Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lapisan Superfisial Kulit


Kulit sebagai organ terluas tubuh manusia secara mikroskopis terbagi atas
dua regio berbeda, yaitu epidermis (superfisial) dan dermis (profunda). Epidermis
merupakan regio non-vaskular yang dibatasi oleh epitelium skuamous berlapis yang
memiliki keratin, sedangkan dermis yang terletak di bawah epidermis merupakan
regio vaskular yang terdiri atas jaringan ikat padat ireguler. Di bawah dermis terdapat
hipodermis yang terdiri atas lapisan subkutan jaringan ikat dan jaringan adiposa yang
membentuk fasia superfisial. (Eroschenko, 2008)
Seluruh regio tersebut saling berhubungan secara anatomi dan berinteraksi
satu sama lain, sehingga tidak mudah untuk mempelajari fungsi salah satu regio
dengan menyampingkan regio lain. Hanya beberapa proses patofisiologi yang hanya
melibatkan satu regio tanpa keterlibatan regio lain, misalnya dermatofitosis. Secara
patofisiologi, kulit terdiri atas tiga unit reaktif yang saling tumpang tindih dan terbagi
atas beberapa subunit yang berbeda. Unit-unit tersebut adalah Superficial Reactive
Unit (SRU), Dermal Reactive Unit (DRU), dan Subcutaneus Reactive Unit (S) yang
semuanya memberikan respon pada rangkaian stimulus patologis berdasarkan
kemampuan reaksi inheren pada pola yang terkoordinasi (Gambar 2.1.).
Sel keratin (keratinocyte) merupakan sel yang secara garis besar menyusun
komponen epidermis pada Superficial Reactive Unit. Selain itu, juga dapat
ditemukan beberapa populasi sel, seperti melanosit, sel Langerhans, sel Merkel, dan
sel-sel migran lain. Sel basal epidermis mengalami siklus proliferasi yang sel-selnya
akan berpindah ke superfisial dan secara individual mengalami keratinisasi.
Perpindahan ini tidak hanya terjadi antara sesama sel keratin, tetapi juga melewati
melanosit dan sel Langerhans yang perpindahannya ke arah permukaan kulit. (Wolff
et al., 2003)

Universitas Sumatera Utara


Keterangan:
SRU : Superficial Reactive Unit
E : Epidermis
J : Junction Zone
PB : Papillary Body
SVP : Superficial Microvascular Plexus
DRU : Dermal Reactive Unit
RD : Reticular Dermis
DVP : Dermal Microvascular Plexus
S : Subcutaneous Reactive Unit
Sep : Septae
L : Lobule
A : Hair & Sebaceous Gland
HF : Hair Follicle
Gambar 2.1. Struktur Lapisan Kulit
Sumber:
http://accessmedicine.mhmedical.com/content.aspx?
bookid=392&sectionId=41138698, 2014

2.1.1. Histologi Lapisan Superfisial Kulit


Kulit dikategorikan atas tebal dan tipis berdasarkan ketebalan lapisan
epidermis (<1 mm hingga >5 mm) dan lokasinya pada permukaan tubuh.
Kulit dengan lapisan epidermis yang tebal (telapak tangan & kaki)
merupakan komponen kulit tebal yang tidak memiliki rambut. Sementara itu,
bagian kulit lain merupakan komponen kulit tipis yang memiliki folikel
rambut yang berbeda pada setiap regio. Perbedaan ketebalan tersebut
didasarkan atas pajanan terhadap abrasi dan penggunaannya yang
bermanifestasi terhadap tingkat produktivitas sel. Selain itu, kulit tebal
memiliki banyak kelenjar keringat tanpa folikel rambut, kelenjar minyak,
ataupun serabut otot polos. (Eroschenko, 2008).
Lapisan epidermis terdiri atas epitelium skuamous keratin bertingkat
yang terbagi atas lima tingkat, yaitu: stratum basal/ germinativum, stratum
spinosum, stratum granulosum, stratum lusidium, dan stratum korneum.
Selain itu, beberapa kelompok sel seperti keratinosit, melanosit, sel

Universitas Sumatera Utara


Langerhans, dan sel Merkel tersebar dengan komposisi yang berbeda pada
setiap tingkat lapisan epidermis (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Struktur Histologi Lapisan Epidermis Kulit


Sumber: Dermatology, An Illustrated Colour Text, 3rd Edition, 2003

2.1.2. Struktur dan Perkembangan Lapisan Superfisial Kulit


Epidermis merupakan epitelium skuamous yang secara berkelanjutan
diperbaharui dan berperan sebagai cikal-bakal pembentukan adneksa kulit
seperti unit pilosebaseous (PSU), kuku, dan kelenjar keringat. Epidermis
memiliki ketebalan sekitar 0,4 hingga 1,5 mm yang mayoritasnya terdiri atas
sel-sel keratin yang terbagi atas 5 lapisan/ stratum. Sel yang matang akan
berpindah ke permukaan kulit dari lapisan basal ke stratum korneum untuk
membentuk sel-sel keratin. Selain itu, terdapat beberapa kelompok sel yang
merupakan sel imigran. Sel Langerhans dan melanosit bermigrasi ke dalam
epidermis pada masa embriologi, sedangkan sel Merkel berdiferensiasi secara
in-situ pada epidermis. Sel-sel lain seperti limfosit merupakan inhabitan
transien pada epidermis dan jarang ditemukan pada kulit yang normal.
Epidermis berlekatan dengan basal lamina yang memisahkan epidermis
dengan dermis. (Sadler, 2011)

2.1.2.1. Sel Keratin


Sel keratin merupakan sel yang berkembang dari lapisan
ektoderm yang menyusun setidaknya 80 persen sel-sel epidermis.

