Anda di halaman 1dari 8

12

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Neuroaksial


3.1.1. Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis terdiri atas 33 vertebrae ( 7 tulang servikal, 12
tulang thorakal,5 tulang lumbal,serta 5 tulang sakrum dan 4 koksigeal yang
menyatu). Kolumna vertebralis memiliki 4 kurva, yaitu berbentuk cembung ke
anterior di servikal dan lumbal serta berbentuk cekung ke anteruor pada bagian
thorakal dan sakral. Terdapat juga ligamentum yang bersama-sama
membungkus dan mempertahankan kestabilan kolumna vertebralis yaitu
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum
dan dua buah ligamentum longitudinal (anterior dan posterior).
Kanalis spinalis berbatasan dengan korpus vertebrae di sisi anterior,
sisi lateral dengan pedikel dan sisi posterior dengan lamina. Masing-masing
korpus vertebrae memiliki suatu penonjolan di tengah yang disebut processus
spinosus dan tumbuh di antara lamina, dan dua processus transversus yang
tumbuh di lateral pada sambungan lamina dan pedikel. Processus ini menjadi
tempat melekatnya ligamen- ligamen dan muskulus. Setiap korpus vertebrae
juga mempunyai empat processus artikularis yaitu dua buah tonjolan ke atas
dan dua lagi tonjolan ke bawah yang berfungsi sebagai sendi sinovial antar
vertebrae. Antara tulang-tulang vertebrae dihubungkan oleh jaringan
fibrokartilagenosa yang disebut diskus intervertebralis. Terdapat suatu
foramina di antara dua tulang vertebrae yang berdampingan dan disebut
foramen intervertebralis yang merupakan tempat keluarnya akar saraf yang
berasal dari kolumna spinalis

Gambar 2.1 Corpus Vertebralis


13

3.1.2. Medula Spinalis


Kanalis spinalis berisi medula spinalis (spinal cord) yang diliputi oleh
meningen, jaringan lemak, dan pleksus venosus. Meningeal disusun oleh tiga
lapisan, yaitu piamater, araknoidmater, dan duramater. Ketiganya berdekatan
dan merupakan kelanjutan dari lapusan yang sama di kranial. Piamater melekat
dan melapisi medula spinalis, sedangkan arakhnoid mater yang melekat pada
duramater biasanya lebih tebal dan lebih padat. Cairan serebrospinalis
berada di antara piamater dan arakhnoid, di dalam ruang subaraknoid.
Medula spinalis normalnya memanjang dari foramen magnum
sampai setinggi level L1 pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis
berakhir pada L3, tetapi akan bertambah naik ke kranial seiring pertambahan
usia. Serat saraf anterior dan posterior setiap level spinal berhubungan satu
dengan yang lainnya dan keluar melalui foramina intervertebralis dari C1
sampai S5. Di level servikal, serat saraf muncul dari ruas vertebrae di
atasnya,tetapi mulai T1 serat saraf ini keluar dari ruas vertebrae diatasnya.
Sehingga terdapat 8 serat saraf dari 7 ruas vertebrae servikal. Serat saraf
spinal yang paling bawah berbentuk cauda equine (ekor kuda). Oleh karena itu
lumbal punksi dianjurkan untuk dilakukan di kaudal L1 pada orang dewasa dan
kaudal L3 pada anak-anak untuk menghindari trauma medula spinalis akibat
jarum spinal. Sakus duralis, ruang subaraknoid dan ruang subdural biasanya
memanjang sampai S2 pada orang dewasa dan sering S3 pada anak-anak.

Gambar 2.2. Kolumna Vertebralis


14

3.2. Anestesi Spinal


Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik
lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga
sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kutis > subkutis > Lig. Supraspinosum > Lig. Interspinosum
> Lig. Flavum > ruang epidural > durameter > ruang subarachnoid.

