Anda di halaman 1dari 10

STUDI KASUS SISTEM SARAF DAN MUSKULOSKELETAL

Program Profesi Dokter Hewan Rotasi Interna Hewan Kecil


yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN FKH
UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
“Hypervitaminosis A in the cat: a case report and review of the literature”

Oleh :
Wulan Ayu Pamungkas, S.KH
NIM. 180130100111078
Gelombang XI / Kelompok 3

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019

27
SISTEM SARAF DAN MUSKULOSKELETAL
Hypothyroid associated polyneuropathy in dogs:Report of six cases

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Berbagai fungsi vitamin A sudah dipelajari secara intensif selama


bertahun-tahun yang lalu, sejalan dengan penelitian tentang dampak dari
kekurangan (defisiensi) dan kelebihannya (hipervitaminosis). Hingga saat ini,
setidaknya diketahui ada 4 fungsi utama vitamin A yaitu (1) terkait dengan fungsi
penglihatan (visual), (2) diferensiasi sel -sel epitel, (3) pertumbuhan dan (4)
reproduksi (Linder, 1992).

Pada umumnya dampak dari kekurangan konsumsi berbagai jenis vitamin


telah diketahui, dan sebaliknya pengetahuan akan akibat kelebihannya sangat
rendah, meskipun secara medik dampaknya juga sangat berbahaya. Pemberian
megadosis vitamin-vitamin yang larut dalam air pada umumnya tidak membawa
akibat yang buruk oleh sebab kelebihannya akan diekskresikan oleh ginjal, tetapi
lain halnya dengan kelompok vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A,
D, E dan K. Kelebihan vitamin-vitamin ini ditimbun dalam jaringan hingga dapat
meracuni tubuh (Solihin, 2000).

Pemberian vitamin A yang berlebihan akan merupakan racun bagi tubuh


hewan. Keadaan demikian disebut hipervitaminosis A atau vitamin A toxicity
(Solihin, 2000). Disatu sisi vitamin A sangat penting bagi kesehatan mata,
pertumbuhan, reproduksi, maupun sistem kekebalan tubuh, namun bila kadarnya
berlebihan justru akan berdampak negatif antara lain dapat menghambat
pertumbuhan tulang dan meningkatkan resiko patah tulang. Cacat bawaan berupa
pemendekan tulang-tulang ekstremitas setelah pemberian vitamin A berlebih dapat
terjadi. Hal tersebut sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa cacat bawaan
tersebut kemungkinan disebabkan oleh hambatan proses kondrogenesis (Kochhar,
1985; Wahyuni,1991) Mengingat pentingnya proses pertumbuhan tulang, kiranya

28
perlu dicari informasi lebih lanjut untuk mengungkap sejauh mana peranan
pemberian vitamin A dosis berlebihan terhadap proses pertumbuhan tulang.

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipervitaminosis A

Hipervitaminosis A dapat menyebabkan efek jangka pendek dan panjang.


Dosis jangka pendek dapat berefek pada sistem saraf pusat termasuk peningkatan
tekanan intrakranial, sakit kepala, iritabilitas, dan seizure; efek gastrointestinal
termasuk mual, muntah, dan rasa nyeri; efek dermatologis seperti deskuamasi;
efek oftalmik seperti papiledema, skotoma, dan fotobia; serta kerusakan hati.
Kebanyakan reaksi tersebut telah dilaporkan terjadi pada janin selama pengobatan
dengan vitamin A dosis besar tetapi beberapa reaksi disebabkan oleh konsumsi
makanan yang kaya vitamin A seperti hati.

Asupan vitamin A dalam jangka waktu lama dengan dosis yang lebih
rendah dari asupan yang dibutuhkan menimbulkan toksisitas jangka pendek tetapi
dosis yang tetap lebih besar daripada dosis yang dibutuhkan oleh tubuh dapat
menyebabkan efek jangka panjang , termasuk efek pada kulit, hati, SSP, dan
tulang. Walaupun jumlah yang dibutuhkan untuk melihat semua efek merugikan
yang terjadi. Pada pasien dengan berat badan yang rendah malnutrisi atau
memiliki penyakit hati atau ginjal dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek
yang merugikan mungkin lebih rendah.

