Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

STUDI KASUS PELANGGARAN UNDANG-UNDANG KEFARMASIAN

DISUSUN OLEH

DOSEN PEMBIMBING

RAHMA YULIA,M.Farm.,Apt

Tessy Puspita Sari

2018.01.00.02.073

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MOHAMMAD NATSIR BUKITTINGGI

2019/2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
2. Rumusan masalah
3. Tujuan penulisan

BAB II PEMBAHASAN

1. Kasus I
2. Kasus II
3. Kasus III
4. Kasus IV
5. Kasus V
6. Kasus VI
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan


yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan,
kesempatan serta pengetahuan sehingga makalah kasus pelanggraan undang-
undang kefarmasian ini bisa selesai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah


pengetahuan rekan-rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya
tentang kasus pelanggaran undang-unang kefarmasian bagian dari pelajaran
undang-undang dan etika farmasi.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa
dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami
meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang
berkenan. Serta tak lupa kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang
membangun dari Anda demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Payakumbuh,10 November 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dalam membahas Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tanggapan


kesusilaan atau etis, yaitu sama halnya dengan berbicara moral (mores). Manusia
disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat
hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya, dan antara sebagai makhluk
berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk didalamnya membahas nilai-nilai
atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika.

Profesi adalah aktivitas intelektual yang dipelajari termasuk pelatihan yang


diselenggarakan secara formal ataupun tidak formal dan memperoleh sertifikat
yang dikeluarkan oleh sekelompok / badan yang bertanggung jawab pada keilmuan
tersebut dalam melayani masyarakat, menggunakan etika layanan profesi dengan
mengimplikasikan kompetensi mencetuskan ide, kewenangan ketrampilan teknis
dan moral serta bahwa perawat mengasumsikan adanya tingkatan dalam
masyarakat.

Seiring dengan perkembangan zaman semakin banyak pelanggaran kode etik


oleh sebagian besar profesi terutama profesi kesehatan. Dan karena adanya
perubahan Globalisasi yang sering bisa membuat Profesi menjadi tidak berjalan
semestinya sebab kalau seorang Profesi tidak mengikuti perkembangan Globalisasi
maka dia akan tidak percaya diri untuk menjalankan Profesinya tersebut.

2. Rumusan masalah
a. Cerita di balik kasus yang terjadi pada beberapa kasus ?
b. Hukuman bagu pelaku atau pelanggar undang-undang ?

3. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui contoh kasus yang terjadi pada pelanggaran undang-
undang kefarmasian dan pasal-pasal yang terkait terhadap kasus tersebut.
BAB I

PEMBAHASAN

I. KASUS 1

Kasus Pelanggaran Kode Etik Apotekker di Rumah Sakit

Seorang pasien mendapat resep obat paracetamol generik, tetapi karena obat
paracetamol merek dagang Y jumlahnya digudang masih banyak dan kecendrungan
mendekati tahun ED, maka obat paracetamol generik didalam resep diganti dengan
obat Y yang kandungannya sama. Harga obat Y lebih mahal dibandingkan obat
generik, tetapi dengan informasi ke pasien bahwa efek obat Y lebih cepat maka
pasien menerimanya.

A. Identifikasi Masalah
1. Apotekker RS mengganti resep dengan obat Y yang harganya lebih mahal.
2. Apotekker RS melakukan kebohongan kepada pasien.
3. Apotekker RS ada kemungkinan melakukan kesalahan pembelian obat Y
sehingga stok berlebih bahkan mendekati ED atau kemungkinan
mempunyai kerja sama dengan produsennya.
4. Apotekker RS hanya mempertimbangkan keseimbangan stok obat tanpa
mempedulikan kondisi pasien.

