Anda di halaman 1dari 12

Jurnal Ilmiah Psikologi MANASA

2016, Vol. 5, No. 1, 30-41

PEMAKAIAN MEDIA SOSIAL DAN SELF CONCEPT PADA REMAJA

Pamela Felita, Christine Siahaja, Vania Wijaya, Gracia Melisa,


Marcella Chandra, dan Rayini Dahesihsari
Fakultas Psikologi, Unika Atma Jaya
pamelafelita94@gmail.com; christinesiahajaa@gmail.com; vaniawijaya27@gmail.com;
graciamelisasantosa@gmail.com; katarina.marcellachandra@gmail.com; rayini@gmail.com

Abstrak

Remaja merupakan komunitas terbesar dalam masyarakat Indonesia yang


menggunakan media sosial secara regular. Alasan awal mereka sangat aktif menggunakan
media sosial adalah untuk mencari perhatian, meminta pendapat, dan menumbuhkan citra,
namun lama kelamaan akhirnya menjadi ketergantungan. Walaupun media sosial
memberikan dampak positif pada remaja, namun pada saat mereka sulit melepaskan diri dari
kegiatan yang berkaitan dengan media sosial maka akan memberikan dampak yang kurang
positif. Sejumlah studi menunjukkan bahwa akibat penggunaan media sosial yang berlebihan,
remaja ditemukan mengalami inkongruensi pada konsep dirinya. Inkongruensi terjadi karena
adanya jarak atau diskrepansi antara konsep diri yang sebenarnya (real self) dan konsep diri
yang ideal (ideal self). Diri yang ditampilkan di media sosial adalah diri ideal yang berjarak
dari diri mereka yang sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka menikmati
keberadaaan diri yang ideal tersebut walau tidak nyata dengan lebih banyak menghabiskan
waktu di media sosial. Tulisan ini menggambarkan proses pengambilan data dan penyusunan
kampanye mengurangi pemakaian media sosial pada remaja terutama dalam hal-hal yang
memberikan dampak negatif bagi konsep diri remaja. Responden pengambilan data adalah
150 remaja berusia 15-25 tahun yang aktif menggunakan sosial media. Pengambilan sampel
sesuai kenyamanan dengan mengambil responden yang mudah dijangkau oleh peneliti.
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Hasil survei
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja yang aktif menggunakan sosial media ingin
terlihat baik dan menampilkan citra konsep diri idealnya di profil media sosial mereka,
walaupun hal itu tidak sesuai dengan konsep diri nyata yang mereka miliki. Berdasarkan hasil
tersebut lalu disusun disain kampanye yang memberikan penekanan pada bagaimana
mengangkat real self remaja yang positif walaupun tanpa penggunaan media sosial. Dengan
demikian penggunaan media sosial bisa dikurangi dan lebih banyak hal produktif yang bisa
dilakukan oleh para remaja untuk meningkatkan konsep diri positifnya.

Kata kunci: konsep diri, remaja, media sosial, real self, ideal self

Abstract

Teenager is among the biggest number of society consuming social media in


Indonesia. The initial reason they become so active in social media is to get attention, to seek
for opinion, and also to present their image. However, in the long term they become addicted
of social media consumption. It is difficult for them to stay away from activities related to
social media. Although social media in general has a positive side to be consumed, the
overused of social media has a negative consequence. A bulk of studies shown that the
overused of social media by teenager give consequences on the increase of self concept
incongruence because there is a large distance between the real self and the ideal self. The
self presenting in social media is the ideal self which has such a large distance from the real

30
self. Teenagers are enjoying the ideal self of them presenting in social media so that they
prefer to stay in social media rather than their daily activities of real self. This manuscript
aims to describe the data collection which being used to propose campaign of decreasing
consumption of social media for teenager, particularly which damage their self concept. 150
teenagers and young adult participated, the range of age was 15-25 years old. All of them
were actively using of social media. Survey was used for data collection. The result showed
that most of the participants want to look good at their social media profile by presenting
their ideal self, even though it is not the image that they have in the real self. Based on the
data, the campaign of decreasing consumption of social media is design. The campaign is
focused on how to develop the positive self concept without overused consumption of social
media. By decreasing consumption of social media, teenagers would be more productive and
develop their positive self concept in their real life.