Universitas Sumatera Utara


Semua keratinosit mengandung filamen intermediat keratin di dalam
sitoplasma dan membentuk desmosom dan modifikasinya dengan sel
lain. Filamen keratin merupakan bagian yang penting pada sel keratin
dan sel epitel lainnya oleh karena perannya sebagai sitoskeleton pada
sel tersebut. (Ross et al., 2003)
Ada sekitar 30 keratin berbeda yang telah ditemukan, yang
terdiri atas 20 keratin epitel dan 10 keratin rambut, yang semuanya
memiliki massa molekul berkisar antara 40-70 kDa. Keratin-keratin
ini tersusun satu sama lain membentuk filamen yang ditemukan di
dalam sel dan dapat ditemukan pada rekonstruksi in-vitro sebagai
‘heteropolimer obligat’ yang didasarkan pada tipe sel, tipe jaringan,
stadium perkembangan, stadium diferensiasi, dan kondisi penyakit.
Sehingga, pengetahuan bagaimana keratin terbentuk sangat penting
untuk menngetahui bagaimana proses diferensiasi lapisan epidermis.
(Chu et al., 2003)

2.1.2.2. Lapisan-lapisan Epidermis


Diferensiasi epidermis menentukan karakteristik lapisan-
lapisan epidermis yang digambarkan dari aktivitas mitosis dan sintesis
sel keratin dan tahap diferensiasinya. Proses keratinisasi merupakan
rangkaian kompleks peristiwa metabolik dan perubahan morfologi
terprogram secara genetik dan regulasi secara teratur yang terjadi
secara progresif pada keratosit postmitosis dan melibatkan (1)
peningkatan ukuran sel dan pemipihan bentuk sel; (2) pembentukan
organel-organel baru dan reorganisasi struktur-struktur yang telah ada;
(3) perubahan metabolisme selular yang general menjadi metabolisme
yang lebih ‘fokus’ terhadap síntesis dan modifikasi molekul yang
terlibat dalam keratinisasi; (4) perubahan properti membran plasma
antigen permukaan sel dan receptor; (5) degradasi organel seluler
termasuk karakteristik fragmentasi kromatin internukleosom
apoptosis; dan (6) dehidrasi. (Chu et al., 2003)

Universitas Sumatera Utara


Setiap tahap diferensiasi menjadikan sel berfungsi dan
memiliki struktur yang lebih spesifik. Akhir dari keratinisasi adalah
sel keratin mati yang berdiferensiasi (korneosit) yang mengandung
filamen keratin, protein matriks, dan membran plasma yang
permukaannya memiliki lipid. Diferensiasi merupakan rangkaian
peristiwa terkontrol yang diregulasi baik dari faktor ekstrinsik
(lingkungan) dan faktor intrinsik (sistemik dan genetik), sehingga
rentan terhadap perubahan-perubahan pada setiap level proses
keratinisasi.
Berikut ini adalah lapisan-lapisan epidermis kulit:
• Stratum germinativum
Stratum germinativum atau basalis mengandung sel keratin
kolumnar yang aktif bermitosis, yang melekat pada membran basal
dan menghasilkan sel yang akan kemudian berpindah ke permukaan
kulit. Sel basal mengandung nukleus besar dengan nukleolus
prominen dan heterokromatin yang berkumpul di periper sel. (Ross
et al., 2003)
• Stratum spinosum
Bentuk, struktur, dan propertis subselular sel-sel spinosum
berhubungan dengan posisinya yang terlatak di tengah epidermis. Sel
spinosum suprabasal berbentuk polihedral dan memiliki nukleus
yang bulat. Sel yang terletak lebih atas lebih besar, lebih pipih, dan
mengandung organel yang dinamakan sebagai granul lamelar. Sel-
sel pada stratum spinosum memiliki filamen karatin yang besar dan
jelas yang disebut sebagai tonofilamen. (Eroschenko, 2008)
• Stratum granulosum
Lapisan ini dikarakteristikkan dengan penumpukan
komponen yang penting terhadap apoptosis dan pembentukan barier
superfisial yang impermeabel terhadap air. Tipikal organel
sitoplasmanya dikaitkan dengan aktivitas síntesis metabolisme yang
aktif, akan tetapi kebanyakan struktur yang terlihat pada lapisan ini

