DISUSUN OLEH
DOSEN PEMBIMBING
RAHMA YULIA,M.Farm.,Apt
2018.01.00.02.073
2019/2020
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penulisan
BAB II PEMBAHASAN
1. Kasus I
2. Kasus II
3. Kasus III
4. Kasus IV
5. Kasus V
6. Kasus VI
KATA PENGANTAR
Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa
dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami
meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang
berkenan. Serta tak lupa kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang
membangun dari Anda demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Rumusan masalah
a. Cerita di balik kasus yang terjadi pada beberapa kasus ?
b. Hukuman bagu pelaku atau pelanggar undang-undang ?
3. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui contoh kasus yang terjadi pada pelanggaran undang-
undang kefarmasian dan pasal-pasal yang terkait terhadap kasus tersebut.
BAB I
PEMBAHASAN
I. KASUS 1
Seorang pasien mendapat resep obat paracetamol generik, tetapi karena obat
paracetamol merek dagang Y jumlahnya digudang masih banyak dan kecendrungan
mendekati tahun ED, maka obat paracetamol generik didalam resep diganti dengan
obat Y yang kandungannya sama. Harga obat Y lebih mahal dibandingkan obat
generik, tetapi dengan informasi ke pasien bahwa efek obat Y lebih cepat maka
pasien menerimanya.
A. Identifikasi Masalah
1. Apotekker RS mengganti resep dengan obat Y yang harganya lebih mahal.
2. Apotekker RS melakukan kebohongan kepada pasien.
3. Apotekker RS ada kemungkinan melakukan kesalahan pembelian obat Y
sehingga stok berlebih bahkan mendekati ED atau kemungkinan
mempunyai kerja sama dengan produsennya.
4. Apotekker RS hanya mempertimbangkan keseimbangan stok obat tanpa
mempedulikan kondisi pasien.
II. KASUS 2
Yang kedua adalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF
(Pedagang Besar Farmasi), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama
yang diwakili oleh Indra agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui
prosedur normal. Dari sini, dapat ditemukan titik pelanggaran yang dilakukan.
Namun tentunya akan terasa tidak akurat bila kita menyimpulkan hal tersebut
sebagai sebuah pelanggaran tanpa adanya dasar.
Peraturan ini juga mengatur tentang Komite Farmasi Nasional (KFN). KFN adalah
lembaga yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk
meningkatkan mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian
b. Pasal 14 UU 5/99
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain yang
bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun
tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat”.
c. Pasal 15 ayat 3
Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF,
sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ
PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes
889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh
untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA
atau SIKA untuk satu tempat saja. Bukan boleh memiliki SIPA dan SIKA untuk
satu tempat kerja. Berbeda maknanya kalau begitu.
Dengan begini sudah jelas apa dasar dari perbuatan pelanggaran tersebut. Sekarang
kenapa hal tersebut bisa terjadi, memiliki dua izin sekaligus? Yang bisa menjawab
adalah pihak Dinkes Kab/Kota, Dinkes Provinsi, dan BPOM; karena merekalah
yang terlibat dalam proses penerbitan perizinan tersebut. Hal ini merupakan solusi
terhadap pelanggaran jenis ini. Namun bila pihak terkait telah dimintai keterangan
tetapi tidak menanggapi dengan benar, bisa kita lanjutkan permasalahan ini ke
OMBUDSMAN.
Jadi untuk masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan
PBF. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU No. 5 tahun 1999.
Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku
usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai
produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang
ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari pengolahan
atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat
terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.
Sebenarnya untuk sebuah kasus yang melibatkan sebuah perjanjian, kita harus
menyimak benar-benar isi dari perjanjian tersebut. Tapi disini kita bisa berpatokan
pada suatu kenyataan yang kita ketahui, yaitu ada perjanjian antara Apotek dan PBF
berupa fee bagi apoteker, dimana Apotek dan PBF merupakan bagian dari proses
penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah
sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut
dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee
tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat.
Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa
integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila keseluruhan dokumen
diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat.
Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam
pasal 15 ayat (3).
III. KASUS 3
A. Permasalahan Kasus
1. Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga
Teknis Kefarmasian di sektor pelayanan,apa yang seharusnya dilakukan
anda sebagai TTK pada saat bekerja di Apotek KN tersebut dan ternyata
dalam perjalannya Apotek tersebut kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas ?
2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di
apotek tersebut langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk
menyelesaikan masalah di atas ?
Pasal 1
(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik
dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum.
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata
cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh
Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen
yang sah.
Pasal 43
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan
hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep
dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.
Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan
berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan
administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan,
dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan
Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang
tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
C. Pembahasan Kasus 2
Obat-obat narkotika dan psikotropika tidak boleh diserahkan atau diberikan
tanpa adanya resep dari dokter, apapun keadaannya. Sesuai dengan standar
pelayanan kefarmasian di apotek yang slah satunya adalah penyerahan obat,
yaitu penyerahan obat bisa dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
beserta sumpah dan kode etik yang mencakup bahwa kita tidak boleh
merugikan, memperburuk keadaan serta hal yang dapat menganggu kesehatan
pasien dan masyarakat.
