Anda di halaman 1dari 18

Referat

RABIES

Oleh

Optima Fitra Ilhami, S.Ked

0408481921101

Pembimbing

dr. Theresia Christin, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah

Rabies

Oleh:

Optima Fitra Ilhami, S.Ked

0408481921101

Telaah ilmiah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 2 September 2019 – 5 Oktober 2019.

Palembang, September 2019

dr. Theresia Christin, Sp.S

KATA PENGANTAR

ii
Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan berkat-
Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Rabies” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah
ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Neurologi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Theresia Christin, Sp.S atas
bimbingannya sehingga penulisan ini menjadi lebih baik. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Palembang, September 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................................... ii

KATA PENGANTAR........................................................................................................ iii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 6

1.1 Latar Belakang.................................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 7

2.1 Definisi........................................................................................................... 7

2.2 Epidemiologi.................................................................................................. 7

2.3 Etiologi .......................................................................................................... 8

2.4 Patogenesis..................................................................................................... 9

2.5 Manifestasi Klinis........................................................................................... 10

2.6 Penegakan Diagnosis...................................................................................... 11

2.7 Diagnosis Banding ........................................................................................ 14

2.8 Tatalaksana..................................................................................................... 14

2.9 Edukasi dan Pencegahan................................................................................ 15

2.10 Prognosis........................................................................................................ 17

BAB III KESIMPULAN................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 19

DAFTAR GAMBAR
iv
Gambar Halaman
1. Distribusi tingkat risiko manusia berkontak dengan rabies tahun 2013 ............. 7
2. Struktur Lyssavirus.............................................................................................. 8

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi
manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala,
kelelawar). Rabies merupakan penyakit endemik dengan angka mortalitas sekitar
55.000 kematian per tahun dan dan morbiditas 1,74 juta setiap tahun. 1,4 Manusia dapat
meninggal apabila virus rabies mencapai SSP yang dapat mengakibatkan gagal
napas/henti jantung.3

Gejala yang dapat ditimbulkan akibat infeksi virus rabies berupa flu, malaise,
anoreksia, parestesia pada daerah gigitan hingga dapat mengakibatkan agitasi,
kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti
rasa tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia. 3
Oleh karena itu, penulisan ini penulisan ini bertujuan untuk mengetahui diagnosis
rabies seawal mungkin dengan memahami sifat-sifat virus penyebab, patogenesis,
gejala klinik, diagnosis dan cara pencegahan agar angka mortalitas dapat dikurangi.

BAB II

6
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi
manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala,
kelelawar). Rabies hampir selalu berakibat fatal jika postexposure prophylaxis tidak
diberikan sebelum onset gejala berat. Virus rabies bergerak ke otak melalui saraf
perifer. Masa inkubasi dari penyakit ini tergantung pada seberapa jauh jarak perjalanan
virus untuk mencapai sistem saraf pusat, biasanya mengambil masa beberapa bulan.1

2.2 Epidemiologi

Gambar 1. Distribusi tingkat risiko manusia berkontak dengan rabies tahun 2013

Rabies merupakan penyakit endemik terutama pada negara berkembang seperti di


Afrika dan Asia. Sebagian besar kematian manusia akibat rabies terjadi di negara-
negara endemik ini. Angka mortalitas dari negara endemik rabies diperkirakan sekitar
55.000 kematian per tahun dan bertanggungjawab atas 1,74 juta morbiditas setiap
tahun. Biaya tahunan rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai US$ 583,5 juta
yang sebagian besar untuk biaya profilaksis pasca pajanan.4

7
2.3 Etiologi

Gambar 2. Struktur Lyssavirus

Virus rabies adalah single stranded RNA, berbentuk seperti peluru berukuran 180
x 75 μm. Sampai saat ini sudah dikenal 7 genotip Lyssavirus dimana genotip 1
merupakan penyebab rabies yang paling banyak di dunia. Virus ini bersifat labil dan
tidak viable bila berada diluar inang. Virus menjadi tidak aktif bila terpapar sinar
matahari,sinar ultraviolet, pemanasan 1 jam selama 50 menit, pengeringan, dan sangat
peka terhadap pelarut alkalis seperti sabun, desinfektan, serta alkohol 70%. Reservoir
utama rabies adalah anjing domestik. (Jawetz,2010).

