Anda di halaman 1dari 69

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian

diseluruh dunia. Pada tahun 2015, sebanyak 10,4 juta orang jatuh sakit

disebabkan tuberkulosis. Lebih dari 95% kematian akibat tuberkulosis terjadi

pada penduduk negara yang berpenghasilan rendah dan menengah. Enam

negara menyumbang 60% dari kasus tuberkulosis yaitu negara India

Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika Selatan. Tuberkulosis terjadi di

setiap bagian dunia. Pada tahun 2015, jumlah terbesar kasus Tuberkulosis

baru terjadi di Asia, dengan 61% dari kasus baru, diikuti oleh Afrika, dengan

26% dari kasus baru. Pada 2015, 87% dari kasus TB baru terjadi di 30 negara

beban Tuberkulosis yang tinggi (WHO, 2015).

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun

2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru

TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada

perempuan. Bahkan berdasarkan survei prevalensi tuberculosis, prevalensi

pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga

yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-

laki lebih terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya

ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh

partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan

1
2

perempuan yang merokok (Kemenkes, 2017).Tuberkulosis paru (TB)

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) yang dikenal

sebagai tubercle bacilli atau basil tahan asam (BTA) dan dapat menyebabkan

terjadinya infeksi baik di paru atau ekstra paru (Salwani,2018).

Negara dengan prevalensiTB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar

penderita yang sembuh setelah pengobatan TB, namun pada sebagian

penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktivitas, radiologi

menunjukkan gambaran bekas tuberkulosis paru (fibrotik, kalsifikasi) yang

minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang

tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori

penyakit sindrom obstruksi pasca tuberkulosis (SOPT) dengan gejala dan

tanda mirip dengan PPOK. SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis)

adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca

tuberkulosis dengan lesi paru yang minimal yang masih sering ditemukan

pada pasien pasca Tuberkulosis dalam praktik klinik. Patogenesis timbulnya

SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian terdahulu bahwa

kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh

reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi mekanisme makrofag

aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang

berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru yaitu sesak napas,

batuk berdahak dan batuk darah. Penelitian lainnya menunjukkan bahwa

puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjadi dalam

waktu 6 bulan setelah diagnosis. Penyebaran dan penyembuhan TB masih

belum tuntas walaupun obat dan cara pengobatannya telah diketahui. SOPT
3

dapat mengganggu kualitas hidup pasien, serta berperan sebagai penyebab

kematian sebesar 15% setelah durasi 10 tahun. Deteksi dini SOPT dengan uji

faal paru pada pasien pasca TB berperan untuk memperbaiki kualitas hidup

pasien (Irawati, 2013).

Berdasarkan penjelasan di atas, pasien dengan kasus Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkulosis (SOPT) menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu

berupa adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi

menurun, perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang

paru menjadi tidak maksimal bila tidak segera dilakukan penanganan atau

tindakan fisioterapi. Dari permasalahan tersebut, modalitas fisioterapi yang

bisa digunakan adalah IR yang berfungsi untuk melancarkan sirkulasi darah

dan rileksasi otot-ototpernapasan, breathing exercise dan coughing exercise

yang akan mengurangisputum atau membersihkan jalan napas, mengontrol

pola pernapasan, membuatrasa nyaman dan melegakan saluran pernapasan,

serta yang terakhir adalahmobilisasi lingkar toraks yang berfungsi untuk

membantu meningkatkanmobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi

respirasi serta memperkuatkedalaman inspirasi dan ekspirasi yang pada

akhirnya akan memperbaiki fungsipernapasan, meningkatkan ketahanan dan

kekuatan otot-otot pernapasan (Subroto, 2015).Oleh karena itu, kami

mahasiswa Profesi Fisioterapi Universitas Hasanuddin mengangkat tema

“Manajemen Fisioterapi Gangguan Fungsional Paru-Paru berupa Sesak

Napas, Batuk, dan Nyeri Dadae.cSyndrome Obstructive Post Tuberculosis

(SOPT) Sejak 3 Bulan yang Lalu”


4

1.2 Anatomi dan Fisiologi

1.2.1 Anatomi Alat-Alat Pernafasan pada Manusia

a. Rongga Hidung (Cavum Nasalis)

Hidung tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali

naris anterior yang dindingnyatersusun atas jaringan ikat fibrosa dan

tulang rawan. Permukaan luarnya dilapisi kulitdengan kelenjar

sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi: epitel

berlapissilindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal.

Didalamnya ada konka nasalissuperior, medius dan inferior. Lamina

propria pada mukosa hidung umumnyamengandung banyak pleksus

pembuluh darah (Patwa, 2015).

Alat penghidu mengandung epitel olfaktoria: bertingkat silindris

tanpa sel goblet, dengan laminabasal yang tidak jelas. Epitelnya

disusun atas 3 jenis sel: sel penyokong, sel basal dan selolfaktoris

(Srinivas, 2012).

Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum

nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya

terdapat kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat

(kelenjar sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda

asing yang masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga

rambut pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran

yang masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai

banyak kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang

masuk. Di sebelah belakang rongga hidung terhubung dengan


5

nasofaring melalui dua lubang yang disebut choanae

(Patwa,2015).Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-

rambut halus dan selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring

udara yang masuk ke dalam rongga hidung.

Gambar 1.1Alat-Alat Pernapasan


Sumber : Majumder, 2015

b. Faring (Tenggorokan)

Faring merupakan lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran

napas dan makanan menyatu danmenyilang. Pada saat makan

makanan dihantarkan ke esofagus. Pada saat bernapasudara

dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga: nasofaring, orofaring, dan

laringofaring.Mukosa pada nasofaringsama dengan organ respirasi,

sedangkan orofaring danlaringofaring sama dengan saluran cerna.

Mukosa faring tidak memilki muskularismukosa. Lamina propria

tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis menyatudengan

jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel

berlapisgepeng, mengandung kelenjar mukosa murni (Srinivanas,

2012)
6

Masuknya udara melalui faring akan menyebabkan pita

suarabergetar dan terdengar sebagai suara.Makan sambil berbicara

dapat mengakibatkan makanan masuk ke saluran pernapasankarena

saluran pernapasan pada saat tersebut sedang terbuka. Walaupun

demikian, sarafkitaakan mengatur agar peristiwa menelan, bernapas,

dan berbicara tidak terjadibersamaan sehingga mengakibatkan

gangguan kesehatan.Fungsi utama faring adalah menyediakan

saluran bagi udara yang keluar masuk dan jugasebagi jalan makanan

dan minuman yang ditelan, faring juga menyediakan

ruangdengung(resonansi) untuk suara percakapan (Majunder, 2015).

c. Laring

Laring merupakan organ berongga dengan panjang 42 mm dan

diameter 40 mm. Terletak antara faringdan trakea. Dinding dibentuk

oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus ekstrinsikmengikat

laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring pada

tulang tiroiddan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring

merupakan epitel bertingkat silia.

Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar.

Fungsi laring untukmembentuk suara, dan menutup trakea pada saat

menelan (epiglotis). Ada 2 lipatanmukosa yaitu pita suara palsu

(lipat vestibular) dan pita suara (lipat suara). Celah diantarapita suara

disebut rima glotis.


7

Pita suara palsu terdapat mukosa dan laminapropria. Pitasuara

terdapat jaringan elastis padat, otot suara (otot rangka).

Vaskularisasi: A.VLaringeal media dan Inferior. Inervasi: N

Laringealis superior (Knenddedy, 2012).

d. Batang Tenggorokan (Trakea)

Trakea tersusun atas 16-20 cincin tulang rawan. Celah

diantaranya dilapisi oleh jaringanikat fibro elastik. Struktur trakea

terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel bersilia, jaringan limfoid

dan kelenjar (Kennedy, 2012).

Tenggorokan berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak

sebagian di leher dansebagian di rongga dada (torak). Dinding

tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi olehcincin tulang rawan, dan

pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsimenyaring

benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan.Batang

tenggorok (trakea) terletak di sebelah depan kerongkongan. Di dalam

rongga dada,batang tenggorok bercabang menjadi dua cabang

tenggorok (bronkus). Di dalam paru-paru,cabang tenggorok

bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil

disebutbronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang

disebut gelembung paru-paru (alveolus) (Patwa, 2015).

e. Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus)

Tenggorokan (trakea) bercabang menjadi dua bagian, yaitu

bronkus kanan dan bronkuskiri. Struktur lapisan mukosa bronkus

sama dengan trakea, hanya tulang rawan bronkusbentuknya tidak


8

teratur dan pada bagian bronkus yang lebih besar cincin tulang

rawannyamelingkari lumen dengan sempurna. Bronkus bercabang-

cabang lagi menjadi bronkiolus.Batang tenggorokan bercabang

menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dansebelah kanan.

Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus bercabang lagi

menjadibronkiolus.

Bronkus sebelah kanan (bronkus primer) bercabang menjadi tiga

bronkus lobaris (bronkus sekunder), sedangkan bronkus sebelah kiri

bercabang menjadi duabronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil

masuk ke dalam gelembung paru-paru ataualveolus. Dinding

alveolus mengandung kapiler darah, melalui kapiler-kapiler

darahdalam alveolus inilah oksigen dan udara berdifusi ke dalam

darah. Fungsi utama bronkusadalah menyediakan jalan bagi udara

yang masuk dan keluar paru-paru (Kelly, 2014).

f. Bronkiolus

Bronkiolus merupakan cabang ke 12-15 bronkus. Tidak

mengandung lempeng tulang rawan, tidakmengandung kelenjar

submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat

longgar.Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel

clara). Lamina propria tidakmengandung sel goblet (Kennedy,

2012).
9

g. Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis.

