Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN KOASISTENSI DI UNIT PELAYANAN TEKNIS DAERAH

RUMAH PEMOTONGAN HEWAN BANDA ACEH

OLEH:

KELOMPOK V

GELOMBANG XV

Logo

Nama kelomopok

Pendidikan Profesi Dokter Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh

2019
PENDAHULUAN

Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang

sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai

media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim

yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang

akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan

sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food).

Kebutuhan daging di Banda Aceh telah meningkat. Masyarakat kota Banda

Aceh rata-rata per hari menghabiskan 2.5 ton daging sapi dalam kondisi normal, pada

hari-hari besar, seperti bulan maulid Nabi bisa meningkat manjadi 5 ton per hari. Unit

Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Rumah Potong Hewan (RPH) Banda Aceh

memberikan pelyanan kepada masyarakat yang menggunakan jasa RPH yaitu

menyediakan kandung, pemeriksaan hewan, tempat potong dan jasa angkutan mobil.

Semua hewan yang dipotong terjamin halal dan bebas dari penyakit.

Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging

dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan

(RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot

(hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap

daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan

daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap

kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan. Oleh sebab itu, penerapan

sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat
dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek yang perlu

diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan

kesejahteraan hewan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Rumah Potong Hewan (RPH)

Rumah Potong Hewan (RPH) adalah sebuah bangunan atau komplek dengan

syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi

masyarakat umum dan digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain

unggas bagi konsumsi masyarakat serta sebagai unit/sarana pelayanan masyarakat

dalam penyediaan daging sehat (SK MENTERI PERTANIAN

NO.555/KPts/TN.240/9/1986).

Rumah pemotongan hewan merupakan salah satu tempat penyediaan daging,

tempat tersebut merupakan tempat yang rawan dan beresiko cukup tinggi terhadap

mikroba patogen oleh karena itu perlu mendapat perhatian khusus baik dari pihak

petugas terkait untuk mengurangi tingkat cemaran mikroba. Keberadaan tempat

pemotongan hewan masih menjadi tumpuan bagi masyarakat Indonesia, terutama

pelaku usaha yang terlibat langsung (penjual dan pembeli) ataupun masyarakat yang

mengonsumsi daging pada perayaan/ritual keagamaan (Rahayu, 2006). Khususnya

masyarakat yang beragama Islam, hukum mengonsumsi daging secara Halalan


Tayyiban yakni ”Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat

pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam

perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi

orang-orang yang meminumnya” (QS AnNahl : 66).

Fungsi RPH secara umum merupakan fasilitas atau sarana pemotongan sapi

menjadi karkas atau daging sapi dan bagian-bagian lainnya, serta semua sapi yang

dipotong harus dilakukan di RPH. Penyediaan daging sapi melalui jasa RPH

dilakukan dengan prosedur pemotongan yang benar melalui pemeriksaan antemortem

dan postmortem dalam upaya memproduksi daging yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh,

dan Halal) dengan memperhatikan kesejahteraan hewan.

Dasar hukum pelaksanaan RPH diatur dalam:

1. Permentan Nomor 13 Tahun 2010 Tentang Persyaratan RPH R dan Unit

Penanganan Daging (Meat Cutting Plant).

2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan dan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009.

3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

5. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 Tentang Kesehatan Masyarakat

Veteriner.

6. Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2004 Tentang Keamanan Mutu dan Gizi

Pangan.
Persyaratan RPH

Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang

telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan

menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional biasanya

dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih dan sistematis,

menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk sehat dan halal dapat

dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan

potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara

pemotongan hewan secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu

lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan memiliki saluran

pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).

Proses pembangunan RPH juga harus memenuhi syarat-syarat telah dijelaskan oleh

pemerintah dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor

13/Permentan/Ot.140/1/2010 Tentang Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan

Ruminansia Dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant).

