Anda di halaman 1dari 9

TINJAUAN PUSTAKA

1. Edema Paru
A. Definisi
Edema paru dapat didefinisikan secara luas sebagai akumulasi cairan
yang berlebihan di dalam sel, ruang antar sel, dan rongga alveoli pada paru.
Penyebabnya beragam, tetapi memiliki hasil akhir yang sama, yaitu jumlah air
yang berlebihan di dalam paru (Larsen ., et al, 2003)
Edema paru dapat diklasifikasikan sebagai edema paru kardiogenik dan
edema paru non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang dapat terjadi akibat perfusi
berlebihan baik dari infus darah maupun produk darah dan cairan lainnya,
sedangkan edema paru non-kardiogenik disebabkan oleh peningkatan
permeabilitas kapiler paru antara lain pada pasca transplantasi paru dan
reekspansi edema paru, termasuk cedera iskemia-reperfusi-dimediasi (Mattu,
2005).
Walaupun penyebab edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
berbeda, namun keduanya memiliki penampilan klinis yang serupa sehingga
menyulitkan dalam menegakkan diagnosisnya.6 Terapi yang tepat dibutuhkan
untuk menyelamatkan pasien dari kerusakan lanjut akibat gangguan
keseimbangan cairan di paru (Mattu, 2005).
B. Etiologi Klinis
Edema paru biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan pembuluh
kapiler paru dan permeabilitas kapiler alveolar. Edema paru akibat peningkatan
permeabilitas kapiler paru sering disebut acute respiratory distress syndrome
(ARDS) (Huldani, 2014).
Pada keadaan normal terdapat kese-imbangan tekanan onkotik (osmotik)
dan hidrostatik antara kapiler paru dan alveoli. Tekanan hidrostatik yang
meningkat pada gagal jantung menyebabkan edema paru, sedangkan pada gagal
ginjal terjadi retensi cairan yang menyebabkan volume overload dan diikuti
edema paru. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik atau malnutrisi
menyebabkan tekanan onkotik menurun sehingga terjadi edema paru. Pada tahap
awal edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di jaringan interstisial
antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan permeabilitas
kapiler paru perlu dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam
kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil
yang teraktivasi akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian
menyebabkan pelepasan berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi
seperti asam arakidonat, kinin, dan histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi
oleh berbagai macam keadaan atau penyakit dengan hasil akhir kerusakan
endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler alveolar. Alveoli
menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak mengandung
neutrofil dan sel-sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin (Huldani,
2014). Karakteristik edema paru akibat peningkatan permeabilitas kapiler paru
ialah tidak adanya peningkatan tekanan pulmonal (hipertensi pulmonal).
Penyebab edema paru kardiogenik ialah (Nieminen et al., 2005):
a. Gagal jantung kiri, yang dapat diakibatkan oleh: infark miokard, penyakit
katup aorta dan mitral, kardiomiopati, aritmia, hipertensi krisis, kelainan
jantung bawaan (paten duktus arteriosus, ventrikel septal defek)
b. Volume overload
c. Obstruksi mekanik aliran kiri
d. Insufisiensi limfatik, yang terjadi sebagai akibat lanjut transplantasi paru,
karsinomatosis limfangi-ektasis, atau limfangitis fibrosis
C. Patofisiologi
Dalam keadaan normal di dalam paru terjadi aliran yang kontinyu dari
cairan dan protein intravaskular ke jaringan interstisial dan kembali ke sistem
aliran darah melalui saluran limfatik (Nendrastuti, 2010).
Edema paru terjadi bila cairan yang difiltrasi oleh dinding mikrovaskuler
lebih banyak daripada yang bisa dikeluarkan yang berakibat alveoli penuh terisi
cairan sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas. Faktor-faktor
penentu yang berperan disini yaitu perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik
dalam lumen kapiler dan interstisial, serta permeabilitas sel endotel terhadap air,
larutan, dan molekul besar seperti protein plasma. Adanya ketidakseimbangan
dari satu atau lebih dari faktor-faktor diatas akan menimbulkan terjadinya edema
paru (Murray, 2011).
Pada edema paru kardiogenik (volume overload edema) terjadinya
peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru menyebabkan peningkatan
filtrasi cairan transvaskular. Bila tekanan interstisial paru lebih besar daripada
tekanan intrapleural maka cairan bergerak menuju pleura viseral yang
menyebabkan efusi pleura. Bila permeabilitas kapiler endotel tetap normal, maka
cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein rendah.
Peningkatan tekanan hidrostatik ka-piler paru biasanya disebabkan oleh
meningkatnya tekanan di vena pulmonalis yang terjadi akibat meningkatnya
tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri (>25 mmHg).
Dalam keadaan normal tekanan kapiler paru berkisar 8-12 mmHg dan tekanan
osmotik koloid plasma 28 mmHg (Murray, 2011).
Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus
memburuk oleh proses-proses sebagai berikut (Murray, 2011) :
a. Meningkatnya kongesti paru menye-babkan desaturasi dan
menurunnya pasokan oksigen miokard memperburuk fungsi jantung.
b. Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan
vasokonstriksi pul-monal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel
kanan yang melalui mekanisme interdependensi ventrikel akan
semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
c. Insufisiensi sirkulasi menyebabkan asidosis sehingga memperburuk
fungsi jantung.