Universitas Sumatera Utara


bersifat basofilik dan keratohialin. Granul keratohialin utamanya
terdiri atas protein padat elektron, profilaggrin, dan filamen
intermediat keratin. (Eroschenko, 2008)
• Stratum lusidium
Sel granul tidak hanya mensintesis, modifikasi, dan
menghubungkan secara crosslinking protein-protein yang dibutuhkan
dalam proses keratinisasi, tetapi juga memiliki peranan dalam
penghancuran yang terpogram. Hal ini terjadi pada lapisan transisi
dari lapisan granular menjadi sel cornified yang terdiferensiasi dan
lapisan tersebut dinamakan sebagai stratum lusidium. Perubahan ini
melibatkan hilangnya nukleus semua konten sitoplasma kecuali
filamen keratin dan matriks filaggrin. DNAase, RNAase, asam
hidrolase, esterase, fosfatase, protease, dan plasminogen aktivator
telah diidentifikasi pada lapisan ini dan diimplikasikan mengalami
degradasi. Stadium morfologi pada penghancuran nukleus telah
dideskripsikan sebagai gambaran aktivitas mitosis. (Chu et al., 2003)
• Stratum korneum
Transisi yang sempurna dari granular menjadi sel cornified
terjadi dengan pengurangan berat kering (dry weight) sebesar 45
hingga 86 persen. Lapisan sel ini memberikan proteksi mekanik
terhadap kulit dan bertindak sebagai barier terhadap water loss dan
masuknya zat-zat terlarut dari lingkungan luar tubuh. Barier stratum
korneum terdiri atas dua sistem kompartemen yang korneositnya
dikelilingi oleh matriks yang kaya akan lipid. Sel terbesar pada
lapisan ini adalah sel yang pipih, berbentuk polihedral, dan keras
yang bentuknya ini telah beradaptasi terhadap lingkungan eksternal
untuk mempertahankan integritas starutum korneum. Nukleus telah
menghilang pada sel di lapisan ini, tetapi nukleus masih ada
dijumpai pada sel yang belum sempurna sebagai keratin
(paraketosis), seperti pada psoriasis misalnya. (Chu et al., 2003)

Universitas Sumatera Utara


2.1.2.3. Regulasi Proliferasi dan Diferensiasi Epidermis
Oleh karena sifatnya yang secara terus-menerus
memperbaharui jaringan, struktur dan fungsi epidermis tergantung
pada beberapa proses yang awalnya dimulai sejak perkembangan
hingga sepanjang hidup. Proses ini mencakup pembentukan dan
pertahanan jumlah sel; interaksi antara keratinosit dan sel imigran; dan
adhesi antara sesama keratinosit, keratinosit dengan basal lamina, dan
basal lamina dengan dermis. (Sadler, 2011)
Lapisan dermis telah lama dikenal memiliki peranan dalam
regulasi pembentukan sel pada lapisan epidermis. Hal ini terlihat pada
penelitian yang menggunakan rekombinan jaringan yang disiapkan
dengan cara annealing epidermis dari karakteristik sumber yang
spesifik (misal: umur, spesies, dan regio) dengan dermis dari sumber
yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan ketebalan, arsitektur,
pola diferensiasi epidermis, dan pola adneksa kulit yang berasal dari
epidermis bergantung pada bagian dari dermis yang telah disatukan
terhadapnya. (Chu et al., 2003)

2.1.2.4. Sel Non-keratin pada Epidermis


• Melanosit
Melanosit merupakan sel dendritik penghasil pigmen yang
berasal dari neural crest yang tersebar utamanya pada bagian basal
epidermis. Pada kulit bayi yang baru lahir, badan sel melanosit
biasanya mengarah ke dermis di bawah level sel basal, tetapi selalu
superior terhadap lamina densa. Pada pemeriksaan mikroskopis,
sitoplasma terlihat pucat dengan nukleus ovoid dan terdapat
melanosom yang mengandung pigmen. (Sadler, 2011)
• Sel Merkel
Sel Merkel merupakan mekanoreseptor tipe I yang
membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi dan terletak pada
tempat-tempat yang memiliki sensitivitas taktil yang tinggi. Sel
Merkel berada di antara keratinosit basal pada daerah tertentu di

Universitas Sumatera Utara


tubuh. Sel Merkel menerima stimulus, mengubah bentuk keratinosit
untuk memberikan respon berupa sekresi transmiter kimia. Sel ini
dapat ditemukan pada kulit yang berambut dan kulit pada jari, bibir,
area kavitas mulut, dan sarung akar luar folikel rambut. Seperti
melanosit, sitoplasma sel Merkel memiliki penampilan yang pucat
dengan nukleus yang berlobul dan memiliki batas sel yang mengarah
ke keratinosit membentuk spina. (Chu et al., 2003)
• Sel Langerhans
Sel Langerhans berasal dari sumsum tulang dan bertugas
sebagai sel yang yang memproses dan memperkenalkan antigen
yang terlibat dalam proses respons sel T. Sel ini tidak hanya
ditemukan di epidermis, tetapi dapat juga ditemukan pada epitelium
skuamous, termasuk kavitas mulut, esophagus, dan vagina, pada
organ limfoid seperti limpa, timus, dan nodus limfatikus, dan pada
dermis dalam keadaan normal. Sitoplasma sel ini seperti terlihat di
bawah mikroskop menunjukkan filamen intermediat vimentin dan
struktur sel yang berbentuk oval ataupun batang pendek. (Chu et al.,
2003)

