Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan dengan dua jenis kelamin yang

berbeda antara pria dan wanita. Sebagai mahluk hidup untuk meneruskan

keturunannya, maka terdapat hubungan keduanya kedalam suatu lembaga perkawinan

dan dengan perkawinan itu menimbulkan suatu pristiwa hukum, yaitu suaatu

peristiwa yang di beri akibat-akibat oleh hukum oleh karna itu masalah perkawinan di

Negara kita dilandasi hukum agama dan hukum Negara.

Di dalam suatu perkawinan akan terpadu dua kepentingan yaitu lahiriah dan batiniah

sebagai suatau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karna itu rumah tangga yang

bahagia dan sejahtera merupakan tujuan yang luhur dari pasangan suami isteri hal ini

tercemin dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi sebagai

berikut : “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk kluarga. Rumah tangga yang

bahagia dan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa “, menurut kompilasi

Hukum Islam Perkawinan adalah prnikahan yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan gholidzan untuk mentaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah. Sedangkan menurut Hukum Islam Perkawinan adalah suatu perjanjian yang

1
suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga

bahagia.

Jadi perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai

suami isteri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal.pada asasnya dalam

suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, hal ini diatur

dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Dan dalam hal tersebut

pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari

seorang apabila di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun izin

tersebut menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dapat di

berikan dalam hal apabila :

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

b. Isteri mendapat cacat badan Atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan;

c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Adapun pengajuan permohonan Kepada Pengadilan mengenai izin beristeri lebih dari

seorang harus memenuhi syarat-syarat salah satu syarat tersebut yaitu adanya

persetujuan dari isteri/isteri-isteri. Apabila tidak ada persetujuan maka perkawinan

tersebut dapat di batalkan, sebagaimana yang terjadi dalam putusan Pengadilan

Agama no.157/Pdt.G/2006/PA.Tnk.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian

mengenai pembatalan perkawinan pada putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang

2
kemudian di tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul. “Analisis Putusan

Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor: 157/Pdt G/2006/PA.Tnk tentang

Pembatalan Perkawinan”.

1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Permasalahan

1.2.1 Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas yang menjadi permasalahannya dalam penelitian

ini adalah:

a. Apa alasan diajaukannya permohonan pembatalan perkawinan dalam putusan

Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk ?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama

Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk ?

c. Bagaimana akibat hukum pembatalan perkawinan dalam putusan Pengadilan

Agama Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk ?

1.2.1. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka ruang lingkup penelitian ini adalah :

a. Alasan diajaukannya permohonan pembatalan perkawinan dalam putusan

Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Agama

Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

3
c. Bagaimana akibat hukum dalam putusan Pengadilan Agama Nomor

157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan peneitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui alasan apa yang diajukan penggugat dalam putusan Pengadilan

Agama Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

b. Untu memahami prtimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Agama

Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

c. Untuk memahami akibat hukum dalam putusan Pengadilan Agama Nomor

157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan tujuan dari penelitian yang diuraikan, maka kegunaan penelitian ini

adalah :

1.Kegunaan teoritis

Penelitian ini berguna sebagai sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan

hukum pada umumnya dan hukum keperdataan, khususnya dalam bidang hukum

acara perdata

4
2.Kegunaan Praktis

Penelitian ini berguna sebagai informasi bagi pembaca agar dapat mengetahui tentang

batalnya suatu perkawinan, di samping sebagai salah satu syarat akademik dalam

rangka penyelesaian studi penulis pada fakultas hukum Universitas Bandar Lampung.

1.4. Kerangka Konsepsional

Kerangka konsepsional adalah merupakan krangka yang menggambarkan hubungan

antara konsep-konsep yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan

istilah yang diinginkan atau diteliti.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-

masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut

perundang-undangan yang berlaku.

Perkawinan adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh

kedua belah pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk

keluarga yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan

5
kematangan dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu

yang sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.

Dasar dan Tujuan Pernikahan Menurut Agama Islam :


a. (Q.S. 24-An Nuur : 32) Dasar Hukum Agama Pernikahan / Perkawinan.
"Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan mereka yang
berpekerti baik. Termasuk hamba-hamba sahayamu yang perempuan."
b. (Q.S. 30-An Ruum : 21) Tujuan Pernikahan / Perkawinan.
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan
hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak

pernah ada. Jadi pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah

dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.1

Perkawinan yang sah dinyatakan dalam Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974, bahwa

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika suatu akad perkawinan telah memenuhi segala rukun syaratnya secara lengkap

menurut yang telah ditentukan, maka akad perkawinan yang demikian itu dsebut akad

perkawinan yang sah dan berakibat hukum, yakni :

1. Kehalalan hubungan seksual antara suami istri.


1
Jusuf Sjarif Badudu, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
1991, hlm 32

6
2. Tetapnya hak mahar bagi isteri menurut prosedur yang telah ditetapkan.
3. Timbulnya hak dan kewajiban selaku suami istri.
4. Tetapnya nasab anak yang dilahirkan oleh istri bagi suami.
5. Keterbatasan keleluasaan istri.
6. Timbulnya larangan kawin bagi istri yang telah terikat oleh tali perkawinan atau
sebelum beribadah sebelum bercerai atau ditinggal mati oleh suaminya.
Jika suatu akad perkawinan kurang satu atau beberapa rukun atau syarat disebut
perkawinan yang tidak sah. Tidak sahnya suatu akad perkawinan dapat terjadi sebab
tidak dipenuhinya salah satu di antara rukun-rukunnya disebut akad perkawinan
yang batal, dan dapat pula terjadi sebab tidak dipenuhi salah satu syaratnya disebut
akad perkawinan yang fasad.2
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pembatalan perkawinan diatur dalam Bab IV Pasal

22-28, dalam bab ini diterangkan alasan-alasan pembatalan perkawinan, dan para

pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan serta hukum akibat

dibatalkannya suatu perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan

perkawinan diatur dalam Bab XI, materi rumusannya hampir sama dengan

dirumuskannya dalam Bab IV UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1974 Syarat sahnya perkawinan :

a) Ada persetujuan dari kedua belah pihak


b) Untuk yang belum berumur 21 tahun, harus mendapat ijin dari kedua orang tua.
Atau jika salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya, maka ijin dapat diperoleh dari orangtua yang masih
hidup atau orangtua yang mampu menyatakan kehendaknya.
c) Bila orangtua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas.

2
Abdulah Somad, Penormaan Hukum Syariah Dalam Hukum Indonesia, Kencana Edisi
Pertama, Jakarta, 2010, hlm 281

7
Berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, Bagi yang beragama islam, dalam

Perkawinan harus ada :

a. Calon Istri
b. Calon Suami
c. Wali Nikah
d. Dua Orang Saksi
e. Ijab dan Kabul

Berdasarkan Pasal 23 UU No. 1 tahun 1974, Pihak-Pihak Yang Dapat Mengajukan

Permohonan Pembatalan Perkawinan.

Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;

a. Suami atau istri;


b. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
c. Pejabat pengadilan.

Pasal 73 KHI menyebutkan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan


adalah:
a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau
isteri
b. suami atau isteri
c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-
undang
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan
syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.

Pasal 27 UU No. 1/1974, Perkawinan dapat dibatalkan, bila perkawinan

dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Salah satu pihak

8
memalsukan identitas dirinya Pasal 27 UU No. 1/1974. Identitas palsu misalnya

tentang status, usia atau agama.

Pasal 24 UU No. 01 tahun 1974, Perkawinan dapat dibatalkan, bila perkawinan

dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

Pasal 22 UU Perkawinan, Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat

perkawinan.

Sementara menurut Pasal 71 KHI, perkawinan dapat dibatalkan apabila :


a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.
b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria
lain yang mafqud (hilang).
c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami lain.
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak
berhak.
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

6. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan dari penelitian ini, serta dapat dipahami, penulis membuat

sistematika penulisan yang membuat uraian secara garis besar ke dalam V (lima) Bab

secara berurutan dan saling berhubungan sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan, Bab ini merupakan yang mengemukakan apa yang menjadi

latar belakang penelitian yang kemudian dilanjutkan dengan permasalahan dan ruang

9
lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan, kerangka konsepsional dan diakhiri dengan

sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Pustaka, Bab ini merupakan tinjauan pustaka yang berisikan

tentang pengertian perkawinan, azas-azas perkawinan, batalnya perkawinan, susunan

peradilan, kekuasaan peradilan agama, sumber hukum peradilan agama dan produk

pengadilan agama.

Bab III : Metode Penelitian, Merupakan bab yang menjelaskan metode yang

digunakan untuk memperoleh data yang akurat. Adapun metode yang digunakan

terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan prosedur pengolahan data, dan analisis

data.