Efek merugikan dermatologis termasuk kulit kering dan mukosa kering,


dermatitis, pruritis, bibir bengkak dan luka dan kadang-kadang kerontokan pada
rambut tubuh. Efek pada hati termasuk hipertropi dan hiperplasia sel (yang
menyimpan vitamin A), hepatomegali, fibrosis, dan sirosis, yang dapat
menyebabkan hipertensi portal, asitesis, dan ikterus. Splenomegali juga dapat
terjadi. Efek pada SSP meliputi peningkatan tekanan intrakranial ( pseudotumor
serebri) yang menyebabkan sakit kepala, gangguan visual ( seperti diplopia),
kantuk, muntah, seizure, dan penonjolan ubun-ubun pada bayi. Akhirnya nyeri
pada tulang dan persendian yang sakit bila disentuh dan pengurangan mineralisasi
tulang

29
Studi Kasus

II.1 Sinyalemen

Gambar 1. Lameless pada kucing

Jenis Hewan : Kucing


Jenis Kelamin : Jantan (Kastrasi)
Ras : DSH
Umur : 9 tahun

II.2 Anamnesa dan Pemeriksaan

Seekor kucing domestic shorthair jantan berumur 9 tahun (sudah di


kastrasi) datang dengan keluhan kelumpuhan ekstremitas depan kiri. Menurut
pemilik, kucing diberikan diet pakan raw (mentah), yaitu hati babi mentah.
Keluhan awal terjadi kelumpuhan terjadi monoparesis dan kemudian monoplegia
secara progresif, selama 2 bulan. Menurut pemeriksaan juga memperlihatkan
adanya anisocoria. Pada pemeriksaan klinis, kucing dalam kondisi tubuh yang
baik, memilki suhu normal, Heart Rate normal dan Respiration Rate normal,
tetapi tidak dapat menahan kaki depan kiri. Evaluasi neurologis menunjukkan
adanya kelemahan serta kelumpuhan dan atrofi otot kaki depan kiri. Diduga
kucing menandakan menderita Horner’s syndrome. Kulit superfisial mengalami
kehilangan rasa di bagian distal bagian dari ekstremitas (di bawah sendi siku).

30
Gambar 2. Horner’s syndrome pada kucing terlihat pupil berbeda ukuran.

Pemeriksaan Penunjang

1. Hematologi: Complete blood counts (CBC) dan analisis biokimia


dilakukan pada kucing. CBC, konsentrasi glukosa darah, total protein,
albumin, kalsium total, nitrogen urea dan konsentrasi kreatinin serta
aktivitas plasma alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat
aminotransferase (AST) berada dalam rentang normal pada kucing.
Aktivitas kreatin kinase dan alkalin fosfatase serum normal.
2. Pemeriksaan radiografi: pada pemeriksaan radiografi menunjukkan
bahwa adanya eksostosis dari tulang dan pertumbuhan massive dari
tulang baru pada bagian ventral vertebra toraks servikal keenam.
Proliferasi tulang paling jelas di area A6-T4, menggeser trakea dan
kerongkongan serta bagian perut ke bagian kanan. Diagnosis
sementara osteopati metabolik akibat dari hypervitaminosis A
berdasarkan pada sejarah diet, temuan klinis dan radiografi. Untuk
diagnosis pasti, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan termasuk
penentuan konsentrasi vitamin A serum yang dapat ditentukan secara
spektrofotometri, menggunakan metode kolorimetri yang dijelaskan
oleh Roels and Trout (1972), dengan hasil nilai 630 mg / dl. Nilai
normal yang dilaporkan untuk kucing berkisar dari 50 hingga 200 mg /
dl (Rucker dan Morris 1997).

31
Gambar 3. Hasil hematologi dan kimia darah
II.3 Diagnosa
Hypervitaminosis A.

II.4 Prognosa
Dubius-Fausta

II.5 Pengobatan
Treatment yang diberikan pada kucing, yaitu menjaga asupan diet
pakan dan menjaga asupan vitamin A. Penjagaan diet pakan diharapkan
mampu memulihkan adanya kelumpuhan walaupun mungkin tidak dapat
memberikan hasil sembuh secara menyeluruh.

