7 Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika Dengan Proses Absorpsi, Distribusi Dan
Eksresi
Setelah masuk ke tubuh melaluin cara tertentu, missal melalui oral, parental, anal, dermal
dan cara lainnya, obat akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metabolism, dan eksresi.
Selain proses diatas, kemungkinanan obat akan mengalami modifikasi fisika yang melibatkan
bentuk sediaan atau formulasi obat, dan modifikasi kimia yang melibatkan perubahan struktur
molekul obat, dan hal lain dapat mempengaruhi respon biologis.
Tiga fase yang menentukan terjadinya aktivitas biologis obat adalah:
1. Fase farmasetik, yang meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis, formulasi, bentuk
sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya obat aktif. Fase ini berperan
dalam ketersediaan obat untuk dapat diabsorpsi ke tubuh.
2. Fase farmakokinetik, yaitu meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolism dan
eksresi obat. Fase ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai jaringan
sasaran (target) atau reseptor sehinga dapat menimbulkan respon biologis.
3. Fase farmakodinamik, yaitu fase terjadinya interaksi obat-reseptor dalam jaingan
sasaran. Fase ini berperan dalam timbulnya respon biologis obat.
Setelah masuk ke system peredaran darah, hanya sebagian kecil molekul obat yang tetap
utuh dan mencapia reseptor pada jaringan sasaran. Sebagia obat akan berubah atau terikat
pada biopolimer. Tempat dimana obat berubaha atau terikat sehingga tidak dapat mencapai
reseptor disebut sisi kehilangan (site of lose). Distribusi obat pada reseptor dan sisi
kehilangan tergantung dari sifat kimia fisika molekul oobat, seperti kelarutan dalam
lemak/air, derajat ionisasi, kekuatan ikatan obat-reseptor, kekuatan ikatan obat-sisi
kehilangan dan sifat dari reseptor atau sisi kehilangan.
Contoh sisi kehilangan yaitu protei darah, depo-depo penyimpanan, system enzim yang
dapat menyebabkan perubahan metabolism obat dari bentuk aktif menjadi bentuk tidak aktif
dan proses eksresi obat, baik sebelum maupun sesudah proses metabolisme.
Factor – factor yang mempengaruhi proses absorpsi obat pada saluran cerna anatara
lain adalah bentuk sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, factor biologis dan factor
lain-lain seperti diet, umur, adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya
penyakit tertentu. Absorpsi obat melalui saluran cerna terutama tergantung pada ukuran
partikel molekul obat, kelarutan obat dalam lemak/air dan derajat ionisasi.
Suatu obat yang bersifat basa lemah, seperti amin aromatic, aminopirin, asetanilid,
kafein dan kuinin, bila diberikan oral dalam lambung yang besifat asam (PH; 1-3,5)
sebagian besar menjadi bentuk ion yang mempunyai kelarutan dalam lemak sangat kecil
sehingga sukar menembus membrane lambung. Bentuk ion tersebut kemudian masuk
kedalam usus halus yang bersifat agak basa(PH: 5-8) dan berubah menjadi bentuk tak
terionisasi. Betuk ini mempunyai kelarutan dalam lemak besar sehingga mudah terdifusi
menembus membrane usus. Asam lemah seperti asam salisilat,asetosal,
fenobarbital,asam benzoate, dan fenol pada lambung yang besifat asam akan terdapat
dalam bentuk tidak terionisasi, mudah larut dalam lemak sehinga mudah menembus
membrane lambung.
Senyawa yang terionisasi sempurna, pada umumnya bersifat basa atau asam kuat
mempunyai kelarutan dalam lemak sangat rendah sehingga sukar menembus membrane
saluran cerna. Contoh: asam sulfonat dan turunan ammonium kuartener, seperti
heksametonion,dekaulinium, dan benzalkonium klrorida. Senyawa yang sangat sukar
larut dalam air seperti BaSO4, MgO, dan Al(OH)3, juga tidak terabsorpsi oleh salurn
cerna.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa saluran cerna bersifat permeable selektif
terhadap bentuk tidak terdisosiasi obat yang bersifat mudah larut dalam lemak. Kelarutan
obat dalam lemak merupakan salah satu sifat fisik yang mempengaruhi absorpsi obat ke
membrane biologis. Makin besar kelarutan dalam lemak makin tinggi pula derjat
absorpsi obat ke membrane biologis.