Bab IV : Analisis Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor: 157/Pdt

G/2006/PA.Tnk tentang Pembatalan Perkawinan, Dalam bab ini berisikan

tentang hasil penelitian dan pembahasan permasalahan penelitian dengan berdasarkan

pada data primer dan sekunder terutama terhadap permasalahan Alasan diajaukannya

permohonan pembatalan perkawinan dalam putusan Pengadilan Agama

Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk, bagaimana pertimbangan hakim

dalam putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk,

bagaimana akibat hukum dalam putusan Pengadilan Agama Nomor

157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

10
Bab V : Penutup, Dalam hal ini berisikan kesimpulan yang berupa jawaban

permasalahan berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya dan disertai

pemberian saran-saran berdasarkan hasil kesimpulan sebagai alternatif pemecahan

masalah dan perbaikan yang dianggap perlu dimasa yang akan datang khususnya

hukum perdata.

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Perkawinan dan Azas Perkawinan

a. Pengertian Perkawinan

Nikah (kawin) menurut arti majaji (mathaporic) atau arti hukum ialah akad

(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara

seorang pria dengan seorang wanita.

Nikah artinya perkawinan sedangkan aqad artinya perjanjian, jadi akad nikah berarti

perjanjian suci untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita

dengan seorang pria membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (abadi).3

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara seeorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tetangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan

“Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sedangkan menurut Pasal 2 Undang-undang Kompilasi Hukum Islam Perkawinan

adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

3
http://www.google/tentang perkawinan.com diakses tanggal 15 november 2011

12
Jadi perkawinan itu adalah suatu akad (perjanjian) yang suci untuk hidup sebagai

suami istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan kekal, yang unsur-unsurnya

adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita.

2. Membentuk kelurga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah, maladdah dan

warohmah).

3. Kebahagiaan yang kekal abadi penuh kesempurnaan baik moral materil maupun

spiritual.

.
b. Azas Perkawinan

Menurut rumusan peraturan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

1. Azas Monogami

Pasal 3 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai

seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih

seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

13
2. Azas Monogami terbuka (Poligami)

Pasal 4 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dri seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ;
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 Undang-Undang No.1 tahun 1974

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 (1) Undang-Undang ini, harus di penuhi syarat-syarat

sebagai berikut :

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-

isteri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi

seorang suami apabila isteri.isteri tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak

dapat menjadi pihak dalam perjanjian,atau apabila tidak ada kabar dari isterinya

selama sekurang-kurangya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lamanya yang

perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan.

14
Berdasarkan uraian pengertian perkawinan dan azas perkawinan tersebut,

Perkawinan adalah suatu akad yang suci untuk hidup sebagai suami istri yang sah.

dan Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai

seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.Pengadilan

dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

2.2. Sumber Hukum Peradilan Agama

2.2.1. Sumber Hukum Peradilan Agama

Dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo.Undang-undang Nomor 3 tahun 2006

Ditentukan bahwa hukum acara yang berlaku dalam Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dalam lingkungan

Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini yaitu :

1. HIR atau disebut juga RIB


2. RBg atau disebut juga Reglement untuk daerah sebrang
3. BRv yang jaman jajahan belanda dahulu berlaku untuk Raad justitie
4. BW atau disebut juga kitab Undang-Undang Hukum Perdata Eropa
5. UU No.2 Tahun1998, tentang Peradilan Umum
6. Peraturan Perndang-Undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku
bagi lingkungan Peradailan Umum Dan Peradilan Agama.

15
7. Kompilasi Hukum Islam di Indonsia Tahun 1991.4

2.2.2. Putusan Pengadilan Agama

1. Putusan

Putusan atau (al qada’u ) yaitu peroduk Pengadilan agama karena adanya dua pihak

yang berlawana dalam perkara, yaitu penggugat dan tergugat. Peroduk Pengadilan

Agama semacam ini biasa disebut dengan produk peradilan agama yang

sesungguhnya atau jurisdiction contentiosa.5

Putusan Peradilan Agama selalu memuat perintah dari Pengadilan kepada pihak yang

kalah untuk melakukan sesuatu atau untuk berbuat sesuatu, atau untuk melepaskan

sesuatu atau untuk berbuat sesuatu.

Jadi dicantum putusan selalu bersifat condemnatoir artinya menciptakan dan perintah

dari Pengadilan ini jika tidak dipatuhi dengan sukarela maka dapat diperintahkan

untuk dilaksanakan secara paksa untuk dilakukan eksekusi.

Bentuk dan isi dari putusan secara keseluruhan secara singkat adalah sebagai berikut :

a. Bagian kepala putusan


b. Nama Pengadilan Agama yang memutuskan dan jenis perkara
c. Identitas pihak-pihak
d. Duduk perkaranya
e. Tentang pertimbangan hukum
f. Dasar hukum

4
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hlm 21
5
Ibid hlm 28

16
g. Diktum atau amar putusan
h. Bagian kaki putusan
i. Tandatangan hakim dan panitera serta perincian6
2.Penetapan

Penetapan disebut al lasbat atau beschiking yaitu peroduk Pengadilan Agama dalam

arti bukan peradilan yang sesungguhnya. Dikatakan bukan Peradilan yang

sesungguhnya karenahanya ada pemohon, yang memohon, untuk ditetapkan tentang

sesuatu sedangkan ia tidak terpekara dengan lawan.7

Penetapan ini muncul sebagai produk Pengadilan atas permohonan pemohon yang

tidak berlawanan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi menghukum

melainkan hanya bersifat menyatakan atau menciptakan.

Bentuk isi penetapan hampir sama dengan isi putusan walaupun ada sedikit

perbedaan yaitu :

a. Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat


identitas pemohon
b. Tidak akan ditemui kata-kata ”berlawanan dengan” seperti pada putusan
c. Tidak akan ditemui kata-kata “tentang duduk perkara”
d. Seperti pada putusan melainkan langsung diuraikan permohonan pemohon
e. Pada putusan didahului kata-kata “memutuskan” maka penetapan dengan kata
“menetapkan”
f. Biaya perkara selalu dipikul oleh pemohon, sedangkan pada putusan dibebankan
pada salah satu dari pihak yang kalah atau ditanggung bersama oleh pihak
penggugat dan tergugat tetai dalam perkara tetap selalu kepada pemohon

6
Ratna Nurul Afiah, Perapradilan Dan Ruang Lingkupnya, Cv. Akademika Pressindo, Jakarta,
1986, hlm 97
7
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007,
hlm 29

17
g. Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau
vrijwaring.8

Berdasarkan uraian diatas Putusan Pengadilan Agama memuat perintah dari

pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu dan berbuat sesuatu,

dan selalu bersifat condemnatoir artinya menciptakan dan perintah dari Pengadilan

ini jika tidak dipatuhi dengan sukarela maka dapat diperintahkan untuk dilaksanakan

secara paksa untuk dilakukan eksekusi.

2.3. Batalnya Perkawinan

1. Alasan pembatalan

Menurut Pasal 22 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan dapat dibatalkan

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan didaerah hukum

dimana perkawinan dilagsungkan atau di tempat tinggal suami atau isteri.

2. Pihak yang mengajukan pembatalan

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dan

suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada

waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau

8
Ibid hlm 31

18
isteri. Menurut Pasal 23 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dapat mengajukan

pembatalan perkawinan, yaitu :

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri

2. Suami atau isteri

3. Pejabat yang berwenang hanya selama masa perkawinan belum diputuskan

4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang

yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan

tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan ini putus.

3. Akibat Pembatalan Perkawinan

Sedangkan menurut Pasal 28 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, batalnya suatu

perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap

dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut

terhadap :

1. Anak-anak yang dilahirkan, dari perkawinan tersebut.

2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta

bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan adanya perkawinan lain yang

lebih dahulu.

19
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam angka 1 dan 2 sepanjang

mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang

pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan uraian diatas, perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Bila perkawinan

dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum dan suami atau istri dapat

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

2.4. Susunan Peradilan Dan Kekuasaan Peradilan Agama

2.4.1. Susunan Peradilan

Peradilan adalah kewenangan suatu lembaga untuk menyelesaikan perkara untuk dan

atas nama hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. Pengadilan bertugas dan

berwenang menerima, memeriksa. Memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara

yang diajukan kepadanya sesuai dengan kewenangannya baik ditingkat pertama

maupun ditingkat banding.

Penyelenggara kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan

berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan

kehakiman, dimana badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung

meliputi 4 (empat) badan peradilan yaitu :

1. Peradilan Umum

20
2. Peradlan Agama
3. Peradailan Militer dan
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Sedangkan menurut Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang No. 3

tahun 2006 tentang peradilan Agama Pasal 3 menyebutkan bahwa kekuasaan

kehakiman dilingkungan peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadila Agama

sebagai pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan

tingkat banding dan berpuncak kepada Mahkamah Agung.

