Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, tuntutan kurikulum pada
bidang pendidikan menjadi semakin besar. Pendidikan Vokasi hadir sebagai
sistem pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi yang diarahkan pada
penguasaan keahlian dan keterampilan terapan pada bidang tertentu. Salah
satu bidang tersebut yakni Pekerjaan Sosial. Pekerja Sosial dituntut mampu
memiliki kompetensi penguasaan keahlian dan keterampilan pelayanan
sosial yang ditujukan untuk mengkaji, mengantisipasi keadaan dan
perubahan kehidupan sosial, serta merumuskan alternatif tindakan guna
menciptakan situasi kehidupan sosial yang kondusif bagi upaya masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.

Salah satu fokus yang ditangani pekerja sosial adalah 26 PMKS


(Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) yang disebutkan pada
Permensos nomor 08 tahun 2012 dimana salah satunya adalah Korban
Penyalahgunaan NAPZA.
Seiring dengan perkembangan indutri yang diawali dari peristiwa
Revolusi Industri 1.0 lalu berkembang sampai 4.0, keberadaan Korban
Penyalahgunaan NAPZA dalam negara menjadi sesuatu yang terus
diperbincangkan. Ada beberapa masyarakat yang memahami dan
membantu Korban Penyalahgunaan NAPZA dalam kembali ke kehidupan
biasanya dan terhindar dari ketergantungan terhadap NAPZA.
Di dalam makalah ini dibahas bagaimana kita baik masyarakat,
pekerja sosial, dan pemerintah dalam membantu Korban Penyalahgunaan
NAPZA agar lekas sembuh dan kembali hidup sehat.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ringkasan jurnal “Relasi Pertolongan Pekerjaan Sosial Bagi
Pecandu Narkoba di Rumah Cemara” dari Widyani Tri Yolanda ?
2. Apa yang dimaksud Pendidikan Vokasi dan bagaimana hubungannya
dengan keberadaan Korban Penyalahgunaan NAPZA?
3. Bagaimana hubungan keberadaan industri dengan keberadaan Korban
Penyalahgunaan NAPZA?
4. Bagaimana untung dan rugi Pendidikan Vokasi dan Industri dalam
Keberadaan Korban Penyalahgunaan NAPZA?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui ringkasan jurnal “Relasi Pertolongan Pekerjaan
Sosial Bagi Pecandu Narkoba di Rumah Cemara” dari Widyani Tri
Yolanda
2. Untuk mengetahui Pendidikan Vokasi dan hubungannya dengan
keberadaan Korban Penyalahgunaan NAPZA
3. Untuk mengetahui hubungan keberadaan industri dengan keberadaan
Korban Penyalahgunaan NAPZA
4. Untuk mengetahui untung dan rugi Pendidikan Vokasi dan
Industri dalam Keberadaan Korban Penyalahgunaan NAPZA

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ringkasan Jurnal

“RELASI PERTOLONGAN PEKERJAAN SOSIAL BAGI PECANDU


NARKOBA DI RUMAH CEMARA” dari Widyani Tri Yolanda

Pengertian NAPZA

Sussman dan Ames (2008:3) menyatakan bahwa “A drug is a substance that


can be taken into the human body, and once taken, alters some processes within the
body. Drugs can be used in the diagnosis, prevention, or treatment of a disease
(Obat adalah zat yang dapat dimasukan ke dalam tubuh manusia, dan setelah
dimasukan, mengubah beberapa proses dalam tubuh. Obat dapat digunakan dalam
diagnosis, pencegahan, atau pengobatan penyakit)”. (Saputra, Putra Pratama. 2017)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang


Narkotika menyatakan bahwa “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini”. (Saputra, Putra
Pratama. 2017)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika menyatakan bahwa “Psikotropika adalah zat atau obat baik alami
maupun sintetis bukan Narkotika yang berkhasiat psikoaktif yang menyebabkan
perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat Adiktif merupakan zat
bukan Narkotika atau Psikotropika yang berkhasiat adiktif, ketagihan psikis, dan
fisik yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”.
(Saputra, Putra Pratama. 2017)

3
Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan menggunakan istilah
NAPZA. NAPZA merupakan kependekan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif Lainnya. Menurut Pasal 113 Ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, istilah NAPZA hanya terbatas pada
istilah Zat Adiktif. Zat Adiktif sebagaimana dimaksud meliputi tembakau, produk
yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang
penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat
sekelilingnya. (Saputra, Putra Pratama. 2017)