Keluarnya cairan edema dari alveoli paru tergantung pada transpor aktif
ion Na+ dan Cl- melintasi barier epitel yang terdapat pada membran apikal sel
epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran napas distal. Ion Na+ secara aktif
ditranspor keluar ke ruang insterstisial oleh kerja Na/K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui
aquaporins yang merupakan saluran air pada sel tipe I (Soemantri, 2011)
Edema paru kardiogenik dapat terjadi akibat dekompensasi akut pada
gagal jantung kronik maupun akibat gagal jantung akut pada infark miokard
dimana terjadinya bendungan dan peningkatan tekanan di jantung dan paru akibat
melemahnya pompa jantung (Soemantri, 2011). Kenaikan tekanan hidrostatik
kapiler paru menyebabkan transudasi cairan ke dalam ruang interstisial paru,
dimana tekanan hidrostatik kapiler paru lebih tinggi dari tekanan osmotik koloid
plasma. Pada tingkat kritis, ketika ruang interstitial dan perivaskular sudah terisi,
maka peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan penetrasi cairan ke dalam
ruang alveoli (Soemantri, 2011)

D. Diagnosis
Gambaran klinis edema paru yaitu dari anamnesis ditemukan adanya
sesak napas yang bersifat tiba-tiba yang dihubungkan dengan riwayat nyeri dada
dan riwayat sakit jantung. Perkembangan edema paru bisa berangsur-angsur atau
tiba-tiba seperti pada kasus edema paru akut. Selain itu, sputum dalam jumlah
banyak, berbusa dan berwarna merah jambu. Gejala-gejala umum lain yang
mungkin ditemukan ialah: mudah lelah, lebih cepat merasa sesak napas dengan
aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas cepat (takipnea), pening, atau
kelemahan. Tingkat oksigenasi darah yang rendah (hipoksia) mungkin terdeteksi
pada pasien dengan edema paru. Pada auskultasi dapat didengar suara-suara paru
yang abnormal, seperti ronki atau crakle (Mattu, 2005).
Manifestasi klinis edema paru baik kardiogenik maupun non-kardiogenik
bisa serupa, oleh sebab itu sangat penting untuk menetapkan gejala yang
dominan dari kedua jenis tersebut sebagai pedoman pengobatan.1 Tabel 1
memperlihatkan perbedaan edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Mattu,
2005).
Secara klinis dapat timbul gejala sesak napas, retraksi interkostal pada
saat inspirasi, dan perubahan berat badan. Suara merintih dapat dijumpai, yang
terjadi akibat usaha untuk mencegah kolaps paru. Temuan-temuan spesifik
edema paru pada pemeriksaan fisik bervariasi menurut beratnya distres
pernapasan dan penyebab dasar dari edema. Secara umum, beberapa derajat
distres pernapasan bermanifestasi dalam bentuk peningkatan laju pernapasan,
retraksi interkostal, dan penggunaan otot-otot bantu pernapasan. Sianosis dapat
terlihat, dan mungkin terdengar hantaran pada auskultasi, khususnya pada
lapangan paru yang terkena. Peningkatan suara S3 dan “aliran” bising mungkin
terdengar bersamaan dengan distensi vena jugularis dan hepatomegali. Sputum
yang sangat berbuih dan berwarna merah muda terlihat hampir pada semua
edema paru berat (Wake, 2006).
Krepitasi tidak selalu ditemukan, kecuali bila sudah terjadi perpindahan
cairan dari alveoli ke bronkiolus terminal. Bila penumpukan cairan sudah sampai
ke saluran respiratorik besar, maka ronki dan mengi dapat didengar. Apakah
ronki dan mengi terjadi akibat edema dinding bronkus dan spasme bronkus,
belum dapat dibuktikan (Wake, 2006).
Gejala-gejala iskemi miokardial yang berhubungan dengan tanda-tanda
kegagalan ventrikel kiri mengarah kepada diagnosis edema paru hidrostatik,
sedangkan riwayat aspirasi cairan lambung dan respons kardiovaskular
hiperdinamik mengarah kepada diagnosis edema paru permeabilitas (Wake,
2006).