2.4.2. Kekuasaan Peradilan Agama

Kekuasaan sering disebut juga kompetensi atau kewenangan terhadap peradilan

dalam kaitannya dengan hukum acara perdata, yang mana terdapat dua hal, yaitu :

1. Kekuasaan Relatif

Kekuasaan relatif adalah kekuasaan Pengadilan yang satu jenis atau satu

tingkatan, dan dalam perbedaanya dengan kekuasaan Pengadilan yang sama jenis

dan sama tingkatan lainnya.

Dalam penjelasannya Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No.7 tahun 1989 jo.

Undang-undang No.3 tahun 2006 ditentukan pada dasarnya tempat kedudukan

Pengadilan Agama di Kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukum

yang meliputi wilayah Kotamadya dan Kabupaten.

2. Kekuasaan absolute

Artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis prkara atau jenis

pengadilan, dalam perbedanya denga jenis perkara tingkatan Pengadilan lainnya

21
misalnya : perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam maka

Pengadilan yang berhak memeriksa perkara tersebut adalah Pngadilan Agama

pada tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara ke Pengadilan Tinggi

Agama atau Mahkamah Agung.

Terhadap kekuasaan absolutnya Pengadilan Agama diharuskan meneliti perkara

yang di ajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau bukan,

jika jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya Pengadilan Agama dilarang

menerimanya, jika menerimanya maka pihak tergugat dapat mengajukan

keberatannya yang di sebut ekspesi, ini boleh diajukan kapan aja, bahkan sampai

di tingkat banding, ataupun kasasi.

Kekuasaan absolut Pengadilan Agama disebutkan dalam pasal 49 dan Pasal 5C

Undang-undang No. 7 tahun 1989 jo. Undang-undang no. 3 tahun 2006 yang

menyatakan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 :

a. Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan

menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang

beragama islam di bidang : perkawinan,waris, wasiat, hibah wakaf jakat, infaq,

shadaqoh dan ekonomi syari’ah.

b. Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a ialah hal-

hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkwinan yang

berlaku.

22
c. Bidang kewarisan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan

siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,

penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta

peninggalan tersebut.

23
BAB III

Metode Penelitian

Merupakan hasrat ingin tau manusian dalam taraf ke ilmuan. Metode ilmiah

merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuam yamg disebut ilmu.9

Metode penelitian merupakan suatu cara yang dipergunakan dalam melaksanakan

suatu penelitian guna dapat mengelolah dan menyimpulkan data serta dapat

menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam melakukan penelitian ini penulis

melakukan kegiatan yang terdiri dari beberapa langkah yaitu :

3.1 Pendekatan Masalah

Dalam membahas permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini, penulis

melakukan data pendekatan yaitu pendekatan yuridis normative dan pendekatan

yuridis empiris gun untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang benar dan

objektif.10

A. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan cara menelaah kaidah-kaidah,

norma-norma, aturan-aturan, yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.

Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan berbagai macam praturan

9
Bambang Sugono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hlm 46.
10
Bambang waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, Hlm 13

24
perundang-undangan, teori-teori, literature-literatur hukum serta bahan-bahan yang

erat hubungannya dengan masalh yang akan di teliti.

B. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan meneliti dan mengumpulkan data

primer yang diperoleh secara langsung melalui penelitian terhadap objek penelitian,11

yaitu Pada Pengadilan Agama Tanjung Karang.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, memerlukan bahan atau keterangan yang terkait dengan

permasalahan yang berupa data, data yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal

dari:

A. Data sekunder

Data sekunder yaitu data yang dipergunakan untuk menjawab permasalahan yang ada

dalam penelitian ini bersumber dari studi kepustakaan dengan cara membaca,

mempelajari, dan menelaah literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok

permasalahan ini antara lain:

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, dalam

penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah:

11
Ibid, hlm 16

25
a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

d. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

e. IndonesiaUndang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 perubahan atas Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

Indonesia

2. Bahan Hukum Sekunder

Berupa bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasanuntuk menunjang bahan

hukum primer berupa buku-buku, karya-karya ilmiah dan hasil teori-teori penelitian

para pakar.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu meliputi bahan-bahan yang dapat menunjang bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder.

B. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lapangan terutama dari

orang-orang yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan skripsi.

Data primer ini diambil dari praktisi hukum, yaitu Pengadilan Agama Tanjung

Karang.

26
3.3 Prosedur Pengumpulan Data dan Pengelolahan Data

3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, untuk melengkapi data-data yang dibutuhkan, dipergunakan

prosedur pengumpulan data yaitu:

1. Data Sekunder

Dalam hal untuk mendapatkan data sekunder, penulis melakukan studi kepustakaan

(library research) dengan cara mengumpulkan buku-buku, peraturan perundang-

undangan dan bahan yang berkaitan dengan masalah yang ada dalam penulisan ini.

2. Data Primer

Adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian dilapangan (fielf research) melalui

cara-cara sebagai berikut :

a. Pengamatan (observasi)

Dilakukan dengan menggunakan teknik observasi suatu usaha yang dilakukan untuk

mengumpulkan data dengan cara penulis mengadakan observasi terhadap pihak

kejaksaan dan kehakiman yang, terkait dalam rangka pengumpulan data-data

sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dari permasalahan yang diteliti.

27
b. Wawancara (interview)

Pengumpulan data dengan wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu

daftar pertanyaan yang bersifat terbuka. Wawancara tersebut dilakukan dengan

menentukan terlebih dahulu responden atau narasumber yang akan diwawancarai

sesuai dengan objek penelitian yang berkaitan dengan permsalahan penelitian

mengenai permasalahan dalam skripsi ini. Wawancara tersebut dilakukan dengan :

Hakim Pada Pengadilan Agama Tanjung Karang : 1 Orang

Jumlah : 1 Orang

3.3.2 Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data yaitu kegiatan merapikan dan menganalisa data tersebut, kegiatan

ini meliputi kegiatan seleksi dengan cara memeriksa data yang diperoleh mengenai

kelengkapannya, klasifikasi data dan mengelompokkan secara sistematis.

Kegiataan pengolahan data dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a.Seleksi Data

Adalah memeriksa dan memilih data sesuai dengan objek penelitian yang akan

dibahas, juga dengan mempelajari dan menelaah data yang diperoleh dari hasil

penelitian.

28
b.Klasifikasi Data

Adalah data yang telah selesai diseleksi, selanjutnya dikelompokkan menurut pokok

bahasan sehingga sesuai dengan jenis dan berhubungan dengan pokok bahasan.

c.Sistematika Penulisan

Adalah data yang teleh diklasifikasikan kemudian ditempatkan sesuai dengan posisi

pokok permasalahan secara sistematis.

3.4 Analisis Data

Setelah semua data dikumpulkan dan diolah kemudian dianalisis secara kualitatif,

yaitu analisis terhadap isi putusa pengadilan agama tentang pembatalan perkawinan,

yang selajutnya diuraiakan dalam bentuk kalimat-kalimat yang secara sistematis

kemudian dilakukan pembahasan yang pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan

tentang masalah-masalah yang akan diteliti.

29
BAB IV

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANJUNG KARANG

NOMOR 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk. TENTANG PEMBATALAN

PERKAWINAN

4.1 Alasan diajukan permohanan pembatalan perkawinan dalam putusan

Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor : 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

Bahwa tergugat berdasarkan gugatannya pada tanggal 02 Mei 2006 yang terdaftar di

Kepanitraan Pengadilan Agama Tanjungkarang tanggal 02 Mei 2006 dengan perkara

Nomor : 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk telah mengajukan gugatan pembatalan perkawinan

dan yang menjadi dasar gugatan adalah sebagai berikut :

1. Bahwa Penggugat dan Tergugat adalah suami istri yang sah baik ditinjau dari

hukum agama maupun hukum Negara. hal ini sesuai dengan Kutipan Akta Nikah

No 1070/650II/93 (akan penggugat ajukan sebagai alat bukti pada saat pembuktian

nantinya)

2. Bahwa selama dalam ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I telah

dikaruniai tiga orang anak yang masing-masing bernama :

a. Malinda rosyita Anjani, lahir pada tanggal 16 Desember 1993 di padang

Propinsi Sumatera Barat

b. Cahya Intan Meylasari, lahir pada tanggal 12 Mei 1997 di Pekan Baru Propinsi

Riau

30
c. Amanda Maritza amalina, lahir pada tanggal 4 Desember 2004 di Bandar

Lampung Propinsi Lampung

3. Bahwa selama berlangsungnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I tidak

pernah sama sekali mengalami masalah yang berarti melainkan berlangsung

dengan harmonis serta Penggugat masih dalam kondisi sehat wal afiat tanpa

kurang sesuatu apapun sehingga masih mampu memenuhi segala kebutuhan suami

(Tergugat I) dan juga siap dalam mendidik anak-anak namun tanpa setahu dan

tanpa seizin Penggugat ternyata pada bulan April 2005 Tergugat I telah

melangsungkan perkawinan dengan Tergugat II yang beralamat sebagaimana

tersebut di atas.