Menurut Manual Kesmavet (1993) RPH ini harus memenuhi syarat yang

secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi syarat lokasi, kelengkapan

bangunan, komponen bangunan utama dan kelengkapan RPH:

1. Lokasi RPH.
a) Lokasi RPH di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran

lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat penduduknya, dekat

aliran sungai atau di bagian terendah kota.

b) Lokasi RPH di tempat yang mudah dicapai dengan kendaraan atau dekat jalan raya

(Lestari, 1994; Manual Kesmavet, 1993).

2. Kelengkapan bangunan.

a) Kompleks bangunan RPH harus dipagar untuk memudahkan penjagaan dan

keamanan serta mencegah terlihatnya proses pemotongan hewan dari luar.

b) Mempunyai bangunan utama RPH.

c) Mempunyai kandang hewan untuk istirahat dan pemeriksaan antemortem.

d) Mempunyai laboratorium sederhana yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan

kuman dengan pewarnaan cepat, parasit, pH, pemeriksaan permulaan

pembusukan dan kesempurnaan pengeluaran darah.

e) Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan atau karkas yang ditolak berupa

tempat pembakar atau penguburan.

f) Mempunyai tempat untuk memperlakukan hewan yang ditunda pemotongannya.

g) Mempunyai bak pengendap pada saluran buangan cairan yang menuju ke sungai

atau selokan.

h) Mempunyai tempat penampungan sementara buangan padat sebelum diangkut.

i) Mempunyai ruang administrasi, tempat penyimpan alat, kamar mandi dan WC.

j) Mempunyai halaman yang dipergunakan sebagai tempat parker kendaraaan.

3. Komponen bangunan utama.


a) Mempunyai tempat penyembelihan hewan, tempat pengulitan, tempat pengeluaran

jeroan dari rongga perut dan dada, tempat pembagian karkas, tempat

pemeriksaan kesehatan daging.

b) Mempunyai tempat pembersihan dan pencucian jeroan yang terpisah dari (3.a)

dengan air yang cukup.

c) Berdinding dalam yang kedap air terbuat dari semen, porselin atau bahan yang

sejenis setinggi dua meter, sehingga mudah dibersihkan.

d) Berlantai kedap air, landai kearah saluran pembuangan agar air mudah mengalir,

tidak licin dan sedikit kasar.

e) Sudut pertemuan antar dinding dan dinding dengan lantai berbentuk lengkung.

f) Berventilasi yang cukup untuk menjamin pertukaran udara.

4. Kelengkapan RPH.

a) Mempunyai alat-alat yang dipergunakan untuk persiapan sampai dengan

penyelesaian proses pemotongan termasuk alat pengerek dan penggantung karkas

pada waktu pengulitan serta pakaian khusus untuk tukang sembelih dan pekerja

lainnya.

b) Peralatan yang lengkap untuk petugas pemeriksa daging.

c) Persediaan air bersih yang cukup.

d) Alat pemelihara kesehatan.

e) Pekerja yang mempunyai pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat veteriner

yang bertanggung jawab terhadap dipenuhinyasyarat-syarat dan prosedur yang

berlaku dalam pemotongan hewan serta penanganan daging.


Antemortem

Pemeriksaan antemortem meliputi pemeriksaan perilaku dan pemeriksaan

fisik. Pemeriksaan perilaku dilakukan pengamatan dan mencari informasi dari orang

yang merawat hewan tersebut. Hewan yang sehat nafsu makannya baik, hewan yang

sakit nafsu makannya berkurang atau bahkan tidak mau makan. Cara bernafas hewan

sehat nafasnya teratur, bergantian antara keempat kakinya. Pincang, loyo dan tidak

bias berjalan menunjukkan hewan sedang sakit. Cara buang kotoran dan kencingnya

lancer tanpa menunjukkan gejala kesakitan. Konsistensi kotoran (feses) padat (Hayati

dan Choliq, 2009). Pemeriksaan Fisik dilakukan pemeriksaan terhadap suhu tubuh

(temperatur), menggunakan termometer badan ( digital atau air raksa ), suhu tubuh

normal sapi berkisar antara 38,5°C – 39,2°C. Bola mata bersih, bening, dan cerah.