2.1.3. Reaksi Patologis Lapisan Superfisial Kulit


• Gangguan kinetik sel epidermis
Kecepatan mitosis sel germinal, kecepatan deskuamasi korneosit, dan
waktu regenerasi sel epidermal menentukan homeostasis epidermis pada
keadaan fisiologis. Proliferasi sel yang berlebihan dan peningkatan
kecepatan mitosis akan menyebabkan peningkatan jumlah sel epidermis
yang berlebihan yang dinamakan sebagai acanthosis. Penyebab hal ini
dilaporkan berasal dari sel epidermis itu sendiri yaitu oleh kedaan yang
disebabkan oleh virus epidermotropik atau sinyal yang berasal dari dermis
ataupun pembuluh darah. Sedangkan kinetik sel epidermis yang lambat
dapat menyebabkan penipisan epidermis yang berdampak terhadap atrofi.
Gangguan pada kinetik sel epidermis juga dapat terlihat pada arsitektur dan
komposisi stratum korneum, misalnya hiperkeratosis, di mana penebalan

Universitas Sumatera Utara


stratum korneum terjadi oleh karena peningkatan produksi sel ataupun
penurunan deskuamasi korneosit. Pada kasus ortohiperkeratosis, stratum
korneum mungkin terlihat seperti sel normal, akan tetapi memiliki sel
keratin yang kohesi dan penyusunan yang berbeda.
• Gangguan diferensiasi sel epidermis
Parakeratosis merupakan salah satu gangguan diferensiasi sel
epidermis di mana kesalahan dan proses kornifikasi yang dipercepat
menyebabkan retensi nukleus piknotik sel epidermis.
• Gangguan koherensi epidermis
Keseimbangan dinamis pada pembentukan dan pemutusan kontak
interselular berdampak terhadap koherensi sel-sel epidermis. Desmosom
dan substansi interselular berperan penting dalam pembentukan kohesi
antar-sel. Desmosom akan memutuskan dan membentuk kembali hubungan
antar-sel ketika sel tersebut bermigrasi ke lapisan epidermis. Masalah yang
paling sering timbul pada gangguan koherensi epidermis adalah
pembentukan vesikula intraepidermal. Selain itu, akantolisis dapat terjadi
sebagai gangguan pada kohesi antar-sel, yang dikarkteristikkan dengan
pemisahan regio interdesmosom membran sel keratinosit, diikuti dengan
pemecahan dan kehilangan epidermis.
• Gangguan kohesi epidermis-dermis
Kerusakan pada hubungan kohesis epidermis-dermis pada umumnya
akan menyebabkan pembentukan blíster. Blíster ini muncul pada bagian
subepidermal pada pemeriksaan mikroskop yang berasal dari proses
patogenisitas yang heterogen. (Chu et al., 2003)

2.2. Dermatofitosis
Infeksi jamur pada kulit merupakan salah satu penyakit kulit yang umum
dijumpai. Pada infeksi kulit, infeksi superfisial yang disebabkan oleh dermatofita
disebut sebagai dermatofitosis. Istilah ini harus dapat dibedakan dari dermatomikosis
yang lebih mengarah kepada infeksi jamur pada kulit bagian dalam dan sistemik.

Universitas Sumatera Utara


2.2.1. Etiologi Dermatofitosis
Dermatofitosis (dikenal juga sebagai ringworm, athlete’s foot, atau
jock itch) adalah suatu infeksi superfisial yang disebabkan oleh dermatofita.
Dermatofita merupakan sekumpulan jamur yang saling berhubungan dalam
taksonomi, yakni spesies dari genera Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Kelompok jamur ini memiliki kemampuan untuk
melakukan perlekatan molekular dengan keratin dan menggunakannya
sebagai sumber nutrisi, memungkinkan jamur-jamur tersebut untuk
berkolonisasi.
Secara umum, ada dua bentuk pertumbuhan jamur pada tubuh, yaitu
mould dan yeast. Pada infeksi dermatofita, bentuk yang tumbuh adalah mould
yang menghasilkan hifa seperti benang yang terdiri atas untaian sel. Bentuk
ini akan tumbuh menginvasi keratin pada kulit, rambut, dan kuku, sehingga
dapat dilihat langsung dilihat pada pemeriksaan mikroskop. Spora vegetatif
(konidia) akan tumbuh pada kultur, dan bentuknya yang khas akan
mempermudah identifikasi dari kelompok jamur lain (Hay RJ, 2004).

2.2.2. Mikologi Jamur Penyebab Dermatofitosis


Dermatofita (harfiah: tanaman kulit) merupakan jamur yang
diklasifikasikan sebagai deuteromycetes (fungi imperfekta). Tiga genera yang
penting secara medis adalah Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton, yang terpisah berdasarkan morfologi makrokonidia dan
kehadiran mikrokonidia. Bentuk-bentuk seksual telah banyak ditemukan
untuk spesies Microsporum dan Trichophyton dan dimasukkan ke dalam
genera ascomycete (Arthroderma, Nannizzia). Dermatofita membutuhkan
beberapa hari hingga minggu untuk memulai pertumbuhan pada media agar.
Temperatur terbaik untuk tumbuh adalah 25ºC pada medium Saboraud’s agar
yang biasanyanya digunakan sebagai kultur. Hifa yang tumbuh memiliki
septa dan konidia, akan terlihat langsung pada hifa ataupun konidiofor.
Mikrokonidia kecil mungkin terlihat ataupun tidak, akan tetapi makrokonidia
biasanya terlihat pada identifikasi jamur di bawah mikroskop (Gambar 2.3.;
Gambar 2.4.).