Keywords: self concept, teenagers, social media, real self, ideal self

Internet yang merupakan 2012). Hal ini bisa terlihat dari data
kepanjangan dari interconnection Kementrian Komunikasi dan Informatika
networking adalah hubungan jaringan yang mencatat pengguna internet di
besar dari jaringan-jaringan komputer Indonesia pada tahun 2013 sudah
yang menghubungkan orang-orang dan mencapai 63 juta orang (Kominfo, 2013)
komputer-komputer di seluruh dunia, baik dan mencapai 72,7 juta pada tahun 2015
melalui telepon, satelit, dan sistem-sistem (Wijaya, 2015).
komunikasi lainnya (Ellsworth Tidak hanya dinobatkan sebagai
&Ellsworth, dalam Riyanto, 2008). sepuluh besar pengguna internet paling
Semenjak pertama kali dikenalkan oleh banyak di dunia, berdasarkan hasil riset
masyarakat pada Oktober 1972, internet yang dikeluarkan Google pada bulan
mengalami perkembangan yang sangat Maret 2015, Indonesia juga mengalami
pesat. Hal ini terbukti dari data Internet pertumbuhan dua kali lipat dalam
World Stats yang menyatakan bahwa mengadopsi smartphone. Dalam hal ini,
jumlah pengguna internet pada tahun 2008 62% pengguna smartphone menggunakan
sudah mencapai angka 1.407.724.92 ponsel mereka untuk mengakses internet.
(Qomariah, 2008). Oleh sebab itu, Indonesia mampu
Internet World Stats pada tahun menempati posisi pertama di Asia dan
2012 menyatakan bahwa Indonesia posisi ketiga di dunia terkait dengan akses
merupakan negara kedelapan yang internet melalui smartphone (Erwin,
menggunakan internet terbanyak dari 2015). Dengan hampir sepertiga pengguna
seluruh negara di dunia (Hendra, 2014). smartphone di Indonesia, Ricky Tjok
Hal ini sejalan dengan data dari statistik selaku Account Strategist di Google
Asosisasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia mengatakan bahwa di masa
Indonesia (APJII) yang menyatakan bahwa depan, masuk akal apabila 88 persen orang
jumlah pengguna internet di Indonesia Indonesia akan memiliki ponsel berupa
terus mengalami peningkatan yang cukup smartphone.
signifikan. Sebagai contoh pada tahun Kenyataan ini juga sesuai dengan
1998 pengguna internet di Indonesia yang dikatakan oleh Dian Siswarini selaku
adalah 512.000, kemudian naik menjadi 25 Sekretaris Jenderal Asosiasi
juta pada tahun 2007 (Qomariah, 2008). Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI)
Diprediksikan penggunaan internet ini bahwa layanan data internet sudah menjadi
akan terus mengalami peningkatan bagian dari aktivitas harian pelanggan
sebanyak 25 % setiap tahunnya (Budhyati, ponsel di Indonesia. Ibu Dian mencatat

31
sebagian besar pengguna smartphone, paling muda berkisar antara 5 sampai
menggunakan perangkat mereka untuk dengan 12 tahun (Badan Pusat Statistik,
menelusuri internet, membaca berita 2012). Oleh sebab itu, dapat dilihat bahwa
online, bergaul di jejaring sosial, dan pengakses internet terbesar diduduki oleh
saling mengirim surat elektronik kaum anak-anak hingga remaja.
(Lesmana, 2012). Walaupun begitu, Peg Streep (2013), seorang
sebagian besar pengguna smartphone pemerhati digital dan remaja menjelaskan
menggunakan ponsel mereka untuk empat alasan utama remaja menjadi
bergaul di jejaring sosial atau biasa disebut maniak media sosial. Yang pertama adalah
sebagai media sosial. Hal ini sesuai dengan untuk mendapatkan perhatian. Hasil
data pada Januari 2015 dari Wijaya, selaku penelitian yang dilakukan oleh Pew
agensi marketing sosial We Are Social Research Center Study, Amerika Serikat,
yang menyatakan bahwa dari 72,7 juta mengatakan bahwa sebagian remaja
pengguna internet di Indonesia, 72 juta melakukan aktivitas berbagi informasi
adalah pengguna aktif media sosial, dan 62 melalui media sosial. Berbagi informasi
juta menggunakan media sosial melalui inilah yang menjadi kunci remaja dalam
smartphone. mendapatkan perhatian bagi diri mereka
Dengan banyaknya pengguna sendiri. Selain itu, sebagian remaja juga
media sosial, Wijaya (2015) juga mengeluhkan tentang aktivitas overposting
menyatakan bahwa media sosial yang di media sosial, padahal mereka juga
paling sering digunakan adalah facebook, merupakan salah satunya. Yang kedua
diikuti dengan twitter, google+, linked, adalah untuk meminta pendapat. Remaja
instagram, skype, dan pinterest. Selain itu, seringkali meminta pendapat dan
survei juga menyatakan bahwa rata-rata persetujuan dari teman-temannya dalam
pengguna media sosial aktif selama dua memutuskan sesuatu. Walaupun begitu,
jam 52 menit setiap harinya. Hal ini pendapat yang diharapkan bukan saran
sejalan dengan yang dinyatakan oleh langsung, melainkan saran melalui teman
Kaplan (2010) bahwa hampir 67% yang di media sosial. Saran di sini tidak hanya
menggunakan internet melakukan akses berupa komentar, namun like pada
setiap hari, 36% remaja mengakses postingan di facebook atau instagram, dan
internet beberapa kali sehari dan 27% retweet pada twitter. Like atau comment
lainnya sehari satu kali. Selanjutnya, yang remaja dapatkan membuat mereka
Nation Children’s Fund (NICEF) bersama menganggap diri semakin populer. Hal ini
dengan Kementrian Komunikasi dan yang memicu mereka cenderung lebih
Informasi, The Berkman Center for percaya diri jika bergaul di media sosial
Internet and Society, dan Harvard daripada di kehidupan masyarakat
University menyatakan bahwa setidaknya sebenarnya. Alhasil anak-anak dan remaja
ada 30 juta orang remaja di Indonesia yang menjadi tertutup dengan orang di sekitar
mengakses internet secara reguler. Dengan dan lebih merasa aman jika
jumlah 72,7 juta pengguna internet di melampiaskannya di media sosial. Yang
Indonesia, ini berarti bahwa setengahnya ketiga adalah menumbuhkan citra. Hal ini
merupakan remaja (Lukman, 2015). Hal berkaitan dengan poin yang kedua, ketika
ini sejalan dengan yang dikatakan oleh remaja populer di media cetak, citra dari
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet diri anak dan remaja akan muncul. Alhasil,
Indonesia (APJJI) (2012) bahwa 60% dari mereka akan berusaha mencetak citra yang
pengguna internet merupakan segmen terlihat baik melalui media sosial.
muda kelompok umur 12- 35 tahun. Walaupun begitu, citra ini bukan citra
Selanjutnya, berdasarkan survei yang yang sebenarnya, apabila citra mereka baik
dilakukan oleh Badan Pusat Statistik di media sosial, belum tentu baik pula di
(BPS), rentang umur pengguna internet realitanya (Jatmika, 2015). Yang terakhir