E. Terapi
Terapi awal yang paling penting adalah pemberian oksigen, jika perlu
dengan ventilasi mekanik. Pemberian ventilasi mekanik bertujuan tidak hanya
untuk mengurangi kerja pernapasan saja, tetapi juga meningkatkan oksigenasi
dengan mencegah kolaps alveoli memakai positive end- expiratory pressure
(PEEP). Peningkatan oksigenasi menyebabkan cairan keluar ke intersitisial
sehingga tidak mengganggu pertukaran gas (Uejima, 2001).
Jika edema paru disebabkan oleh gagal jantung dengan peningkatan
tekanan mikrovaskular pulmonal, maka dapat dilakukan terapi untuk perbaikan
fungsi jantung. Perbaikan fungsi jantung dapat dicapai dengan berbagai cara,
oksigen dan digitalis diberikan untuk meningkatkan volume semenit, pemberian
morfin dapat membantu mengurangi preload dan afterload karena mengurangi
ansietas. Penurunan afterload ventrikel kiri akan memungkinkan peningkatan
fraksi ejeksi tanpa meningkatkan kerja miokardial. Aminofilin dapat diberikan,
karena selain mengurangi afterload, efek lainnya dapat memperbaiki
kontraktilitas dan menyebabkan bronkodilatasi. Perbaikan kontraktilitas
miokardium dadrenergik dengan obat-obat inotropik seperti dopamin,
dobutamin, atau isoproterenol dengan meningkatkan curah jantung dan
menurunkan tekanan pengisian ventrikel. Preload juga dapat dikurangi dengan
posisi duduk, juga dengan pemberian ventilasi tekanan positif. Sebagai
tambahan, perlu juga diberikan terapi suportif, seperti merencanakan pemberian
cairan dengan cermat, dengan memberikan sejumlah cairan pengganti dehidrasi,
sambil melakukan koreksi asam basa, dan kemudian memberikan cairan
pemeliharaan (Uejima, 2001).
Diuretik diberikan dengan tujuan mengurangi volume plasma dan
pengisian atrium kiri, juga untuk meningkatkan tekanan koloid osmotik.
Mekanisme kerja diuretik dalam mengatasi edema paru adalah dengan
meningkatkan kapasitas vena, dan meningkatkan eksresi garam dan air sehingga
mengurangi pengeluaran cairan dari mikrovaskular paru (Uejima, 2001).
Pada edema berat, furosemid dapat diberikan secara intravena dengan
dosis 1−2 mg/kgBB. Dosis ini biasanya menghasilkan diuresis nyata yang
menurunkan tekanan mikrovaskular paru dan meningkatkan konsentrasi protein
di dalam plasma. Dua perubahan ini menghambat filtrasi cairan ke dalam paru
dan mempercepat masuknya air ke dalam mikrosirkulasi paru dari interstisial.
Terapi berkelanjutan dengan furosemid, kadangkala disertai dengan penggunaan
diuretik lain seperti spironolakton dan tiazid, digunakan untuk membantu
mengendalikan edema paru. Pada terapi jangka panjang dengan diuretik sering
terjadi kehilangan sejumlah besar kalium klorida. Deplesi elektrolit ini biasanya
dapat dicegah dengan menggunakan suplementasi kalium klorida, 3−5
mEq/kgBB setiap hari (Uejima, 2001).
Jika terdapat hipotensi, zat inotropik seperti dopamin dan dobutamin juga
mempunyai efek terhadap pembuluh darah paru. Jika terdapat resistensi vaskular
yang tinggi, maka dobutamin lebih efektif karena dapat meningkatkan volume
jantung semenit tanpa meningkatkan resistensi vaskular sistemik, bahkan
menyebabkan vasodilatasi sistemik (Uejima, 2001).
Pemberian albumin intravena bermanfaat jika edema paru disebabkan
oleh penurunan tekanan koloid osmotik. Untuk mencegah efek penumpukan
cairan sementara akibat albumin, maka pemberiannya harus lambat dan disertai
diuretik. Pada bayi, serta anak-anak dengan edema paru berat, infus albumin
atau plasma biasanya tidak memberikan keuntungan. Pemberian tersebut
cenderung meningkatkan tekanan mikrovaskular paru, sebagai usaha
mengimbangi efek peningkatan tekanan osmotik protein intravaskular.
Selanjutnya, protein yang diberikan dapat bocor ke interstisial paru, sehingga
menambah beratnya edema (Uejima, 2001).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis,
yaitu (Ware, 2005) :

a. Pemeriksaan foto toraks menunjukkan kardiomegali (pada pasien dengan


CHF) dan adanya edema alveolar disertai efusi pleura dan infiltrasi
bilateral dengan pola butterfly, gambaran vaskular paru dan hilus yang
berkabut serta adanya garis-garis Kerley b di interlobularis. Gambaran lain
yang berhubungan dengan penyakit jantung berupa pembesaran ventrikel
kiri sering dijumpai. Efusi pleura unilateral juga sering dijumpai dan
berhubungan dengan gagal jantung kiri.
b. EKG menunjukan gangguan pada jantung seperti pembesaran atrium kiri,
pembesaran ventrikel kiri, aritmia, miokard iskemik maupun infark.
c. Ekokardiografi dilakukan untuk mengetahui apakah ada penurunan fungsi
dari ventrikel kiri dan adanya kelainan katup-katup jantung.
d. Pemeriksaan laboratorium enzim jantung perlu dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis infark miokard. Peningkatan kadar brain natriuretic
peptide (BNP) di dalam darah sebagai respon terhadap peningkatan
tekanan di ventikel; kadar BNP >500 pg/ml dapat membantu menegakkan
diagnosis edema paru kardiogenik.
e. Analisis gas darah (AGDA) dapat memperlihatkan penurunan PO2 dan
PCO2 pada keadaan awal tetapi pada perkembangan penyakit selanjutnya
PO2 semakin menurun sedangkan PCO2 meningkat. Pada kasus yang
berat biasanya dijumpai hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
f. Kateterisasi jantung kanan: Pengukuran P pw (pulmonary capillary wedge
pressure) melalui kateterisasi jantung kanan merupakan baku emas untuk
pasien edema paru kardiogenik yaitu berkisar 25-35 mmHg sedangkan
pada pasien ARDS P pw 0-18 mmHg.
g. Kadar protein cairan edema: Pengukuran rasio konsentrasi protein cairan
edema dibandingkan protein plasma dapat digunakan untuk membedakan
edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik.
DAFTAR PUSTAKA

Larsen LG, Accursa JF, Halbower CA, dkk. Pulmonary edema. Dalam: Hay WW,
Hayward RA, Levin JM, 2003. Current pediatric diagnosis and treatment.
Edisi ke-16. Boston: Mc Graw Hill. h. 533.
Wake LB, Matthay AM. 2006. Acute pulmonary edema. N Engl J Med;353:2788–
92.
Uejima T. 2001.Pediatric Emergencies: acute pulmonary edema. Anesthesiology
Clinics of North America.

Mattu A, Martinez JP, Kelly BS. 2005. Modern management of cardiogenic pulmonary
edema. Emerg Med Clin N Am ;23:1105-25.

Ware LB, Matthay MA. 2005. Acute pulmonary edema. N Engl J Med.353:2788-96.

Nendrastuti H, Mohamad S. 2010. Edema paru akut, kardiogenik dan non kardiogenik.
Majalah Kedokteran Respirasi;1(3):10.

Murray JF. 2011. Pulmonary edema: pathophysiology and diagnosis. Int J Tuberc Lung
Dis.;15(2):155-160.

Huldani H. 2014. Edema paru akut. Refarat. Universitas Lambung Mangkurat Fakultas
Kedokteran, Banjarmasin.

Soemantri. 2011. Cardiogenic pulmonary edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu
Penyakit Dalam 2011. FK UNAIR-RSUD Dr. Soetomo,. p.113-9.

Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR, Drexler H, Filippatos GS, Jondeau G, et al. 2005.
Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart
failure. Eur Heart J;26:384-416.

Anda mungkin juga menyukai