Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

MANAJEMEN TERNAK PERAH


“Manajemen Kesehatan Pada Sapi Perah”

Disusun Oleh :
Kelompok 1
Kelas F

MUHAMMAD ALDI ALFARIZI 200110160160


DEWI SARAH 200110170005
SYIFA FAUZIANA PUTRI 200110170010
CHRISTINA YOHANNA F M 200110170013
WIDI TRIA ERLIANA 200110170016
R EGI NURSAMSI 200110170017
FUZI RIDWAN FIRDAUS 200110170022
WINA WIDIAWATI 200110170027
YASMIN MUTIA 200110170029

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan
makalah yang berjudul “Manajemen Kesehatan pada Sapi Perah”.
Pembuatan makalah ini banyak memperoleh bimbingan dan dukungan dari
berbagai pihak, oleh karena itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Ir.
Hermawan MS. selaku Dosen mata kuliah Manajemen Ternak Perah yang telah
memberikan bimbingan serta dukungan.
Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
agar dapat lebih baik lagi dalam pengerjaan makalah berikutnya. Semoga atas
tersusunnya makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembacanya untuk
dapat lebih memahami dan memperdalam materi yang ada pada makalah ini.

Sumedang, Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Bab Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................. v

I PENDAHULUAN................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ................................................... 2
1.3 Maksud dan Tujuan .................................................... 2
II PEMBAHASAN.................................................................... 3
2.1 ..................................................................................... 3
2.2 ..................................................................................... 4
2.3 ..................................................................................... 4
2.4 ..................................................................................... 5
2.5 ..................................................................................... 6

III KESIMPULAN DAN SARAN............................................. 9


3.1 Kesimpulan................................................................. 9
3.2 Saran .......................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 23

LAMPIRAN...................................................................................... 25

iii
iv
1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi perah merupakan salah satu ternak penghasil susu yang cukup tinggi,

untuk mendapatkan produk susu yang tinggi perlu diperhatikan manajemen

kesehatan dari sapi perah. Kesehatan ternak merupakan salah satu aspek yang

harus diperhatikan dalam manajemen pemeliharaan sapi perah, karena ternak yang

sehat akan memiliki produktivitas (memberikan hasil) yang optimal. Upaya

penanganan kesehatan pada ternak meliputi pencegahan, pengendalian,

pengobatan dan rehabilitative (pemulihan).

Manajemen kesehatan mempunyai arti penting karena meningkatkan hasil

usaha (baik bibit maupun susu) sehingga dengan optimalisasi produktivitas akan

meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak. Walaupun demikian faktor

kesehatan sangat terkait erat dengan manajemen pakan dan pola pemeliharaan.

Terjadinya penyakit pada sapi perah sangat merugikan pemilik/peternak, karena

akan mengakibatkan penurunan produksi, mengurangi kesempatan berreproduksi,


menambah medical cost, resiko kematian ternak, bahkan penyakit-penyakit

tertentu yang dapat menular pada ternak lain dan manusia. Di samping itu

peternak juga harus memperhatikan kebersihan dan sanitasi, baik ternak, kandang

maupun lingkungannya, karena kebersihan erat kaitannya dalam usaha

pencegahan timbulnya penyakit pada sapi.

1.2 Identifikasi Masalah

(1) Bagaimana penyebab dan spesifikasi penyakit pada sapi perah?


2

(2) Bagaimana upaya pencegahan penyakit pada sapi perah?

(3) Bagaimana upaya penanggulangan penyakit pada sapi perah?

(4) Bagaimana kriteria dan penanganan penyakit pada sapi perah?

(5) Bagaimana sarana dan prasarana yang diperlukan pada sapi perah?

(6) Bagaimana indikator kesehatan dan kesejahteraan pada sapi perah?

1.3 Maksud dan Tujuan

(1) Mengetahui penyebab dan spesifikasi penyakit pada sapi perah.

(2) Mengetahui upaya pencegahan penyakit pada sapi perah.

(3) Mengetahui upaya penanggulangan penyakit pada sapi perah.

(4) Mengetahui kriteria dan penanganan penyakit pada sapi perah.

(5) Mengetahui sarana dan prasarana yang diperlukan pada sapi perah.

(6) Mengetahui indikator kesehatan dan kesejahteraan pada sapi perah.


3

II

PEMBAHASAN

2.1 Penyebab dan Spesifikasi Penyakit

2.1.1 Mastitis

Mastitis adalah reaksi peradangan ambing yang disebabkan oleh kuman,

zat kimia, luka termis (bakar) atau luka mekanis. Peradangan ini menyebabkan

bertambahnya protein di dalam darah dan sel-sel darah putih didalam jaringan

mammae. Mastitis dapat timbul karena adanya reaksi dari kelenjar susu terhadap

suatu infeksi yang terjadi pada kelenjar susu tersebut. Reaksi ini ditandai dengan

adanya peradangan pada ambing untuk menetralisir rangsangan yang ditimbulkan

oleh luka serta untuk melawan kuman yang masuk kedalam kelenjar susu agar

dapat berfungsi normal. Mastitis dapat menyebabkan perubahan fisik, kimia, dan

bakteriologi dalam susu serta perubahan patologi dalam jaringan glandula.

Perubahan yang paling menonjol dalam susu meliputi perubahan warna, terdapat

gumpalan dan munculnya leukosit dalam jumlah besar, Mastitis merupakan


penyakit radang ambing yang disebabkan oleh mikroorganisme terutama dalam

bentuk bakteri, penyakit ini menimbulkan banyak kerugian pada peternakan sapi

perah. Kerugian tersebut antara lain adalah adanya ongkos perawatan dan

pengobatan, penurunan produksi susu dan penurunan kualitas susu (Hungerford,

1990).