Kelopak mata bagian dalam (conjunctiva) berwarna kemerahan (pink) dan tidak ada

luka.

Kelainan yang biasa dijumpai pada mata yaitu adanya kotoran berlebih

sehingga mata tertutup, kelopak mata bengkak, warna merah, kekuningan (icterus)

atau cenderung putih (pucat). Mulut dan bibir, bagian luar bersih, mulus, dan agak

lembab. Bibir dapat menutup dengan baik. Selaput lender rongga mulut warnanya

merata kemerahan (pink), tidak ada luka. Air liur cukup membasahi rongga mulut.

Lidah warna kemerahan merata, tidak ada luka dan dapat bergerak bebas. Adanya

keropengdi bagian bibir, air liur berlebih atau perubahan warna selaput lendir (merah,

kekuningan atau pucat) menunjukkan hewan sakit. Hidung, tampak luar agak lembab
cenderung basah. Tidak ada luka, kotoran, leleran atau sumbatan. Pencet bagian

hidung, apabila keluar cairan berarti terjadi peradangan pada hidung. Cairan hidung

bisa bening, keputihan, kehijauan, kemerahan, kehitaman atau kekuningan. Kulit dan

bulu, bulu teratur, bersih, rapi, dan mengkilat. Kulit mulus, tidak ada luka dan

keropeng. Bulu kusam tampak kering dan acak-acakan menunjukkan hewan kurang

sehat. Kelenjar getah bening, kelenjar getah bening yang mudah diamati adalah yang

berada di daerah bawah telinga, daerah ketiak dan selangkangan kiri dan kanan.

Pemeriksaan antemortem dilakukan pada waktu hewan dalam keadaan berdiri

dan berjalan, berbelok ke kanan dan ke kiri. Keseluruhan pemeriksaan harus berjalan

cepat agar aliran hewan dari kandang ke ruang pemotongan tidak terhambat.

Pemeriksaan antemortem meliputi keadaan umum hewan, lubang-lubang tubuh

hewan, temperatur tubuh hewan, pernafasan dan selaput-selaput lendir.

Postmortem

Setelah hewan dipotong (disembelih) dilakukan pemeriksaan postmortem

dengan teliti pada bagian-bagian sebagai berikut: Karkas, Karkas sehat tampak

kompak dengan warna merah merata dan lembab. Bentuk-bentuk kelainan yang

sering dijumpai bercak-bercak pendarahan, lebam-lebam dan berair. Paru-paru sehat

berwarna pink, jika diremas terasa empuk dan teraba gelembung udara, tidak lengket

dengan bagian tubuh lain, tidak bengkak dengan kondisi tepi-tepi yang tajam.

Ditemukan benjolan-benjolan kecil pada paru-paru atau terlihat adanya benjolan-

benjolan keputihan (tuberkel) patut diwaspadai adanya kuman tubercollosis. Jantung,


ujung jantung terkesan agak lancip, bagian luarnya mulus tanpa ada bercak-bercak

perdarahan. Jantung dibelah untuk mengetahui kondisi bagian dalamnya.

Hati warna merah agak gelap secara merata dengan kantong empedu yang

relative kecil. Konsistensi kenyal dengan tepi-tepi yang cenderung tajam. Kelainan

yang sering ditemui adalah adanya cacing hati (Fasciola hepatica atau Fasciola

gigantica pada sapi). Limpa, ukuran limpa lebih kecil daripada ukuran hati, dengan

warna merah keunguan. Pada penderita Anthrax keadaan limpa membengkak hebat.

Ginjal, kedua ginjal tampak luar keadaannya mulus dengan bentuk dan ukuran relatif

semetris. Adanya benjolan, bercak-bercak pendarahan, pembengkakan atau

perubahan warna merupakan kelainan pada ginjal. Lambung dan usus bagian luar dan

bagian dalam tampak mulus. Lekukan-lekukan bagian dalamnya teratur rapi.