4. Bahwa sesuai dengan hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang tepatnya dalam Pasal 5

ayat (1) yang intinya menyatakan “Untuk dapat mengajukan pemohonan kepada

Pengadilan untuk beristri lebih dari seorang harus ada persetujuan dari istri yang

sah”. Oleh karena demikian, maka perkawinan yang telah dilakukan antar

Tergugat I dan Tergugat II adalah perkawinan yang tidak sah secara hukum.

5. Bahwa pada saat berlangsungnya perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II

menurut pengakuan Tergugat I pada awal-awalnya dilakukan nikah secara

dibawah tangan dan selanjutnya (katanya) dilakukan nikah lagi secara resmi dan

ada buku nikah, namun sayang sekali buku nikah tersebut telah disembunyikan

oleh Tergugat II, apapun namanya kedua kali nikah tersebut yang telah dilakukan

31
antara Tergugat I dan Tergugat II sama sekali tanpa setahu dan tidak seizin

Penggugat dan hingga saat ini Penggugat tidak ridho terhadap pernikahan tersebut

6. Bahwa bila dihubungkan dengan pasal 22 dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tersebut yang menyatakan “ perkawinan dapt dibatalkan apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Dengan demikian

sungguh sangat tepat apabila Penggugat untuk membatalkan perkawinan

dimaksud.

7. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut Permohonan menderita lahir dan batin,

tidak sanggup lagi meneruskan rumah tangga dengan Termohon dan oleh

karenannya Pemohon mengajukan Permohonan ini.

Berdasarkan penjelasan dan uraian di atas bersama ini penggugat memohon Majelis

Hakim yang mengadili perkara ini kiranya berkenan memanggilkan kami para pihak

yang bersangkutan perkara ini untuk dapat hadir dalam persidangan pada tanggal dan

hari yang Bapak tentukan, selanjutnya mohon Majelis Hakim yang mulia dapat

memberi putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya

2. Menyatakan Penggugat adalah Penggugat yang beritikad baik

3. Menyatakan Penggugat dan Tergugat I adalah benar suami istri yang sesuai

menurut hukum yang berlaku.

4. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melangsungkan perkawinan secara

tidak sah.

32
5. Membatalkan perkawinan Tergugat I dan Tergugat II

6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya perkara yang

timbul dalam perkara ini dari awal sampai akhir

7. Menyatakan putusan ini dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun Tergugat I dan

tergugat II mengajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

8. Bila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon kiranya dapat memberikan putusan

yang seadil-adilnya.

Berdasarkan dari isi gugatan di atas menunjukkan bahwa perkawinan antara Tergugat

I dan Tergugat II melanggar Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan

yang tepatnya dalam Pasal 5 ayat 1 yang intinya menyatakan : “Untuk dapat

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk beristri lebih lebih dari seorang

harus ada persetujuan isteri yang sah” dan bila dihubungkan dengan Pasal 22

Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang menyatakan : “perkawinan dapat dibatalkan

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.

Adapun syarat-syarat tersebut yaitu :

a. Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

isteri-isteri dan anak-anak mereka

c. Adanya jaminan suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri

dan anak-anak mereka. Sedangkan perkawinan yang dilakukan oleh Tergugat I

33
(suami) dan tergugat II tanpa izin dan Penggugat (isteri) sehingga perkawinan

tersebut dianggap tidak memenuhi syarat.

Permohonan gugatan Penggugat itu dapat diperinci menjadi dua macam yaitu

permohonan primair dan permohonan subsidair. Permohonan primair merupakan

permohonan pokok dan permohonan subsidair merupakan permohonan pengganti.

Dalam permohonan subsidair diatas menunjukkan bahwa Penggugat dalam

gugatannya menambahkan kata-kata memberikan putusan yang seadil-adilnya karena

dimungkinkan Hakim dapat memberikan putusan yang lain dari yang dimohonkan

jika itu dianggap adil oleh hakim yang memimpin sidang.

Dalam proses pemeriksaan perkara Nomor ; 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk ini penggugat

mengajukan gugatan pada Pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal

Tergugat, dalam hal ini kepada Pengadilan Agama Tanjungkarang dan dialamatkan

kepada Ketua Pengadilan Agama Tanjungkarang, ini berarti sesuai dengan ketentuan

Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 ayat (1) RBg yang menentukan bahwa surat

permohonan gugatan dialamatkan kepada KETUA Pengadilan yang wilayah

hukumnya meliputi tempat tinggal tergugat.

Surat permohonan gugatan diserahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Tanjung

Karang pada tanggal 2 Mei 2006, setelah memenuhi persyaratan administrasi maka

gugatan tersebut didaftarkan dalam buku register dan diberi Nomor :

157/Pdt.G/2006/PA.Tnk. Surat gugatan yang telah didaftarkan ini diteruskan kepada

34
Ketua Pengadilan Agama. Selanjutnya Ketua Pengadilan Agama menunjuk Majelis

Hakim yang memeriksa perkara ini yaitu :

a. Drs. Hi. Hasan Faiz Bakry, sebagai Hakim Ketua

b. Drs. Masirar Malkan, sebagai Hakim Anggota

c. Drs. Hafni Nalisa, sebagai Hakim Anggota

d. Hj. Soleha, S.Ag, sebagai Panitera Pengganti

Setelah mempelajari berkas perkara Ketua Majelis hakim yang telah ditunjuk

menentukan hari dan tanggal sidang pertama, dalam hal ini Majelis Hakim akan

mempertimbangkan dan memperhatikan waktu antara sidang pertama dengan hari

dan tanggal pemanggilan pihak-pihak, sehingga pemanggilan tersebut memenuhi

syarat perundang-undangan

Bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan Penggugat serta kuasa hukumnya

Tergugat I dan Tergugat II serta kuasa Hukumnya hadir dipersidangan kemudian

Majelis Hakim telah berupaya mendamaikan penggugat dan Tergugat I dan Tergugat

II melalui kuasa hukum masing-masing agar mengakhiri sengketa akan tetapi usaha

tersebut tidak berhasil

Bahwa pada sidang kedua tanggal 29 Juni 2006, gugatan Penggugat dibacakan yang

isinya ada perubahan, yaitu pada posita angka 3 (tiga) pernikahan antara Tergugat I

dan tergugat II terjadi pada tanggal 22 april 2005 dan pada petitum angka 4 (empat)

tanggal 22 April 2005 adalah tanggal pernikahan Tergugat I dan Tergugat II. Bahwa

35
pada persidangan tanggal 20 Juli 2006 Tergugat I dan Tergugat II mengajukan

jawaban yang pada pokoknya sebagai berikut :

1. Bahwa benar penggugat adalah isteri sah Tergugat I sebagaimana disebut dalam

gugatan posita poin 1, yang pernikahannya berlangsung di Jepara, jawa Tengah

pada tanggal 14 April 1992.

2. Bahwa benar dari perkawinan antara penggugat dan Tergugat I telah dikaruniai

tiga orang anak seperti disebut dalam gugatan posita poin ke 2 yang mana tiga

orang anak tersebut semuanya brjeis kelamin perempuan.

3. Bahwa sejak perkawinan antara Tergugat I dengan Penggugat selalu hidup dalam

satu rumah tangga dan Tergugat I sebagai suami dari Penggugat selalu memenuhi

kewajiban lahir batin terhadap penggugat dan tetap memelihara hubungan kasih

sayang layaknya terhadap isteri dan hingga saat ini Tergugat I dan Penggugat

masih Ibadah Haji pada tahun 2003.

4. Bahwa demikian juga Tergugat I sebagai ayah tiga orang anak perempuan yang

telah lahir melalui rahim Penggugat, Tergugat I selalu memenuhi kewajibannya

memberi nafkah lahir, kasih sayang, dan pendidikan terhadap ketiga orang anak

tersebut dan tidak perrnah Tergugat I melalaikan kewajibannya selaku orang tua

apalagi menelantarkannya.

5. Bahwa benat Tergugat I telah melakukan perkawinan dengan Tergugat II pada

tanggal 22 April 2005 di bandar Lampung yang sebelumnya diawali dengan

perkawinan siri, dimana hal ini secara lisan Tergugat I telah menyampaikan

36
kepada Penggugat selaku isteri untuk mengizinkan perkawinan antara Tergugat I

dan Tergugat II sebagai perkawinan yang kedua.