Menurut penelitian Puguh Surjowardojo (2011) yang dilakukan di wilayah

kerja KUTT Suka Makmur di Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan menyatakan

bahwa faktor penyebab terjadinya mastitis adalah sebagai berikut:


4

1) Kondisi Kandang dan Ternak

Pada kandang masih terlihat sisa pakan yang tercecer dan kotoran sapi

yang menempel pada dinding dan lantai kandang. Kandang yang basah akan

menyebabkan lantai licin, sehingga sapi perah malas untuk bangun. Hal ini

menyebabkan ambing dapat kontak langsung dengan mikro organisme patogen

yang ada di lantai kandang. Subronto (1995) berpendapat bahwa kandang yang

lembab ataupun tidak bersih memudahkan terjadinya infeksi ambing. Salah satu

faktor yang memberikan kesempatan (prediposisi) terjadinya mastitis ialah

sanitasi kandang yang jelek Selain itu kotoran sapi juga masih menempel pada

tubuh ternak karena sapi tidak dimandikan. Kulit ambing dan puting yang kotor

merupakan tempat yang baik untuk mikro organisme tumbuh. Kondisi seperti ini

akan memudahkan ambing dan puting terkontaminasi mikro organisme patogen

sehingga terjadi peradangan.

2) Kondisi Pemerah

Pemerah di KUTT Grati kurang memperhatikan kebersihan tubuhnya yaitu

tidak mencuci tangan ketika berpindah dari sapi satu ke sapi yang lain, sehingga

sangat memungkinkan infeksi mastitis terjadi akibat tangan pemerah yang tidak

bersih dan terkontaminasi dengan bakteri penyebab mastitis dari sapi yang

terinfeksi mastitis. Menurut Sudono, Rosdiana dan Setiawan (2003) bahwa

kebersihan pemerah harus diutamakan, karena melalui pemerah dapat terjadi

penularan mastitis akibat kontak bakteri antara pemerah dan sapi yang diperah.

Oleh karena itu, tangan pemerah sebaiknya dicuci sebelum dan sesudah

melaksanakan pemerahan karena kontaminasi bakteri penyebab mastitis dari

ambing yang sakit ke ambing yang sehat dapat terjadi melalui tangan pemerah

yang kotor. Pendapat Van Den Berg (1988) bahwa sebelum pemerahan tangan
5

pemerah harus dicuci karena tangan tukang perah sebagai sumber bakteri patogen,

selain itu penyakit dapat menular dari sapi perah yang satu ke sapi perah yang lain

oleh tangan tukang perah.

3) Manajemen Pemerahan

a. Persiapan Pemerahan

Persiapan pemerahan di lokasi penelitian dimulai dengan membersihkan

kandang, mempersiapkan peralatan pemerahan, membersihkan ambing dengan air

kran, memberi pakan dan mencuci tangan pemerah. Persiapan pemerahan seperti

ini kurang baik yaitu kurang adanya upaya preventif terhadap pencemaran infeksi

mastitis. Pemerah hendaknya memandikan sapi, membersihkan ambing dengan air

hangat yang dibasuhkan dengan handuk dan mengeringkan ambing dengan

handuk kering. Hal ini dilakukan untuk menghindarkan ambing dan puting dari

mikro organisme penyebab mastitis dan untuk merangsang pelepasan oxytocin

dalam proses milk letdown. Identifikasi mastitis dini penting untuk dilakukan

sebelum pemerahan yaitu dilakukan stripping untuk mengidentifikasi sapi yang

terinfeksi mastitis, sehingga dapat dilakukan upaya preventif agar tidak menyebar

ke sapi yang tidak terinfeksi mastitis (Anonimus, 2007).

b. Pelaksanaan Pemerahan

Pemerahan dilakukan dengan cara whole hand. Cara ini adalah baik karena

dapat mengurangi luka pada puting pada saat pemerahan berlangsung. Pemerahan

yang kasar akan mengakibatkan luka pada puting, sehingga mudah tercemar

mikro organisme pengebab mastitis.

c. Pengakhiran Pemerahan

Teat dipping di akhir pemerahan disertai dengan pencelupan puting ke

dalam larutan desinfektan setelah pemerahan selesai dapat mengurangi terjadinya


6

infeksi mastitis sebesar 50% (Anonimus, 2007). Menurut Surjowardojo (1990)

setelah pemerahan selesai sebaiknya dilakukan pencucian ambing dengan air

hangat dan dilakukan pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan. Teat

dipping tidak dilakukan oleh pemerah di lokasi penelitian. Hal ini menyebabkan

mikro organisme patogen mudah untuk masuk ke dalam puting. Streak canal

masih terbuka beberapa saat setelah sapi diperah harus diupayakan agar tidak

dimasuki mikro organisme. Pemerah di lokasi penelitian memberi pakan sesaat

setelah sapi diperah agar sapi tidak berbaring, sehingga puting sapi tidak kontak

langsung dengan lantai maupun kotoran. Hasil penelitian menunjukkan 14 ekor

atau 40% dari 35 sapi yang diamati tidak terdeteksi mastitis seperti yang terlihat

pada Gambar 4. Hal ini menunjukkan manejemen pemeliharaan masih kurang

baik.