B. Dasar Hukum yang digunakan Apotekker tersebut (Peraturan Perundangan


51/2009)
Pasal 24
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apotekker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien yang sama komponen akurnya atau obat
merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien
Diskusi
Berdasarkan pasal tersebut maka apotekker tersebut tidak salah, tetapi
menjadi salah karena landasan dasar yang digunakan dalam mengganti obat
bukan karena stok kosong tapi karena jumlah obat Y berlebih digudang dan
mendekati waktu ED serta ada kemungkinan kerja sama antara apotekker
dengan produsen obat tersebut.

C. Solusi dari kasus


Apotekker tidak seharusnya melakukan kebohongan kepada pasien dengan
mengganti obat dalam resep dengan alasan efek obat lebih cepat, padahal hanya
karena stok obat pengganti berlebih dan mendekati ED. Masalah tersebut
harusnya dilakukan investigasi terkait penyebab jumlah obat yang masih
banyak digudang dan melaporkannya dalam rapat Komite Farmasi dan Terapi
(KFT).

II. KASUS 2

Praktek Monopoli dibidang Farmasi.

Sebagai seorang yang berkecimpung didunia kesehatan terutama seorang ahli


farmasi, maka banyak sekali pilihan dunia kerja yang bisa kita pilih dan tekuni.
Alam kasus ini , Indra yang bekerja di apotek “AA” sebagai APA (apoteker
Pengelola Apotek” dan hanya datang ke apotek AA satu kali seminggu untuk
memeriksa dan mengkontrol apotek tersebut. Namun di sisi lain , Indra juga
menjadi Penanggung Jawab (PJ) pada Pedagang Besar Farmasi C. Sedangkan
,diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu
fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA) dan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk bekerja di dua tempat
yang berbeda , hanya untuk satu tempat dan satu profesi saja.

Yang kedua adalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF
(Pedagang Besar Farmasi), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama
yang diwakili oleh Indra agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui
prosedur normal. Dari sini, dapat ditemukan titik pelanggaran yang dilakukan.
Namun tentunya akan terasa tidak akurat bila kita menyimpulkan hal tersebut
sebagai sebuah pelanggaran tanpa adanya dasar.

A. Jenis Pelanggaran yang dilakukan


Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut, berikut
permasalahan yang dilakukan :
1. Yang pertama adalah masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A
menjadi APA ( Apoteker Pengelola Apotik ) di Apotek B dan juga sekaligus
menjadi PJ ( Penanggung Jawab ) di Pedagang Besar Farmasi C.
2. Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak
Apotek dan PBF (Pedagang Besar Farmasi ), dimana keduanya mengadakan
perjanjian kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding
melalui prosedur normal.
B. Dasar Hukum Pelanggaran
Dalam Studi kasus yang pertama perbuatan yang dilakukan oleh apoteker
merupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan
yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes No.889
Tahun 2011, Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999, Pasal 15 ayat (3).
a. Pasal 18 Permenkes 889/2011
Berikut ini ringkasan dari peraturan tersebut:
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang
melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga
Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga
Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker; Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan
kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi berupa: Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRK) yang dikeluarkan oleh Komite Farmasi
Nasional (KFN). Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK) yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
STRK dan STRKTT berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat
diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk
memiliki STRK meliputi:
- memiliki ijazah Apoteker
- memiliki sertifikat kompetensi profesi
- memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
- memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik; dan
- membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.

Persyaratan untuk memiliki STRKTT:

- memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya


- memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik
- memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau
organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
- membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.
Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan
kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti sosial harus
memiliki STRA Khusus yang dikeluarkan KFN dan berlaku selama 1 Tahun.

Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib


memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja yang dikeluarkan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Surat izin yang dimaksud berupa:

· Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)

· Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA)

· Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)

Peraturan ini juga mengatur tentang Komite Farmasi Nasional (KFN). KFN adalah
lembaga yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk
meningkatkan mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian

Peraturan Menteri ini mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


184/Menkes/Per/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin
Kerja Apoteker dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003
tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker. Keduanya dinyatakan tidak
berlaku sejak tanggal 3 Mei 2011.

b. Pasal 14 UU 5/99

Pasal 14 UU nomor 5 tahun 1999 mengenai integrasi vertikal berisi :

“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain yang
bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan
hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun
tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
dan atau merugikan masyarakat”.

c. Pasal 15 ayat 3

Ketentuan Pasal 15 Ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan


tertentu, yang mengikat pembeli supaya dia bisa memasok barang atau jasa dari
produsen dengan pemberian harga atau potongan harga yaitu melalui suatu
perjanjian eksklusif.
C. Pembahasan Pelanggaran Pertama

Pelanggaran yang pertama yaitu mengenai penanggung jawab. Diketahui bahwa


seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA),
yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi
teregistrasi sebagai salah seorang tenaga kefarmasian yaitu Apoteker. Disamping
STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan
kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan
apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Sedangkan Surat Izin
Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika melakukan praktek di fasilitas
produksi ataupun distribusi / penyaluran kefarmasian.

Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF,
sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ
PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes
889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh
untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA
atau SIKA untuk satu tempat saja. Bukan boleh memiliki SIPA dan SIKA untuk
satu tempat kerja. Berbeda maknanya kalau begitu.

Dengan begini sudah jelas apa dasar dari perbuatan pelanggaran tersebut. Sekarang
kenapa hal tersebut bisa terjadi, memiliki dua izin sekaligus? Yang bisa menjawab
adalah pihak Dinkes Kab/Kota, Dinkes Provinsi, dan BPOM; karena merekalah
yang terlibat dalam proses penerbitan perizinan tersebut. Hal ini merupakan solusi
terhadap pelanggaran jenis ini. Namun bila pihak terkait telah dimintai keterangan
tetapi tidak menanggapi dengan benar, bisa kita lanjutkan permasalahan ini ke
OMBUDSMAN.

D. Pembahasan Pelanggaran Kedua

Jadi untuk masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan
PBF. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU No. 5 tahun 1999.
Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku
usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai
produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang
ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari pengolahan
atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat
terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.

Sebenarnya untuk sebuah kasus yang melibatkan sebuah perjanjian, kita harus
menyimak benar-benar isi dari perjanjian tersebut. Tapi disini kita bisa berpatokan
pada suatu kenyataan yang kita ketahui, yaitu ada perjanjian antara Apotek dan PBF
berupa fee bagi apoteker, dimana Apotek dan PBF merupakan bagian dari proses
penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah
sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut
dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee
tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat.

Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa
integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila keseluruhan dokumen
diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat.
Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam
pasal 15 ayat (3).

Untuk solusinya sebaiknya gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha


(KPPU). Disini kita hanya melaporkan selengkapnya hal yang kita tahu saja, dan
akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan
kita, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan
tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan
penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan kepolisi yang belum tentu
kebenarannya lebih baik laporkan terlebih dahulu ke KPPU agar tidak terjadi
tuntutan balik karena salah paham. Pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan
denda minimal 25 milyar rupiah. Tentunya itu pidana pokoknya, selain itu pidana
juga harus membayar tindakan adminstratif dan pidana tambahan untuk pelakunya.

III. KASUS 3

Kondisi Pasien Apotek KN Memprihatinkan

Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan


psikotropika secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas /
lembaga yang berwenang.Kasat Narkoba Polresta Kompol Dodo Hendro Kusumo
mengatakan pasien di Apotek KN,Yogyakarta yang diserahkan ke Satnarkoba
Polresta Yogyakarta kondisinya memprihatinkan.Itu dapat dilihat salama
pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika.

Berdasarkan pemilahannya, mereka adalah korban psikotropika yang harus


disembuhkan,penderita suatu penyakit yang disarankan dokter melalui resep untuk
mengonsumsi dua jenis psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan
juga karena efek kecelakaan sehingga terkena sarafnya dan harus tergantung obat
tersebut.

Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya.Calmlet kerap


diberikan dokter sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah
stamina fisik agar lebih giat.Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk
penyalahgunaan.Dia mengacu pada UU No 5 tahun 1997 tentang
psikotropika,bahwa ketentuan pidana adalah penyalahgunaan.Sementara,para
pasien itu hanya sebagai orang yang mau menebus obat berdasarkan resep dokter (
Tribunjogja.com,Agustus 2012 )

A. Permasalahan Kasus
1. Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga
Teknis Kefarmasian di sektor pelayanan,apa yang seharusnya dilakukan
anda sebagai TTK pada saat bekerja di Apotek KN tersebut dan ternyata
dalam perjalannya Apotek tersebut kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas ?
2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di
apotek tersebut langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk
menyelesaikan masalah di atas ?

B. Dasar Hukum Pelanggaran


Dalam Studi kasus yang kedua perbuatan yang dilakukan oleh apotek
merupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan
yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan Pasal 24, Undang-undang No. 51Tahun 2009, Undang-
undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-undang No.
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1. UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

2. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat
di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang
sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama

Pasal 1
(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya
dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik
dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum.

Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek,
rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan
lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat,
menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan
dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata
cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh
Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen
yang sah.

Pasal 43
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan
hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep
dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.

3. PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian


Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
menigkatkan mutu kehidupan pasien.
Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang
Tenaga Teknis Kefarmasian (menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1332/MENKES/X/2002 adalah sebagai berikut:
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart
profesinya.
2. Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian
obat.
3. menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data
kesehatan pasien.
4. Melakukan pengelolaan apotek.
5. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.

Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Tknis


Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Mnengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Pelayanan Kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan bentuk tanggung
jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk
menigkatkan kualitas hidup pasien (Menkes RI,2004)

4. UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika


Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang
ini adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang
mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da
apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan
kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan,
puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan
balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilaksanakan dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) hanya dapat diperoleh darin apotek.
Pasal 36
(1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau
membawa psikotropika untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau
perawatan.
(2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempunyai bukti bahwa psikotropika yang dimiliki, disim-pan, dan/atau
dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan
berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan
administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas,
balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan,
dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan
Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang
tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang
tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan


dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan
dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara
paling lama (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna,
maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

C. Pembahasan Kasus 2
Obat-obat narkotika dan psikotropika tidak boleh diserahkan atau diberikan
tanpa adanya resep dari dokter, apapun keadaannya. Sesuai dengan standar
pelayanan kefarmasian di apotek yang slah satunya adalah penyerahan obat,
yaitu penyerahan obat bisa dilakukan oleh apoteker dan asisten apoteker disertai
pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.
beserta sumpah dan kode etik yang mencakup bahwa kita tidak boleh
merugikan, memperburuk keadaan serta hal yang dapat menganggu kesehatan
pasien dan masyarakat.
Sebagai TTK, tentu saja kita pasti sudah tau bahwa obat psikotropik dan
narkotika tidak bisa kita serahkan tanpa adanya resep dari dokter, dan jika
terjadi kesalahan dalam apotik tersebut yaitu memberikan obat psikotropik
dengan cara bebas, otomatis kita sebagai TTK sudah tahu kesalahan kita sendiri,
maka yang perlu kita lakukan adalah bertanggung jawab dengan cara
melaporkan kepada Apoteker penanggung jawab apotik atas kejadian tsb.
Kemudian apotekerlah yang menindaklanjuti permasalahan itu dan melaporkan
ke dinas kesehatan.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat
dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi
administratif yang diberikan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No. 922/ MENKES/ PER/ X/
1993 adalah:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut
dengan tenggang waktu masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan
sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan
pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek
tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan
dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah
dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat
pelanggaran terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang
pertama adalah jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil
tindakan sesuai dengan keputusan bersama apoteker, karna sebagian besar PSA
hanya sebagai pemilik usaha dengan modal yang besar, maka PSA mungkin
saja tidak mengetahui tentang prosedur farmasi yang ada di apotik tersebut.
Yang kedua jika PSA sekaligus sebagai TTK, jika PSA sekaligus menjadi TTK
di apotik tersebut, maka dia harus tahu hal yang bersangkutan dengan
penyerahan obat, misalnya penyerahan psikotropika yang tidak bisa diserahkan
tanpa resep dokter, dan kesalahan yang terjadi yaitu penyerahan obat
psikotropik secara bebas, jika TTK sudah tahu akan undang undang tentang
penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan terjadi, sekarang yang menjadi
pertanyaan juga adalah apa alasan TTK memberikan obat psikotropik secara
bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu tidak boleh diberikan, apakah dengan
sekaligus menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan penjualan apotik atau
karna kesalahan yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal
yang harus dilakukan adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual
obat tersebut dan melaporkannya kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh
apoteker.