Universitas Sumatera Utara


(A) (B)

Gambar 2.3. Gambaran Dermatofita pada Pemeriksaan Mikroskop (A) Penampang Hasil
Kerokan Lesi Kulit Kepala dengan KOH yang Menunjukkan Hifa, (B) Hasil Kultur yang
Memperlihatkan Hifa, Makrokonidia, dan Mikrokonidia
Sumber: Sherris Medical Microbiology, 4th Edition, 2004

Gambar 2.4. Hifa Jamur pada Pemeriksaan PAS


dari biopsi Kulit
Sumber: Roxburgh’s Common Skin Diseases, 17th Edition, 2013

2.2.3. Epidemiologi dan Faktor Resiko Dermatofitosis


Perbedaan ekologi dan geografi mempengaruhi tingkat kejadian
dermatofitosis dan jenis jamur penyebabnya yang dapat beradaptasi pada kulit
manusia, hewan, ataupun lingkungan. Walaupun demikian, keseluruhan
jamur ini dapat berperan sebagai sumber terjadinya infeksi pada manusia.
Banyak hewan liar dan ternak, termasuk anjing dan kucing, terinfeksi oleh
spesies jamur tertentu dan berperan besar sebagai reservoar yang potensial
dalam menyebabkan infeksi terhadap manusia. Antara iklim lembab dan

Universitas Sumatera Utara


tropis, terdapat perbedaan yang signifikan terhadap frekuensi kasus dan
isolasi spesies jamur yang sumbernya bukanlah manusia. Banyak perbedaan
tersebut berubah berdasarkan perubahan populasi.
Transmisi manusia ke manusia biasanya membutuhkan kontak yang
dekat dengan subjek yang terinfeksi dikarenakan virulensi dan infektivitas
dermatofita yang rendah. Biasanya transmisi ini terjadi di dalam lingkungan
keluarga ataupun pada situasi yang memungkinkan kontak langsung dengan
kulit ataupun rambut yang terinfeksi.
Anak-anak di bawah usia pubertas rentan terhadap terjadinya
ringworm pada kulit kepala. Infeksi jamur zoofilik, terutama ternak, anjing,
dan kucing (cattle ringworm) dapat menyebabkan respon inflamasi berupa
lesi pustular yang disebut sebagai kerion. Pada usia dewasa, infeksi pada
bagian selangkangan merupakan infeksi yang paling sering terjadi (tinea
cruris). (Hay RJ, 2004)

2.2.4. Imunitas dan Patogenesis Dermatofitosis


Secara umum, dermatofitosis terjadi mulai dari stadium inflamasi
hingga penyembuhan secara spontan. Fagosit menggunakan jalur oksidatif
dalam membunuh jamur baik secara intraseluler maupun ekstraseluler. Sangat
sedikit yang diketahui mengenai faktor-faktor yang dapat memperantarai
respon hospes pada infeksi ini dan apakah menghasilkan kekebalan yang
berarti terhadap pajanan selanjutnya. Antibodi mungkin dihasilkan pada saat
infeksi, tetapi memainkan peranan yang tidak berarti terhadap imunitas tubuh.
Dermatofita hanya menginvasi stratum korneum dan inflamasi yang
disebabkan merupakan hasil produk metabolisme jamur dan reaksi
hipersensitifitas yang lambat (Weller et al., 2008). Kebanyakan bukti klinis
dan eksperimen mengarah terhadap Cell-Mediated Immunity (CMI) seperti
pada kasus jamur yang lain. Lamanya respon inflamasi terhadap infeksi
berhubungan dengan kemunculan reaksi hipersensitivitas lambat dan
penyembuhan infeksi dihubungkan dengan respon limfost T blastogenik.
Proses deskuamasi dengan respon inflamasi membantu pelepasan kulit yang
terinfeksi.