6. Bahwa Tergugat telah memohon kepada Penggugat untuk meridhoi dan merestui

perkawinan tersebut dengan menyatakan bahwa Tergugat I tidak ingin

menceraikan Penggugat dan menjamin tidak akan menelantarkan Penggugat

beserta ketiga orang anaknya dan berusaha untuk selalu berlaku adil.

7. Bahwa meskipun Penggugat secara lisan mengatakn tidak meridhoi tetapi tidak

ada tanda-tanda maupun penggugat untuk menghalangi berlangsungnya

perkawinan antara Tergugat I dan tergugat II, sehingga Tergugat I tetap dengan

mulus dan lancar dapat melangsungkan perkawinan dengan Tergugat I . dengan

demikian secara tersirat Tergugat I merasa bahwa sesungguhnya Penggugat telah

merestui Tergugat I untuk melangsungkan perkawinan dengan Tergugat II, namun

hal tersebut tidaklah mungkin untuk tersurat.

8. Bahwa perkawinan antara tergugat I dan Tergugat II adalah atas dasar suka sama

suka dimana pada saat itu Tergugat II berstatus sebagai janda dengan satu orang

anak laki-laki berumur 9 tahun. Perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II

pada tanggal 22 April 2005 dilakukan menurut Hukum sebagai agama yang dianut

oleh Tergugat I dan Tergugat II dan telah dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah di

Bandar Lampung.

37
Beberapa alasan tergugat I mengawini Tergugat II adalah :

a. Untuk menghindari perbuatan zina dan dosa besar.

b. Tergugat I sangat mendambakan untuk memiliki anak laki-laki.

c. Penggugat pernah pergi dari rumah tanpa izin Tergugat I sebagai suami untuk

bertemu laki-laki lain.

9. Bahwa dengan demikian perkawinan antara Tergugat I dan tergugat II yang telah

berlangsung di Bandar Lampung pada tanggal 22 April 2005 adalah sah

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

oleh karena itu tidak dapat dibatalkan.

10. Bahwa tergugat I telah menyatakan kepada penggugat akan pendirian Tergugat I

yang tetap ingin bersatu dengan penggugat dan juga tidak bersedia untuk

menceraikan Tergugat II bahkan tergugat I berkeinginan agar penggugat dan

tergugat II dapat hidup rukun bersama sebagai istri-istri tergugat I.

11. Bahwa tergugat I sangat terkejut saat menrima gugatan Pembatalan Perkawinan

dari Penggugat, karena Penggugat tidak pernah membicarakan kepada tergugat I

sebagi suami yang masih hidup bersama penggugat, sehinnga timbul pertanyaan

dibenak tergugat I : Mengapa Demikian? Padahal Tergugat I pernah menyatakan

kepada Penggugat apabila masalah perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II

diperkarakan berarti membuka aib keluarga sendiri dan tergugat I sebagai suami

tidak meridhoinya.

38
12. Bahwa seara jelas dan nyata perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II yang

berlangsung tanggal 22 April 2005 di bandar Lampung adalah sah telah

memenuhi syarat dan rukun secara agama islam dan demikian juga menurut

Hukum Negara Perkawinan telah dicatat sebagaimana mestinya oleh karena itu

tidak dapat dibatalkan. Terlebih lagi dalam hal ini dalam instansi pencatat dan

penerbit akta Nikah tidak ikut digugat sebagai pihak dalam perkara ini, dengan

kata lain gugatan kurang pihak.

a. Bahwa benar antara Tergugat II dan Tergugat I telah melangsungakan perkawinan

pada tanggal 22 April 2005 di Bandar lampung yang dilandasi rasa suka sama

suka yang pelaksanaannya berdasarkan syareat adgama islam dan telah dicatat

oleh petugas Pencatat Nikah di Bandar Lampung

b. Bahwa sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan, Tergugat I melamar Tergugat

II kepada orang tua dan keluarga Trgugat II dan dalam pelaksanaan akad nikah

bertindak sebagai wali adalah ayah kandung tergugat II yaitu Ansory

Kusumayuda. Tergugat I memberikan mas kawin berupa cincin seberat 7 gram

yang dibayar tunai kepada Tergugat II.

c. Bahwa pada bulan Juni 2005 tergugat I berpindah tugas dari Bandar Lampung ke

Medan, Sumatera Utara dan bersama Penggugat beserta anak-anaknya juga

berpindah domisili ke kota Medan. Pada tanggal 05 Juni 2005 ayah kandung

39
Tergugat II meninggal dunia di Bandar Lampung akibat sakit yang dideritanya

satu tahun lebih.

d. Bahwa pada saat perkawinan antara Tergugat II dengan Tergugat I berlangsung,

status tergugat II adalah janda satu orang anak laki-laki berusia 9 tahun dimana

Tergugat II telah menggugat cerai terhadap suami terdahulu karena tidak mampu

menghadapi kekerasan dalam rumah tangga dan telah diputus pada tanggal 10

mei 1998 di Pengadilan Agama tanjung Karang.

e. Bahwa tergugat II sangat berhati-hati untuk melakukan perkawinan kembali dan

oleh karena itu keinginan Tergugat I untuk menikahi Tergugat II dengan

menerima status Tergugat II dan anak Tergugat II secara utuh adalah merupakan

kehormatan sendiri bagi Tergugat II juga keluarga Tergugat II namun tetap

melalui proses sebagaimana tahap dan prosedur perkawinan yang lazim

dilakukan.

f. Bahwa perkawinan antara Tergugat I dan tergugat II bermula dari inisiatif

Tergugat I yang menyatakan tidak ingin berzina dan tidak ingin menjadikan

Tergugat II sebagai pemeliharaan atau istri simpanan/tersembunyi, tetapi ingin

secara terang dan resmi menempatkan Tergugat II sebagai istri yang sah, tergugat

II pun telah menyatakan siap untuk berstatus sebagai istri kedua dan akan tahu

diri akan status tersebut.

40
g. Bahwa keinginan Tergugat I tersebut diunggkapkannya kepada orang tua Tergugat

II dan keluarga Tergugat II, sehingga orang tua dan keluarga Tergugat II dapat

menerima dan merestui perkawinan antara Tergugat I dan Tegugat II.

h. Bahwa perkawinan tersebut, Trgugat II tidak menuntut nafkah lahir atau materi

dari tergugat I secara mutlak sehingga sejak perkawinan berlangsung antar

Tergugat I dan Tergugat II tidak ada pembagian jadwal ataupun jatah nafkah

lahir maupun batin dari tergugat I untuk tergugat II yang ditentukan. Bahkan

Tergugat II tetap memberikan dorongan terhadap tergugat I agar selalu bekerja

dengan baik dan terus memelihara keharmonisan rumah tangganya dengan

penggugat dan anaknya

i. Bahwa Tergugat II sebagai seorang wanita dan seorang ibu hanya mendambkan

status istri dari perkawinan yang tidak sah dan adanya kasih sayang serta

perhatian dari Tergugat I kepada Tergugat II dan anak tergugat II. Sejak

perkawinan layakna suami istri antar tergugat I dan Tergugat II belum tentu bisa

bertemu satu bulan satu kali dan komunikasi antara tergugat 1 dan tergugat II

tetap terjalin hanya melalui pembicaraan telpon.

j. Bahwa tidak benar tergugat II telah menyembunyikan buku nikah,tergugat I seperti

disebut dakam gugatan posita poin 5 dan perlu disadari penyimpanan buku nikah

tersebut memang bukanlah merupakan hak dari pengugat.

41
k. Bahwa secara jelas dan tegas Tergugat II menyatakan perkawinan antara Tergugat

I dan tergugat II pada tanggal 22 April 2005 di Bandar lampung adalah Sah : baik

ditinjau dari segi hukum negara maupun hukum agama. Selain daripda itu sejak

perkawinan tersebut berlangsung, keutuhan Rumah tangga Penggugat dan

tergugat I tidak pernah mengalami goncangan dan keretakan yang mana

hinggasaat ini mereka masih bersatu secara utuh layaknya suami istri dalam satu

rumah tangga harmonis.

l. Bahwa gugatan pembatalan perkawinan dari penggugat terhadap perkawinan

tergugat I dan Trgugat II adalah gugatan yang tidak beriikad baik dan tidak

memiliki alasan yang kuat dan diberikan secara hukum, maka gugatan tersebut

patut untuk ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.

Bahwaselain jawaban tersebut diatas Tergugat II mengajukan gugatan rekonpensi

sebagai berikut :

1). Bahwa adanya gugatan penggugat dalam konpensi/Tergugat dalam Rekopensi

telahmembuat diri tergugat II dalam konpensi/penggugat dalam rekonpensi

terkejut dan bahkan membuat diri Tergugat II dalam konpensi/Penggugat

dalam Rekonpensi masih trauma dengan persidangan di Pengadilan Agama.