2.1.2 Brucellosis

Brucellosis adalah penyakit ternak menular yang secara primer menyerang

sapi, kambing, babi dan sekunder berbagai jenis ternak lainnyaserta manusia. Pada

sapi penyakit ini dikenal sebagai penyakit Kluron atau pemyakit Bang. Sedangkan

pada manusia menyebabkan demam yang bersifatundulans dan disebut Demam

Malta. Jasad renik penyebab è Micrococcus melitensis yang selanjutnya disebut

pula Brucella melitensis. Bakteri Brucella untuk pertama kalinya ditemukan oleh

Bruce (1887) pada manusia dan dikenal sebagai Micrococcus miletensi.

Kemudian Bangdan Stribolt (1897) Mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi

yang menderita kluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus

bovis.

Bakteri Brucella bersifat gram negatif, berbentuk batang halus,mempunyai

ukuran 0,2 - 0,5 mikron dan lebar 0,4 - 0,8 mikron, tidak bergerak, tidak berspora
7

dan aerobik. Brucella merupakan parasit intra seluler dan dapat diwarnai dengan

metode Stamp atau Koster. Brucellosis yang menimbulkan masalah pada ternak

terutama disebabkan oleh 3 spesies, yaitu Brucella melitensis, yang menyerang

pada kambing, Brucella abortus, yang menyerang pada sapi dan Brucella suis,

yang menyerang pada babi dan sapi.Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen

M dan antigen a. Brucella melitensis memiliki lebih banyak antigen M

dibandingkan antigen A,sedangkan Brucella abortus dan Brucella suis sebaliknya.

Daya pengebalan akibat infeksi Brucella adalah rendah karena antibodi tidak

begitu berperan.Kerugian ekonomi yang diakubatkan oleh brucellosis sangat

besar, walaupun mortalitasnya kecil, kerugian tersebut antara lain:-anak ternak

yang dilahirkan lemah, kemudian mati- terjadi gangguan alat-alat reproduksi yang

mengakibatkan kemajiran temporeeatau permanen.turunnya produksi air

susu.Brucellosis merupakan penyakit beresiko sangat tinggi, oleh karena itualat-

alat yang telah tercemar bakteri brucella sebaiknya tak bersentuhanlangsung

dengan manusia. Sebab penyakit ini dapat menular dari ternak kemanusia dan

sulit diobati, sehingga brucellosis merupakan zoonosis yang penting. Tetapi

manusia dapat mengkonsumsi daging dari ternak-ternak yang tertular sebab tidak

berbahaya apabila tindakan sanitasi minimum dipatuhi dandagingnya dimasak.

Demikian pula dengan air susu dapat pula dikonsumsitetapi harus dimasak atau

dipasteurisasi terlebih dahulu. Kuman Brucella diluar tubuh induk semang dapat

bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam waktu tertentu.

Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah selama 4

hari di luar suhu kamar, padatanah yang lembab dapat bertahan hidup selama 66

hari dan pada tanah becek bertahan hidup selama 151-185 hari. Kuman Brucella

juga dapat bertahanhidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah kandang
8

bagian bawah dengansuhu yang relative tinggi . Pada air minum ternak, kuman

dapat bertahanselama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari.

2.1.3 Diare

Diare adalah masalah umum yang dijumpai pada anak sapi dan kerbau,

meskipun diare dapat juga terjadi pada hewan yang telah dewasa. Banyak agen

yang bersifat patogen seperti bakteria dapat menyebabkan diare. Hampir semua

peternakan yang telah terekspos agen penyakit penyebab diare akan sangat

mempengaruhi status kesehatan ternaknya. Diare pada hewan ruminansia pada

umumnya disebabkan oleh lebih dari satu faktor agen patologik.

Virus menyerang lapisan sel usus kecil yang mengganggu proses

penyerapan. Virus masuk kedalam sel dan menggunakan bahan bahan sel tersebut

untuk reproduksinya. Ketika sel yang menjadi tempat berkembang biak penuh

oleh virus, sel tersebut pecah dan mengeluarkan virus-virus baru untuk menyerang

sel lain lebih banyak.

Infeksi yang disebabkan virus menyebabkan pedet menjadi lebih rentan

terhadap serangan infeksi bakteri lain. Rotavirus dan Coronavirus memiliki cara

kerja yang sama dan merupakan “tertuduh” utama pada kasus diare pada pedet.

Kedua organisme tersebut banyak terdapat pada sapi dewasa dan paparan pada

sapi sapi muda menjadi sangat umum.

Gejala yang ditimbulkan adalah mencret parah, hampir tidak ada demam,

depresi dan dehidrasi hebat. Seringkali terjadi pengeluaran saliva (air liur) dan

sering mengejan.

Biasanya terjadi sampai pada 10 - 14 hari sejak kelahiran, khususnya 10

hari pertama. Seringkali terdapat kompilikasi serangan lain dari bakteri seperti E.
9

coli. Pada kasus ini antibiotik tidak efektif terhadap virus, tapi dapat membantu

melawan infeksi bakterinya.

Rotavirus - Dapat mengakibatkan diare pada pedet dalam 24 jam setelah

dilahirkan. Dapat menulari ternak berusia 30 hari atau lebih. Pengeluaran saliva,

dan diare hebat. Kotoran dapat berwarna kuning sampai hijau. Kehilangan nafsu

makan dan tingkat kematian dapat mencapai 50 persen, tergantung pada kehadiran

infeksi lanjutan dari jenis bakteri lain.

Coronavirus - Terjadi pada pedet usia 5 hari atau lebih. Dapat menulari

pedet yang berusia 6 minggu atau lebih. Tingkat depresi tidak setinggi infeksi oleh

rotavirus. Pada awalnya, feses ternak akan menunjukkan bentuk dan warna yang

sama dengan infeksi rotavirus. Setelah beberapa jam, feses dapat mengandung

lendir bening yang menyerupai putih telur. Diare dapat terus berlangsung selama

beberapa hari. Tingkat kematian akibat coronavirus berkisar antara 1 sampai 25

persen. Tanda luka seringkali tidak jelas. Biasanya usus penuh oleh feses cair.