32
adalah kecanduan. Remaja yang sudah merupakan pikiran klien mengenai
terbiasa menggunakan facebook dan sosial pandangan orang lain dan lingkungan
media lain sebagai pemandu dalam sekitar mengenai dirinya, yang
kehidupan mereka, akan sulit mengalihkan mempengaruhi ideal self dan real self
pandang ke dunia nyata. Hal inilah yang individu tersebut. Ketika ketiga komponen
menyebabkan mereka terjebak dalam tersebut terbentuk secara seimbang dan
lingkaran drama media sosial. sesuai, maka akan tercipta sebuah konsep
diri yang positif (White, Duncan &
Konsep Diri Remaja Baumle, 2011).
Menurut Hurlock (1974), self Konsep diri merupakan
adalah dunia di dalam diri seseorang yang keseluruhan dari aspek keberadaan dan
membedakannya dengan objek atau hal pengalaman individu yang dipersepsikan
lain diluar dirinya. Dunia ini terdiri atas dalam keadaan sadar. Ketika seseorang
gabungan dari pemikiran, usaha, harapan, sudah membentuk konsep diri, akan sulit
kekhawatiran dan angan-angan individu. bagi mereka untuk mengubah konsep diri
Pandangan individu mengenai dirinya saat yang sudah terbentuk. Konsep diri yang
ini, masa lalu, masa yang akan datang, sudah terbentuk memiliki kemungkinan
serta sikap-sikap yang menyokong untuk mengalami perubahan, namun akan
penilaian dirinya (Jersild, dalam Hurlock, lebih sulit. Perubahan akan terjadi apabila
1974). situasi dan kondisi lingkungan individu
Carl Rogers mengembangkan teori menerima perubahan tersebut (Feist &
‘self’ dan persepsi terhadap ‘self’ atau diri Feist, 2009). Pervin (1996) menyatakan
tersebut. Menurut Roger, konsep diri bahwa konsep diri penting, karena konsep
adalah kumpulan persepsi dan kesadaran diri merupakan sebagian besar dari
diri sebagai “aku” yang terorganisir. pengalaman dan konstruksi seseorang
Konsep diri terdiri atas elemen seperti tentang dunia. Konsep diri menyediakan
karakteristik dan kemampuan individu, kerangka kerja yang terus menerus untuk
persepsi dan konsep hubungan diri dengan memahami masa lalu dan masa yang akan
orang lain dan lingkungan serta tujuan dan datang, serta mengarahkan tingkah laku
ide-ide dalam diri. Menurut Roger, self selanjutnya. Oleh karena konsep diri
berkembang dari interaksi individu dengan merupakan jaringan informasi dalam
lingkungannya dan individu akan berusaha ingatan, maka konsep diri juga mengatur
berperilaku sesuai dengan self tersebut dan menyediakan koherensi cara-cara
(Roger, 1969). Konsep diri memiliki 3 menghadapi pengalaman tentang diri kita
komponen dasar yang terdiri dari ideal sendiri. Konsep diri juga memberikan
self, public self, dan real self (White, pedoman bagaimana seseorang mengolah
Duncan & Baumle, 2011). Ideal self informasi tentang dirinya sendiri (Larsen
merupakan konsep diri yang diinginkan & Buss, 2002). Menurut (Frits, 1971)
oleh klien, misalnya seperti baik, bermoral konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa
dan orang yang dihormati. Terkadang sejak lahir. Pembentukan konsep diri
pandangan mengenai konsep diri yang seseorang tidak terlepas dari peran orang
ideal menimbulkan konflik antara ideal tua dan lingkungannya. Keluarga
self dan real self. Real self adalah suatu merupakan tempat interaksi pertama yang
cara seseorang memandang dirinya sendiri. diperoleh seorang anak di awal
Konflik antara ideal self dan real self kehidupannya. Konsep diri seseorang
memotivasi klien untuk mengubah dirinya dapat berkembang ke arah yang negatif
sehingga sesuai dengan konsep diri yang jika ia melakukan penilaian yang negatif
ideal, akan tetapi pandangan mengenai tentang dirinya sendiri. Individu tersebut
konsep diri yang ideal harus bersifat tidak akan pernah merasa cukup baik dan
realistik. Selanjutnya, public self