Rabies terdistribusi di semua benua kecuali Antartika. Berbagai mamalia


berfungsi sebagai inang utama di berbagai belahan dunia, terutama pada ordo Carnivora
dan Chiroptera. Virus rabies terisolasi pada hampir semua ordo mamalia. Anjing adalah
reservoir utama dan vektor virus rabies, anjing menyebabkan sebagian besar dari
35.000 mortalitas setiap tahun. Kucing adalah vekor penularan yang sangat efektif
namun tidak bertindak sebagai host reservoir. Serigala dapat menyebabkan gigitan
parah hingga kematian, namun kejadian ini jarang terjadi dan serigala tidak berfungsi
sebagai reservoir sejati.5 Penularan rabies pada manusia ataupun pada hewan lainnya
terjadi melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi Lyssavirus seperti jilatan pada
kulit yang lecet, cakaran, selaput lendir mulut, hidung, mata, anus dan genitalia.2

8
2.4 Patogenesis

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui jilatan atau
gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera, musang, serigala,
raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh
seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia eksterna, atau transplantasi kornea.
Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang ditemukan. Setelah virus rabies masuk
melalui luka gigitan, maka selama 2 minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan
didekatnya, kemudian bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa
menunjukkan perubahan-perubahan fungsinya.3

Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1
tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya
kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat,
persarafan daerah luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala,
muka dan leher 30 hari, gigitan di lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai,
kaki, jari kaki 60 hari, gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain menyatakan
bahwa masa inkubasi tidak ditentukan dari jarak saraf yang ditempuh, melainkan
tergantung dari luasnya persarafan pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan pada jari
dan alat kelamin akan mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat.3

Tingkat infeksi dari kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah
pada gigitan daerah lengan dan tangan,paling rendah bila gigitan ditungkai dan kaki.
Sesampainya di otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam
semua bagian neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus
dan batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus
kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun
saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan jaringan
didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar ludah, ginjal, dan
sebagainya.3

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala prodomal biasanya non spesifik berlangsung 1-4 hari dan ditandai dengan
demam, sakit kepala, malaise, mialgia, gejala gangguan saluran pernafasan, dan gejala
gastrointestinal. Gejala prodomal yang sugestif rabies adalah keluhan parestesia, nyeri,

9
gatal, dan atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang kemudian akan
meluas ke ekstremitas yang terkena tersebut. Sensasi ini berkaitan dengan multiplikasi
virus pada ganglia dorsalis saraf sensorik yang mempersarafi area gigitan dan
dilaporkan pada 50-80% penderita. Setelah timbul gejala prodromal, gambaran klinis
rabies akan berkembang menjadi salah satu dari 2 bentuk, yaitu ensefalitik (furious)
atau paralitik (dumb). Bentuk ensefalitik ditandai aktivitas motorik berlebih, eksitasi,
agitasi, bingung, halusinasi, spasme muskular, meningismus, postur epistotonik, kejang
dan dapat timbul paralisis fokal. Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia dan aerofobia,
tampak saat penderita diminta untuk mencoba minum dan meniupkan udara ke wajah
penderita. Keinginan untuk menelan cairan dan rasa ketakutan berakibat spasme otot
faring dan laring yang bisa menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia
timbul akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan batang otak
saraf penghambat nukleus ambigus yang mengendalikan inspirasi. Pada pemeriksaan
fisik, temperatur dapat mencapai 39°C. Abnormalitas pada sistem saraf otonom
mencakup pupil dilatasi ireguler, meningkatnya lakrimasi, salivasi, keringat, dan
hipotensi postural.3

Gejala kemudian berkembang berupa manifestasi disfungsi batang otak.


Keterlibatan saraf kranial menyebabkan diplopia, kelumpuhan saraf fasial, neuritis
optik, dan kesulitan menelan yang khas. Kombinasi salivasi berlebihan dan kesulitan
dalam menelan menyebabkan gambaran klasik, yaitu mulut berbusa. Disfungsi batang
otak yang muncul pada awal penyakit membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya.
Bentuk paralitik lebih jarang dijumpai. Pada bentuk ini tidak ditemukan hidrofobia,
aerofobia, hiperaktivitas, dan kejang. Gejala awalnya berupa ascending paralysis atau
kuadriparesis. Kelemahan lebih berat pada ekstremitas tempat masuknya virus. Gejala
meningeal (sakit kepala, kaku kuduk) dapat menonjol walaupun kesadaran normal.
Pada kedua bentuk, pasien akhirnya akan berkembang menjadi paralisis komplit,
kemudian menjadi koma, dan akhirnya meninggal yang umumnya karena kegagalan
pernafasan. Tanpa terapi intensif, umumnya kematian akan terjadi dalam 7 hari setelah
onset penyakit.3

