Sihombing
BAB Pendahuluan
1
1
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hal. 105.
2
Miriam Budiardjo, ibid hal. 105.
1
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
3
C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern (Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-
bentuk Konstitusi Dunia), Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusa Media, 2004.
4
Frans Bona Sihombing, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Jakarta: Erlangga,
1984, hal. 1.
5
O. Notohamidjojo, Demokrasi Pantjasila (DasarNasional untuk Menegara), Jakarta:
Badan Penerbit Kristen, 1970, hal. 55.
6
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Saat Rakyat Bicara: Demokrasi dan Kesejahteraan,
Padjajarn Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014, hal. 3-4.
2
Eka N.A.M. Sihombing
7
Nimatul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal. 200.
8
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1995, hal. 152.
9
Nimatul Huda, Op. cit, hal. 229.
3
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
10
Nimatul Huda, ibid, hal. 229.
11
Demokrasi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses tanggal 05 Maret 2018.
12
Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1986, hal. 153
13
Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Eresco, 1987,
hal. 6.
4
Eka N.A.M. Sihombing
14
Nimatul Huda, Op. cit, hal. 200.
15
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1973,
hal. 284.
16
M. Budaeri Idjehar, HAM Versus Kapitalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003, hal. 3.
5
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
17
C.S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Djambatan: Jakarta, 2003, hal. 35.
18
Arend Lijphart, “Democracies”, dalam Bagir Manan, Pemiihan Umum sebagai Sarana
Mewujudkan Kedaulatan Rakyat, Bandung: Program Pasca Sarjana UNPAD, 1995, hal. 5-6.
6
Eka N.A.M. Sihombing
19
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1973.
20
S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, Bina Aksara, Jakarta,
1985, hal. 7.
21
S. Pamudji, ibid, hal. 12.
22
Muntoha, Demokrasi dan Negara, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009, hal. 379.
23
Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa
perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini, lihat
misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind
Hill-Co., 1997, hal. 4.
24
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985, hal. 11.
25
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985, hal. 109-110.
7
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
26
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press. 2003, hal. 245.
27
Bintan. R. Saragih, Reformasi dalam Perspektif Hukum Tata Negara, dalam Budiman
Ginting, dkk (ed), Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Medan: Pustaka Bangsa-
Press, 2002, hal.101.
28
I Dewa Gede Atmadja, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Malang: Setara
Press, 2015, hal. 126.
29
Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan
Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan
kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven &
Son Limited, 1960), hal. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris
sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat
Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1976), hal. 8.
8
Eka N.A.M. Sihombing
30
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989),
hal. 30.
31
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan
kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori
oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan
negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan
menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur
dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi
sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman
dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 90. Tentang wawasan-wawasan
yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi
Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I-Pelita IV”, Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
1990), hal. 139.
32
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis:
Liberty Fund Inc., 1973), hal. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan
paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi
kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H.
McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University
Press, 1974), hal. 146.
33
Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang
Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional
Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hal. 1-2.
34
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10 th edition,
(London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hal. 223-224.
35
A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey
Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4 th edition, (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hal. 34.
9
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
36
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965,
The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Com-
mission of Jurist, 1965), hal. 39-45.
37
M. Solly Lubis, Hak-Hak Asasi Menurut Undang-Undang Dasar 1945, dalam Padmo
Wahjono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia, 1985, hal 323
38
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hal 154-161.
10
Eka N.A.M. Sihombing
4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-organ eksekutif indipenden
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
12. Transparansi dan kontrol sosial
B. Negara Hukum Pancasila
Dalam negara demokrasi yang berdasarkan hukum (negara
hukum demokratis) terkandung pengertian bahwa kekuasaan
dibatasi oleh hukum 39 dan sekaligus pula menyatakan bahwa
hukum adalah supreme dibanding semua alat kekuasaan yang
ada.40 Dengan kata lain, negara menempatkan hukum sebagai
dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.41
Salah satu negara hukum yang demokratis adalah Negara
Indonesia. Negara Republik Indonesia menyebut dirinya sebagai
negara yang berdasar atas hukum, sebuah rechtstaat. Hal itu
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.42 Dengan demikian maka mekanisme
kehidupan perorangan, masyarakat, dan negara diatur oleh
hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik anggota
masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum
tersebut.43 Selain itu juga ini mengandung makna setiap warga
39
Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, hal. 128.
40
Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan
Administrasi Negara di Indonesia, Makalah Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya, 1994, hal. 8.
41
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia Suatu Sisi Ilmu
Pengetahuna Perundang-undangan Indonesia Yang Menjelaskan Dan Menjernihkan
Pemahamannya, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1992), hal. 8.
42
A. Hamid S. Attamimi, ibid, hal. 8.
43
Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 101.
11
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
44
Mirza Nasution, Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Medan:
Puspantara, 2015), hal. 74.
12
Eka N.A.M. Sihombing
13
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
48
Juni Thamrin, “Menciptakan Ruang Baru bagi Demokrasi Partisipatif: Dinamika dan
Tantangannya” dalam Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa (eds), Orde Partisipasi: Bunga
Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2005, hal 45.
49
Menurut Wignosoebroto dkk, sistem pemerintahan daerah yang dirancang oleh
pemerintah Orde Baru secara esensial bertujuan untuk meminimalisir atau bila mungkin
menghilangkan sekaligus gerakan-gerakan yang terjadi di daerah di era Soekarno, dan
untuk menjamin tercipatanya stabilitas politik sebagai syarat bagi terlaksananya
pembangunan ekonomi. Wignosoebroto, S., dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa
Perjalanan 100 Tahun (2007), Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, hal. 113.
Dampak dari kebijakan tersebut menurut Juwaini, daerah menjadi miskin inisiatif atau bisa
dibilang mandul karena serba menunggu intruksi dari pemerintah. Daerah-daerah
sesungguhnya tidak puas dengan kebijakan semacam ini, namun apa daya, pendekatan
represif dari pemerintah Orde Baru menutup celah kritik dari daerah tersebut. Pada akhirnya,
ketika legitmasi Orde Baru mengalami krisis gerakan dari daerah-daerah mulai muncul
kepermukaan, bukan hanya menuntut adanya otonomi khusus akibat dampak
penyeragaman urursan dari tiap daerah, akan tetapi, tuntutan pembebasan diri/kemerdekaan
dari daerah seperti yang pernah diperjuangkan oleh Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Juwaini, J., Otonomi Sepenuh Hati. Jakarta: Darussalam Publishing, 2015, hal. 41.
14
Eka N.A.M. Sihombing
50
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasiional, 2005, hal. 1.
51
Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Di Daerah, adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah
atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi menurut ketentuan Undang-Undanng Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undanng Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.
15
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
Selain defenisi desentralisasi yang telah disebutkan dalam undang-undang, para ahli
juga mencoba memberikan pengertian tentang desentralisasi. Amrah Muslimin
membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan
desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi Politik adalah pelimpahan kewenangan pusat yang
menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik
didaearah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu. Pengertian dari
desentralisasi politik sama dengan desentralisasi teritorial. Desentralisasi Fungsional
pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan untuk mengurus suatu macam
atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak terikat pada suatu
daerah tertentu. Sedangkan Desentralisasi Kebudayaan adalah pemberian atau pengakuan
hak minoritas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti lebih pada
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bagir Manan, Hubungan Antara
Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta,1994, hal. 32. Pengertian
desentralisasi yang lebih bernuansa politis dan yuridis dikemukakan oleh
Koesoemahatmadja yaitu mengatakan bahwa desentralisasi dibagi menjadi 2 (dua) macam.
Pertama, dekonsentrasi (deconsentratie) atau ambtelijke decentralisatie, adalah pelimpahan
kekuasaan dari alat perlengkapan negara ketingkat atas kepada bawahannya guna
melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Kedua, desentralisasi ketetatanegaraan
(staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi politik, adalah pelimpahan kekuasaan
perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegheid) kepada daerah-daerah
otonom di dalam lingkungannya. Krishna dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan
Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 11.
16
Eka N.A.M. Sihombing
52
Tisnanta, H.S, Meniti Partisipasi Publik, KBH Lampung, 2003.
17
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
BAB Pemaknaan
2 dan Pengaturan
Partisipasi
Masyarakat
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hal. 831.
2
Ainur Rohman, dkk., Politik, Partisipasi dan Demokrasi Dalam Pembangunan, Malang:
Averroes Press, hal. 45.
18
Eka N.A.M. Sihombing
3
Ainur Rohman, ibid, hal. 46.
4
Sirajuddin, dkk, Legislative Drafting (Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan), Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA,
Malang, 2007, 181.
5
Hetifah SjSumerto, Inovasi, Partisipasi dan GoodGovernance, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003, hal. 3.
6
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Jakartaz: Rajawali Press, 2010, hal. 282.
7
Ainur Rohman, dkk., Op. cit, hal. 47.
19
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
8
Ainur Rohman, dkk., ibid, hal. 45.
20
Eka N.A.M. Sihombing
9
http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/partisipasi-masyarakat-dalam-pembuatan.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2017.
10
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen
UUD 1945, (Konstitusi Press, Jakarta, 2012), hal. 428.
11
Pataniari Siahaan, ibid, hal. 428.
12
Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta 2013, hal 73
21
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
13
Philipus M. Hadjon, Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Demokratis, Pidato, diucapkan dalam Lustrum III Ubhara Surya, 1997, hal 4-5
14
Philipus M. Hadjon, ibid, hal 7-8
22
Eka N.A.M. Sihombing
23
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
24
Eka N.A.M. Sihombing
15
Menurut Ahmad Yani, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pelibatan partisipasi masyarakat di
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkesan formalitas belaka. Karena
itu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan berusaha memperbaiki partisipasi masyarakat tersebut dengan memperjelas
kategori kelompok kepentingan yang disebut masyarakat, yaitu orang perseorangan
atau kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat,
dan masyarakat adat. Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Responsif Catatan Atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Jakarta: Konstitusi Press, 2013, hal. 91-92.
25
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
16
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik; Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Rajawali Press, Jakarta, 2010), hal. 168.
26
Eka N.A.M. Sihombing
17
http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/partisipasi-masyarakat-dalam-pembuatan.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2017.
18
Inovasi Pemerintahan Daerah, Op.cit.
27
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
19
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,
Cet I, 2009, hal. 13
20
Munir Fuady, ibid, hal. 138.
21
H.S. Tisnanta, “Partisipasi Publik sebagai Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah”, dalam Muladi (Edt.), Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Refika Aditama, Bandung, 2005), hal. 78.
28
Eka N.A.M. Sihombing
23
Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
30
Eka N.A.M. Sihombing
31
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
BAB Partisipasi
Masyarakat
3 dalam Pembentukan
Peraturan Daerah
1
Muslimin B. Putra, Menimbang Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi, Majalah
Lesung, Edisi III No. 4, November 2005, hal. 35
32
Eka N.A.M. Sihombing
2
Muslimin B. Putra, ibid, hal. 35.
3
Tisnanta, H.S, Meniti Partisipasi Publik, KBH Lampung, 2003.
33
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
4
Hadjon, P.M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994
5
Nurcholish Madjid, Demokrasi dan Kebebasan, Tabloid Tekad, 1999.
34
Eka N.A.M. Sihombing
35
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
6
Bagan Infra dan Supra Struktur Politik M. Solly Lubis, sebagaimana dikutip Faisal
Akbar Nasution dalam Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca Berlakunya UU Nomor 22
Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik), Makalah: 2004, hal. 9.
36
Eka N.A.M. Sihombing
7
Sedarmayanti, Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam rangka Otonomi
Daerah; Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Rekonstruksi dan
Pemberdayaan, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 7
8
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Parpol: Bunga Rampai,, Jakarta: Gramedia, 1981,
hal. 2.
9
Josef Riwu Kaho,Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia:
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Jakarta: Rajawali Press,
2003, hal. 120
37
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
10
Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 354 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
11
Pasal 354 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
12
Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-
bentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38
Eka N.A.M. Sihombing
13
Setiap Pemerintahan daerah Provinsi, daerah kabupaten/kota itu mengatur dan
megurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dapat ditafsirkan bahwa basis otonomi itu ditetapkan bukan hanya di tingkat kabupaten
dan kota, tetapi juga di tingkat provinsi. Dengan demikian struktur pemerintahan
berdasarkan ketentuan ini terdiri atas tiga tingkatan yang masing-masing mempunyai
otonominya sendiri-sendiri, yaitu pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Lihat
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 58.
14
Jimly Asshiddiqie, ibid, hal. 58.
39
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
15
Lihat lebih lanjut dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undanng Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
16
Rudy Hendra Pakpahan, Pengujian Peraturan daerah Oleh Lembaga Eksekutif dan
Yudikatif, tesis, Universitas Sumatera Utara, hal. 5
17
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM
R.I, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Jakarta: Kementerian Hukum
dan HAM R.I, 2011, hal. 9.
40
Eka N.A.M. Sihombing
18
Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., Ilmu Perundang-undangan, Medan:
Pustaka Prima, 2017, hal. 19.
41
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
19
Subiharta, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009, Majalah Varia Peradilan No. 305 April 2011, hal. 21.
20
Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., ibid, hal. 37-38.
42
Eka N.A.M. Sihombing
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan-peraturan pelaksanaanya, seperti:Peraturan
Menteri; Instruksi Menteri; dan lain-lainnya.
(2) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 1999
hingga tahun 2004 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/
MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden; dan
g. Peraturan Daerah
(3) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 2004
hingga tahun 2011 berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden; dan
e. Peraturan Daerah.
(4) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 2011
hingga sekarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketatapan MPR.
43
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
21
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, FH UII Press,Yogyakarta,
2004, hal 133 sebagaimana dikutip Ni’matul Huda, Kedudukan Peraturan Daerah Dalam
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Hukum No. 1 Vol 13 Januari 2006, hal. 33.
44
Eka N.A.M. Sihombing
22
Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Dasar-Dasar
dan Teknik Penyusunannya), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 24.
23
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &
Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai Manual): Konsepsi
Teoretis Menuju Artikulasi Empiris, Jakarta: Kencana, 2013, hal. 85.
24
Van der Vlies membagi asas dalam pembentukan peraturan yang patut (beginselen van
behoolijke rejel geving) ke dalam asas formal dan asas materil. Adapun asas formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidenlijk doelstelling), yang mencakup tiga hal,
yaitu mengenai ketetapan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan
umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian
yang akan dibentuk tersebut; 2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
organ), hal ini untuk menegaskan kejelasan organ yang menetapkan pengaturan perundang-
undangan tersebut; 3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheidsbeginsel), merupakan
prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif maupun relevansi dibentuknya peraturan
untuk menyelesaikan problema pemerintahan; 4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoerbaar heids beginsel), yaitu peraturan yang dibuat seharusnya dapat ditegaskan secara
efektif; 5. Asas Konsensus (het beginsel van consensus), yaitu kesepakatan rakyat untuk
melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu peraturan secara konsekuen.
Sedangkan asas materil meliputi: 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar
(het beginsel van duidelijk terminologie an duiden deiijke sistematiek), artinya setiap peraturan
hendaknya dapat dipahami oleh rakyat; 2. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
recht gelijkeheids beginsel), hal demikian untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam
memperoleh layanan hukum; 3. Asas kepastian hukum (hetrechtzekerheidsbeginsel), artinya
peraturan yang dibuat mengandung aspek konsistensi walaupun diimplementasikan dalam
waktu dan ruang yang berbeda; 4. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual (het beginsel van de individuele bedeling), asas ini bermaksud memberikan
penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan tertentu yang menyangkut kepentingan
individual. Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., Op. cit, hal. 104-105. 45
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
46
Eka N.A.M. Sihombing
47
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
27
Soehino, Hukum Tata Negara, Penyusunan d an Penetapan Peraturan Daerah,
Yogyakarta: Liberty, 1997, hal. 8.
28
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, Ind-Hill.Co,1992,
hal 61-62.
49
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
29
Philippus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to
the Indonesian Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993,
hal. 60-61.
50
Eka N.A.M. Sihombing
51
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
30
Eka N.A.M. Sihombing, Menggagas Peraturan Daerah Aspiratif, dalam M. Solly
Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Reformasi, Jakarta: Sofmedia, hal. 189.
31
Eka N.A.M. Sihombing, ibid, hal. 189.
32
Eka N.A.M. Sihombing, ibid, hal. 189.
33
Eka N.A.M. Sihombing, ibid, hal. 189.
52
Eka N.A.M. Sihombing
34
Jika dibandingkan ketentuan ini dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menyatakan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan, maka akan ditemukan sedikit perbedaan, yaitu pada tahapan
penyebarluasan dimana pada rezim Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan penyebarluasan peraturan perundang-
undangan merupakan tindak lanjut dari pembentukan peraturan perundang-undangan,
sedangkan pada rezim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan penyebarluasan peraturan perundang-undangan masih
termasuk pada tahapan pembentukan, padahal jika dilihat apa yang disebarluaskan tersebut
adalah peraturan perundang-undangan yang telah jadi, sehingga tepatlah jika
penyebarluasan peraturan perundang-undangan dikeluarkan dalam bagiaan (bukan lagi
termasuk) proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
35
Lihat juga ketentuan Pasal 32 jo Pasal 39 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang juga menyebutkan bahwa
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dilakukan dalam Prolegda.
53
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
36
Terencana maksudnya perumusan Prolegda disiapkan terlebih dahulu secara baik,
misalnya melalui kajian akademik sebagaimana telah diperintahkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Terpadu maksudnya pembentukan Prolegda dilakukan secara
bersama-sama dan bersinergi antara baik dari Pemerintah Daerah maupun DPRD, dengan
melibatkan para pemangku kepentingan. Sistematis maksudnya pembentukan Prolegda
mengikuti ketentuan hukum dan dilakukan menggunakan mekanisme yang sistemik, lihat
Yusdiyanto, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Program Legislasi Daerah, dalam Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No. 2 Mei-Agustus 2012. Lihat juga ketentuan Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
37
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Buku Pedoman tentang Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legislasi Daerah, 2012, hal 1 dalam http://bphn.go.id/data/documents/
pedoman_penyusunan_prolegda.pdf diakses tanggal 01 Maret 2018.
38
Dalam Buku Pedoman tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Daerah yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, bahwa dalam pelaksanaan
penyusunan prolegda dapat dilakukan melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut: 1. Tahap
Inventarisasi: a) Inventarisasi usulan Prolegda di lingkungan Pemerintah; b) Inventarisasi
usulan Prolegda di lingkungan DPRD. 2. Tahap seleksi: a) Penyeleksian Usulan Prolegda
di lingkungan pemerintah daerah; b) Penyeleksian Usulan Prolegda di lingkungan DPRD.
3. Tahapan koordinasi antara Pemerintah daerah dan DPRD. 4. Tahap Penetapan. 5. Tahap
penyebarluasan Prolegda. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Buku Pedoman tentang
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, 2012, dalam http://bphn.go.id/
data/documents/pedoman_penyusunan_prolegda.pdf diakses tanggal 01 Maret 2018.
54
Eka N.A.M. Sihombing
39
Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat
(3), Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 42 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 11 dan
Pasal 12, dan 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
40
Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 14 Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 37 dan Pasal 42 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 14 dan
Pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
55
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
41
Marzuki, Peranan Program Legislasi Daerah/Program Pembentukan Peraturan Daerah
Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah, Makalah: 2015, hal. 7.
56
Eka N.A.M. Sihombing
42
Llihat lebih lanjut ketentuan menurut Pasal 239 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
57
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
58
Eka N.A.M. Sihombing
59
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
43
Ketentuan ini tidak menjelaskan secara eksplisit pengklasifikasian rancangan Peraturan
daerah yang harus disertai Penjelasan, keterangan dan/atau Naskah Akademik. Hal ini
menimbulkan keragu-raguan bagi Perangkat Daerah Pemrakarsa maupun DPRD dalam
menentukan pilihan, apakah suatu Rancangan Peraturan daerah harus disertai Penjelasan,
keterangan dan/atau Naskah Akademik. Untuk itu menurut hemat Penulis perlu dirumuskan
pengklasifikasian rancangan peraturan daerah yang harus disertai Penjelasan, keterangan
dan/atau Naskah Akademik. Rumusan ini harus dimuat dalam perubahan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dimana.
60
Eka N.A.M. Sihombing
61
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
62
Eka N.A.M. Sihombing
63
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
44
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal rancangan peraturan daerah
tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah, rancangan peraturan
daerah tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa sidang itu (lihat
ketentuan Pasal 75 jo. Pasal 78 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah).
64
Eka N.A.M. Sihombing
45
Ketentuan Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan rancangan
Peraturan daerah yang dilakukan evaluasi sesuai dengan Undang-Undang di bidang
pemerintahan daerah adalah: a. RPJPD; b. RPJMD; c. APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; d. pajak daerah; e. retribusi daerah; dan f. tata
ruang daerah. Sedangkan rancangan Peraturan daerah yang dilakukan evaluasi sesuai
peraturan perundang-undangan lainnya adalah: a. rencana pembangunan industri; dan b.
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa.
46
Kewenangan pembatalan peraturan daerah sebagamana dinyatakan dalam Pasal 251
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor137/PUU-XIII/2015,
frase “Perda Kabupaten/Kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4), frase
65
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
“Perda Kabupaten/Kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian baik Menteri Dalam Negeri
maupun Gubernur tidak lagi berwenang membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota,
adapun pembatalan Perda harus dilakukan melalui mekanisme judicial review di MA.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 14 Juni 2017 juga mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/
PUU-XIV/2016 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Para pemohon dalam perkara ini kembali mempermasalahkan
konstitusionalitas dari ketentuan mengenai pembatalan peraturan daerah baik peraturan
daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota yang diatur di dalam Pasal 251
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini sekaligus melengkapi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, sehingga pemerintah pusat
tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah baik
peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota.(lebih lanjut lihat :
Eka NAM Sihombing, Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Dan
Peraturan Kepala Daerah, dalam Jurnal Yudisial Jilid 10, Terbitan 2 Tahun 2017, hal 217-234)
66
Eka N.A.M. Sihombing
67
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
68
Eka N.A.M. Sihombing
69
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
47
Philippus M. Hadjon, Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Demokratis, Pidato, diucapkan dalam Lustrum III Ubhara Surya, 1997, hal. 4-5
48
Philippus M. Hadjon, ibid, hal. 7-8
49
Philippus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987, hal. 76.
50
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni,
1992, hal. 29.
71
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
51
David Held, Models of Democracy, California: Stanford University Press, 1987, hal. 146.
72
Eka N.A.M. Sihombing
52
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik, Yogyakarta: Insist Press,
2000, hal. 90.
73
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
53
Mukhlis Taib, Dinamika Perundang-Undangan di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama,
2017, hal. 255.
54
Harian Kompas, 27 Juni 2008, hal 2
55
www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/../batal_perda_21_juni_2016.
pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2018.
74
Eka N.A.M. Sihombing
56
A. Hoogerwerf, Politikologi, Airlangga, Jakarta, 1985, hal. 89.
75
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
76
Eka N.A.M. Sihombing
77
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
79
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
57
Pataniari Siahaan, Op. cit, hal. 431-432.
58
Pataniari Siahaan, ibid, hal. 432-434.
80
Eka N.A.M. Sihombing
59
Pataniari Siahaan, ibid, hal. 434-437.
81
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
82
Eka N.A.M. Sihombing
84
Eka N.A.M. Sihombing
BAB Penutup
4
85
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
86
Eka N.A.M. Sihombing
87
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
88
Eka N.A.M. Sihombing
Glossarium
89
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
90
Eka N.A.M. Sihombing
91
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
Index
A
Abraham Lincoln 4
Abu Bakar Busroh 7
Abu Daud Busroh 7
Alastraire White 18
APBD 50, 57, 61, 65, 66, 67, 68, 69, 71
Arend Lijphart 6, 17
aristokrat 3, 4
Aristrokrasi 3
AS. Hikam 32
Athena 2, 3
B
Bagir Manan 2, 6, 8, 11, 16, 44, 49
Bintan Saragih 8
bottom up 21
Bupati 39, 68, 69, 70, 76, 79
C
Charly 18
civil society 32
Constitution 9
92
Eka N.A.M. Sihombing
D
damos 2
delegated power 19
demokrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 13, 14, 16, 17, 22, 26, 33, 34, 36,
71, 72
Demokrasi Pancasila 2, 7
demokratisasi 33
Desentralisasi 13, 15, 16, 36
E
equality before the law 9, 10
Eropa Kontinental 8, 9, 12
evaluasi 19, 31, 65, 66, 67, 68, 69, 75
F
fasilitasi 65, 66
founding fathers 85
Freedom of religion 12
Friedrich Julius Stahl 9, 10
G
good governance 13, 37
grondrechten 9
Gubernur 58, 65, 66, 67, 68, 69, 70
H
hak asasi manusia 9, 10, 12, 16, 17, 21, 26, 28, 47, 74
Hak-hak fundamental 28
Hak-hak Sipil dan Politik 21, 24
Hamid S. Attamimi 9, 11, 46
Hans Kelsen 5
Hetifah Sj Sumerto 19
Hierarki 42, 43, 44
Huntington 21
93
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
I
inspreak 34
J
Jimly Asshiddiqie 7, 9, 10, 39
John Keane 2
judicial review 8, 66
Juergen Habermas 17, 27
K
kebijakan publik 19, 23
Kepala Daerah 42, 52, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 70, 71,
73, 74, 76, 77, 80, 84, 86, 87
keterbukaan 17, 21, 23, 33, 34, 52, 71, 72, 74
konkuren 40
konstitusi 2, 8, 9, 10, 13, 22, 27, 28, 46, 66, 82
konstitusional 9, 13, 66, 82
Kranenburg 4
L
Lembaran daerah 70
liberal 6, 9
M
Mahkamah Agung 57, 82, 86
Mahkamah Konstitusi 65, 66, 86
Marjane Termorshizen 8
materi muatan 26, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 59, 60, 61, 74, 88
Miriam Budiardjo 1, 37
Mirza Nasution 12, 13
N
negara hukum 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 17, 74
Nimatul Huda 3, 4, 5
94
Eka N.A.M. Sihombing
O
Oligarchi 3, 4
openbaarheids 17, 33, 72
openbaarheidsbeginsel 72
openheid 21, 71
Orde Baru 14, 15, 16
Orde Lama 14, 15
otonomi daerah 30, 35, 37, 39, 40, 41, 50, 51, 52, 72, 73, 74, 75,
79, 86
P
PAD 6, 75
Pancasila 2, 7, 13, 41, 45, 48
Partisipasi 14, 16 17, 18, 19, 20, 21, 22, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
34, 35, 37, 38, 54, 70, 73, 75, 80, 81, 82, 83, 85
partisipasi masyarakat 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30,
36, 37, 38, 70, 71, 72, 75, 77, 79, 80, 81, 83, 85, 86, 87, 88
Partisipasi Publik 17, 28, 32, 33
partisipatif 26, 77, 86
partnership 19
Pataniari Siahaan 21, 80, 81
Pembinaan 11, 54, 65
perangkat daerah 55, 58, 59, 60, 62, 69, 70
Peraturan Daerah 32, 38, 40, 42, 43, 44, 45, 49, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 60, 61, 62, 65, 66, 68, 69, 70, 74, 76, 80, 81, 82
Philipus M. Hadjon 21, 22, 71
Plato 3
Plutokrasi 4
Politiea 4
Produk Hukum Daerah 26, 54, 55, 58, 60, 64, 65, 78, 86
Prolegda 53, 54, 55
public participation 37
95
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
R
Rechtsstaat 7, 8, 9, 11
Reformasi 8, 15, 24, 52
registrasi 70
Robert A. Dahl 5
Rule of Law 7, 8, 9, 10
S
Saldi Isra 19
Sastrodipoetra 18
scheiding van machten 9
sentralisasi 13, 14, 15, 16, 36, 73, 79
sentralistik 14
Sherry R. Arnstein 19, 20
Sirajuddin 19
Solly Lubis 10
stakeholders 17
Supremacy of Law 10
T
Timokrasi 3
Tirani 3, 4
Tisnanta 17, 28, 29, 33
Tjokroamidjojo 18, 20
U
UNESCO 1
V
Van der Vlies 45, 46
W
Walikota 39, 68, 69, 70, 76
wetmatigheid van het bestuur 9
Y
Yunani kuno 2
96
Eka N.A.M. Sihombing
Daftar Pustaka
Buku:
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata
Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Responsif Catatan Atas UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta:
Konstitusi Press, 2013.
Ainur Rohman, dkk., Politik, Partisipasi dan Demokrasi Dalam
Pembangunan, Malang: Averroes Press, 2009.
A. Hoogerwerf, Politikologi, Airlangga, Jakarta, 1985.
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution,
10th edition, (London: English Language Book Society and
MacMillan, 1971).
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta,
Ind-Hill.Co,1992.
----------, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Sinar Harapan, Jakarta,1994.
----------, Pemiihan Umum sebagai Sarana Mewujudkan Kedaulatan
Rakyat, Bandung: Program Pasca Sarjana UNPAD, 1995.
---------- dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1997.
----------, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press.
2003.
97
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
98
Eka N.A.M. Sihombing
99
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
100
Eka N.A.M. Sihombing
101
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
103
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif
Tentang Penulis
104