33
selalu merasa ada yang salah dengan seharusnya tampil di depan orang lain.
dirinya. Pada usia ini pula individu cenderung telah
Menurut Calhoun & Acocella memiliki konsep tertentu tentang dirinya
(1990), berkembangnya konsep diri dapat (Larsen & Buss, 2002). Menurut Papilia
ke arah yang positif ataupun ke arah yang dan Olds (1989) masa remaja adalah masa
negatif. Hal ini tergantung dari diri yang tumpang tindih karena merupakan
individu itu sendiri. Konsep diri dapat masa transisi dari anak-anak menuju
berkembang ke arah yang positif jika dewasa. Di masa ini, perubahan secara
individu dapat menerima kekurangan dan fisik, kognitif, sosial, dan emosional
kelebihan dirinya (yang diketahui sendiri terjadi dengan sangat cepat. Selain itu
ataupun karena pandangan orang lain) mereka juga butuh membentuk ikatan yang
dengan pasrah. Seseorang dengan konsep kuat dengan teman sebayanya, merasa
diri yang positif sangat mengenal dirinya. disukai, dicintai, dan dihargai.
Mereka dapat memahami dan menerima
fakta-fakta yang beraneka ragam tentang Identity vs Identitiy Confusion
dirinya dengan apa adanya. Orang dengan Remaja menurut tahap
konsep diri yang positif merancang tujuan- perkembangan Erikson (1956) sedang
tujuan yang sesuai dan realistis untuk berada pada tahap kelima yaitu tahap
menghadapi kehidupan di depannya identitas vs kekacauan identitas (identity
(Wicklund & Frey, 1980). versus identity confusion) dimana para
Masa remaja adalah masa yang remaja sedang berusaha untuk mencari dan
berpengaruh dalam pembentukkan konsep mendefinisikan dirinya sendiri. Erikson
diri seseorang. Seorang anak akan semakin mengatakan bahwa masa remaja
banyak berinteraksi dengan lingkungannya merupakan jarak (gap) antara rasa aman
dan bukan hanya ia memberi arti pada pada masa anak-anak (childhood security)
lingkungannya tersebut, tetapi ia juga akan dan kemandirian yang harus dimiliki pada
menerima banyak masukan dari masa dewasa (adult autonomy). Pada masa
lingkungan itu sendiri. Pada usia ini, ini, para remaja diberikan kebebasan
banyak sekali perubahan yang akan secara bertanggung jawab, sehingga para
membawa dampak pada kondisi psikologis remaja memiliki kesempatan untuk
seseorang. Misalnya perubahan bentuk mencoba berbagai macam identitas diri
tubuh pada anak perempuan akan yang dimilikinya. Para remaja
membuat anak perempuan lebih bereksperimen dengan sejumlah peran
memperhatikan penampilannya. Ia juga (role) dan kepribadian (personality) yang
akan membandingkan penampilan dirinya berbeda-beda. Mereka sangat mungkin
dengan penampilan teman-temannya. untuk memiliki sebuah cita-cita untuk
Tanggapan dari orang lain mengenai mengejar suatu karir, kemudian cita-cita
dirinya juga akan membawa dampak tersebut berubah di lain waktu.
tersendiri, yang semuanya akan memberi Eksperimen ini dilihat sebagai suatu upaya
sumbangan dalam pembentukkan konsep yang disengaja, sebagai bagian dari tahap
diri seorang remaja. Masa remaja juga pencarian jati diri para remaja. Pada
merupakan masa pencarian identitas diri akhirnya para remaja akan mengabaikan
yang akan mempengaruhi jalan hidup peran dan kepribadian yang kurang sesuai
seseorang selanjutnya (Papalia, 1995). dengan identitas diri mereka (Santrock,
Saat usia remaja, anak mulai 2013). Jika remaja berhasil menyelesaikan
mampu melihat dirinya berdasarkan cara tahap ini, ia akan menemukan yang disebut
pandang orang lain terhadap dirinya. Hal sebagai “identitas diri”, namun jika gagal
tersebut yang menyebabkan anak remaja remaja akan mengalami kesulitan untuk
memusatkan seluruh energinya untuk mendefinisikan dirinya sendiri (identity
mencari cara bagaimana mereka confusion). Identity confusion ditandai

34
dengan sikap remaja yang mengisolasi Inkongruensi Konsep Diri Remaja
dirinya sendiri dan berusaha menghindar Akibat Penggunaan Media Sosial
dari kelompok teman-temannya dan Konsep diri aktual dan ideal
keluarga. (Santrock, 2013). Dalam usaha Rogers memiliki hubungan yang disebut
menemukan identitas, remaja kongruensi dan inkongruensi. Kongruensi
membutuhkan teman sebaya. Pada usia merupakan kondisi dimana konsep diri
transisi ini, remaja tidak mau dianggap yang dimiliki individu saat ini (real self)
anak kecil lagi. Remaja butuh menunjukan selaras atau sesuai dengan konsep diri
keberadaan dirinya, menunjukkan siapa yang menjadi harapannya (ideal self).
dirinya, dan membutuhkan pengakuan dari Menurut Rogers, kondisi ini merupakan
lingkungannya. Di masa ini remaja butuh syarat individu untuk mencapai sebuah
untuk mencari jawaban dari pertanyaan aktualisasi diri (self-actualization), yaitu
“who am I?”. Jawaban tersebut dapat tingkat kebutuhan paling tinggi dalam
diperoleh dari berbagai pengalaman piramida Maslow, yang artinya individu
bersama dengan teman sebaya. Seringkali telah mencapai pertumbuhan maksimum
teman sebaya turut berkontribusi baik dari segi potensi, nilai-nilai, dan
mempengaruhi cara seorang remaja pandangannya terhadap diri sendiri.
menilai dirinya sendiri (Mulamawitri, Sebaliknya, inkongruensi merupakan
2003). kondisi adanya ketidakcocokan antara self
yang dirasakan dalam pengalaman aktual
Media Sosial dan Konsep Diri Remaja (real self) dengan self yang ingin dicapai
Penggunaan media sosial dilihat (ideal self). Artinya, terdapat kesenjangan
oleh remaja sebagai salah satu wadah yang antara diri yang diharapkan dengan kondisi
dapat membantu penemuan identitas diri saat ini. Semakin jauh kesenjangan
dirinya. Melalui media sosial, remaja antara konsep diri realita dengan konsep
memiliki komunitas online yang diri ideal, maka akan semakin besar
memberikan kesempatan bagi remaja kongruensinya. Menurut Rogers,
untuk berinteraksi secara sosial dengan kesenjangan ini akan membuat individu
orang lain dan mendapatkan umpan balik mengembangkan self concept yang negatif.
tentang dirinya dari komunitas tersebut Hal ini tentunya berdampak buruk bagi
(Guzzetti, 2006). Umpan balik dan perkembangan diri remaja (Feist & Feist,
evaluasi diri dari komunitas dunia maya 2009). Penggunaan sosial media dapat
ini dianggap penting bagi individu untuk berdampak negatif karena menimbulkan
dijadikan pedoman membentuk konsep jarak (discrepancy) antara konsep diri
dirinya. Selain itu, komunikasi melalui yang ideal, dengan konsep diri yang
dunia maya tidak terlalu membebani dan sebenarnya. Dengan menampilkan sisi
menakutkan bagi remaja karena remaja ideal dari konsep diri seseorang, muncul
dapat mengganti karakternya secara sebuah jarak (gap) antara konsep diri yang
mudah pada media sosial. Dengan kata sebenarnya dengan konsep diri ideal.
lain, bagi para remaja komunikasi dunia Pada saat remaja memberikan dan
maya melalui media sosial dianggap mendapatkan umpan balik dari teman
sebagai tempat ideal untuk bereksperimen sebaya melalui media sosial, ia terus-
dan melakukan eksplorasi pencarian menerus mengevaluasi dirinya berdasarkan
identitas. Dikarenakan kemudahan dalam umpan balik dan penilaian tersebut
menjelajahi dunia media sosial, remaja (Siegle, 2011). Evaluasi ini akhirnya
mengakses media sosial secara terus mempengaruhi pembentukan konsep diri
menerus dan seringkali menimbulkan remaja. Menurut penelitian Parker & Boyd
fenomena penggunaan berlebihan atau (2010), remaja akan cenderung melihat
ketagihan (addiction). profil sosial media remaja lain dan
melakukan perbandingan dengan dirinya.