D. Tenaga Teknis Kefarmasian


Tenaga kefarmasian (apoteker,analisis farmasi, asisten apoteker) Tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan /melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian/kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.
Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi
standar profesi dan menghormati pasien. Seseorang Asisten apoteker harus
berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik didalam lingkungan kerjanya,
bersedia menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya. Asisten apoteker
harus aktif mengikuti perkembangan perundang-undangan, juga menjadi
sumber informasi sesuai dengan profesinya dan hendaknya menjauhkan diri
dari usaha mencari keuntungan dirinya yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Setiap orang
berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan. Sedangkan asisten apoteker membentuk ikatan profesi yang
berwarna PRAFI ( Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) yang telah ada sebelum
ISFI ( ikatan sarjana farmasi Indonesia) didirikan.
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan
farmasi yang beredar.Pengamanan terhadap sediaan farmasi yang berupa
narkotika,psikotropika,obat keras dan bahan berbahaya,dilaksanakan secara
khusus sesuai UU yang berlaku. Pengamanan penggunaan bahan yang
mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perorangan,keluarga,masyarakat,dan lingkungannya.Bahan yang
mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan
kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya.
Produksi,peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif
harus memenuhi standard an atau persyaratan yang ditentukan.Penetapan
standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat
ditekan untuk mencegah beredarnya obat palsu.Penetapan persyaratan
penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan
mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain.

E. Kekeliruan Dalam Membaca Resep


Dahulu pedagang besar farmasi dilarang menyalurkan psikotropika tanpa
izin khusus dari Menteri Kesehatan , tetapi sejakdi sahkannya Undang-undang
RI nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika maka pedagang besar farmasi
yang menyalurkan psikotropika tidak memerlukan izin khusus lagi. Dalam
melayani resep seorang apoteker wajib :
Melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang
dilandasi pada kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberikan informasi:
a. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b. Penggunaan obat secara tepat , aman resional atas permintaan masyarakat.

Bila terjadi kekeliruan resep , hal ini diatur sebagai berikut :

1. Apabila apoteker mengganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan


atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan
kepada dokter penulis resep.
2. Apabila dalam hal dimaksud karena pertimbangan tertentu dokter penulis
resep tetap dalam pendiriaannya, dokter wajib menyatakan secara tertulis
atau membubuhkan tanda tangan nya yang lazim atas resep.

IV. KASUS 4
PSA menjual psikotropika dan pada saat membuat laporan bekerja sama dengan
dokter untuk membuatkan resep.

Dari temuan tersebut:

1. Pelanggaran Undang-undang dan Peraturan apa saja yang telah dilakukan


oleh apotek tersebut? (Jelaskan secara singkat).
2. Sanksi apa saja (administratif dan pidana) yang dapat diberikan terhadap
apotek, dapatkah apoteker pengelola apotek menjadi tersangka?