Tempat terjadinyapertukaran oksigen dan karbondioksida antara

darah dan udara yang dihirup. Jumlahnya200 - 500 juta. Bentuknya

bulat poligonal, septa antar alveoli disokong oleh serat kolagen, dan

elastis halus (Majunder, 2015).

Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel alveolar tipe I ), sel

alveolar besar ( selalveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I)

jumlahnya hanya 10% , menempati 95 %alveolar paru. Sel alveolar

besar (tipe II) jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Selalveolar

gepeng terletak di dekat septa alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal

bulat,ditutupi mikrovili pendek, permukaan licin, memilki badan

berlamel.

Sel alveolar besarmenghasilkan surfaktan pulmonar. Surfaktan

ini fungsinya untuk mengurangi kolapsalveoli pada akhir ekspirasi.

Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial.Mengandung serat,

sel septa (fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis

diantaraalveoli disebut pori Kohn. Sel fagosit utama dari alveolar

disebut makrofag alveolar.Pada perokok sitoplasma sel ini terisi

badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel

lainnya (Kenndy, 2012).


10

h. Paru-paru

Gambar 1.2. Anatomi Paru-paru


Sumber : White, 2016

Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian

samping dibatasi oleh ototdan rusuk dan di bagian bawah dibatasi

oleh diafragma yang berotot kuat. Paru-paru adadua bagian yaitu

paru-paru kanan (pulmo dextra) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-

paru kiri (pulmo sinistra) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru

dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian

dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam

(pleura viseralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang

bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura

parietalis). Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan

elastik, dan pembuluh darah. Bronkiolus tidak mempunyai tulang

rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan dibagian ujungnya

mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus

terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi,

kemudian menjadi duktus alveolaris.Pada dinding duktus alveolaris

mangandung gelembung-gelembung yang disebut alveolus(White,

2016).
11

i. Pleura

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini

mengandung serat elastin,fibroblas, kolagen. Yang melekat pada

paru disebut pleura viseral, yang melekat padadinding toraks disebut

pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler danpembuluh

limfe. Saraf adalah cabang n. phrenicus dan n. intercostal (Patwa,

2015).

Menurut Juarfianti (2015) sistem pernafasan manusia dapat dibagi

ke dalam sistem pernafasan bagian atas dan pernafasan bagian bawah.

a. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus

paranasal, dan faring.

b. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus,

bronkiolus dan alveolus paru.

Sistem pernapasan terbagi menjadi dari dua proses, yaitu inspirasi

dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari atmosfer ke dalam paru,

sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari dalam paru ke atmosfer.

Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar dibutuhkan fungsi yang baik

pada otot pernafasan dan elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan

dibagi menjadi dua yaitu:

a. Otot inspirasi yang terdiri atas otot interkostalis eksterna,

sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma,

b. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis

internus.
12

1.2.2 Fisiologi Sistem Pernapasan

a. Fisiologi Ventilasi Paru

Masuk dan keluarnya udara antara atmosfer dan alveoli paru.

Pergerakan udara ke dalamdan keluar paru disebabkan oleh:

1) Tekanan pleura, yaitu tekanan cairan dalam ruang sempit antara

pleura paru dan pleuradinding dada. Tekanan pleura normal

sekitar -5 cm H2O, yang merupakan nilai isapyang dibutuhkan

untuk mempertahankan paru agar tetap terbuka sampai

nilaiistirahatnya. Kemudian selama inspirasi normal,

pengembangan rangka dada akanmenarik paru ke arah luar

dengan kekuatan yang lebih besar dan menyebabkantekanan

menjadi lebih negatif (sekitar -7,5 cm H2O).

2) Tekanan alveolus, yaitu tekanan udara di bagian dalam alveoli

paru. Ketika glotis terbukadan tidak ada udara yang mengalir ke

dalam atau keluar paru, maka tekanan padasemua jalan nafas

sampai alveoli, semuanya sama dengan tekanan atmosfer

(tekananacuan 0 dalam jalan nafas) yaitu tekanan 0 cm H2O.

Agar udara masuk, tekananalveoli harus sedikit di bawah tekanan

atmosfer. Tekanan sedikit ini (-1 cm H2O)dapat menarik sekitar

0,5 liter udara ke dalam paru selama 2 detik. Selama

ekspirasi,terjadi tekanan yang berlawanan.


13

3) Tekanan transpulmonal, yaitu perbedaan antara tekanan alveoli

dan tekanan padapermukaan luar paru, dan ini adalah nilai daya

elastis dalam paru yang cenderungmengempiskan paru pada

setiap pernafasan, yang disebut tekanan daya lenting paru

(Majunder, 2015).

b. Fisiologi Kendali Persarafan pada Pernafasan

Terdapat dua mekanisme neural terpisah bagi pengaturan

pernafasan.

1) Mekanisme yang berperan pada kendali pernafasan volunter.

Pusat volunter terletakdi cortex cerebri dan impuls dikirimkan ke

neuron motorik otot pernafasan melaluijaras kortikospinal.

2) Mekanisme yang mengendalikan pernafasan otomatis. Pusat

pernafasan otomatiterletak di pons dan medulla oblongata, dan

keluaran eferen dari sistem ini terletak dirami alba medulla

spinalis di antara bagian lateral dan ventral jaras kortikospinal.

Serat saraf yang meneruskan impuls inspirasi, berkumpul pada

neuron motoric n. phrenicus pada kornu ventral C3-C5 serta neuron

motorik intercostales externa pada kornu ventral sepanjang segmen

toracal medulla. Serat saraf yang membawa impuls ekspirasi, bersatu

terutama pada neuron motorik intercostalis interna sepanjang

segmen thoracal medulla (Fikriyah, 2012).

Neuron motorik untuk otot ekspirasi akan dihambat apabila

neuron motorik untuk otot inspirasi diaktifkan, dan sebaliknya.

Meskipun refleks spinal ikut berperan pada persarafan timbal-balik


14

(reciprocal innervation), aktivitas pada jaras descendens-lah yang

berperan utama. Impuls melalui jaras descendens akan merangsang

otot agonis dan menghambat yang antagonis. Satu pengecualian

kecil pada inhibisi timbal balik ini adalah terdapatnya sejumlah kecil

aktifitas pada aksonn. phrenicus untuk jangka waktu singkat, setelah

proses inspirasi. Fungsi keluaran pasca inspirasi ini nampaknya

adalah untuk meredam daya recoil elastik jaringan paru dan

menghasilkan pernafasan yang halus (smooth) (Fikriyah, 2012).

c. Pengaturan Aktivitas Pernafasan

Baik peningkatan PCO2 atau konsentrasi H+ darah arteri

maupun penurunan PO2 akanmemperbesar derajat aktivitas neuron

pernafasan di medulla oblongata, sedangkanperubahan ke arah

yang berlawanan mengakibatkan efek inhibisi ringan.

Pengaruhperubahan kimia darah terhadap pernafasan berlangsung

melalui kemoreseptorpernafasan di glomus karotikum dan aortikum

serta sekumpulan sel di medulla oblongatamaupun di lokasi lain

yang peka terhadap perubahan kimiawi dalam darah.

Reseptortersebut membangkitkan impuls yang merangsang pusat

pernafasan. Bersamaan dengandasar pengendalian pernafasan

kimiawi, berbagai aferen lain menimbulkan pengaturannon-

kimiawi yang memengaruhi pernafasan pada keadaan tertentu.

Untuk berbagairangsang yang memengaruhi pusat pernafasan dapat

dilihat pada tabel dibawah ini: (Patwa, 2015)


15

Gambar 1.3. Rangsangan yang Mempengaruhi Pusat Pernapasan


Sumber: Patwa, 2015

d. Pengendalian Kimiawi Pernafasan

Mekanisme pengaturan kimiawi akan menyesuaikan ventilasi

sedemikian rupa sehinggaPCO2 alveoli pada keadaan normal

dipertahankan tetap. Dampak kelebihan H+ di dalamdarah akan

dilawan, dan PO2 akan ditingkatkan apabila terjadi penurunan

mencapaitingkat yang membayakan. Volume pernafasan semenit

berbanding lurus dengan lajumetabolisme, tetapi penghubung

antara metabolisme dan ventilasi adalah CO2, bukan O2.

Reseptor di glomus karotikum dan aortikum terangsang oleh

peningkatan PCO2 ataupunkonsentrasi H+ darah arteri atau oleh

penurunan PO2. Setelah denervasi kemoreseptorkarotikum, respons

terhadap penurunan PO2 akan hilang, efek utama hipoksia

setelahdenervasi glomus karotikum adalah penekanan langsung

pada pusat pernafasan. Responterhadap perubahan konsentrasi H+

darah arteri pada pH 7,3-7,5 juga dihilangkan,meskipun perubahan


16

yang lebih besar masih dapat menimbulkan efek.

Sebaliknya,respons terhadap perubahan PCO2 darah arteri hanya

sedikit dipengaruhi,; denganpenurunan tidak lebih dari 30-35%

(Majunder, 2015).

1) Kemoreseptor dalam Batang Otak

Kemoreseptor yang menjadi perantara terjadinya

hiperventilasi pada peningkatanPCO2 darah arteri setelah

glomus karotikum dan aortikum didenervasi terletak dimedulla

oblongata dan disebut kemoreseptor medulla oblongata.

Reseptor ini terpisahdari neuron respirasi baik dorsal maupun

ventral, dan terletak pada permukaan ventralmedulla

oblongata.

Reseptor kimia tersebut memantau konsentrasi H+ dalam

LCS, dan juga cairaninterstisiel otak. CO2 dengan mudah

dapat menembus membran, termasuk sawardarah otak,

sedangkan H+ dan HCO3- lebih lambat menembusnya. CO2

yangmemasuki otak dan LCS segera dihidrasi. H2CO3

berdisosiasi, sehingga konsentrasiH+ lokal meningkat.

Konsentrasi H+ pada cairan interstitiel otak setara dengan

PCO2 darah arteri (White, 2016).