III. PEMBAHASAN

Hypervitaminosis A yang terjadi secara alami pada hewan maupun


manusia dalam bentuk akut dan kronis yang disebabkan oleh konsumsi
hati yang kaya vitamin A atau oleh asupan vitamin A yang berlebihan
(Clark 1971). Bentuk kronis lebih umum pada kucing, di mana ia pertama
kali dilaporkan sebagai osteopati metabolic (‘deforming cervical
spondylosis'), dengan pemberian diet susu dan pemberian hati ayam dan
babi mentah pada 50 tahun yang lalu (Christi, 1957; Seawright dan
England, 1964; Armstrong dan Hand 1994; Morgan 1997).

Efek jangka panjang yang ditimbulkan pada pemberian berlebihan


vitamin A pada pertulangan ditandai oleh pembentukan tulang dengan
adanya osteofit dan eksostosis di sekitar sendi, tendon, ligamen dan joint

32
capsule (Hayes, 1982; Armstrong dan Hand, 1994; Bennett, 1994). Kucing
sangat rentan pada kejadian toksisitas vitamin A (Seawright et al., 1970;
Clark, 1971; Hough et al., 1988; Franch et al., 2000; Braund, 2002).

Kasus hypervitaminosis A rentan terjadi pada kucing berumur 2-9


tahun dengan ras dan jenis kelamin yang berbeda-beda. Hypervitaminosis
terjadi setelah pemberian asupan Vitamin A berlebih selama berbulan-
bulan atau bertahun-tahun dengan ditandai adanya pembentukan tulang
(eksostosis) di sekitar sendi di tendon, ligamen dan joint capsule. Area
tulang yang rentan pada os occipital, vertebrae dan thorax. Sedangkan
untuk kasus extraspinal yang jarang terjadi adalah pada bahu, siku,
sternum, thoracic dan pelvis.

Patofisologi dari toksisitas Vitamin A masih belum jelas, Vitamin A


diduga menginduksi lesi pada tulang secara langsung pada jaringan otot.
Predisposisi toksisitas Vitamin A pada setiap individu berbeda-beda
tergantung dari metabolisme dari setiap individu, karena metabolisme
berpenggaruh terhadap pathogenesis. Trauma pada periosteal menjadi
salah satu penyebab pembentukan eksostosis. Adanya toksisitas Vitamin A
menghambat sintesis kolagen yang kemudian memicu pemecahan insersi
musculotendinous pada periosteum pada keadaan normal (Clark, 1971;
Dickson dan Walls, 1988; Franch et al., 2000). Kucing penderita
hypervitaminosis A apabila memiliki aktivitas otot berlebihan selama
perawatan dapat mengalami kecenderungan cervicothoracic spine
membentukan (Hough et al., 1988; Armstrong dan Hand, 1994).

Secara histopatologis lesi proliferatif berasal dari subperiosteal,


dengan aposisi adanya pertumbuhan anyaman tulang baru di sekitar lokasi
yang terbentuk. Hiperplasia kartilaginosa berasal dari margin kartilago
hialin artikular yang melewati sendi dan menggantikan membran sinovial.
Pada jaringan tepi eksostosis menyebar secara osteogenik ke dalam
jaringan lunak yang berdekatan sehingga menyebabkan atrofi dan
perubahan muskulus dengan anyaman tulang yang baru (Seawright dan
English, 1964; Seawright et al., 1970; Braund, 2002).

33
Pembentukkan lesi yang sudah lama, membuat massa tulang yang
tumbuh dibentuk kembali dalam suatu proses yang menyerupai
penyembuhan fraktur atau osteopati craniomandibular (Seawright et al.,
1970, Franch et al 1998a, 1998b). Pengembangan eksostosis di
hypervitaminosis A terjadi pada keadaan rendah kalsium dan fosfor tinggi,
jumlah yang berpengaruh relatif ini sehingga bisa memiliki sedikit
pengaruh atau tidak pada perkembangan lesi (Seawright dan Hrdlicka,
1974; Cho et al., 1975).

Toksisitas Vitamin A menghambat multiplikasi chondrosit.