Apabila tanda luka terlihat di dalam usus, itu biasanya diakibatkan oleh infeksi

bakteri lanjutan.

Diagnosis yang akurat hanya dapat ditentukan melalui pemeriksaan

laboratorium. Vaksinasi yang spesifik untuk rota dan coronavirus sudah tersedia.

Dapat diberikan dengan dua cara, oral segera setelah pedet dilahirkan, atau

vaksinasi terhadap induk sapi hamil. Program vaksinasi pada induk sapi ini

biasanya dilakukan beberapa kali. Pada tahun pertama program, vaksin pertama

diberikan pada 6 - 12 minggu sebelum kelahiran, dan yang kedua sedekat

mungkin dengan waktu kelahiran. Kemudian pada tahun selanjutnya, si induk

diberikan booster vaksin sebelum melahirkan. Apabila periode melahirkan

terlambat lebih dari 6 - 8 minggu, induk yang belum melahirkan di akhir minggu
10

ke-enam diberikan booster vaksin kedua. Dengan mengikuti prosedur ini, dapat

dipastikan bahwa pedet yang dilahirkan mendapat antibodi rota dan coronavirus

yang tinggi dalam kolostrum. Lebih lanjut, Bovine Virus Diarrhea (BVD) juga

merupakan agen virus yang dapat menyebabkan diare. Meskipun secara umum

jarang dijumpai pada pedet muda atau baru lahir. Antibodi yang berasal dari

kolostrum induk yang divaksin BVF sangat membantu melindungi pedet. Pedet

yang baru dilahirkan dan terkena infeksi BVD ini dapat mengalami demam tinggi,

nafas yang tersengal sengal dan diare parah. BVD seringkali ditemukan bersama

agen infeksius yang lain. BVD dapat dikendalikan dengan melakukan vaksinasi

terhadap sapi sapi dara (heifer) 1 atau 2 bulan sebelum di kawinkan.

Di Amerika Serikat, Coccidia & Cryptosporidia banyak ditemukan di

hampir semua kumpulan populasi sapi. Organisme ini masuk kedalam tubuh

melalui makanan dan air yang terkontaminasi dan dapat hidup dalam kondisi

dormant (suri) di tanah dan kotoran ternak selama 1 tahun. Ketika sampai di

dalam usus, telur (oocyst) dari protozoa ini menetas dan berkembang biak.

Menempel dan masuk ke dalam jaringan sel pada lapisan usus, menghambat

pencernaan dan penyerapan makanan. Gejala infeksi subklinis kronis tidak begitu

jelas, biasanya ternak menderita dan mengurangi konsumsi pakan sehingga

pertumbuhan terhambat. Infeksi akut menyebabkan diare (terkadang disertai

darah), depresi, kehilangan berat badan dan dehidrasi. Tapi biasanya pedet tetap

makan. Coccidia memiliki siklus hidup 21 hari. Sehingga pada pedet usia dibawah

itu (18 - 19 hari) jarang yang terinfeksi. Cryptosporidia biasanya ditemukan pada

pedet usia 7 - 21 hari. Secara umum menginfeksi bersama rotavirus, coronavirus

dan E. coli. Ada jenis protozoa lain yaitu Giardia yang baru sejak beberapa tahun
11

lalu cukup banyak ditemukan infeksinya.Infeksi banyak ditemukan terutama pada

pedet usia 3 sampai 5 minggu.

2.2 Upaya Pencegahan Penyakit Pada Sapi Perah

2.2.1 Pencegahan Mastitis

Pencegahan penyakit mastitis terutama ditujukan pada kebersihan

kandang, kebersihan sapi, serta pengelolaan peternakannya. Kandang yang selalu

bersih setidaknya mengurangi kemungkinan adanya pencemaran ambing oleh

bakteri. Kulit sapi merupakan tempat sementara bagi mikroorganisme. Bakteri

streptococcus dan staphylococcus selalu dapat diisolasi dari kulit sapi yang klinis

nampak normal. Memandikan sapi mempunyai pengaruh pencucian mikrobia

secara langsung. Termasuk pada pengelolaan peternakan adalah jumlah sapi dalam

satu kandang. Semakin pendek jarak antara sapi, kemungkinan penularan juga

semakin besar. Pedet yang biasa menyusu langsung dari putting induknya dapat

bertindak sebagai perantara dalam penularan radang dari perempatan yang sakit

ke yang sehat, juga pada betina yang bukan induknya sehingga betina yang sehat

dapat tertular. Seyogyanya, pedet segera disapih semuda mungkin dan diberi

minum dengan botol ataupun ember (Subronto, 2003).

Pemerahan susu dengan tangan ataupun mesin juga mampu menularkan

kuman dari satu sapi ke sapi lain. Pencegahannya tangan pemerah harus dicuci

setiap kali akan memulai memerah dan pindah dari satu sapi ke sapi berikutnya

(Subronto, 2003). Penting untuk diperhatikan juga yaitu desinfeksi, dengan cara

dipping terhadap putting susu setelah pemerahan. Pengalaman dalam praktek

dipping dengan alkohol 70% untuk beberapa menit telah mengurangi infeksi
12

ambing dengan drastis. Obat-obat yang biasa dipakai meliputi chlorhexidine

0.5%, kaporit 4%, dan lodophore 0.5-1%, untuk mencegah kontaminasi obat atas

air susu, hendaknya ambing dicuci dengan air bersih sebelum pemerahan (Jasper,

1980).