2) Respons Pernafasan terhadap Kekurangan Oksigen

Penurunan kandungan O2 udara inspirasi akan

meningkatkan volume pernafasansemenit. Selama PO2 masih

diatas 60 mmHg, perangsangan pada pernafasan hanyaringan


17

saja,dan perangsangan ventilasi yang kuat hanya terjadi bila

PO2 turun lebihrendah. Namun setiap penurunan PO2 arteri

dibawah 100 mmHg menghasilkanpeningkatan lepas muatan

dari kemoreseptor karotikum dan aortikum. Pada

individunormal, peningkatan pelepasan impuls tersebut tidak

menimbulkan kenaikan ventilasisebelum PO2 turun lebih

rendah dari 60 mmHg karena Hb adalah asam yang lebihlemah

bila dibandingkan dengan HbO2, sehingga PO2 darah arteri

berkurang danhemoglobin kurang tersaturasi dengan O2,

terjadi sedikit penurunan konsentrasi H+dalam darah arteri.

Penurunan konsentrasi H+ cenderung menghambat pernafasan.

Disamping itu, setiap peningkatan ventilasi yang terjadi, akan

menurunkan PCO2 alveoli,dan hal inipun cenderung

menghambat pernafasan. Dengan demikian, manifestasiefek

perangsangan hipoksia pada pernafasan tidaklah nyata sebelum

rangsanghipoksia cukup kuat untuk melawan efek inhibisi

yang disebabkan penurunankonsentrasi H+ dan PCO2 darah

arteri (Kelly, 2014).

3) Pengaruh H+ pada Respons CO2

Pengaruh perangsangan H+ dan CO2 pada pernafasan

tampaknya bersifat aditif dansaling berkaitan dengan

kompleks, serta berceda halnya dari CO2 dan O2. Sekitar

40%respons ventilasi terhadap CO2 dihilangkan apabila

peningkatan H+
18
19

darah arteri yangdihasilkan oleh CO2 dicegah. 60% sisa

respons kemungkinan terjadi oleh pengaruhCO2 pada

konsentrasi H+ cairan spinal atau cairan interstitial otak

(Kennedy, 2012).

e. Pengangkutan Oksigen ke Jaringan

Sistem pengangkut oksigen di dalam tubuh terdiri atas paru

dan sistem kardiovaskuler.Pengangkutan oksigen menuju jaringan

tertentu bergantung pada: jumlah oksigen yangmasuk ke dalam

paru, adanya pertukaran gas dalam paru yang adekuat, aliran

darahmenuju jaringan dan kapasitas darah untuk mengangkut

oksigen. Aliran darah bergantungpada derajat konstriksi jalinan

vaskular di dalam jaringan serta curah jantung. Jumlahoksigen di

dalam darah ditentukan oleh jumlah oksigen yang larut, jumlah

hemoglobindalam darah dan afinitas hemoglobin terhadap oksigen

(Fikriyah, 2012).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi paru-paru

manusia, antara lain:

a. Usia

Kekuatan otot maksimal paru-paru pada usia 20-40 tahun dan

dapat berkurang sebanyak 20% setelah usia 40 tahun. Selama proses

penuan terjadi penurunan elastisitasalveolus, penebalan kelenjar

bronkial,penurunan kapasitas paru.


20

b. Jenis Kelamin

Fungsi ventilasi pada laki-laki lebih tinggi sebesar 20-25% dari

pada funsgi ventilasi wanita, karena ukuran anatomi paru pada laki-

laki lebih besar dibandingkan wanita. Selain itu, aktivitas laki-laki

lebih tinggi sehingga recoil dan compliance paru sudah terlatih.

c. Tinggi Badan

Seorang yang memiliki tubuh tinggi memiliki fungsi ventilasi

lebih tinggi daripada orang yang bertubuh kecil pendek (Juarfianti,

2015).

Pada kapasitas paru-paru seseorang, udara yang keluar masuk

paru-paru pada waktu melakukan pernapasan biasa disebut

udarapernapasan (udara tidal). Volume udara pernapasan pada orang

dewasa lebih kurang 500 ml.Volume udara tidal orang dewasa pada

pernapasan biasa kira-kira 500 ml. ketika menariknapas dalam-dalam

maka volume udara yang dapat kita tarik mencapai 1500 ml. Udara

inidinamakan udara komplementer. Ketika kita menarik napas sekuat-

kuatnya, volume udarayang dapat diembuskan juga sekitar 1500 ml.

Udara ini dinamakan udara suplementer.Meskipun telah mengeluarkan

napas sekuat-kuatnya, tetapi masih ada sisa udara dalam paru-paruyang

volumenya kira-kira 1500 mL. Udara sisa ini dinamakan udara residu.

Jadi,Kapasitas paru-paru total = kapasitas vital + volume residu =4500

ml/wanita dan 5500 ml/pria (Srinivas, 2012).


BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka/Mind Mapping Teori

Kambuh
Pengobatan 6
Infeksi TB Sembuh dari TB
bulan

Sembuh dengan Reaksi Imunologis


keluhan
BTA+ BTA -
Peningkatan
kerja makrofag

Peradangan non-
 Peningkatan
spesifik pada
produksi sputum
lapangan paru
 Pola pernapasan
menurun
 Berat badan
menurun SOPT
 Perubahan postur
tubuh
 Penurunan
mobilitas thoraks

Menurunnya kemampuan aktivitas fisik individu

Gambar 2.1. Kerangka/Mind Mapping Teori

2.2 Definisi

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) adalah penyakit

obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis

dengan lesi paru yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien

pasca tuberkulosis dalam praktik klinik (Irawati, 2015). Kerusakan paru yang

terjadi pada penyakit saluran pernapasan obstruktif adalah komplikasi yang

terjadi pada sebagian besar penderita tuberkulosis pasca pengobatan. Gejala

21
22

sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan

obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip penyakit paru obstruktif

kronik (PPOK) (Shetty, 2010). Hilangnya fungsi paru paling tinggi terjadi

pada 6 bulan saat diagnosis tuberkulosis dan 12 bulan setelah dinyatakan

sembuh dari tuberkulosis (Sailaja, 2015).

2.3 Etiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang sebagian besar disebabkan

oleh bakteri mycobacterium tuberculosis. Spesies lain yang dapat menyebabkan

tuberkulosis adalah Mycobacterium kansasii, mycobacterium bovis, dan

mycobacterium intracellulare, bakteri ini berbentuk batang lurus atau bengkok,

dengan panjang 1-4 mikron dengan lebar 0,2-0,8 mikron.Mycobacterium

tuberculosismerupakan aerob obligat yang dapat tumbuh dengan baik dalam

jaringan yang memiliki kadar oksigen yang tinggi seperti paru-paru.

Pertumbuhan mycobacterium tuberculosisberlangsung cukup lambat dengan

waktu generasi 12-18 jam (Maksum, 2014).

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang

berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm.

Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid).Lipid inilah yang

membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut

Bakteri Tahan Asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia

dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dingin

(dapat tahan bertaun-tahundalam lemari es).Hal ini terjadi karena kuman

bersifat dormant.Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi dan

menjadikan tuberkulosis menjadi aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob.
23

Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

oksigennya.Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari

pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi

penyakit tuberkulosis (Amin dan Bahar, 2014).

Mycobacterium tuberculosis mengandung banyak zat imunoreaktif.

Lipid permukaan pada mikrobakterium dan komponen peptidoglikan dinding

sel yang larut air merupakan tambahan yang penting yang dapat

menimbulkan efek melalui kerja primernya pada makrofag penjamu.

Mikobakterium mengandung suatu kesatuan antigen polisakarida dan protein,

sebagian mungkin spesifik spesies tetapi yang lainnya secara nyata memiliki

epitop yang luas di seluruh genus. Hipersensitivitas yang diperantarai sel khas

untuk tuberculosis dan merupakan determinan yang penting pada patogenesis

penyakit. SOPT disebabkan oleh bekas dari luka akibat infeksi TB paru. Jadi,

semakin luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB, semakin luas

bekas luka yang ditimbulkan. Gampangnya, jika pasien datang dengan TB

paru yang parah (destroyed lung) maka kemungkinan setelah sembuh akan

meninggalkan bekas yang luas sehingga keluhan yang dirasakan juga semakin

berat (Isselbacher, 2013).

Penyakit tuberculosis dapat di perparah oleh dua jenis kasus penyerta

yakni TBC dengan penyakit menular dan TBC dengan penyakit tidak menular

antara lain sebagai berikut:


24

a. Komorbid TBC dengan penyakit tidak menular

1. Diabetes

Hubungan epidemiologis antara TB dan diabetes telah lazim

dapat memperparah penyakit TB, dimana tingkat diabetes yang tinggi

biasanya di pengaruhi oleh meningkatnya industrialisasi dan urbanisasi

di negara-negara berkembang bahkan di beberapa negara bagian India

dan Cina. Pasien TB dengan DM biasanya ditemukan dapat

memperburuk hasil penanganan ketika DM di pandang biasa. Sehingga

WHOdan International Union TBdan Lung Disease Framework

Collaborative Activity merekomendasikan scrining TB dan DM harus

simultan (Matthew, et al., 2015).

2. Smoking

TB dengan perokok merupakan sesuatu yang biasa dimana

penderita TB hampir memenuhi populasinya terutama dari derajat

merokok seseorang dengan kejadian TB. Partikel yang terkandung di

dalam asap rokok dapat mempengauhi kinerja silia pada sistem

pernaapasan yang berrdampak pada pembersihansistem mukosilier.

Partikel asap rokok akan mengendap pada lapisan mukus sehingga

meningkatkan iritasi pada epitel mukosa bonkus dan lama-lama

seseorang dapat terserang TB (Matthew, et al., 2015).