Penghambatan aktivitas osteoblast dan degenerasi epifisis kartilago
menghambat pertumbuhan longitudinal yang bahkan tidak dapat
dipulihkan dengan penghentian vitamin A berlebih. Bertentangan dengan
hal tersebut, aktivitas osteoblastik tetap melanjutkan pembentukan tulang
apposisional dan dengan demikian tulang panjang mendapatkan kembali
ketebalan poros normal tetapi tidak dalam ukuran proporsi normal (Clark,
1971). Akibatnya ada pemendekan ekstremitas dan distorsi beberapa
epiphyses, karena pertumbuhan yang tidak merata dari pelat tulang yang
rusak tidak teratur mirip dengan sindrom klinis 'hyena disease' yang
terlihat pada ekstremitas dengan kasus hypervitaminosis A pada anjing
(Clark dan Seawright, 1968; Cho et al., 1975; Bennett, 1994; Yamamoto et
al., 2003).

Gejala klinis pada hypervitaminosis menunjukkan adanya rasa


sakit seperti pincang satu atau kedua ekstremitas, kekakuan otot dan
enggan bergerak, dan adanya pembentukan lesi tulang (O'Donnell dan
Hayes, 1987; Bennett, 1994). Lameless pada kaki depan dapat disebabkan
oleh tekanan pada saraf perifer atau ankilosis sendi pada siku dan bahu
(Armstrong dan Hand, 1994; Morgan, 1997). Gejala lain yang disebabkan
tekanan pada syaraf tulang adanya hyperesthesia kulit dan atrofi servikalis
serta muskuloskeletal (Allan, 2000; Braund, 2002).

IV. KESIMPULAN

34
Kasus hypervitaminosis A terjadi dengan adanya tekanan pada
saraf pleksus brakialis kiri dijelaskan. Seekor kucing jantan berumur 9
tahun (sudah steril), domestic shorthair, diberi makan diet pakan hati
babi mentah. Setelah beberapa lama terjadi gejala penurunan kondisi
pada ekstremitas cranial sinister yang berkembang menjadi
kelumpuhan selama rentang waktu 2 bulan. Pemeriksaan klinis
menunjukkan kelumpuhan dan atrofi pada otot kaki depan kiri. Diduga
adanya Horner’s syndrome ipsilateral. Pemeriksaan radiologis
menunjukkan os. cervicalis dan thoracic mengalami pembentukan
tulang baru yang masif pada aspek ventral servikalis kedua hingga
keenam vertebra toraks. Diduga didiagnosa terjadi hypervitaminosis A,
berdasarkan pada temuan klinis, pemeriksaan radiografi, serta
penentuan konsentrasi vitamin serum 630 mg/dl, dengan hasil nilai tiga
kali lipat di atas batas normal rata-rata kucing. Prognosis awal pada
kasus ini tidak baik, akan tetapi berjalannya waktu kondisi kucing
semakin membaik dengan kembalinya fungsi anggota tubuh dengan
kurun waktu sekitar 6 bulan setelah diet pakan dirubah menjadi
makanan kaleng komersial. Prognosis jangka panjang dari kasus ini
adalah dengan menjaga asupan vitamin A, karena dengan
pertimbangan adanya lesi tulang yang luas dan gejala neurologis yang
parah, serta kompresi pleksus brakialis.

DAFTAR PUSTAKA

Allan, GS. 2000. Radiographic features of feline joint diseases. The Veterinary
Clinics of North America. Small Animal Practice. 30: 281-302.

Armstrong PJ., Hand MS. 1994. Nutritional disorders. In: Sherding RG (ed), The
Cat. Diseases and Clinical Management (2nd edn). New York: Churchill
Livingstone,pp.1639-1640.

Bennett, D. 1994. The musculoskeletal system. In: Chandler EA, Gaskell CJ,
Gaskell RM (eds), Feline Medicine and Therapeutics (2nd edn). Oxford:

35
Blackwell,pp.142-143.

Braund KG .2002. Nutritional disorders. In: Vite CH, Braund KG (eds), Braund’s
Clinical Neurology in Small AnimalsLocalization, Diagnosis and
Treatment. Ithaca, New York: International Veterinary Information Service
(http://www.ivis.org).

Cho DY, Frey RA, Guffy MM, Leipold HW. 1975. Hypervitaminosis of the dog.
American Journal of Veterinary Research 36: 1597-1603.

Zoe, SP., George, K., Michael, NP., Nikolaos, R. 2005. Hypervitaminosis A in the
cat: a case report and review of the literature. Journal of Feline Medicine
and Surgery. 7: 363-368

36

Anda mungkin juga menyukai