Proses metabolisme dapat mempengaruhi aktivitas biologis, masa kerja dan toksisitas
obat, sehingga pengetahuan tentang metabolisme obat dan senyawa organik asing lain
(xenobiotika) sangat penting dalam bidang kimia medisial.
Suatu obat dapat menimbulkan respons biologis dengan melalui dua jalur, yaitu:
a. Obat aktif setelah masuk ke peredaran darah, langsung, berinteraksi dengan reseptor dan
menimbulkan respons biologis.
b. Pra-obat setelah masuk ke peredaran darah mengalami proses metabolism menjadi aktif,
berinteraksi dengan reseptor dan menimbulkan respons biologis (bioaktivasi).
Tujuan dari metabolisme obat adalah mengubah obat menjadi metabolit tidak aktif
dan tidak toksik (bioaktivasi dan detoksifikasi), mudah larut dalam air dan kemudian
diekskresikan dari tubuh.
Metabolisme obat secara normal melibatkan dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan oleah kadar
dan aktivitas enzim yang berperan metabolisme. Kecepatan metabolisme kemungkinan
meningkatkan toksisita obat serta menurunkan intensitas dan memperpendek masa kerja
sehingga obat tidak efektif pada dosis normal.
Perbedaan individu proses metabolisme obat kadang kadang terjadi dalam sistem
kehidupan.
Contoh:
-Metabolisme isonlazid, suatu obat antiberkulosis, terutama melalui proses N- asetilasi.
-Hidralazin, prokainamid, dan dafsun juga menunjukkan bebeda secara genetik.
-Fenetoin,fenilbutazon,dikumaro dan nortriptilin.
4.Perbedaan umur
Bayi dalam kandungan dan bayi yang baru lahir jumlah enzim mikrosom hati yang
diperlukan untuk memetabolis obat relative masih sedikit sehingga sangat peka terhadap obat.
Contoh:
- Heksobarbital, pada baru lahir tikus dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus tertidur
selama 6 jam, sedangkan tikus dewasa tertidur kurang dari 5 menit.
- Tolbutamid, pada bayi baru lahir kurang lebih 40 jam, sedangkan dewasa 8 jam. Hai ini
disebabkan kemampuan bayi masih rendah.
- Kloramfenikol, pada bayi lahir dapat menimbulkan sindrom kelabu, karena mengandung
enzim glukuronil tranferase dalam jumlah sedikit,sehingga kloramfenikol rendah, akibatnya
terjadi penumpukan obat dan menimbulkan efek yang tidak di inginkan.
7.Faktorlain-lain
Mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan, kekurangan gizi, ganggusn
hormone, kehamilan, protein plasma, kanker hati.
B.TEMPAT METABOLISME OBAT
Perubahan kimia obat dslsm tubuh terjadi pada jaringan organ-organ seperti ginjal, hati,
paru dan saluran cerna.
Contoh obat di metabolis melalui efek lintas pertama antara lain isoproterenol, lidokain,
meperidin, morpin, profoksipen, propranolol, dan salisilamid. Metabolisme obat hati terjadi
pada membrane reticulum endoplasma sel. Retikulum terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1
mempunyai permukaan membrane kasaryang tersusun untuk mengatur genetik asam amino
untuk protein. Tipe 2 mempunyai permukaan membram halus dan tidak mengandung
ribosom.
Reaksi fasa 1 disebut pula reaksi fungsionalisai. Yang termasuk reaksi fasa 1 adalah
reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.