2). Bahwa dalam berlangsungnya perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II

dalam Konpensi/penggugat dalam Rekonpensi, maka pihak penggugat dalam

rekonpesi adalah sebagai pihak yang pasif dan hanya menerima dan

42
memenuhi keinginan dan permintaan dari Tergugat I dalam Konpensi yang

menjamin tidak akan ada masalah dengan penggugat dalam konpensi/tergugat

dalam rekonpesi. Bahkan pada suatu saat diharapkan antara tergugat II dalam

konpensi/penggugat dalam rekonpensi dan penggugat dalam konpensi

/tergugat dalam rekonpensi dapat hidup rukun dan damai sebagai istri-istri

Tergugat I dalam kompensi

3).Bahwa tidak pernah terlintas dibenak Tergugat II dalam konpensi/penggugat

dalam Rekonpensi untuk menghancurkan rumah tangga penggugat dalam

konpensi/Tergugat dalam rekonpensi dan ini dapat dilihat dari kehidupan

rumah tangga perkawinan tergugat I dalam konpensi dengan penggugat dalam

alam konpensi dengan tergugat dalam rekonpensi konpensi/tergugat dalam

rekonpensi yang hingga saat ini masih utuh dan harmonis.

4). Bahwa antara penggugat dalam rekonpensi /tergugat II dalam konpensi

dengan tergugat dalam rekonpensi/penggugat dalam kompensi sampai saat ini

belum pernah dan memang tidak saling mengenal serta tidak pernah ada

upaya untuk menyelesaikan maslah diluar Pengadilan sebelum gugatan

dilakukan oleh Penggugat dalam konpensi/tergugat dalam rekonpensi,

sehingga nampak jelas penggugat dalam konpensi/tergugat dalam rekonpensi

tidak memiliki itikad baik terhadap tergugat II dalam konpensi/penggugat

dalam rekonpensi.

43
5). Bahwa nyata-nyata gugatan penggugat dalam konpensi/tergugat dalam

rekonpensi yang ditujukan kepada tergugat I dan Tergugat II dalam konpensi

/penggugat dalam rekonpensi telah menjurus pada penghinaan terhadap

tergugat II dalam kompensi /penggugat dalam rekonpensi dan merendahkan

martabat penggugat dalam rekonpensi dan keluarga bahkan juga telah

mengganggu ketentraman jiwa anak penggugat dalam rekonpensi yang masih

belum dewasa.

6). Bahwa tindakan penggugat dalam kompensi/tergugat dalam rekonpensi tanpa

seizin suami dan tanpa upaya musyawarah dan dengan cara membabi buta

adalah merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan melanggar

hak subjektif orang lain serta kaidah tata susila dan juga bertentangan dengan

azaz kepatutan, teliti dan kehati-hatian yang merupakan unsur dari perbuatan

melawan hukum.

7). Bahwa pebuatan penggugat dalam konpensi/tergugat dalam Rekonnpensi

nyata-nyata telah menimbulkan kerugian bagi tergugat II dalam

konpensi/penggugat dalam rekonpensi berupa tersitanya waktu kerja dan

untuk anak sekeluarga, terganggunya persaan tentram dalam kehidupan

bahkan adanya potensi yang dapat menimbulkan pencemaran nama baik

keluarga besar Tergugat II dalam kompensi/penggugat dalam rekonpensi yang

menjurus kepada fitnah dan merupakan perbuatan melawan hukum dari

Penggugat dalam Konpensi/Tergugat dalam Rekonpensi.

44
8). Bahwa adanya keruggian inmaterial yang diderita oleh Tergugat II dalam

konpensi/penggugat dalam Rekonpensi akibat dari perbuatan dari melawan

hukum oleh penggugat dalam konpensi/tergugaat dalam rekonpensi dinilai

sebesar Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). Berdasarkan hal-hal yang

telah diuraikan tersebut di atas, maka mohon kiranya yang Mulia Majelis

Hakim yang memeriksa jawaban ini dan akhirnya memutuskan. Dalam

Eksepsi,menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya

menyatakan gugatan tidak dapat diterima karena kurang pihak dalam

konpensi:

a).Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya.

b).Menyatakan penggugat yang tidak beritikad baik, menyatakan perkawinan

antara tergugat I dan tergugat II adalah sah menurut hukum agama islam

maupun hukum Negara republik Indonesia.

c).Menyatakan perkwinan tergugat 1 dengan tergugat II yang telah terjadi

pada tanggal 22 April 2005 tidak dapat dibatalkan.

Dalam rekonpensi:

a). Mengabulkan gugatan pengugat dalam rekonpensi untuk seluruhnya

45
b).Menyatakan tergugat dalam Rekonpensi telah melakukan perbuatan

melawan hukum yg mengakibatkan kerugian immaterial yang diderita

penggugat dalam rekonpensi.

c).Menghukum Tergugat dalam Rekonpensi untuk membayar uang sebesar Rp

500.000.000,-(lima ratus juta rupiah) segera dan tunai kepada penggugat

dalam Rekonpensi.

Dalam Konpensi dan Rekonpensi, Membebankan segala biaya yang timbul dalam

perkara kepada Penggugat dalam konpensi/tergugat dalam rekonpensi

Apabila yang Mulia Majelis hakim yang memeriksa perkara lain, mohon putusan

yang seadil-adilnya.

Bahwa pada sidang ke 4 (empat) tanggal 31 juli 2006 Penggugat mengajukan Replik

sebagaimana tersebut dalam Berita Acara Sidang Perkara ini.

Bahwa pada sidang ke 5 (lima) tanggal 14 Agustus 2006 Tergugat I dan Tergugat II

mengajukan Duplik yang pada pkoknya mempertahan kana dan tetap dalam pendirian

semula sebagaimana jawaban Tergugat I dan Tergugat II terdahulu.

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat telah

mengajukan alat-alat bukti di persidangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 283-

284 R.Bg sebagai berikut :

a. Bukti tertulis berupa :

46
1. Fotokopi kutipan akta nikah atas nama Penggugat dan Tergugat I (telah

dilegalisir), Nomor : 1070/65/II/1993, kemudian dicocokkan dengan aslinya dan

ternyata sama lalu diberi kode Pg. 1;

2. Fotokopi kutipan Akta Kelahiran anak Penggugat dan Tergugat yang bernama

“MALINDA ROSITA ANJANI” (telah dilegalisi), Nomor : 3013/I/1993, yang

dikeluarkan Kepala Kantor catatan sipil kotamadya Padang tanggal 20 Desember

1993, kemu dian dicocokan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode Pg.

2;

3. Fotokopi Kutipan Akta Kelahiran anak Penggugat dan tergugat yang beranama

“CAHAYA INTAN MEILASARI” (telah dilegalisir) Nomor : 1341/I/1997, yang

dikeluarkan oleh Kepala Kantor catatan Sipil Kotamadya Pekanbaru tanggal 09

juli 1997, kemudian dicocokan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi kode

Pg. 3;

4. Fotokopi kutipan Akta Kelahiran anak penggugat dan Tergugat yang bernama

“AMANDA MARITZA AMALINA” (telah dilegalisir), Nomor

474.1/U/06246/14/2006, yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kependudukan Kota

Bandar Lampung tanggal 28 Desember 2004, kemudian dicocokan dengan aslinya

dan ternyata sama lalu diberi kode Pg. 4.

5. Fotokopi Kartu Keluarga atas nama Tergugat I (telah dilegalisir), Npmor :

020513/01/07277, yang dikeluarkan oleh Camat Kecamatan Medan Selayang Kota

Medan Sumatra Utara tanggal 27 November 2001, kemudian dicocokan dengan

aslinya dan ternyata sama lalu di beri kode Pg. 5.

47
6. Kutipan Akta Nikah atas nama Tergugat I dan Tergugat II,Nomor :

258/40/IV/2005, kemudian dicocokan dengan aslinya dan ternyata sama lalu diberi

kode Pg. 6.

Bahwa untuk menguatkan dalil gugatannya Penggugatt juga mengajukan 2 (dua)

orang saksi sebagai berikut :

1. EKA SRI KANDINI WIRANTI binti YOYO WIKARYA,umur 39 tahun agama

islam, pekerjaan ibu rumah Kecamatan Tanjung Senang Kota Bandar Lampung.

2. SANDRA EKSI WULANDARI binti SAHURI SARYO, umur 39 tahun, agama

islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal di jalan Kemuning II Nomor

37 Kelurahan Rawa Laut Kecamatan Tanjung Karang Timur Kota Bandar

Lampung.