Universitas Sumatera Utara


Biasanya, infeksi oleh dermatofita ini dapat berlangsung secara kronis
dan menyebar, di mana progresivitas ini dikaitkan dengan faktor hospes dan
organisme penyebab. Hampir setengah dari pasien memiliki penyakit
penyebab yang mempengaruhi respon imun tubuh mereka ataupun
mengkonsumsi pengobatan yang dapat menurunkan fungsi limfosit T. Infeksi
kronis ini dikaitkan dengan Trichophyton rubrum, yang baik pada pasien
normal ataupun immunocompromised memperlihatkan respon yang rendah.
Walaupun beberapa mekanisme patogenitas telah dijelaskan perihal
bagaimana cara organisme ini tumbuh tanpa menstimulasi proses inflamasi
yang berarti belum dapat dijelaskan. (Ryan et al., 2004)
Dermatofitosis mulai terjadi ketika lesi kulit yang mengalami trauma
kontak langsung dengan hifa dermatofita yang berasal dari infeksi lain.
Kerentanan dapat ditimbulkan oleh faktor-faktor lokal seperti komposisi asam
lemak permukaan kulit misalnya. Ketika stratum korneum terpenetrasi, jamur
akan berproliferasi pada lapisan keratin kulit yang diperantarai oleh beberapa
jenis proteinase. Onset infeksi tergantung pada lokasi anatomi, kelembaban,
dinamika pertumbuhan dan deskuamasi kulit, kecepatan dan penyebaran
respon inflamasi, dan spesies penginfeksi. Misalnya, jika organisme tumbuh
sangat lambat pada stratum korneum dan proses deskuamasi kulit tidak
terganggu, maka infeksi akan berlangsung singkat dan menimbulkan tanda
dan gejala yang ringan. Proses inflamasi akan meningkatkan kecepatan
pertumbuhan & deskuamasi kulit dan membantu membatasi perkembangan
infeksi, sedangkan agen imunosupresan seperti steroid akan menurunkan
pengelupasan lapisan kulit sehingga memperpanjang masa infeksi.
Invasi ke struktur kulit yang lebih dalam jarang terjadi oleh karena
infeksi ini bersifat self-limited. Akan tetapi, ketika kecepatan pertumbuhan
jamur dan proses deskuamasi berada dalam keadaan seimbang dan proses
inflamasi sangat rendah, maka penyakit ini dapat bersifat kronis. Penyebaran
infeksi ini terjadi secara lateral dan proses inflamasi yang terkait akan
menghasilkan karakteristik batas yang tegas yang dulunya disebut sebagai
lubang cacing, sehingga penyakit ini dinamakan sebagai ringworm atau
dalam bahasa Latin disebut sebagai tinea yang berarti cacing.

Universitas Sumatera Utara


Infeksi dapat menyebar dari kulit ke struktur lain yang mengandung
keratin, seperti rambut dan kuku, atau juga terinvasi secara langsung. Batang
rambut akan dipenetrasi oleh hifa, baik dalam bentuk ectothrix (artrokonidia
yang membentuk sarung di sekitar batang rambut) maupun endothrix
(artrokonidia yang membentuk sarung di dalam batang rambut). Hal ini akan
berdampak terhadap kerusakan struktur batang rambut yang pada akhirnya
berujung pada rambut patah. Kehilangan rambut pada akar dan penarikan
folikel rambut yang disebabkan oleh elemen jamur dapat terjadi. Invasi
bantalan kuku akan menyebabkan reaksi hiperkeratosis yang akan merubah
bentuk kuku tersebut. (Weller et al., 2008)

2.2.5. Manifestasi Klinis Dermatofitosis


Manifestasi infeksi dermatofita mulai dari kolonisasi yang tidak
terlihat secara jelas hingga dapat menyebabkan erupsi kronis progresif yang
dapat berlangsung bulan hingga bertahun lamanya. Hal ini akan berdampak
terhadap ketidaknyamanan pasien. Dokter kulit pada umumnya menamakan
dermatofitosis ini berdasarkan lokasi terjadinya, yakni: tinea capitis (kulit
kepala), tinea pedis (kaki), tinea manuum (tangan), tinea cruris
(selangkangan), tinea barbae (janggut), dan tinea unguium (bantalan kuku).
Infeksi pada tempat lain dalam struktur anatomi kulit digolongkan ke dalam
tinea corporis. Ada perbedaan klinis umum, etiologi, dan epidemiologi di
antara gejala masing-masing dermatofitosis, namun terkadang dapat ditemui
keadaan yang tumpang tindih. Perbedaan utama etiologi adalah perbedaan
lokasi infeksi. (Ryan et al., 2004)
Infeksi pada rambut dimulai dengan papula eritema di sekitar batang
rambut, yang secara bertahap menyebabkan scaling kulit kepala, diskolorasi,
dan tentunya fraktur batang rambut. Penyebaran ke folikel rambut yang
sebelahnya terjadi secara pergerakan seperti cincin, menyisakan batang
rambut yang rusak dan diskolorasi, terkadang meninggalkan titik-titik hitam
di mana rambut telah menghilang tetapi infeksi telah memasuki folikel
rambut. Derajat respon inflamasi secara bermakna mempengaruhi penampilan
klinis dan pada keadaan tertentu dapat menyebabkan gejala-gejala

Universitas Sumatera Utara


konstitusioal. Kebanyakan kasus jarang menyebabkan gejala yang lebih dari
perasaan gatal pada kulit kepala. (Chu et al., 2003)

(A) ( B)

(C) (D)

Gambar 2.5. Manifestasi Klinis Lesi Dermatofitosis (A)Tinea Pedis,


(B) Chronic Tinea Unguium, (C) Kerion, (D) Tinea Capitis
Sumber: Clinical Dermatology, 4th Edition, 2008