35
Perbandingan ini secara tidak sadar akan lingkungan ini dijelaskan oleh konsep
membentuk konsep diri ideal yang “looking glass-self” Cooley (1902) yang
standarnya semakin tinggi dan semakin mengatakan bahwa individu membentuk
jauh dari konsep diri yang dimiliki oleh konsep dirinya berdasarkan kepercayaan
remaja saat ini. Selain itu, remaja yang bagaimana orang lain melihat dirinya.
mendapatkan umpan balik negatif dari Menurut Yeung & Martin (2003) terdapat
media sosial akan sulit menerima dirinya tiga proses individu melihat dirinya
sendiri. Oleh sebab itu, isu seperti citra berdasarkan konsep Cooley. Yang
tubuh atau kecantikan sering muncul pada pertama, individu membayangkan
remaja yang mengakses sosial media bagaimana orang lain melihat dirinya.
(Marwick & boyd, 2010). Menurut Ward Selanjutnya, individu melakukan reaksi
(dalam Livsey, 2013) remaja yang terhadap penilaian orang lain yang
menggunakan sosial media berada dibayangkan tersebut, setelah itu individu
dibawah tekanan terus-menerus untuk membentuk konsep dirinya dari penilaian
tampil “baik” dan “sesuai” menurut orang lain yang dibayangkan tersebut. Hal
standar media sosial. Padahal, para remaja ini didukung dengan konsep interaksi
tidak menyadari bahwa hal yang simbolis dari George Herbert Mead
ditampilkan oleh teman-temannnya (Blumer, 1969). Menurut Mead, dimulai
merupakan konsep diri mereka yang sudah dari masa kanak-kanak, individu mulai
dimanipulasi dan bukan merupakan mendefinisikan dirinya melalui proses
konsep diri yang sebenarnya (Livsey, sosialisasi dan mengamati bagaimana
2013). Oleh sebab itu, menurut Siegle lingkungan memberi makna pada hal-hal
(2010) semakin tinggi frekuensi tertentu dan melakukan sesuatu
penggunaan sosial media oleh remaja, berdasarkan makna tersebut.
semakin besar kesenjangan atau
inkongruensi konsep diri remaja. Rogers Imagery Audience
mengatakan bahwa konsep diri mengalami Umpan balik dari dunia sosial
penurunan karena adanya kesenjangan sangat berpengaruh dalam pembentukan
antara diri yang sebenarnya dengan diri dan perkembangan identitas remaja.
yang ideal (dalam Calhoun & Acocella, Elkind (1967) mengatakan bahwa identitas
1990). Remaja yang menghabiskan waktu remaja dipengaruhi oleh imaginary
terlalu banyak mengakses sosial media audience dan personal fable dari remaja
memiliki resiko mengalami penurunan tersebut. Imaginary audience adalah
konsep diri. kelompok teman-teman (peers) dan orang
Umpan balik sosial media dapat lain yang dipercaya memperhatikan remaja
mempengaruhi remaja karena persepsi secara konstan. Personal fable adalah
terhadap diri sendiri merupakan hasil kepercayaan remaja bahwa mereka spesial,
pembelajaran dan pengalaman seseorang unik, dan terhindari dari bahaya (Elkind,
tentang lingkungan di sekitarnya 1967). Kombinasi antara imaginary
(Shavelson & Bolus, 1981). Pembelajaran audience dan personal fable
ini diperkuat dengan adanya pemberian mempengaruhi egosentrisme remaja. Para
penguatan (reinforcement), evaluasi remaja menampilkan diri mereka di media
terhadap orang-orang penting di sosial berdasarkan preferensi dari
lingkungan individu (evaluations of imaginary audience. Hal ini membuat
significant other), dan bagaimana individu mereka sangat peduli tentang bagaimana
melakukan atribusi terhadap dirinya (self- mereka dilihat di dalam media sosial.
attribution). Oleh sebab itu, pembentukan Perilaku menulis status, mengunggah foto,
konsep diri sangat dipengaruhi oleh mengganti informasi dan foto profil
lingkungan dan umpan balik yang individu mereka bermain dalam egosentrisme
terima dari lingkungannya. Pengaruh remaja. Perilaku-perilaku tersebut