1. Reaksi Oksidasi
Banyak senyawa obat mengalami proses metabolisme yang melibatkan reaksi
oksidasidengan bantuan sitokrom-P-450. Oksidasi senyawa aromatic(arena) akan
menghasilkan metabolit arenol. Proses ini melalui pembentukan senyawa antara
epoksida(arena oksida) yang segera mengalami penatulangan menjadi arenol. Banyak
senyawa yang mengandung cincin aromatic, seperti fenobarbital , 17a-etinilestradiol
,fenition, fenibutazon, propranolol,amfetamin, dan fenfpermin,mengalam hidroksilasi pada
posisi para.
Reaksi hidroksilasi ini (fasa1) dilanjutkan dengan reaksi konjungsi (fasa11), dengan
asam glukuronat atau sulfat, membentuk konjugat polar dan mudah laruet dalam air,
kemudian diekskresikan melalui urin. Contoh metabolit utama fenition adalah konjugat O-
glukuronida dari p-hidroksifenition.
Macam-macam reaksi oksidasi sebagaiberikut:
a.Oksidasi ikatan rangkap alifatik(Olifin)
b.Oksidasi atom C-bertatik
c.Oksidas iatom Califik
d.Oksidasi atom Ca-karbonil dan imin
e.Oksidasi atom Calitatik dan alisklik
f.Oksidasi sistem C-N,C-O,danC-S
g.Oksidasi alkoholdan aldehida
h.Reaksi oksidasi lain-lain.
2.Reaksi reduksi
Proses reduksi mempunyai peran penting pada metabolisme senyawa yang
mengandung gugus karbonil(aldehida dan keton), nitro dan azo. Senyawa yang mengandung
gugus karbonil mengalami reduksi menjadi turunan alkohol, sedang gugs nitro dan azo
tereduksi menjadi turunan amin. Gugus alkohol dan amin hasil reduksi akan terkonjungsi,
menghasilkan senyawa hidrofil yang mudah diekresikan sehingga proses reduksi juga
memberikan fasilitas untuk terjadinya eliminasi obat.
3. Reaksi Hidropolik
1.Reaksi konjugasi
Reaksi konjugasi obat atau senyawa organik asing dengan asam glukuronat, sulfat,
glisin, glutamin dan glutation, dapat mengubah senyawa induk atau hasil metabolit fasa 1
menjadi metabolit yang lebih polar, mudah larut dalam air, bersifat tidak toksik dan tidak
aktif kemudian diekskresikan melalui ginjal atau empedu. Reaksi kunjugasi yang lain adalah
reaksi metilasi dan asetalasi. Reaksi ini secara umum tidak berfungsi untuk meningkatkan
kelarutan senyawa dalam air tetapi terutama membuat senyawa menjadi tidak aktif secara
farmakolologis.
Konjugasi glutation dengan metabolit relaktif dapat mencegah kerusakan
biomakromolekul seperti DNA, RNA dan protein sel. Oleh karena itu metabolisme obat
reaksi dianggap sebagai proses detoksifikasi.
a. Konjugasi Asam Glukronat
b.Konjugasi sulfat
c.Konjugasi dengan gilisin atau giutamin
d. Konjugasi dengan glutation atau asam merkapturat
2.Reaksi Asetilasi
Asetilasi merupakan jalur metabolisme jalur metabolisme obat yang mengandung
gugus amin primer, seperti amin aromatik ( AR-NH2), sulfonamide(H2N-C6H4-SO2-NH-R),
hidrazid (-CONH-NH2) dan amin alifatik primer (R-NH2). Hasil N-asetilasi tidak banyak
menimgkatkan kelarutan dalam air. Fungsi utama adalah membuat senyawa dalam menjadi
tidak aktif dan untuk detoksifikasi. Kadang –kadang juga lenih aktif disbanding senyawa
induknya.
Gugus asetil digunakan untuk asetilasi berasal dari asetil koenzim A dan reaksi ini
dikatalisis oleh enzim N-asetil tranfarase yang terdapat pada sel retikuendotel hati.