Penggantung usus dan lambung bersih. Tidak ditemukan benda-benda asing yang

menempel atau bentukan-bentukan aneh pada kedua sisi lambung dan usus. Pada

lambung kambing sering dijumpai adanya cacing yang menempel kuat berwarna

kemerahan (Soedarto, 2003).

Penyakit yang ditemui pada RPH

Bahan pangan asal ternak sebagai sumber protein hewani yang sangat penting

berupa daging, susu, dan telur. Daging asal ternak diperoleh dari aneka unggas,

ruminansia, dan ternak lain; susu diperoleh dari ternak ruminansia besar terutama sapi

dan ruminansia kecil terutama kambing; telur diperoleh dari aneka unggas. Daging

asal unggas disumbangkan paling banyak oleh ayam broiler, ayam kampung, itik,

ayam petelur afkir, entog, kalkun, angsa, burung puyuh afkir, dan burung dara. Total
sumbangan daging asal unggas mencapai 60,8% (Ditjenak, 2006 dalam Talib dkk,

2007).

Bahaya atau hazard yang berkaitan dengan keamanan pangan asal ternak

dapat terjadi pada setiap mata rantai produksi pangan. Bahaya yang berkaitan dengan

keamanan pangan asal ternak dikelompokkan menjadi empat (4) bagian (Bahri, Sani,

dan Indraningsih, 2006); yaitu: (1) Penyakit ternak (zoonosis); (2) Penyakit bawaan

makanan (food borne disease); (3) Cemaran atau kontaminasi; (4) Pemalsuan dan

bahan pengawet. Selain itu, ada dampak bencana ikutan yang dapat menyebabkan

ternak sakit yaitu banjir. Berikut beberapa jenis penyakit pada ternak yang dapat

ditularkan pada manusia dan/ atau yang daging dan susunya tidak boleh dikonsumsi,

yaitu:

Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE)

Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau Sapi Gila Penyakit

Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) atau sapi gila (mad cow) pertama kali

dilaporkan terjadi di Inggris pada Nopember 1986. Kasusnya sangat banyak,

diidentifikasi sebanyak 170.000 kasus dan bersifat menular. Kejadian sporadis terjadi

disejumlah negara Eropa seperti Belgia, Perancis, Italia, Portugal, dan Spanyol.

Penyakit sapi gila ditularkan kepada manusia melalui konsumsi daging sapi yang

terinfeksi; atau berkontak dengan sapi-sapi yang terjangkit penyakit sapi gila.

Penyakit mulut dan kuku (PMK)

Penyakit mulut dan kuku (PMK) menjangkiti sapi, kerbau, kambing, domba,

babi, dan jenis-jenis hewan sebangsanya. Penyebab PMK adalah Aphtae epizootica.
Ada tujuh tipe virus PMK, yaitu: A, O, C, Asia, South African Teritory (SAT) 1, 2,

dan 3. Setiap tipe virus PMK masih terbagi lagi menjadi beberapa sub tipe dan galur.

Sejauh ini di Indonesia hanya ada satu tipe virus PMK, yaitu virus tipe O yang

menyerang mulut dan kuku. PMK bersifat zoonosis sehingga bisa menular pada

manusia. Penularan virus PMK umumnya terjadi secara kontak dalam kelompok

hewan atau proses lewat makanan, minuman, atau alat yang tercemar virus. Hewan

ternak yang tertular mengeluarkan virus dalam jumlah sangat banyak lewat ekskreta

(feses dan urine), terutama air liur. Gejala awal muncul demam yang sangat cepat

diikuti munculnya lepuh atau vesikula pada lidah dan daerah interdigit (celah kuku).

Lepuh lidah pecah kemudian terjadi hipersalivasi berwarna bening menggantung pada

bibir. Pada saat demikian sapi tidak mau makan dan akhirnya kurus drastis. Lepuh

juga dapat terjadi pada puting dan kelenjar mamae (Rianto dan Purbowati, 2010).