Pembahasan:

a. Pelanggaran yang telah dilakukan apotek tersebut adalah :


1. Menjual obat-obat psikotropika secara bebas.
2. Obat-obatan tersebut termasuk golongan obat keras di mana penjualannya
harus berdasarkan resep dokter yang asli. Setelah dilakukan pemeriksaan,
apotek melakukan penjualan psikotropika secara bebas tanpa menggunakan
resep dokter.
b. Landasan Hukum:
1. Undang-undang No. 5 tahun 1997
Pasal 9 ayat 1 : Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan
setelah terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang
kesehatan.
Pasal 14 ayat 4 : Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit,
puskesmas dan balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1
dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
2. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Bagian Kelima Belas “Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan”
Pasal 102 Ayat (1) :
Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika dan psikotropika hanya
dapat dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang
untuk disalahgunakan. Ayat (2) : Ketentuan mengenai narkotika dan
psikotropika diatur dengan undang-undang.
Pasal 103 Ayat (1) :
Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan
menggunakan narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standart dan atau
persyaratan tertentu. Ayat (2) : Ketentuan mengenai produksi,
penyimpanan, peredaran, serta penggunaan narkotika dan psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
3. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 8 ayat 1c :
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8 ayat 4 :
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang
rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan info
secara lengkap dan benar.

c. Sanksi Hukum:
1. Undang-undang No. 5 tahun 1997
Pasal 60 ayat 1c :
Barangsiapa memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa
obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat 1 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 196 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standart dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197 :
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00
(satu miliar lima ratus juta rupiah).

3. Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen


Pasal 62 ayat 1 :
Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat 2, pasal 15, pasal 17 ayat 1 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf e, ayat 2 dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).

4. Psikotropika
a) UU RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 14 ayat 4

“Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai


pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
resep dokter“

b) Peraturan Menteri Kesehatan No. 688/Menkes/Per/VII/1997 pasal 10


ayat 7 tentang Peredaran Psikotropika “Penyerahan psikotropika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari apotek kepada pasien
diberikan berdasarkan resep dokter“
d. Sanksi Administratif:
1. Diberikan teguran/peringatan secara lisan.
2. Diberikan Surat Peringatan secara tertulis, maksimal 3 kali.
3. Penutupan apotek sementara.
4. Pencabutan ijin apotek.

Kesimpulan :

Dari kasus ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa Apoteker Pengelola Apotek
dapat dijadikan tersangka karena telah melangar undang-undang yang belaku.
Selain itu sebagai Apoteker Pengelola Apotek juga tidak mengawasi penjualan obat
keras, karena obat-obat keras tersebut diperjualbelikan secara bebas. Sebagai
penangung jawab apotek juga menerima atau mengedarkan obat-obat impor yang
tidak memiliki ijin edar dan mengandung golongan obat psikotropika dan narkotika.

V. KASUS 5
Kasus Pelanggaran Apotekker

Ada salah satu apotek di daerah X yang didirikan oleh seorang apoteker dengan
surat izin praktek yang mengatasnamakan namanya, sebut saja apotek A dengan
APA apoteker S. Selama ini Apoteker S bekerja di salah satu perusahaan besar
farmasi d Y. Di apoteknya tersebut juga hanya terdapat 1 tenaga kerja yang
bukan seorang apoteker yang secara penuh mengerti tentang obat, bahkan tak
jarang ketika penjaga apotek tersebub tidak datang, penyerahan obat kepada
pasien diserahkan langsung oleh keluarga dari apoteker tersebut yang sama
sekali tidak memiliki kewenangan untuk menyerahkan obat kepada pasien. Tak
jarang karena kurang mengerti tentang obat, apotek tersebut menjual secara
bebas obat-obat keras yang diminta pasien tanpa resep dokter, seperti pembelian
antibiotik yang permintaannya di masyarakat masih sangat tinggi. Belum
diketahui secara jelas alasan apoteker tersebut belum melepas apotek tersebut
dan mencarikan 2 apoteker sebagai penanggung jawab apotek, bukan dijaga
oleh Aping atau AA.
Kebanyakan apotek di daerah sendiri khususnya hanya sebatas mengambilkan
obat, kemudian menyerahkanya kepada pembeli dan menyuruhnya untuk
membayar.

