Anda di halaman 1dari 7

TUGAS SISTEM KADASTRAL

KASUS PERTANAHAN

Oleh:

MELINDA ALAMSYAH 16/395030/TK/44322

NAFISA ANDIKA PUTRI 16/395032/TK/44324

SEPTI PRAJA ABDIANA 16/395044/TK/44336

PROGRAM STUDI TEKNIK GEODESI


DEPARTEMEN TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2019
1. Penerapan Batas Maksimum Kepemilikan Tanah Terhadap Luas Tanah Pertanian
pada Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Selatan
Pulau Sebesi dan Sebuku merupakan suatu pulau yang terletak di Kabupaten
Lampung Selatan Propinsi Lampung. Pulau ini sangat strategis letaknya dimana dekat
dengan gunung merapi anak gunung Krakatau, pulau sebesi dan sebuku merupakan pulau
tempat persinggahan apabila kita ingin mengunjungi atau berwisata ke anak gunung
merapi Krakatau. Sebuah pulau yang sangat strategis tempatnya saat ini telah menjadi
tempat sekelompok orang untuk bertahan hidup dimana pulau tersebut telah dihuni oleh
banyak orang atau masyarakat dari berbagai daerah dengan budaya yang berbeda beda
bahkan pulau sebesi telah banyak didirikan bangunan rumah yang berdiri diatas pulau
yang sangat luas tersebut. (Muharam, 2015)
Pulau sebesi yang kepemilikan dan penguasaannya berasal dari satu orang maka
berdasarkan UndangUndang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian, pulau sebesi dan sebuku ditetapkan sebagai obyek landreform oleh pemerintah
guna terciptanya tertib administrasi petanahan dibidang kepemilikan dan penguasaan atas
tanah. Jeje Fahrudin selaku Kepala Subseksi Landreform pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Lampung Selatan, pulau Sebesi dan Sebuku merupakan pulau yang
mempunyai luas + 3.707,25 Ha yang kepemilikannya dimiliki oleh seseorang bernama
M. Saleh Ali. Kepemilikan tanah yang luasnnya sangat luas itu yang mencakup satu
pulau dimiliki oleh M. Saleh Ali berdasarkan salinan S. HOES ARREST (Keputusan
Mahkmah Agung) ddo 6 Agustus 1936 Nomor 6350 dan salinan Verklaring Nomor 2
ddo 21 Desember 1936. Melihat kondisi kepemilikan tanah yang yang dikuasai oleh
seseorang telah mencapai batas maksimum dan berdasarkan per mohonan M.Saleh Ali
kepada menteri Agraria maka pulau sebesi dan sebuku dijadikan obyek landreform dan
akan dilakukan pembagian tanah kepada para penggarap atau masyarakat yang berada
dan bertempat tinggal di pulau sebesi dan sebuku yang dalam hal ini merupakan upaya
pelaksanaan daripada program landreform, pembagian tanah yang akan dilakukan setelah
adanya ganti kerugian kepada pemilik pulau sebesi dan sebuku sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kepemilikan tanah yang telah melebihi batas maksimum sebagaimana diatur oleh
peraturan perundang-undangan tidak diperkenankan, mengingat tanah merupakan
sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia sehingganya
Negara mempunyai kewajiban untuk menertibkan nya, dalam hal ini diwakil kan oleh
pemerintah tingkat daerah. Pulau sebesi dan sebuku yang mempunyai luas sangat luas
yang kepemilikannya dimiliki oleh satu orang merupakan tanah yang telah melebihi
batas maksimum kepemilikan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundangan,
sehingga dalam hal ini Negara wajib untuk menertibkan kepemilikan tanah tersebut
untuk dapat diperuntukkan kepada masyarakat yang kurang mampu dalam hal ini para
petani yang telah menggarap diatas tanah tersebut atau pulau sebesi dan sebuku, hal ini
dilakukan agar semua element masyarakat dapat melangsung kan hidupnya, dan dapat
menikmati kekayaan sumber daya alam yang berupa tanah.
Penetapan pulau Sebesi dan Sebuku merupakan obyek landreform didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang mana dituangkan dalam Pasal 1
Ayat (1) yang berbunyi “Seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya
merupakan satu keluarga bersama-sama hanya di perbolehkan menguasai tanah
pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain atau pun miliknya sendiri
bersama kepunyaan orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum
sebagai yang ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini”.
Penetapan pulau sebesi dan sebuku menjadi obyek landreform merupakan salah
satu langkah pemerintah untuk dapat menertibkan kepemilikan dan penguasaan tanah
yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok dan golongan dalam jumlah yang sangat
luas, hal ini dilakukan demi terwujudnya kehidupan yang sejahtera dan keadilan dalam
masyarakat, dimana kekayaan alam tidak hanya dinikmati oleh satu orang atau kelompok
dan golongan tertentu melainkan dapat dirasakan oleh semua masyarakat khusunya
masyarakat yang tingkat perekonomiannya masih bersandar pada bidang pertanian dan
masih dapat dikatakan mempunyai ekonomi yang rendah dalam hal pendapatan yang
digunakan untuk dapat bertahan hidup.
Tanah yang merupakan obyek landreform dikuasai langsung oleh Negara
sebagaimana yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agraria Nomor Sk.
509/Ka/1961 tentang Pernyataan Penguasaan Oleh Pemerintah Atas Bagian-Bagian
Tanah Yang Merupakan Kelebihan Dari Luas Maksimum Sub I yang berbunyi
“Menyatakan bagian-bagian tanah yang merupakan kelebihan dari luas maksimum
sebagian tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Pemerintah”. Tanah-tanah
kelebihan maksimum yang merupakan obyek landreform yang dikuasai langsung oleh
Negara bertujuan untuk mengatur bagaimana cara pembagian tanah-tanah kelebihan
maksimum tersebut kepada para calon penerima tanah yaitu penggarap dan
memberitahukan kewajibankewajiban para calon peneriman tanah apa yang harus
dilakukan terhadap tanah tersebut
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinalisis bahwa penerapan batas maksimum
kepemilikan tanah khususnya tanah pertanian di Kabupaten Lampung Selatan telah
sesuai dengan peraturan perundanganundangan yang berlaku yaitu UndangUndang
Nomor 56 Prp Tahun 1961 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dimana salah
contoh penetapan batas maksimum kepemili kan tanah ialah pulau sebesi dan sebuku
dijadikan obyek landreform, dimana penetapan pulau sebesi dan sebuku menjadi obyek
landreform berdasarkan laporan pemilik tanah / pulau kepada Menteri Agraria melalui
Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Selatan. Pulau sebesi dan sebuku yang
mempunyai luas + 3.707,25 Ha dijadikan obyek landreform dikarenakan , kepemilikan
dan penguasaan terhadap pulau sebesi dan sebuku itu dimiliki oleh satu
orang/keluarga, kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut telah melebihi batas
maksimum kepemilikan tanah khusunya untuk tanahpertanian sehingga Negara
mengambil alih kepemilikan dan penguasaan tanah / pulau sebesi dan sebuku untuk
diredistibusikan kepada para penggarap tanah tersebut sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Muharam, N. (2015). ANALISIS PENERAPAN BATAS MAKSIMUM KEPEMILIKAN