Penyakit Tuberculosis (TBC)

Penyakit tuberculosis (Tb) pada berbagai jenis hewan termasuk sapi

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculose, atau Mycobacterium bovus.

Kuman Tb di alam ada tiga tipe, yaitu human, bovine, dan avian. Tb menyerang

saluran pernafasan, terutama paru-paru dan pleura; hewan yang terserang tampak

kurus. Organ tubuh yang terserang Tb disarankan tidak dikonsumsi. Kuman TB dapat

mencemari susu sehingga jika sapi sudah terduga dan terdiagnosis TB maka susunya

tidak boleh dikonsumsi. TB dapat menular melalui ekskresi,sputum (dahak), feses,

susu, urin, semen, traktus genitalis (saluran kelamin), pernapasan, ingesti, dan
perkawinan dengan hewan yang sakit (Rianto dan Purbowati, 2010). Pencegahan

sangat perlu dilakukan dengan penerapan sanitasi kandang dan lingkungan yang baik

Penyakit Antraks

Penyakit Antraks Penyakit antraks memiliki beberapa istilah, yaitu: radang

kura, radang limpa, malignant pustula, malignant edema, woolsoster’s disease,

ragpickers disease, splenic fever, charbon, atau caneung hideung; disebabkan

olehBacillus anthraxis. Bakteri ini dapat hidup bertahun-tahun dalam bentuk spora.

Jika keadaan memungkinkan, spora akan aktif kembali. Anthraks dapat menyerang

sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, burung unta, serta hewan lain seperi tikus,

marmut, dan mencit. Lingkungan yang tercemar Bacillus anthraxis seperti tanah,

tanaman sayur dan rerumputan, air juga dapat menjadi sumber penularan. Sapi yang

terserang antraks sering mati mendadak. Gejala yang timbul pada ternak adalah suhu

tubuh tinggi, kejang, leher bengkak, terjadi pendarahan pada telinga, hidung, anus,

vagina; hilang nafsu makan, dan lemah otot. Pencegahan yang bisa dilakukan agar

tidak terserang antraks adalah melakukan vaksinasi secara teratur.Jika ternak mati

karena anthrax harus dikubur dengan kedalaman minimal dua meter. Jika sapi

terserang anthrax harusdikarantina dan sesegera mungkin mengobatinya dengan

penicillin berdosis tinggi (Rianto dan Purbowati, 2010). Di Indonesia, anthrax

pertama kali dilaporkan tahun 1832 di Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara dan

setelah itu mulai diberitakan kejadian anthrax di beberapa wilayah yang lain

(Murwani dkk, 2017). Manusia yang tertular penyakit antraks secara langsung atau

tidak langsung terpapar oleh produk hewan yang terkontaminasi seperti daging, kulit
binatang, tulang, dan bahan lain dari hewan ternak yang terinfeksi (Gombe et al 2010

dalam Martindah, 2017).

Penyakit Brucellosis

Penyakit Brucellosis (Jawa: kluron menular) Penyakit Brucellosis disebabkan

oleh bakteri Brucella abortus Bang, bersifat zoonosis; artinya penyakit tersebut

menular dari hewan ke manusia. Sapi yang terjangkit brucellosis susunya tidak boleh

diminum karena bisa menyebabkan demam. Penularan melalui kontak langsung,

melalui serangga, melalui luka, perkawinan alami, kawin suntik, melalui pakan, air

minum, atau peralatan kandang yang tercemar (Bakri dan Saparinto, 2015); dan

eksudat alat kelamin, selaput lendir mata. Sapi bunting yang terkena brucellosis akan

mengalami abortus pada 6–9 bulan kebuntingan.