Lesi pada kulit sendiri dimulai pada pola yang sama dan membesar
membentuk batas eritema yang tajam dengan penampakan kulit di tengah lesi
hampir seperti keadaan normal. Lesi multipel dapat menyatu membentuk pola
geometrik yang tidak biasa pada kulit. Lesi dapat timbul pada berbagai lokasi,
tapi pada umumnya pada lipatan kulit yang lembab dan berkeringat. Obesitas
dan penggunaan pakaian yang ketat dapat meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi pada bagian selangkangan dan di bawah payudara. Bentuk lain infeksi
yang melibatkan scaling dan pengelupasan kulit pada ibu jari kaki dinamakan
sebagai kaki atlet (athlete’s foot). Kelembapan dan perlecetan kulit dapat
menjadi sumber infeksi jamur.
Infeksi pada bantalan kuku pada awalnya menyebabkan diskolorasi
jaringan subungual, kemudian hiperkeratosis dan penampakan diskolorasi
pada penampang kuku (nail plate) oleh jamur penyebab infeksi terjadi.
Infeksi secara lamgsung pada penampang kuku jarang terjadi. Progresivitas

Universitas Sumatera Utara


hiperkeratosis dan inflamasi yang terkait dapat menyebabkan perubahan
bentuk kuku dengan beberapa gejala sampai penampang kuku lepas dari
tempatnya sehingga menekan jaringan ikat sekitar. (Hay RJ, 2004)

2.2.6. Diagnosa Dermatofitosis


Tujuan prosedur diagnostik adalah untuk membedakan dermatofitosis
dari penyebab-penyebab inflamasi lain. Infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
jamur lain, dan penyakit non-infeksi (psoriasis, dermatitis kontak) mungkin
menunjukkan gambaran yang sama. Oleh sebab itu, langkah yang penting
untuk dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopis dari material yang diambil
dari spesimen lesi untuk mendeteksi kehadiran jamur. Pemeriksaan potassium
(KOH) dan calcifluor white dari hasil pengerokan batas pinggir lesi
dermatofita akan menunjukkan hifa septa. Pemeriksaan rambut yang
terinfeksi menunjukkan hifa dan arthroconidia mempenetrasi batang rambut.
Rambut yang rapuh dan rusak akan menunjukkan hasil pemeriksaan yang
terbaik. Beberapa spesies dermatofita akan menfluorosensi, dan pemilihan
rambut yang akan diperiksa dapat dibantu dengan penggunaan lampu yang
memancarkan sinar ultraviolet, yakni Wood’s lamp. (Weller et al., 2008)
Material yang digunakan pada pemeriksaan langsung dapat digunakan
untuk kultur sebagai isolasi dermatofita yang menunjukkan aktivitas yang
progresif. Infeksi ringan dengan penemuan klinis yang umum dan
pemeriksaan KOH positif tidak sering dilakukan oleh karena manajemen
klinis tidak dipengaruhi secara signifikan oleh pengidentifikasian spesies
etiologi. Infeksi dengan klinis yang tipikal yang menunjukkan pemeriksaan
KOH negatif membutuhkan kultur. Akan tetapi, alasan utama atas hasil KOH
yang false negatif berasal dari kegagalan dalam pengumpulan spesimen kulit
dan rambut yang dilakukan tidak sesuai dengan semestinya.

• Pemeriksaan mikroskopis
o Kulit dan kuku
Sampel kulit harus diambil dengan pengerokan batas lesi,
menggunakan ujung tumpul skapel ke arah luar. Spesimen kuku

Universitas Sumatera Utara


harus mengikutkan potongan kulit yang mengalamai distrofi
secara keseluruhan. Pada preparasi KOH, hifa jamur akan tampak
dengan gambaran septa dan struktur yang bercabang. Akan tetapi,
prosedur kutur sangat bermanfaat untuk pengidentifikasian
spesies jamur.
o Rambut
Pemeriksaan lesi yang melibatkan kulit kepala dengan
menggunakan lampu Wood akan menunjukkan pteridine
fluoresensi dari patogen tertentu. Rambut harus dicabut, tidak
dipotong, untuk pemeriksaan dengan mikroskop yang
menghasilkan gambaran infeksi ectothrix, endothrix, atau favic
(hifa yang tersusun paralel di dalam atau di sekitar batang rambut).

• Prosedur kultur
Spesiasi jamur superfisial didasarkan atas karakteristik makroskopis,
mikroskopis, dan metabolik organisme tersebut. Sabouraud’s
Dextrose Agar (SDA) [Dextrose 40 g; agar 20 g; peptone 10 g; air
distilasi (pH 5,5) 1000 mL] merupakan medium isolasi yang paling
sering digunakan dan memberikan deskripsi morfologi yang baik.
Akan tetapi, kontaminan saproba tumbuh sangat cepat pada medium
ini sehingga mengaburkan penampakan jamur. Saproba ini dapat
dihambat dengan menambahkan cycloheximide (0,5 g/L) dan
Chloramphenicol (0,05 g/L). Produk-produk komersial agar ini adalah
Mycosel dan Mycobiotic. Medium Tes Dermatofita (DTM)
mengandung indikator pH fenol merah yang akan menjadi warna
kuning jika diuji pada saprofita dan berwarna merah jika diuji pada
dermatofita oleh karena aktivitas proteolitik dermatofita yang
meningkatkan pH menjadi 8. Identifikasi jamur ini dapat dipermudah
dengan penggunaan Potato Dextrose Agar (PDA), yang menstimulasi
produksi konidia dan pigmen. (Ryan et al., 2004)