Ada tiga konsep penting berkenaan dengan penyalahgunaan NAPZA, yaitu


konsep penggunaan (use), penyalahgunaan (abuse) dan ketergantungan
(dependency or addiction). Penggunaan NAPZA didefinisikan sebagai “the
ingestion of substances (alcohol or drug, legal or illegal) with any regularity (once
or repeatedly over a lifetime) that results in little or no significant negative life
consequences” (Johnson, 2004 : 6). Bahwa penggunaan NAPZA adalah konsumsi
zat (alkohol atau obat, legal maupun ilegal) dengan keteraturan (sekali atau
berulang kali selama seumur hidup) yang menghasilkan sedikit atau tidak ada
konsekuensi hidup yang signifikan negatif. Sedangkan penyalahgunaan NAPZA
didefiniskan sebagai “the use of drugs – legal or illegal – with some regularity or
pattern, that results in persons experiencing a pattern of negative life consequences
resulting from their substance use” (Johnson, 2004 : 9), yang diartikan sebagai
penggunaan obat, legal maupun illegal, dengan beberapa keteraturan atau pola,
yang mengakibatkan orang mengalami pola konsekuensi hidup negatif akibat
penggunaan NAPZA mereka. Konsep ketiga yakni ketergantungan didefiniskan
sebagai “recurrent or chronic use (often daily), that results in a physiological and/
or psycological “need” (real or felt) for the drug as a matter of survival, causing
severe and / or chronic negative life consequences. The chemically dependent
person’s life is fully encompassed by the obsession to use drugs and live the
accompanying lifestyle. (Johnson, 2004: 10). Definisi tersebut diartikan sebagai
penggunaan berulang atau kronis (sering setiap hari), yang menghasilkan suatu
"kebutuhan" fisiologis dan / atau psikis (nyata atau dirasakan) untuk obat sebagai
masalah kelangsungan hidup, menyebabkan konsekuensi hidup negatif yang berat

4
dan / atau kronis. Kehidupan seseorang yang mengalami ketergantungan kimia
sepenuhnya dicakup oleh obsesi untuk menggunakan NAPZA dan menjalani gaya
hidup yang menyertainya. (Maryami, Ami., dkk. 2015)

Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Masalah penyalahgunaan NAPZA yang terjadi di RW 18 Kelurahan Sadang


Serang merupakan permasalahan serius yang perlu ditangani. Beberapa masalah
penyalahgunaan NAPZA yang terjadi dari hasil asesmen penelitian terdahulu,
yaitu: (1) Masyarakat kurang mengetahui dan memahami tentang masalah
penyalahgunaan NAPZA, (2) Masyarakat kurang peduli terhadap masalah
penyalahgunaan NAPZA, (3) Kegiatan sosialisasi tentang bahaya penyalahgunaan
NAPZA belum pernah dilakukan, (4) Masyarakat membiarkan apabila ada yang
mengkonsumsi minuman alkohol, (5) Tidak berfungsinya stakeholders dalam
upaya pencegahan penyalahgunan NAPZA, (6) Masyarakat tidak mengetahui
adanya pelayanan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan NAPZA, (7)
Banyak masyarakat yang nongkrong dan berjudi pada malam hari, (8) Keluarga
(orangtua) kurang melakukan pengawasan terhadap kenakalan remaja, serta (9)
Belum adanya peran Brigadir RW dalam upaya penanganan penyalahgunaan
NAPZA. (Saputra, Putra Pratama. 2017)

Dampak penyalahgunaan narkoba sekarang sudah semakin luas, dan dari data BPN
JABAR tentang dampak negatif penyalahgunaan narkoba baik dampak fisik, psikis,
maupun sosial antara lain :

1. Secara fisik, selain kerusakan syaraf serta fungsi organ lainnya, penyebaran
HIV/AIDS dikalangan pengguna narkoba jarum suntik juga dapat terjadi
2. Secara psikis, seseorang yang telah menggunakan narkoba akan mengalami
perasaan kesal dan tertekan, perasaan tidak aman, hilang kepercayaan diri,
sering tegang dan gelisah
3. Selain itu ada juga dampak sosial antara lain anti-sosial, bertindak asusila,
dikucilkan oleh lingkungan

5
Ketiga efek tersebut dapat berikaitan baik dari segi fisik, psikis, maupun sosial.
Contohnya adalah korban penyalahgunaan narkoba akan merasakan sakit-sakitan
ketika tidak mengonsumsi narkoba seperti layaknya. Sehingga muncul tekanan
psikis dalam dirinya yang membuat ia tidak nyaman, tertekan, dan gelisah.
Sehingga Ia akan mau tidak mau harus mengonsumsi narkoba entah bagaimana
caranya. Dan caranya bisa melalui pembohongan, pencurian, dll sehingga Ia akan
dijauhi oleh lingkungan sosialnya.

Ketidakberdayaan dalam penanganan inilah yang membuat adanya UU Nomor


22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika yang menggunakan tehnik rehabilitasi. Rehabilitasi sosial menurut
YANREHSOS adalah suatu rangkaian proses pelayanan yang ditujukan untuk
pemulihan kepercayaan diri, kesadaran peranan serta tanggungjawab sosial para
korban penyalahgunaan narkotika terhadap masa depannya, baik bagi dirinya
sendiri, keluarganya, maupun masyarakat dan lingkungannya.

Menurut Supiadi, et.al. (2006) Rehabilitasi sosial adalah segenap upaya yang
ditujukan untuk mengintegrasikan atau mengintegrasikan kembali seseorang
kedalam kehidupan masyarakat dengan cara membantunya menyesuaikan diri
dengan tuntutan keluarga, komunitas dan pekerjaan sejalan dengan pengurangan
setiap beban sosial dan ekonomi yang dapat merintangi proses rehabilitasi. (direvisi
dari WHO, dalam ILO 1985 : 11). (Maryami, Ami., dkk. 2015)

Dalam penanganan korban penyalahgunaan narkoba ini pihak Pusat Pelayanan


Pecandu Narkoba Rumah Cemara menggunakan tehnik konseling individu dan
kelompok.