Pencegahan lain yang perlu diperhatikan adalah pendidikan terhadap

peternak akan prinsip-prinsip pencegahan penyakit, kontrol air susu yang

diedarkan serta tindakan ikutan bila jumlah sel yang ditemukan terlalu tinggi.

Disamping itu, hindarkan kemmungkinan adanya hal-hal yang menyebabkan luka

pada ambing atau puting susu baik melalui cara pemerahan maupun adanya lantai

kandang yang dapat menyebabkan luka (AAK, 1994). Sapi yang menderita

mastitis harus dipisahkan dari sapi yang sehat, dan setiap kali jadwal

dilakukannya pemerahan harus sampai apuh, tidak ada air susu yang tertinggal

dalam putting (AAK, 1995).

2.2.2 Pencegahan Brucellosis

Pencegahan brucellosis dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti

memperhatikan lalu lintas ternak untuk daerah yang bebas. Usaha-usaha

pencegahan terutama ditujukan kepada vaksinasi dan tindakan sanitasi yang bisa

dilakukan yaitu:

- Sisa-sisa abortusan yang bersifat infeksius dihapushamakan. Fetus dan

plasenta harus dibakar dan vagina apabila mengeluarkan cairan harus diirigasi

selama 1 minggu

- Bahanbahan yang biasa dipakai didesinfeksi dengan desinfektan, yaitu :

phenol, kresol, amonium kwarterner, biocid dan lisol


13

- Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang mengalami kluron.

Apabila seekor ternak pejantan mengawini ternak betina tersebut, maka penis

dan preputium dicuci dengan cairan pencuci hama

- Anak-anak ternak yang lahir dari induk yang menderita brucellosis sebaiknya

diberi susu dari ternak lain yang bebas brucellosis

- Kandang-kandang ternak penderita dan peralatannya harus dicuci dan

dihapushamakan serta ternak pengganti jangan segera dimasukkan.

- Ternak pengganti yang tidak punya sertifikat bebas brucellosis dapat

dimasukkan bila setelah diuji serologis negatif. Sedangkan yang mempunyai

sertifikat bebas brucellosis dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60

sampai 120 hari setelah dimasukkan dalam kelompok ternak (Sutjipto, 1995).

2.3 Upaya Penanggulangan Penyakit Pada Sapi Perah

2.3.1 Mastitis

Menurut Nurhayati dan Martindah (2015) infeksi mastitis subklinis pada

sapi perah umumnya terjadi saat kering yaitu dua minggu setelah penghentian

pemerahan dan dua minggu menjelang waktu beranak. Pada saat kering, ambing

paling peka terhadap kemungkinan infeksi terutama menjelang waktu beranak dan

awal masa laktasi. Kejadian mastitis subklinis yang terjadi pada masa kering

mencapai 63%. Infeksi yang terjadi pada periode tersebut akan terus berlangsung

selama masa laktasi.

Beberapa upaya dalam pengendalian mastitis subklinis diantaranya adalah

1) Monitoring jumlah sel somatik untuk mengetahui kasus mastitis subklinis

secara dini; 2) Penggunaan antiseptik setelah pemerahan; 3) Dipping peralatan

pemerahan; 4) Desinfeksi Kandang; 5) Pengobatan mastitis pada saat periode


14

kering dan; 6) Pengobatan antibiotik yang tepat pada MK. (Nurhayati dan

Martindah, 2015)

Pengendalian mastitis subklinis dengan pemberian antibiotik pada saat

kering, baik pada sapi maupun kambing terbukti dapat menurunkan jumlah

bakteri yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi susu. Pemberian

antibiotik pada kasus mastitis saat kering pada kambing menyebabkan penurunan

jumlah bakteri dari 60 menjadi 20%, penurunan jumlah sel somatik dari 2.500 ×

103 menjadi 1.000 × 103 sel/ml dan secara bersamaan terjadi peningkatan

produksi susu 395-487 liter/ekor/tahun. Pemberian antibiotik yang masih efektif

dalam tindakan pengobatan terhadap kasus mastitis patogen antara lain,

amoxyxillin, ampicillin, dan neomycin. (Nurhayati dan Martindah, 2015).

Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering memiliki beberapa keuntungan

yaitu (1) Tingkat keberhasilan pengobatan jauh lebih tinggi dibandingkan pada

saat laktasi sebesar 80-90%. Pemberian antibiotik pada saat laktasi mempunyai

tingkat keberhasilan lebih rendah yaitu sekitar 30-40%; (2) Dosis yang digunakan

dalam tindakan pengobatan dapat lebih tinggi dan aman, karena waktu retensi

obat di dalam ambing menjadi lebih lama; (3) Risiko kontaminasi antibiotik ke

dalam susu dapat dihindari karena susu tidak diperah; dan (4) Merupakan cara

terbaik untuk mengobati mastitis subklinis dan mastitis kronis yang sulit

dilakukan pada masa laktasi. (5) menurunkan jumlah infeksi baru sampai 30%.