36
dilakukan untuk menarik penonton secara bagi dalam hidup remaja sehingga remaja
online yang dipercaya remaja akan selalu merasa profil dirinya di sosial media
memperhatikan mereka secara konstan. tidak cukup baik. (Irvine, 2010).
Dalam penggunaan sosial media, remaja Remaja yang masih merasa dirinya
mendapatkan umpan balik melalui dunia kurang baik di mata komunitas media
sosial yang berpengaruh terhadap sosial akan berusaha memperbaiki
perkembangan identitas mereka. tampilannya di sosial media. Penelitian
Marwick dan Boyd (2011) yang dilakukan oleh Zwier, Araujo,
mengatakan bahwa dengan bantuan SNS, Boukes dan Willemsen (2011)
remaja mengetahui selera yang jelas dari menemukan bahwa remaja yang
para audience sehingga mereka mampu menggunakan sosial media akan
membangun konsep diri untuk cenderung menampilkan diri yang
mencerminkan konten yang sesuai. Hal ini diharapkan dibandingkan menampilkan
menyebabkan dilema dalam gambaran diri yang sebenarnya.
menyeimbangkan antara dirinya yang asli Kecenderungan ini menimbulkan
dan keinginan untuk menyenangkan fenomena digital self dimana remaja
audience, dilema antara diri yang memiliki identitas digital yang tidak sesuai
sebenarnya dengan diri yang ideal. Selain dengan keadaan dirinya. Identitas ini
itu, representasi visual dari indentitas ditunjukkan dengan cara memanipulasi
remaja pada media sosial dan kepentingan kata-kata, foto, lambang, dan link tertentu
yang dirasakan remaja terhadap imaginary di media sosial dengan tujuan membentuk
audience-nya menyebabkan kemungkinan impresi orang lain terhadap dirinya (Schau
akan perbandingan dan kritik secara online & Willy, 2003).
tidak akan pernah berakhir (Livsey, 2013).
Para remaja mencari informasi tentang METODE
teman-temannya di dunia sosial, umpan
balik ini membuat mereka Pengambilan data dilakukan
membandingkan diri mereka dengan dengan metode kuantitatif, yakni dengan
teman-temannya. Hal inilah yang menjadi survei yang berisi sejumlah pertanyaan.
resiko menurunnya konsep diri remaja. Survei tersebut diberikan kepada 150
responden, yaitu para remaja yang berusia
15-25 tahun. Hasil survei ini digunakan
Dampak Negatif Penggunaan Media agar peneliti memperoleh gambaran
Sosial permasalahan yang akan dijadikan dasar
Saat remaja memikirkan kegiatan kampanye. Informasi yang ingin
representasi dirinya, mereka kehilangan diperoleh melalui survei tersebut adalah
diri mereka yang sebenarnya karena untuk mengetahui gambaran penggunaan
representasi online yang mereka tampilkan media sosial, actual self concept para
berbeda dari cara mereka berperilaku di remaja yang menggunakan media sosial,
dunia nyata. Hal ini dapat mendorong bagaimana seseorang ingin dilihat saat
terbentuknya citra diri yang negatif karena menggunakan media sosial, dan seberapa
remaja tidak menerima dirinya yang jauh media sosial dapat membantu
sebenarnya (Davis, 2012). Akibatnya, para seseorang mencapai ideal self. Oleh karena
peneliti menemukan fenomena yang itu, pertanyaan yang diajukan dalam survei
berdampak pada remaja seperti “Facebook memuat berbagai hal untuk menjawab
depression” yaitu tanda-tanda depresi yang informasi di atas.
muncul pada remaja yang terlalu banyak
mengakses sosial media. Fenomena
depresi tersebut disebabkan karena
penerimaan dari orang lain sangat penting