Sebagai TTK, tentu saja kita pasti sudah tau bahwa obat psikotropik dan
narkotika tidak bisa kita serahkan tanpa adanya resep dari dokter, dan jika
terjadi kesalahan dalam apotik tersebut yaitu memberikan obat psikotropik
dengan cara bebas, otomatis kita sebagai TTK sudah tahu kesalahan kita sendiri,
maka yang perlu kita lakukan adalah bertanggung jawab dengan cara
melaporkan kepada Apoteker penanggung jawab apotik atas kejadian tsb.
Kemudian apotekerlah yang menindaklanjuti permasalahan itu dan melaporkan
ke dinas kesehatan.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat
dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi
administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/
1993 adalah:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut
dengan tenggang waktu masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan
sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan
pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek
tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan
dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah
dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat
pelanggaran terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang
pertama adalah jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil
tindakan sesuai dengan keputusan bersama apoteker, karna sebagian besar PSA
hanya sebagai pemilik usaha dengan modal yang besar, maka PSA mungkin
saja tidak mengetahui tentang prosedur farmasi yang ada di apotik tersebut.
Yang kedua jika PSA sekaligus sebagai TTK, jika PSA sekaligus menjadi TTK
di apotik tersebut, maka dia harus tahu hal yang bersangkutan dengan
penyerahan obat, misalnya penyerahan psikotropika yang tidak bisa diserahkan
tanpa resep dokter, dan kesalahan yang terjadi yaitu penyerahan obat
psikotropik secara bebas, jika TTK sudah tahu akan undang undang tentang
penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan terjadi, sekarang yang menjadi
pertanyaan juga adalah apa alasan TTK memberikan obat psikotropik secara
bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu tidak boleh diberikan, apakah dengan
sekaligus menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan penjualan apotik atau
karna kesalahan yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal
yang harus dilakukan adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual
obat tersebut dan melaporkannya kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh
apoteker.
IV. KASUS 4
PSA menjual psikotropika dan pada saat membuat laporan bekerja sama dengan
dokter untuk membuatkan resep.
Pembahasan:
c. Sanksi Hukum:
1. Undang-undang No. 5 tahun 1997
Pasal 60 ayat 1c :
Barangsiapa memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa
obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 196 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standart dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
4. Psikotropika
a) UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 14 ayat 4
Kesimpulan :
Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Apoteker Pengelola Apotek
dapat dijadikan tersangka karena telah melangar undang-undang yang belaku.
Selain itu sebagai Apoteker Pengelola Apotek juga tidak mengawasi penjualan obat
keras, karena obat-obat keras tersebut diperjualbelikan secara bebas. Sebagai
penangung jawab apotek juga menerima atau mengedarkan obat-obat impor yang
tidak memiliki ijin edar dan mengandung golongan obat psikotropika dan narkotika.
V. KASUS 5
Kasus Pelanggaran Apotekker
Ada salah satu apotek di daerah X yang didirikan oleh seorang apoteker dengan
surat izin praktek yang mengatasnamakan namanya, sebut saja apotek A dengan
APA apoteker S. Selama ini Apoteker S bekerja di salah satu perusahaan besar
farmasi d Y. Di apoteknya tersebut juga hanya terdapat 1 tenaga kerja yang
bukan seorang apoteker yang secara penuh mengerti tentang obat, bahkan tak
jarang ketika penjaga apotek tersebub tidak datang, penyerahan obat kepada
pasien diserahkan langsung oleh keluarga dari apoteker tersebut yang sama
sekali tidak memiliki kewenangan untuk menyerahkan obat kepada pasien. Tak
jarang karena kurang mengerti tentang obat, apotek tersebut menjual secara
bebas obat-obat keras yang diminta pasien tanpa resep dokter, seperti pembelian
antibiotik yang permintaannya di masyarakat masih sangat tinggi. Belum
diketahui secara jelas alasan apoteker tersebut belum melepas apotek tersebut
dan mencarikan 2 apoteker sebagai penanggung jawab apotek, bukan dijaga
oleh Aping atau AA.
Kebanyakan apotek di daerah sendiri khususnya hanya sebatas mengambilkan
obat, kemudian menyerahkanya kepada pembeli dan menyuruhnya untuk
membayar.
A. Permasalahan
1. Apoteker S bekerja sebagai tenaga kerja di suatu perusahaan farmasi di
Y
2. Apoteker tersebut sebagai pemilik apotek di daerah X yang sekaligus
sebagai APA apotek tersebut.
3. Apotek tersebut tidak memiliki apoteker,yang terlihat di apotek tersebut
hanya ada 1 tenaga yang memberikan pelayanan sekaligus sebagai kasir
di apotek tersebut.
4. Apotek melayani secara bebas obat-obat keras yang di beli tanpa
menggunakan resep dari dokter.