Strategi Pengendalian
15

Langkah pertama yaitu, sapi laktasi yang diduga maupun tidak diduga

menderita penyakit mastitis subklinis diambil susunya untuk dideteksi

menggunakan metode Mastech dengan 0,4 ml biosurfaktan untuk 2 ml susu atau

dengan perbandingan 0,4:2. Jika susu tersebut positif mengandung bakteri yang

menyebabkan mastitis subklinis maka viskositas susu akan meningkat dan susu

akan terlihat mengental. Langkah kedua, sapi yang sudah terdeteksi menderita

penyakit mastitis subklinis maka di tandai dan saat masa keringnya tiba maka sapi

tersebut diberikan antibiotik yang masih efektif dalam tindakan pengobatan

terhadap kasus mastitis patogen antara lain, amoxyxillin, ampicillin, dan

neomycin. Dengan menggunakan metode Mastech untuk mendekteksi mastitis

subklinis maka akan mengurangi biaya pengeluaran terhadap antibiotik, karena

tidak semua sapi sebelum terdeteksi menderita mastitis subklinis. Dengan tingkat

keberhasilan tindakan 80-90% dan menurunkan jumlah infeksi baru sebesar 30%

maka strategi ini sangat mungkin untuk diterapkan langsung di masyarakat.

Menurut Middleton dan Foxt (2001) pengobatan mastitis bisa dengan

penggunaan infus intramammaria dengan 120 ml, 5% Povidone-Iodine (0,5%

Iodine) setelah susu diperah habis pada 7 ekor penderita mastitis akbiat

Staphylococcus aureus menunjukkan hasil yang sangat memuaskan, karena 100%

(7 ekor) penderita bisa memproduksi susu kembali pada laktasi berikutnya.

Sedangkan terapi mastitis dengan infus Chlorhexidine, hanya menghasilkan 71%

(5 ekor). Mean milk Weight (kg) pada terapi Iodine lebih besar daripada terapi

dengan Chlorhexidine. Sekresi susu dari kuartir yang diberi Iodine tidak

mengandung residu pada pemeriksaan 35 hari post infusi, sedangkan pada infusi

dengan Chlorhexidine ternyata mengandung residu antibiotik.


16

2.3.2 Brucellosis Sapi Perah

Pengobatan brucellosis harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya

komplikasi. Pada hewan penyakit brucellosis sampai saat ini belum ada obat

yang cukup efektif. Pengobatan memerlukan beberapa antibiotik dalam beberapa

minggu, antibiotic tersebukt seperti doksisiklin, streptomisin dan rifapisin. Pada

beberapa kasus yang terjadi jika kondisi ternak sudah kronis pengobatan yang

dilakukan adalah pemberian vaksin atau obat dengan dosis yang besar.

2.3.3 Penanggulangan Diare pada Pedet Sapi Perah

Pengobatan yang dilakukan pada kasus diare dalam penelitian Dwi (2016)

adalah dengan pemberian Avante, Duphafral, Vetadryl dan Biosolamine.

Duphafral adalah vitamin, bentuk cairan. Tiap ml mengandung Vitamin A 500.000

IU, Cholecalciferol (Vit D3) 50.000 IU, Vitamin E 50 IU. Indikasi pencegahan

dan pengobatan desiensi vitamin A, D3 dan E. Diberikan melalui suntikan

intramuskuler atau subkutan dengan dosis : anak sapi ( 0,5 – 1 ml ).

Vetradyl adalah obat anti histamin, setiap milliliter mengandung

diphenhydramin HCl 20 miligram. Dosis yang digunakan untuk sapi adalah 1,25 –

2,5 per 100 kilogram bobot badan. Diberikan secara injeksi intramuskuler. Avante

merupakan preparat antibioti spektrum luas, efek antibakterial sangat kuat

terhadap bakteri gram negatif maupun positif, termasuk bakteri penghasil β-

laktamase serta bakteri anaerobik.

Avante injeksi mencapai konsentrasi serum efektif dalam waktu singkat,

sehingga memberikan efek terapeutik dalam waktu 1 jam setelah pemberian.

Avante 0,1 gram mengandung 100 mg ceftiofur sodium. Biosolamine

mengandung ATP, Magnesium aspartat, Kalium aspartat, Natrium Selenite dan

vitamin B12. Indikasi obat ini adalah untuk menstimulir tubuh, terutama pada
17

tonus otot, sehingga bisa diberikan pada ternak yang mengalami kelemahan otot

akibat kerja keras, transportasi, melahirkan, kekurangan makanan, infeksi dan

dyspnoe syndrome pada anak sapi.

Pada kasus diare pedet disarankan oleh Subronto (2003), tidak

memberikan air susu atau susu pengganti (milk replacer) selama 1-2 hari, sampai

diare dapat diatasi. Pemberian antibiotik secara oral dihindari, karena berefek

negatf berupa dibebaskannya endotoksin secara langsung akibat kematian dan

terlarutnya sel-sel bakteri. Endotoksin tersebut dapat mengakibatkan kematian

mendadak karena shock endotoksin. Dinyatakan pula bahwa pada penderita diare

perlu diterapi dengan pemberian cairan faali dan elektrolit.

2.4 Kriteria dan Penanganan Penyakit Pada Sapi Perah

2.4.1 Kriteria Karantina

Sapi perah yang masuk Karantina mempunyai kriteria khusus untuk

diperiksa, mulai dari dokumen dan analisa kesehatan hewan. Setiap media

pembawa hama dan penyakit hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah negara

RI wajib memenuhi persyaratan administratif ; (U.U . Karantina, 1992)

(1) Dilengkapi sertifikat kesehatan dari negara asal dan negara transit

bagihewan, kecuali media pembawa yang tergolong benda lain.

(2) Melalui tempat-tempat pemasukan yang telah ditentukan (post de entry).