37
HASIL DAN PEMBAHASAN responden lainnya menjawab sosial media
tidak membantu dirinya mencapai image
Hasil survei menunjukkan bahwa diri yang ideal.
seluruh responden, yaitu sebanyak 108
responden, memiliki akun media sosial. Desain Kampanye
Manfaat yang dirasakan setelah Salah satu solusi untuk mengatasi
penggunaan media sosial yaitu sebanyak fenomena kesenjangan konsep diri akibat
69.4% merasa wawasan menjadi lebih penggunaan sosial media adalah dengan
luas, 57.4% merasa pergaulan menjadi kampanye sosial yang bertujuan untuk
semakin luas (mendapat teman baru), menyampaikan informasi kepada remaja
90.7% mendapat banyak informasi, 14.8% pengguna sosial media. Berdasarkan teori
merasa semakin percaya diri, dan lain-lain Rogers, inkongruensi konsep diri terjadi
sebanyak 3.7% karena adanya jarak antara konsep diri
Berdasarkan hasil survei, seseorang yang dimiliki oleh remaja saat ini dengan
dapat menggunakan media sosial selama konsep diri ideal yang ingin dicapai. Untuk
kurang dari satu jam sebanyak 10.2%, satu mengatasi inkongruensi dalam diri, jarak
jam sebanyak 13%, dua jam sebanyak atau diskrepansi ini harus semakin kecil.
24.1%, tiga jam sebanyak 9.3%, dan lebih Artinya, konsep diri saat ini harus semakin
dari tiga jam sebanyak 43.5%. menyerupai konsep diri ideal dan begitu
Jenis sosial media yang digunakan pula sebaliknya. Selain itu, menurut Sirgy
oleh kalangan remaja yaitu 88% (1986) ketika seorang konsumen diminta
Instagram, 80.6% Facebook, 51.9% untuk mengingat sebuah informasi maka
Twitter, 58.3% Snapchat, 87% Path, konsep diri sebenarnya akan lebih
19.4% Ask.fm, dan 13% Blog. berperan dibandingkan dengan konsep diri
Alasan para remaja ini ideal. Oleh sebab itu, pada kampanye ini
menggunakan media sosial yaitu 34.3% kelompok akan melakukan penekanan
untuk mengikuti trend, 86.1% untuk pada konsep diri sebenarnya yang
mengupdate informasi, 60.2% untuk merupakan cara remaja memandang
memperluas koneksi, 63% untuk mengisi dirinya sendiri. Kampanye sosial bertujuan
waktu luang, 76.9% untuk berkomunikasi, untuk meningkatkan konsep diri remaja
24.1% untuk berwirausaha/berbisnis, yang sebenarnya (real self) agar semakin
45.4% untuk berbagi pengalaman/moment, menyerupai ideal self dengan berfokus
dan 17.6% untuk bermain game. pada real self yang positif. Dengan
Hasil survei menunjukkan bahwa melakukan penekanan pada konsep diri
dalam dunia media sosial, para responden sebenarnya yang positif, diharapkan
ingin dilihat 22% populer, 47.2% konsep diri remaja dapat meningkat
mengetahui banyak informasi terkini, sehingga diskrepansi antara real self dan
54.6% punya banyak teman, 15.7% keren, ideal self menjadi lebih kecil. Berdasarkan
25% good looking, 5.6% memiliki barang hasil survei yang dilakukan, ternyata para
bagus/branded, 29.6% pintar, 6.5% remaja yang menggunakan media sosial
membutuhkan perhatian, 27.8% aktif masih memiliki konsep diri sebenarnya
mengikuti berbagai organisasi dan acara, (real self) yang bersifat positif, sehingga
16.7% mengikuti banyak kegiatan sosial, hal ini menjadi salah satu alasan mengapa
13.9% fashionable, 11.1% rajin kelompok menggunakan pendekatan
berolahraga, 28.7% memiliki bakat, dan tersebut.
26.9% bijaksana.
Hasil survei menunjukkan bahwa
56.5% responden merasa bahwa media Pelaksanaan
sosial dapat membantu dirinya mencapai Kampanye dilakukan di depan
image diri yang ideal. Sedangkan 43.5% Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

38
Semanggi pada hari Minggu 3 Mei 2015 Setelah itu, kelompok memberikan
pada saat car free day. Dalam kampanye beberapa informasi penting terkait
ini, kelompok membawa poster-poster dan penggunaan media sosial. Kelompok
membagikan flyer yang memiliki makna menunjukkan poster-poster yang
informasi bahwa penggunaan media sosial bertuliskan informasi bahwa media sosial
tidak menentukan diri seseorang. Tulisan tidak menentukan konsep diri mereka dan
pada poster-poster dan flyer tersebut menjelaskannya. Yang diharapkan lewat
berupa “You are sociable, talented, and pemberian informasi tersebut adalah para
funny” dan “Likes or comments do not remaja akan menyadari bahwa penggunaan
define how sociable, funny, and talented media sosial tidak menentukan seberapa
you are”. Tujuan dari kampanye ini yaitu supel, lucu, dan berbakat diri mereka,
untuk menyadarkan kembali kepada para karena tanpa media sosial pun, mereka
remaja bahwa tanpa penggunaan media tetap memiliki konsep diri yang positif.
sosial secara berlebihan (yang cenderung Pada saat kampanye ini dilakukan,
menampilkan konsep diri ideal), mereka terlihat bahwa para remaja memahami
tetap memiliki konsep diri yang positif. informasi yang diberikan dan
Kelompok mencari target yaitu mendapatkan insight bahwa penggunaan
para remaja yang sedang mengikuri car media sosial tidak menentukan konsep diri
free day, khususnya yang sedang mereka. Hal ini dilihat dari tanggapan dan
menggunakan gadget. Ada sejumlah respon positif dari mereka, ditandai
remaja yang menghampiri kelompok dengan anggukan kepala mereka ketika
secara mandiri dan ada pula sejumlah diberikan informasi terkait konsep diri,
remaja yang kelompok hampiri. Kelompok perhatian yang tertuju pada saat dijelaskan
membagikan flyer kemudian meminta informasi terkait penggunaan media sosial,
waktu para remaja untuk berdiskusi dan kesediaan mereka untuk membaca
mengenai penggunaan media sosial. sejumlah poster yang berisikan informasi
Pertanyaannya berupa apa saja media mengenai media sosial dan pengaruhnya
sosial yang digunakan, apa saja yang terhadap konsep diri. Keterbatasan
dilakukan saat menggunakan media sosial, penelitian ini adalah belum dilakukannya
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk evaluasi secara sistimatis terhadap dampak
mengakses media sosial dalam sehari, dan kampanye yang diberikan.
bagaimana mereka ingin dilihat lewat
penggunaan media sosial. Rata-rata para DAFTAR PUSTAKA
remaja menjawab media yang paling
sering digunakan adalah instagram, twitter, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
dan facebook. Kegiatan yang mereka Indonesia (APJJI). (2012).
lakukan dalam media sosial tersebut Jakarta: MarkPlus
adalah mengupload foto, menuliskan Badan Pusat Statistik. (2012). Statistik
comment, dan untuk berkomunikasi. Telekomunikasi Indonesia 2012.
Hampir semua remaja yang kelompok Badan Pusat Statistik.
temukan menjawab bahwa mereka Calhoun, J., Acocella, J. (1990). Psikologi
mengakses media sosial setiap hari ketika tentang penyesuaian dan
ada waktu-waktu kosong, bahkan para hubungan kemanusiaan (3rd ed.).
remaja ini seringkali membuka media New York: McGraw-Hill.
sosial pada saat pelajaran berlangsung di Davis, K. (2012). Tensions of identity in a
kelas. Semua kegiatan yang dilakukan di networked era: Young people’s
media sosial ditujukan untuk memberikan perspectives on the risks and
kesan bahwa diri mereka supel (sociable), rewards of online self-expression.
lucu, cantik, tampan, keren, berbakat, New Media & Society, 14(4), 634-
punya banyak teman, dan eksis. 651.