3. Mal nutrisi

Mal nutrisi meupakan faktor resiko dari semua penyakit infeksi

seperti TB karena dapat merusak imun. Kedua protein kalori mal

nutrisi (PKM) dan defisiensi mikronutisi dapat mengakibatkan


25

penekanan sistem kekebalan melalui bebagai mekanisme. Mal nutrisi

kronis memiliki dampak besar bagi penderita TB maupun HIV kaena

keusakan imun menjadi konstan (Matthew, et al., 2015).

4. Penyakit paru kronik

PPOK ini sangat berkaitan dengan TB sebab awalan pajanan yang

terus menerus menyebabkan perubahan pada espirasi paru-paru sepeti

penyebabnya adalah merokok ini akan menyebabkan perubahan pada

mukosa jalan napas (Matthew, et al., 2015).

b. Komorbid TBC dengan penyakit menular

1. HIV/AIDS

HIV dalam dua dekade ini secara meluas di bebeapa negara,

dimana keberadaan penderita HIV sangan berkaitan erat dengan

penderita TB paru. Hubungan yang kuat ini karena adanya infeksi HIV

dimana ini menjadi faktor resiko untuk perkembangan TB melalui

mekanisme berupa eaktivasi infeksi laten, progresivitas atau

infeksimycrobacterium tuberculosis (Matthew, et al., 2015).

2. Malaria

Malaria sam halnya dengan HIV sebagai koinfeksi dan komobid

keduanya ini dapat berinteraksi dengan respon imun antara TB dan

malaria, mycobakterium tuberculosis dan spesies plasmodium

merupakan patogen lama yang dapat berdampingan merusak sistem

imun (Matthew, et al., 2015).


26

3. Influenza

Pada percobaan dengan mencit adanya vflu dengan kejadian TB

memiliki relasi yang dimana mencit yang terpapar dengan flu A akan

merusak respon kekebalan tehadap TB dan menurunkan kelangsungan

hidup. Hal ini karena Major Histocompatibility Complex (MHC) yang

diatur ke bawah sel dendrit akan mengurangi aktivasi sel T CD4 dan

CD8 untuk membersihkan mikrobakteri (Matthew, et al., 2015).

4. Helmints

Penderita TB sangat tinggi pajanan tehadap patogen terutama

terkait lingkungan tinggal seperti komunitas miskin yang hidup di

daerah tropis dan subtropis akan menghasilkan pofil imunologi

dengan respon berbeda terhadap infeksi TB. Helmints ini merupakan

cacing atau helicobacter pylory bersamaan telah meningkatkan kadar

IFN-y dan sitokin. Artinya peningkatan respon IFN-y terhadap TB, ini

karena tanggapan sel T yang diinduksi oleh cacing ini merusak

pertahanan terhadap infeksi TB dapat di lihat dari vaksin TB yang teus

menerus (Matthew, et al., 2015).

2.4 Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO)

telah menetapkan TB sebagai Global Emergency. Terjadi peningkatan dalam

penemuan kasus TB khususnya pada tahun 1990-2000 dalam kurun waktu

tersebut tercatat 10,2 juta jiwa terinfeksi TB. Secara global pada tahun 2016

terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI 8,8 juta – 12, juta) yang setara
27

dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus

tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian

besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia

Tenggara (45%)dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnyadan 25%

nya terjadi di kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara

dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3

indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48 negara yang

masuk dalam daftar tersebut (Kemenkes, 2017).

Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau

keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara

lain, masuk dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya

Indonesia memiliki permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC.

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017

(data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC

tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.

Bahkan berdasarkan survei prevalensi tuberculosis, prevalensi pada laki-laki

3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di

negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih

terpapar pada faktor risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya

ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh

partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan

perempuan yang merokok (Kemenkes, 2017).


28

2.5 Patomekanisme

Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah

ke timbulnya desktruksi jaringan paru oleh proses tuberculosis. Kemungkinan

lain adalah infeksi tuberculosis, dipengaruhi oleh reaksi imunologis

perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas

karena tertariknya neutrofil kedalam parenkim paru, lalu makrofag aktif.

Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan

beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi

matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan

mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara

spirometri(Aida, 2006). Mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan

peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini

menyebabkan gangguan faal paru berupa adanya sputum, terjadinya

perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun, perubahan postur tubuh, berat

badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal (Irawati,

2015).

Apabila tubuh terinfeksi mycobacterium tuberculosis maka sistem imun

host akan bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya m.tuberculosis akan

melepasan komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hiper-

sensitivitas seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap antigen

bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran

bakteri lebih lanjut (Sailaja, 2015).

Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu

dengan mycobacterium tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB


29

merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih

efektif membunuh bakteri. Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang merangsang

limfosit T. Limfosit T melepaskan IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit

T lain untuk bereplikasi, matang, dan memberi respons lebih baik terhadap

antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui

peranan yang kompleks dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti

pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul

anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif

meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida,

hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan kerusakan pada

membran sel dan dinding sel myobacterium tuberculosis. Beberapa hasil

infeksi myobacterium tuberculosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan

makrofag sehingga tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi

matriks alveoli. Diduga proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab

destruksi matriks di mana proteolisis mendestruksi protein yang membentuk

matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan

elektron dari suatu molekul. Kehilangan elektron pada suatu struktur

mengakibatkan fungsi molekul akan berubah (Aida, 2016).

Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan

anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu: 1) Elastase,

yang paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga

sanggup menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai

elastase, tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase; 3)

Kolagenase, cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila
30

sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema; 4) Plasminogen aktivator,

urokinase dan tissue plasmin activator yang merubah plasminogen menjadi

plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase

dan bekerjasama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa

cara langsung, seperti peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi

dengan merusak sel terutama pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga

lebih peka terhadap proteolisis, berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga

daya antiproteasenya menurun (Aida, 2016).

Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun

diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi

sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup

luas menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang

akhirnya dapat dideteksi dengan spirometri (Isselbacher, 2013).

2.6 Manifestasi Klinis

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa: 1) batuk berdahak 2)

sesak napas, 3) penurunan ekspansi lingkar toraks. Gejala lainnya adalah

demam tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono,

2018).

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.Tetapikadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-410 Celsius. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar,tetapi kemudian dapat timbul

kembali.Begitulah seterusnya hilang timbul demam influenza ini ,sehingga

pasien
31
32

merasa tidak pernah terbeba dari serangan demam influenza. Keadaan ini

sangat terpengaruh oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi kuman tuberkolosis masuk.

b. Batuk/Batuk Berdarah

Gejala ini bayak ditemukan.batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus.batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan

paru yakni setelah minggu-mimggu atau berbulan-bulan peradangan

bermula.sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian

setelah timbul peradagan menjadi produktif(menghasilkal sputum).

Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuuh

darah yang pecah.kebanyakan batuk darah pada tuberkulusis terjadi pada

kavitas,tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

c. Sesak Nafas

Pada penyakit ringan (baru tumbuh)belum dirasakan sesak

nafas.sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru dan takipneu.

d. Nyeri Dada

Gejala ini agak jarang ditemukannyeri dada timbul bila infiltrasinya

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.


33

e. Malaise dan Kelelahan

Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun, gejala malaise sering

ditemukan berupa anaoreksia tidak ada nafsu makan,badan makin

kurus(berat badan turun), sakit kepala,keringat malam,dll.Selainitu juga

terjadi kesulitan tidur pada malam hari.Gejala malaise ini makin lama makin

berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

2.7 Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis

Diagnosis tuberculosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisis, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala klinik tuberkulosis dapat

dibagi menjadi dua yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik.

a. Gejala respiratorik meliputi batuk yang sudah lebih 2-3 minggu. Batuk

dapat berupa batuk kering, batuk dengan sputum, hingga batuk darah.

Selain itu, gejala respiratorik yang lainnya seperti sesak napas dan nyeri

dada.

b. Gejala sistemik meliputi demam yang biasanya menyerupai demam

influenza, tapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C.

Gejala sistemik yang lain berupa malaise, keringat malam, anorexia, dan

berat badan yang menurun (PDPI, 2016).

Pemeriksaan fisis tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung

luas kelainan struktur paru. Pada permulaan perkembangan penyakit

umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen

posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat

ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah,
34

ronki basah,tanda-tanda penarikan paru, diafragma &mediastinum (PDPI,

2016).

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan kelainan yang

ditemukan berupa pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan foto

toraks merupakan cara yang praktis untuk menemukan lesi tuberculosis,

walaupun dengan harga yang lebih mahal karena beberapa keuntungan yang

dimilikinya. Disamping itu, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan

adalah darah rutin. Pemeriksaan darah mempunyai hasil yang tidak sensitif

dan spesifik. Selain itu, dapat dilakukan tes tuberculin. Pemeriksaan ini masih

banyak digunakan untuk mendiagnosis tuberculosis terutama pada anak-anak

atau balita. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standart adalah

pemeriksaan sputum BTA. Pemeriksaan ini mampu mendiagnosis dan

mengevaluasi pengobatan yang telah diberikan. Kriteria sputum BTA positif

apabila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA dalam satu

sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam satu sputum (Amin

& Bahar, 2014).

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda (PDPI, 2009) :

1) Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain),

2) Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum,

3) Sekret di saluran nafas dan ronki, dan

4) Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan

langsung dengan bronkus.

b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)


35

c. Pemeriksaan sputum BTA

Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek tuberkulosis diperiksa 3

spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

1) S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang

berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah

pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

2) P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada

petugas di Fasilitas pelayanan kesehatan .