3. PeraturanPemerintahNo.51Tahun2009TentangPekerjaanKefarmasian
Pasal 1
“Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat di lakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker”.
Pasal 20
“Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian,
Apoteker dapat di bantu oleh Apoteker pendamping dan Tenaga Teknis
Kefarmasian”
Pasal 21
‘’Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian,
Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
“Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh Apoteker”.
Pasal 51
“Pelayanan Kefarmasian di Apotek,puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit
hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”
VI. KASUS 6
Kasus Farmasi Forensik
Seorang warga Tegal, Jawa Tengah tewas diduga akibat mal praktek saat
dirawat dirumah sakit. Korban diberi cairan infus yang sudah kadarluasa
saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal sehingga
kondisinya terus memburuk dan akhirnya tewas. Sementara itu pihak
Rumah Sakit Mitra mengatakan, pemberian infus kadarluasa tersebut bukan
merupakan kesengajaan.
Suryono, warga Surodadi, Tegal Jawa Tengah meninggal selasa (25/03/08)
kemarin, di Rumah Sakit Harapan Anda Tegal. Tangis keluarga korban pun
tak terbendung saat mengetahui korban meninggal dunia. Istri korban Eka
Susanti bahkan berkali-kali tak sadarkan diri. Salah satu keluarga korban
berteriak-teriak histeris sambil menunjukkan sisa infus kadarluasa yang
diberikan ke korban saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga
Tegal sabtu pekan lalu tempat sebelumnya korban dirawat.
Pada kemasan infus tertera tanggal kadarluasa 14 Januari 2008. Keluarga
korban menuding pemberian infus kadarluasa inilah yang menyebabkan
korban meninggal. Pihak Rumah Sakit dinilai teledor karena memberikan
infus yang sudah kadarluasa.
Menurut keluarga korban, sejak diberi infus kadarluasa, kondisi korban
terus memburuk. Korban yang menderita gagal ginjal awalnya dirawat di
RS Mitra Siaga Tegal selama 10 hari. Karena tak kunjung sembuh, pihak
keluarga memustuskan merujuk korban ke RSI Islam Harapan Anda Tegal.
Korban langsung menjalani perawatan di ruang ICU. Namun tiga hari
menjalani perawatan di ICU kondisi korban terus memburuk, hingga
akhirnya meninggal dunia.
Direktur Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal, Dokter Wahyu mengatakan tidak
ada unsur kesengajaan dalam kasus infus kadarluasa yang diberikan kepada
pasien, namun pihaknya mengakui insiden ini menunjukkan adanya
kelemahan monitoring logistik farmasi. Meski belum dapat dipastikan
meninggalnya korban akibat infus kadarluasa, pihaknya akan menjadikan
kasus ini sebagai evaluasi untuk memperbaiki monitoring logistik farmasi.
Sementara itu keluarga korban mengaku tetap akan menuntut
pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit atas terjadinya kasus ini. Pasalnya
tidak saja telah kehilangan nyawa, namun keluarga korban tetap harus
membayar biaya pengobatan sebesar 7 juta rupiah.
A. Pembahasan
Banyaknya kasus malpraktek di Indonesia menunjukkan kelemahan
sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Kasus diatas merupakan
kesalahgunaan obat (drug missuse) yang disebabkan oleh oleh
ketidaktelitian pengawasan obat di rumah sakit. Pihak yang bertanggung
jawab atas kasus ini adalah dokter, perawar dan seorang farmasi.
Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi 3 (1979), infus intravenus
adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen, dan
sedapat mungkin dibuat isotonus terhadap darah, disuntikkan langsung
kedalam vena dalam volume relatif banyak. Kecuali dinyatakan lain,
infus intranvena tidak diperbolehkan mengandung bakterisida dan zat
dapar. Larutan untuk intravenus harus jernih dan praktek bebas partikel.
Contoh cairan yang diberikan melalui intravena adalah nutrisi
(dekstrosa, HCL, albumin), menjaga keseimbangan elektrolit (larutan
ringer), untuk cairan pengganti (kombinasi dekstrosa dan NaCl), dan
untuk tujuan khusus. Jenis cairan infus dibagi menjadi tiga, yaitu cairan
infus hipotonik, cairan infus isotonik , dan cairan infus hipertonik.
Cairan infus hipotonik adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih
rendah dibandingkan serum , sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum.
Cairan infus isotonikadalah cairan infus yang osmolaritas cairannya
mendekati serum, sehingga terus berada didalam pembuluhdarah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi.
Bagaimanapun sesuai dengan SK Menkes Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit,
seorang farmasi RS bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi
yang beredar di rumah sakit tersebut dengan salah satu tugas pokok
menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
(Menkes, 2009).
Namun, apabila hasil pemeriksaan medis diketahui bahwa penyebab
kematian korban bukan disebabkan oleh infus kadarluasa, akan tetapi
karena penyakit gagal ginjal kronis, maka seorang farmasis RS tidak
dapat disalahkan dalam kasus tersebut.
B. Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tantang Pekerjaan Kefarmasian
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
4. Kode Etik Apoteker Indonesia