A. Permasalahan
1. Apoteker S bekerja sebagai tenaga kerja di suatu perusahaan farmasi di
Y
2. Apoteker tersebut sebagai pemilik apotek di daerah X yang sekaligus
sebagai APA apotek tersebut.
3. Apotek tersebut tidak memiliki apoteker,yang terlihat di apotek tersebut
hanya ada 1 tenaga yang memberikan pelayanan sekaligus sebagai kasir
di apotek tersebut.
4. Apotek melayani secara bebas obat-obat keras yang di beli tanpa
menggunakan resep dari dokter.

B. Analisis pasal terkait pelanggaran tersebut:


1. Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5
“Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman,bermutu,danterjangkau”.
Pasal 8
“Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk
Tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari tenaga
kesehatan”
Pasal 108
“Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi,pengamanan,pengadaan,penyimpanan dan
pendistribusian obat,pelayanan obat atas resep dokter,pelayanan informasi
obat serta pengembangan obat,bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

2. Undang-Undang No.8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen


Pasal 4
“Hak atas kenyamanan,keamanan,dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang atau jasa”.

3. PeraturanPemerintahNo.51Tahun2009TentangPekerjaanKefarmasian
Pasal 1
“Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat di lakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker”.
Pasal 20
“Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian,
Apoteker dapat di bantu oleh Apoteker pendamping dan Tenaga Teknis
Kefarmasian”
Pasal 21
‘’Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian,
Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
“Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh Apoteker”.
Pasal 51
“Pelayanan Kefarmasian di Apotek,puskesmas atau instalasi farmasi
rumah sakit
hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”

4. Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002


Tentang
Ketentuandan Tata Cara Pemebrian Izin Apotek
Pasal 19.
‘’Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya
pada jam buka Apotik,Apoteker Pengelola Apotik harus menunjuk
Apoteker pendamping.”
“Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker Pendamping karena hal-
hal
Tertentu berhalangan melakukan tugasnya,Apoteker Pengelola Apotik
menunjuk.Apoteker Pengganti”

5. Keputusan Menteri Kesehatan No,1027/MENKES/SK/IX/2004


Tentang Standar Pelayanan di Apotek
a. Bab III tentang pelayanan,standar pelayanan kesehatan di apotek

6. Kode etik apoteker


Pasal 3
“Setiap apoteker/Farmasis harus senatiasa menjalankan profesinya sesuai
kompetensi Apoteker/Farmasis Indonesia serta selalu mengutamakan dan
berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya“
Pasal 5
“Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus
menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian“
“Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”.Dari kasus di atas“Pasien
atau konsumen ketika membeli obat di apotek hanya dilakukan oleh asisten
apoteker yang merangkap sebagai petugas kassa”.Hal ini melanggar pasal-
pasal di atas.Pelayanan kefarmasian di apotek harus di lakukan oleh
Apoteker,jika Apoteker Pengelola Apotek berhalangan hadir seharusnya di
gantikan oleh Apoteker Pendamping dan jika Apoteker Pendamping
berhalangan hadir seharusnya di gantikan oleh Apoteker Pengganti bukan
di gantikan oleh Asisten Apoteker .