3) S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2011).

d. Pemeriksaan BACTEC merupakan dasar teknik pemeriksaan biakan

dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. Sistem ini dapat menjadi

salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu

menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini

adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator

Tube (MGIT) (PDPI, 2016).

e. Uji Peroksidase Anti Peroksidase(PAP) merupakan salah satu jenis uji

yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Dalam menginterpretasi

hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati

karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi

(PDPI, 2016).
36

f. Uji Immunochromatographic Tuberculosis (ICT) merupakan uji serologi

untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Apabila serum

mengandung antibodi IgG terhadap m.tuberculosis, maka antibodi akan

berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji

dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan

minimal satu dari empat garis antigen pada membran (PDPI, 2016).

g. Tes Mantoux/Tuberkulin dimana bila uji tuberkulin positif, menunjukkan

adanya infeksi TB dan kemungkinan ada TB aktif pada anak. Namun, uji

tuberculin dapat negatif pada anak TB berat dengan alergi (malnutrisi,

penyakit sangat berat, dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji

silang.

h. Teknik Polymerase Chain Reaction. Deteksi DNA kuman secara spesifik

melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi

meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat

mendeteksi adanya resistensi(PDPI, 2016).

i. Foto toraks PA dan lateral.

Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberkulosis, yaitu :

1) Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus

bawah,

2) Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular),

3) Adanya kavitas, tunggal atau ganda,

4) Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru,

5) Adanya kalsifikasi,

6) Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian, dan


37

7) Bayangan milier.

Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit.

Gambar 2.2 Gambaran Foto Rontgen Dada pada Pasien Tuberkulosis


Sumber: PDPI, 2016

Pada sebagian besar tuberkulosis paru, diagnosis terutama

ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak

memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto

toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus

ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung

diagnosis tuberkulosis paru BTA positif (PDPI, 2016).


38

2) Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan

tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat

bagan alur) (PDPI, 2016).

3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang

mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau

aspergiloma) (Depkes RI, 2016).

j. Enzyme Linked Immunosorbent Assay deteksi respons humoral, berupa

proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi

dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah

2.8 Diagnosis Banding

Pada kondisi SOPT memiliki diagnosis banding dengan kasus lain,

yang mempunyai karakteristik yang hampir sama, tetapi memiliki perbedaan

baik dari tanda dan gejala berbagai kasus.

a. Asma

Asma adalah suatu kelainan barupa inflamasi (peradangan) kronik

saluran napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai

ransangan yang ditandai dengan gejala episodic berulang berupa, mengi,

batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan atau

dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa

pengibatan (GOLD, 2016)


39

b. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Penyakit pernapasan kronis ditandai dengan penurunan fungsi paru

yang progresif dengan gejala pernapasan terutama sesak napas, batuk dan

produksi sputum, berhubungan dengan beban ekonomi yang signifikan,

termasuk rawat inap, tidak adanya pekerjaan, dan disabilitas (GOLD,

2016).

c. Bronkiektasis

Bronkiektasis merupakan pelebaran abnormal bronchus yang

berhubungan dengan infeksi kronik atau infeksi berulang. Gejala

menyerupai PPOK, namun disertai dengan sesak semakin berat dengan

produksi sputum yang mukopurulen (GOLD, 2016).

d. Pneumonia Aspirasi

Pneumonia aspirasi merupakan kerusakan paru yang disebabkan oleh

masuknya cairan, partikel eksogen, atau sekresi endogen ke dalam saluran

napas bawah. Secara konvensional aspirasi pneumonia didefinisikan

sebagai infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kuran virulen, terutama

bakteri anaerob, yang biasanya merupakan flora normal pada inang yang

rentan mengalami aspirasi (Irawati, 2015).

Tabel 2.1 Diagnosis banding


No. Tanda dan gejala Asma PPOK SOPT
1. Timbul pada usia muda + - +
2. Sakit mendadak + - -
3. Riwayat Merokok +/- + -
4. Riwayat Atopi ++ + -
5. Sesak dan Mengi berulang + + +
6. Bartuk Kronik berdahak + + +
7. Hipereaktivitas bronkus + + +/-
8. Reversibility obstruktif + - -
9. Variabiliti Harian + + -
10. Eosinofil sputum + - ?
11. Neutrofil sputum - + ?
40

12. Makrofag sputum + - ?


Sumber: Bartlett, 2016

2.9 Penatalaksanaan Fisioterapi

Adapun teknologi fisioterapi yang digunakan penulis pada kondisi

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) diantaranya:

a. Micro Wave Diathermy (MWD)

Micro Wave Diathermy (MWD) adalah salah satu terapi heating yang

menggunakan stressor fisis berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan

oleh arus bolak balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang

12,25cm. Pengurangan rasa nyeri dapat diperoleh melalui efek stressor

yang

menghasilkan panas. Juga melalui mekanisme nociceptor. Pada cedera

jaringan dihasilkan produk-produk yang merangsang nociceptor seperti

prostaglandin dan histamine.

Apabila produk-produk tersebut dihilangkan, maka rangsangan

terhadap nociceptor akan hilang atau berkurang. Hal ini dapat diperoleh

dengan meningkatkan peredaran darah menyebabkan perubahan pada

serabut collagen dan menurunkan jarak antara serabut-serabut collagen.

Sehingga akan membentuk jaringan fibrosus yang tidak beraturan dan

jaringan granulasi sehingga menciptakan terjadinya abnormalcrosslink

yang akan menyebabkan perlengketan pada jaringan (Periatna, 2006).

b. Nebulizer

Pada serangan asma bronchiale terapi yang paling tepat menggunakan

terapi nebulizer merupakan pilihan terbaik pada kasus-kasus yang

berhubungan dengan inflamasi terutama pada penderita asma bronchiale.


41
42

Nebulizer yaitu alat yang digunakan untuk mengubah obat-obat

bronkodilator dari bentuk cair ke bentuk partikel aerosol atau partikel

yang sangat halus, dimana aerosol sangat bermanfaat apabila dihirup atau

dikumpulkan dalam organ paru (Ustadzi, 2015).

Efek dari terapi nebulizer ini untuk mengembalikan kondisi spasme

bronchus. Pada kondisi ini obat yang digunakan pasien adalah

menggunakan pulmicort dan combivent. Pulmicort merupakan kombinasi

anti radang dengan obat yang dapat melonggarkan saluran pernapasan.

Pulmicort berbahan aktif budesonide yang dalam rekomendasi dosis

berfungsi sebagai anti-inflamasi di bronchi, mengurangi keparahan gejala

dan frekuensi eksaserbasi dengan efek samping yang lebih sedikit daripada

dengan menggunakan sistemik kortikosteroid. Sedangkan combivent

merupakan obat berisi albuterol (salbutamol) dan ipratropium bromide.

Combivent bekerja dengan cara melebarkan saluran napas bawah

(bronkus).Efek dari pengobatan ini adalah terjadi pelebaran dari pada

saluran napas yang menyempit, sehingga dapat mengurangi sesak nafas,

mengencerkan dahak, relaksasi dari spasme bronchiale, melancarkan jalan

nafas, dan melembabkan saluran pernafasan (Setyaningtyas, 2016).

c. Terapi Oksigen (O2)

Terapi oksigen (O2) merupakan suatu intervensi medis berupa

upaya pengobatan dengan pemberian oksigen (O2) untuk mencegah atau

memperbaiki hipoksia jaringan dan mempertahankan oksigenasi jaringan

agar tetap adekuat dengan cara meningkatkan masukan oksigen (O2) ke

dalam sistem respirasi. Tujuan pemberian terapi oksigen, yaitu


43

meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke

jaringan untuk memfasilitasi metabolisme aerob, dan mempertahankan

PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90% untuk mencegah dan mengatasi

hipoksemia/hipoksia serta mempertahankan oksigenasi jaringan yang

adekuat. Menurunkan kerja napas dan miokard, serta menilai fungsi

pertukaran gas.

d. Breathing Exercise

Breathing exercise merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan nafas, merangsang terbukanya system collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru. Teknik

yang digunakan meliputi: diaphragmatic breathing exercise, pursed lip

breathing, dan breathing control exercise.

Diafragmatic breathing exercise merupakan latihan pernapasan

diafragma dimaksudkan untuk melatih cara bernapas yang benar. Karena

ketika terjadi sesak napas pasien cenderung tegang yang membuat pasien

tidak dapat mengatur pernapasannya sehingga mengakibatkan bertambah

penyempitan pernapasan di bronkus. Latihan diafragmatic breathing dapat

meningkatkan efisiensi pernafasan dengan mengurangi udara yang

terperangkap dalam paru. Otot diafragma yang digunakan saat inspirasi

akan memipih dan mendatar sehingga memberikan ruang yang lebih luas

untuk pengembangan paru dan perut. Udara akan memasuki paru-paru dan

perut akan mengembang karena penggunaan otot diafragma ketika

melakukan diafragmatic breathing exercise. Otot-otot akan membantu

pengeluaran udara saat ekspirasi dan memberikan kekuatan yang lebih


44

besar untuk pengosongan paru. Dengan demikian, kekuatan ekspirasi akan

bertambah dan menaikkan nilai APE setelah latihan. Aliran ekspirasi

maksimum jauh lebih besar apabila paru terisi dengan volume udara yang

besar daripada bila keadaan paru hampir kosong (Pangastuti, 2015).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma dan latihan ini dapat dilakukan

dengan meniup lilin, meniup bola pingpong, dan membuat gelembung di

dalam air minum dengan menggunakan pipa hisap. Latihan ini berfokus

pada pengontrolan inspirasi dan ekspirasi juga dengan pola ekspirasi yang

panjang dengan cara bibir mencucu (Aida, 2016).