Pihak Pusat Pelayanan Pecandu Narkoba Rumah Cemara menggunakan teori


dari Charles Zastrow (1987) dimana Charles Zastrow membagi kemampuan dasar
konselor menjadi 4 antara lain :

1. Kemampuan Komunikasi Verbal Konselor dalam Merespon Residen dalam


Konseling Individu yang terbagi menjadi 9 kemampuan antara lain :
a. Lead-In Response (Respon awal)

6
b. Paraphrasing
c. Reflecting of feeling (Merefleksikan perasaan)
d. Open-Ended and Closed-ended Question (Pertanyaan terbuka dan
tertutup)
e. Clarification (Mengklarifikasi pesan yang disampaikan)
f. Summarization (Membuat ikhtisar)
g. Information Giving (Memberikan informasi)
h. Interpretation (Interpretasi)
i. Confrontation (Konfrontasi)
2. Kemampuan Komunikasi Non-Verbal yang terbagi menjadi 10 kemampuan
antara lain :
a. Posture (Sikap)
b. Body Orientation (Orientasi tubuh)
c. Facial Expressions (Ekspresi wajah)
d. Gestures (Gerak-isyarat)
e. Touching (Sentuhan)
f. Clothing (Cara berpakaian)
g. Personal Boundaries (Ruang personal)
h. Voice (Nada suara)
i. Physical Appearance (Penampilan fisik)
j. Environtment (Lingkungan)
3. Task Roles yang dijalankan para anggota antara lain :
a. Memberi opini dan informasi
b. Starter
c. Memberi arahan
d. Koordinator
e. Energizer
f. Summarizer
g. Pengujian realita
h. Pengevaluasian

7
4. Maintenance Roles dibagi antara lain :
a. Mendorong partisipasi
b. Harmonizer and Compromizer
c. Meredakan ketegangan
d. Membantu komunikasi
e. Mengevaluasi emosi
f. Mengamati proses
g. Mendengarkan secara aktif
h. Membangun kepercayaan
i. Pengatur standar
j. Pemecah masalah interpersonal

Tanggung jawab Pekerja Sosial lainnya antara lain :

International Federation of Social Work (dalam Tan dan Enval, 2000:5)


menyatakan bahwa “The social work profession promotes problem solving in
human relationships, social change, empowerment and liberation of people, and
the enhancement of society. Utilizing theories of human behavior and social
systems, social work intervenes at the points where people interact with their
environments. Principles of human rights and social justice are fundamental to
social work (Profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan masalah dalam
kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan
pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori
perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi
pada titik dimana seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip
hak asasi manusia dan keadilan sosial sangat penting bagi pekerjaan sosial)”.
(Saputra, Putra Pratama. 2017)

8
Peranan Pekerja Sosial dalam Advokasi
Menurut 16 informan bahwa peranan pekerja sosial sebagai seorang advokat
adalah membantu klien dalam memperoleh hak-haknya, untuk mendapatkan
pelayanan dan sumber daya dan perlindungan atau pendampingan dalam kasus
melanggar hukum serta mempengaruhi pembuat kebijakan untuk merubah atau
membuat kebijakan yang berpihak pada LKS atau LKS dan telah melakukan
berbagai kegiatan advokasi. (Maryami, Ami., dkk. 2015)

Pengertian Organisasi Lokal

Suharto (1997:334) menyatakan bahwa “Organisasi lokal adalah kelompok


atau grup yang bersifat non formal yang didirikan oleh dan untuk para anggota serta
masyarakat setempat. Alasan utama pembentukan organisasi ini didasari oleh
kepentingan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau oleh tujuan-tujuan
peningkatan solidaritas dan partisipasi masyarakat. Batasan-batasan organisasi ini
kerap kali kurang jelas, karena keterlibatan para anggotanya tidak bersifat formal,
melainkan informal dan sukarela” (Saputra, Putra Pratama. 2017).

Panduan Penguatan Institusi Lokal dalam Pencegahan Penyalalahgunaan


NAPZA Berbasis Masyarakat (2009:13) menyatakan bahwa “Penguatan organisasi
lokal adalah proses pemberdayaan melalui pendampingan untuk menata
kelembagaan, meningkatkan kemampuan pengurus/tim kerja dan mengembangkan
mekanisme kerja untuk membangun kesadaran, serta menggerakan kegiatan-
kegiatan masyarakat sehingga memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dan
melakukan kontrol dengan mencegah penyalahgunaan NAPZA baik pada
pencegahan primer, sekunder, maupun tersier”. (Saputra, Putra Pratama. 2017)

Upaya penanganan penyalahgunaan NAPZA menjadi perhatian dan


tanggung jawab bersama. Perlu adanya kerja sama antara pemerintah dan
masyarakat. Sebagai contoh, dibentuknya “Forum Anti Narkoba (FAN) Gresik”
dalam upaya penanganan penyalahgunaan NAPZA di Kabupaten Gresik. “Forum
Anti Narkoba (FAN) Gresik” dijadikan sebuah dorongan untuk memerangi dan
melindungi generasi muda dari NAPZA yang nanti akan dilakukan seluruh Desa di