(3) Dilaporkan dan diserahkan kepada petugas karantina hewan di tempat-

tempat pemasukan untuk keperluan tindakan karantina begitu juga setiap

media pembawa hama dan penyakit yang dibawa/dikirim dari satu area ke

area lain maupun yang akan dikeluarkan dari wilayah negara RI.
18

Menurut Balai Penelitian Ternak, Tindakan karantina dapat dilakukan

berupa:

a. Pemeriksaan

Untuk mengetahui kelengkapan dan kebenaran isi dokumen untuk

mendeteksi hama dan penyakit hewan karantina pemeriksaan fisik terhadap

hewan, bahanasal hewan, hasil bahan asal hewan dapat dilakukan koordinasi

dengan instansi lain yang bertanggung jawab dibidang penyakit karantina yang

membahayakan kesehatan manusia.

b. Pengasingan

Untuk mendeteksi lebih lanjut terhadap hama dan penyakit hewan

karantina tertentu yang karena sifatnya memerlukan waktu lama, sarana dan

kondisi khusus maka terhadap media pembawa yang telah diperiksa dapat

dilakukan pengasingan untuk diadakan pengamatan.

c. Pengamatan/Perlakuan

Dilaksanakan setelah dilakukan pemeriksaan/pengasingan apakah media

pembawa hama dan penyakit hewan tertular atau tidak.

d. Penahanan

Dilaksanakan apabila setelah pemeriksaan ternyata persyaratan karantina

untuk pemasukan ke dalam atau dari suatu area ke area lain di dalam wilayah

negara RI belum seluruhnya dipenuhi, pemerintah menetapkan batas waktu

pemenuhan persyaratan.

e. Penolakan

Dapat dilakukan apabila:

 Pada waktu diadakan pemeriksaaan di atas alas angkut tertlar hama dan

penyakit hewan
19

 Tidak dilengkapi dengan sertifikat kesehatan dari negara asal/daerah asal

 Pemassuka hewan tidak melalui tempat yang telah ditetapkan oleh pemerintah

 Dalam waktu penahanan, keseluruhan persyaratan yang harus dilengkapi

dalam batas watu yang telah ditetapkan tidak dapat dipenuhi

 Setelah diberi perlakuan di atas alas angkut, tidak dapat disembunkan dari

hama dan penyakit hewan karantina

f. Pemusnahan

Dilakukan apabila setelah media pembawa tersebut diturunkan dari alat

angkut dan dilakukan pemeriksaan ternyata tertular hama dan penyakit hewan .

 Setelah dilakukan penolakan, media pembawa tidak segera dibawa ke luar

dari wilayah negara RI atau dari area tujuan oleh pemiliknya dalam batas

waktu yang telah ditetapkan.

 Setelah dilakukan pengamatan dalam pengasingan tertular hama dan penyakit

hewan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah.

 Media pembawa tersebut tak dapat disembuhkan dari hama dan penyakit

hewan.

 Pemilik tidak berhak menuntut ganti rugi apapun.

g. Pembebasan

Bisa dilaksanakan dengan syarat;

 Media pembawa (hewan) setelah diperiksa tidak tertular hama dan penyakit

hewan.

 Waktu pengamatan dalam pengasingan tidak tertular penyakit hewan.

 Media pembawa yang tertular, dapat disembuhkan dari hama dan penyakit

hewan.
20

 Pembebasan media pembawa harus disertai dengan pemberian sertitikat

pelepasan dan sertifikat kesehatan .

2.4.2 Penanganan Pengafkiran

Keputusan tentang pengafkiran sapi secara signifikan dapat mempengaruhi

produktivitas susu. Tingkat pemusnahan bervariasi antara kelompok ternak dan

mungkin terkait dengan tingkat penyakit atau program pengendalian penyakit.

Kesuburan, mastitis, dan cedera adalah alasan umum untuk mengafkir sapi.

Pemusnahan merupakan aspek penting dalam mengendalikan penyakit lain seperti

tuberkulosis sapi, brucellosis, paratuberculosis, dan mastitis kronis yang

disebabkan oleh beberapa patogen mastitis menular. Cara untuk memilih sapi

untuk di afkir (Kenyon, 2003):

 Pemotongan sapi dan sapi merupakan strategi yang juga bias

dipertimbangkan. Tapi pastikan untuk mempertimbangkan implikasi

jangka panjang untuk mengurangi jumlah penggantinya (replacement

stock) pengganti masa yang akan datang. Di satu sisi, pengafkiran sapi

laktasi dan sapi dara sangat mengurangi pakan yang dibutuhkan untuk

populasi sapi tersebut dan memberikan pakan yang tersisa untuk diberikan

ke sapi perah yang akan menghasilkan pendapatan.

 Pertimbangkan risiko bahwa sapi dengan kondisi penyakit yang akan di

afkir. Risiko ini bervariasi dengan kondisinya. Sapi dengan kondisi risiko

tinggi atau sedang adalah calon afkir.

2.5 Sarana dan Prasarana Yang Diperlukan

Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan,

lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat

pelaksanaan tindakan karantina. Beberapa istilah dalam IKH antara lain


21

1. Kandang, adalah tempat atau bangunan berikut sarana penunjang yang ada

didalamnya berfungsi sebagai tempat pemeliharaan dan tempat melakukan

tindakan pengamatan selama masa karantina yang mempu menampung ternak

sesuai dengan kapasitasnya dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum

serta ketinggian kandang yang memadai.

2. Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk melakukan tindakan

pengamatan intensif dan tidakan perlakuan khusus terhadap sebagian hewan

selama masa karantina. Kandang ini juga digunakan sebagai tempat

menangani ternak yang mengalami gangguan kesehatan.

3. Kandang jepit adalah kandang yang dipergunakan untuk melakukan

penjepitan hewan guna mengurangi resiko cedera terhadap hewan maupun

petugas serta memudahkan tindakan pemerikasaan dan perlakuan.