Breathing control merupakan latihan pernapasan yang dapat

meningkatkan volume paru, mempertahankan alveolus agar tetap

mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan sekresi

mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan kekuatan, daya tahan

dan koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas mekanisme

batuk, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan

thoracalspine, koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan

relaksasi (Aida, 2016).

e. Mobilisasi Lingkar Toraks

Mobilisasi lingkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement

pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing

yangbertujuan untuk meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder

yangmempengaruhi respirasi serta memperkuat kedalaman inspirasi dan


45

ekspirasi. Mobiliasi lingkar toraks dapat dilakukan dengan bantuan

pergerakan dari bahu dan tulang belakang. Mobilisasi lingkar toraks

melibatkan gerakan kompleks dari anggota gerak atas selain itu antara

sternum, torakal vertebra, serta otot-otot pernapasan. Mekanisme

mobilisasi lingkar toraks adalah meningkatkan panjang otot interkostalis

dengan melakukan kontraksi yang efektif dari anggota gerak atas (Amin &

Bahar, 2014).

f. Coughing Exercise

Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk

dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak

mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan

napas dan area paru. Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi

maksimal yang dimulai dari ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya

tindakan coughing exercise adalah merangsang terbukanya sistem

kolateral, meningkatkandistribusi ventilasi, dan meningkatkan volume

paru serta memfasilitasipembersihan saluran napas yang memungkinkan

pasien untuk mengeluarkansekresi mukus dari jalan napas (Pratama,

2012).

g. Postural Drainage

Postural drainage merupakan pemberian posisi terapeutik pada pasien

untuk memungkinkan sekresi paru-paru mengalir berdasarkan gravitasi

kedalam bronkus mayor dan trachea. Sesak napas selain karena adanya

penumpukan sputum pada lobus paru juga mengakibatkan tidak efektifnya

pernapasan. Sputum yang sulit dikeluarkan dapat dikurangi dengan


46

diberikan postural drainage yang disertai dengan tapotement dimana

tujuannya adalah mengoptimalkan pernapasan penderita karena dapat

memobilisasi sputum atau melepaskan perlengketan sputum pada bronkus

sehingga pernapasan lebih efektif kinerja kardiorespirasi meningkat

(Purnomo, et al., 2018).

2.10Kerangka/Mind Mapping Teknologi Fisioterapi

Gejala Klinis : Pemeriksaan Fisik : Tanda Klinis :

  VAS
Sesak Nafas  TD (Normal), DN
 Auskultasi
 Nyeri dada  Perkusi (Normal), Pernapasan
 Batuk disertai  Spirometry Test (Takipnea)
lendir  Pump Hundle Movement Test  Adanya nyeri tekan dan
 Bucket Hundle Movement
Test nyeri gerak
 Barthel’s Index  Bunyi wheezing
 Lingkar Thoraks  Bunyi dullness
 Tes Panjang Otot
 FVC/FEV1 : 111,76%
 METs Test
 Six Minute Walking Test  Lobus dekstra dan
Modalitas Fisioterapi :  Borg Scale sinistramengembang
 HRS-A asimetris
 Komunikasi
Terapeutik Pemeriksaan Penunjang :  Spasme m. Pectoralis
 Micro Wave major dan minor, m.
Diathermy (MWD)  Hasil Pemeriksaan Radiologi upper trapezius
 Transcutaneous  Atrofi m.
Electrical Nerve strenocleidomastoideus
Stimulator (TENS) Problem Fisioterapi : dan m. scaleni
 Diaphragmatic
 Kecemasan ringan
Breathing Exercise  Nyeri dada

 Mampu berjalan > 3
 Friction and Batuk
Stretching Exercise  Sesak napas menit
 Coughing and  Kecemasan  Radiologi TB paru
Huffing Exercise  Penurunan mobilitas lingkar duplex aktif
 Postural Drainage thoraks  Ketergantungan ringan
 Bugnet Exercise  Spasme otot Spasme m.
 Six Minute Walking Pectoralis major dan minor,
Test m. upper trapezius
 Atrofi m.
strenocleidomastoideusdan
m.scaleni
 Gangguan postur tubuh Syndrome Obstructive
Meningkatkan kemampuan  Gangguan ADL ; berjalan Post Tuberculosis
aktivitas fisik individu lama dan aktivitas berat
(SOPT)
47

Gambar 2.3. Kerangka/Mind MappingTeknologi Fisioterapi


BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

3.1 Data Umum Pasien

Nama : Tn. Dg.R

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 71 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jln. Bontorita Kabupaten Takalar

No RM : 047173

Agama : Islam

Hobby :-

Tanggal Pemeriksaan : 3 Oktober 2019

Vital Sign

Tekanan Darah : 130/80 mmHg

Denyut Nadi : 90 kali per menit

Pernapasan : 28 kali per menit

Suhu : 36˚C

Saturasi Oksigen : 98 %

Berat Badan : 41 Kg

Tinggi Badan : 153 Cm

3.2 Pemeriksaan Fisioterapi Model CHARTS

1. Chief of Complaint

Sesak nafas, batuk, dan nyeri dada saat beraktivitas.

48
49

2. History Taking

Sesak, batuk, dan nyeri dada dirasakan sejak 3 tahun yang lalu.

Pernah dirawat di BBKPM sejak dua tahun sembilan bulan, sekitar

tanggal 29 Januari 2018 baru di fisioterapi lalu, dengan keluhan nyeri

dada, sesak napas, batuk disertai lendir yang berwarna putih. Sebelumnya

sudah di opname sebanyak tiga kali. Pasien berobat lagi dengan keluhan

masih mengalami sesak masalah yang sama terutama batuk dan lendir

pada bulan Juli 2019 dengan diagnosa syndromee obstructive post

tuberculosis(SOPT). Lendir sulit dikeluarkan. Pasien merupakan perokok

aktif dulunya dan sekarang telah berhenti merokok sekitar bertahun-tahun

yang lalu. Pasien telah melakukan dua kali pengobatan enam bulan pada

tahun 2018. Ada riwayat OAT pada tahun 2017. Tidak ada riwayat

penyakit jantung, Namun pasien mengeluhkan nyeri dada sebelah kanan.

Pasien merasakan sesak setelah bekerja, saat jalan, naik turun tangga.

Pasien sudah melakukan pemeriksaan radiologi. Pasien tidak ada riwayat

penyakit lain seperti asam urat, kolesterol, diabetes, hipertensi.

3. Assymetry

a. Inspeksi Statis:

1) Tampak Anterior

a) Raut wajah pasien terlihat cemas

b) warna bibir tampak kehitaman

c) tidak tampak sianosis pada ujung jari tangan

d) Pasien bernafas dengan perut

e) Takipneu
50

f) Tampak shoulder asimetris

g) Protraksi shoulder

h) Bentuk thorax Barrel Chest

i) Hipertrofi otot pernapasan

j) SIAS (Spina Illiaca Anterior Superior) dan Knee asimetris

2) Tampak Lateral

a) forward head posture

b) Postur Kifosis

c) Protraksi sholder

3) Tampak Posterior

a) Tampak scapula dan shoulder asimetris

b) Kifosis

c) SIPS (Spina Illiaca posterior Superior) dan fossa poplitea

asimetris

b. Inspeksi Dinamis :Pola gait analysis saat berjalan normal.

c. Palpasi:

Tabel 3.1. Pemeriksaan Palpasi


Karakteristik Dextra Sinistra
Suhu Normal Normal
Oedem (-) (-)
Kontur kulit Kering dan kasar Kering dan kasar
Tenderness m. pectoralis major dan m. pectoralis major dan
minor, m. upper minor, m. upper
trapezius, trapezius,
m.sternocleidomastoideus m.sternocleidomastoideus
Sumber: Data primer, 2019
51

d. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar (PFGD)

Tabel 3.2. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Aktif Pasif TIMT


Regio Gerakan
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Soft Soft
endfeel. endfeel.
Ekstensi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
hard hard
endfeel. endfeel.
Cervical

Lateral DBN DBN DBN DBN DBN DBN


Soft Soft
Fleksi
endfeel. endfeel.
Dextra
Lateral DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Soft Soft
Fleksi
endfeel. endfeel.
Sinistra
Rotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
Dextra
endfeel. endfeel.
Rotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
Sinistra
endfeel. endfeel.
Fleksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Ekstensi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
hard hard
endfeel. endfeel.
Abduksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Elastic Elastic
endfeel. endfeel.
Adduksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Soft Soft
endfeel. endfeel.
Eksorotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
Shoulder

elastic elastic
endfeel. endfeel.
Endorotasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Protraksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Retraksi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Depresi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
endfeel. endfeel.
Elevasi DBN DBN DBN DBN DBN DBN
elastic elastic
52

endfeel. endfeel.

umber: Data Primer, 2019

e. Tes Orientasi

Pasien mampu meniup kertas

4. Restrictive

a. Limitasi ROM : Tidak ada limitasi ROM

b. Limitasi ADL : Terganggu ada sesak (walking, stairs)

c. Limitasi Pekerjaan : Terganggu

d. Limitasi Rekreasi : (-)


53

5. Tissue Impairment and Psychogenic Prediction

a. Musculotendinogen : Suspec muscle spasmem.pectoralis major

dan minor,m. upper trapezius, m.Sternocleido mastoideus

b. Osteoarthrogen : (-)

c. Neurogen : (-)

d. Psikogen : Cemas

6. Specific Test

a. Visual Analog Scale (VAS)

Tabel 3.3. Hasil Pemeriksaan Intensitas Nyeri


Karakteristik Hasil Interpretasi
Nyeri Diam 0 Tidak Sakit (None)
Nyeri Tekan 4 Agak mengganggu (Moderate)
Nyeri Gerak 2 Tidak Sakit (None)
Sumber: Data Primer, 2019

b. Auskultasi

Hasil : terdapat bunyi wheezing pada segmen anterior, apikal dextra

IP : terdapat indikasi konsolidasi cairan / sputum.

c. Perkusi

Hasil : terdapat bunyi dullness(datar) pada upper, middle and apical

lobe anterior dextra

IP :ada indikasi konsolidasi sputum

d. Spirometri tes

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Spyrometri


Param Best Pred %Pred Unit
FVC 1,19 1,96 60,64 I
FEV 1 1,01 1,60 63,00 I
PEF 1,47 5,08 29,02 I/s
Param Best Pred %Pred Unit
FEV1/FVC 84,92 75,99 111,76 %
MMEF 1,01 2,46 41,21 I/s
54

MEF75 1,46 4,70 31,01 I/s


MEF50 1,04 3,11 33,32 I/s
MEF25 0,66 0,96 69,20 I/s
FIVC 1,38 - - I
Best FVC 1,19 1,96 60,64 I
Best FEV1 1,01. 1,60 63,00 I
Sumber: Data sekunder, 2019

IP :Restrictive disorder

e. Pump Hundle Movement Test

Hasil : Lobus dextra dan sinistra mengembang asimetris

IP : terdapat masalah pengembangan thoraxterutama

anteriordextra

f. Bucket Hundle Movement Test

Hasil : Lobus dextra dan sinistra mengembang asimetris

IP : terdapat masalah pengembangan thorax dan diafragma

kesuperolateral

g. Lingkar Thorax
Tabel 3.4. Lingkar Thorax

Inspirasi Awal Ekspirasi Selisih (cm)


Pengukuran Interpretasi
(cm) (cm) (cm) Inspirasi Ekspirasi
Upper lobe 79 78 77 1 1 Terjadi
penurunan
Middle mobilitas
80 78 77,6 2 0.4
lobe toraks pada
Lower lobe 74 73 71 1 2 lower chest.
Sumber : Data Primer, 2019

h. Tes Panjang Otot (muscle length test)

m. Sternocleidomastoideus dekstra dan sinistra kontraktur

m. Pectoralis mayor dekstra dan sinistra memendek

m. Pectoralis minor dekstra dan sinistra memendek

m. Upper trapezius dekstra dan sinistra memendek


55

i. Palpasi Otot

Spasme m. Pectoralis mayor dan minor

Tightness m. Upper trapezius d/s

j. METs Test

Hasil :7

IP : Mampu naik turun tangga

k. New York Heart Association (NYHA)

Hasil :2

IP :Ada sesak saat beraktivitas namun cepat hilang

l. Six-minute walking test

Hasil : 3 menit, 39 detik 8 putaran dan DN 90x/menit dan SaO2

98%

IP : Pasien hanya mampu berjalan selama 3 menit 39 detik dengan

hasil 2,8 track.

m. Borg Scale
Hasil :5

IP : Sesak berat

n. HRS-A

Hasil : 16

IP : Kecemasan ringan

o. Hasil pemeriksaan radiologi

(20 januari 2016)

Hasil : Cor, Diafragma dan sinus baik

IP : TB paru Duplex Aktif


56

p. Barthel’s Index

Hasil : 95

IP : Ketergantungan ringan

q. CAT (COPD Assessment Test)

Hasil : 11

IP : Sedang

r. TCM (Tes Cepat Moleculer)

(13 Mei 2019)

Assay Assay Version Assay Type


Xpert MTB-RIF
5 In Vitro Diagnostic
Assay G4
Test result : MTB not detected

Analysis Result

Analyte Name Ct EndPt Analyte Probe Check


Result Result
Probe D 0.0 -1 NEG PASS
Probe C 0.0 1 NEG PASS
Probe E 0.0 -9 NEG PASS
Probe B 0.0 2 NEG PASS
SPC 27,4 225 PASS PASS
Probe A 0.0 1 NEG PASS
QC-1 0.0 0 NEG PASS
QC-2 0.0 0 NEG PASS

3.3 Diagnosis Fisioterapi

Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses

pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:“Gangguan Fungsional Paru-Paru

berupa Sesak Napas, Batuk, dan Nyeri Dada e.cSyndrome Obstructive Post

Tuberculosis (SOPT) Sejak 3 Bulan yang Lalu”.


57

3.4 Problem Fisioterapi

a. Problem Primer : Sesak nafas, batuk, dan nyeri dada

b. Problem Sekunder : Kecemasan, penurunan mobilitas lingkar toraks

(penurunan fungsi paru), penyumbatan jalan napas, spasme

m.sternocleidomastoideus, m. upper trapezius, m. pectoralis major dan

minor, dan gangguan postur tubuh

c. Problem Kompleks : Gangguan ADL berjalan lama dan aktivitas berat

3.5 Planning Fisioterapi

a. Tujuan jangka panjang: Mengoptimalkan kemampuan ADL dan

meningkatkan ekspansi toraks

a. Tujuan jangka pendek:

1) Mengurangi kecemasan

2) Mengurangi sesak napas

3) Mengurangi nyeri dada

4) Membersihkan jalan napas

5) Mengurangi spasme m.sternocleidomastoideus, m. upper trapezius,

dan m. pectoralis major dan minor

6) Memperbaiki postur tubuh

3.6 ProgramFisioterapi

Tabel 3.5. Program Intervensi Fisioterapi


No. Problem Fisioterapi Modalitas Fisioterapi Dosis
1. Kecemasan Komunikasi Terapeutik F : 1x/hari
I : Pasien fokus
T : intrapersonal approach
T : Selama terapi
2. Sesak Napas Oxygen Therapy F : 1x sehari
I : 5L/menit
T : Nasal kanul
T : 10 menit

3. Metabolic Stress Reaction Electrotherapy F : 1x/hari


58

(MWD) I : 30 cm di atas kulit


T : local (toraks bagian anterior)
T : 10 menit
4. Nyeri Dada Electrotherapy F : 1x/hari
(TENS) I : 30 MA
T : local
T : 8 menit
5. Sesak napas dan penurunan Exercise Therapy F:1x sehari
ekspansi toraks I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Pursed Lip Breathing exc
T: 2 menit
F:1x sehari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Diaphragmatic Breathing exc
T: 2 menit
6. Penyumbatan jalan napas Inhale Therapy F : 1x/hari
I : sampai cairan obat habis
T : Nebulizer dengan obat
mukolitik
T : Sampai obatnya habis
Batuk Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : coughing and huffing
exercise
T : 3 menit
F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : postural drainage (vibration,
tapotement, positioning)
T : 5 menit
7. Spasme Exercise Therapy F : 1x/hari
m.sternocleidomastoideus, I : 15 hitungan, 3x repetisi
m. upper trapezius, m. T : Stretching exc
pectoralis major &minor T : 3 menit
8. Penurunan mobilitas toraks Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Pumpdan Bucket Hundle
Movement
T : 3 menit
9. Gangguan Postur Exercise Therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Bugnet Exercise
T : 3 menit
10. Gangguan ADL Exercise Therapy F:1x sehari
I: Low impact, toleransi pasien
T: 6 minutes walking exercise
T: Toleransi pasien
Sumber: Data Primer, 2019

3.7 Evaluasi dan Modifikasi Fisioterapi

Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang


telah diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6. Evaluasi Fisioterapi
59

Evaluasi Sesaat
Problem Interpretasi
No Parameter Kategori Sebelum Setelah
FT
Intervensi Intervensi
Terjadi
Kecemasa penurunan
1. HRSA - 16 12
n kecemasan

2. Nyeri VAS Nyeri Diam 0 0 Terjadi


dada Nyeri Tekan 4 2 penurunan
Nyeri Gerak 2 0 derajat nyeri

3. Kapasitas Vital sign Tekanan 130/80 130/90 (-)


fungsi Darah mmHg mmHg
cardio- Denyut Nadi 90 96
pulmonal kali/menit kali/menit

4. Lingkar 2-3 cm Upper chest 3 cmS


1 cm (ins),
thoraks (ins),
1 cm (eks) Tidak
2 cm (eks)
4-5 cm Middle chest 2 cm (ins), 3 cm (ins), terdapat
0,4 cm (eks) 1 cm (eks) perubahan.
7-8 cm Lower chest 1 cm (ins), 2 cm (ins),
2 cm (eks) 3 cm (eks)
5. Sesak NYHA - Terdapat
napas II I penurunan

6. Gangguan Inspeksi - Belum


Postur Shoulder Shoulder terdapat
Protraksi Protraksi perubahan

7. Gangguan 6 minutes - Tidak


ADL walking test dilakukan Terdapat
2,8 trek peningkatan
berjalan (pertimbang
an SaO2
Sumber: Data Primer, 2019

Tabel 3.7. Modifikasi Fisioterapi


No Problem Fisioterapi Modalitas FT Dosis
F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi
1 Sesak Napas Breathing Exercise
T: Diaphragmatic Breathing exc
T: 7 menit
F:1x sehari
I: 10 hitungan, 5x repetisi
2 Gangguan Postur Tubuh Exercise Threapy
T: Bugnet exc
T: 5 menit
F : 1x/hari
I : 10 hit 3 rep
3 Ekspansi Thoraks Exercise Threapy T : Respiratory Muscle Strech
Gymnastic
T : 5 menit
60

Sumber: Data Primer, 2019

3.8 Home Program

Pasien diberikan edukasi berupa latihan pernapasan, dan latihan

berjalan untuk meningkatkan kebugaran pasien dengan dosis sebagai berikut:

1. Purse Lip Breathing Exercise

F:1x sehari

I: 8 hitungan, 3x repetisi, 2 set

T: Bernapas melalui hidung sambil mengangkat tangan ke atas lalu

membuang napas melalui mulut sambil menurunkan tangan dengan

menggunakan pernapasan perut

T: 3 menit

2. Latihan bejalan

F : 2x/hari

I : toleransi pasien

T : Pasien berjalan selama 6 menit jika merasa sesak dan lelah maka

latihan berjalan dihentikan

T : toleransi pasien

3.9 Kemitraan

Melakukan kolaborasi atau kemitraan dalam rangka memberikan layanan

prima kepada pasien, di antaranya :


61

a. Dokter Spesialis Paru

Kolaborasi dan kemitraan dengan dokter spesialis paru sangat penting

dalam hal mengenali kondisi umum, tanda dan gealah, patofisiologi

pasien, serta dalam peresepan obat.

b. Dokter Radiologi

Hasil radiologi memegang peran yang penting, terutama dalam kasus

yang berhubungan dengan organ dalam, seperti paru. Hasil radiologi dapat

menyaikan gambaran paru pasien yang dapat menunjang dalam penetapan

diagnosis pasien. Pada kasus ini pasien belum memiliki hasil radiologi.

c. Ilmu Gizi

Seorang ahli gizi sangat dibutuhkan dalam mengontrol status gizi

seorang pasien dan menyarankan pola makan dan jenis-jenis makanan

dengan kandungan yang sesuai guna meningkatkan gizi pasien.

d. Apoteker

Kolaborasi dengan apoteker sangat penting terkait pemberian,

peracikan dan penetapan dosis obat kepada pasien.

e. Psikologi

Kehadiran psikolog sangat penting dalam memberikan motivasi dan

dorongan batin kepada pasien, guna menurunkan tingkat kecemasan pasien

dan membentuk semangat pasien untuk sembuh.