Aborsi bisa terjadi satu, dua, atau tiga kali. Gejala klinis yang tampak antara

lain selaput fetus yang diaborsikan terlihat oedema, hemorhagi, nekrotik, adanya

eksudat kental, retensi placenta, mastitis, dan keluar kotoran dari vagina (Rianto dan

Purbowati, 2010). Tegal; dua dekade berikutnya dilaporkan terjadi di Tuban dan

menyebar ke Blora, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan Madiun (Vletter 1907

dalam Natalia, 2000). Penyakit bersifat akut dengan gejala klinis pembengkakan pada

jaringan sub kutan terutama bagian bahu dan paha yang jika ditekan terasa seperti ada

gas atau udara yang berpindah-pindah. Otot berwarna merah kehitaman dan

oedematous pada daerah yang membengkak dengan tempat udara di bagian tengah.

Karkas hewan penderita radang paha tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh

diperdagangkan (Bahri dkk, 2002).


Penyakit Radang Paha

Penyakit Radang Paha (blackleg) Penyakit radang paha disebabkan oleh

bakteri anaerob gram positif berspora Clostridium chauvoei yang biasanya

menyerang sapi atau domba. Menurut sejarah, radang paha pertama kali ditemukan di

Indonesia tahun 1891 di Tegal; dua dekade berikutnya dilaporkan terjadi di Tuban

dan menyebar ke Blora, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan Madiun (Vletter 1907

dalam Natalia, 2000). Penyakit bersifat akut dengan gejala klinis pembengkakan pada

jaringan sub kutan terutama bagian bahu dan paha yang jika ditekan terasa seperti ada

gas atau udara yang berpindah-pindah. Otot berwarna merah kehitaman dan

oedematous pada daerah yang membengkak dengan tempat udara di bagian tengah.

Karkas hewan penderita radang paha tidak boleh dikonsumsi dan tidak boleh

diperdagangkan (Bahri dkk, 2002).


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor


Peternakan.http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/info.
html.Diakses pada tanggal 07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan
Masyarakat.http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada tanggal
07 Oktober 2009, pada pukul 11.03 WIB.
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry.
Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary
Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak
Potong, Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia.
P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina
Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian,
Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan
Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak,
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for
Meat Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Swatland, H. J., 1984. Structure and Development of Meat Animals. Prentice-
Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Diposkan oleh Septinadi 00:30

Sumber Artikel : http://septinalove.blogspot.com/

DAFTAR PUSTAKA
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary
Hygine Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak
Potong, Jakarta.

Lestari, P.T.B.A., 1994a. Rumah Pemotongan Hewan Ruminansia Indonesia.


P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.

Lestari, P.T.B.A., 1994b. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di


Indonesia. P. T. Bina Aneka Lestari, Jakarta.

Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina


Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian,
Jakarta.

Diposkan oleh Septinadi 06.27


DAFTAR PUSTAKA

Akoso,T. B., 1991, Manual Untuk Paramedik Kesehatan Hewan, 2ed, Omaf-Cida
Disease Investigasi center.
Anonim, 2006. Standar Naasional Indonesia Sub Sektor Peternakan.
http://www.mailarchive.com/agromania@yahoogroups.com/info.html. Diakses
pada tanggal 20 September 2014.
Anonim, 2009. Rumah Potong Hewan Bagi Kesehatan Masyarakat.
http://www.timorexpress.com/index.php. Diakses pada tanggal 20 September
2014.
Bearden HJ, and JW Fuquay. 1992. Applied Animal Reproduction Third Edition
Prentice Hall. Englewood Cliffs. New Jersey.
Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B.
Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hayati dan Choliq, 2009. Ilmu Reproduksi Hewan. PT. Mutiara Sumber Widya.
Jakarta.
Koswara, O., 1988. Persyaratan Rumah Pemotongan Hewan dan Veterinary Hygine
Untuk Eksport Produk-produk Peternakan. Makalah Seminar Ternak Potong,
Jakarta.
Lestari, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T.
Bina Aneka Lestari, Jakarta.
Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet. Direktorat Bina Kesehatan
Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.
Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam:
Suatu
Tinjauan tentang Fiqih Ternak. Program Studi Produksi Ternak, Fakultas
Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Ressang, A. A., 1984, Pathologi Khusus Veteriner, Fad Project Khusus Investigasi
Unit
Bali.
Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat
Science. 2nd ed. American Press, Boston, Massachusetts.
Soedarto. 2003. Zoonosisi Kedokteran. Airlangga press. Surabaya.
Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ke-1. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.

