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam
memberikan arti ayat-ayat al-Qur’an. Imam al-Wahidi menyatakan “tidak mungkin orang
mengerti tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui cerita yang berhubungan dengan ayat-
ayat itu”, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui
sebab-sebab ayat itu diturunkan.
Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat, mereka segera kembali
berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini hilanglah semua kesulitan yang
mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an tentang “Asbabun Nuzul”. Dalam hal ini kita
mencoba menuangkannya dalam bentuk makalah yang berjudul“ASBABUN NUZUL”
dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah keimanan dan keilmuan kita baik di
dunia maupun di akhirat kelak. Amin
Ungkapan asbab An-Nuzul merupakan idhofah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara
etimologi, asbab An-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatar belakangi terjadinya sesuatu.
Meskipun yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab An-Nuzul, namun
dalam pemakaiannya, ungkapan asbab An-Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan
sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud yang
secara khusus digunakan bagi sebsb-sebab terjadinya hadits.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa asbab An-Nuzul adalah
kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat Al-Qur’an. Bentuk-
bentuk yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an ini sangat beragam, di antaranya berupa :
konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi antara suku aus dan suku khazraj, kesalahan
besar, seperti kasus seorang sahabat yang mengimami sholat dalam keadaan mabuk, dan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sahabat kepada Nabi baik berkaitan dengan
sesuatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi. Setelah dikaji, sebab turunnya
suatu ayat itu berikisar pada dua hal:
• Jika terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Al-Qur’an mengenai peristiwa itu.
• Bila Rasulullah S.A.W ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah Al-Qur’an menerangkan
hukumnya.
Pertama, ayat yang diturunkan tanpa ada keterkaitannya dengan sebab tertentu, tetapi semata-
mata sebagai hidayah bagi manusia.
Kedua, ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan lantaran adanya sebab atau kasus tertentu.
Misalnya pertanyaan yang diajukan oleh umat Islam atau bukan muslim kepada Rasulullah
saw. Atau adanya kasus tertentu yang memerlukan jawaban sebagai sebab syariat Islam
terhadap kasus tersebut. Ayat-ayat macam kedua inilah yang dibahas dalam kaitan
pembicaraan asbabun nuzul.
Drs. H. Ramli Abdul Wahid, MA dalam bukunya Ulumul Qur’an menyebutkan bahwa sebab-
sebab turun ayat yang berhubungan dengan peristiwa ada tiga macam dan yang berhubungan
dengan pertanyaan juga ada tiga macam. Adapun sebab-sebab turun ayat yang
berhubungan dengan pertanyaan adalah sebagai berikut :
2. Peristiwa berupa kesalahan yang serius, seperti peristiwa seorang yang mengimami sholat
sedang mabuk sehingga tersalah membaca surah Al-Kafirun, sehingga turunlah Al-Qur’an
surat Al-Nisa’ ayat 42.
يومئذ يؤدالذين كفروا وعصواالرسول لوتسوى بحم اللرض وال يكتمون هللا حديثا
“Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya
mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah)
sesuatu kejadianpun.”
Yang mempunyai otoritas untuk mengungkapkan asbab nuzul ayat-ayat Al-Quran adalah
para sahabat Nabi, karena merekalah yang menyaksikan turunnya ayat-ayat Al-Quran
tersebut. Dengan demikian, pelacakan asbab nuzul harus diakukan dengan mencari dan
mempelajari perkataan-perkataan sahabat yang mengungkapkan proses turunnya ayat-ayat
Al-Quran itu,atau riwayat-riwayat yang bermuara minimal para sahabat.
Kalau perkataan sahabat tersebut juga mengungkapkan tentang perkataan atau perbuatan
Rasulullah yang berhubungan dengan turunnya ayat-ayat Al-Quran, maka kedudukannya
menjadi hadis marfu, dan sangat berpeluang untuk memperoleh kualitas hadis sahih. Tetapi,
kalau perkataan mereka itu, tidak menyinggung sedikitpun tentang Rasulullah, maka
hadisnya menjadi mauquf. Oleh sebab itu, wajar kalau para sarjana ilmu Al-quran, kemudian
menyimpulkan bahwa hadis-hadis tentang asbab nuzul itu, pada umumnya lemah karena
tidak sampai pada Rasulullah.