Manifestasi klinis pada hewan dimulai dengan gejala prodromal tidak spesifik
seperti lemah dan malas. Rabies dapat berkembang menjadi rabies yang ganas atau
rabies yang tenang. Kematiannya umumnya disebabkan kelumpuhan pernafasan dan
akan timbul dalam waktu 7- 10 hari setelah gejala prodromal. Pada rabies yang tenang,
10
anjing tampak senang bersembunyi di tempat yang gelap dan dingin, serta tampak
letargi. Dapat ditemukan kelumpuhan otot tenggorokan yang tampak dari banyaknya air
liur yang keluar karena sulit menelan. Bisa juga ditemukan kejang-kejang singkat. Pada
rabies yang ganas, terdapat perubahan sifat dan perilaku hewan. Hewan yang awalnya
jinak menjadi ganas, tidak menuruti perintah pemiliknya lagi, dapat menyerang
manusia terutama adanya rangsang cahaya dan suara, suka menggigit apa saja yang
dijumpai. Suara akan menjadi parau, mudah terkejut, gugup, air liur banyak keluar,
ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara kedua paha, kejang-kejang, kemudian
menjadi lumpuh, dan akhirnya mati.3

2.6 Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan yang menggigit
mati dalam 1 minggu. Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia,
kadang ditemukan parestesia pada daerah gigitan. Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran
fluktuatif, demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa
tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.1

Anamnesis1

 Stadium prodromal Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.

 Stadium sensoris Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka kemudian disusul dengan gejala cemas, dan reaksi yang
berlebihan terhadap rangsang sensoris.

 Stadium eksitasi Tonus otot dan aktivitas simpatis menjadi meninggi dan gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Hal yang sangat
khas pada stadium ini adalah munculnya macam-macam fobia seperti hidrofobia.
Kontraksi otot faring dan otot pernapasan dapat ditimbulkan oleh rangsangan
sensoris misalnya dengan meniupkan udara ke muka penderita. Pada stadium ini
dapat terjadi apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Tindak tanduk penderita
tidak rasional kadang maniakal disertai dengan responsif. Gejala eksitasi terus
berlangsung sampai penderita meninggal.

11
 Stadium paralisis Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
sebelumnya, namun kadang ditemukan pasien yang tidak menunjukkan gejala
eksitasi melainkan paresis otot yang terjadi secara progresif karena gangguan
pada medulla spinalis.

Pada umumnya rabies pada manusia mempunyai masa inkubasi 3-8 minggu.
Gejala-gejala jarang timbul sebelum 2 minggu dan biasanya timbul sesudah 12 minggu.
Mengetahui port de entry virus tersebut secepatnya pada tubuh pasien merupakan kunci
untuk meningkatkan pengobatan pasca gigitan (post exposure therapy). Pada saat
pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan mungkin telah dilupakan.
Tetapi pasien sekarang mengeluh tentang perasaan (sensasi) yang lain ditempat bekas
gigitan tersebut. Perasaan itu dapat berupa rasa tertusuk, gatal-gatal, rasa terbakar
(panas), berdenyut dan sebagainya.

 Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau kontak dengan


anjing, kucing, atau binatang lainnya yang:

― Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka).

― Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh.

― Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan sebagainya).

― Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan lain-lain).

Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari - 7 tahun.
Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya luka gigitan, dan
lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat, derajat patogenitas virus
dan persarafan daerah luka gigitan). Luka pada kepala, inkubasi 25-48 hari, dan
pada ekstremitas 46-78 hari.

Pemeriksaan Fisik1

 Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh bahkan mungkin
telah dilupakan.

 Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada luka bekas gigitan
yang sudah sembuh (50%), mioedema (menetap selama perjalanan penyakit).

12
 Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat: hiperventilasi, hipoksia,
hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH,
paralitik/paralisis flaksid.

 Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.

 Tanda patognomonis

 Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi yang persisten,


nyeri pada faring terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme),
hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.

Pemeriksaan Penunjang

Selama periode awal infeksi rabies, temuan laboratorium tidak spesifik. Seperti
temuan ensefalitis oleh virus lainnya, pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan
pleositosis dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, glukosa umumnya
normal. Untuk mendiagnosis rabies antemortem diperlukan beberapa tes, tidak bisa
dengan hanya satu tes. Tes yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi kasus rabies
antara lain deteksi antibodi spesifik virus rabies, isolasi virus, dan deteksi protein virus
atau RNA. Spesimen yang digunakan berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan
biopsi kulit. Pada pasien yang telah meninggal, digunakan sampel jaringan otak yang
masih segar. Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan Negri pada
jaringan otak pasien, meskipun hasil positif kurang dari 80% kasus. Tidak adanya
badan Negri tidak menyingkirkan kemungkinan rabies. Badan Negri adalah badan
inklusi sitoplasma berbentuk oval atau bulat, yang merupakan gumpalan nukleokapsid
virus. Ukuran badan Negri bervariasi, dari 0,25 sampai 27 μm, paling sering ditemukan
di sel piramidal Ammon’s horn dan sel Purkinje serebelum.6

