JUAL BELI
Jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’, al-Tjarah dan al-Mubadalah, sebagaimana Allah. Swt.
berfiman :
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi” (Fathir: 29)
Menurut istilah (terminologi) yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut.
1. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak
milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.
2. “Pemilik harta benda dengan jalan tukar-menukar yang sesuai dengan aturan Syara.”
3. “Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan iijab dan qabul,
dengan cara yang sesuai dengan Syara.”
4. “Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).”
5. “Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan ataua memindahkan
hak milik dengan peggantinya dengan cara yang dibolehkan.”
6. “Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka jadilah penukaran hak
milik secara tetap.”
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti jual beli ialah salah satu perjanjian
tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah
pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian
atau ketentuan yang telah ditentukan syara’ dan disepakati.
Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan
kemanfaatan rikatan dan kenikmatan. Perikatan adalah aqad yang mengikat dua belah pihak.
Tukar-menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran atas sesuatu yang di
tukarkan oleh pihak lain. Dan sesuatu yang bukan manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan
adalah dzat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan
hasilnya.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan
bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas dan perak,
bendanya dapat di realisir dan ada seketika (tidak ditangguhkan), tidak merupakan utang baik
barang ada dihadapan si pembeli maupun tidak, barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau
sudah di ketahui terlebih dahulu.1
Jual beli telah disahkan Al-qur’an, sunnah dan ijma’ umat. Adapun dalil dalam al-qur’an
yaitu firman allah
ُ َوَأ َح َّل ه
ِّ اَّلل ْال َب ْي َع َو َح َّر َم
الر َبا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, (Q.S. Al-Baqarah (2) 275)”
Riba adalah haram dan jual beli adalah halal, jadi tidak semua aka jual beli adalah haram
sebagai mana yang disangka oleh sebagian orang berdasarkan ayat diatas.
“Rasulullah SAW, bersabda: sesungguhnya jual beli hanya sah dengan saling merelakan,”
(Riwayat Ibnu Hibban dan Ibn Majah).2
1
Hendi Suhendi. Fiqih muamalah. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 67
2
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Fiqih Muamalah. (Jakarta: Amzah,2010)
C. Rukun dan Syarat Jual Beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dpat
dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli terdapat perbedaan pendapat ulama
Hanafiyah dengan jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu
ijab qabul, ijab adalah ungkapan membeli dari pembeli, dan qabul adalah ungkapan menjual dari
penjual. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan (ridha)
kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli.Akan tetapi, karena unsur kerelaan itu
merupakan unsur hati yang sulit untuk diindra sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan
indikasi yang menunjukkan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukkan
kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh tergambar
dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang.
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu :
1. Ada orang yang berakad (penjual dan pembeli).
2. Ada sighat (lafal ijab qabul).
3. Ada barang yang dibeli (ma’qud alaih)
4. Ada nilai tukar pengganti barang.
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli, dan nilai tukar barang
termasuk kedalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur
ulama diatas sebagai berikut :
a. Syarat-syarat orang yang berakad
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi
syarat, yaitu :
Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat
agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan
anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat
bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi hukumnya, jual beli ada dua
macam, jual beli yang sah menurut hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli
dan segi pelaku jual beli.
Ditinjau dari segi benda yang dijdikn objek jual beli dapat dikemukakan pendapat Imam
Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk :
1. Akad jual beli yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan oleh kebanyakan
orang. Bagi orang bisu diganti dengan isyarat karena isyarat merupakan pembawaan
alami dalam menampakkan kehendak. Hal yang dipandang dalam akad adalah maksud
atau kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.
2. Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau surat-menyurat sama
halnya dengan ijab kabul dengan ucapan, misalnya via Pos dan Giro.
3. Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal dengan istilah mu’athah
yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang
mengambil rokok yang sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan
kemudian diberikan uang pembayarannya kepada penjual.
Selain pembelian diatas, jual beli juga ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang, jual beli
yang dilarang juga ada yang batal ada pula yang terlaranng tapi sah. Jual beli yang dilarang dan
batal hukumnya adalah sebagai berikut.