Akan tetapi hadis-hadis tentang asbab nuzul tidak menyangkut tentang ajaran keagamaan,
tetapi sekedar mengemukakan tentang latar belakang, atau berbagai peristiwa yang
mengiringi turunnya ayat. Oleh sebab itu, kendati lemah, hadis-hadis tersebut dapat
digunakan, sebagai bahan referensi untuk memahami pesan-pesan ayat Al-Quran.
Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh para ulama ada
empat yaitu:
1.Diungkapkan dengan kata-kata sebab
2.Diungkapkan dengan kata fa ( maka )
3.Diungkapkan dengan kata nuzuli fi ...
4.Tidak diungkapkan dengan simbol-simbol kata di atas,tetapi alur ceritanya menunjukkan
sebagai ungkapan asbab nuzul
Para sahabat yang menyaksikan proses turunnya ayat, terkadang mengungkapkan peristiwa
itu dengan kata-kata sababu nuzul al ayat każa ...( sebab turunnya ayat ini begini ... ). Kalau
sahabat mengungkapkan simbol tersebut, jelas sekali bahwa sebab nuzulnya itu sebagaimana
yang ia kemukakan itu.
Kemudian ada pula dari kebiasaan mereka itu mengemukakan dengan kata-kata fa ( maka ),
dalam kontes pengungkapan peristiwanya. Seusai mengemukakan peristiwanya itu, lalu
mereka mengatakan fanuzilat hażihi al-ayat fi każa, ... Kalau mereka mengatakan dengan
simbol kata tersebut, maka perkataanya itu juga jelas mengemukakan asbab nuzul ayat yang
diceritakannya.
Disamping itu ada kebiasaan sahabat yang mengemukakan asbab nuzul ayat itu dengan
perkataan nuzilat hażihi al-ayat fi każa ... Dan terkadang pula mereka tidak
mengemukakannnya dengan simbol kata-kata yang menunjukkan sebab turunya ayat, tetapi
mereka hanya bercerita tentang sebuah peristiwa, lalu mengemukakan ayat yang diturunkan
dalam peristiwa tersebut.
Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan
tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan
cerita. Al-Wahidy berpendapat: “menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan
penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”
Ibnu Daqiqil ‘Ied berpendapat: “Keterangan tentang Asbabun Nuzul adalah merupakan
salah satu jalan yang tepat dalam memahami Al-Qur’an.”
Ibnu Taimiyah berpendapat: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat,
karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat”.
Dengan demikian akan jelaslah pentingnya ilmu Asbabun Nuzul sebagai bagian dari ilmu Al-
Qur’an.
Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud
al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang
terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa al-
sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih
dari satu sedang sebab turunnya satu ). Sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau
tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang
turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing
menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka
riwayat ini harus diteliti dan dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk:
Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak.
Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat ( Murajjih ) dan
lainnya tidak.
Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ).
Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus.
Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin
mengambil keduanya sekaligus.
1. Sebab-sebab nuzul ayat diungkapkan secara jelas seperti dengan ungkapan “Sebab turun
ayat ini adalah demikian”. Ungkapan ini sangat jelas, definitif dan pasti serta tidak
mengandung makna lain.
2. Sebab nuzul tidak ditunjukkan dengan lafal sebab, tetapi dengan mendatangkan lafal “fa”
yang masuk kepada ayat dimaksud secara langsung setelah pemaparan satu peristiwa atau
kejadian. Ungkapan seperti ini juga menunjukkan bahwa peristiwa itu adalah sebab bagi
turunnya ayat tersebut.
3. Sebab nuzul dapat dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini Rasul ditanya
orang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru
diterimanya. Para mufassir tidak menunjukkan sebab turunnya dengan lafal Asbabun Nuzul
dan tidak dengan mendatangkan “fa”, akan tetapi Asbabun Nuzulnya dipahami melalui
konteks dan jalan ceritanya, seperti sebab turunnya ayat tentang ruh.