2.7 Diagnosis Banding

Bentuk paralitik rabies didiagnosis banding dengan sindrom Guillain-Barre. Pada


sindrom Guillain-Barre, sistem saraf perifer yang terkena adalah sensorik dan motorik,
dengan kesadaran yang masih baik. Spasme tetanus dapat menyerupai gejala rabies,
namun tetanus dapat dibedakan dengan rabies dengan adanya trismus dan tidak adanya
hidrofobia.3
13
2.8 Tatalaksana

Penanganan yang dapat dilakukan jika terkena gigitan hewan tersangka rabies
adalah dengan cara:1

 Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan untuk menghindari


rangsangan-rangsangan yang bisa menimbulkan spasme otot ataupun untuk
mencegah penularan.

 Fase awal: Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun (detergen) 5-10
menit kemudian dibilas dengan air bersih, dilakukan debridement dan diberikan
desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura yodii atau larutan ephiran, Jika
terkena selaput lendir seperti mata, hidung atau mulut, maka cucilah kawasan
tersebut dengan air lebih lama; pencegahan dilakukan dengan pembersihan luka
dan vaksinasi.

 Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang sudah menunjukkan
gejala rabies, penanganan hanya berupa tindakan suportif dalam penanganan
gagal jantung dan gagal nafas.

 Pemberian Serum Anti Rabies (SAR) Bila serum heterolog (berasal dari serum
kuda) Dosis 40 IU/ kgBB disuntikkan infiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya,
sisanya disuntikkan secara IM. Skin test perlu dilakukan terlebih dahulu. Bila
serum homolog (berasal dari serum manusia) dengan dosis 20 IU/ kgBB, dengan
cara yang sama.

 Pemberian serum dapat dikombinasikan dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) pada
hari pertama kunjungan.

 Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) dalam waktu 10 hari infeksi yang dikenal
sebagai post-exposure prophylaxis atau “PEP” VAR secara IM pada otot deltoid
atau anterolateral paha dengan dosis 0,5 ml pada hari 0, 3, 7, 14, 28 (regimen
Essen atau rekomendasi WHO), atau pemberian VAR 0,5 ml pada hari 0, 7, 21
(regimen Zagreb/rekomendasi Depkes RI).

14
 Pada orang yang sudah mendapat vaksin rabies dalam waktu 5 tahun terakhir, bila
digigit binatang tersangka rabies, vaksin cukup diberikan 2 dosis pada hari 0 dan
3, namun bila gigitan berat vaksin diberikan lengkap.

 Pada luka gigitan yang parah, gigitan di daerah leher ke atas, pada jari tangan dan
genitalia diberikan SAR 20 IU/kgBB dosis tunggal. Cara pemberian SAR adalah
setengah dosis infiltrasi pada sekitar luka dan setengah dosis IM pada tempat
yang berlainan dengan suntikan SAR, diberikan pada hari yang sama dengan
dosis pertama SAR.

2.9 Edukasi dan Pencegahan

Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan dari penularan penyakit rabies
berupa:2

 Pemeliharaan hewan piaraan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab


dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan diliarkan atau diumbar keluar
pekarangan rumah tanpa pengawasan dan kendali ikatan.

 Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan anda secara berkala di Pusat
Kesehatan Hewan (puskeswan), dinas kesehatan hewan atau dinas peternakan
atau ke dokter hewan.

 Segera melapor ke puskesmas / rumah sakit terdekat apabila digigit oleh hewan
tersangka rabies untuk mendapatkan Vaksin Anti Rabies (VAR) sesuai indikasi.

 Apabila melihat binatang dengan gejala rabies, segera laporkan kepada pusat
kesehatan hewan (puskeswan), dinas peternakan / yang membawahi bidang
peternakan atau dinas kesehatan hewan.

Rekomendasi WHO mencegah rabies tergantung adanya kontak:3

1. Kategori 1: menyentuh, memberi makan hewan atau jilatan hewan pada kulit
yang intak karena tidak terpapar tidak perlu profilaksis, apabila anamnesis dapat
dipercaya.

15
2. Kategori 2: termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan pada kulit luka,
garukan, atau lecet (erosi ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan, badan, dan kaki.
Untuk luka resiko rendah diberi VAR saja.