TANAH TERHADAP LUAS TANAH PERTANIAN (Studi Kasus Pada Kantor
Pertanahan Kabupaten Lampung Selatan).

2. Sertifikat Ganda/Overlapping Di Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo


Permasalahan sertifikat ganda ini terjadi di Desa Pucagan, Kecamatan Kartasura,
Kabupaten Sukoharjo. Permasalahan ini mengenai penguasaan dan pemilikan atas satu
bidang tanah dengan sertifikat yang dimiliki oleh dua orang yang berbeda. Bp. Suradji
memiliki sebidang tanah dengan sertifikat Hak Milik No. 1895 atas nama Suradji terletak
di Desa Pucangan, Kecamatan Kartasura, kabupaten Sukoharjo luas 322 m2 diperoleh
berdasarkan Akta Jual Beli No. 309/2013 tanggal 31 Juli 2013 yang dibuat oleh Seno
Budi Santoso, SH selaku PPAT di Sukoharjo. Kemudian, didapati tanah yang tercatat
dalam sertipikat HM No. 1895 telah terbit juga dalam sertipikat HM No. 3941 atas nama
Elly Purwanto.
Penyelesaian sengketa tersebut dikoordinasi oleh Kepala Seksi Sengketa Konflik
dan Perkara Pertanahan dengan mediasi. Penyelenggara Mediasi diatur berdasarkan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 34 Tahun 2007
tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan yaitu
Petunjuk Teknis Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Mediasi. Mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih
melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki
kewenangan memutus. Pihak netral tersesebut disebut mediator dengan tugas
memberikan bantuan prosedural dan substansial. Adapun prosedur penyelesaian sengketa
tanah sertifikat ganda antara lain:
a. Pengaduan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo mengenai objek tanah
yang disengketakan. Kemudian, seksi bagian tata usaha membuat surat rekomendasi
yang ditujukan kepada seksi sengketa, konflik, dan perkara pertanahan guna untuk
melanjutkan penanganan masalah tersebut.
b. Pemanggilan terhadap para pihak yang bersengketa. Kepada seksi sengketa, konflik
dan perkara pertanahan untuk membuat surat pemanggilan kepada para pihak yang
bersengketa guna akan diadakannya mediasi.
c. Setelah mediasi yang dilakukan berhasil dan mencapai kesepakatan bersama maka
dibuatlah Berita Acara Mediasi oleh Mediator. Berita Acara Mediasi ini adalah Surat
Pernyataan Perdamaian yang disetujui dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Kesepakatan mediasi adalah kesepakatan yang dicapai para pihak dengan bantuan
mediator. Mediasi akan berkekuatan hukum tetap dan mengikat setelah kesepakatan
tersebut dituangkan dalam bentuk akta perdamaian. Namun dalam hal ini kesepakatan di
tuangkan dalam Berita Acara Penyelesaian Sengketa sebagai bukti bahwa sengketa telah
diselesaikan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo.