VI. KASUS 6
Kasus Farmasi Forensik

Seorang warga Tegal, Jawa Tengah tewas diduga akibat mal praktek saat
dirawat dirumah sakit. Korban diberi cairan infus yang sudah kadarluasa
saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal sehingga
kondisinya terus memburuk dan akhirnya tewas. Sementara itu pihak
Rumah Sakit Mitra mengatakan, pemberian infus kadarluasa tersebut bukan
merupakan kesengajaan.
Suryono, warga Surodadi, Tegal Jawa Tengah meninggal selasa (25/03/08)
kemarin, di Rumah Sakit Harapan Anda Tegal. Tangis keluarga korban pun
tak terbendung saat mengetahui korban meninggal dunia. Istri korban Eka
Susanti bahkan berkali-kali tak sadarkan diri. Salah satu keluarga korban
berteriak-teriak histeris sambil menunjukkan sisa infus kadarluasa yang
diberikan ke korban saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Mitra Siaga
Tegal sabtu pekan lalu tempat sebelumnya korban dirawat.
Pada kemasan infus tertera tanggal kadarluasa 14 Januari 2008. Keluarga
korban menuding pemberian infus kadarluasa inilah yang menyebabkan
korban meninggal. Pihak Rumah Sakit dinilai teledor karena memberikan
infus yang sudah kadarluasa.
Menurut keluarga korban, sejak diberi infus kadarluasa, kondisi korban
terus memburuk. Korban yang menderita gagal ginjal awalnya dirawat di
RS Mitra Siaga Tegal selama 10 hari. Karena tak kunjung sembuh, pihak
keluarga memustuskan merujuk korban ke RSI Islam Harapan Anda Tegal.
Korban langsung menjalani perawatan di ruang ICU. Namun tiga hari
menjalani perawatan di ICU kondisi korban terus memburuk, hingga
akhirnya meninggal dunia.
Direktur Rumah Sakit Mitra Siaga Tegal, Dokter Wahyu mengatakan tidak
ada unsur kesengajaan dalam kasus infus kadarluasa yang diberikan kepada
pasien, namun pihaknya mengakui insiden ini menunjukkan adanya
kelemahan monitoring logistik farmasi. Meski belum dapat dipastikan
meninggalnya korban akibat infus kadarluasa, pihaknya akan menjadikan
kasus ini sebagai evaluasi untuk memperbaiki monitoring logistik farmasi.
Sementara itu keluarga korban mengaku tetap akan menuntut
pertanggungjawaban pihak Rumah Sakit atas terjadinya kasus ini. Pasalnya
tidak saja telah kehilangan nyawa, namun keluarga korban tetap harus
membayar biaya pengobatan sebesar 7 juta rupiah.

A. Pembahasan
Banyaknya kasus malpraktek di Indonesia menunjukkan kelemahan
sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Kasus diatas merupakan
kesalahgunaan obat (drug missuse) yang disebabkan oleh oleh
ketidaktelitian pengawasan obat di rumah sakit. Pihak yang bertanggung
jawab atas kasus ini adalah dokter, perawar dan seorang farmasi.
Berdasarkan Farmakope Indonesia edisi 3 (1979), infus intravenus
adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas pirogen, dan
sedapat mungkin dibuat isotonus terhadap darah, disuntikkan langsung
kedalam vena dalam volume relatif banyak. Kecuali dinyatakan lain,
infus intranvena tidak diperbolehkan mengandung bakterisida dan zat
dapar. Larutan untuk intravenus harus jernih dan praktek bebas partikel.
Contoh cairan yang diberikan melalui intravena adalah nutrisi
(dekstrosa, HCL, albumin), menjaga keseimbangan elektrolit (larutan
ringer), untuk cairan pengganti (kombinasi dekstrosa dan NaCl), dan
untuk tujuan khusus. Jenis cairan infus dibagi menjadi tiga, yaitu cairan
infus hipotonik, cairan infus isotonik , dan cairan infus hipertonik.
Cairan infus hipotonik adalah cairan infus yang osmolaritasnya lebih
rendah dibandingkan serum , sehingga larut dalam serum, dan
menurunkan osmolaritas serum.
Cairan infus isotonikadalah cairan infus yang osmolaritas cairannya
mendekati serum, sehingga terus berada didalam pembuluhdarah.
Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi.
Bagaimanapun sesuai dengan SK Menkes Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit,
seorang farmasi RS bertanggung jawab terhadap semua barang farmasi
yang beredar di rumah sakit tersebut dengan salah satu tugas pokok
menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
(Menkes, 2009).
Namun, apabila hasil pemeriksaan medis diketahui bahwa penyebab
kematian korban bukan disebabkan oleh infus kadarluasa, akan tetapi
karena penyakit gagal ginjal kronis, maka seorang farmasis RS tidak
dapat disalahkan dalam kasus tersebut.

B. Dasar Hukum
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tantang Pekerjaan Kefarmasian
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
4. Kode Etik Apoteker Indonesia

Anda mungkin juga menyukai