9
Kabupaten Gresik. Kegiatan dalam “Forum Anti Narkoba (FAN) Gresik” berupa
penyuluhan, sosialisasi, lomba “Desa Bebas Narkoba”, dan lain-lainnya. (Kompas,
2009) (Saputra, Putra Pratama. 2017)

Fungsi Organisasi Lokal

Menurut Adi (2008:115-116) terdapat beberapa istilah yang digunakan


dalam ilmu kesejahteraan sosial terkait dengan pembahasan tentang pembangunan
sosial dan pemberdayaan masyarakat, yaitu: (1) Community Work, istilah ini
merupakan terminologi untuk praktik pengorganisasian dan pengembangan
masyarakat yang banyak digunakan di Inggris dan Australia, seperti yang
digunakan oleh Thrope (1985), Mayo (1994), Popple (1995), dan Jones (1997), (2)
Community Organization, terminologi ini digunakan oleh Rothman, Tropman, dan
Erlich sejak tahun 1960-an hingga 1987-an (terminologi yang banyak digunakan di
Amerika Serikat), sedangkan dari edisi kelima buku Community Organization,
Rothman (1995) telah mengubah nama dari intervensi ini menjadi community
intervention (intervensi komunitas), (3) Di Indonesia, terminologi yang banyak
digunakan pada dasawarsa 1970-1990-an adalah pengorganisasian dan
pengembangan masyarakat. Istilah intervensi 94

komunitas adalah istilah yang relatif baru dikembangkan sekitar tahun


2000-an merespons perubahan dari istilah yang digunakan oleh Rothman, serta (4)
Di samping itu, Glen (1993) menggunakan istilah yang berbeda, yaitu community
practice (praktik komunitas) untuk menggambarkan model intervensi yang serupa
dengan apa yang dikemukakan oleh Rothman dalam intervensi komunitas (Saputra,
Putra Pratama. 2017).

Organisasi lokal dapat meningkatkan capacity buildings masyarakat


sekitar. Sumpeno, dkk (dalam Fahrudin, 2011:154) menyatakan bahwa “Capacity
building adalah suatu proses peningkatan atau perubahan perilaku individu,
organisasi, dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien” (Saputra, Putra Pratama. 2017).

10
Cara mencegah penyalahgunaan NAPZA melalui organisasi lokal

Program Penanganan Penyalahgunaan NAPZA menurut Panduan


Penguatan Institusi Lokal dalam Pencegahan Penyalalahgunaan NAPZA Berbasis
Masyarakat (2009:14), yaitu: (1) Pencegahan Primer, upaya pencegahan pada
kelompok yang belum dan rentan menyalahgunakan NAPZA yang ditujukan agar
mereka tidak terlibat dalam penyalahgunaan NAPZA, (2) Pencegahan Sekunder,
kegiatan penanganan terhadap kelompok penyalahguna NAPZA yang ditujukan
agar masalah penyalahgunaan NAPZA tidak meningkat, bisa ditekan atau bahkan
dihilangkan, serta (3) Pencegahan Tersier, kegiatan penanganan terhadap mantan
penyalahguna NAPZA yang telah direhabilitasi yang ditujukan untuk mencegah
kekambuhan penyalahgunaan NAPZA. (Saputra, Putra Pratama. 2017)

Selain menggunakan organisasi lokal, dapat menggunakan peran lembaga


kesejahteraan sosial. Fungsi LKS (Lembaga Kesejahteraan Sosial) adalah Pertama
Pendampingan secara kontinyu kepada para penyalahguna dan keluarganya tentang
bahaya NAPZA, HIV/AIDS serta TBC; Kedua sebagai alat Komunikasi, Informasi
dan Edukasi (KIE) kepada masyarakat yang berkaitan dengan penanggulangan
masalah penyalahgunaan NAPZA termasuk penyebaran HIV, AIDS, Hepatitis C
dan TBC, melalui liflet, brosur, spanduk dan materi-materi pelatihan. Ketiga
Advokasi untuk membela kepentingan penyalahguna NAPZA dan pengidap HIV,
AIDS dalam menangani permasalahannya misalnya dalam bentuk mengubah
pandangan negatif/stigma dan diskriminasi terhadap penyalahguna NAPZA,
keluarga dan pengidap HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C termasuk para eks
penyalahguna NAPZA. Keempat Rujukan yang merupakan pengalihan pelayanan
dari pendamping kepada pihak lain yang memiliki potensi yang tepat atau
memfasilitasi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh pendamping. Kelima
melaksanakan kelompok dukungan melalui pertemuan yang dihadiri oleh mereka
yang terlibat langsung maupun tidak langsung terkena dampak dari penyalahguna
NAPZA dan pengidap HIV/AIDS, TBC dan Hepatitis C untuk berbagi pengalaman
dan memberikan kekuatan dan harapan agar saling menumbuhkan serta menuju

11
perubahan positif perilaku penyalahguna NAPZA dan pengidap HIV/AIDS, TBC
dan Hepatitis C.

12
B. Abstraksi Pendidikan Vokasi “Vokational Education”

Pendidikan vokasi adalah sistem pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi


yang diarahkan pada penguasaan keahlian dan keterampilan terapan pada bidang
tertentu dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional yang diarahkan untuk
mengembangkan keahlian terapan dan beradaptasi pada bidang pekerjaan tertentu
serta dapat menciptakan peluang kerja dan mampu bersaing secara global.

Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi yang ditujukan untuk kepentingan


praktis melalui:

1. Program Pendidikan:
2. Diploma I (D1),
3. Diploma II (D2),
4. Diploma III (D3),
5. Diploma IV (D4) atau Sarjana Terapan,
6. Magister Terapan, dan
7. Doktor Terapan.

Waktu Studi :

1. Program Diploma 1 selama 1 tahun


2. Diploma 2 selama 2 tahun
3. Diploma 3 selama 3 tahun
4. Diploma 4 selama 4 tahun

Lulusan pendidikan vokasi mendapatkan gelar vokasi, misalnya:

1. A.Ma (Ahli Madya),


2. A.Md (Ahli Madya),
3. S.ST. (Sarjana Sains Terapan).

13
Lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tinggi keahlian terapan (vokasi)
adalah:

Universitas yang menyelenggarakan program diploma,

1. Akademi,
2. Politeknik,
3. Sekolah Tinggi, dan
4. Institut

Standar nasional pendidikan vokasi dikembangkan berdasarkan:

1. standar kompetensi nasional


2. dan/atau standar kompetensi internasional.

Pendidikan vokasi menganut sistem terbuka (multi-entry-exit system) dan


multimakna yang berorientasi pada:

1. Pembudayaan,
2. Pemberdayaan,
3. Pembentukan watak,
4. Kepribadian,
5. Dan berbagai kecakapan hidup (life skill).

Sehingga memiliki kecakapan kerja sesuai dengan perkembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi terapan pada bidangnya dan sesuai dengan tuntutan
kebutuhan lapangan kerja.

Selain untuk meningkatkan pendidikan nasional, pendidikan vokasi hadir


agar peserta pendidikan vokasi mendapat pekerjaan yang layak dengan menguasai
kemampuan dalam bidang kerja tertentu sehingga dapat langsung diserap sebagai
tenaga kerja di industri atau swasta, lembaga pemerintah, ataupun berwiraswasta
secara mandiri, yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian setempat.
Pendidikan vokasi memadukan pendidikan di ruang kelas, praktik dan magang
secara merata. Hal ini karena beban pengajaran pada program pendidikan vokasi
telah disusun untuk lebih mengutamakan beban mata kuliah ketrampilan

14
dibandingkan dengan beban mata kuliah teori. Sedangkan untuk pemagangan,
pemerintah akan bekerjasama dengan dunia usaha. Termasuk pemagangan ke
daerah tertentu dalam negara atau pemagangan ke sejumlah negara seperti Jerman,
Jepang dan Korea Selatan.

C. Abstraksi Sekilas tentang Revolusi Industri

Industri yang ada sekarang tercipta karena adanya suatu peristiwa yang
dinamakan Revolusi Industri. Revolusi Industri merupakan perubahan secara cepat
dan besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan
teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi,
dan budaya di dunia. Perubahan cepat dan besar-besaran yang dimaksud adalah
perubahan dalam pelaksanaan proses produksi (cara pembuatan atau meningkatkan
nilai guna suatu barang) yang semula menggunakan tenaga manusia (tradisional)
beralih dengan menggunakan peralatan mesin (modern).

Revolusi Industri terjadi pada tahun 1750-1850, dimulai dari Britania Raya
kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat, Amerika Utara, Jepang, hingga ke
seluruh dunia.

Adapun empat tahapan revolusi industri dari zaman dahulu hingga kini, diantaranya
:

1. Industri 1.0 (Penggunaan mesin berbasis manufaktur)

Revolusi Industri Pertama dimulai dengan kemunculan mesin uap pada akhir abad
ke-18 yang mendorong mekanisasi dalam proses industri. Revolusi ini dicatat oleh
sejarah berhasil menaikkan perekonomian secara dramatis di mana selama dua abad
setelah revolusi industri terjadi peningkatan rata-rata pendapatan perkapita negara-
negara di dunia menjadi enam kali lipat.

2. Industri 2.0 (Produksi massal dengan mesin bertenaga listrik)

Revolusi Industri kedua terjadi di awal abad ke-19. Pada Industri 2.0
ini diterapkannya konsep produksi massal melalui produksi interchangeable parts,
penggunaan mesin bertenaga listrik dan ditemukannya konsep standarisasi industri.

15
Penemuan ini memicu kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dan
lain sebagainya yang mengubah wajah dunia secara signifikan.

3. Industri 3.0 (Teknologi informasi dan elektronika guna otomatisasi


produksi)

Revolusi Industri ketiga terjadi di awal abad ke-20. Dimulai dengan


penggunaan elektronik dan teknologi informasi untuk mendorong level baru
otomatisasi produksi. Pengenalan revolusi industri generasi ketiga ditandai
dengan kemunculan teknologi digital dan internet.Sistem otomatisasi
berbasis komputer ini membuat mesin industri tidak lagi dikendalikan
manusia. Dampaknya biaya produksi menjadi lebih murah.