3. Sengketa Perebutan Lahan Puncak Tomia oleh Kelurahan Tongano dan Desa
Kahianga (Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi)
Sampai saat ini, sengketa antara Kelurahan Tongano dan Desa Kahianga masih
belum menemui titik temu. Sengketa ini kaitannya dengan perebutan salah satu lokasi
wisata paling terkenal di Pulau Tomia yaitu Puncak Tomia. Puncak Tomia ini merupakan
salah satu destinasi wisata yang letaknya memang berada di antara Kelurahan Tongano
dan Desa Kahianga. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari wawancara terhadap
beberapa warga lokal, sengketa ini dimulai akibat Puncak Tomia yang mulai terkenal dan
mulai dikomersilkan, namun sampai saat ini, masih belum jelas siapa pemilik sah dari
lahan yang dibuka menjadi Puncak Tomia tersebut. Hal ini diakibatkan karena masih
banyak tanah di Pulau Tomia yang masih belum terdaftar secara resmi di Badan
Pertanahan Daerah dan belum memiliki sertifikat.
Kebanyakan tanah di Pulau Tomia masih merupakan tanah adat yang sifatnya
turun temurun dan masih menganut pada hukum adat. Namun seiring berjalannya waktu,
hukum adat dan garis keturunan pewaris tanah semakin tidak jelas. Hal ini
mengakibatkan banyak pihak yang mengclaim haknya terhadap tanah di Puncak Tomia,
terutama oleh warga Kelurahan Tongano. Menurut cerita, dulunya tanah di Puncak
Tomia ini dihuni oleh nenek moyang warga kelurahan Tongano. Karena jaman dahulu
masih belum ada sistem pengairan yang baik, maka lambat laut orang yang tinggal di
Puncak Tomia itu mulai turun dan tinggal di pesisir pantai sehingga terbentuklah hunian
di Kelurahan Tongano sekarang ini. Dengan mengacu pada hukum adat, maka
Keluarahan Tongano mengclaim bahwa tanah di Puncak Tomia adalah milik Kelurahan
Tongano karena merupakan warisan dari nenek moyang.
Namun beda halnya dengan Desa Kahianga yang mengacu pada zona batas desa
yang ada, bahwa lahan Puncak Tomia merupakan milik Desa Kahianga secara batas
administrasi.. Namun ketika ditilik kembali ke lapangan, tidak terdapat patok batas desa
yang jelas yang memisahkan Kelurahan Tongano dan Desa Kahianga sehingga warga
Kelurahan Tongano menganggap bahwa peta batas administrasi yang menjadi acuan
Desa Kahianga tidak valid. Namun jika dibandingkan secara jarak memang lokasi
Puncak Tomia jauh lebih dekat dengan Desa Kahianga daripada ke Kelurahan Tongano,
namun hal ini juga tidak dapat menjadi parameter penentu.
4. Pembebasan Lahan Proyek Kereta Api (KA) Bandara Adi Soemarmo
Pemerintanh Kota (Pemkot) Solo menargetkan, seluruh proses pembebasan untuk
proyek Kereta Api (KA) Bandara Adi Soemarmo Surakarta agar rampung pada
Desember 2018. Pada Kamis, November 2018 terdapat 6 warga dari total 14 warga
pemilik lahan yang sudah menyetujui dan mengambil uang ganti rugi pembebasan lahan
di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta terkait pembebasan lahan proyek jalur KA Bandara
Adi Soemarmo Surakarta. Hingga tertanggal Selasa, 20 Agustus 2019 masih ada
sedikitnya 10 lahan milik warga di Kecamatan Ngemplak Boyolali yang belum berhasil
dibebaskan. Sehingga target pengoperasian kereta api yang menghubungkan Bandara
Internasional Adi Soemarmo dengan Stasiun Solo balapan tahun ini belum bisa
dipastikan.
Saat ini proses pembangunan jalur kereta bandara sudah menyentuh angka 94%
dan dapat dipastikan bahwa upaya pembebasan lahan sudah rampung dilaksanakan.
Terdapat beberapa bagian tertentu yang belum terkoneksi yang dikarenakan terdapat
kendala dengan perlintasan jalan tol. Pembebasan lahan warga yang dinilai
membutuhkan waktu yang cukup lama dikarenakan terhalang oleh jeda adanya gelaran
pesta demokrasi yaitu Pilpres 2019. Pemerintah menggunakan metode persuasif dan juga
upaya ganti rugi kepada warga yang terdampak pembebasan lahan untuk jalur KA
Bandara Internasional Adi Soemarmo – Stasiun Solo Balapan.

Anda mungkin juga menyukai