4. Sebab nuzul tidak disebutkan dengan ungkapan sebab secara jelas, tidak dengan
mendatangkan “fa” yang menunjukkan sebab, dan tidak pula merupakan jawaban yang
dibangun atas dasar pertanyaan, namun ungkapan itu mengandung makna sebab dan makna
lainnya, yaitu tentang hukum kasus atau persoalan yang sedang dihadapi. Apabila hal ini
yang terjadi maka para ulama tafsir berbeda pendapat, ada yang menyatakan bahwa yang
diambil adalah mengenai hukum ini bukan mengenai sebab turun ayat ini, hal ini
sebagaimana dikemukan oleh Al-Zarkasyi. Namun menurut Al-Zarqani, satu-satunya jalan
untuk menentukan salah satu dari dua makna yang terkandung dalam ungkapan itu adalah
konteks pembicaraannya. Dan nampaknya pendapat Al-Zarqani ini adalah merupakan jalan
tengah atas dua kutub perbedaan pendapat dalam masalah ini.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman)” (QS. Al-
A’la [87]: 14)
Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun
berkenaan dengan zakat Ramadlan (fitrah), Kemudian dengan isnad yang marfu’, Baihaqi
meriwayatkan pula keterangan yang sama. Sebagian dari mereka berkata, “Aku tidak
mengerti maksud penakwilan yang seperti ini, sebab surah ini Makkiyah, sedang di Mekah
belum ada Idul Fitri & zakat.”
ي ِإلاى ام َّكةا ْ س ْو ال هللاِ ار ُجالً ِم ْن قابِ ْيلا ٍة اغنِيَّ ٍة ه اُو ام ْرث ادُ ا ْبنُ أابِ ْي ام ْرث ا ِد ْالغانا ِو قاا ال أ ا ْر ا,َّاس
ُ س ال ار ٍ ي اعب ْ ِي اع ِن اب ِْن أاب
ْ اح ِد ِ أ ا ْخ ار اج ْال او
َّ ِ اعاداى ام ْرثاد ُ إِلاى ْال ام ِد ْينا ِة ِليُقاابِ ال النَّب,اء اع ام ِل ِه
ي اوأا ْخبا ار ِ اوبا ْعدا إِ ْنتِ اه.ٌِي ُم ْش ِركاة
س ِم اع اعنااقا اوه ا ص ال ام َّكةا ا ِحيْنا او ا. ِليات ا اح َّرى ْال ُم ْس ِل ِميْنا
ِ اوال تا ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِر اكا:ت
ت احتَّى يُؤْ ِم َّن ْ ي أ ا ْن يات ازا َّو اجهُ؟ فانازا لا
َّ ى اعلا ُ ياا ار:ُ قاا ال ام ْرثاد. ام ْرثاد ُ أ ا ْن يات ازا َّو اج اعنااقا
ْ س ْو ال هللاِ ه ْال اجازا
اوأل امةٌ ُمؤْ ِمناةٌ اخي ٌْر ِم ْن ُم ْش ِر اك ٍة اولا ْو أ ا ْع اجباتْ ُك ْم اوال ت ُ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِركِينا احتَّى يُؤْ ِمنُوا اولاعا ْبد ٌ ُمؤْ ِم ٌن اخي ٌْر ِم ْن ُم ْش ِركٍ اولا ْو أا ْع اجبا ُك ْم
)٢٢١( اس لاعالَّ ُه ْم ياتاذا َّك ُرونا ِ ََّّللاُ يادْعُو إِلاى ْال اجنَّ ِة او ْال ام ْغ ِف ارةِ بِإِذْنِ ِه اويُ ابيِِّنُ آيااتِ ِه ِللن ِ َّأُولائِكا يادْعُونا إِلاى الن
َّ ار او
“Dikeluarkan oleh Al-Wahidi dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata (Ibnu ‘Abbas) : Rasulullah SAW
mengutus seorang lelaki dari kabilah yang terkenal kaya. Orang tersebut bernama Martsad
Ibnu Abi Martsad (sekutu Bani Hasyim). Dia (Martsad) diutus ke Mekah untuk
membebaskan tawanan Muslimin yang ditahan di sana (Mekah). Tatkala Martsad sampai di
kota Mekah, kedatangannya telah didengar oleh seorang wanita bernama ‘Anaq yang pada
masa jahiliyah menjadi gundik Martsad. Ketika Marsad memasuki agama Islam, ia telah
berpaling meninggalkannya(‘Anaq). Kemudian ‘Anaq menjumpainya (Martsad) dan berkata