3. Kategori 3: jilatan/ luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu


(muka,kepala,leher),luka pada jari tangan/ kaki, genitalia, luka yang lebar/dalam
dan luka yang banyak (multiple)/ atau ada kontak dengan kelelawar, maka
gunakan VAR dan SAR.

Vaksin rabies dianjurkan diberikan pada semua orang dengan riwayat kontak
dengan hewan pengidap rabies. Vaksin rabies yang lazim saat ini adalah tissue culture
vaccine, suatu inactivated vaccine yang ditumbuhkan pada kultur sel seperti human
diploid cell vaccine (HDCV), diproduksi sejak tahun 1964, purivied vero cell rabies
vaccine (PVRV), diproduksi mulai tahun 1985, purified chick embryo cell vaccine
(PCEC) yang mulai dipasarkan tahun 1985. Vaksin generasi lama seperti suckling
mouse brain vaccine (SMBV), suatu nerve tissue vaccine dan duck embryo vaccine
(DEV), suatu non-nerve tissue vaccine, tidak digunakan lagi karena dapat menimbulkan
komplikasi ensefalomielitis post-vaksinasi dan reaksi anafilaksis.3

2.10 Prognosis

Prognosis pada umumnya dapat buruk, karena kematian dapat mencapai 100%
apabila virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal karena sekali gejala rabies
terlihat, hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3 hari sesudahnya sebagai akibat gagal
napas/henti jantung. Jika dilakukan perawatan awal setelah digigit anjing pengidap
rabies, seperti pencucian luka, pemberian VAR dan SAR, maka angka survival
mencapai 100%.1

16
BAB III

KESIMPULAN

Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang disebabkan oleh virus
rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia
melalui gigitan hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala, kelelawar). Rabies
merupakan penyakit endemik dengan angka mortalitas sekitar 55.000 kematian per tahun dan
dan morbiditas 1,74 juta setiap tahun.1,4 Manusia dapat meninggal apabila virus rabies
mencapai SSP yang dapat mengakibatkan gagal napas/henti jantung.3

Masa inkubasi rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun,
rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan
jaringan akibat gigitan, jauh dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah
luka gigitan dan sistem kekebalan tubuh. Gejala klinik dibagi menjadi 4 stadium: (a) Stadium
permulaan: gejalanya lemas, sulit makan, dan anoreksia, (b) Stadium rangsangan; ditandai
panas dan kesemutan pada luka gigitan serta cemas dan reaksi berlebihan akibat rangsangan
sensorik, (c) Stadium ketiga; terjadi perubahan perilaku berteriak, menjambak rambut,

17
berlari, dan melompat-lompat, takut air, takut udara, takut cahaya, meningkatan lakrimasi dan
salivasi. Rabies harus dicurigai pada penderita dengan gejala neurologi dan psikiatri akut atau
gejala laringo faringeal yang tidak bisa dijelaskan, khususnya bila terjadi di daerah endemis
atau orang yang digigit hewan di daerah endemis rabies. Stadium terakhir, lumpuh, dan
meninggal.1,3

Penyakit rabies dapat dicegah dengan memberikan vaksin pada binatang yang
berpotensi sebagai penyebar virus rabies. Jika tergigit hewan yang dicurigai, luka harus
segera dicuci dengan air sabun agar lemak yang menyelimuti virus rabies larut sehingga virus
mati. Setelah itu, pasien harus diberi vaksin antirabies (VAR), sekaligus serum anti rabies
(SAR). Hal itu untuk mencegah virus yang bergerak cepat menuju pusat saraf, yakni otak.1,3

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2016. Panduan Praktik Klinis


Neurologi.

2. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2013. Situasi dan Analisis
Rabies.

3. Tanzil, Kunadi. 2013. Penyakit Rabies dan Penatalaksanaannya. E-Journal widya


kesehatan dan lingkungan: 1(1)

4. Jemberu, Wudu Temesgen., Molla, Wassie., Almaw, Gizat., Alemu, Sefinew. 2013.
Incidence of Rabies in Humans and Domestic Animals and People’s Awareness in
North Gondar Zone, Ethiopia. PLOS neglected tropical diseases: 7(5)

5. Rupprecht, Charles E., Hanlon, Cathleen A., Hernachudha, thiravat. 2002. Rabies Re-
examined. The lancet infectious diseases: 2

6. Jawetz E., Melnick JL, Adelberg EA.. 2010. Medical Microbiology, 25th ed. Mc Graw
Hill: New York

18

Anda mungkin juga menyukai