Bahwa kedua saksi tersebut memberikan keterangan di bawah sumpahnya sebagai

berikut :

a. Bahwa saksi kenal dengan Penggugat dan tergugat I tapi tidak kenal dengan

Tergugat II.

b. Bahwa Tergugat I telah menikah lagi dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan

Penggugat.

Bahwa atas keterangan kedua orang saksi tergugat I mengaku bahwa ia telah

menikah dengan tergugat II pada tahun 2005 sedangkan Buku Nikah disimpan oleh

Tergugat II.

48
Bahwa Tergugat I dan Tergugat II menyatakan tidak akan mengajukan bukti baik

bukti tertulis maupun saksi.

Bahwa Tergugat tidak akan mengajukan bukti lain lagi dan Penggugat dan Tergugat I

dan Tergugat II member kesimpulan mohon putusan yang seadil-adilnya.

Bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini menunjuk Kepala Berita acara sidang

yang merupakan satu kesatuan dengan putusan ini.

Bahwa berdasarkan hal-hal diatas dapat di simpulkan bahwa permohonan Penggugat

dapat dilakukan sesuai dengan peraturan yaitu Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142

ayat (1) RBg yang menentukan bahwa surat permohonan dialamatkan Kepada Ketua

Pengadilan yaitu ketua Pengadilan Agama Tanjung Karang. Dalam persidangan

pertama Majelis Hakim berupaya mendamaikan Penggugat dan Tergugat I dan

Tergugat II melalui kuasa hukumnya masing-masing agar mengakhiri sengketa akan

tetapi usaha tersebut tidak berhasil, pada persidangan kedua terjadinya perubahan

posita dan patitum, pada persidangan ketiga tergugat mengajukan jawaban atas

gugatan Penggugat dan juga membenarkan gugatan Penggugat, disamping pengakuan

ada juga gugatan penggugat yang di sangkal, setelah tergugat selesai mengajukan

jawaban atas gugatan tergugat selanjutnya tergugat mengajukan jawaban rekonpensi,

pada persidangan keempat penggugat mengajukan Replik, pada sidang kelima

tergugat I dan tergugat II mengajukan Duplik. Untuk menguatkan dalii-dalil

gugatannya penggugat mengajukan alat-alat bukti sebagaimana yang di atur dalam

49
Pasal 283-284 RBg dan mengajukan dua orangsaksi. Bahwa Tergugat I dan Tergugat

II menyatakan tidak akan mngajukan bukti baik bukti terulis maupun saksi.

4.2 Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang

Nomor :157/Pdt.G/2006/PA. Tnk.

Setiap putusan hakim yang berupa putusan akhir, harus didahului oleh kepala putusan

yang berbunyi “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANA YANG

MAHA ESA “ ini berarti, setiapa hakim yang mengadili dan memutuskan suatu

perkara harus berlaku adil dengan mengingat tanggung jawab diri sendiri, dan

tanggungjawab Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut ketentuan Pasal 23 Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970, segala putusan pengadilan selain harus memuat

alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, sedangkan dasar hukum tak tertulis

dijadikan dasar untuk mengadili. Alasan-alasan ini berupa uraian tentang

permohonan yang dimintakan sampai pada uraian hasil pemeriksaan dan pembuktiaan

di persidangan. Sedangkan dasar putusan, memuat uraian tentang adanya hak atau

hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis dari putusan. Uraian itu disebut tentang

hukumnya. Uraian tentang kejadian dan tentang hukum ini disebut considerens

putusan atau pertimbangan.

Dalam perkara Nomor : 157/Pdt. G/2006/PA.Tnk,tentang pertimbangan hukumnya :

Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana

tersebut diatas.

50
Dalam eksepsi , menimbang bahwa gugatan eksepsi Tergugat I dan Tergugat II

dinyatakan di tolak.

Dalam Konpensi :

Menimbang bahwa karena pokok perkara ini menyangkut Pembatalan Nikah Orang

yang beragama islam maka berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1974 jo. Pasal 25 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 38 ayat (1)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 7 Kompilasi hukum Islam

maka perkara ini termasuk wewenang Pengadilan Agama Tanjung karang.

Menimbang, bahwa disetiap kali persidangan telah diupayakan damai agar

permasalahan ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan oleh Penggugat konpensi

dan Tergugat Konpensi I akan tetapi usaha tersebut tidak berhasil.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (pg.2) dan keterangan saksi dimuka sidang

terbukti antara penggugat Konpensi dan tergugat konpensi I adalah suami isteri yang

sah dan belum pernah bercerai.

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti Pg.3, Pg.4 dan Pg.5 terbukti selama

perkawinan Penggugat Konpensi dan Tergugat Konpensi I telah mendapatkan

keturunan yaitu 3 (tiga) orang anak yang bernama Melinda Rosyita Anjani, Cahya

Intan Meitasari dan Amanda Maritza Amalia.

51
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi dan pengakuan tergugat Konpensi

I benar antara Konpensi I dan Sitergugat konpensi II telah menikah bertempat

dirumah keluarga Tergugat konpensi II pada tanggal 22 April 2005 dengan wali ayah

kandung tergugat konpensi II.

Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Penggugat konpensi perkawinan antara

tergugat konpensi I dan tergugat konpensi II tidak ada persetujuan dari penggugat

konpensi dan tidak pernah ada izin dari Pengadilan Agama.

Menimbang, bahwa berdasarkan surat pernyataan Tergugat Konpensi I maksud dan

tujuan menikah dengan tergugat konpensi II adalah untuk tidak melakukan perbuatan

zina.

Menimbang, bahwa dalam bukti Pg.6 terbukti Tergugat Konpensi I adalah melakukan

kebohongan identitas, dengan status duda, padahal tergugt konpensi masih terkait

sebagai suami isteri yang syah dengan Penggugat oleh karenanya bukti tersebut dapat

dibatalkan.

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta tersebut diatas Majelis Hakim berpendapat

bahwa Tergugat konpensi I ingin beristeri lebih dari satu orang, tidaklah memenuhi

prosedur hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1

tahun 1974 oleh karnanya gugatan Penggugat Konpensi dapat di pertimbangkan.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, gugatan Penggugat

Konpensi tidak melawan hukum maka Majelis Hakim menyatakan terbukti

52
perkawinan antara Tergugat Konpensi I dan Tergugat Konpensi II melanggar

Undang-undang yang berlaku di Indonesia khusus Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan jo. Pasal 71 Kompilasi Hukum Islam oleh karenanya

gugatan Penggugat dapat dikabulkan.

Dalam Rekonpensi :

Menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat Rekonpensi / Tergugat

Konpensi I dan Tergugat Konpensi II sebagaimana tersebut.

Menimbang, bahwa penggugat Rekonpensi I dan penggugat Rekonpensi II tidak

mengharapkan pernikahan antara penggugat Rekonpensi I dan Penggugat Rekonpensi

II yang terjadi pada tanggal 22 April 2005 dibatalkan karena tergugat Rekonpensi I

masih sangat senang dengan tergugat Rekonpensi II.

Menimbang, bahwa Tergugat Rekonpensi I dan Tergugat Rekonpensi II

dipersidangan tidak mengajuka alat bukti, baik bukti tertulis maupun bukti saksi oleh

karenanya Majelis Hakim berkesimpulan gugatan balik Tergugat Rekonpensi I dan

Tergugat Rekonpensi II di kesampingkan.

Meimbang, bahwa Penggugat Rekonpensi II tidak pernah hadir dalam persidangan

oleh karenanya keterangan dan bantahannya terhadap saksi Tergugat Rekonpensi

tidak dapat didengar sedangkan Kuasa Hukum Penggugat Rekonpensi II hanya

menyetujui semua keterangan saksi Tergugat Rekonpensi oleh karenanya Majelis

Hakim berpendapat gugatan Penggugat Rekonpensi II di kesampingkan.

53
Dalam Konpensi dan Rekonpensi :

Menimbang, bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan berdasarkan Pasal

89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 biaya yang timbul dalam perkara ini

dibebankan kepada Pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi.

Berdasarkan uraian di atas, menurut keterangan Pasal 49 (1) Undang-undang

Nomor.1 Tahun 1974 jo Pasal 38 (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan

Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam karena pokok perkara menyebut pembatalan Nikah

orang yang beragama Islam maka perkara ini termasuk wewenang Pengadilan Agama

Tanjung Karang karena salah satu Tergugat berdomisili dalam wilayah hukum

Pengadilan Agama Tanjung Karang Kelas I A.

Mengacu Pasal 5 ayat (1) yang intinya mengatakan “untuk dapat mengajukan

permohonan kepada Pengadilan untuk beristri lebih dari seorang harus ada

persetujuan dari istri yang sah” dan dalam hal ini pihak Tergugat I tidak meminta izin

pada pihak Penggugat. Oleh karna itu maka perkawinan yang telah dilakukan antara

Tergugat I dengan Tergugat II adalah perkawinan yang tidak sah secara hukum.

