Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN PENDAHULUAN

HIPERTENSI

1. Definisi
Hipertensi adalah peningkatan darah sistolik dan diastolik dengan konsisten di atas 140/90
mmHg. Diagnosis hipertensi tidak berdasarkan pada peningkatan tekanan darah yang hanya
sekali. Tekanan darah harus diukur dalam posisi duduk dan berbaring (Baradero, 2008).
Hipertensu sering menyebabkan perubahan pada pembuluh darah yang dapat mengakibatkan
semakin tingginya tekanan darah (Muttaqin, 2009).

2. Etiologi
Berdasarkan faktor penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 macam, yaitu hipertensi esensial
atau hipertensi primer dan hipertensi sekunder atau hipertensi renal:
a. Hipertensi Esensial atau Hipertensi Primer
Penyebab dari hipertensi ini belum diketahui, namun faktor resiko yang diduga kuat
adalah karena beberapa faktor berikut ini, menurut Riyadi (2011):
1. Keluarga dengan riwayat hipertensi
2. Pemasukan yodium berlebih
3. Konsumsi kalori berlebih
4. Kurangnya aktifitas fisik
5. Pemasukan alkohol berlebih
6. Rendahnya pemasukan potasium
7. Lingkungan
Selain faktor-faktor di atas adapula faktor yang diduga berkaitan dengan berkembangnya
hipertensi esensial, menurut Ardiansyah (2012), diantaranya:
1. Genetik
2. Jenis kelamin
3. Diet tinggi garam atau kandungan lemak
4. Berat badan atau obesitas
5. Gaya hidup mengkonsumsi alkohol dan merokok
b. Hipertensi Sekunder atau Hipertensi Renal
Penyebab dari hipertensi jebis ini secara spesifik seperti: penggunaan ekstrogen, penyakit
ginjal, hipertensi vaskuler renal, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan (Riyadi,
2011).

3. Manifestasi Klinis
Biasanya tanpa ada gejala atau tanda-tanda yang spesifik. Pada kasus hipertensi berat,
gejala yang mungkin dialami pasien, menurut Riyadi (2011), antara lain adalah:
a. Sakit kepala
b. Pendarahan hidung
c. Vertigo
d. Mual muntah
e. Perubahan penglihatan
f. Kesemutan pada kaki dan tangan
g. Sesak napas
h. Kejang atau koma
i. Nyeri dada

4. Patofisiologi
Patofisiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor yang saling berhubungan
terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi esensial. Nnamun, pada
sejumlah kecil pasien penyakit ginjal atau korteks adrenal (2% dan 5%) merupakan penyebab
utama peningkatan tekanan darah (hipertensi sekunder) namun selebihnya tidak terdapat
penyebab yang jelas pada pasien penderita hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologi
turut berperan aktif pada tekanan darah normal dan yang terganggu. Hal ini mungkin
berperan penting pada perkembangan penyakit hipertensi esensial. Terdapat banyak faktor
yang saling berhubungan terlibat dalam peningkatan tekanan darah pada pasien hipertensi
(Crea, 2008).
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak dipusat
vasomotor, pada medulla diotak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang
berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia
simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk
impuls yang bergerak ke bawah melalui system saraf simpatis ke ganglia simpatis. Individu
dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan
jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Crea, 2008).
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respons rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokonstriksi. Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran ke ginjal, menyebabkan
pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah
menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi minum dan air oleh
tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra vaskuler. Semua faktor ini cenderung
mencetuskan keadaan hipertensi (Crea, 2008).

5. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG: adanya pembesaran ventrikel kiri, pembesaran atrium kanan, adanya penyakit
jantung koroner atau aritmia
b. Hemoglobin/hematokrit: bukan diagnostik tetapi mengkaji hubungan dari sel-sel
terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat mengindikasikan faktor-faktor risiko
seperti hiperkogulabilitis, anemia
c. BUN/kreatinin: memberikan informasi tentang perfusi/fungsi ginjal
d. Glukosa: hiperglikemia (Diabetes Militus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan
oleh peningkatan kadar katekolamin (meningkatkan hipertensi)
e. Kalium serum: peningkatan kadar kalsium serum dapat meningkatkan hipertensi
f. Kolesterol dan trigliserida serum: peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus
untuk/adanya pembentukan plak ateromatosa (efek kardiovaskuler)
g. Asam urat: hiperurisemia telah menjadi implikasi sebagai faktor risiko terjadinya
hipertensi
h. Foto rontgen: adanya pembesaran jantung, vaskularisasi atau aorta yang melebar
(Diklat PJT-RSCM, 2008).

6. Penatalaksanaan Hipertensi
Menurut Ardiansyah (2012), langkah awal biasanya adalah dengan mengubah pola hidup
penderita, yakni dengan cara:
a. Menurunkan berat badan sampai batas ideal
b. Mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan, atau kadar kolesterol darah
tinggi
c. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3gr natrium atau 6gr natrium
klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium, magnesium dan kalium yang
cukup)
d. Mengurangi konsumsi alkohol
e. Berhenti merokok

7. Terapi Farmakologi
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien Hipertensi, menurut Nafrialdi
(2009) diantara:
a. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan
volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan
tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan
resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat
penurunan natrium di ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah
yang selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada diuretik
tertentu seperti golongan tiazid yang meunjukkan efek hipotensif pada dosis kecil
sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian kronik curah jantung akan
kembali normal, namun efek hipotensif masih tetap ada. Efek ini diduga akibat
penurunan resistensi perifer.
1) Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain hidroklorotiazid,
bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain yang memiliki gugus aryl-
sulfonamida.obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama
(symport) Na-Cl di tubulus distal ginjal, sehingga eksresi Na+ dan Cl- meningkat.
Tiazid seringkali dikombinasikan dengan antihipertensi lain karena: a) dapat
meningkatkan efektivitas anihipertensi lain dengan mekanisme kerja yang berbeda
sehingga dosisnya dapat dikurangi, b) tiazid mencegah resistensi cairan oleh
antihipertensi lain sehingga efek obat-obat tersebut dapat bertahan.
2) Diuretik kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat resorpsi air dan elektrolit.
Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid.
Oleh karena itu diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung.
b. Penghambat Andregenik
1) Penghambat Adrenoreseptor Beta
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1 terutama terdapat pada jantung
sedangkan reseptor beta-2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer
dan otot lurik. Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
2) Penghambat Adrenoreseptor Alfa
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 yang digunakan sebagai
anthipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif sebagai antihipertensi karena
hambatan reseptor alfa-2 di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan
norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis.
c. Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekusor angitensin I yang inaktif, yang terdapat
pada pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi
bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan
akskresi air dan natrium.

8. Diagnosa keperawatan
1. Penurunan curah jantung b/d vasokontriksi, iskemia miokard
2. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan vaskuler serebral
3. Intoleransi Aktivitas b/d ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan O²
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b/d pola makan tidak efektif
5. Ansietas b/d kurang informasi dengan penyakit nya
DAFTAR PUSTAKA

Ardiansyah, Muhammad. 2012. Medikal Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta: DIVA Press
Crea, M. 2008. Hypertension. Jakarta: Medya
Diklat PJT-RSCM. 2008. Buku Ajar Keperawatan Kardiologi Dasar Edisi 4. Jakarta:
RSCM.
Udjianti WJ. 2011. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika
Muttaqin A. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler.
Jakarta: Salemba Medika
Riyadi, Sujono. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rohaendi. 2008. Hipertensi. Diambil tanggal 20 Februari 2017 dari
http://dimasmis.blogspot.com/html.

Anda mungkin juga menyukai