Turunan obat yang mengalamu N- asetilasi antara lain adalah
a.aminaromatik
b.sulfonimida
c.hidrazindanhidrazid
d.aminalfatik
3.ReaksiMetilasi
Reaksi mempunyai peranan penting pada proses biosintesis beberapa senyawa
endogen, seperti norefinefrin, epinetrin, dan histamine serta untuk proses bionaktivikasi obat.
Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah S-adenosil-metosin(SAM).
Pada beberapa seri homolog senyawa sukar terdisosiasi, yang perbedaan struktu hanya
menyangkut perbedaan jumlah, bentuk dan panjang rantai atom C, intensitas aktivitas
biologisnya tergantung pada jumlah atom C.
Makin panjang rantai samping atom C, makin bertambah bagian molekul yang
bersifat nonpolar dan terjadi perubahan sifat fisik, seperti kenaikan titik dididh, berkurangnya
kelarutan dalam air, meningkatnya koefisien partisi lemak/air, teganga permukaan, dan
kekentalan. Bila panjang rantai atom C terus ditingkatkan maka akan terjadi penurunan
aktivitas secara drastic. Hal ini disebabkan dengan makin bertambah jumlah atom C, makin
berkurang kelarutan senyawa dalam air, yang berarti kelarutan dalam cairan luar sel juga
berkurang, sedangkan kelarutan senyawa dalam cairan luar sel berhubungan dengan proses
transport obat ke tempat aksi atau reseptor.
Koefisien partisi pertama kali dihubungkan dengan aktivitas biologis yaitu efek hipnotik
dan anestesi, obat-obat penekan system saraf pusat oleh Overton dan Meyer (1899).
Tiga prostulat yang berhubungan denan efek anestesi suatu senyawa yang dikenal deng
teori lemak, sebagai berikut:
a. Senyawa kimia yag tidak reaktif dan mudah larut dalam lemak, seperti
eter,hidrokarbon, dan hidrokarbon terhalogenasi, dapat memberikan efek narcosis
pada jaringan hidup sesuai dengan kemampuannya untuk terdistribusi kedalam
jaringa sel.
b. Efek terlihat jelas terutama pada sel-sel yang banyak mengandung lemak, seperti sel
saraf.
c. Efisiensi anestesi atau hipnotik tergantung pada koefisien partisi lemak/air atau
distribusi senyawa dalam fase lemak dan fase air jaringan.
Dari prostulat diatas dapat disimpilkan bahwa ada hubungan linier antara aktifitas
anestesi dengan koefisien partisi lemak/air. Teori lemak hanya menggemukkan afinitas suatu
senyawa terhadap tempat aksi dan tidak menunjukkkan bagaimana mekanisme kerja biologis
dan tidak juga dapa menjelaskan mengapa suatu senyawa yang mempunyai koefisien partisi
lemak/air tinggi tidak selalu dapat menimbulan efek hidrat.
C. Prinsip Ferguson
Banyak senyawa kimia dengan struktur beda tetapi mempunyai sifat fisik sama, seperti
eter, kloroform, dan nitrogen oksida, dapat menimbulkan efek narcosis atau anestesi sistmik.
Hal ini menunjukkan bahwa sifat fisik lebih berperan disbanding sifat kimia.
Menurut Ferguson (1919), kadar molar toksik sangat ditentukan oleh keseimbangan
distribusi pada fase-fase yang heterogen, yaitu fase eksternal yang kadar senyawanya dapat
diukur dan biofase. Kecendengungan obat untuk meninggalkan fase disebut aktivitas
termodinamik.
Berdasarkan model kerja farmakologinya, secara umuu obat dibagi menjadi dua golongan
yaitu
1.Obat anestesi sistemik yaitu berupa gas atau uap seperti etil klorida, asetilen, nitrogen
oksida, eter dan kloroform.
2.Insektisida yang mudah menguap dan bakterisida tertentu seperti timol, fenol, kresol, n-
alkohol dan resorsinal.