4. Gudang pakan adalah tempat penyimpanan pakan sebelum diberikan pada

ternak.

5. Ternak rumansia besar adalah ternak piara (sapid an kerbau) yang

kehidupannya, perkembangbiakannya serta manfaatnya diatur dan diawasi

oleh manusia.

6. Pakan ternak adalah makanan ternak ruminansia besar yang berupa hijauan,

bahan baku maupun pakan jadi.

7. Paddock atau pen adalah bagian kandang yang dibatasi dengan pagar

pembatas dan luas paddock/pen tergantung pada jumlah ternak yang akan

ditempatkan di area tersebut.

8. Gangway adalah suatu fasilitas brupa lorong atau jalan sempit untuk ternak.

fasilitas ini dibuat untuk memudahkan menggiring ternak ke dalam kandang-


22

kandang instalasi maupun menggiring ternak yang akan masuk/dimuat ke

dalam truk.

9. Kandang paksa (forcing yard) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk

menggiring atau memasukkan ternak kedalam gangway.

10. Tempat bongkar dan muat ternak adalah fasilitas untuk menurunkan dan

menaikkan ternak dari dan ke alat angkut.

11. Alat angkut adalah angkutan darat dan sarana yang digunakan utnuk

mengangkut langsung berhubungan dengan ternak ruminansia besar.

12. Limbah adalah hasil buangan kandang yang berupa kotoran ternak, sisa pakan

dan kotoran lainnya.

Agen penyakit dapat ditularkan melalui hewan, manusia, pakan dan

peralatan. Oleh karena itu komponen lain yang menunjang keberhasilan

biosekuriti adalah traffic control atau pengawasan dari lalu lintas/keluar masuk

ternak dalam peternakan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dana traffic control, yaitu :

1. Pembersihan area peternakan sebelum sapi masuk.

2. kontrol terhadap kendaraan yang masuk ke dalam peternakan.

3. Kontrol terhadap pengunjung/petugas yang keluar masuk area peternakan.

4. Tempat pembuangan atau pembakaran hewan mati ditempatkan jauh terpisah

dari area pembibitan.

5. Program pengendalian hewan yang dapat menyebarkan penyakit (missal

rodensia,dll) .

6. Ternak yang keluar masuk dalam peternakan dan pemindahan ternak di dalam

area peternakan.
23

III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

(1) Telah diketahui secara visual (makrokopis) berbagai ukuran bahan pakan

yang telah digiling dan disaring oleh beberapa ukuran screen

(2) Telah diketahui dan mampu melaksanakan salah satu pengolahan fisik

secara pengeringan sehingga dapat mengetahui evaluasi pengolahan fisik.

3.2 Saran

Perlunya penambahan waktu agar setiap mahasiswa dapat mencoba

melakukan praktikum tersebut yang diharapkan setiap mahasiswa mampu

melakukan prosedur yang ada.


24

DAFTAR PUSTAKA

Puguh Surjowardojo, 2011. Tingkat Kejadian Mastitis dengan Whiteside Test

dan Produksi Susu Sapi Perah Friesien Holstein. Universitas Brawijaya, Malang

Hungerford, T.G. 1990. Disiase of Livestock. McGraw-Hill Book Co. Australia.

Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta

Van Den Berg, T. C. T. 1988. Higiene and Dairy Technology. Agriculture Faculty

Wageningen University. Nederland.


Surjowardojo. 1990. Hubungan Antara mastitis Berdasarkan CMT Terhadap

Produksi Susu Pada peternakan Sapi Perah Rakyat di Wilayah Kecamatan Pujon.

Malang.
Sutjipto. 1995. Penanganan Penyakit Brucellosis pada Sapi. Erlangga. Jakarta

lampiran
25

Dwi, Rahayu, 2016. Identifikasi Penyakit Pada Pedet Perah Pra-Sapih Di


Peternakan Rakyat. Jurnal Gamma, ISSN 0216-9037
Hanif dan Muzani. 2017. Strategi Pengendalian Mastitis Subklinis. Jurnal
Univerisitas Gadjah Mada
Nurhayati, I.S., Martindah, E. 2015.Pengendalian Mastitis Subklinis melalui
Pemberian Antibiotik Saat Periode Kering pada Sapi Perah.
Wartazoa.25(2).65-74
Subronto, 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Gadjah Mada Universiy Press
LINK JURNAL
https://www.researchgate.net/publication/320615759_STRATEGI_PENGENDAL
IAN_MASTITIS_SUBKLINIS/link/59f093a9458515bfd07f95cd/download
http://webcache.googleusercontent.com/search?
q=cache:Oh6kVzXTXUoJ:ejournal.umm.ac.id/index.php/gamma/article/downloa
d/2502/2707+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id
26

LAMPIRAN

NAMA NPM Distribusi Tugas


Manajemen Model Kandang
DEWI SARAH 200110170005
Tradisional
Manajemen Perkandangan Skala
SYIFA FAUZIANA P 200110170010
Kecil
CHRISTINA
200110170013 Editing dan Kesimpulan
YOHANNA F.M
Manajemen Model Kandang
WIDI TRIA E 200110170016
Modern
R EGI NURSAMSI 200110170017 Editing dan Mencari Video
FUZI RIDWAN
200110170022 Bab 1 Pendahuluan
FIRDAUS
Manajemen Perkandangan Skala
WINA WIDIAWATI 200110170027
Besar
YASMIN MUTHIA 200110170029 PPT
Manajemen Perkandangan Skala
MUHAMMAD ALDI 200110160160
Menengah

Anda mungkin juga menyukai