4. Industri 4.0 (Integrasi dunia online dengan produksi industri untuk


peningkatan efisiensi nilai proses industri)

Revolusi Industri ke empat merupakan industri yang sedang terjadi


saat ini yakni di awal tahun 2018 yang ditandai dengan sistem cyber-physical.
Industri mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan
data, semua sudah ada di mana-mana. Istilah ini dikenal dengan nama Internet of
Things (IoT). Revolusi industri 4.0 menekankan pada kemampuan Artificial
Intellegent (kecerdasan buatan) sehingga kemunculan super komputer, robot pintar,
kendaraan tanpa pengemudi, editing genetik dan perkembangan neuroteknologi
yang memungkinkan manusia untuk lebih mengoptimalkan fungsi otak.

D. Hubungan Pendidikan Vokasi dan Revolusi Industri dengan


penanganan Korban Penyalahgunaan NAPZA

Salah satu bidang pada pendidikan vokasi adalah pendidikan pekerjaan


sosial yang berpaku pada Undang-Undang Kesejahteraan Sosial nomor 11 tahun
2009 yang menyatakan bahwa pekerjaan sosial sebagai suatu ilmu memfokuskan
intervensinya pada proses interaksi antara manusia dengan lingkungannya dengan
menggunakan teori-teori prilaku manusia dan sistem sosial, guna meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Dimana ilmu yang menjadi landasan pekerja sosial adalah
ilmu kesejahteraan sosial yang pada dasarnya merupakan ilmu terapan yang

16
kajiannya baik secara teoritis maupun metodologis terhadap upaya-upaya untuk
meningkatkan kualitas hidup suatu masyarakat.

Tujuan dari pendidikan pekerjaan sosial ini adalah untuk menyiapkan


pekerja sosial profesional yang memiliki kompetensi dan komitmen terhadap
praktek termasuk penguasaan keahlian dan keterampilan pelayanan sosial yang
ditujukan untuk mengkaji, mengantisipasi keadaan dan perubahan kehidupan
sosial, serta merumuskan alternatif tindakan guna menciptakan situasi kehidupan
sosial yang kondusif bagi upaya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya sendiri dan berfungsi secara sosial. Sehingga pekerjaan sosial
dapat mengintegrasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan profesi
pekerjaan sosial kedalam kompetensi praktek. (Martha: 300; Risna:300;
Meilanny:300)

Salah satu fokus yang ditangani pekerja sosial adalah PMKS (Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial). Berdasarkan Permensos nomor 08 tahun 2012,
PMKS merupakan seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena
suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (kebutuhan jasmani,
rohani, dan sosial) secara memadai dan wajar.

Dari 26 PMKS yang disebutkan pada Permensos nomor 08 tahun 2012


tersebut, salah satunya adalah Korban Penyalahgunaan NAPZA. Korban
Penyalahgunaan NAPZA adalah seseorang yang menggunakan narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya diluar pengobatan atau tanpa sepengetahuan
dokter yang berwenang. Dimana jika hal ini tidak segera ditangani maka akan
menimbulkan kecanduan bagi penggunanya dan akan merubah kehidupannya serta
mengganggu kehidupan di sekitarnya. Sesuai dengan pengertian dari Pekerja Sosial
menurut Charles Zastrow dimana disitu Pekerja Sosial bertugas untuk
mengembalikan keberfungsian sosial baik individu, kelompok, maupun masyarakat
dan menciptakan kondisi sesuai keinginannya.

17
Jadi menurut penjelasan diatas, keberadaan Korban Penyalahgunaan
NAPZA menjadi salah satu kajian yang dibahas pekerja sosial dan menjadi tugas
bagi pekerja sosial agar dapat mempraktikan teori, pengetahuan, pelatihan dan
keterampilan yang didapat dalam pendidikan vokasi guna menangani permasalahan
yang dihadapinya untuk kemudian diberikan pelayanan, pemberian solusi untuk
mengantisipasi keadaan yang dialami, serta merumuskan alternatif tindakan guna
menciptakan situasi kehidupan sosial yang kondusif bagi korban penyalahgunaan
NAPZA dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri dan berfungsi
secara sosial. Dengan ini korban penyalahgunaan NAPZA bisa menghindari
NAPZA atau bahkan berhenti total dari ketergantungannya dengan menggunakan
NAPZA tersebut.

Beberapa hasil dari adanya revolusi industri adalah makin berkembangnya


teknologi, makin mudahnya manusia berkomunikasi, sempitnya batas pribadi, yang
berpengaruh pada pembentukan, pencegahan, dan penanganan keberadaan Korban
Penyalahgunaan NAPZA

1. Perkembangan Teknologi Semakin Pesat

Perkembangan teknologi yang semakin pesat memberi dampak positif dan


negatif kepada keberadaan korban penyalahgunaan NAPZA di dunia, khususnya di
Indonesia. Dampak negatifnya adalah dengan teknologi yang semakin maju
mempermudah peredaran NAPZA ke seluruh penjuru dunia dengan berbagai
akomodasi. Bisa melalui kapal, pesawat, bahkan dimasukkan ke dalam benda-
benda yang tidak mencurigakan seperti ban sepeda motor. Dengan makin
mudahnya teknologi membantu kegiatan kita, ini tentu juga akan memunculkan
masalah seperti penjelasan sebelumnya. Perkembangan teknologi juga ada dampak
positifnya, yaitu para aparat penegak hukum juga bisa memanfaatkan kemajuan
teknologi ini untuk mencari siapa pengedar dan dimana lokasinya. Sehingga upaya
untuk pencegahan dan penangkapan pengedar dan pengguna NAPZA menjadi lebih
mudah. Perkembangan teknologi juga dapat membantu proses penanganan korban
penyalahgunaan NAPZA. Contohnya adalah ketika mengasesmen, dapat
menggunakan alat-alat canggih yang dengan alat tersebut dapat memperpendek

18
waktu yang dibutuhkan dalam proses asesmen dan rehabilitasi para korban
penyalahgunaan NAPZA.