Daftar Pustaka Adarma, T. (2016). Awas, Banjir Bawa Bibit Penyakit Bagi Hewan
Ternak. http://beritajatim.com/ peristiwa/260798/awas,_banjir_
bawa_bibit_penyakit_bagi_ hewan_ternak.html. Diakses pada 29 Maret 2016. Adjit,
R. M. A dan Saepulloh, M. (2010). Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis pada
Sapi di Indonesia dan Strategi Pengendaliannya. Wartazoa, 20(1), 1-11. Badan
Standarisasi Nasional (BSN). SNI ISO 22000:2005. Sistem manajemen Keamanan
Pangan – Persyaratan untuk Organisasi dalam Rantai Pangan. Balai Besar Penelitian
Veteriner. (2012). Informasi dan Diskripsi Singkat Penyakit Hewan Menular Strategis
(PHMS). Jakarta: Balitbang Pertanian, 14h. http://www.
litbang.pertanian.go.id/download/ one/407/file/BOOKLET-PHMS. pdf. Diakses pada
2018. Bahri, S., Indraningsih, W. R., Murdiati, T. B., dan Maryam R. (2002).
Keamanan Pangan Asal Ternak : Suatu Tuntutan di Era Perdagangan Bebas.
Wartazoa, 12(2), 47-64. Bahri, S., Sani, Y., dan Indraningsih, (2006). Beberapa Faktor
yang Mempengaruhi Keamanan Pangan Asal Ternak di Indonesia. Jakarta: Wartazoa,
16(1), 1-13. Blakely, J., dan Bade, D. H. (1992). Ilmu Peternakan. Edisi Keempat.
Terjemahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Daryanto, A. (2017). Praktik
Suap dan Kuota Impor Daging Sapi. Jakarta: Trobos, Dirjen Peternakan. (2017).
Situasi Kejadian Ai Pada Unggas Kondisi Sampai Dengan Maret 2017.
http://ditjennak.pertanian.go.id/ situasi-kejadian-avian-influenzaai-pada-unggas-
kondisi-s-d-31- maret-2017. Diunduh 17 Agustus 2017. Murwani, S., Qosimah, D.,
dan Amri, I. A. (2017). Penyakit Bakterial Pada Ternak Hewan Besar dan Unggas.
Malang: UB Press. Natalia, L. (2000). Manifestasi Veseral Penyakit Radang Paha pada
Hewan. JITV, 5(1), 276-281. Cakrawala, 12(2) 2018: 208-221 | 221 Nugraheni, M.
(2013). Pengetahuan Bahan Pangan Hewani. Yogyakarta: Graha Ilmu. Martindah, E.
(2017). Faktor Risiko, Sikap, dan Pengetahuan Masyarakat Peternak dalam
Pengendalian Penyakit Antraks. Jakarta: Wartazoa, 27(3), 135-144. Rianto, E., dan
Purbowati, E. (2010). Panduan Lengkap Sapi Potong. Depok: Penebar Swadaya.
Ruhiat, E., Suhardi, H. A., dan Mariyono. (2018). Gambaran Status Penyakit Supar
dan Ariyanti, T. (2005). Keamanan Pangan Produk Peternakan Ditinjau dari Aspek
Penyakit. Wartazoa,15(4), 187-2005. Talib, C., Inounu, I., dan Bamualim, A. (2007).
Restrukturisasi Peternakan di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, 5(1), 1-14.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 227. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338
Wheindrata, H. S. (2015). Flu Burung. Kenali, Cegah dan

Anda mungkin juga menyukai