Anda di halaman 1dari 6

PERTANIAN INDONESIA TIDAK BERDAULAT

Indonesia sebagai negara agraris (pertanian), sektor pertanian merupakan


sektor yang menyerap tenaga kerja cukup tinggi, khususnya pangan dan
industrialisasi pangan menjadi pilihan karena posisinya yang berdasarkan sumber-
sumber sendiri dan bertitik sentral pada masyarakat pedesaan sebagai petani yang
menjamin kemandirian ekonomi dan ketahanan pangan dalam negeri. Di
Indonesia hubungan antara sektor pertanian dengan pembangunan nasional pada
dasar nya merupakan hubungan yang saling mendukung. Pembangunan Nasional
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, sedangkan mayoritas
masyarakatnya hidup dipedesaan dengan jumlah terbesar bermata pencaharian di
sektor pertanian. Salah satu tujuan Pembangunan Nasional lebih diarahkan pada
upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat pedesaan melalui pembangunan
sektor pertanian.

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI

Indonesia masih memiliki permasalahan serius dengan produktivitas


tanaman. Tanaman di Indonesia terkhusus padi, jagung dan kedelai yang belum
mampu berproduksi secara maksimal. BPS mencatat bahwa di tahun 2018 padi
hanya mampu berproduksi sebanyak 56.537.774 ton dengan luas panen
10.903.835 ha. Ini artinya rata-rata padi di Indonesia hanya mampu produksi 5,18
ton/ha. Seharusnya untuk tanaman padi mampu berproduksi sampai 10 Ton/ha
( Sinar Tani ). Jika potensi ini bisa dikembangkan maka dengan luas lahan
10.903.835 ha akan mampu berproduksi sebangak 109.038.350 ton.
Begitu juga dengan tanaman jagung, BPS mencatat pada tahun 2018
dengan luas panen 5.734.326 ha hanya mampu berproduksi sebanyak 30.055.623
ton. Ini artinya jagung di Indonesia hanya mampu produksi 5.24 ton/ha. Padahal
untuk jagung mampu berproduksi sebanyak 10 ton/Ha. Jika potensi ini mampu
dimaksimalkan maka jagung dapat berproduksi sebanyak 300.556.230 pada luas
panen 5.734.326. Indonesia juga belum mampu mencukupi kebutuhan kedelai.
Tahun 2018 dengan luas lahan 680.373 ha hanya mampu menghasilkan 982.598
ton. Ini artinya kedelai hanya mampu produksi 1,44 ton/ha. Padahal menurut
Hasal Muchtar, kedelai mampu berproduksi 2.5 ton per hektar.
Tentu banyak faktor penyebab kegagalan tanaman tidak berproduksi
secara maksimal, mulai dari faktor tanaman itu sendiri, budidaya, dan kualitas
sumber daya petani yang kompeten. Pemerintah harus memberikan edukasi dan
pelatihan tentang proses budidaya yang baik kepada petani secara berkelanjutan
sehingga dapat meningkatkan usaha tani, mampu menunjang produksi dan dapat
melahirkan petani yang kompeten, sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan pemberdayaan Petani pada pasal 43 ayat 1, bahwa
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban
meningkatkan keahlian dan keterampilan petani melalui pendidikan dan pelatihan
secara berkelanjutan.
Pemerintah juga harus memberikan fasilitas penyuluhan dan
pendampingan kepada petani sesuai UU Nomor 19 tahun 2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pada pasal 46. Saat ini jumlah penyuluh
pertanian sebanyak 12.007 PNS untuk melayani 71.479 desa atau kelurahan
potensi pertanian. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian
menyatakan bahwa masih dibutuhkan sebanyak 59.472 orang penyuluh.
Kemudian Kementerian Pertanian telah mengusulkan formasi Tenaga Harian
Lepas – Tenaga Bantu (THL-TB) penyuluh pertanian sebanyak 7.684 orang yang
berumur maksimal 35 tahun sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan tenaga penyuluh pertanian sebanyak
47.465 belum dihitung dengan usulan THL-TB oleh Kementerian Pertanian.
Dalam Permentan Nomor 72 tahun 2017 tentang Pedoman Penyusunan Formasi
Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian menyatakan bahwa penyuluh pertanian
minimal berjumlah 1 (satu) penyuluh untuk 1 (satu) desa potensi pertanian.