DAFTAR PUSTAKA

Aida,N. 2016. Patogenesis Sindrom Ostruksi Pasca Tuberkulosis. Bagian Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru
Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.
Amin Z, Bahar A, 2014. Tuberculosis Paru. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I. 6st edition, Jakarta: Interna Publishing. Hal 865-970.
Pratama, H. 2012. Fisioterapi Dada. Jakarta.
Depkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), 2016, Global
Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic
ObstructivePulmonary

Irawati, Anastasia. 2013. Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis di RSU


Dr. Soedarso Pontianak. Naskah Publikasi. Pontianak: Fakultas kedokteran
Universitas Tanjungpura

Isselbacher, Braundwald, Wilson, Martin, Fauci, & Kasper. 2013. Harrison


Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Alih bahasa Asdie Ahmad H., Edisi
13, Jakarta: EGC. Hal 799-800.

Juarfianti, Engka, J. N., & Supit, S. 2015. Kapasitas Vital Paru pada Penduduk
Dataran Tinggi Desa Rurukan Tomohon. Jurnal E-Biomedik (Ebm), 3(1):
430-434.

Kelly, F. 2014. Influence of Air Pollution on Respiratory Disease. European


Medical Journal, 2, pp.96-103

Kementerian Kesehatan. 2017. Analisis TB di Indonesia. Jakarta : Pusat Data dan


Informasi Kemenkes.

Kennedy, J. 2012. Clinical Anatomy Series‐Lower Respiratory Tract Anatomy.


Scottish Universities Medical Journal., 1(2), pp.174‐179.

Majumder, N. 2015. Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and


Physical Education, 2(3), pp.16-17.
Maksum, Radji. 2011. Buku Ajar Mikrobiologi. Jakarta: Buku Kedokteran.

Patwa, A. and Shah, A. 2015. Anatomy and physiology of respiratory system


relevant toanaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2016. PPOK. Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset Citra Grafika.

62
63

Purnomo, D., Akhmad, A.A.,and Suci A. 2018. Pengaruh Infra Red dan Terapi
Latihan Terhadap Penderita Asma Bronchiale. Fisioterapi Widya Husada
Semarang.

Sailaja HK and Rao N. 2015. Study of Pulmonary Function Impairment by


Spirometry in Post Pulmonary Tuberculosis. Journal of Evolution of
Medical and Dental Sciences. Volume 4. Nomor 42.

Setyaningtyas, L. 2016. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penderita Asma


Bronkiale Di Rumah Sakit Khusus Paru Respira Yogyakarta. Program Studi
DIII Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiya
Surakarta

Shetty, A.J.and Tyagi, A. 2010. Development Of Post Tubercular Bronchial


Astma A Pilot Study.Journal of Clinical and Diagnostic Research. Nomor 4.

Srinivas, P. 2012. Steady State and Stability Analysis of Respiratory Control


System using Labview. International Journal of Control Theory and
Computer Modeling, 2(6), pp.13-23.

Ustadzi, I. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Asma Bronchial Di


Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Yogyakarta. Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Widoyono.2018.Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga.

White, S., Danowitz, M. and Solounias, N. 2016. Embryology and evolutionary


history of the respiratory tract. Edorium Journal of Anatomy and
Embryology, 3, pp.54-62.
LAMPIRAN

Lampiran 1.
Hamilton Rating Scale for Anxiety
No. Kelompok Gejala
1. Perasaan cemas a. Cemas
b. Takut
c. Mudah tersinggung
d. Firasat buruk
2. Ketegangan a. Lesu
b. Tidur tidak tenang
c. Gemetar
d. Gelisah
e. Mudah terkejut
f. Mudah menangis
3. Ketakutan pada a. Gelap
b. Ditinggal sendiri
c. Orang asing
d. Binatang besar
e. Keramaian lalulintas
f. Kerumunan orang banyak
4. Gangguan tidur a. Sukar tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidak puas, bangun lesu
d. Sering mimpi buruk
e. Mimpi menakutkan
5. Gangguan kecerdasan a. Daya ingat
6. Perasaan depresi a. Kehilangan minat
b. Sedih
c. Bangun dini hari
d. Berkurangnya kesenangan
pada hobi
e. Perasaan berubah-ubah
sepanjang hari
7. Gejala somatic a. Nyeri otot kaki
b. Kedutan otot
c. Gigi gemertak
d. Suara tidak stabil
8. Gejala sensorik a. Tinitus
b. Penglihatan kabur
c. Muka merah dan pucat
d. Merasa lemas
e. Perasaan di tusuk-tusuk
9. Gejala kardiovaskuler a. Tachicardi
b. Berdebar-debar
c. Nyeri dada

64
65

d. Denyut nadi mengeras


e. Rasa lemas seperti mau
pingsan
f. Detak jantung hilang sekejap
10. Gejala pernapasan a. Rasa tertekan di dada
b. Perasaan tercekik
c. Merasa napas pendek atau
sesak
d. Sering menarik napas panjang
11. Gejala saluran pencernaan a. Sulit menelan
makanan b. Mual, muntah
c. Enek
d. Konstipasi
e. Perut melilit
f. Defekasi lembek
g. Gangguan pencernaan
h. Nyeri lambung sebelum dan
sesudah
i. Rasa panas di perut
j. Berat badan menurun
k. Perut terasa panas atau
kembung
12. Gejala urogenital a. Sering kencing
b. Tidak dapat menahan kencing
13. Gejala vegetative/Otonom a. Mulut kering
b. Muka kering
c. Mudah berkeringat
d. Sering pusing atau sakit
kepala
e. Bulu roma berdiri
14. Perilaku sewaktu wawancara a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Jari gemetar
d. Mengerutkan dahi atau kening
e. Muka tegang
f. Tonus otot meningkat
g. Napas pendek dan cepat
h. Muka merah

Masing- masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skor) antara 0-4,
yang artinya adalah:
a. Nilai 0 = tidak ada gejala / keluhan
b. Nilai 1 = gejala ringan / satu dari gejala yang ada
c. Nilai 2 = gejala sedang / separuh dari gejala yang ada
d. Nilai 3 = gejala berat / lebih dari separuh dari gejala yang ada
66

e. Nilai 4 = gejala berat sekali / semua dari gejala yang ada


Masing- masing nilai angka (skor) dari 14 kelompok gejala tersebut
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat
kecemasan seseorang, yaitu:
Total nilai (skor):
a. < 14 = tidak ada kecemasan
b. 14 – 20 = kecemasan ringan
c. 21 – 27 = kecemasan sedang
d. 28 – 41 = kecemasan berat
e. 42 – 56 = kecemasan berat sekali / panik
67

Lampiran 2.
Indeks Barthel
Nilai
No Aktivitas
Bantuan Mandiri
1 Makan 5 10
2 Berpindah dari kursi roda ke
5-10 15
tempat tidur dan sebaliknya
3 Kebersihan diri, mencuci
muka, menyisir, mencukur dan 0 5
menggosok gigi
4 Aktivitas di toilet 5 10
5 Mandi 0 5
6 Berjalan mendarat (jika tidak
10 15
mampu) dengn kursi roda
7 Naik-turun tangga 5 10
8 Berpakaian dan bersepatu 5 10
9 Mengontrol BAB 5 10
10 Mengontrol BAK 5 10
Jumlah 100

Penilaian :
0-20 : Ketergantungan penuh
21-61 : Ketergantungan berat/sangat
62-90 : Ketergantungan moderat
91-99 : Ketergantungan ringan.
100 : Mandiri
68

Lampiran 3.
New York Heart Association (NYHA)
Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA) di dalam
PERKI (2015) ada empat kelas, yaitu :

KELAS DEFINISI ISTILAH

Tidak terdapat batasan dalam


melakukan aktivitas fisik.
Disfungsi ventrikel kiri yang
I Aktivitas fisik sehari-hari
asimtomatik
tidak menimbulkan kelelahan,
palpitasi atau sesak nafas

Terdapat batasan aktifitas


ringan. Tidak terdapat
keluhan saat istrahat, namun
II Gagal jantung ringan
aktifitas fisik sehari-hari
menimbulkan lelah, palpitasi
atau sesak nafas

Terdapat batasan aktivitas


bermakna. Tidak terdapat
keluhan saat istirahat, tetapi
III Gagal jantung sedang
aktivitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan,
palpitasi atau sesak

Tidak dapat melakukan


aktivitas fisik tanpa keluhan.
IV Terdapat gejala saat istrahat. Gagal jantung berat
Keluhan meningkat saat
melakukan aktivitas
69

Lampiran 4.

Metabolic Equivalent of Task (METs)

METs Interpretasi
1-2 Berbaring
3 Berbaring miring ke kiri dan kanan
4 Duduk
5 Berdiri – berjalan pelan
6 Berjalan cepat
7 Naik – turun tangga
8 Berlari pelan
9 Berlari dengan kecepatan tinggi

Anda mungkin juga menyukai