2. Komunikasi Semakin Mudah

Dengan kemudahan komunikasi pada era industri 4.0 ini dapat mempermudah
semua manusia dalam berkomunikasi. Yang dulunya ketika kita ingin
berkomunikasi dengan orang yang berada jauh dari kita menggunakan surat yang
pengirimannya 3-4 hari, sekarang hanya dengan menggunakan telepon genggam/
HP. Makin mudahnya akses komunikasi juga berdampak positif dan negatif dalam
pencegahan dan penanganan kasus korban penyalahgunaan NAPZA. Dampak
negatifnya adalah makin mudahnya para pengedar dan pengguna dalam
bertransaksi secara online. Makin mudahnya pengedar dalam menginformasikan
info-info stock NAPZA yang ia miliki kepada pengguna yang tentunya dapat
memperbanyak list list korban penyalahgunaan NAPZA. Dampak positifnya juga
kembali ke aparat dan masyarakat yang bisa saling berkomunikasi berkolaborasi
dalam penuntasan kasus korban penyalahgunaan NAPZA ini dengan cara
masyarakat melapor dan aparat bertindak, ataupun juga dapat dengan aparat
berwajib mencari tahu dimana letak letak pengedar dengan cara mentrancking
lokasi tempat pengedar berada saat melakukan komunikasi. Komunikasi juga dapat
membantu dalam mensosialisasikan dampak-dampak negatif dari NAPZA yang
merupakan suatu upaya preventif dalam kasus penyalahgunaan NAPZA ini.
Dengan makin luasnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya penggunaan
NAPZA, maka diharapkan makin sedikit orang-orang yang terjerumus kedalam
jurang NAPZA tersebut.

3. Makin Sempitnya Batasan Pribadi Antar Personal

Globalisasi industri tentunya membuat orang-orang dapat mudah mengenal


orang lain, dan mengakses juga informasi-informasi personal dari orang tersebut.
Misalnya adalah penggunaan sosial media yang dapat dengan mudah kita akses
untuk melihat informasi-informasi tentang orang yang kita ingin tahu. Dengan
makin sempitnya batasan ini membuat masyarakat dapat dengan mudah mengakses

19
hal-hal yang berkaitan dengan NAPZA ini. Dampak negatifnya jika masyarakat
salah maka ia bisa dengan mudah mengakses situs pengedar dari NAPZA ini dan ia
dapat terjerumus didalamnya. Namun dampak positifnya juga ketika masyarakat
tahu mana yang baik, maka ia akan menghindar mencari situs pengedar dan dapat
dengan mudah mencari informasi tentang betapa berbahayanya NAPZA dan
menyebarluaskannya ke masyarakat sehingga banyak masyarakat yang makin tahu
dan memahami bahwa NAPZA itu tidak boleh dikonsumsi dengan sembarangan
dan menekan angka korban penyalahgunaan NAPZA itu sendiri.

Ketiga unsur diatas adalah sebagian kecil dari hubungan perkembangan industri
4.0 dengan tingkat penyebaran, pencegahan, dan penanganan korban
penyalahgunaan NAPZA. Dalam konteks ini, keberadaan industri harus
dimanfaatkan bagi para penguasa pada umumnya dan pekerja sosial pada
khususnya dengan baik dan bijaksana. Hadirnya media massa, televisi dan industri
perfilman menjadi sasaran utama untuk langkah kuratif dan rehabilitatif baik oleh
pemerintah ataupun pekerja sosial. Dimana dengan adanya industri yang terus
berkembang, pekerja sosial dapat mengembangkan pengetahuan baik lokal dan
nasional bahwa NAPZA adalah sesuatu yang berbahaya dan tidak untuk
dikonsumsi secara umum atau bebas. Jika kita dapat me-manage perkembangan
industri ini dengan baik, maka bisa saja perkembangan pengedaran dan penggunaan
guna penyalahgunaan NAPZA di Indonesia dapat ditekan bahkan sampai habis.

E. Untung dan Rugi Pendidikan Vokasi dan Industri dalam Keberadaan


Korban Penyalahgunaan NAPZA

Pendidikan vokasi dan perkembangan industri memberikan kondisi yang


menguntungkan bagi keberadaan Korban Penyalahgunaan NAPZA. Kondisi
menguntungkan tersebut meliputi:

1. Korban Penyalahgunaan NAPZA menjadi salah satu kajian yang


ditangani Pekerja Sosial dalam pendidikan vokasi

Dalam pendidikan vokasi pekerjaan sosial, sesuai dengan Permensos nomor 08


tahun 2012, Korban Penyalahgunaan NAPZA menjadi salah satu bagian dari

20
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) dengan keberadaannya menjadi
fokus utama pekerja sosial untuk dapat mempraktikkan ilmunya yang meliputi
teori, pengetahuan, pelatihan dan keterampilan yang didapat dalam pendidikan
vokasi guna menangani permasalahan yang dihadapinya untuk kemudian diberikan
pelayanan, pemberian solusi untuk mengantisipasi keadaan yang dialami, serta
merumuskan alternatif tindakan guna menciptakan situasi kehidupan sosial yang
kondusif bagi korban penyalahgunaan NAPZA yakni dengan membantu agar
mereka terhindar dari relaps setalah tidak mengonsumsi NAPZA, dan juga
rehabilitasi yang dapat membantu korban penyalahgunaan NAPZA dalam proses
penyembuhan dari ketergantungan terhadap NAPZA tersebut.