IMPOR

Swasembada pangan merupakan langkah yang tepat dalam memanfaatkan


sumber daya alam Indonesia yang melimpah dan dapat memperbaiki
ketergantungan Indonesia akan impor saat ini. Swasembada pangan adalah
keadaan dimana suatu negara dapat memenuhi tingkat permintaan akan suatu
bahan pangan sendiri tanpa perlu melakukan impor dari pihak luar.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang
pangan mengatakan bahwa, “Kedaulatan pangan adalah hak Negara dan bangsa
yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas
pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
system pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal”.
Permasalahan mulai muncul di tahun 2018. Dirut perum bulog Budi
Waseso menyatakan bahwa stok beras di gudang masih aman dan tidak perlu
dilakukan impor hingga akhir tahun 2018 dan saat ini kita berhasil swasembada
beras. Tetapi di lain sisi, keputusan dari pemerintah melalui Menteri Perdagangan
akan melakukan impor beras sebanyak 1.000.000 ton hingga September 2018.
Menteri perdagangan menegaskan bahwa hal ini dilakukan berdasarkan hasil
rakor yang dihadiri oleh menko perekonomian, mentan dan dirut perum bulog.
Dan langkah ini diambil oleh Kementrian Perdagangan atas permohonan bulog
dengan system tender. Maka dari itu kemendag menerbitkan izin impor hingga
September 2018 karena stok beras belum aman dan produksi beras local terbatas.
Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada pasal 36 ayat 1
menyatakan bahwa impor pangan hanya dapat dilakukan jika produksi pangan
dalam negeri tidak mencukupi dan atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan
Petani pada pasal 30 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang dilarang mengimpor
komoditas pertanian saat ketersediaan dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan.
Dan ditegaskan pad pasal 101 bahwa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 30
ayat 1 dapat dijerat pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak
RP 2.000.000.000.

STABILITAS HARGA PANGAN

Menurut UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan pada pasal 51 ayat 1


menyatakan bahwa pemerintah berkewajiban mengatur perdagangan pangan.
Tujuan nya tertuang dalam pasal 51 ayat 2 pada huruf a yaitu untuk stabilisasi
pasokan dan harga pangan terutama pangan pokok. Selanjutnya pada pasal 55 ayat
1 menyatakan bahwa pemerintah wajib melakukan stabilisasi pasokan dan harga
pangan pokok ditingkat produsen dan konsumen.
Menurut data dari Kementrian Perdagangan, harga pasokan bawang merah
nasional pada lokasi perdagangan utama pada bulan Agustus-September 2019
berkisar Rp 15.000 sampai Rp 25.000. Harga ini jelas di bawah harga acuan yang
telah ditetapkan sendiri oleh Menteri Perdagangan. Harga acuan penjualan di
konsumen yang ditetapkan untuk bawang merah berdasarkan Peraturan Menteri
Perdagangan republic Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 adalah Rp 32.000/kg.
Artinya jelas bahwa pemerintah gagal dalam menyelesaikan stabilisasi harga.
Permasalahan berikutnya yaitu pada beras. Berdasarkan Peraturan Menteri
Perdagangan republic Indonesia Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tentang
penetapan harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di
konsumen menyatakan bahwa pada komoditi beras, harga acuan pembelian gabah
kering panen (GKP) di petani adalah Rp 3.700/kg. Sementara itu menurut data
yang dihimpun oleh Badan Pusat Statistik hingga bulan juli 2019, harga gabah
kering panen (GKP) di tingkat petani yaitu Rp 4.618/kg. Artinya pemerintah harus
meningkatkan harga acuan di tingkat petani agar usaha pertanian memiliki
kepastian harga sesuai dengan UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani pada pasal 3 huruf d yaitu petani harus dilindungi dari
fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen.
Faktor pendukung lainnya dalam pembangunan sektor pertanian adalah luas lahan
yang di gunakan sebagai media tanam. Lahan yang luas akan mampu
dimanfaatkan oleh petani untuk melakukan usaha budidaya tanaman dan akan
menunjang produktivitas tanaman. Lahan pertanian pangan merupakan bagian
dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan dalam UUD
Negara Republik Indonesia 1945. Bapak Jokowi-JK dalam janji politiknya akan
meningkatkan kepemilikan lahan petani menjadi rata-rata 2 hektar sehingga
kesejahteraan petani akan meningkat. Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi
yang mempunyai lahan pertanian yang luas diharapkan mampu menjadi motor
terciptanya kesejahteraan petani.

Tetapi faktanya adalah bahwa alih fungsi lahan di Sumatera barat terus
terjadi setiap tahunnya. Menurut Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan
Sumbar Candra mengatakan bahwa alih fungsi lahan di Sumatera Barat mencapai
600 Ha per tahunnya untuk membangun perumahan dan perkantoran pada
umumnya (Kementrian Pertanian Republik Indonesia). Ini merupakan suatu
peristiwa yang menyedihkan bagi petani. Sebagai Negara agraris Indonesia perlu
untuk menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan dan itu
tertuang dalam UU NO.41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan, bahwa kawasan dan lahan pertanian akan dilindungi dan
menjamin tersedianya lahan pertanian. Menurut data statistic lahan pertanian
2012-2016 (BPS) luas lahan sawah non irigasi mengalami penurunan yakni
berturut turut 66.337Ha pada tahun 2012, 43.554Ha pada tahun 2013, 43.273Ha
pada tahun 2014, 43.003Ha pada tahun 2015, dan 41.155Ha pada tahun 2016.

TUNTUTAN

1. Menuntut pemerintah untuk men-stop impor beras yang dilakukan

2. Menuntut pemerintah untuk meningkatkan produktivitas tanaman pertanian


khususnya padi,jagung,kedelai dan tanaman sembako
3. Menuntut pemerintah untuk memperluas lahan pertanian

4. Menuntut pemerintah untuk menambah jumlah dan meningkatkan kualitas


penyuluh pertanian

Anda mungkin juga menyukai