Universitas Sumatera Utara


2.2.7. Pengobatan Dermatofitosis
Beberapa infeksi kulit lokal akan sembuh dengan sendirinya dan
beberapa yang tidak, dapat diobati dengan tolnaftate, allylamine, atau azole
topikal. Infeksi yang lebih luas, misal: mengenai bantalan kuku membutuhkan
terapi sistemik seperti griseofulvin atau itraconazole dan terbinafine, yang
semuanya sering dikombinasi dengan terapi topikal. Terapi ini harus
dilanjutkan beberapa minggu hingga bulanan dan kekambuhan mungkin
terjadi. Agen keratolitik mungkin bermanfaat untuk mengurangi ukuran lesi
hiperkeratosis. (Weller et al., 2008)
Pada pengobatan tinea capitis, rekomendasi terbaru pada negara-
negara maju menganjurkan penggunaan pengobatan secara oral yaitu berupa
griseofulvin (10-25 mg/kg selama 4-8 minggu) atau dapat juga menggunakan
terbinafine ataupun itraconazole. (World Health Organization, 2005)
i
2.3. Gambaran Dermatofitosis
Prevalensi kejadian dermatofitosis cukuplah signifikan sebagai kasus infeksi
pada kulit, yakni yang melibatkan lapisan superfisial kulit beserta adneksanya (Hay
RJ, 2004). Seperti penelitian mengenai infeksi jaur superfisial yang dilakukan di
daerah rural Bangladesh, dikatakan bahwa prevalensi dan karakteristik sangat
bervariasi dan tergantung dari umur, jenis kelamin, kondisi iklim, gaya hidup, dan
pola migrasi populasi (Rahman et al., 2011).
Sementara itu, penelitian ANOVA yang dilakukan di Nigeria melaporkan
bahwa 31,6% sampel yang diteliti merupakan pasien yang mengalami dermatofitosis.
24,3% penyebabnya merupakan Microsporum audounii; 18,9% M. canis; 13,5% M.
Gypseum; 9,5% Trichophyton soudanense; 6,8% T. Mentagrophytes; 4,1% T.
rubrum; dan 22,7% T. tansurans. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
Microsporum spp. mendominasi infeksi (56,7%) daripada Trichophyton spp. (43,3%)
dependen terhadap umur dan jenis kelamin (Dike-Ndudim et al., 2013).
Pada peneilitian yang dilakukan di Mesir pada 8008 kasus penyakit kulit,
didapatkan 637 kasus (7,95%) tinea pedis, 45 kasus (0,56%) tinea capitis, dan 29
kasus (0,36%) tinea corporis (Abdel-Hafez et al., 2003). Asticcioli, et al., pada tahun
2008 melaporkan ada 97 kasus dermatofitosis selama periode tahun 2004-2006 di

Universitas Sumatera Utara


klinik rawat jalan departemen dermatologi RS S. Matteo Italia. Sebanyak 26 kasus
(26,8%) mengalami tinea corporis, 25 kasus (25,8%) mengalami tinea pedis, 14
kasus (14,4%) mengalami tinea capitis, 10 kasus (10,3%) mengalami tinea cruris,
dan 22 kasus (22, 6%) yang mengalami tinea unguium. Dari penelitian ini, didapat
juga persentasi kejadian yang terjadi berdasarkan golongan usia, yaitu 74 kasus
(76,3%) terjadi pada golongan usia dewasa dan 23 kasus (23,7%) terjadi pada
golongan usia anak-anak. Penelitian ini juga menunjukkan prevalensi kejadian yang
sedikit lebih tinggi pada pria yaitu sebanyak 52 kasus (53,6%) dibandingkan pada
wanita yaitu sebesar 45 kasus (46,4%).
Dari 110 kasus dermatofitosis di Jaipur yang didiagnosa dan memiliki hasil
tes KOH dan kutur yang positif, sebanyak 78 pasien (71%) merupakan pria dan 32
pasien (29%) merupakan wanita. Prevalensi kejadian dari yang tertinggi ke yang
terendah adalah tinea corporis (54,6%), tinea cruris (32,67%), tinea capitis (15,33%),
dan tinea unguium (9,33%). Pada penelitian ini didapatkan prevalensi tinggi yang
cukup berarti sebesar 46,67% kasus terjadi pada pasien dengan rentang usia 16-30
tahun yang disusul sebesar 20% kasus pada rentang usia 0-15 tahun, 15% pada
rentang usia 31-45 tahun, dan sisanya pada usia 46 tahun ke atas. (Sarika et al., 2014)
Oleh karena hasil penelitian tersebut di atas, penulis ingin melakukan
penelitian yang menggambarkan prevalensi penyakit dermatofitosis yang ada di
RSUD Dr. Pirngadi Medan pada periode tahun 2013 untuk mengetahui distribusi
gambaran penyakit ini berdasarkan umur, jenis kelamin, dan waktu kunjungan, yang
selanjutnya akan dibandingkan dengan penelitian sebelumnya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai