Anda di halaman 1dari 104

Eka N.A.M.

Sihombing

BAB Pendahuluan
1

A. Demokrasi dan Negara Hukum


Pasca Perang Dunia II kita melihat gejala bahwa secara formil
demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan Negara di dunia.1
Menurut penelitian United Nations Educational, Scientific and
Cul tural Organization (UNESCO) pada tahun 1949, maka
mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem
organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-
pendukung yang berpengaruh (probably for the first time in history
democracy is claimed as the proper ideal description of all systems of
political and social organizations advocated by influential proponents).2
Hal ini didasarkan bahwa sistem demokrasi dipercaya sebagai
suatu sistem yang mencerminkan mekanisme politik yang
dianggap mampu menjamin adanya pemerintah yang tanggap
terhadap aspirasi yang disampaikan oleh warganya.
Demokrasi merupakan sesuatu yang bersifat universal,
karena pada umumnya negara-negara modern menggolongkan
diri sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi, sekalipun

1
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008, hal. 105.
2
Miriam Budiardjo, ibid hal. 105.

1
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

dalam mekanisme pemerintahannya baik yang menyangkut infra


struktur politik maupun supra struktur politik, berbeda satu sama
lain. Negara Konstitusional modern selalu berlatar belakang
nasionalis atau kebangsaan dan cenderung demokratis. 3 Pada
hakikatnya demokrasi diartikan sebagai “negara yang pemerin-
tahannya dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat”.4 Demokrasi
pada intinya merupakan suatu proses untuk mendiskusikan atau
memusyawarahkan soal untuk mencapai keputusan, sistem
pengorganisasian masyarakat negara yang berdasarkan atas proses
diskusi yang bebas yang menuju kepada suatu konsensus.5
Negara kota Athena di Yunani kuno pada abad ke-5 Sebelum
Masehi dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang
menganut demokrasi. Namun dari studi yang telah dilakukan
oleh John Keane diketahui jika demokrasi berusia lebih tua dari
Yunani kuno. Akar kata demokrasi dapat ditelusuri dari the linear
B script pada periode Mycenaean tahun 1500-1200 Sebelum
Masehi yang berpusat pada Mycenaea dan tempat-tempat
pemukiman di Peloponnese. Memang belum diketahui dengan
pasti bagaimana dan kapan masyarakat Mycenaea menggunakan
kata damos atau damokoi. Bahkan menurut John Keane, meskipun
belum jelas, telah ditemukan dalam bahasa Sumeria kuno, yaitu
kata dumu. Namun ketidakjelasan tersebut justru diperjelas oleh
penemuan luar biasa para arkeolog yang menemukan bukti-
bukti praktik demokrasi di belahan timur wilayah-wilayah yang
sekarang dikenal sebagai Syria, Irak, dan Iran. Praktik ini
kemudian menyebar ke sebelah timur yaitu India, sebelah barat
yaitu Byblos dan Sidon, serta Athena.6
Istilah demokrasi sesudah zaman Yunani kuno tidak disebut
lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi Amerika dan Revolusi
Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai lawan sistem

3
C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern (Kajian Tentang Sejarah dan Bentuk-
bentuk Konstitusi Dunia), Penerbit Nuansa dengan Penerbit Nusa Media, 2004.
4
Frans Bona Sihombing, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai Politik, Jakarta: Erlangga,
1984, hal. 1.
5
O. Notohamidjojo, Demokrasi Pantjasila (DasarNasional untuk Menegara), Jakarta:
Badan Penerbit Kristen, 1970, hal. 55.
6
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Saat Rakyat Bicara: Demokrasi dan Kesejahteraan,
Padjajarn Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014, hal. 3-4.

2
Eka N.A.M. Sihombing

pemeintahan yang absolut monarki, yang menguasai pemerin-


tahan di dunia barat sebelumnya. Sehingga istilah demokrasi
atau democracy dalam bahasa Inggris diadaptasi dari kata
demokratie dalam bahasa Perancis pada abad ke-16. Sedangkan
kata demokratie berasal dari bahasa Yunani, demokratia yang
diambil dari kata demos berarti rakyat, dan kratos/kratein yang
berarti kekuasaan/berkuasa (memerintah).7
Meskipun demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan
kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut dan tumbuh di
Negara kota Athena, Yunani namun oleh para filsuf Yunani
dinyatakan sebagai bukan bentuk pemerintahan yang ideal. Plato
mengemukakan 5 (lima) macam bentuk negara yang sesuai
dengan sifat tertentu dari jiwa manusia, yaitu:8
a. Aristrokrasi, yaitu pemerintahan oleh aristokrat (cendekiawan)
sesuai dengan pikiran keadilan. Bentuk ini merupakan
bentuk yang berada di puncak.
b. Timokrasi, yaitu pemerintahan oleh orang-orang yang ingin
mencapai kemasyuran dan kehormatan.
c. Oligarchi, yaitu pemerintahan oleh para hartawan. Keadaan
ini melahirkan milik partikulir, maka orang-orang miskin
pun bersatu melawan kaum hartawan.
d. Demokrasi, yaitu pemerintahan oleh rakyat miskin. Karena
salah mempergunakannya maka keadaan ini berakhir
dengan kekacauan atau anarki.
e. Tirani, yaitu pemerintahan oleh seorang pengusaha yang
bertindak secara sewenang-wenang. Bentuk inilah yang pal-
ing jauh dari cita-cita keadilan.
Plato mengemukakan 7 (tujuh) macam bentuk Negara yang
sesuai dengan sifat tertentu dari jiwa manusia, yaitu:9

7
Nimatul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2010, hal. 200.
8
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media Pratama,
1995, hal. 152.
9
Nimatul Huda, Op. cit, hal. 229.

3
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

a. Monarchi, yaitu pemerintahan oleh satu orang guna


kepentingan seluruh rakyat. Bentuk ini adalah yang ideal.
b. Tirani, yaitu pemerintahan oleh satu orang untuk ke-
pentingannya sendiri. Bentuk ini merupakan pemerosotan
dari bentuk monarchi.
c. Aristokrat, yaitu pemerintahan oleh sekelompok orang
cendikiawan guna kepentingan seluruh rakyat. Bentuk ini
juga bentuk yang ideal.
d. Oligarchi, yaitu pemerintahan sekelompok orang guna
kepentingan kelompok (golongan) nya sendiri. Bentuk ini
merupakan pemerosotan dari bentuk aristokrat.
e. Plutokrasi, yaitu pemerintahan oleh sekelompok orang kaya
guna kepentingan orang-orang kaya. Bentuk ini juga
merupakan pemerosotan dari bentuk aristokrat.
f. Politiea, yaitu pemerintahan oleh seluruh orang guna ke-
pentingan seluruh rakyat. Bentuk ini juga bentuk yang ideal.
g. Demokrasi, yaitu pemerintahan dari orang-orang yang tidak
tahu sama sekali tentang soal-soal pemerintahan. Bentuk ini
merupakan pemerosotan dari bentuk politiea.
Apa yang dikemukakan oleh Aristoteles tersebut kemudian
dilanjutkan oleh Polybios, hanya saja dia mengatakan bahwa
monarchi, aristokrasi, dan demokrasi merupakan bentuk yang
ideal, sedangkan diktator/tirani, oligarchi/plutokrasi, ochloratie/
mobocratie sebagai bentuk pemerosotan.10
Selanjutnya arti dari demokrasi telah berubah sejalan dengan
waktu sejak abad ke-18 bersamaan dengan perkembangan sistem
“demokrasi” di banyak negara.11 Menurut Abraham Lincoln
demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat (democracy is government of the people, by the people
and for the people).12 Menurut Kranenburg perkataan demokrasi
maknanya adalah cara memerintah oleh rakyat. 13 Meskipun

10
Nimatul Huda, ibid, hal. 229.
11
Demokrasi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses tanggal 05 Maret 2018.
12
Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1986, hal. 153
13
Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, Bandung: Eresco, 1987,
hal. 6.

4
Eka N.A.M. Sihombing

makna demokrasi ialah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat,


namun menurut Nimatul Huda tidaklah termasuk dalam
pengertian demokrasi apa yang dikenal dengan autocratie dan
oligarchie, meskipun 2 (dua) istilah ini mengandung makna
pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja,
yang menganggap dirinya sendiri tercakup dan berhak untuk
mengambil dan melakukan segala kekuasaan atas segenap
rakyat.14 Sementara itu Hans Kelsen mengemukakan pengertian
demokrasi sebagai berikut: “Democracy means that the will which
is representated in the legal order of the state is identical with the will
of subjects (demokrasi berarti bahwa kehendak yang dinyatakan
dalam tata hukum negara identik dengan kehendak daripada
subjek atau warga negara)”.15 Hal ini menjelaskan bahwa dalam
pengambilan keputusan memerlukan pelibatan setiap warga
negara, yang wujudnya melalui perwakilan yang dipilih
berdasarkan suara terbanyak.
Dalam sistem demokrasi para ahli mencoba untuk mem-
berikan prinsip/ unsur/syarat minimal agar suatu negara di-
katakatan sebagai negara demokrasi. Robert A. Dahl menyatakan
paling tidak Negara demokrasi ditunjukkan oleh 5 (lima) prinsip,
sebagai berikut:16
a. Adanya prinsip hak yang dan tidak diperbedakan antara
rakyat yang satu dengan yang lainnya;
b. Adanya peran serta efektif yang menunjukkan adanya proses
dan kesempatan yang sama bagi rakyat untuk mengekspresikan
preferensinya dalam keputusan-keputusan yang diambil;
c. Adanya pengertian yang menunjukkan bahwa rakyat
mengerti dan paham terhadap keputusan-keputusan yang
diambil negara, tidak terkecuali birokrasi;
d. Adanya kontrol akhir yang diagendakan oleh rakyat, yang
menunjukan bahwa rakyat mempunyai kesempatan istimewa

14
Nimatul Huda, Op. cit, hal. 200.
15
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1973,
hal. 284.
16
M. Budaeri Idjehar, HAM Versus Kapitalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003, hal. 3.

5
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

untuk membuat keputusan dan dilakukan melalui proses


politik yang dapat diterima dan memuaskan berbagai pihak;
e. Adanya inclusiveness yakni suatu pertanda yang menunjukan
bahwa yang berdaulat adalah seluruh rakyat.
Prinsip-prinsip tersebut diatas dipercaya akan mampu
menjamin keadilan demokrasi yaitu bahwa semua warga negara
akan diperlakukan sama dalam sebuah penyelenggaraan negara.
Persamaan tersebut mengimplikasikan bahwa semua lapisan
masyarakat mempunyai hak untuk akses dalam proses penye-
lenggaraan pemerintahan tanpa ada perbedaan. Prinsip keadilan
demokrasi dalam menyelenggarakan pemerintah merupakan hak
asasi bagi warga negara yang kemudian mengimplikasikan sebuah
kewajiban bagi setiap negara untuk memberikan jaminan
keberlangsungan.17 Sementara itu Arend Lijphart menyatakan
bahwa suatu negara merupakan penganut demokrasi apabila
dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:18
a. Ada kebebasan untuk membentuk dan menjadi anggota
perkumpulan;
b. Ada kebebasan menyampaikan pendapat;
c. Ada hak untuk memberikan suara dalam pemungutan suara;
d. Ada kesempatan untuk dipilih atau menduduki berbagai
jabatan pemerintahan atau negara
e. Ada hak bagi para aktivis politik berkampanye untuk mem-
peroleh dukungan atau suara;
f. Terdapat berbagai sumber informasi;
g. Ada pemilihan yang bebas dan jujur; dan
h. Semua lembaga yang bertugas merumuskan kebijaksanaan
pemerintah harus tergantung pada keinginan rakyat.
Indonesia sejak diproklamirkan hingga saat ini menerapkan
demokrasi. Demokrasi di negara kita terdapat perbedaan dengan
demokrasi yang ada di barat. Demokrasi di barat bersifat liberal

17
C.S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Djambatan: Jakarta, 2003, hal. 35.
18
Arend Lijphart, “Democracies”, dalam Bagir Manan, Pemiihan Umum sebagai Sarana
Mewujudkan Kedaulatan Rakyat, Bandung: Program Pasca Sarjana UNPAD, 1995, hal. 5-6.

6
Eka N.A.M. Sihombing

individualistis, sedangkan demokrasi di Negara kita yang disebut


dengan Demokrasi Pancasila lebih bersifat kommunal. 19
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang diwarnai atau di-
jiwai oleh Pancasila, yaitu sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. 20
Ciri-ciri khas Demokrasi Pancasila pada aspek materilnya ialah
kekeluargaan dan kegotongroyongan yang bernafaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan pada aspek formilnya yaitu
pengambilan keputusan sedapat mungkin didasarkan atas
musyawarah untuk mufakat.21
Berbicara mengenai demokrasi di negara manapun maka tidak
akan terlepas dari negara hukum, sebab demokrasi dan negara
hukum saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat
dipisahkan, karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan
dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan
kesederajatan manusia, pada sisi yang lain negara hukum
memberikan patokan bahwa yang memerintah dalam suatu
negara bukanlah manusia, tetapi hukum.22
Dalam memberikan pengertian mengenai gagasan Negara
Hukum ini,23 setiap orang dapat memberikan bobot penilaian
yang berlebihan baik terhadap kata “negara” maupun kata
“hukum”. 24 Mengenai pengertian negara hukum, Abu Daud
Busroh dan Abu Bakar Busroh mengatakan negara hukum adalah
negara yang berlandaskan hukum dan yang menjamin keadailan
bagi warganya, maksudnya adalah segala kewenangan dan
tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa semata-mata
berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum.25

19
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1973.
20
S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, Bina Aksara, Jakarta,
1985, hal. 7.
21
S. Pamudji, ibid, hal. 12.
22
Muntoha, Demokrasi dan Negara, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009, hal. 379.
23
Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari
waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa
perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu. Tentang hal ini, lihat
misalnya Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta: Ind
Hill-Co., 1997, hal. 4.
24
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta: Erlangga, 1985, hal. 11.
25
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985, hal. 109-110.

7
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Berkaitan dengan hal ini, Bagir Manan mengatakan jika sendi


utama negara hukum adalah hukum itu sendiri yang merupakan
sumber tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan
menentukan mekanisme hubungan hukum antara negara dan
masyarakat atau antar-anggota masyarakat yang satu dengan yang
lainnya.26 Definisi negara hukum menurut Bintan Saragih adalah
negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyatnya
didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan yang
sewenang-wenang dari pihak pemerintah (penguasa) dan
tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya. .27
Selanjutnya Marjane Termorshizen membedakan dua pengertian
negara hukum dalam 2 (dua) bagian, yaitu:28
1. Negara Hukum dalam arti sempit (rule of law in the narrow
sense), adalah negara yang didasarkan pada prinsip bahwa
penyelenggaraan pemerintahannya dibatasi oleh hukum
tertulis atau undang-undang (seperti Jerman dinamakan
gesetzstaat, di Belanda disebut wetstaat, di Indonesia
dinamakan negara undang-undang).
2. Negara Hukum dalam arti luas (rule of law in the broad sense),
adalah suatu negara yang idealnya menyelenggarakan
pemerintahan yang baik dalam dimensi hukum yang adil,
ditekankan pada elemen konstitusi dan judicial review.
Saat ini terdapat 2 (dua) tradisi besar gagasan Negara Hukum
di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi Eropa Kontinental
yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam tradisi Anglo
Saxon yang disebut dengan Rule of Law.29 Salah satu ahli yang

26
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta : FH UII Press. 2003, hal. 245.
27
Bintan. R. Saragih, Reformasi dalam Perspektif Hukum Tata Negara, dalam Budiman
Ginting, dkk (ed), Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era Reformasi, Medan: Pustaka Bangsa-
Press, 2002, hal.101.
28
I Dewa Gede Atmadja, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, Malang: Setara
Press, 2015, hal. 126.
29
Menurut Wolfgang Friedmann, gagasan Negara Hukum tidak selalu identik dengan
Rule of Law. Sedangkan istilah Rechtsstaat mengandung pengertian adanya pembatasan
kekuasaan negara oleh hukum. Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Steven &
Son Limited, 1960), hal. 456. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, di Inggris
sebutan untuk istilah Negara Hukum adalah Rule of Law, sedangkan di Amerika Serikat
Government of Law, But Not of Man. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata
Negara Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1976), hal. 8.

8
Eka N.A.M. Sihombing

sering dirujuk ketika membicarakan topik negara hukum


(rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah Friedrich Julius
Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan perbaikan
dari pandangan Immanuel Kant.30 Unsur-unsur yang harus ada
dalam rechtsstaat31 adalah pertama, pengakuan hak-hak asasi
manusia (grondrechten); kedua, pemisahan kekuasaan (scheiding
van machten); ketiga, pemerintahan berdasar atas undang-undang
(wetmatigheid van het bestuur); dan keempat, peradilan
administrasi (administratieve rechtspraak).32 Sedangkan unsur-
unsur yang harus terdapat dalam rule of law 33 yang dipelopori
Albert Venn Dicey adalah pertama, supremasi hukum (supremacy
of law); kedua, persamaan di depan hukum (equality before the
law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi
manusia (constitution based on human rights).34 Syarat-syarat dasar
bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep rule of law
adalah: pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan
kehakiman yang bebas dan tidak memihak;35 ketiga, pemilihan

30
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989),
hal. 30.
31
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan
kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori
oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan
negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan
menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur
dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi
sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman
dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 90. Tentang wawasan-wawasan
yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi
Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita
I-Pelita IV”, Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia,
1990), hal. 139.
32
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis:
Liberty Fund Inc., 1973), hal. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan
paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi
kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H.
McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University
Press, 1974), hal. 146.
33
Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang
Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional
Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hal. 1-2.
34
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10 th edition,
(London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hal. 223-224.
35
A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey
Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4 th edition, (Oxford: Oxford
University Press, 2000), hal. 34.

9
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat;


kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam,
pendidikan kewarganegaraan.36
Selain merujuk pendapat Friedrich Julius Stahl dan Albert
Venn Dicey, tidak ada salahnya jika dirujuk pendapat ahli dari
dalam negeri. Menurut M. Solly Lubis “dalam ajaran yang umum,
salah satu daripada syarat atau negara hukum ialah adanya
jaminan atas hak asasi manusia. Jaminan ini harus terbaca atau
tertafsir dari konstitusi yang berlaku, apakah ia konstitusi tertulis
maupun yang tak tertulis, setidak-tidaknya dapat dimaklumi dari
praktik-praktik hukum yang berlaku sehari-hari”. 37 Dengan
demikian, dapat dirumuskan kembali bahwa tiada negara dapat
disebut sebagai negara hukum bila dalam konstitusinya tidak
mencakup prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai implementasi
konsensus dan kedaulatan rakyat. Meskipun rumusan per-
lindungan hak asasi manusia itu secara redaksional hanya
sederhana dan singkat melalui pasal-pasal undang-undang
dasar, namun semua itu dapat dibuat peraturan-peraturan
pelaksanaannya melalui peraturan organik, misalnya melalui
undang-undang pidana, undang-undang peraturan daerahta,
undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang tentang partai
politik dan organisasi masyarakat, dan sebagainya. Selanjutnya
Jimly Asshiddiqie merumuskan ada 12 (dua belas) prinsip negara
hukum yang berlaku zaman sekarang dan nanti. Keduabelas
prinsip pokok tersebut merupakan pilar utama yang menyangga
tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai negara
hukum dalam arti yang sebenarnya. Keduabelas prinsip itu adalah
sebagai berikut:38
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
2. Persamaan dalam Hukum (equality before the law)
3. Asas Legalitas (due process of law)

36
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965,
The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Com-
mission of Jurist, 1965), hal. 39-45.
37
M. Solly Lubis, Hak-Hak Asasi Menurut Undang-Undang Dasar 1945, dalam Padmo
Wahjono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia, 1985, hal 323
38
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press,
Jakarta, 2005, hal 154-161.

10
Eka N.A.M. Sihombing

4. Pembatasan Kekuasaan
5. Organ-organ eksekutif indipenden
6. Peradilan bebas dan tidak memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Peradilan Tata Negara
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia
10. Bersifat demokratis (Democratische Rechtsstaat)
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
12. Transparansi dan kontrol sosial
B. Negara Hukum Pancasila
Dalam negara demokrasi yang berdasarkan hukum (negara
hukum demokratis) terkandung pengertian bahwa kekuasaan
dibatasi oleh hukum 39 dan sekaligus pula menyatakan bahwa
hukum adalah supreme dibanding semua alat kekuasaan yang
ada.40 Dengan kata lain, negara menempatkan hukum sebagai
dasar kekuasaannya dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut
dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.41
Salah satu negara hukum yang demokratis adalah Negara
Indonesia. Negara Republik Indonesia menyebut dirinya sebagai
negara yang berdasar atas hukum, sebuah rechtstaat. Hal itu
dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.42 Dengan demikian maka mekanisme
kehidupan perorangan, masyarakat, dan negara diatur oleh
hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Artinya baik anggota
masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum
tersebut.43 Selain itu juga ini mengandung makna setiap warga

39
Bagir Manan dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, hal. 128.
40
Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan Perbuatan
Administrasi Negara di Indonesia, Makalah Kuliah Umum Fakultas Hukum Universitas
Atmajaya, 1994, hal. 8.
41
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-undangan Indonesia Suatu Sisi Ilmu
Pengetahuna Perundang-undangan Indonesia Yang Menjelaskan Dan Menjernihkan
Pemahamannya, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1992), hal. 8.
42
A. Hamid S. Attamimi, ibid, hal. 8.
43
Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hal. 101.

11
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

negara mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum


dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerin-
tahan itu dengan tidak ada kecualinya seperti yang tercantum
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hal ini merupakan konsekuensi negara
hukum yang dianut oleh Negara Indonesia.
Istilah yang digunakan untuk menyebut negara hukum
adalah rechtstaat, bukan rule of law, hal ini disebabkan karena
negara kita dahulu dijajah oleh Negara Belanda yang menganut
tradisi Eropa Kontinental. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, ada kecenderungan mengarah kepada konsep rule of law.
Pada awalnya memang konsep negara hukum rechtsstaat dan rule
of law mempunyai perbedaan, namun dalam perkembangannya
tidak lagi dipersoalkan karena keduanya mengarah pada tujuan
yang sama, yaitu perlindungan terhadap hak asasi manusia.44
Negara hukum yang dianut oleh Negara Indonesia tidak
hanya dalam artian formal, namun juga negara hukum dalam
artian material yaitu negara kesejahteraan atau negara kemakmuran
(welfare state). Dalam welfare state, negara juga dituntut untuk
turut serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan
rakyat, sebagaimana dikemukakan pada alinea ke-IV Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Mirza Nasution mengutip pendapat Oemar Seno Adji yang
menyatakan bahwa Negara hukum Indonesia memiliki ciri-ciri
yang khas Indonesia, salah satu cirinya adalah jaminan terhadap
kebebasan beragama (freedom of religion). Kebebasan beragama
di Negara Indonesia selalu dalam konotasi yang positif, artinya
tidak ada tempat bagi atheis ataupun propaganda anti agama.
Hal ini sangat berbeda dengan di Negara Amerika Serikat,
misalnya, yang memahami konsep kebebasan beragama (freedom
of religion) dalam arti positif dan negatif sebagaimana dirumuskan
oleh Sir Alfred Denning yang menyatakan sebagai berikut:
Freedom of religion means that we are free to worship or not to worship,
to affirm the existence of God or to deny it, to believe in Christian
religion, or any other religion or in none, as a choose.

44
Mirza Nasution, Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Medan:
Puspantara, 2015), hal. 74.
12
Eka N.A.M. Sihombing

Sedangkan di negara-negara komunis, memberikan jaminan


konstitusional terhadap propaganda anti agama. Ciri berikutnya
Negara hukum Pancasila menurut Oemar Senoadji adalah tidak
adanya pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan Negara,
agama dan Negara berada pada hubungan yang harmonis.45
Mirza Nasution juga mengutip pendapat Padmo Wahyono
yang menelaah Negara hukum Pancasila dengan titik pangkal
asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam
asas tersebut yang diutamakan adalah rakyat banyak, namun
harkat dan martabat manusia tetap dihargai. Dalam pasal tersebut
yang terpenting adalah kemakmuran masyarakat, bukan
kemakmuran orang perorangan, namun orang perorangan dapat
berusaha sejauh tidak menyangkaut hajat hidup orang banyak.
Padmo Wahyono memahami hukum sebagai suatu alat atau
wahana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau
ketertiban dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial.46
C. Desentralisasi dan Parstisipasi Masyarakat
Disaat-saat meningkatnya euphoria demokrasi dan tuntutan
terhadap adanya perlakuan yang adil oleh pejabat di bidang
kekuasaan yang manapun, legislatif, eksekutif dan yudikatif,
makin popular pula perihal asas-asas umum pemerintahan yang
baik, khususnya dalam wacana-wacana yang menyangkut “good
governance” dan “clean government” tidak hanya di level kekuasaan
di pusat tetapi juga di daerah-daerah, apakah arahan yang bernilai
paradigmatik ini serius dipedomani ataukah tidak sekedar
sloganis, masih perlu diteliti bagaimana prakteknya.47
Pada tahun 2002, Institute of Development Studies, University
of Sussex di Inggris melakukan penelitian terhadap bentuk-bentuk
pemerintahan di negara-negara berkembang di seluruh dunia.
Hasil penelitian tersebut memperlihatkan bahwa dalam satu
dasawarsa belakangan ini sedikitnya ada 63 (enam puluh tiga)
negara berkembang yang sedang mengalami gelombang
45
Mirza Nasution, ibid, hal. 82-83.
46
Mirza Nasution, ibid, hal. 84.
47
M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju, 2007, hal 56

13
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

perubahan formasi kekuasaan dari pemerintahan sentralistik


menuju pada sistem yang lebih dekat dengan warganya.48
Indonesia adalah salah satu negara demokrasi sekaligus negara
hukum kesatuan yang yang berbentuk kesatuan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Indonesia saat ini sedang
mengalami transformasi kekuasaan seperti yang telah diteliti oleh
Institute of Development Studies, University of Sussex di Inggris.
Sejak runtuhnya Orde Baru, gelombang reformasi telah meng-
ubah format politik dan sistem pemerintahan di tanah air.49
Saat ini proses demokrasi di Indonesia telah memasuki tahap
perkembangan yang sangat penting. Perkembangan itu ditandai
dengan berbagai perubahan dalam sistem dan struktur kekuasaan
Negara. 50 Kewenangan pemerintahan yang tadinya sangat
terpusat di Jakarta kini semakin terdistribusi ke pemerintahan di
daerah-daerah melalui proses desentralisasi, meskipun sebenarnya
usaha desentralisasi telah dilakukan oleh Orde Lama dengan

48
Juni Thamrin, “Menciptakan Ruang Baru bagi Demokrasi Partisipatif: Dinamika dan
Tantangannya” dalam Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa (eds), Orde Partisipasi: Bunga
Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Jakarta: Perkumpulan Prakarsa, 2005, hal 45.
49
Menurut Wignosoebroto dkk, sistem pemerintahan daerah yang dirancang oleh
pemerintah Orde Baru secara esensial bertujuan untuk meminimalisir atau bila mungkin
menghilangkan sekaligus gerakan-gerakan yang terjadi di daerah di era Soekarno, dan
untuk menjamin tercipatanya stabilitas politik sebagai syarat bagi terlaksananya
pembangunan ekonomi. Wignosoebroto, S., dkk, Pasang Surut Otonomi Daerah: Sketsa
Perjalanan 100 Tahun (2007), Institute for Local Development dan Yayasan Tifa, hal. 113.
Dampak dari kebijakan tersebut menurut Juwaini, daerah menjadi miskin inisiatif atau bisa
dibilang mandul karena serba menunggu intruksi dari pemerintah. Daerah-daerah
sesungguhnya tidak puas dengan kebijakan semacam ini, namun apa daya, pendekatan
represif dari pemerintah Orde Baru menutup celah kritik dari daerah tersebut. Pada akhirnya,
ketika legitmasi Orde Baru mengalami krisis gerakan dari daerah-daerah mulai muncul
kepermukaan, bukan hanya menuntut adanya otonomi khusus akibat dampak
penyeragaman urursan dari tiap daerah, akan tetapi, tuntutan pembebasan diri/kemerdekaan
dari daerah seperti yang pernah diperjuangkan oleh Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Juwaini, J., Otonomi Sepenuh Hati. Jakarta: Darussalam Publishing, 2015, hal. 41.

14
Eka N.A.M. Sihombing

melahirkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1959 tentang


Penyerahan Tugas-Tugas Pemerintah Pusat Dalam Bidang Peme-
rintahan Umum, Perbantuan Pegawai Negeri Dan Penyerahan
Keuangannya, Kepada Pemerintah Daerah dan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah, (namun karena situasi Negara yang tidak stabil Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerin-
tahan Daerah belum sempat diimplementasikan) dan dilanjutkan
oleh Orde Baru dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.
Di dalam 2 (dua) undang-undang yang dilahirkan Orde Lama
tersebut telah terdapat 3 (tiga) asas dalam penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, yaitu: asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan (madebewind). Namun, penjelasan mengenai
ketiga asas tersebut oleh Pemerintah tidak disebutkan. Barulah
sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Di Daerah yang dilahirkan Orde Baru hingga
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Per-
ubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah yang lahir di era reformasi menjelaskan
defenisi desentralisasi.51

50
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga
Negara, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasiional, 2005, hal. 1.
51
Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Di Daerah, adalah penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah
atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya.
Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah
Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi menurut ketentuan Undang-Undanng Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undanng Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi.

15
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Implementasi kebijakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun


1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah tidaklah
seperti apa yang diharapkan. Wajah militeristik yang masuk ke
dalam jajaran birokrasi daerah sebagai perpanjangan tangan
dari pemerintahan pusat dan adanya dualisme kewenangan
kendati dijabat oleh orang yang sama seakan menciderai asas
desentralisasi yang dibangun. Alhasil, gerak dari daerah amat-
sangat dibatasi dan pemerintah Orde Baru sendirilah yang
mengebiri makna dari desentralisasi yang ditulisnya sendiri.
Sehingga dengan runtuhnya Orde Baru membawa angin segar
bagi desentralisasi.
Desentralisasi sesungguhnya berimbas pada tumbuhnya
demokrasi dan partisipasi warga dalam segenap aktivitas pem-
bangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan
antar golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki
kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep tentang demokrasi
representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan
di tingkat pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan
kedekatannya dengan komunitas lokal.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan daerah merupakan salah satu manifestasi pelaksanaan

Selain defenisi desentralisasi yang telah disebutkan dalam undang-undang, para ahli
juga mencoba memberikan pengertian tentang desentralisasi. Amrah Muslimin
membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan
desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi Politik adalah pelimpahan kewenangan pusat yang
menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik
didaearah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah tertentu. Pengertian dari
desentralisasi politik sama dengan desentralisasi teritorial. Desentralisasi Fungsional
pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan untuk mengurus suatu macam
atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat ataupun tidak terikat pada suatu
daerah tertentu. Sedangkan Desentralisasi Kebudayaan adalah pemberian atau pengakuan
hak minoritas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti lebih pada
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bagir Manan, Hubungan Antara
Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan, Jakarta,1994, hal. 32. Pengertian
desentralisasi yang lebih bernuansa politis dan yuridis dikemukakan oleh
Koesoemahatmadja yaitu mengatakan bahwa desentralisasi dibagi menjadi 2 (dua) macam.
Pertama, dekonsentrasi (deconsentratie) atau ambtelijke decentralisatie, adalah pelimpahan
kekuasaan dari alat perlengkapan negara ketingkat atas kepada bawahannya guna
melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan. Kedua, desentralisasi ketetatanegaraan
(staatskundige decentralisatie) atau desentralisasi politik, adalah pelimpahan kekuasaan
perundangan dan pemerintahan (regelende en bestuurende bevoegheid) kepada daerah-daerah
otonom di dalam lingkungannya. Krishna dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan
Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan,   Bandung:  Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 11.

16
Eka N.A.M. Sihombing

prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum yang salah satu


cirinya adalah pengakuan terhadap hak asasi manusia, dalam
kaitannya dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,
secara khusus pembentukan peraturan daerah, suatu peraturan
daerah dianggap akuntabel dan transparan apabila melibatkan
masyarakat sebagai stakeholders secara proporsional, apalagi
dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat
hidup orang banyak. Hal ini sesuai dengan salah satu unsur yang
disebutkan Arend Lijphart yakni bahwa dalam perumusan suatu
kebijakan pemerintah harus mengakomodasi keinginan rakyat.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat berhak mengajukan
aspirasinya terhadap setiap pengambilan keputusan. Juergen
Habermas juga menganggap perlu adanya ruang publik yang
otonom di luar dari domain negara sebagai prasyarat pelibatan
aktivitas masyarakat. Hal ini oleh Burkens sebagaimana dikutip
oleh Tisnanta H.S. dianggap sebagai syarat minimal yang harus
dipenuhi dalam demokrasi, yaitu keterbukaan dalam pem-
bentukan keputusan (openbaarheids van besluitvorming).52

52
Tisnanta, H.S, Meniti Partisipasi Publik, KBH Lampung, 2003.

17
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

BAB Pemaknaan
2 dan Pengaturan
Partisipasi
Masyarakat

A. Makna Partisipasi Masyarakat


Partisipasi berasal dari bahasa Latin partisipare yang
mempunyai arti dalam bahasa Indonesia mengambil bagian atau
turut serta. Ada banyak pengertian yang mengenai partisipasi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, partisipasi bermakna
perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan;
peran serta.1 Menurut Sastrodipoetra, partisipasi adalah keter-
libatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan
tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai
tujuan bersama. Menurut Alastraire White, partisipasi adalah
keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam pengambilan
keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek pem-
bangunan. Menurut Rahnema, partisipasi sebagai the action or fact
of partaking, having or forming a part of.2 Menurut Tjokroamidjojo,
partisipasi adalah keterlibatan dalam proses penentuan arah,
strategi, dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh
Pemerintah. Menurut Charly, partisipasi adalah keterlibatan
mental dan emosional seseorang atau sekelompok masyarakat di

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
Jakarta: Balai Pustaka, 2001, hal. 831.
2
Ainur Rohman, dkk., Politik, Partisipasi dan Demokrasi Dalam Pembangunan, Malang:
Averroes Press, hal. 45.

18
Eka N.A.M. Sihombing

dalam situasi kelompok yang mendorong yang bersangkutan atas


kehendak sendiri (kemauan diri) menurut kemampuan swadaya
yang ada, untuk mengambil bagian dari usaha pencapaian tujuan
bersama dalam pertanggungjawabannya.3 Menurut Sirajuddin
dkk, partisipasi sebagai ikut serta, berperan serta dalam suatu
kegiatan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi. 4
Menurut Hetifah Sj Sumerto, partisipasi dapat juga diartikan
sebagai keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan
baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga
perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. 5 Menurut
Saldi Isra, partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikut-
sertaan masyarakat, baik secara individual maupun kelompok,
secara aktif dalam penentuan kebijakan publik atau peraturan
perundang-undangan.6
Sama seperti batasan pengertian yang beranekaragam,
partisipasi juga ada beberapa macam. Sherry R. Arnstein dalam
tulisannya yang berjudul A Ladder of Citizen Participation membuat
skema tingkatan partisipasi masyarakat dalam menentukan
kebijakan, diantaranya adalah kontrol warga negara (citizen
control), pada tataran ini publik berwenang memutuskan, melaksa-
nakan, dan mengawasi pengelolaan sumber daya; setelah itu
delegasi kewenangan (delegated power), kewenangan yang lebih
tinggi dari penyelenggara negara dalam pengambilan keputusan;
kemudian dilanjutkan dengan kemitraan (partnership), ada
keseimbangan kekuatan relatif antara masyarakat dan pemegang
kekuasaan untuk merencanakan dan mengambil keputusan
bersama-sama.7 Secara lebih lengkap tingkatan partisipasi yang
diajukan Sherry R. Arnstein sebagai berikut.

3
Ainur Rohman, ibid, hal. 46.
4
Sirajuddin, dkk, Legislative Drafting (Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan), Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA,
Malang, 2007, 181.
5
Hetifah SjSumerto, Inovasi, Partisipasi dan GoodGovernance, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003, hal. 3.
6
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam
Sistem Presidensial Indonesia, Jakartaz: Rajawali Press, 2010, hal. 282.
7
Ainur Rohman, dkk., Op. cit, hal. 47.

19
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Gambar. Tingkatan Partisipasi Menurut Sherry R. Arnstein


Tjokroamidjojo membagi partisipasi menjadi 3 (tiga) tahapan,
yaitu: a) partisipasi atau keterlibatan dalam proses penentuan
arah, strategi, dan kebijaksaan pembangunan yang dilakukan
Pemerintah; b) keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung
jawab dalam pelaksaan kegiatan pembangunan; dan c) keterlibatan
dalam memetik dan manfaat pembangunan secara berkeadilan.8
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
dengan melihat tingkatan partisipasi yang dikemukakan oleh
Sherry R. Arnstein maka partisipasi masyarakat dalam pem-
bentukan peraturan perundang-undangan berada pada tingkatan
kontrol warga negara (citizen power), sedangkan apabila dilihat
dengan pembagian tahapan partisipasi yang dikemukan oleh
Tjokroamidjojo maka partisipasi masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan berada pada tahapan partisipasi
atau keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan
kebijaksaan pembangunan yang dilakukan Pemerintah.

8
Ainur Rohman, dkk., ibid, hal. 45.

20
Eka N.A.M. Sihombing

Dilevel internasional partisipasi masyarakat dalam penetapan


maupun pembahasan rancangan undang-undang maupun
peraturan daerah merupakan salah satu ‘prinsip hak asasi
manusia yang lebih luas yakni: “hak untuk berpartisipasi dalam
urusan-urusan publik (pemerintahan), hak dipilih dan memilih
serta persamaan hak terhadap pelayanan publik”, hal ini ter-
cantum dalam Pasal 25 Kovenan International tentang Hak-hak
Sipil dan Politik.9
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan salah satu bentuk keterlibatan
masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang
dalam studi ilmu politik disebut dengan partisipasi politik. 10
Menurut Samuel P. Huntington dan Joan Nelson sebagaimana
dikutip Pataniari Siahaan memberikan pengertian partisipasi
politik sebagai berikut:11
Political participation as activity by private citizens designed to
influence government decision-making.
Rachmat Trijono mengungkapkan bahwa partisipasi masya-
akat di bidang pembangunan hukum bermakna agar masyarakat
lebih berperan dalam proses tersebut, mengusahakan program-
program pembangunan hukum melalui mekanisme dari bawah
ke atas (bottom up), dengan memperlakukan manusia sebagai
subjek dan bukan objek pembangunan. 12 Philipus M. Hadjon
mengemukakan bahwa konsep partisipasi masyarakat berkaitan
dengan konsep keterbukaan. Dalam artian, tanpa keterbukaan
pemerintahan tidak mungkin masyarakat dapat melakukan
peranserta dalam kegiatan-kegiatan pemerintahan. Menurut
Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik “openheid” maupun
“openbaar-heid” sangat penting artinya bagi pelaksanaan pemerin-
tahan yang baik dan demokratis. Dengan demikian keterbukaan

9
http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/partisipasi-masyarakat-dalam-pembuatan.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2017.
10
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Pasca Amandemen
UUD 1945, (Konstitusi Press, Jakarta, 2012), hal. 428.
11
Pataniari Siahaan, ibid, hal. 428.
12
Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Papas Sinar
Sinanti, Jakarta 2013, hal 73

21
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

dipandang sebagai suatu asas ketatanegaraan mengenai


pelaksanaan wewenang secara layak.13
Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi,
sebagaimana dikemukakan oleh Philippus M. Hadjon 14 bahwa
sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang
disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini masyarakat
mempunyai hak untuk ikut menentukan dalam proses
pengambilan keputusan pemerintahan, hal ini dikarenakan di
dalam Negara yang menganut supremasi konstitusi terdapat
kesetaraan hubungan antara pemerintahan dan warga negaranya.
B. Pengaturan Partisipasi Masyarakat
Dalam konstitusi Negara kita yang berlaku saat ini telah
diatur mengenai partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat
dalam konstitusi disebut dengan istilah peran serta, hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu tanpa ada kecualinya” serta ketentuan Pasal 28D
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak
untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.
Jika dilihat dari ketentuan kedua pasal konstitusi tersebut, ruang
lingkup yang terkandung di dalamnya meliputi:
a. Peran serta menjunjung hukum
b. Peran serta dalam pemerintahan
Pasca reformasi, ketentuan mengenai partisipasi atau peran
serta masyarakat dalam hukum dan pemerintahan telah diatur
secara tegas dalam berbagai undang-undang, seperti: Pasal 8
Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi Kolusi dan Nepostime,
yang menyatakan sebagai berikut:

13
Philipus M. Hadjon, Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Demokratis, Pidato, diucapkan dalam Lustrum III Ubhara Surya, 1997, hal 4-5
14
Philipus M. Hadjon, ibid, hal 7-8

22
Eka N.A.M. Sihombing

(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara


merupakan hak dan tanggung jawab masyarakat untuk ikut
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih.
(2) Hubungan antara penyelenggara negara dan masyarakat
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas umum
penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
Adapun asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi asas kepastian hukum,
asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas
keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas
akuntabilitas. Ketentuan serupa juga terdapat pada bagian
kedelapan tentang hak turut serta dalam pemerintah Pasal 43
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Kemudian dalam ketentuan Bab II Bagian Kedua Pasal
3 huruf a sampai dengan huruf g Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyebutkan
sebagai berikut:
Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. Menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana
pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan
proses pengambilan keputusan publik serta alasan
pengambilan suatu keputusan publik;
b. Mendorong partisipasi masyarakat dalam dalam proses
pengambilan kebijakan publik;
c. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan
kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik;
d. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu
yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat
dipertanggungjawabkan;
e. Mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi
hajat hidup orang banyak;
f. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan
kehidupan bangsa; dan/atau;

23
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

g. Meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di


lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan
informasi yang berkualitas.
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang
ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) yang
telah diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-
hak Sipil dan Politik, dalam Pasal 25 menentukan bahwa:
Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan,
tanpa pembedaan apapun sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak layak untuk:
a. Ikut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah, baik secara
langsung ataupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas;
b. Memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang
murni dan dengan hak pilih yang universal dan sama, serta
dilakukan melalui pemungutan suara secara rahasia untuk men-
jamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih;
c. Memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya atas
dasar persamaan dalam arti umum.
Reformasi juga memberikan perubahan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Setelah reformasi
pelibatan partisipasi atau peran serta masyarakat dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan diatur dalam Bab
X Pasal 53 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan pasal tersebut menyatakan bahwa masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan atau pernbahasan rancangan undang-undang dan
rancangan peraturan daerah. Hanya saja ketentuan tersebut tidak
dijabarkan bagaimana menyalurkan partisipasi masyarakat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian
seiring dengan perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai
aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dicabut dan dinyatakan tidak

24
Eka N.A.M. Sihombing

berlaku, digantikan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun


2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Ketentuan mengenai partisipasi masyarakat diatur lebih
lengkap jika dibandingkan dalam ketentuan undang-undang
sebelumnya.15 Ketentuan mengenai partisipasi masyarakat diatur
dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau
tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis tersebut dapat
dilakukan melalui:
a. Rapat dengar pendapat umum;
b. Kunjungan kerja;
c. Sosialisasi; dan/atau
d. Seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
orang perseorangan atau kelompok orang yang mem-
punyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan
Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan
masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-
undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
Ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut
juga dipertegas kembali dalam ketentuan Pasal 188 Peraturan

15
Menurut Ahmad Yani, sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pelibatan partisipasi masyarakat di
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkesan formalitas belaka. Karena
itu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan berusaha memperbaiki partisipasi masyarakat tersebut dengan memperjelas
kategori kelompok kepentingan yang disebut masyarakat, yaitu orang perseorangan
atau kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat,
dan masyarakat adat. Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Responsif Catatan Atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Jakarta: Konstitusi Press, 2013, hal. 91-92.

25
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan ketentuan Pasal 166
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan menurut Yuliandri harus berkelanjutan
dan partisipatif. Lebih lanjut menurut Yuliandri perlu dilakukan
upaya-upaya yang dapat ditempuh yaitu: (1) perlunya perencanaan
pembentukan undang-undang melalui penyusunan naskah
akademik; (2) adanya partisipasi masyarakat atau publik dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan; dan (3) perlu
kesesuaian antara materi muatan dengan persyaratan pem-
bentukan peraturan perundang-undangan.16
C. Partisipasi Masyarakat Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia
Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak pada masyarakat
akan menimbulkan kewajiban pada Pemerintah, sehingga telah
dinormakan pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan
untuk memenuhi hak masyarakat sekaligus kewajiban Pemerintah
terhadap hak masyarakat tersebut.
Dalam demokrasi perwakilan ditekankan pentingnya per-
wakilan dari berbagai unsur masyarakat untuk terlibat dalam
pembentukan kebijakan. Namun, keinginan masyarakat untuk
terlibat dan tahu secara rinci mengenai proses pembentukan
kebijakan tidak menjadi menarik manakala hal ini dinafikkan
oleh para anggota legislatif dan pihak eksekutif bahwa yang
mempunyai kewenangan atas proses pemutusan kebijakan
adalah mereka atas dasar mandat dari rakyat. Akibatnya yang
terjadi adalah masyarakat menjadi penonton di pinggir arena pem-
bentukan kebijakan, dan hanya berperan baik sebagai penerima
manfaat dan juga yang dimanfaatkan oleh para pembuat
kebijakan. Padahal partisipasi masyarakat berkaitan dengan
pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya, sebagaimana telah
disinggung dibagian awal.

16
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik; Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, (Rajawali Press, Jakarta, 2010), hal. 168.

26
Eka N.A.M. Sihombing

Keterkaitan hak partisipasi masyarakat dalam pemenuhan


hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta pembangunan politik,
sempat dikemukakan Komisioner Tinggi untuk Hak Asasi
Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahkan pada saat
pembukaan sesi kelompok kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa
untuk Hak atas Pembangunan berulangkali disampaikan bahwa
hak atas pembangunan memiliki substansi khusus, yakni
berintikan hak partisipasi.17
Ide dalam perluasan partisipasi berasal dari Juergen Habermas
yang memberi inspirasi bahwa perlu adanya ruang publik yang
otonom di luar dari domain negara sebagai prasyarat pelibatan
aktivitas masyarakat yang tidak semudahnya mendapat legitimasi
terhadap sistem politik. 18 Ruang publik tersebut dapat di-
manfaatkan sebagai sarana debat opini, bersuara dan menye-
leraskan posisi yang sama dengan argumentasi yang rasional.
Habermas sebenarnya berkeinginan agar setiap individu menjadi
aktor yang penting dan berarti dalam komunitas politik
Penekanan Habermas sebenarnya adalah tersedianya ruang
publik yang ada dan terjamin di dalam konstitusi. Karena negara
sebagai aktor dan institusi politik punya kewenangan yang luar
biasa dalam mengarahkan maksud dan tujuan pembangunan,
dengan atau tanpa keterlibatan masyarakat. Padahal objek dan
penerima manfaatnya adalah masyarakat itu sendiri. Dalam hal
tersebut, masyarakat sudah waktunya dilibatkan dalam pem-
bentukan kebijakan dengan memanfaatkan ruang publik yang
disampaikan oleh Habermas tadi.
Pada masa lalu, untuk mengatasi adanya kesenjangan hubungan
antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah melakukan
berbagai tindakan politik dalam rangka memperkuat partisipasi
dimana kelompok marjinal diberi kesempatan dan ruang untuk
menyuarakan aspirasinya. Di samping itu, penguatan kelembagaan
juga dilakukan oleh pemerintah untuk menjadi lebih responsif,
akuntabel dan transparan terhadap berbagai tuntutan dari

17
http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/partisipasi-masyarakat-dalam-pembuatan.html,
diakses pada tanggal 26 Maret 2017.
18
Inovasi Pemerintahan Daerah, Op.cit.

27
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

masyarakat. Pertanyaannya kemudian, dimana kelompok marjinal


dan kelompok miskin bisa memperoleh ruang dan mampu mem-
pengaruhi kebijakan pemerintah serta dimana pemerintahan yang
berubah dapat mempertanggung jawabkan akuntabilitasnya.
Konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat semua warga
Negara tanpa terkecuali merupakan perwujudan kehendak rakyat
yang dibentuk pada saat Negara didirikan, sehingga hak-hak
fundamental dari rakyat umumnya tertulis dalam konstitusi,
hak-hak tersebut tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk
oleh pihak pemerintah.19 Dengan demikian, salah satu unsur ter-
penting dari suatu konstitusi adalah penyebutan atau perumusan
hak-hak fundamental dari rakyat dan perlindungan terhadap hak-
hak rakyat tersebut. 20 Hak-hak fundamental yang telah di-
rumuskan dalam konstitusi tersebut dapat juga dikatakan sebagai
hak asasi manusia, yang pemenuhannya menjadi tanggung
jawab dari pemerintah.
Keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembentukan
peraturan daerah jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia
dapat dikatakan bahwa hal itu merupakan bagian dari hak
masyarakat, baik sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan
sistem, yang mestinya dipenuhi oleh negara. Negara berkewajiban
untuk memberikan ruang terhadap partisipasi masyarakat dalam
semua proses pembangunan yang akan atau sedang dilaksanakan.
Proses partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan akan sangat ditentukan oleh kualitas hubungan
antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah sebagai lembaga
yang memiliki kekuasaan yang lebih superior harus dengan tulus
membuka ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk ikut
dalam proses penentuan kebijakan. Di lain pihak masyarakat
juga harus proaktif untuk mengakses informasi dan meng-
ajukan pendapat-pendapatnya atas sebuah kebijakan yang akan
diambil pemerintah.21

19
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika Aditama, Bandung,
Cet I, 2009, hal. 13
20
Munir Fuady, ibid, hal. 138.
21
H.S. Tisnanta, “Partisipasi Publik sebagai Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah”, dalam Muladi (Edt.), Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Refika Aditama, Bandung, 2005), hal. 78.
28
Eka N.A.M. Sihombing

Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan


perundang-undangan berkaitan dengan dengan hak untuk
menyampaikan pendapat yang diatur dalam Pasal 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menyatakan bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Mengeluarkan
pendapat dapat juga dilaksanakan dalam forum-forum legislasi
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Walaupun demikian, tata cara mengeluarkan pendapat tentu
harus dengan cara-cara yang yang bertanggungjawab sebagai-
mana diatur dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Penjabaran Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dapat ditemukan dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum. Dalam undang-undang tersebut
disebutkan bahwa dalam menyampaikan pendapat di muka
umum harus dilaksanakan dengan tanggungjawab dan ber-
kewajiban untuk:
1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain;
2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum;
3. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban
umum; dan
5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada dasarnya undang-undang menjamin hak masyarakat
untuk menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung-
jawab terhadap kebijakan penyelenggara negara, akan tetapi hak
tersebut akan sulit terwujud karena tidak ada kewajiban bagi
pemerintah bahwa saran dan pendapat tersebut akan meme-
ngaruhi keputusan yang diambilnya.22
22
H.S. Tisnanta, ibid, hal. 84.
29
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Sejak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, kesadaran


negara untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan
telah menjadi pemikiran utama baru pembangunan Indonesia,
meskipun pelibatan tersebut masih relatif rendah. Di dalam
beberapa pembahasan peraturan daerah misalnya sekarang tidak
lagi menjadi dominasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Masyarakat daerah sudah bisa terlibat, baik langsung maupun
tidak, hal ini tercermin dalam Pasal 139 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan Masyarakat
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan daerah,
dimana persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan
rancangan peraturan daerah berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan.
Demikian pula dalam proses perencanaan pembangunan
melibatkan partisipasi masyarakat.23 Partisipasi masyarakat seperti
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian
disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni dalam Pasal 354
ayat (3) dan ayat (4) yang menyatakan sebagai berikut:
(3) Partisipasi masyarakat mencakup:
a. Penyusunan Perda dan kebijakan Daerah yang mengatur
dan membebani masyarakat;

23
Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 2, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

30
Eka N.A.M. Sihombing

b. Perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemonitoran,


dan pengevaluasian pembangunan Daerah;
c. Pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam Daerah; dan
d. Penyelenggaraan pelayanan publik.
(4) Partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk:
a. Konsultasi publik;
b. Musyawarah;
c. Kemitraan;
d. Penyampaian aspirasi;
e. Pengawasan; dan/atau
f. Keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

31
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

BAB Partisipasi
Masyarakat
3 dalam Pembentukan
Peraturan Daerah

A. Urgensi Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan


Peraturan Daerah
Dalam proses penyelenggaraan negara. AS. Hikam meng-
identifikasi 3 (tiga) ciri utama civil society. Pertama, adanya
kemandirian yang cukup tinggi dari individu-individu dan
kelompok-kelompok dalam masyarakat, utamanya ketika
berhadapan dengan negara; kedua, adanya ruang publik bebas
sebagai wahana bagi keterlibatan politik secara aktif dari warga
negara melalui wacana dan praksis yang berkaitan dengan
kepentingan publik; ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa
negara agar ia tidak intervensionis. Sebagai bentuk pengakuan
kedaulatan rakyat, maka segala keputusan negara sejauh mungkin
harus melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan
baik melalui wakil rakyat yang berada di parlemen maupun
melalui organisasi masyarakat sipil sebagai representasi kelompok
kepentingan. 1 Keterlibatan masyarakat untuk terlibat dalam
pemerintahan dikenal dengan hak untuk berpartisipasi.

1
Muslimin B. Putra, Menimbang Partisipasi Publik dalam Proses Legislasi, Majalah
Lesung, Edisi III No. 4, November 2005, hal. 35

32
Eka N.A.M. Sihombing

Pelajaran di Indonesia, menunjukkan bahwa perwujudan


demokratisasi terkait dengan terwujudnya 4 (empat) hal berikut:2
- Dilakukannya rasionalisasi kekuasaan, yang melingkupi
ruang lingkup kekuasaan serta waktu berkuasanya seseorang
dalam tampuk pemerintahan;
- Adanya differensiasi konflik, dimana wilayah konflik di-
batasi sehingga tidak semua konflik yang muncul dalam
masyarakat langsung masuk ke pusat syaraf politik nasional;
- Peningkatan peran politik rakyat, agar kesadaran elit ter-
pelihara bahwa mereka berkuasa karena diberi kewenangan,
dianggap mampu dan mau mengurus kepentingan rakyatnya;
- Menghapus akar tegaknya rejim yang otoriter, yang ber-
tumpu kepada: penggunaan represi fisik dan ideologis untuk
mendapatkan ketaatan warga negara, klientalisme ekonomi
untuk menguatkan basis legitimasi yang positif dan
renumeratif, serta korporatisme negara untuk menjamin
informasi yang masuk ke dalam sistem politik tidak membuat
sistem terkontaminasi oleh ide-ide pembaruan.
Burkens sebagaimana dikutip oleh Tisnanta H.S. menge-
mukakan bahwa syarat minimal yang harus dipenuhi dalam
demokrasi, antara lain adalah openbaarheids van besluitvorming
(keterbukaan dalam pembentukan keputusan).3 Syarat tersebut
memberikan makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan yang
demokratis membutuhkan keikusertaan langsung dari warga
masyarakat dalam proses pembentukan produk hukum.
Pemerintah atas dasar kecermatan hukum mempunyai kewajiban
untuk melibatkan para warga dalam pengambilan keputusan.
Keterbukaan pemerintah mempunyai makna penting, karena
melalui keterbukaan warga memperoleh lebih memahami
tentang rencana kebijaksanaan yang dijalankan; dengan demikian
maka pemerintah memberikan kemungkinan bagi para warga
untuk meminta perwakilan untuk meminta perlindungan
hukum terhadap pemerintah, baik sebelum dan sesudah suatu
keputusan diambil.

2
Muslimin B. Putra, ibid, hal. 35.
3
Tisnanta, H.S, Meniti Partisipasi Publik, KBH Lampung, 2003.
33
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Keterbukaan mempunyai ikatan yang hakiki dengan ber-


fungsinya demokrasi. Warga masyarakat akan memperoleh
banyak pengertian tentang rencana-rencana kebijaksanaan dan
tentang kenyataan yang menjadi dasar kebijakan yang dijalankan.
Selain itu juga membuka peluang perlindungan bagi rakyat
terhadap tindakan pemerintah. Untuk ini dibutuhkan sarana
dan partisipasi, misalnya sarana keberatan, dengan pendapat,
komisi pertimbangan dan lain-lain. Disamping itu asas
keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk mengumumkan
setiap keputusannya.4 Pendapat tersebut memberikan gambaran
bahwa dalam keterbukaan pemerintahan, warga mempunyai
kesempatan untuk tahu atas rencana-rencana atau keputusan
yang akan diambil hak dan kesempatan untuk memikirkan dan
memutuskan suatu kebijakan pemerintah melalui sarana peran
serta (inspreak). Untuk kepentingan tersebut maka diperlukan
adanya informasi yang terbuka, prosedur yang memungkinkan
partisipasi (inspreak) bagi warga, dan pengumuman. Partisipasi
publik hanya akan dapat dilakukan bilamana akan ada keter-
bukaan pemerintahan. Nurkholis Madjid5 mengemukakan dalam
tulisannya sebagai berikut:
“Kekuatan demokrasi ialah sebuah sistem yang mampu melalui
dinamika internnya sendiri untuk mengadakan kritik ke dalam
dan perbaikan-perbaikan, berdasarkan prinsip dan keter-
bukaan serta berkesempatan bereksperimen”.
Asas keterbukaan dan mewajibkan pemerintah untuk secara
aktif memberikan informasi kepada masyarakat tentang suatu
permohonan atau suatu rencana tindak dan mewajibkan untuk
memberikan suatu penjelasan kepada masyarakat atas hal yang
diminta. Terhadap kewajiban pemerintah untuk memberikan
informasi, peraturan perundang-undangan di indonesia yang
mengatur hal tersebut telah lahir Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang disahkan
oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 April 2008.

4
Hadjon, P.M, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1994
5
Nurcholish Madjid, Demokrasi dan Kebebasan, Tabloid Tekad, 1999.

34
Eka N.A.M. Sihombing

Dalam Bab III Bagian Keempat mengenai Kewajiban Badan Publik


pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik disebutkan sebagai berikut:
(1) Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau
menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah
kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain
informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.
(2) Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang
akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
(3) Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Badan Publik harus membangun dan mengem-
bangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola
Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat
diakses dengan mudah.
(4) Badan Publik wajib membuat pertimbangan secara tertulis
setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap
Orang atas Informasi Publik.
(5) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara
lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau pertahanan dan keamanan negara.
(6) Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat
memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan non
elektronik.
Partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah ini
telah dimasyarakatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah di dalam penjelasan
umumnya Nomor 1 huruf b yang menyebutkan “prinsip otonomi
daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti
daerah diberikan kewenangan mengurus semua urusan
pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat...”. Meskipun dalam batang tubuh undang-

35
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

undang ini tidak dijelaskan bagaimana cara keterlibatan


partisipasi masyarakat dalam setiap proses pengambilan
keputusan/ kebijakan pemerintahan di daerah, namun dapat
dijelaskan melalui bagan berikut ini.6

Gambar. Skema Infra dan Supra Struktur Politik


M. Solly Lubis
Kemudian pengaturan partisipasi masyarakat dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah disempurnakan dalam pengaturan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai-
mana tercantum dalam Bab XIV Pasal 354 dan juga tercermin
dalam kosideran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat ter-
wujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan

6
Bagan Infra dan Supra Struktur Politik M. Solly Lubis, sebagaimana dikutip Faisal
Akbar Nasution dalam Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca Berlakunya UU Nomor 22
Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik), Makalah: 2004, hal. 9.

36
Eka N.A.M. Sihombing

demikian partisipasi masyarakat memiliki peran yang sangat


strategis, dikarenakan masyarakat dapat mengetahui sejak dini
proses pengambilan kebijakan yang pada akhirnya akan
berdampak pada ketaatan masyarakat dalam melaksanakan
kebijakan tersebut sehingga dapat segera mewujudkan percepatan
kesejahtraan masyarakat.
Partisipasi masyarakat merupakan salah satu wacana yang
menarik mengingat bahwa partisipasi menurut United Nations
Developement Program merupakan salah satu karakteristik dari
pemerintahan yang baik (good governance) diantara karakteristik
lainnya.7 Sehingga proses pemerintahan yang dijalankan atas
partisipasi masyarakat telah memiliki salah satu karakteristik
sebagai pemerintahan yang baik. Keberadaan partisipasi
masyarakat menurut Miriam Budiardjo pada dasarnya tidak
terlepas dari pertimbangan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat
yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk
menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk
menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk
pimpinan untuk masa berikutnya.8
Disamping itu Joseph Riwu Kaho, mengatakan bahwa adanya
partisipasi masyarakat (public participation) merupakan salah satu
faktor dari keberhasilan otonomi daerah. Masyarakat daerah baik
sebagai kesatuan sistem maupun sebagai individu merupakan
bagian integral yang sangat penting dari sistem pemerintahan
daerah, karena secara prinsip penyelenggaraan otonomi daerah
ditujukan guna mewujudkan masyarakat sejahtera di daerah yang
bersangkutan.9 Dengan demikian partisipasi masyarakat (public
participation) mempunyai peran yang besar dalam menentukan
arah kebijakan pemerintah daerah. Sehingga mau tidak mau
partisipasi harus dilaksanakan secara maksimal oleh masyarakat.

7
Sedarmayanti, Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam rangka Otonomi
Daerah; Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien Melalui Rekonstruksi dan
Pemberdayaan, Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 7
8
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Parpol: Bunga Rampai,, Jakarta: Gramedia, 1981,
hal. 2.
9
Josef Riwu Kaho,Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia:
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Jakarta: Rajawali Press,
2003, hal. 120

37
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Salah satu cakupan partisipasi masyarakat menurut Undang-


Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah adalah dalam hal penyusunan peraturan daerah. 10
Partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk:11
a. Konsultasi publik;
b. Musyawarah;
c. Kemitraan;
d. Penyampaian aspirasi;
e. Pengawasan; dan/atau
f. Keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Sementara itu ketentuan poin f tersebut jika dikaitkan dengan
pengaturan partisipasi masyarakat dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
maka akan diketahui jika masyarakat berhak memberikan masukan
secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan daerah,
dimana masukan secara lisan dan/atau tertulis tersebut dapat
dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan
kerja, sosialisasi dan/atau seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
B. Pembentukan Peraturan Daerah Sebagai Manifestasi
Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagai hukum dasar peraturan perundang-undangan 12

10
Lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 354 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
11
Pasal 354 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah.
12
Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-
bentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan bahwa : Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-
undangan. Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38
Eka N.A.M. Sihombing

mengatur tentang kewenangan daerah untuk menetapkan


peraturan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah,
dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa pemerintahan daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.13 Lebih lanjut Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas
pembantuan. Menurut Jimly Asshiddiqie peraturan lain itu seperti
Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.14
Berlakunya prinsip otonomi dalam negara Indonesia yang
membagi kewenangan antara pusat dan daerah diharapkan segala
urusan baik yang bersifat wajib ataupun pilihan dapat di-
laksanakan sesuai dengan kewenangan masing-masing yang
diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah. Kewenangan daerah dalam pelaksanaan
otonomi ini telah diisyaratakan oleh undang-undang tersebut,
dimana di dalam penjelasan umum disebutkan bahwa daerah
sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
otonomi berwenang mengatur dan mengurus Daerahnya sesuai
aspirasi dan kepentingan masyarakatnya sepanjang tidak ber-
tentangan dengan tatanan hukum nasional dan kepentingan
umum. Dalam rangka memberikan ruang yang lebih luas kepada
Daerah untuk mengatur dan mengurus kehidupan warganya

13
Setiap Pemerintahan daerah Provinsi, daerah kabupaten/kota itu mengatur dan
megurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dapat ditafsirkan bahwa basis otonomi itu ditetapkan bukan hanya di tingkat kabupaten
dan kota, tetapi juga di tingkat provinsi. Dengan demikian struktur pemerintahan
berdasarkan ketentuan ini terdiri atas tiga tingkatan yang masing-masing mempunyai
otonominya sendiri-sendiri, yaitu pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Lihat
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal. 58.
14
Jimly Asshiddiqie, ibid, hal. 58.

39
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

maka Pemerintah Pusat dalam membentuk kebijakan harus


memperhatikan kearifan lokal dan sebaliknya Daerah ketika
membentuk kebijakan Daerah baik dalam bentuk Peraturan
daerah maupun kebijakan lainnya hendaknya juga memper-
hatikan kepentingan nasional. Dengan demikian akan tercipta
keseimbangan antara kepentingan nasional yang sinergis dan tetap
memperhatikan kondisi, kekhasan, dan kearifan lokal dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.15
Urusan pemerintahan dibagi atas tiga antara lain, urusan
pemerintahan absolut, konkuren, dan umum. Urusan pemerin-
tahan yang konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi
antara pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan
daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerin-
tahan konkuren ini dibagi antara lain yang bersifat wajib dan
pilihan untuk dilaksanakan oleh pemerintahan daerah dalam
bentuk peraturan daerah. Situasi ini membuat peraturan daerah
makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran peraturan
daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat
besar. Kedudukan yang strategis dari peraturan daerah dalam
menjalankan urusan pemerintahan dapat menjadi baik jika
pembentukan peraturan daerah tersebut dilakukan dengan baik
dan menjadi bumerang jika dilakukan dengan tidak baik.16 Selain
mempunyai kedudukan yang strategis, peraturan daerah juga
mempunyai berbagai fungsi yaitu:17
a. Sebagai instrumen kebijakan untuk melaksanakan otonomi
daerah dan tugas pembantuan sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah;

15
Lihat lebih lanjut dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undanng Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
16
Rudy Hendra Pakpahan, Pengujian Peraturan daerah Oleh Lembaga Eksekutif dan
Yudikatif, tesis, Universitas Sumatera Utara, hal. 5
17
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM
R.I, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, Jakarta: Kementerian Hukum
dan HAM R.I, 2011, hal. 9.

40
Eka N.A.M. Sihombing

b. Merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-


undangan yang lebih tinggi. Dalam fungsi ini, peraturan
daerah tunduk pada ketentuan hirarki peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian peraturan daerah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi;
c. Sebagai penampung kekhususan dan keragaman daerah,
namun dalam pengaturannya tetap dalam koridor Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
d. Sebagai alat pembangunan dalam meningkatkan kesejah-
teraan daerah.
Karena kedudukan peraturan daerah yang strategis tersebut,
banyak Pemerintah Daerah yang terkesan berlomba-lomba untuk
memasukkan sebanyak mungkin judul rancangan peraturan
daerah dalam program pembentukan peraturan daerah tanpa
memperhatikan kualitasnya apakah peraturan daerah yang akan
dilahirkan bermanfaat bagi segenap elemen masyarakat di daerah.
Masih banyak peraturan daerah yang bermasalah karena
substansi peraturan daerah yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dengan
undang-undang tentang pemerintahan daerah, undang-undang
tentang pajak daerah dan retribusi daerah, perundang-undangan
sektor lain, maupun kepentingan umum dan kesusilaan,18 hal ini
dapat dilihat sejak otonomi daerah diterapkan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan
Daerah yang kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sudah ribuan peraturan daerah yang dibuat oleh

18
Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., Ilmu Perundang-undangan, Medan:
Pustaka Prima, 2017, hal. 19.

41
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

pemerintah daerah, baik pada level provinsi maupun kabupaten/


kota, yakni berdasarkan data di Kementerian Keuangan sampai
dengan Desembaer 2006 sebanyak 9.617 peraturan daerah yang
terkait dengan perizinan, pajak dan retribusi, serta berdasarkan
data di Kementerian Dalam Negeri sejak tahun 2002 sampai
tahun 2007 sebanyak 761 peraturan daerah dibatalkan, bahkan
ada peraturan daerah yang telah dibatalkan namun masih tetap
diberlakukan.19
Kemudian pada tahun 2016 Pemerintah Pusat melalui
Kementerian Dalam Negeri membatalkan sebanyak 3143
peraturan daerah dan peraturan Kepala Daerah.
B.1. Kedudukan Peraturan Daerah dalam Sistem Hukum
Nasional
Untuk memahami kedudukan peraturan daerah dalam
sistem hukum nasional, terlebih dahulu akan diurai mengenai
sistem hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di
Indonesia. Hierarki menurut Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Hierarki peraturan perundang-undangan yang pernah ada
hingga yang berlaku sekarang adalah sebagai berikut:20
(1) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 1966
hingga tahun 1999 berdasarkan Lampiran 2 Ketetapan MPR
Nomor XX/MPR/1966 adalah sebagai berikut:
b. Undang-Undang Dasar 1945;
c. Ketetapan MPR;
d. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;

19
Subiharta, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009, Majalah Varia Peradilan No. 305 April 2011, hal. 21.
20
Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., ibid, hal. 37-38.

42
Eka N.A.M. Sihombing

e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden
g. Peraturan-peraturan pelaksanaanya, seperti:Peraturan
Menteri; Instruksi Menteri; dan lain-lainnya.
(2) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 1999
hingga tahun 2004 berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III/
MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
e. Peraturan Pemerintah;
f. Keputusan Presiden; dan
g. Peraturan Daerah
(3) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 2004
hingga tahun 2011 berdasarkan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden; dan
e. Peraturan Daerah.
(4) Hierarki peraturan perundang-undangan pada tahun 2011
hingga sekarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. Ketatapan MPR.

43
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden; dan
f. Peraturan Daerah.
Tata urutan atau hierarki peraturan perundang-undangan
demikian mengandung beberapa prinsip:21
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke-
dudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum
bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau
berada di bawahnya.
2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum darl suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah tidak boleh menyimpangi atau berlentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4. Suatu peraturan perun dan g-un dan gan h anya dapat
dic abut atau diganti atau diubah dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak
dengan yang sederajat.
5. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis
apabila mengatur materi yang sama, maka peraturan yang
terbaru harus diberlakukan, walaupun tidak dengan secara
tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut.
Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih
khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-
undangan yang lebih umum.
Dengan demikian, peraturan daerah sebagai bagian dari sistem
peraturan perundang-undangan secara hierarki berkedudukan
di bawah peraturan perundang-undangan tingkat pusat. Sehingga
peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

21
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan Kedua, FH UII Press,Yogyakarta,
2004, hal 133 sebagaimana dikutip Ni’matul Huda, Kedudukan Peraturan Daerah Dalam
Hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Hukum No. 1 Vol 13 Januari 2006, hal. 33.
44
Eka N.A.M. Sihombing

perundang-undangan yang lebih tinggi apalagi mengatur yang


bukan kewenangan daerah.
B.2. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Daerah
Demi menghasilkan peraturan daerah yang berkualitas,
setidaknya peraturan daerah harus mampu mengaktualisasikan
nilai-nilai dasar Pancasila sebagai sumber hukum untuk
merumuskan norma-norma hukum (pasal dan/atau ayat) dalam
peraturan daerah yang diberlakukannya. Peraturan daerah juga
harus mampu menerapkan asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan dan asas-asas materi muatan. Hal ini karena
pada prinsipnya setiap peraturan perundang-undangan termasuk
peraturan daerah memiliki asas-asas hukum (rechtsbeginselen).
Asas-asas hukum itu menurut Paul Scholten adalah tendensi-
tendensi, yang diisyaratkan pada hukum oleh pandangan
kesusilaan kita (tendenzen, welke ons zedelijk oordeel aan recht
stelt).22 Asas (-asas) hukum menurut Satjipto Rahardjo merupakan
landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.23
Berkaitan dengan lahirnya suatu peraturan hukum di tanah air,
pendapat ahli yang sering dijadikan rujukan adalah Van der Vlies24

22
Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Dasar-Dasar
dan Teknik Penyusunannya), Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008, hal. 24.
23
Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun &
Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoretis & Praktis Disertai Manual): Konsepsi
Teoretis Menuju Artikulasi Empiris, Jakarta: Kencana, 2013, hal. 85.
24
Van der Vlies membagi asas dalam pembentukan peraturan yang patut (beginselen van
behoolijke rejel geving) ke dalam asas formal dan asas materil. Adapun asas formal meliputi:
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidenlijk doelstelling), yang mencakup tiga hal,
yaitu mengenai ketetapan letak peraturan perundang-undangan dalam kerangka kebijakan
umum pemerintahan, tujuan khusus peraturan dibentuk, dan tujuan dari bagian-bagian
yang akan dibentuk tersebut; 2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste
organ), hal ini untuk menegaskan kejelasan organ yang menetapkan pengaturan perundang-
undangan tersebut; 3. Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheidsbeginsel), merupakan
prinsip yang menjelaskan berbagai alternatif maupun relevansi dibentuknya peraturan
untuk menyelesaikan problema pemerintahan; 4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van
uitvoerbaar heids beginsel), yaitu peraturan yang dibuat seharusnya dapat ditegaskan secara
efektif; 5. Asas Konsensus (het beginsel van consensus), yaitu kesepakatan rakyat untuk
melaksanakan kewajiban yang ditimbulkan oleh suatu peraturan secara konsekuen.
Sedangkan asas materil meliputi: 1. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar
(het beginsel van duidelijk terminologie an duiden deiijke sistematiek), artinya setiap peraturan
hendaknya dapat dipahami oleh rakyat; 2. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het
recht gelijkeheids beginsel), hal demikian untuk mencegah praktik ketidakadilan dalam
memperoleh layanan hukum; 3. Asas kepastian hukum (hetrechtzekerheidsbeginsel), artinya
peraturan yang dibuat mengandung aspek konsistensi walaupun diimplementasikan dalam
waktu dan ruang yang berbeda; 4. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan
individual (het beginsel van de individuele bedeling), asas ini bermaksud memberikan
penyelesaian yang khusus bagi hal-hal atau keadaan tertentu yang menyangkut kepentingan
individual. Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., Op. cit, hal. 104-105. 45
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

dan Hamid S. Attamimi. 25 Kemudian pendapat para ahli


(termasuk pendapat Van der Vlies dan Hamid S. Attamimi)
mengenai asas-asas yang harus diindahkan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan kemudian dicoba diramu oleh
Perancang Peraturan Perundang-undangan (legislative drafter)
dalam naskah undang-undang tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan untuk dibahas antara Pemerintah Pusat
selaku pihak eksekutif dan DPR selaku pihak legislatif guna
mendapat persetujuan bersama menjadi undang-undang.26 Asas-
asas tersbut tercantum dalam Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang terdiri dari asas-asa pembentukan
peraturan perundang-undangan dan asas-asas materi muatan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
adalah sebagai berikut:
a. Kejelasan tujuan adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai.
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat adalah bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-
undangan yang berwenang, Peraturan Perundang-undangan
tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila
dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
25
Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya merumuskakan asas-asas yang khusus bagi
perundang-undangan Indonesia. Asas-asas tersebut meliputi: a. Asas- asas formal, dengan
rincian: 1) Asas tujuan yang jelas; 2) Asas perlunya pengaturan; 3) Asas organ/lembaga
yang tepat; 4) Asas materi muatan yang tepat; 5) Asas dapat dilaksanakan; dan 6) Asas
dapat dikenali. b. Asas-asas materiil, dengan rincian: 1) Asas sesuai dengan cita hukum
Indonesia dan norma fundamental negara; 2) Asas sesuai dengan hukum dasar negara; 3)
Asas sesuai dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum; dan 4) Asas sesuai dengan
prinsip-prinsip pemerintahan berdasar sistem konstitusi. Eka N.A.M. Sihombing dan Ali
Marwan Hsb., ibid, hal. 107
26
Undang-undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dimana dalam ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tersebut mengatur tentang asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
yang baik. asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik juga masih
dipertahankan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yakni dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

46
Eka N.A.M. Sihombing

c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan adalah bahwa


dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus
benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis peraturan perundang-undangannya.
d. Dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat baik secara filosofis, yuridis maupun sisologis.
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan dibuat karena
memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
f. Kejelasan rumusan adalah bahwa setiap pembentukan
peraturan perundang-undangan harus memenuhi per-
syaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan,
sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa
hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Transparan dan terbuka adalah dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan
dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat
mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk mem-
berikan masukan dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan.
Sedangkan asas-asas materi muatan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a. Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan per-
lindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan
dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia
secara proporsional.

47
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

c. Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan


perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak
bangsa indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Kekeluargaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan
perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan
bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
f. Bhinneka Tunggal Ika adalah bahwa materi muatan peraturan
perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus
daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
g. Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara.
h. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-
undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat mem-
bedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
i. Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus dapat
mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan
kepastian hukum.
j. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa
setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan,
antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan
bangsa dan negara.
48
Eka N.A.M. Sihombing

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-


Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sejiwa dengan ketentuan Pasal 237 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menegaskan sebagai berikut:
(1) Asas pembentukan dan materi muatan perda berpedoman
pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas
hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
B.3. Materi Muatan Peraturan Daerah
Selain mempunyai kedudukan strategis dan berbagai fungsi,
peraturan daerah juga memunyai materi muatan tersendiri,
menurut Soehino materi yang dapat diatur dalam Peraturan
Daerah meliputi:27
1. Materi-materi atau hal-hal yang memberi beban kepada
penduduk, misalnya pajak daerah dan retribusi daerah;
2. Materi-materi atau hal-hal yang mengurangi kebebasan
penduduk, misalnya mengadakan larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban yang biasanya disertai dengan ancaman
atau sanksi pidana;
3. Materi-materi atau hal-hal yang membatasi hak-hak pen-
duduk, misalnya penetapan garis sepadan;
4. Materi-materi atau hal-hal yang telah ditentukan dalam per-
aturan perundang-undangan yang sedrajat dan tingkatannya
lebih tinggi, harus diatur dengan peraturan daerah.
Bagir Manan juga memberikan petunjuk mengenai materi
muatan Peraturan daerah, yakni:28

27
Soehino, Hukum Tata Negara, Penyusunan d an Penetapan Peraturan Daerah,
Yogyakarta: Liberty, 1997, hal. 8.
28
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta, Ind-Hill.Co,1992,
hal 61-62.

49
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

(1) Sistem Rumah Tangga daerah. Dalam sistemrumah tangga


formal, segala urusan pada dasarnya dapat diatur oleh daerah
sepanjang belum diatur atau tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada
sistem rumah tangga materiil, hanya urusan yang ditetapkan
sebagai urusan rumah tangga daerah yang dapat diatur
dengan Peraturan daerah;
(2) Ditentukan secara tegas dalam UU Pemerintahan Daerah
seperti APBD, Pajak dan Retribusi;
(3) Urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Menurut Philippus M. Hadjon, materi muatan Peraturan
daerah Provinsi dan materi muatan-muatan Peraturan daerah
Kabupaten Kota, sebagai berikut:29
Pertama: Peraturan daerah provinsi, materi muatannya adalah:
(1) Kewenangan yang diperoleh dalam bidang otonomi yang ber-
isikan kewenangan yang bersifat lintas kabupaten/kota, kewe-
nangan di bidang pemerintahan tertentu, dan kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota;
(2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan per-
undang-undangan di atasnya, termasuk tugas pembantuan;
(3) Untuk menampung dan mengekspresikan kondisi khusus
di daerah yang lintas kabupaten/kota.
Kedua: Peraturan daerah kabupaten/kota, materi muatannya
adalah:
(1) Kewenangan yang diperoleh untuk melaksanakan otonomi daerah
yang berisikan kewenangan wajib dan kewenangan pilihan;
(2) Berdasarkan penjabaran lebih lanjut dari peraturan per-
undang-undangan di atasnya, termasuk tugas pembantuan;
(3) Untuk menampung dan mengekspresikan kondisi khusus
di daerah.

29
Philippus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to
the Indonesian Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993,
hal. 60-61.

50
Eka N.A.M. Sihombing

Menurut hemat Penulis, materi muatan dalam rangka


penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan
mengandung makna bahwa pembentukan peraturan daerah
harus didasarkan pada pembagian urusan antara Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai-
mana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan perundang-
undangan sektoral lainnya. Berkaitan dengan materi muatan
dalam rangka menampung kondisi khusus daerah, mengandung
makna bahwa peraturan daerah sebagai peraturan yang
mengabstraksi nilai-nilai masyarakat di daerah yang berisi materi
muatan nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus
daerah. Berkaitan dengan penjabaran lebih lanjut, Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi bermakna bahwa secara
yuridis pembentukan peraturan daerah bersumber kepada
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan kata
lain pembentukan peraturan daerah harus berdasarkan pen-
delegasian dari Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Secara normatif, materi muatan peraturan daerah dapat dilihat
dalam ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
menyatakan bahwa materi muatan Peraturan daerah Provinsi
maupun Peraturan daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Lebih lanjut materi muatan peraturan daerah disebutkan
dalam ketentuan Pasal 236 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut:

51
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas


Pembantuan, Daerah membentuk Peraturan daerah.
(2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala
Daerah.
(3) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memuat materi muatan:
a. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pem-
bantuan; dan
b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
(4) Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
Peraturan daerah dapat memuat materi muatan lokal sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan peraturan daerah merupakan manifestasi
kewenangan yang diserahkan kepada pemerintah daerah
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah untuk menjalankan
hak dan kewajibannya. 30 Dalam pembentukannya telah di-
tetapkan serangkaian asas meliputi kejelasan tujuan, kelem-
bagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara
jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan
dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan serta keterbukaan. 31
Disamping itu juga, tidak boleh bertentangan dengan per-
atur a n perun dang-undangan yan g lebih tinggi. 32 Semua
parameter tersebut tentunya bertujuan agar konsep otonomi
daerah berjalan pada jalur yang telah ditetapkan, semakin
mendekatkan pelayanan pemerintah daerah kepada masya-
rakat dan yang terpenting tidak mengancam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.33

30
Eka N.A.M. Sihombing, Menggagas Peraturan Daerah Aspiratif, dalam M. Solly
Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Reformasi, Jakarta: Sofmedia, hal. 189.
31
Eka N.A.M. Sihombing, ibid, hal. 189.
32
Eka N.A.M. Sihombing, ibid, hal. 189.
33
Eka N.A.M. Sihombing, ibid, hal. 189.

52
Eka N.A.M. Sihombing

C. Proses Pembentukan Peraturan Daerah


Sebagaimana telah dikemukakan dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, diketahui jika peraturan daerah
merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan
yang tentunya proses pembentukannya mengikuti proses
pembentukan peraturan perundang-undangan. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan. Dengan demikian, maka
peraturan daerah sebagai salah satu jenis peraturan perundang-
undangan dalam proses pembentukannya juga melalui tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau pene-
tapan, dan pengundangan.34 Berikut ini akan diuraikan proses
pembentukan peraturan daerah berdasarkan tahapan tersebut.
C.1. Tahapan Perencanaan
Ketentuan Pasal 239 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa
Perencanaan penyusunan Peraturan daerah dilakukan dalam
program pembentukan Peraturan daerah.35 Program Pembentukan
Peraturan Daerah/Program Legislasi Daerah adalah instrumen
perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi

34
Jika dibandingkan ketentuan ini dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
menyatakan bahwa Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan
Peraturan Perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,
teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan
penyebarluasan, maka akan ditemukan sedikit perbedaan, yaitu pada tahapan
penyebarluasan dimana pada rezim Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan penyebarluasan peraturan perundang-
undangan merupakan tindak lanjut dari pembentukan peraturan perundang-undangan,
sedangkan pada rezim Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan penyebarluasan peraturan perundang-undangan masih
termasuk pada tahapan pembentukan, padahal jika dilihat apa yang disebarluaskan tersebut
adalah peraturan perundang-undangan yang telah jadi, sehingga tepatlah jika
penyebarluasan peraturan perundang-undangan dikeluarkan dalam bagiaan (bukan lagi
termasuk) proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
35
Lihat juga ketentuan Pasal 32 jo Pasal 39 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang juga menyebutkan bahwa
Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota dilakukan dalam Prolegda.

53
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara


terencana, terpadu, dan sistematis.36 Hal tersebut secara jelas
menegaskan bahwa mekanisme pembentukan peraturan daerah
dimulai dari tahap perencanaan, yang dilakukan secara koordinatif
dan didukung oleh cara atau metode yang pasti, baku dan standar
yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat
peraturan perundang-undangan.37
Mekanisme penyusunan program pembentukan peraturan
daerah telah diatur secara rinci dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Per-
undang-undangan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah. Dalam beberapa ketentuan di atas disebutkan bahwa
Program Pembentukan Peraturan Daerah dapat disusun dan
dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD.38

36
Terencana maksudnya perumusan Prolegda disiapkan terlebih dahulu secara baik,
misalnya melalui kajian akademik sebagaimana telah diperintahkan dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011. Terpadu maksudnya pembentukan Prolegda dilakukan secara
bersama-sama dan bersinergi antara baik dari Pemerintah Daerah maupun DPRD, dengan
melibatkan para pemangku kepentingan. Sistematis maksudnya pembentukan Prolegda
mengikuti ketentuan hukum dan dilakukan menggunakan mekanisme yang sistemik, lihat
Yusdiyanto, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Program Legislasi Daerah, dalam Fiat
Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No. 2 Mei-Agustus 2012. Lihat juga ketentuan Pasal 1 angka 10
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
37
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Buku Pedoman tentang Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legislasi Daerah, 2012, hal 1 dalam http://bphn.go.id/data/documents/
pedoman_penyusunan_prolegda.pdf diakses tanggal 01 Maret 2018.
38
Dalam Buku Pedoman tentang Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Daerah yang disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, bahwa dalam pelaksanaan
penyusunan prolegda dapat dilakukan melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut: 1. Tahap
Inventarisasi: a) Inventarisasi usulan Prolegda di lingkungan Pemerintah; b) Inventarisasi
usulan Prolegda di lingkungan DPRD. 2. Tahap seleksi: a) Penyeleksian Usulan Prolegda
di lingkungan pemerintah daerah; b) Penyeleksian Usulan Prolegda di lingkungan DPRD.
3. Tahapan koordinasi antara Pemerintah daerah dan DPRD. 4. Tahap Penetapan. 5. Tahap
penyebarluasan Prolegda. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Buku Pedoman tentang
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, 2012, dalam http://bphn.go.id/
data/documents/pedoman_penyusunan_prolegda.pdf diakses tanggal 01 Maret 2018.

54
Eka N.A.M. Sihombing

Penyusunan program pembentukan peraturan daerah di


lingkungan pemerintah daerah adalah sebagai berikut:39
(1) Kepala Daerah memerintahkan pimpinan SKPD menyusun
Prolegda di lingkungan pemerintah daerah.
(2) Penyusunan Propemperaturan daerah di lingkungan
pemerintah daerah provinsi dikoordinasikan oleh perangkat
daerah yang membidangi hukum provinsi.
(3) Penyusunan Propemperaturan daerah dapat mengikut-
sertakan instansi vertikal terkait yang terdiri atas:
a. Instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum; dan/atau
b. Instansi vertikal terkait sesuai dengan:
1) Kewenangan;
2) Materi muatan; atau
3) Kebutuhan.
(4) Hasil penyusunan Propemperaturan daerah di-
ajukan oleh perangkat daerah yang membidangi
hukum provinsi/kabupaten/Kota kepada Kepala
Daerah melalui Sekretaris Daerah
(5) Kepala Daerah menyampaikan hasil penyusunan
Propemperaturan daerah di lingkungan
Adapun penyusunan program pembentukan peraturan
daerah di lingkungan DPRD adalah sebagai berikut:40

39
Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat
(3), Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 42 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 11 dan
Pasal 12, dan 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah.
40
Lihat lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 14 Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 37 dan Pasal 42 Peraturan
Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Pasal 14 dan
Pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.

55
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

(1) Penyusunan Propemperaturan daerah Provinsi di lingkungan


DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh Badan Pembentukan
Peraturan daerah.
(2) Ketentuan mengenai penyusunan Propemperaturan daerah
di lingkungan DPRD diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi.
Dalam Pasal 16 disebutkan bahwa Propemperaturan
daerah antara pemerintah daerah dan DPRD dikoordinasikan
oleh DPRD melalui Badan Pembentukan Peraturan Daerah,
dan hasil penyusunan tersebut disepakati menjadi program
pembentukan peraturan daerah dan ditetapkan dalam rapat
paripurna DPRD untuk ditetapkan dengan keputusan DPRD.
Memperhatikan pengaturan yang demikian, Badan Pem-
bentukan Peraturan Daerah dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya paling tidak melakukan inventarisasi dan kajian
tentang berbagai peraturan daerah yang masih berlaku maupun
yang akan dibentuk, melalui kegiatan:41
a. Menginventarisasi seluruh Peraturan daerah yang sudah ada
untuk disusun melalui klasifikasi sebagai berikut:
1) Peraturan daerah yang sudah tidak berfungsi sebagai
instrumen aturan hukum.
Peraturan Daerah yang demikian perlu diusulkan untuk
dicabut dan diganti dengan Peraturan daerah yang baru.
2) Peraturan daerah yang sebagian materinya sudah tidak
sesuai dengan kondisi sosiologis masyarakat atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
sehingga Peraturan daerah yang demikian perlu
dilakukan perubahan atau diganti.
3) Peraturan daerah yang masih berlaku secara efektif.
b. Peraturan Daerah yang harus dibuat, dengan memperhatikan:
1) Adanya perintah dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi tingkatannya, baik undang-undang
ataupun peraturan pemerintah

41
Marzuki, Peranan Program Legislasi Daerah/Program Pembentukan Peraturan Daerah
Dalam Proses Pembentukan Peraturan Daerah, Makalah: 2015, hal. 7.

56
Eka N.A.M. Sihombing

2) Adanya inisiatif dari Anggota DPRD maupun dari


Pemerintah Daerah
3) Adanya inisiatif rancangan Peraturan Daerah yang berasal
dari masyarakat yang kemudian disalurkan melalui DPRD.
Berdasarkan inventarisasi yang demikian, maka Badan
Pembentukan Peraturan Daerah menyusun rancangan Pro-
gram Pembentukan Peraturan Daerah selama masa bakti DPRD,
yang kemudian berdasarkan skala prioritas disusun sesuai
tahun anggaran. Rancangan dimaksud kemudian dibahas
bersama dengan Pemerintah Daerah untuk disepakati, yang
kemudian dibahas dalam Rapat Paripurna DPRD untuk mem-
peroleh persetujuan. Meski demikian, dalam hal-hal tertentu
dapat terjadi pembentukan Peraturan Daerah diluar Program
Legislasi Daerah, disebabkan beberapa hal: ada kebutuhan
yang sangat mendesak maupun karena perintah peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi untuk membentuk
Peraturan Daerah. Hal ini dapat diperhatikan dalam ketentuan
Pasal 239 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menentukan dalam
program pembentukan peraturan daerah dapat dimuat daftar
kumulatif terbuka yang terdiri atas: akibat putusan Mahkamah
Agung dan terkait APBD. Demikian juga dalam program pem-
bentukan peraturan daerah pada kabupaten/kota, selain terkait
dengan putusan Mahkamah Agung dan APBD, dapat memuat
program pembentukan peraturan daerah yang berkaitan dengan
penataan kecamatan dan desa.
Bahkan dalam keadaan tertentu, DPRD atau Kepala Daerah
dapat mengajukan rancangan peraturan daerah di luar program
pembentukan peraturan daerah karena alasan:42

42
Llihat lebih lanjut ketentuan menurut Pasal 239 ayat (7) Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

57
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

a. Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau


bencana alam;
b. Menindaklanjuti kerja sama dengan pihak lain;
c. Mengatasi keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya
urgensi atas suatu Rancangan Peraturan daerah yang dapat
disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus
menangani bidang pembentukan peraturan daerah dan unit
yang menangani bidang hukum pada Pemerintah Daerah
d. Akibat pembatalan oleh Menteri untuk Peraturan daerah
Provinsi dan oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
untuk Peraturan daerah Kabupaten/Kota, dan
e. Perintah dari ketentuan peraturan perundan-undangan yang
lebih tinggi setelah program pembentukan Peraturan daerah
ditetapkan.
C.2. Tahapan Penyusunan
C.2.1. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di Lingkungan
Pemerintah Daerah
Ketentuan Pasal 25 sampai dengan Pasal 32 Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Produk Hukum
Daerah menguraikan secara rinci mengenai proses penyusunan
rancangan Peraturan Daerah di lingkungan Pemerintah Daerah.
Dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kepala Daerah
memerintahkan perangkat daerah pemrakarsa untuk menyusun
rancangan peraturan daerah provinsi berdasarkan program
pembentukan peraturan daerah. Dalam menyusun rancangan
peraturan daerah, Kepala Daerah membentuk tim penyusun
rancangan peraturan daerah yang ditetapkan dengan keputusan
Kepala Daerah dengan susunan tim sebagai berikut:
a. Kepala Daerah;
b. Sekretaris Daerah;
c. Perangkat Daerah pemrakarsa;
d. Perangkat Daerah yang membidangi hukum provinsi;
e. Perangkat Daerah terkait; dan
f. Perancang Peraturan Perundang-undangan.

58
Eka N.A.M. Sihombing

Selain itu, Kepala Daerah dapat mengikutsertakan instansi


vertikal yang terkait dan/atau akademisi dalam keanggotaan
tim penyusun rancangan Peraturan daerah. Tim Penyusun
dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh perangkat daerah
pemrakarsa. Ketentuan ini menunjukkan bahwa dalam
penunjukan Ketua Tim penyusunan Peraturan daerah, perangkat
daerah pemrakarsa diberikan diskresi untuk menunjuk Ketua
Tim, apakah berasal dari perangkat daerah, perancang peraturan
perundang-undangan atau akademisi. Namun, dalam hal ketua
tim adalah pejabat lain yang ditunjuk, pimpinan perangkat daerah
pemrakarsa tetap bertanggungjawab terhadap materi muatan
rancangan peraturan daerah yang disusun.
Dalam penyusunan rancangan peraturan daerah, Tim
Penyusun dapat mengundang peneliti dan/atau tenaga ahli dari
lingkungan perguruan tinggi atau organisasi kemasyarakatan
sesuai dengan kebutuhan. Ketua tim penyusun rancangan
Peraturan daerah melaporkan kepada sekretaris daerah mengenai
perkembangan dan/atau permasalahan yang dihadapi dalam
penyusunan rancangan peraturan daerah untuk mendapatkan
arahan atau keputusan.
Rancangan peraturan daerah yang telah disusun diberi paraf
koordinasi oleh ketua tim penyusun dan perangkat daerah
pemrakarsa. Ketua tim penyusun menyampaikan hasil rancangan
peraturan daerah kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris
Daerah untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi.
Sekretaris daerah provinsi menugaskan kepala perangkat
daerah yang membidangi hukum provinsi untuk mengoor-
dinasikan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi rancangan peraturan daerah. Dalam mengoordinasikan
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi,
pimpinan perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi
dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
(Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM yang ada di
wilayah masing-masing).

59
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Sekretaris daerah provinsi menyampaikan hasil peng-


harmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi kepada
pemrakarsa dan pimpinan perangkat daerah provinsi terkait
untuk mendapatkan paraf persetujuan pada setiap halaman
rancangan peraturan daerah. Sekretaris daerah menyampaikan
rancangan peraturan daerah yang telah dibubuhi paraf
persetujuan kepada Kepala Daerah. Setiap rancangan peraturan
daerah yang merupakan konsep akhir yang akan disampaikan
kepada DPRD harus dipaparkan ketua tim kepada Kepala Daerah.
C.2.2. Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di Lingkungan
DPRD
Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD dapat
diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi, atau
Badan Pembentukan Peraturan daerah berdasarkan program
pembentukan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah
yang telah diajukan oleh anggota DPRD, komisi, gabungan komisi,
atau badan pembentukan peraturan daerah disampaikan secara
tertulis kepada pimpinan DPRD disertai penjelasan atau keterangan
dan/atau naskah akademik.43 Penjelasan atau keterangan di-
maksud memuat: a. pokok pikiran dan materi muatan yang diatur;
b. daftar nama; dan c. tanda tangan pengusul. Sedangkan Naskah
akademik yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan,
memuat: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang
ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, ruang lingkup, atau objek
yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan.
Penyampaian rancangan peraturan daerah diberikan nomor
pokok oleh sekretariat DPRD. Dalam hal rancangan peraturan
daerah provinsi mengatur mengenai: a. APBD provinsi; b. pen-
cabutan peraturan daerah provinsi; atau c. perubahan peraturan
daerah provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi,

43
Ketentuan ini tidak menjelaskan secara eksplisit pengklasifikasian rancangan Peraturan
daerah yang harus disertai Penjelasan, keterangan dan/atau Naskah Akademik. Hal ini
menimbulkan keragu-raguan bagi Perangkat Daerah Pemrakarsa maupun DPRD dalam
menentukan pilihan, apakah suatu Rancangan Peraturan daerah harus disertai Penjelasan,
keterangan dan/atau Naskah Akademik. Untuk itu menurut hemat Penulis perlu dirumuskan
pengklasifikasian rancangan peraturan daerah yang harus disertai Penjelasan, keterangan
dan/atau Naskah Akademik. Rumusan ini harus dimuat dalam perubahan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dimana.

60
Eka N.A.M. Sihombing

penyampaian rancangan peraturan daerah provinsi tersebut


disertai dengan penjelasan atau keterangan yang memuat pokok
pikiran dan materi muatan yang diatur.
Pimpinan DPRD provinsi menyampaikan rancangan
peraturan daerah kepada Badan Pembentukan Peraturan Daerah
untuk dilakukan pengkajian. Pengkajian dilakukan dalam rangka
pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi
rancangan peraturan daerah. Badan pembentukan peraturan
daerah menyampaikan hasil pengkajian rancangan peraturan
daerah kepada pimpinan DPRD. Pimpinan DPRD menyampaikan
hasil pengkajian Badan Pembentukan Peraturan daerah dalam
rapat paripurna DPRD. Pimpinan DPRD menyampaikan rancangan
peraturan daerah kepada anggota DPRD provinsi dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) hari sebelum rapat paripurna DPRD.
Dalam rapat paripurna DPRD: a. pengusul memberikan penjelasan;
b. fraksi dan anggota DPRD lainnya memberikan pandangan;
dan c. pengusul memberikan jawaban atas pandangan fraksi dan
anggota DPRD provinsi lainnya.
Rapat paripurna DPRD memutuskan usul rancangan
peraturan daerah, berupa: a. persetujuan; b. persetujuan dengan
pengubahan; atau c. penolakan. Dalam hal persetujuan dengan
pengubahan, pimpinan DPRD menugaskan komisi, gabungan
komisi, Badan Pembentukan Peraturan daerah, atau panitia
khusus untuk menyempurnakan rancangan peraturan daerah
tersebut. Penyempurnaan rancangan peraturan daerah provinsi
disampaikan kembali kepada pimpinan DPRD provinsi.
Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh DPRD
disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk
dilakukan pembahasan. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD
dan Kepala Daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah
mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah rancangan
peraturan daerah yang disampaikan oleh DPRD dan rancangan
peraturan daerah yang disampaikan oleh Kepala Daerah
digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.

61
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

C.3. Tahap Pembahasan


C.3.1. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang
Berasal dari Kepala Daerah
Pembahasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari
Kepala Daerah disampaikan dengan surat pengantar Kepala
Daerah kepada pimpinan DPRD. Surat pengantar Kepala Daerah
dimaksud, paling sedikit memuat: a. latar belakang dan tujuan
penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. materi
pokok yang diatur, yang menggambarkan keseluruhan substansi
rancangan peraturan daerah.
Dalam hal rancangan peraturan daerah yang berasal dari
Kepala Daerah disusun berdasarkan naskah akademik, naskah
akademik disertakan dalam penyampaian rancangan peraturan
daerah. Dalam rangka pembahasan rancangan peraturan daerah
di DPRD, perangkat daerah pemrakarsa memperbanyak
rancangan peraturan daerah sesuai jumlah yang diperlukan.
Kepala Daerah membentuk tim dalam pembahasan
rancangan peraturan daerah di DPRD. Tim dimaksud diketuai
oleh sekretaris daerah atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala
Daerah. Ketua tim dimaksud melaporkan perkembangan dan/
atau permasalahan dalam pembahasan rancangan peraturan
daerah di DPRD kepada Kepala Daerah untuk mendapatkan
arahan dan keputusan.
C.3.2. Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah yang Berasal
dari DPRD
Pembahasan rancangan peraturan daerah yang berasal dari
DPRD disampaikan dengan surat pengantar pimpinan DPRD
kepada Kepal Daerah. Surat pengantar pimpinan DPRD
dimaksud paling sedikit memuat: a. latar belakang dan tujuan
penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. materi
pokok yang diatur, yang menggambarkan keseluruhan substansi
rancangan peraturan daerah. Dalam hal rancangan peraturan
daerah yang berasal dari DPRD disusun berdasarkan naskah
akademik, naskah akademik disertakan dalam penyampaian
rancangan peraturan daerah. Dalam rangka pembahasan

62
Eka N.A.M. Sihombing

rancangan peraturan daerah di DPRD, sekretariat DPRD


memperbanyak rancangan peraturan daerah sesuai jumlah
yang diperlukan.
Rancangan peraturan daerah yang berasal dari DPRD atau
Kepala Daerah dibahas oleh DPRD atau Kepala Daerah untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Pembahasan dimaksud,
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu pem-
bicaraan tingkat I dan pembicaraan tingkat II.
Pembicaraan tingkat I meliputi:
a. Dalam hal rancangan peraturan daerah berasal dari Kepala
Daerah dilakukan dengan:
1) Penjelasan Kepala Daerah dalam rapat paripurna
mengenai rancangan peraturan daerah;
2) Pemandangan umum fraksi terhadap rancangan
peraturan daerah; dan
3) Tanggapan dan/atau jawaban Kepala Daerah terhadap
pemandangan umum fraksi.
b. Dalam hal rancangan peraturan daerah berasal dari DPRD
dilakukan dengan:
1) Penjelasan pimpinan komisi, pimpinan gabungan
komisi, pimpinan Badan Pembentukan Peraturan
daerah, atau pimpinan panitia khusus dalam rapat
paripurna mengenai rancangan peraturan daerah;
2) Pendapat Kepala Daerah terhadap rancangan peraturan
daerah provinsi; dan tanggapan dan/atau jawaban fraksi
terhadap pendapat Kepala Daerah.
3) Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan bersama dengan Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.
c. Pembahasan dalam rapat komisi, gabungan komisi, atau
panitia khusus yang dilakukan bersama dengNan Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuk untuk mewakilinya.

63
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Pembicaraan tingkat II meliputi:


a. Pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang
didahului dengan:
1) Penyampaian laporan pimpinan komisi/pimpinan
gabungan komisi/pimpinan panitia khusus yang berisi
pendapat fraksi dan hasil pembahasan; dan
2) Permintaan persetujuan dari anggota secara lisan oleh
pimpinan rapat paripurna.44
b. Pendapat akhir Kepala Daerah.
Rancangan peraturan daerah dapat ditarik kembali sebelum
dibahas bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah. Penarikan kembali
rancangan peraturan daerah oleh Kepala Daerah, disampaikan
dengan surat Kepala Daerah disertai alasan penarikan. Penarikan
kembali rancangan peraturan daerah oleh DPRD, dilakukan dengan
keputusan pimpinan DPRD dengan disertai alasan penarikan.
Rancangan peraturan daerah yang sedang dibahas hanya dapat
ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan
Kepala Daerah. Penarikan kembali rancangan peraturan daerah
hanya dapat dilakukan dalam rapat paripurna DPRD yang dihadiri
oleh Kepala Daerah. Rancangan peraturan daerah yang ditarik
kembali tidak dapat diajukan lagi pada masa sidang yang sama.
C.4. Tahap Penetapan
Sebelum tahapan penetapan, berdasarkan ketentuan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang
Pembentukan Produk Hukum Daerah, rancangan Peraturan
daerah harus mendapatkan pembinaan/fasilitasi, evaluasi dan
pemberian nomor registrasi.
C.4.1. Pembinaan Rancangan Peraturan Daerah
Pembinaan terhadap rancangan Peraturan daerah berbentuk
provinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui Direktur

44
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Dalam hal rancangan peraturan daerah
tidak mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah, rancangan peraturan
daerah tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPRD masa sidang itu (lihat
ketentuan Pasal 75 jo. Pasal 78 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah).

64
Eka N.A.M. Sihombing

Jenderal Otonomi Daerah. Adapun pembinaan terhadap rancangan


peraturan daerah kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur.
Pembinaan dilakukan fasilitasi terhadap rancangan peraturan
daerah sebelum mendapat persetujuan bersama antara pemerintah
daerah dengan DPRD. Fasilitasi terhadap rancangan peraturan
daerah tidak diberlakukan terhadap rancangan peraturan daerah
yang dilakukan evaluasi.45 Rancangan peraturan daerah disampaikan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Otonomi
Daerah bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota.
Fasilitasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri melalui
Direktur Jenderal Otonomi Daerah bagi provinsi dan Gubernur
bagi kabupaten/kota dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari
setelah diterima rancangan peraturan daerah. Apabila dalam
tenggang waktu dimaksud Menteri Dalam Negeri melalui
Direktur Jenderal Otonomi Daerah bagi provinsi dan Gubernur
bagi kabupaten/kota tidak memberikan fasilitasi, maka terhadap
rancangan peraturan daerah dilanjutkan tahapan persetujuan
bersama antara Kepala Daerah dan DPRD. Fasilitasi untuk provinsi
dibuat dalam bentuk surat Direktur Jenderal Otonomi Daerah
atas nama Menteri Dalam Negeri tentang fasilitasi rancangan
peraturan daerah provinsi, sedangkan fasilitasi untuk kabupaten/kota
dibuat dalam bentuk surat sekretaris daerah atas nama Gubernur
tentang fasilitasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota.
Surat dimaksud ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah untuk
penyempurnaan rancangan peraturan daerah se belum di-
tetapkan guna menghindari dilakukannya pembatalan.46

45
Ketentuan Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah menyebutkan rancangan
Peraturan daerah yang dilakukan evaluasi sesuai dengan Undang-Undang di bidang
pemerintahan daerah adalah: a. RPJPD; b. RPJMD; c. APBD, perubahan APBD,
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD; d. pajak daerah; e. retribusi daerah; dan f. tata
ruang daerah. Sedangkan rancangan Peraturan daerah yang dilakukan evaluasi sesuai
peraturan perundang-undangan lainnya adalah: a. rencana pembangunan industri; dan b.
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi
kelurahan atau kelurahan menjadi Desa.
46
Kewenangan pembatalan peraturan daerah sebagamana dinyatakan dalam Pasal 251
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor137/PUU-XIII/2015,
frase “Perda Kabupaten/Kota dan” dalam ketentuan Pasal 251 ayat (2) dan ayat (4), frase

65
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

C.4.2. Evaluasi Rancangan Peraturan daerah


Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi rancangan
peraturan daerah provinsi dan Gubernur melakukan evaluasi
rancangan peraturan daerah kabupaten/kota sesuai dengan:
a. Undang-undang di bidang pemerintahan daerah; dan
b. Peraturan perundang-undangan lainnya.
Evaluasi rancangan peraturan daerah sesuai dengan Undang-
Undang di bidang pemerintahan daerah, terdiri atas:
a. RPJPD;
b. RPJMD;
c. APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD;
d. Pajak daerah;
e. Retribusi daerah; dan
f. Tata ruang daerah.
Evaluasi rancangan peraturan daerah sesuai peraturan
perundang-undangan lainnya antara lain:
a. Rencana pembangunan industri; dan
b. Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau
perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan
menjadi Desa.

“Perda Kabupaten/Kota dan/atau” dalam Pasal 251 ayat (3), dan frase “penyelenggara
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda
Kabupaten/Kota dan” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian baik Menteri Dalam Negeri
maupun Gubernur tidak lagi berwenang membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota,
adapun pembatalan Perda harus dilakukan melalui mekanisme judicial review di MA.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 14 Juni 2017 juga mengeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/
PUU-XIV/2016 tentang Pengujian atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Para pemohon dalam perkara ini kembali mempermasalahkan
konstitusionalitas dari ketentuan mengenai pembatalan peraturan daerah baik peraturan
daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota yang diatur di dalam Pasal 251
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 ini sekaligus melengkapi
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015, sehingga pemerintah pusat
tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan peraturan daerah baik
peraturan daerah provinsi maupun peraturan daerah kabupaten/kota.(lebih lanjut lihat :
Eka NAM Sihombing, Perkembangan Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah Dan
Peraturan Kepala Daerah, dalam Jurnal Yudisial Jilid 10, Terbitan 2 Tahun 2017, hal 217-234)
66
Eka N.A.M. Sihombing

C.4.3. Evaluasi Rancangan Peraturan daerah Provinsi


Rancangan peraturan daerah provinsi yang mengatur tentang
APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan rancangan peraturan
Gubernur tentang penjabaran APBD yang telah disetujui bersama
sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lama 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris
Jenderal. Rancangan peraturan daerah dimaksud disampaikan
Sekretaris Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kepada Direktur
Jenderal Bina Keuangan Daerah untuk dievaluasi. Rancangan
peraturan daerah provinsi yang mengatur tentang RPJPD,
RPJMD, tata ruang daerah dan rencana pembangunan industri
provinsi yang telah disetujui bersama sebelum ditetapkan oleh
Gubernur paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri
Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal. Rancangan peraturan
daerah dimaksud disampaikan Sekretaris Jenderal paling lama 3
(tiga) hari kepada Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah
untuk dievaluasi.
Rancangan peraturan daerah provinsi harus mendapat evaluasi
Menteri Dalam Negeri sebelum ditetapkan oleh Gubernur.
Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi yaitu:
a. Melalui Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah terhadap
rancangan peraturan daerah provinsi tentang pajak daerah
dan retribusi daerah dan berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan;
b. Melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah
terhadap rancangan peraturan daerah provinsi tentang tata
ruang daerah dan berkoordinasi dengan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang tata ruang;
c. Melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah
terhadap rancangan peraturan daerah provinsi tentang
rencana pembangunan industri dan berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
dibidang perindustrian.

67
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah provinsi


tersebut diatas ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri tentang evaluasi. Keputusan Menteri Dalam Negeri
tentang evaluasi diharmonisasikan dan dicetak pada kertas
bertanda khusus oleh Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri.
Permohonan pengharmonisasian evaluasi dilakukan dengan
menyampaikan:
a. Surat permohonan harmonisasi;
b. Rancangan peraturan daerah disertai softcopy dalam bentuk
pdf; dan
c. Rancangan Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang evaluasi
disertai softcopy.
Dalam rangka pengharmonisasian dibentuk tim harmonisasi
evaluasi terhadap rancangan peraturan daerah provinsi pada
Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri.
C.4.4. Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota kepada Gubernur paling lama 3 (tiga) hari
sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota yang mengatur tentang:
a. RPJPD;
b. RPJMD;
c. APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan
APBD;
d. Pajak daerah;
e. Retribusi daerah;
f. Tata ruang daerah;
g. Rencana pembangunan industri kabupaten/kota; dan
h. Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau
perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan
menjadi Desa.
Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan Bupati/
Walikota tentang penjabaran APBD kepada Gubernur paling lama
3 (tiga) hari sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Rancangan

68
Eka N.A.M. Sihombing

peraturan daerah kabupaten/kota harus mendapat evaluasi


Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan
oleh Bupati/Walikota.
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam melakukan
evaluasi rancangan peraturan daerah kabupaten/kota tentang:
a. Pajak daerah dan retribusi daerah berkonsultasi dengan
Menteri Dalam Negeri melalui Direktur Jenderal Bina
Keuangan Daerah dan selanjutnya Menteri Dalam Negeri
berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang keuangan; dan
b. Tata ruang daerah berkonsultasi dengan Menteri Dalam
Negeri melalui Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah
dan selanjutnya Menteri Dalam Negeri berkoordinasi dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang tata ruang.
Konsultasi Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat kepada
Menteri Dalam Negeri dalam bentuk penyampaian keputusan
Gubernur tentang evaluasi rancangan peraturan daerah
kabupaten/kota untuk dilakukan pengkajian. Konsultasi
rancangan peraturan daerah dimaksud ke Kementerian Dalam
Negeri dikoordinasikan oleh perangkat daerah yang membidangi
hukum provinsi.
C.4.5. Penetapan Peraturan Daerah
Rancangan peraturan daerah yang telah diberikan nomor
registrasi disampaikan Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur
dan untuk peraturan daerah kabupaten/kota disampaikan
Gubernur kepada Bupati/Walikota untuk dilakukan penetapan
dan pengundangan. Penandatanganan rancangan peraturan
daerah dimaksud dilakukan oleh Kepala Daerah. Dalam hal
Kepala Daerah berhalangan sementara atau berhalangan tetap
penandatanganan rancangan peraturan daerah dilakukan oleh
pelaksana tugas, pelaksana harian atau penjabat Kepala Daerah.
Penandatanganan peraturan daerah atau nama lainnya dibuat
dalam rangkap 4 (empat). Pendokumentasian naskah asli
Peraturan daerah dimaksud oleh: a. DPRD b. Sekretaris daerah;

69
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

c. perangkat daerah yang membidangi hukum provinsi atau


bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan d. perangkat
daerah pemrakarsa.
C.5. Tahap Pengundangan
Pengundangan Peraturan daerah yang telah ditetapkan,
diundangkan dalam lembaran daerah. Lembaran daerah di-
maksud merupakan penerbitan resmi pemerintah daerah.
Pengundangan merupakan pemberitahuan secara formal suatu
peraturan daerah, sehingga mempunyai daya ikat pada masyarakat.
Tambahan lembaran daerah memuat penjelasan peraturan
daerah. Tambahan lembaran daerah dicantumkan nomor
tambahan lembaran daerah. Tambahan lembaran daerah,
ditetapkan bersamaan dengan pengundangan Peraturan daerah.
Nomor tambahan lembaran daerah merupakan kelengkapan dan
penjelasan dari lembaran daerah.
D. Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan
Peraturan Daerah
Sebagaimana telah dikemukan jika partisipasi masyarakat
dalam pembentukan peraturan daerah pelaksanaannya meng-
ikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, hanya saja masih
belum disebutkan bagaimana wujud nyata dari partisipasi
masyarakat tersebut. Dalam penjelasan Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dapat diketahui bahwa partisipasi
masyarakat tersebut ada pada DPRD. Hal ini terindikasikan dari
penjelasan bahwa “hak masyarakat dalam ketentuan ini
dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD”.
Berdasarkan penjelasan tersebut, partisipasi masyarakat dalam
penyusunan peraturan daerah hanya pada tahap penyiapan dan
pembahasan rancangan Peraturan daerah di DPRD yang di-
laksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD. Meskipun
penyiapan rancangan peraturan daerah dapat juga dilakukan oleh
70
Eka N.A.M. Sihombing

Kepala Daerah, lebih-lebih rancangan Peraturan daerah tentang


APBD hanya berasal dari Kepala Daerah, namun hal tersebut
belum disentuh dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Philipus M. Hadjon47 mengemukakan bahwa konsep partisi-
pasi masyarakat berkaitan dengan konsep keterbukaan. Dalam
artian, tanpa keterbukaan pemerintahan tidak mungkin
masyarakat dapat melakukan peranserta dalam kegiatan-kegiatan
pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, keterbukaan, baik
“openheid” maupun “openbaar-heid” sangat penting artinya bagi
pelaksanaan pemerintahan yang baik dan demokratis. Dengan
demikian keterbukaan dipandang sebagai suatu asas ketata-
negaraan mengenai pelaksanaan wewenang secara layak.
Konsep partisipasi terkait dengan konsep demokrasi,
sebagaimana dikemukakan oleh Philippus M. Hadjon 48 bahwa
sekitar tahun 1960-an muncul suatu konsep demokrasi yang
disebut demokrasi partisipasi. Dalam konsep ini rakyat mem-
punyai hak untuk ikut memutuskan dalam proses pengambilan
keputusan pemerintahan. Dalam konsep demokrasi, asas keter-
bukaan atau partisipasi merupakan salah satu syarat minimum.
Asas keterbukaan sebagai salah satu syarat minimum dari
demokrasi terungkap pula dalam pendapat Couwenberg dan Sri
Soemantri Mertosoewignjo. Menurut S.W. Couwenberg, lima asas
demokratis yang melandasi rechtsstaat, dua diantaranya adalah
asas pertanggungjawaban dan asas public (openbaarheidsbeginsel),
yang lainnya adalah: asas hak-hak politik, asas mayoritas, dan asas
perwakilan.49 Senada dengan itu, Sri Soemantri M. 50 menge-

47
Philippus M. Hadjon, Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerintahan
yang Demokratis, Pidato, diucapkan dalam Lustrum III Ubhara Surya, 1997, hal. 4-5
48
Philippus M. Hadjon, ibid, hal. 7-8
49
Philippus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, 1987, hal. 76.
50
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni,
1992, hal. 29.
71
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

mukakan bahwa ide demokrasi menjelmakan dirinya dalam lima


hal, dua diantaranya adalah pemerintah harus bersikap terbuka
(openbaarheid van bestuur) dan dimungkinkannya rakyat yang
berkepentingan menyampaikan keluhannya mengenai tindakan-
tindakan pejabat yang dianggap merugikan.
Kebijakan otonomi daerah dengan sistem pemerintahan
desentralis telah memberikan ruang kepada masyarakat untuk
berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan-kebijakan
daerahnya. Dalam hal ini ada empat hal yang dapat dimanfaatkan
seluas-luasnya oleh masyarakat dengan kebijakan otonomi daerah
dan sistem pemerintahan desentralis. Pertama, partisipasi
masyarakat dalam pembentukan kebijakan dapat memperkuat
konsolidasi demokrasi. Dengan otonomi, akuntabilitas peme-
rintah daerah lebih terjamin dan dapat diawasi oleh masyarakat.
Dukungan dan partisipasi semua elemen masyarakat yang sesuai
dengan fungsinya masing-masing, baik dari kalangan LSM,
Ormas, OKP dan kelompok masyarakat lokal lainnya sebagai
bagian dari implementasi otonomi daerah dan juga dapat dijadikan
sebagai indikator bahwa proses demokrasi sudah berjalan. David
Held menyatakan bahwa dasar pembenaran bagi adanya
demokrasi yang berarti pemerintahan oleh masyarakat adalah
penentuan pembuatan keputusan publik oleh anggota-anggota
komunitas politik yang bebas dan sama kedudukannya.51 Kedua,
Dengan otonomi daerah dan sistem pemerintahan desentralis,
masyarakat dapat berpartisipasi dalam menciptakan pemerin-
tahan yang efektif dan efisien. Hal ini didorong dengan sistem
pemilihan Kepala Daerah (pilkada) langsung yang sudah
diimplementasikan sejak Juni 2005. Dalam hal ini pusat sama
sekali tidak memiliki hak untuk campur tangan. Semua masya-
rakat daerah berhak menyampaikan dan menyalurkan hak
pilihnya untuk memilih pemimpin mereka sesuai dengan hati
nurani dan diyakini dapat memberikan kesejahteraan bagi daerah
dan masyarakatnya. Kondisi tersebut bagi pemerintah daerah
semakin mempermudah mengurus warganya, karena warga

51
David Held, Models of Democracy, California: Stanford University Press, 1987, hal. 146.

72
Eka N.A.M. Sihombing

dalam suatu daerah lebih homogen bila dibandingkan dengan


seluruh warga negara Indonesia. Disamping itu pelayanan kepada
publik akan semakin cepat, karena jarak antara pemerintah dan
warga masyarakat semakin dekat. Ketiga, Dengan otonomi daerah
dan sistem pemerintahan desentralis, masyarakat akan mudah
menyalurkan aspirasinya dan berperan dalam merumuskan
berbagai pembuatan kebijakan. Banyaknya kebijakan-kebijakan
yang dibuat di daerah, maka masyarakat sangat mudah
mengawasi, mengemukakan persetujuan atau tidak, saran, kritik
dan berbagai masukan lainnya. Partisipasi masyarakat yang besar
akan mempermudah pemerintah untuk memetakan kebutuhan
warga dan mengakomodir aspirasinya. Keempat, dengan otonomi
daerah dan sistem pemerintahan desentralis akan meningkatkan
pembagian hasil dari sumber daya alam dan kekayaan yang
dimiliki daerah. Selama ini pemerintah pusat sangat berkuasa
dalam mengeruk kekayaan daerah, tidak sedikit terjadinya
konflik antara pusat dan daerah akibat pembagian hasil yang tidak
seimbang dan proporsional. Sentralisasi pengelolaan keuangan
negara sangat hegemonik, hampir 95% penerimaan Pemerintah
Pusat dari daerah sementara sentralisasi pembelanjaannya
mencapai sekitar 80% per tahun.52
Pembentukan peraturan daerah merupakan implementasi
kewenangan otonomi daerah yang telah diserahkan kepada
pemerintah daerah dalam rangka menjalankan hak dan
kewajibannya. Dalam pembentukannya telah ditetapkan
serangkaian asas meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau
organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi
muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan,
kejelasan rumusan serta keterbukaan. Disamping itu juga, tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Semua kriteria tersebut tentunya bertujuan agar
konstruksi otonomi daerah berjalan pada koridor yang telah
ditetapkan, tidak jauh dari kesejahteraan masyarakat atau yang
terpenting tidak mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

52
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik, Yogyakarta: Insist Press,
2000, hal. 90.

73
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam sebuah


negara hukum yang demokratis tidak lagi semata-mata menjadi
wilayah dominasi eksekutif dan parlemen, namun juga sudah
menjadi bagian dari tanggung jawab masyarakat untuk ber-
partisipasi di dalamnya. 53 Beberapa catatan berikut meng-
identifikasikan suatu fenomena baru dalam pembentukan
Peraturan Daerah (Peraturan daerah) pada wajah otonomi daerah
saat ini, yaitu: pada tanggal 26 Juni 2008 sebanyak 783 peraturan
daerah dan 1 qanun dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, pem-
batalan peraturan daerah tersebut dikarenakan kebanyakan
rumusannya tidak jelas serta tidak berperspektif hak asasi
manusia, tidak berperspektif jender, tidak tidak berperspektif
lingkungan dan tidak berperspektif investasi. 54 Bahkan pada
tahun 2016 sebanyak 3143 peraturan daerah dan/atau peraturan
Kepala Daerah telah dibatalkan oleh Pemerintah sebab
menghambat iklim investasi di tanah air.55
Realitas ini jelas mencerminkan: Pertama, kewenangan
otonomi daerah seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab
telah merangsang Pemerintah Daerah untuk berlomba-lomba
membuat kebijakan daerah atau Peraturan daerah dalam rangka
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) nya, namun justru
cenderung membebani masyarakat dan dalam proses pem-
bentukan Peraturan daerah tersebut kurang memperhatikan
rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
Kedua, banyaknya Peraturan daerah yang dibatalkan pemerintah
pusat dapat mengindikasikan bahwa kesiapan dan kapabilitas
aparatur pemerintah daerah jelas masih diragukan untuk men-
jalankan kewenangan otonomi mengatur daerahnya dalam upaya
mencapai kesejahteraan rakyat. Ironisnya lagi, bila pemerintah
daerah saja masih “diragukan kemampuannya”, bagaimana
dengan keberdayaan masyarakat daerah?; Ketiga, corak budaya
politik yang berkembang di masyarakat belum mencerminkan

53
Mukhlis Taib, Dinamika Perundang-Undangan di Indonesia, Jakarta: Refika Aditama,
2017, hal. 255.
54
Harian Kompas, 27 Juni 2008, hal 2
55
www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/../batal_perda_21_juni_2016.
pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2018.

74
Eka N.A.M. Sihombing

budaya politik partisipan 56 yang seharusnya tumbuh dan ber-


kembang dalam era otonomi daerah. Partisipasi masyarakat
terhadap kebijakan daerah lebih bersifat evaluatif, berada diluar
sistem politik dan tidak masuk dalam proses pembentukan
kebijakan itu sendiri. Hanya sebagian kecil masyarakat saja yang
telah berdaya melakukan feed back terhadap peraturan daerah
yang dianggap merugikan kepentingan mereka, dan yang perlu
digali adalah keberdayaan masyarakat seharusnya tidak saja dalam
mengevaluasi kebijakan daerah khususnya peraturan daerah,
tetapi juga dilibatkan (inklusif) dalam proses pembentukan dan
pelaksanaannya. Dari tahap pelaksanaan Peraturan daerah sendiri,
kebanyakan masyarakat buta akan informasi mengenai Peraturan
daerah yang diberlakukan di daerahnya sehingga efektifitas
pelaksanaan Peraturan daerah tidak optimal. Padahal, Pemerintah
daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerah dan untuk
menegakkan serta menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat dengan membentuk Satuan Polisi
Pamong Praja. Disisi lain trend pembatalan peraturan daerah
tersebut juga menimbulkan pertanyaan, bagaimana jika ternyata
dalam pembentukannya telah melibatkan partisipasi masyarakat
atau setidaknya peraturan daerah tersebut memang merupakan
aspirasi masyarakat.
Secara yuridis formal dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, inisiatif pembuatan
peraturan daerah (penyusunan draf rancangan peraturan daerah)
hanya melibatkan pihak eksekutif dan legislatif. Namun dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah masyarakat telah diberikan kesempatan untuk terlibat
dalam memberi masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka
penyiapan dan pembahasan rancangan peraturan daerah, yang
disampaikan melalui pihak legislatif sesuai dengan ketentuan
peraturan tata tertib DPRD. Untuk ini, dalam prakteknya timbul
pertanyaan sudah sanggupkah masyarakat mengambil kesempatan
strategis ini?. Disinilah letak permasalahannya yaitu kurangnya
kesadaran Pemerintah Daerah, baik pihak eksekutif maupun

56
A. Hoogerwerf, Politikologi, Airlangga, Jakarta, 1985, hal. 89.

75
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

legislatif untuk melibatkan/memberdayakan masyarakat dan


disisi lain masyarakat sendiri juga kurang inisiatif, tidak
terorganisir, dan tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk
terlibat secara produktif dalam proses penyusunan Peraturan
daerah tersebut.
Sebelum terbentuknya (dibaca jadinya) peraturan daerah,
proses kelahiran peraturan daerah selalu diawali dengan rancangan
peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah dapat berasal
dari DPRD atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu yang ber-
samaan (satu masa sidang) Kepala Daerah (Bupati/Walikota) dan
DPRD menyampaikan rancangan Peraturan daerah dengan
materi yang sama, maka yang dibahas adalah rancangan per-
aturan daerah yang disampaikan oleh DPRD, sedang rancangan
peraturan daerah yang disampaikan oleh Kepala Daerah di-
gunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Hal ini mem-
berikan penguatan terhadap DPRD dalam menjalankan fungsi
legislasi daerah dalam arti DPRD memiliki peluang dan kewe-
nangan yang luas dalam pembentukan peraturan daerah, sesuai
dengan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata
Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menyebutkan DPRD
memegang kekuasaan dalam membentuk Peraturan Daerah.
Penguatan DPRD dalam proses legislasi di daerah merupakan
konsekuensi logis dari lembaga tersebut sebagai lembaga per-
wakilan. Oleh karena itu DPRD dengan kedudukan sebagai
lembaga perwakilan rakyat daerah yang salah satu tugas dan
wewenangnya membentuk Peraturan daerah yang dibahas
bersama Kepala Daerah harus memiliki kepekaan dalam merespon
dan menampung aspirasi yang berkembang di masyarakat
(terutama masyarakat dari daerah pemilihan yang mereka wakili)
dalam proses pembahasan dan penentuan peraturan daerah.
Untuk mengkaji pembentukan Peraturan daerah partisipatif
dan pada tahapan mana dari rancangan peraturan daerah
tersebut yang memungkinkan terwujudnya partisipasi masya-
rakat, baik rancangan peraturan daerah inisiatif/prakarsa DPRD
maupun rancangan peraturan daerah usulan dari Kepala Daerah,

76
Eka N.A.M. Sihombing

maka pengkajian rancangan peraturan daerah akan difokuskan


pada tahapan atau tingkatan pembahasan yang dilakukan oleh
DPRD maupun Kepala Daerah. Pengkajian terhadap rancangan
peraturan daerah akan difokuskan pada tahap-tahap pem-
bahasannya. Hal ini untuk menemukan norma tentang peluang
dimana partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan rancangan
peraturan daerah dapat dilakukan beserta mekanismenya.
Ketentuan Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Rancangan Peraturan daerah disampaikan oleh anggota, komisi,
gabungan komisi, dan atau alat kelengkapan DPRD yang khusus
menangani bidang legislasi. Berdasarkan atas ketentuan tersebut
gagasan untuk membentuk sebuah Peraturan daerah dapat di-
usulkan oleh setiap anggota DPRD. Dalam rumusan kedua undang-
undang tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang berapa
jumlah anggota dapat mengusulkan sebuah peraturan daerah.
Hal tersebut belum disinggung dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai-
mana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah serta peraturan perundang-undang yang mengatur
pembentukan peraturan perundang-undangan (Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Produk Hukum Daerah).
Namun DPRD sebagai lembaga politis, setidak-tidaknya
usulan anggota untuk membentuk peraturan daerah harus

77
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

dilakukan dengan mekanisme politis juga, yakni ada tidaknya


dukungan dari anggota lain yang merasa berkepentingan. Berbeda
dengan yang mengusulkan komisi, gabungan komisi atau
kelengkapan DPRD bidang legislasi tidak perlu menghitung
jumlah anggota karena mereka merupakan alat kelengkapan
DPRD. Dengan demikian, pada prinsipnya setiap anggota DPRD
dapat memberikan usulan, dimana materinya dapat berasal dari
hasil audiensi maupun hasil penjaringan di masyarakat ketika
masa reses dilakukan.
Pelaksanaan pembentukan peraturan daerah merupakan
tugas dan wewenang serta salah satu fungsi penting dari DPRD
yang rutin dilakukan menyangkut produk hukum peraturan
daerah, namun dalam struktur alat kelengkapan DPRD menurut
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah tidak ada alat khusus DPRD yang
membidangi legislasi daerah, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 46
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menyebutkan alat kelengkapan DPRD
terdiri atas: a. Pimpinan; b. Komisi; c. Panitia Musyawarah;
d. Panitia Anggaran; Badan Kehormatan; dan e. Alat kelengkapan
lain yang diperlukan. Kemudian alat kelengkapan DPRD diubah
dalam Pasal 110 dan Pasal 163 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sehingga alat keleng-
kapan DPRD terdiri atas: a. pimpinan; b. badan musyawarah;
c. komisi; d. badan pembentukan Perda; e. badan anggaran;
f. badan kehormatan; dan g. alat kelengkapan lain yang
diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna. Tentunya jika ada
badan yang menangani peraturan daerah proses penampungan
78
Eka N.A.M. Sihombing

aspirasi dalam rangka partisipasi masyarakat akan lebih mudah


dan efektif.
Jelas sekali bahwa DPRD memiliki kewenangan yang lebih
luas untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah dalam
proses pembentukan daerah. Untuk itu bagaimana meng-
optimalkan dan melaksanakan (politik hukum positsif )
kewenangan tersebut dengan melibatkan rakyat didaerah melalui
elemen-elemen masyarakat yang berkompeten untuk itu. Sebab
hakekat dari otonomi daerah (sebagai pelaksanaan dari
desentralisasi baik politik maupun ekonomi) adalah untuk
mendekatkan dalam proses pengambilan kebijakan/keputusan
dengan rakyat daerah setempat. Dengan kedudukan DPRD
sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, dan kewenangan
yang lebih luas dalam proses pembentukan peraturan daerah, maka
sikap responsif anggota DPRD dan terjalinnya komunikasi yang
intensif dan harmonis dengan rakyat di daerah sangat tepat jika
rakyat menyampaikan partisipasinya dalam proses pembahasan
dan penentuan sebuah Peraturan daerah melalui lembaga ini.
Dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam pem-
bentukan peraturan daerah itu juga terdapat asumsi yang
memandang bahwa suara masyarakat telah cukup terwakili oleh
lembaga representasi yang telah ada yaitu DPRD, sehingga dengan
mengikutsertakan lembaga tersebut pemerintah merasa telah
mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat.
DPRD memang mencerminkan representasi masyarakat pada
tataran politik, tetapi keberadaan DPRD sebagai representasi
politik tidak lantas menyisihkan pelibatan berbagai komponen
masyarakat dalam tahapan proses pembentukan peraturan
daerah. Karena itu perlu didorong peran serta masyarakat dalam
pembentukan peraturan daerah agar diperoleh masukan secara
lisan dan/atau tertulis terkait dengan materi rancangan per-
aturan daerah yang sedang digodok oleh DPRD selaku inisiator
rancangan peraturan daerah ataupunn Kepala Daerah selaku
pengusul rancangan peraturan daerah melalui saluran: rapat
dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi dan/atau
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

79
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

E. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pemben-


tukan Peraturan Daerah
Partisipasi masyarakat dalam tiap tahap tentu berbeda jika
dihubungkan dengan proses pembentukan peraturan daerah
yang terdiri dari 3 (tiga) tahap yaitu: pra-legislasi, tahap legislasi
dan tahap pasca legislasi. Artinya, bentuk partisipasi masyarakat
pada tahap perencanaan dan penyiapan tentu berbeda dengan
bentuk partisipasi masyarakat pada tahap pembahasan maupun
tahap setelah jadi peraturan perundang-undangan.57
Adapun partisipasi masyarakat pada tiap tahapan adalah
sebagai berikut:
a . Tahap Perencanaan Dan Penyiapan Rancangan Peraturan
Perundang-Undangan.
Pada tahap perencanaan dan penyiapan rancangan peraturan
perundang-undangan terdapat 4 (empat) bentuk partisipasi
masyarakat yang dapat dilakukan yaitu:58
1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian, hal ini dapat
dilakukan oleh masyarakat ketika melihat adanya suatu
persoalan dalam tatanan hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang perlu diteliti dan dikaji secara mendalam
dan memerlukan penyelesaian pengaturan dalam suatu
peraturan perundang-undangan;
2) Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan
seminar, partisipasi ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari
hasil penelitian terhadap suatu objek yang akan diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
3) Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul
inisiatif. Pengajuan usul inisiatif ini yaitu dengan meng-
ajukan usulan inisiatif agar dibuat suatu peraturan per-
undang-undangan;
4) Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap
suatu peraturan perundang-undangan, ini merupakan wujud

57
Pataniari Siahaan, Op. cit, hal. 431-432.
58
Pataniari Siahaan, ibid, hal. 432-434.

80
Eka N.A.M. Sihombing

partisipasi masyarakat yang terakhir dalam tahap peren-


canaan dan penyiapan rancangan peraturan perundang-
undangan, yaitu dengan memberikan usulan rancangan
peraturan perundang-undangan dari masyarakat.
b. Tahap Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah.
Pada tahap pembahasan rancangan peraturan perundang-
undangan ada 6 (enam) bentuk partisipasi masyarakat dan ini
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 96 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Adapun keenam bentuk partisipasi
tersebut adalah:59
1) Partisipasi masyarakat dalam bentuk audiensi/rapat dengar
pendapat umum, di mana partisipasi dalam bentuk ini dapat
dilakukan masyarakat baik atas permintaan langsung dari
DPRD maupun atas keinginan masyarakat sendiri;
2) Partisipasi masyarakat dalam bentuk rancangan peraturan
perundang-undangan alternatif, rancangan alternatif ini dapat
diberikan ketika rancangan peraturan perundang-undangan
yang tengah dibahas di lembaga legislatif belum atau bahkan
tidak aspiratif terhadap kepentingan masyarakat luas;
3) Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui
media cetak, hal ini dapat dilakukan dengan membuat opini
terhadap suatu masalah yang tengah dibahas dalam
lembaga legislatif;
4) Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui
media elektronik, partisipasi ini dapat dilakukan dengan
membuat dialog dengan menghadirkan narasumber yang
kompeten terhadap suatu masalah yang tengah dibahas
dalam lembaga legislatif;
5) Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa, di mana
unjuk rasa dilakukan dalam rangka mendukung, menolak
maupun menekan materi yang tengah dibahas dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan;

59
Pataniari Siahaan, ibid, hal. 434-437.

81
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

6) Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan


seminar. Partisipasi ini dapat dilakukan masyarakat dalam
rangka memperoleh kejelasan persoalan terhadap materi
yang tengah dibahas dalam lembaga legisatif, maka nara
sumber yang dihadirkan tidak hanya dari kalangan para ahli,
akademisi, pakar maupun pengamat, tetapi juga mendatangkan
juga politisi yang berkecimpung langsung dalam pembahasan
suatu rancangan peraturan perundang-undangan.
c. Tahap Sesudah Menjadi Peraturan Daerah.
Partisipasi masyarakat sesudah menjadi peraturan daerah
dilakukan berkaitan dengan kewenangan dari Mahkamah Agung,
di mana masyarakat dapat melakukan pengujian peraturan
daerah ke Mahkamah Agung. Hal ini dapat dilakukan masyarakat
jika merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar dengan
berlakunya suatu peraturan daerah.
F. Kendala Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat Dalam
Pembentukan Peraturan Daerah
Kewenangan Daerah untuk membentuk peraturan daerah
pada hakekatnya merupakan peluang bagi penyelenggara
pemerintahan daerah untuk dapat mengurus daerahnya secara
mandiri, maka dari itu hendaknya dapat dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya dalam rangka mengembangkan dan membangun
daerahnya masing-masing, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
daerah serta aspirasi masyarakat setempat.
Oleh sebab itu, sangat diperlukan adanya keterlibatan
masyarakat untuk membangun daerahnya, terutama dalam hal
pembuatan kebijakan seperti peraturan daerah. Partisipasi
masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah sebagaimana
telah dikemukakan bermanfaat dalam menghasilkan peraturan
daerah yang berkualitas dan sesuai aspirasi masyarakat. Meskipun
hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses penyiapan
dan pembahasan rancangan dalam pembentukan peraturan
daerah telah diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan dan
Tata Tertib DPRD Propinsi, Kabupaten/Kota di seluruh wilayah
Republik Indonesia, namun pada umumnya masyarakat belum

82
Eka N.A.M. Sihombing

secara maksimal berpartisipasi. Masih rendahnya partisipasi


masyarakat kemungkinan diakibatkan oleh berbagai faktor
kendala, baik yang berasal dari masyarakat sendiri maupun
karena faktor lain.
Adapun kendala pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam
dalam pembentukan peraturan daerah adalah sebagai berikut:
1. Belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 354 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ketiadaan
peraturan pemerintah tersebut berimbas pada tidak adanya
peraturan daerah yang mengatur tata cara partisipasi
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah. Padahal peraturan daerah
tersebut sangat diperlukan sebagai dasar hukum di daerah
agar pemerintahan daerah melibatkan masyarakat dalam
setiap pembentukan peraturan daerah.
2. Tidak adanya jaminan apabila masukan dari masyarakat
terhadap substansi suatu rancangan peraturan daerah yang
disampaikan secara lisan dan/atau tulisan akan diakomodir
oleh DPRD selaku inisiator rancangan peraturan daerah
ataupun Kepala Daerah selaku pengusul rancangan per-
aturan daerah.
3. Tidak adanya konsekuensi hukum bagi pembentuk per-
aturan daerah yang tidak melibatkan masyarakat dalam
pembentukan peraturan daerah tersebut.
4. Adanya pro dan kontra dalam masyarakat terhadap substansi
rancangan peraturan daerah yang sedang digodok oleh
DPRD selaku inisiator rancangan peraturan daerah ataupun
83
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Kepala Daerah selaku pengusul rancangan peraturan daerah,


misalnya saja rancangan peraturan daerah tentang ketertiban
umum atau rancangan peraturan daerah tentang penataan
dan pembinaan pedagang kaki lima yang pastinya
masyarakat yang sudah jengkel terhadap pedagang kaki lima
akan pro terhadap rancangan peraturan daerah tersebut,
sedangkan bagi pedagang kaki lima itu sendiri tentu akan
kontra terhadap rancangan peraturan daerah tersebut .
5. Sosialisasi, seminar, lokakarya, dan/atau diskusi terkait
substansi rancangan peraturan daerah yang dilakukan oleh
DPRD selaku inisiator rancangan peraturan daerah ataupun
Kepala Daerah selaku pengusul rancangan peraturan daerah
belum benar-benar menyentuh masyarakat yang akan
terkena dampak dari pengaturan dalam rancangan peraturan
daerah tersebut, sebab yang selalu diundang adalah akademisi.
6. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap substansi
rancangan peraturan daerah yang sedang digodok oleh DPRD
selaku inisiator rancangan peraturan daerah ataupun Kepala
Daerah selaku pengusul rancangan peraturan daerah.
7. Jauhnya jarak yang harus ditempuh masyarakat untuk
menghadiri rapat pembahasan rancangan peraturan daerah.

84
Eka N.A.M. Sihombing

BAB Penutup
4

Tujuan besar Negara Indonesia sebagaimana yang dicita-


citakan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) ketika
menyusun lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
Indonesia Raya yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan besar tersebut telah
dibentuk sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai
penjabaran dari tujuan besar Negara Indonesia. Dalam pem-
bentukan peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran
dari tujuan besar Negara Indonesia merupakan suatu hal yang
mustahil jika tidak mengikutsertakan masyarakat (tanpa
partisipasi masyarakat) di dalamnya.
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan suatu keharusan. Partisipasi
masyarakat diatur secara tegas dalam Pasal 96 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan dan Pasal 188 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan kedua pasal

85
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

peraturan perundang-undangan tersebut bahwa partisipasi


masyarakat merupakan salah satu syarat mutlak menuju
pembentukan peraturan perundang-undangan yang ber-
kelanjutan dan partisipatif. Sehingga pengabaian terhadap
partisipasi masyarakat seharusnya dianggap sebagai suatu
kecacatan formil peraturan perundang-undangan yang dapat diuji
ke Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung.
Begitu juga dalam pembentukan peraturan daerah selain telah
diatur partisipasi masyarakat dalam pembentukannya, di dalam
Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 188
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan peraturan
perundang-undangan bidang otonomi daerah juga telah
mengaturnya, yaitu dalam Pasal 354 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagai-
mana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dan Pasal 166 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
Sehingga pengabaian terhadap partisipasi masyarakat dalam
pembentukan peraturan daerah merupakan suatu cacat formil
yang dapat diuji ke Mahkamah Agung.
Walaupun pelibatan masyarakat dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan daerah
dalam tataran hukum positif di Indonesia telah diatur sebagaimana
telah diuraikan, namun pelibatan masyarakat dalam pem-
bentukan peraturan daerah belum menjadi kewajiban bagi DPRD
dan Kepala Daerah, sebab hingga saat ini belum ada peraturan
pemerintah yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang

86
Eka N.A.M. Sihombing

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Ketiadaan


peraturan pemerintah tersebut berdampak sistemik terhadap
partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah,
sebab ketiadaan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai
partisipasi masyarakat berimbas pada tidak adanya peraturan
daerah yang mengatur tata cara partisipasi masyarakat sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 354 ayat (7) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana
telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Ketiadaan peraturan daerah yang mengatur tentang pelibatan
masyarakat dalam setiap pembentukan peraturan daerah
menyebabkan ketiadaan kewajiban bagi DPRD dan Kepala
Daerah untuk mengikutsertakan masyarakat (melibatkan
partisipasi masyarakat) dalam pembentukan peraturan daerah,
serta ketiadaan jaminan apabila masukan dari masyarakat
terhadap substansi suatu rancangan peraturan daerah yang
disampaikan secara lisan dan/atau tulisan akan diakomodir oleh
DPRD ataupun Kepala Daerah, dan yang lebih penting lagi tidak
adanya konsekuensi hukum bagi DPRD dan Kepala Daerah
selaku lembaga pembentuk peraturan daerah apabila tidak
melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan pembentukan
peraturan daerah.
Mengingat peraturan daerah yang mengatur tentang
partisipasi masyarakat dalam setiap pembentukan peraturan
daerah sangat diperlukan sebagai dasar hukum di daerah agar
DPRD dan Kepala Daerah melibatkan masyarakat dalam setiap
tahapan pembentukan peraturan daerah, disarankan agar setiap
pemerintahan daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk segera mencantumkannya dalam program
pembentukan daerah dan menjadikannya sebagai salah satu skala
prioritas agar implementasi partisipasi masyarakat dalam setiap
pembentukan peraturan daerah menjadi lebih jelas. Pemerintahan
daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak
perlu khawatir apabila telah memiliki peraturan daerah yang

87
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam setiap pem-


bentukan peraturan daerah kemudian Pemerintah Pusat
melahirkan peraturan pemerintah yang mengatur mengenai
partisipasi masyarakat, peraturan daerah yang mengatur tentang
partisipasi masyarakat dalam setiap pembentukan peraturan
daerah cukup hanya dilakukan perubahan terhadap materinya
jika tidak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan pemerintah
tersebut, sebab Penulis yakin jika materi muatan peraturan daerah
dan peraturan pemerintah tersebut tidak akan bertentangan.

88
Eka N.A.M. Sihombing

Glossarium

Autentifikasi adalah salinan produk hukum daerah sesuai aslinya.


Badan Pembentukan Peraturan Daerah adalah alat kelengkapan
DPRD yang bersifat tetap, dibentuk dalam rapat paripurna
DPRD.
Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi adalah penyerahan Urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas
Otonomi.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan
bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan
pemerintahan umum.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan
rakyat daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
Evaluasi adalah pengkajian dan penilaian terhadap rancangan
perda yang diatur sesuai Undang-Undang di bidang peme-
rintahan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya
untuk mengetahui bertentangan dengan kepentingan umum,
dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

89
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Fasilitasi adalah tindakan pembinaan berupa pemberian


pedoman dan petunjuk teknis, arahan, bimbingan teknis,
supervisi, asistensi dan kerja sama serta monitoring dan
evaluasi yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri kepada
provinsi serta Menteri Dalam Negeri dan/atau gubernur
kepada kabupaten/kota terhadap materi muatan rancangan
produk hukum daerah berbentuk peraturan sebelum
ditetapkan guna menghindari dilakukannya pembatalan.
Kepala Daerah adalah Gubernur dan Bupati/Walikota.
Nomor register adalah pemberian nomor dalam rangka
pengawasan dan tertib administrasi untuk mengetahui
jumlah rancangan perda yang dikeluarkan pemerintah
daerah sebelum dilakukannya penetapan dan pengundangan.
Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan
Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam
sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala
daerah.
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewe-
nangan daerah otonom.

90
Eka N.A.M. Sihombing

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pem-


buatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup
tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan.
Perancang Peraturan Perundang-undangan (legislative drafter)
adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung
jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang
berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun
Rancangan Peraturan Perundang-undangan dan/atau
instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Pengundangan adalah penempatan produk hukum daerah
dalam lembaran daerah, tambahan lembaran daerah, atau
berita daerah.
Pembatalan adalah tindakan yang menyatakan tidak berlakunya
terhadap seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf,
pasal, ayat, dan/atau lampiran materi muatan peraturan
daerah, peraturan kepala daerah, perauran bersama kepala
daerah dan peraturan DPRD karena bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepen-
tingan umum, dan/atau kesusilaan, yang berdampak
dilakukannya pencabutan atau perubahan.
Program Pembentukan Peraturan Daerah adalah instrumen
perencanaan program pembentukan peraturan daerah
provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun
secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Tugas Pembantuan (medebewid) adalah penugasan dari Peme-
rintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi
kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Daerah provinsi.

91
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Index

A
Abraham Lincoln 4
Abu Bakar Busroh 7
Abu Daud Busroh 7
Alastraire White 18
APBD 50, 57, 61, 65, 66, 67, 68, 69, 71
Arend Lijphart 6, 17
aristokrat 3, 4
Aristrokrasi 3
AS. Hikam 32
Athena 2, 3
B
Bagir Manan 2, 6, 8, 11, 16, 44, 49
Bintan Saragih 8
bottom up 21
Bupati 39, 68, 69, 70, 76, 79
C
Charly 18
civil society 32
Constitution 9

92
Eka N.A.M. Sihombing

D
damos 2
delegated power 19
demokrasi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 11, 13, 14, 16, 17, 22, 26, 33, 34, 36,
71, 72
Demokrasi Pancasila 2, 7
demokratisasi 33
Desentralisasi 13, 15, 16, 36
E
equality before the law 9, 10
Eropa Kontinental 8, 9, 12
evaluasi 19, 31, 65, 66, 67, 68, 69, 75
F
fasilitasi 65, 66
founding fathers 85
Freedom of religion 12
Friedrich Julius Stahl 9, 10
G
good governance 13, 37
grondrechten 9
Gubernur 58, 65, 66, 67, 68, 69, 70
H
hak asasi manusia 9, 10, 12, 16, 17, 21, 26, 28, 47, 74
Hak-hak fundamental 28
Hak-hak Sipil dan Politik 21, 24
Hamid S. Attamimi 9, 11, 46
Hans Kelsen 5
Hetifah Sj Sumerto 19
Hierarki 42, 43, 44
Huntington 21

93
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

I
inspreak 34
J
Jimly Asshiddiqie 7, 9, 10, 39
John Keane 2
judicial review 8, 66
Juergen Habermas 17, 27
K
kebijakan publik 19, 23
Kepala Daerah 42, 52, 55, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 70, 71,
73, 74, 76, 77, 80, 84, 86, 87
keterbukaan 17, 21, 23, 33, 34, 52, 71, 72, 74
konkuren 40
konstitusi 2, 8, 9, 10, 13, 22, 27, 28, 46, 66, 82
konstitusional 9, 13, 66, 82
Kranenburg 4
L
Lembaran daerah 70
liberal 6, 9
M
Mahkamah Agung 57, 82, 86
Mahkamah Konstitusi 65, 66, 86
Marjane Termorshizen 8
materi muatan 26, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 59, 60, 61, 74, 88
Miriam Budiardjo 1, 37
Mirza Nasution 12, 13
N
negara hukum 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 17, 74
Nimatul Huda 3, 4, 5

94
Eka N.A.M. Sihombing

O
Oligarchi 3, 4
openbaarheids 17, 33, 72
openbaarheidsbeginsel 72
openheid 21, 71
Orde Baru 14, 15, 16
Orde Lama 14, 15
otonomi daerah 30, 35, 37, 39, 40, 41, 50, 51, 52, 72, 73, 74, 75,
79, 86
P
PAD 6, 75
Pancasila 2, 7, 13, 41, 45, 48
Partisipasi 14, 16 17, 18, 19, 20, 21, 22, 26, 28, 29, 30, 31, 32, 33,
34, 35, 37, 38, 54, 70, 73, 75, 80, 81, 82, 83, 85
partisipasi masyarakat 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30,
36, 37, 38, 70, 71, 72, 75, 77, 79, 80, 81, 83, 85, 86, 87, 88
Partisipasi Publik 17, 28, 32, 33
partisipatif 26, 77, 86
partnership 19
Pataniari Siahaan 21, 80, 81
Pembinaan 11, 54, 65
perangkat daerah 55, 58, 59, 60, 62, 69, 70
Peraturan Daerah 32, 38, 40, 42, 43, 44, 45, 49, 52, 53, 54, 55, 56,
57, 58, 60, 61, 62, 65, 66, 68, 69, 70, 74, 76, 80, 81, 82
Philipus M. Hadjon 21, 22, 71
Plato 3
Plutokrasi 4
Politiea 4
Produk Hukum Daerah 26, 54, 55, 58, 60, 64, 65, 78, 86
Prolegda 53, 54, 55
public participation 37

95
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

R
Rechtsstaat 7, 8, 9, 11
Reformasi 8, 15, 24, 52
registrasi 70
Robert A. Dahl 5
Rule of Law 7, 8, 9, 10
S
Saldi Isra 19
Sastrodipoetra 18
scheiding van machten 9
sentralisasi 13, 14, 15, 16, 36, 73, 79
sentralistik 14
Sherry R. Arnstein 19, 20
Sirajuddin 19
Solly Lubis 10
stakeholders 17
Supremacy of Law 10
T
Timokrasi 3
Tirani 3, 4
Tisnanta 17, 28, 29, 33
Tjokroamidjojo 18, 20
U
UNESCO 1
V
Van der Vlies 45, 46
W
Walikota 39, 68, 69, 70, 76
wetmatigheid van het bestuur 9
Y
Yunani kuno 2

96
Eka N.A.M. Sihombing

Daftar Pustaka

Buku:
Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata
Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang
Responsif Catatan Atas UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta:
Konstitusi Press, 2013.
Ainur Rohman, dkk., Politik, Partisipasi dan Demokrasi Dalam
Pembangunan, Malang: Averroes Press, 2009.
A. Hoogerwerf, Politikologi, Airlangga, Jakarta, 1985.
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution,
10th edition, (London: English Language Book Society and
MacMillan, 1971).
Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Jakarta,
Ind-Hill.Co,1992.
----------, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
Sinar Harapan, Jakarta,1994.
----------, Pemiihan Umum sebagai Sarana Mewujudkan Kedaulatan
Rakyat, Bandung: Program Pasca Sarjana UNPAD, 1995.
---------- dan Kuntara Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata
Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1997.
----------, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press.
2003.

97
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Baharudin Lopa, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan Hukum


Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
Budiman Ginting, dkk (ed), Refleksi Hukum dan Konstitusi di Era
Reformasi, Medan: Pustaka Bangsa-Press, 2002.
C.F. Strong, Konstitusi-konstitusi Politik Modern (Kajian Tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia), Penerbit Nuansa
dengan Penerbit Nusa Media, 2004.
C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca, New
York: Cornell University Press, 1974.
C.S.T. Kansil, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Djambatan:
Jakarta, 2003.
David Held, Models of Democracy, California: Stanford University
Press, 1987.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2001.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian
Hukum dan HAM R.I, Panduan Praktis Memahami
Perancangan Peraturan Daerah, Jakarta: Kementerian Hukum
dan HAM R.I, 2011.
Eka N.A.M. Sihombing dan Ali Marwan Hsb., Ilmu Perundang-
undangan, Medan: Pustaka Prima, 2017.
Firmansyah Arifin dkk, Lembaga Negara dan Sengketa
Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: Konsorsium
Reformasi Hukum Nasiional, 2005.
Frans Bona Sihombing, Demokrasi Pancasila dalam Nilai-nilai
Politik, Jakarta: Erlangga, 1984.
Hadjon, P. M, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia,
Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
--- -- -- -- -, dkk , Pen ga nt ar H uk um A dm in is tr as i In do ne si a
( I n t ro du c tion to the Indonesian Administrative Law),
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,, 1993.
----------, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1994.

98
Eka N.A.M. Sihombing

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis


Menyusun & Merancang Peraturan Daerah (Suatu Kajian
Teoretis & Praktis Disertai Manual): Konsepsi Teoretis Menuju
Artikulasi Empiris, Jakarta: Kencana, 2013.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel,
New York, 1973.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas Indonesia, Jakarta,
1973Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, edisi revisi,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Hetifah Sumerto, Inovasi, Partisipasi dan GoodGovernance, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2003.
I Dewa Gede Atmadja, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum,
Malang: Setara Press, 2015.
Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution,
4th edition, Oxford: Oxford University Press, 2000.
Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara,
Jakarta: Ind Hill-Co., 1997.
----------, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad
Globalisasi, Cetakan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998).
----------, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi
Press, Jakarta, 2005.
----------, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia: Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyeleng-
garaan Otonomi Daerah, Jakarta: Rajawali Press, 2003.
Juwaini, J., Otonomi Sepenuh Hati. Jakarta: Darussalam Publishing,
2015.
Koencoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi,
Bandung: Eresco, 1987.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 1976.

99
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya


Media Pratama, 1995.
Krishna dan Umbu Rauta, Otonomi Daerah Perkembangan
Pemikiran, Pengaturan dan Pelaksanaan,   Bandung:  Citra
Aditya Bakti, 2003.
M. Budaeri Idjehar, HAM Versus Kapitalisme, Yogyakarta: Insist
Press, 2003.
M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Maju, 2007.
----------, Paradigma Kebijakan Hukum Reformasi, Jakarta: Sofmedia
Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Parpol: Bunga Rampai,,
Jakarta: Gramedia, 1981.
Mirza Nasution, Politik Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, Medan: Puspantara, 2015.
Mukhlis Taib, Dinamika Perundang-Undangan di Indonesia, Jakarta:
Refika Aditama, 2017.
Muladi (Edt.), Hak Asasi Manusia; Hakekat, Konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Refika
Aditama, Bandung, 2005.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Refika
Aditama, Bandung, Cet I, 2009.
Nimatul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
O. Notohamidjojo, Demokrasi Pantjasila (Dasar Nasional untuk
Menegara), Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970.
Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Jakarta:
Erlangga, 1985.
Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali
Press, 1986.
----------, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co,
1989.
----------, (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini,
Jakarta: Ghalia, 1985.
Pataniari Siahaan, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Pasca Amandemen UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta, 2012.

100
Eka N.A.M. Sihombing

Rachmat Trijono, Dasar-Dasar Ilmu Pengetahuan Perundang-


Undangan, Papas Sinar Sinanti, Jakarta 2013.
Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, Indianapolis:
Liberty Fund Inc., 1973.
Roem Topatimasang, dkk, Mengubah Kebijakan Publik, Yogyakarta:
Insist Press, 2000.
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi; Menguatnya Model Legislasi
Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakartaz:
Rajawali Press, 2010.
Sedarmayanti, Good Governance (kepemerintahan yang baik) dalam
rangka Otonomi Daerah; Upaya Membangun Organisasi
Efektif dan Efisien Melalui Rekonstruksi dan Pemberdayaan,
Bandung: Mandar Maju, 2003.
Sirajuddin, dkk, Legislative Drafting (Pelembagaan Metode
Partisipatif dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan), Malang Corruption Watch (MCW) dan YAPPIKA,
Malang, 2007.
Soehino, Hukum Tata Negara, Penyusunan dan Penetapan Peraturan
Daerah, Yogyakarta: Liberty, 1997.
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok,
February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of
Law in the Modern Age, Bangkok: International Commission
of Jurist, 1965.
Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Bandung: Alumni, 1992.
Sugeng Bahagijo dan Rusdi Tagaroa (eds), Orde Partisipasi: Bunga
Rampai Partisipasi dan Politik Anggaran, Jakarta: Per-
kumpulan Prakarsa, 2005.
S. Pamudji, Demokrasi Pancasila dan Ketahanan Nasional, Bina
Aksara, Jakarta, 1985.
Tisnanta, H.S, Meniti Partisipasi Publik, KBH Lampung, 2003.
Widodo Ekatjahjana, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
(Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunannya), Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2008.

101
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


yang Baik; Gagasan Pembentukan Undang-Undang
Berkelanjutan, Rajawali Press, Jakarta, 2010.
Jurnal, Artikel dan Karya Tulis Ilmiah lainnya
A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:
Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”,
Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, 1990).
----------, Teori Perundang-undangan Indonesia Suatu Sisi Ilmu
Pengetahuan Perundang-undangan Indonesia Yang Menjelaskan
Dan Menjernihkan Pemahamannya, Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap (Jakarta: Fakultas Hukum Uni-
versitas Indonesia, 1992).
Bagir Manan, Pengujian Yustisial Peraturan Perundang-undangan dan
Perbuatan Administrasi Negara di Indonesia, Makalah, 1994.
Faisal Akbar Nasution dalam Desentralisasi Pelayanan Umum Pasca
Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 (Tinjauan Teoritik),
Makalah: 2004.
Marzuki, Peranan Program Legislasi Daerah/Program Pembentuksan
Peraturan Daerah Dalam Proses Pembentukan Peraturan
Daerah, Makalah: 2015.
Muslimin B. Putra, Menimbang Partisipasi Publik dalam Proses
Legislasi, Majalah Lesung, Edisi III No. 4, November 2005.
Nurcholish Madjid, Demokrasi dan Kebebasan, Tabloid Tekad, 1999.
Hadjon, P. M, Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan
Pemerintahan yang Demokratis, Pidato, diucapkan dalam
Lustrum III Ubhara Surya, 1997.
----------, Keterbukaan Pemerintahan dalam Mewujudkan Pemerin-
tahan yang Demokratis, Pidato, diucapkan dalam Lustrum
III Ubhara Surya, 1997.
Rudy Hendra Pakpahan, Pengujian Peraturan daerah Oleh
Lembaga Eksekutif dan Yudikatif, tesis, Universitas Sumatera
Utara, 2009.
102
Eka N.A.M. Sihombing

Jurnal Hukum No. 1 Vol 13 Januari 2006.


Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009.
Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum Volume 5 No. 2 Mei-Agustus
2012.
Majalah Varia Peradilan No. 305 April 2011.
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2014.
Jurnal Yudisial Jilid 10, Terbitan 2 Tahun 2017.
Media Cetak dan Website:
Harian Kompas, 27 Juni 2008.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Buku Pedoman tentang
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah, dalam
http://bphn.go.id/data/documents/pedoman_penyusunan_
prolegda.pdf diakses tanggal 01 Maret 2018.
http://apatra.blogspot.co.id/2008/11/partisipasi-masyarakat-
dalam-pembuatan.html, diakses pada tanggal 26 Maret
2017.
www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2016/06/../batal_
perda_21_juni_2016.pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2018.
Demokrasi dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi,
diakses tanggal 05 Maret 2018.

103
Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif

Tentang Penulis

Eka NAM Sihombing, Lahir di Medan


tanggal 11 November 1979, pendidikan S1
Ilm u H u k u m p a da F a k u l t a s H u k u m
Universitas Sumatera Utara (selesai tahun
2003), kemudian melanjutkan pendidikan
S2 pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara Program Studi Ilmu
Hukum (selesai tahun 2008), Mahasiswa
Program S3 Ilmu Hukum Fakultas Hukum
USU (2015-sekarang), Pendidikan lain yang pernah diikuti adalah
Diklat Legal Drafter di Medan Tahun 2007, Diklat Penyusun dan
Perancang Peraturan Perundang-undangan di Jakarta tahun 2009,
Diklat Penguatan Perancang Peraturan Perundang-Undangan di
Jakarta Tahun 2013, Diklat ToT Perancang Peraturan Perundang-
Undangan di Jakarta Tahun 2015. Kasubbid Dokumentasi dan
Informasi Hukum 2015-2017, Kasubbid Fasilitasi Pembentukan
Produk Hukum Daerah/ Perancang Peraturan Perundang-
undangan Madya pada Kanwil Kementerian Hukum dan HAM
Sumatera Utara 2017-sekarang, Ketua Majelis Pengawas Notaris
Daerah Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah 2014-2017,
Ketua Majelis Pengawas Notaris Daerah Kota Sibolga, Kabupaten
Tapanuli Tengah dan Kepulauan Nias 2017-2020, Mengajar di
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
di Medan sejak 2008 - sekarang. Dapat dihubungi melalui e-mail:
eka_nams@yahoo.co.id. Atau ekahombing@gmail.com

104

Anda mungkin juga menyukai