39
Elkind, D. (1967). Egocentrism in Lukman, E. (2015). Laporan: 30 juta
adolescence. Child Development, pengguna internet di Indonesia
38(4), 1025-1034 adalah remaja. Diunduh pada 25
Erwin, Z. (2015). Indonesia juara akses Mei 2015 dari
internet melalui smartphone. http://id.techinasia.com/
Tempo. Diunduh pada 25 Mei Marwick, A. E., & boyd, d. m. (2011). I
2015 dari http://tekno.tempo.co/ tweet honestly, I tweet
Frits, W. (1971). The self concept and self passionately: Twitter users,
actualization. California: Western context collapse, and the
Psychological Services. imagined audience. New Media &
Hendra. (2014). Fenomena internet pada Society, 13(1), 114-133.
anak-anak dan remaja. Diunduh Mulamawitri, T. (2001). Antara Tekanan
pada 23 Mei 2015 dari dan keinginan pribadi. Kompas,
http://hendra.room318online.com/ 37
Hurlock, E. (1974). Personality Papalia, D. (1995). Human development
development. New York: (6th ed.). New York: McGraw-
McGraw-Hill. Hill.
Irvine C. Excessive chatting on Facebook Pervin, L. (1996). The science of
can lead to depression in teenage personality. New York: John
girls. Daily Telegraph. January Wiley & Sons, inc.
31, 2010. Diunduh pada 7 Qomariah, A.N. (2008). Perilaku
September 2010 dari penggunaan internet pada
www.telegraph.co.uk/technology/ kalangan remaja di perkotaan.
facebook/4405741/Excessive- Diunduh pada 23 Mei 2015 dari
chatting-onFacebook-can-lead-to- http://palimpsest.fisip.unair.ac.id/
depression-inteenage-girls.html. Riyanto, S. (2008). Rancang bangun
Jatmika, A. (2015). Empat alasan remaja database terpisat network contol
gemar media sosial. Tempo. sustem pada PT Bank
Diunduh pada 30 Mei 2015 dari Niaga tbk berbasis web. Diunduh pada 23
http://tekno.tempo.co/ Mei 2015 dari http://storage.jak-
Kaplan, A. M., & Haenlein, M. (2010). stik.ac.id/
Users of the world, unite! The Santrock, J. W. (2013). Life span
challenges and opportunities of development 14th edition. New
Social Media. Business horizons, York: Mc Graw Hill
53(1), 59-68. Schau, H. J., & Gilly, M. C. (2003). We
Larsen, R., Buss, D. (2002). Personality are what we post?
psychology: Domaints of Self‐presentation in personal web
knowledge about human nature. space. Journal of consumer
New York: McGraw-Hill. research, 30(3), 385-404.
Lesmana, A. (2012). Perbedaan Sirgy, M. Joseph (1986). Self-Congruity:
penglihatan antara pengguna Toward a New Theory of Personality
telepon pintar dengan yang tidak and Cybernetics. New York: Praeger
menggunakan telepon pintar. Publishers.
Diunduh pada 25 Mei 2015 Streep, P. (2013). Four things teens want
http://repository.usu.ac.id/ and need from social media.
Livsey, B. K. (2013). Self-concept and Diunduh pada 30 April 2015 dari
online social networking in young https://www.psychologytoday.co
adolescents: Implications for m
school counselors. The University
of Texas.

40
Cooley, C. H. (1902). The looking-glass
self. Human Nature and the
Social. Scribner’s: New York.
White, L. E., Duncan, G. D., Baumle, W.
(2011). Foundation of basic
nursing (3rd ed.). New York:
Delmar Cengage Learning
Wijaya, K.K. (2015). Berapa jumlah
pengguna website, mobile, dan
media sosial di Indonesia?
Diunduh pada 25 Mei 2015 dari
http://id.techinasia.com/
Yeung, K. T., & Martin, J. L. (2003). The
looking glass self: An empirical
test and elaboration. Social
Forces, 81(3), 843-879.
Zwier, S., Araujo, T., Boukes, M., &
Willemsen, L. (2011). Boundaries
to the articulation of possible
selves through social networking
sites: The case of Facebook
profilers' social connectedness.
CyberPsychology, Behavior, and
Social Networking, 14(10), 571-
576

41

Anda mungkin juga menyukai