Berdasarkan bukti-bukti dan pertimbangan hukum yang di tentukan dalam

persidangan adanya bukti bahwa tergugat I telah melakukan kebohongan identitas,

dengan mengaku status duda padahal antara Penggugat dan Tergugat I masih terikat

54
perkawinan yang sah maka perkawinan yang dilakukan antara Tergugat I dan

Tergugat II telah menyalahi prosedur hukum.

Dan karna perkawinan yang dilakukan antara Tergugat I dan Tergugat II tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Pasal 22

Undang-undag Nomor 1 Tahun 1974 yang akibat hukumnya perkawinan dapat

dibatalkan.

Berdasarkan uraian diatas pernikahan tersebut tidak sah dikarnakan adanya

pemalsuan identitas oleh Tergugat I dengan status duda, sedangkan Tergugat I masih

mempunyai hubungan suami istri yang sah, dengan penggugat. Selain itu Tergugat I

juga tidak ada persetujuan dari istri yang sah (Penggugat), yang diatur dalam pasal 5

ayat (1).

4.3 Akibat Putusan Pengadilan Agama Nomor 157/Pdt.G/ 2006/PA.Tnk.

Tujuan Penggugat mengajukan gugatan pembatalan perkawinan terhadap Tergugat

yang telah di daftarkan gugatannya pada Pengadilan Agama Tanjung Karang, yang

karna dianggap perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana

diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, sehingga

mengakibatkan hakim memutuskan pembatalan perkawinan.

Dalam pernikahan Tergugat I dan Tergugat II, Tergugat II tidak menuntut nafkah

lahir atau materi secara mutlak, sehingga sejak perkawinan berlangsung antara

Tergugat I dan Tergugat II tidak ada pembagian jadwal ataupun jatah nafkah lahir

55
maupun batin dari Tergugat I untuk Tergugat II yang di tentukan. Bahkan Tergugat II

tetap memberi dorongan kepada Tergugat I agar selalu bekerja dengan baik dan terus

memelihara keharmonisan rumah tangganya dengan penggugat dan anak-anaknya,

sehingga dalam pembatalan perkawinan antara Tergugat I dengan Tergugat II yang

dilakukan oleh Penggugat tidak ada pembagian harta benda antara Tergugat I dengan

Tergugat II.

Hakim dalam mengeluarkan putusannya akan mempertimbangkan secara cermat,

sehingga hakim dapat memberikan suatu keputusan yang tepat dan seadil-adilnya.

Sesuai dengan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa segala putusan Pengadilan selain harus

memuat alasan, dan dasar putusan tersebut memuat pula Pasal tertentu dari peraturan

Perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hokum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Dengan adanya keputusan yang berupa putusan dari

Pengadilan Agama Tanjung Karang maka Penggugat berkewajiban membayar

ongkos perkara sebesar Rp. 271.000,-(dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).

Dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk

diputuskan sebagai berikut :

A. Dalam Eksepsi

Menolak Eksepsi Tergugat I Dan Tergugat II

56
B. Dalam Konpensi

1. Mengabulkan gugatan Penggugat dalam Konpensi

2. Membatalkan pernikahan Tergugat I dalam Konpensi (Ir. H. Rosyidul Umam

Aly Pooly) dengan tergugat II dalam Konpensi (Siska Ariyanti Kusumayudha,

SH binti Ansory Kusumayudha) yang terjadi pada tanggal 22 April 2005.

3. Menyatakan Akta Nikah Nomor 258/40/IV/2005 tanggal 25 April 2005 yang

dicatat oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanjung Karang Timur tidak

berkekuatan hukum dan tidak mengikat.

C. Dalam Rekonpensi

Menyatakan Gugatan Tergugat I dalam konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi

dan Tergugat II dalam Konpensi/Penggugat dalam Rekonpensi ditolak

D. Dalam Konpensi Dan Rekonpensi

Membebankan kepada pemohon Konpensi/Tergugat Rekonpensi untuk membayar

biaya perkara ini sebesar Rp. 271.000,-(Dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah).

Berdasarkan hasil Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor :

157/Pdt.G/2006/PA.Tnk, maka akibat hukumnya adalah batalnya perkawinan dan

Tergugat dapat mengajukan upaya hukum lain yaitu banding.pembebanan biaya

perkara dalam perkara perkawinan dibebankan kepada pemohon/Penggugat, hal ini

sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan pada perkara selain perkara perkawinan,

57
pembebanan biaya perkara dibebankan kepada pihak yang dikalahkan, maka dapat

diambil kesimpulan bahwa pertimbangan Hakim dalam perkara tersebut telah sesuai

dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

58
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dikaitkan dengan pokok bahasan dapat

diartikan beberapa kesimpulan :

a. Alasan diajukan permohanan pembatalan perkawinan dalam putusan Pengadilan

Agama Tanjungkarang Nomor : 157/Pdt.G/2006/PA.Tnk, Bahwa selama

berlangsungnya perkawinan antara Penggugat dan Tergugat I tidak pernah sama

sekali mengalami masalah yang berarti melainkan berlangsung dengan harmonis

serta Penggugat masih dalam kondisi sehat wal afiat tanpa kurang sesuatu apapun

sehingga masih mampu memenuhi segala kebutuhan suami (Tergugat I) dan juga

siap dalam mendidik anak-anak namun tanpa setahun dan tanpa seizin Penggugat

ternyata pada bulan April 2005 Tergugat I telah melangsungkan perkawinan

dengan Tergugat II Penggugat tidak terima adanya pernikahan antara Tergugat I

dan Tergugat II, karena tanpa izin dari penggugat.

b. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjungkarang Nomor

:157/Pdt.G/2006/PA. Tnk, pernikahan tersebut tidak sah dikarnakan adanya

pemalsuan identitas oleh Tergugat I dengan status duda, sedangkan Tergugat I

masih mempunyai hubungan suami istri yang sah, dengan penggugat. Selain itu

Tergugat I juga tidak ada persetujuan dari istri yang sah (Penggugat), yang diatur

59
dalam pasal 5 ayat (1). Pertimbangan hakim dengan mengabulkan gugatan

Penggugat dalam Konpensi dan membatalkan perkawinan Tergugat I dalam

Konpensi dengan Tergugat II dalam Konpensi, serta Akta Nikah Nomor

258/40/IV/2005 tanggal 25 April 2005 yang dicatat oleh KUA Kecamatan Tanjung

Karang Timur tidak berkekuatan hukum dan tidak mengikat.

c. Akibat hukum pembatalan perkawinan dalam putusan Pengadilan Agama Nomor

157/Pdt.G/2006/PA.Tnk, akibat hukumnya adalah batalnya perkawinan dan

Tergugat dapat mengajukan upaya hukum lain yaitu banding.pembebanan biaya

perkara dalam perkara perkawinan dibebankan kepada pemohon/Penggugat, hal

ini sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006. Sedangkan pada perkara selain perkara

perkawinan, pembebanan biaya perkara dibebankan kepada pihak yang

dikalahkan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pertimbangan Hakim dalam

perkara tersebut telah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

5.2 Saran

1. Bagi KUA harus lebih selektif lagi dalam member izin pihak yang ingin menikah

kembali ( Poligami ) karena bila KUA kurang selektif dalam memberi izin, maka

akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan seperti dalam kasus ini seseorang yang

ingin menikah lagi ternyata orang tersebut sudah mempunyai istri. Seperti dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat ( 1 ) intinya menyatakan

“Untuk dapat beristri lebih dari satu harus ada persetujuan dari istri yang sah.

60
2. Segala Putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, serta

memuat Pasal-pasal tertentu dan peraturan-peraturan atau sumber hukum tak

tertulis dijadikan dasar untuk mengadili, jadi setiap Hakim dalam mengambil

Putusan harus adil karna merupakan tanggung jawab hakim dan tanggung jawab

kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Putusan Pengadilan sangat baik dan tepat, karena Hakim sudah memberikan

keputusan yang tepat dan sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 22

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 “ Perkawinan dapat dibatalkan apabila para

pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan “

61
DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,


Bandung, 1990.

----------------, Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Muhammad Ramulyo Idris, Hukum Perkawinan Islam, Penerbit Bumi Aksara,

Jakarta, 1996.

M. Yahya Harahap, Kedudukan Dan Acara Peradilan Agama – UU No.7 Tahun

1989, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993.

Ridwan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2000.

B.UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAIN

a. Undang-Undang Dasar 1945

b. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama

c. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

d. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam

62
e. IndonesiaUndang-Undang No. 48 Tahun 2009 perubahan atas Undang-

Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik

Indonesia

C.SUMBER LAIN

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kamus Hukum

63

Anda mungkin juga menyukai