Gambar 3.3 Anestesi Spinal

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di
daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
3.2.1. Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anastesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal
15

2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hemoglobin, Hematokrit, PT (Prothrombine Time), PTT (Partial
Thromboplastine Time)

Peralatan analgesia spinal


- Monitor
- Peralatan resusitasi
- Jarum spinal
- Jarum spinal dengan ujung tajam (quincke) atau jarum spinal dengan
ujung pensil (pensil poin whitwcare)

Gambar 3.4. Jarum Spinal

3.2.2. Anastetik lokal untuk analgesia spinal


Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-
1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.
Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan
mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya
digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik,
dosis 20-100mg (2-5ml)
16

2. Lidokaine (xylocain, lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis


1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027,
sifat hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)

3.2.3. Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan
di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit
perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang
belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar processus spinosus
mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 3.5. Posisi Duduk dan Lateral Decubitus

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista


iliaka, misal L2-L3, L3-L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau di atasnya
berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
17

4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-
3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G,
25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau
29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa
semprit 10 cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke
arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang
jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan
jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur
miring bevel mengarah ke atas atau ke bawah, untuk menghindari kebocoran
likuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah
resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan keluar likuor,
pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi
jarum tetap baik. Kalau yakin ujung jarum spinal pada posisi yang
benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar.
Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.

Gambar 3.6. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal


18

6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah


hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

3.2.4. Faktor yang mempengaruhi anestesi spinal


Anestesi spinal dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah :
 Volume obat analgetik lokal: makin besar makin tinggi daerah analgesia
 Konsentrasi obat: makin pekat makin tinggi batas daerah analgesia
 Barbotase: penyuntikan dan aspirasi berulang-ulang meninggikan batas
daerah analgetik.
 Kecepatan: penyuntikan yang cepat menghasilkan batas analgesia yang
tinggi. Kecepatan penyuntikan yang dianjurkan: 3 detik untuk 1 ml larutan.
 Maneuver valsava: mengejan meninggikan tekanan liquor serebrospinal
dengan akibat batas analgesia bertambah tinggi.
 Tempat pungsi: pengaruhnya besar pada L4-5 obat hiperbarik cenderung
berkumpul ke kaudal (saddle blok) pungsi L2-3 atau L3-4 obat cenderung
menyebar ke cranial.
 Berat jenis larutan: hiperbarik, isobarik atau hipobarik
 Tekanan abdominal yang meningkat: dengan dosis yang sama didapat batas
analgesia yang lebih tinggi.
 Tinggi pasien: makin tinggi makin panjang kolumna vertebralis makin besar
dosis yang diperlukan. (BB tidak berpengaruh terhadap dosis obat)
 Waktu: setelah 15 menit dari saat penyuntikan, umumnya larutan analgetik
sudah menetap sehingga batas analgesia tidak dapat lagi diubah dengan
posisi pasien.3

3.2.5. Pengaruh anestesi spinal pada sistem tubuh


Beberapa pengaruh pada sistem tubuh yang nantinya harus diperhatikan saat
melakukan anestesi spinal.
1. Sistem Saraf : Pada dasarnya sesuai dengan prinsip kerja dari obat anestesi
local, menghambat terjadinya potensial aksi. Maka pada system saraf akan
terjadi paresis sementara akibat obat sampai obat tersebut dimetabolisme.
19

2. Sistem Respirasi : Jika obat anestesi local berinteraksi dengan saraf yang
bertanggung jawab untuk pernafasan seperti nervus frenikus, maka bisa
menyebabkan gangguan nafas karena kelumpuhan otot nafas.
3. Sistem Kardiovaskular : Obat anestesi local dapat menghambat impuls
saraf. Jika impuls pada system saraf otonom terhambat pada dosis tertentu,
maka bisa terjadi henti jantung. Pada dosis kecil dapat menyebabkan
bradikardia. Jika dosis yang masuk pembuluh darah cukup banyak, dapat
terjadi aritmia, hipotensi, hingga henti jantung. Maka sangat penting
diperhatikan untuk melakukan aspirasi saat menyuntikkan obat anestesi
local agar tidak masuk ke pembuluh darah.
4. Sistem Imun : Karena anestesi local memiliki gugus amin, maka
memungkinkan terjadi reaksi alergi. Penting untuk mengetahui riwayat
alergi pasien. Pada reaksi local dapat terjadi reaksi pelepasan histamine
seperti gatal, edema, eritema. Apabila tidak sengaja masuk ke pembuluh
darah, dapat menyebabkan reaksi anafilaktik.
5. Sistem Muskular : obat anestetik local bersifat miotoksik. Apabila
disuntikkan langsung kedalam otot maka dapat menimbulkan kontraksi
yang tidak teratur, bisa menyebabkan nekrosis otot.
6. Sistem Hematologi : obat anestetik dapat menyebabkan gangguan
pembekuan darah. Jika terjadi perdarahan maka membutuhkan penekanan
yang lebih lama saat menggunakan obat anestesi local. 1,2,8

Anda mungkin juga menyukai