padanya (Martsad): “celaka engkau hai Martsad! kemana saja engkau?” Martsad menjawab:
“Islam telah menghalangi diriku (Martsad) dengan dirimu (‘Anaq) dan Islam telah
mengharamkannya (hubungan Martsad dengan ‘Anaq)”. Tetapi jika engkau suka, akan aku
kawini engkau”. ‘Anaq menjawab: “baiklah saya setuju”. Martsad melanjutkan
perkataannya: “baiklah aku pulang dulu untuk meminta izin kepada Rasulullah tentang
masalah ini, baru aku akan menikahimu”. ‘Anaq berkata padanya (Martsad): “Oh Ayahku”,
sambil mengumpat dan meminta pertolongan kepada orang banyak, sehingga mereka
berdatangan dan memukuli Martsad habis-habisan, kemudian mereka (warga yang ada di
sekitar Martsad dan ‘Anaq) meninggalkannya (Martsad). Setelah menyelesaikan tugasnya
(tugas membebaskan tawanan Muslimin di Mekah), ia segera kembali ke Madinah menemui
Rasulullah SAW dan mengkabarkan kepada Beliau (Nabi) keinginannya untuk mengawini
‘Anaq dan menceritakan peristiwa yang ia (Martsad) alami bersama ‘Anaq ketika di Mekah,
sehingga ia (Martsad) dipukuli banyak orang. Martsad berkata kepada Beliau (Nabi): “wahai
Rasulullah, bolehkah saya menikahinya(‘Anaq)?”. Karena pertanyaan yang diajukan oleh
Martsad kepada Rasulullah, maka turunlah ayat: 221, Surat al-Baqarah (2):
ٌت احتَّى يُؤْ ِم َّن اوأل امةٌ ُمؤْ ِمناةٌ اخي ٌْر ِم ْن ُم ْش ِر اك ٍة او ال ْو أ ا ْع اجباتْ ُك ْم اوال ت ُ ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِركِينا احتَّى يُؤْ ِمنُوا اولا اع ْبد ِ اوال تا ْن ِك ُحوا ْال ُم ْش ِركاا
ِ ََّّللاُ ايدْعُو ِإلاى ْال اجنَّ ِة او ْال ام ْغ ِف ار ِة ِبإِذْ ِن ِه اويُ اب ِِّينُ آ ايا ِت ِه ِللن
اس ال اع َّل ُه ْم ِ َُّمؤْ ِم ٌن اخي ٌْر ِم ْن ُم ْش ِركٍ اولا ْو أ ا ْع اج اب ُك ْم أُولائِكا ايدْعُونا ِإلاى الن
َّ ار او
)٢٢١( ياتاذا َّك ُرونا
221. “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita Musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita Musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang Musyrik (dengan wanita-
wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik
dari orang Musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-
Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
Al-Wâhidî meriwayatkan dalam Asbâbun Nuzûli lil Wâhidînya dengan redaksi yang berbeda:
3.1 KESIMPULAN
Seteleh mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan panjang lebar diatas,
dapat kami simpulkan bahwasannya:
“sebagai suatu hal yang karenanya Al-Qur’an diturunkan untuk menerangkan status
hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, serta
memiliki faedah di dalamnya.
2. Cara-cara melihat ungkapan asbab nuzul, secara umum disimpulkan oleh para ulama ada
empat yaitu:
1.Diungkapkan dengan kata-kata sebab
2.Diungkapkan dengan kata fa ( maka )
3.Diungkapkan dengan kata nuzuli fi ...
4.Tidak diungkapkan dengan simbol-simbol kata di atas,tetapi alur ceritanya menunjukkan
sebagai ungkapan asbab nuzul
Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.