1. Menemui orang-orang desa sebelum mereka masuk ke pasar untuk membeli benda-
bendanya dengan harga yang semurah-murahnya, sebelum mereka tahu harga pasaran,
kemudian ia jual dengan harga yang setinggi-tingginya.
2. Menawar barang yang sedang ditawar oleh orang lain.
3. Jual beli dengan Najasyi.
4. Menjual di atas penjualan orang lain.3
Khiar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual beli atau mengurungkan
(menarik kembali, tidak jadi jual beli)”. Diadakan khiar oleh syara’ agar dua orang yang berjual
beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi
penyesalan dikemudian hari lantaran merasa tertipu.4
b. Macam-macam Khiar
Khiar Majelis
Artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau akan
membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majelis), khiar majelis boleh
dilakukan dalam berbagai jual beli. Landasan hukumnya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
3
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama)
4
Sulaiman Rasjid, Fiqih Ibadah, (bandung : Sinar Baru Algensindo,1994) hlm.286
“Dari Ibnu Umar ra. dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda, “Apabila ada dua orang
melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar,
selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak
memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan
hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka
telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak
(meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (HR. Al.Bukhari dan Muslim)
Khiar Syarat
Artinya khiar yang dijadikan syarat pada waktu akad jual beli, artinya pembeli atau penjual
memilih antara meneruskan atau membatalkan transaksi sesuai dengan batas waktu yang telah
ditentukan. Setelah hari yang ditentukan itu tiba, maka jual beli itu harus dipastikan apakah
dilanjutkan atau tidak.Landasan hukumnya sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
َ َِث ُ َّمِأ َ ْنتَ ِفىِ ُكلِس ْلعَةِِا ْبت َ ْعت َ َهاِب ْالخيَارِثَال.َِإذَاِأ َ ْنتَ ِبَايَعْتَ ِفَقُ ْلِالَِخالَبَة:سلَّ َم
ِثِلَيَالِفَإ ْن َ ِصلَّىِهللا
َ علَيْه
َ ِو ُّ قَالَِالنَّب
َ ِي
َ ِاردُدْهَاِ َعلَى
.صاحب َها ْ سخ
ْ َطتَ ِف َ َرضيتَ ِفَأ َ ْمس ْك
َ ِِوإ ْن
“ Nabi saw bersabda: Apabila kamu menjual maka katakanlah dengan jujur dan jangan menipu.
Jika kamu membeli sesuatu maka engkau mempunyai hal pilih selama tiga hari, jika kamu rela
maka ambillah, tetapi jika tidak maka kembalikan kepada pemiliknya.” (HR. Ibnu Majah)
Khiar Aib
Artinya hak untuk memilih antara membatalkan atau meneruskan akad jual beli apabila
ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang diperjualbelikan, sedang pembeli tidak
mengetahui adanya kecacatan pada saat akad berlangsung. Atau dengan kata lain, jika seseorang
membeli barang yang mengandung kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan
si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut
kepada penjualnya, dengan meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau
sesuai dengan perbandingan kerusakan dan harganya. Landasan hukumnya sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW :
ُ َ ُ َ َّ َ
يه ع ْي ٌب ِإال َب َّينه له ً ْ َ اع م ْن َأخ
َ َ ْ ُ ُّ َ َ َ ْ ُ ْ ُ َ ُ ْ ُ ْ َ َ َََْ َ َ ه َ َّ َّ َّ َ ه
ِ يه بيعا ِفِ ِ ِ المس ِلم أخو المس ِل ِم وال ي ِحل ِلمس ِل ٍم ب:ب صَّل هللا علي ِه وسلم قال أن الن ِ ي
)وغيه
(رواه أحمد وابن ماجة ر
“Bahwasanya Nabi saw bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah
bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal
pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad,
Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani)5
5
Ibid, Sulaiman Rasjid, hal.286
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPU:
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2016/2017