2. Industri menjadi alat preventif dan rehabilitatif bagi Keberadaan


Korban Penyalahgunaan NAPZA

Perkembangan industri khususnya dibidang teknologi dapat membantu dalam


upaya preventif dan rehabilitatif bagi korban penyalahgunaan NAPZA. Dengan
mereka dapat dengan mudah mengakses pihak-pihak berwenang yang dapat
menangani kasus mereka, misalnya BNN, Pekerja Sosial, Rumah Rehabilitasi, dll,
yang dapat membantu mereka lepas dari belenggu ketergantungan tersebut. Korban
penyalahgunaan NAPZA juga dapat diuntungkan dengan teknologi ini secara
proses sosialisasi keberadaan NAPZA yang dilarang dan masyarakat akan banyak
yang memahami kondisi tersebut sehingga dukungan dari lingkungan akan dapat
mengalir ke dia dan membuatnya makin semangat untuk proses penyembuhannya.

Tetapi keberadaan Industri juga dapat merugikan bagi keberadaan Korban


Penyalahgunaan NAPZA. Kondisi merugikan tersebut meliputi:

1. Sumber utama informasi Korban Penyalahgunaan NAPZA

Keberadaan teknologi industri khususnya internet membuat para pengedar dan


pengguna makin mudah dalam berkomunikasi dalam proses transasksi NAPZA
tersebut. Ini tentunya akan semakin menjauhkan range dari pengguna untuk sadar
bahwa ia itu tidak seharusnya menggunakan NAPZA tersebut. Dan makin
menjatuhkannya ke jurang ketergantungan dengan NAPZA.

21
2. Pembentukan jaringan penyebaran NAPZA yang semakin besar

Keberadaan teknologi informasi yang makin luas membuat makin mudahnya


pembentukan jaringan penyebaran NAPZA di seluruh dunia. Ini mempermudah
dari pengguna dan pengedar untuk saling berbagi informasi negatif, misalnya
adalah cara penggunaan yang baik dan bener, cara supaya tidak gampang diketahui
aparat saat proses transaksi, dan bahkan informasi tentang pengedar mana yang
mudah dan dengan cepat dapat memenuhi kebutuhan ketergantungan pengguna
dengan NAPZA tersebut.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Keberadaan Korban Penyalahgunaan NAPZA menurut saya pribadi


mutlak merupakan sebuah bentuk ketidaktahuan masyarakat yang
menggunakan NAPZA tanpa tahu dampak negatifnya. Walaupun ada
yang sudah tahu dan tetap menggunakan, namun kita harus tetap mensuport
mereka agar lekas pulih dari ketergantungannya.

B. Saran
Korban Penyalahgunaan NAPZA tentu membutuhkan suport dari
berbagai pihak agar mereka lekas pulih dari ketergantungannya, ini
membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Saran saya
disini yaitu :
1. Saran Kepada Masyarakat
 Kita sebagai masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasya untuk
berperan serta dalam mermbantu mewujudkan upaya pencegahan
penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan Undang-Undang yang terkait.
 Masyarakat juga wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila
mengetahui tentang psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki
secara tidak sah di lingkungan tempat tinggal.
 Kita sebagai anggota masyarakat perlu mendorong peningkatan
pengetahuan setiap anggota masyarakat tentang bahayan penyalahgunaaan
obat-obatan terlarang.
2. Saran Kepada Pemerintah
 Untuk mengatasi masalah tersebut, maka diperlukan penanganan yang lebih
tegas lagi. Sebagaimana yang dilakukan Badan Narkotika Nasional, adanya

23
strategi pencegahan dan pemberatasan penyalahgunaan dan peredaraan
psikotropika
 Sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat tentang bahaya atau dampak
yang diberikan jika mengonsumsi ketergantungan psikotropika.
 Menerima dengan baik apabila ada laporan dari masyarakat perihal
penggunaan psikotropika.

24
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Jumayar Marbun, M. (2017). PEKERJAAN SOSIAL dengan


NAPZA/NARKOBA. Bandung: STKS PRESS BANDUNG.

Yolanda, W. T. (2015). RELASI PERTOLONGAN PEKERJAAN SOSIAL BAGI


PECANDU NARKOBA DI RUMAH CEMARA. Bandung: STKS
BANDUNG.

http://www.tandfonline.com/action/journalInformation?journalCode=wjhm20

https://lenterakecil.com/pengertian-pendidikan-vokasiz/

https://simak.ui.ac.id/deskripsi-vokasi.html

https://www.academia.edu/37491240/REVOLUSI_INDUSTRI_DARI_GENERA
SI_1.0_HINGGA_4.0

25

Anda mungkin juga menyukai