Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lintas budaya dapat dipelajari melalui pendidikan dalam keluarga, sosialisasi


nilai-nilai dalam masyarakat baik melalui pergaulan sosial maupun media, dan melalui
pembelajaran multikultur, yaitu pembelajaran yang dapat menfasilitasi peserta dalam
memahami materi pembelajaran tanpa adanya kendala perbedaan latar belakang
kultural (Bryant dalam Mendatu, 1996) dan pemahaman akan keberagaman dan
penghargaan akan perbedaan, serta bagaimana bersikap dan bertindak dalam situasi
multietnik-multikultur (Matsumoto dalam Mendatu, 1996).
Berbicara budaya adalah berbicara pada ranah sosial dan sekaligus ranah
individual. Pada ranah sosial karena budaya lahir ketika manusia bertemu dengan
manusia lainnya dan membangun kehidupan bersama yang lebih dari sekedar
pertemuan-pertemuan insidental. Dari kehidupan bersama tersebut diadakanlah aturan-
aturan, nilai-nilai kebiasaan-kebiasaan hingga kadang sampai pada kepercayaan-
kepercayaan transedental yang semuanya berpengaruh sekaligus menjadi kerangka
perilaku dari individu-individu yang masuk dalam kehidupan bersama. Semua tata
nilai, perilaku, dan kepercayaan yang dimiliki sekelompok individu itulah yang disebut
budaya.
Pada ranah individual adalah budaya diawali ketika individu-individu bertemu
untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki
keunikan masing-masing dan saling memberi pengaruh. Ketika budaya sudah
terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan,
membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya
pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya
lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa
budaya sangat mempengaruhi perilaku dan pola pikir individu auau aspak konitifnya.
Budaya telah menjadi perluasan topik ilmu psikologi di mana mekanisme
berpikir dan bertindak pada suatu masyarakat kemudian dipelajari dan
diperbandingkan terhadap masyarakat lainnya. Psikologi budaya mencoba
mempelajari bagaimana faktor budaya dan etnis mempengaruhi perilaku manusia. Di
dalam kajiannya, terdapat pula paparan mengenai kepribadian individu yang dipandang
sebagai hasil bentukan sistem sosial yang di dalamnya tercakup budaya. Adapun kajian
lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam
mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kognisi dalam Lintas Budaya ?
2. Apa pengaruh kognisi terhadap Lintas Budaya ?
3. Apa Perbedaan Budaya dalam Mendefinisikan dan Memahami Emosi?
4. Apa Perbedaan Makna Emosi dalam Prilaku Lintas Budaya?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Konseling
Lintas Budaya dan memberikan pengetahuan kepada mahasiswa secara
terperinci tentang hubungan kognisi dan emosi terhadap Konseling Lintas
Budaya. Dengan begitu mahasiswa mampu mengetahui hubungan kognisi dan
emosi terhadap Konseling Lintas Budaya dan mampu mengaplikasikannya
dalam proses koseling.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kognitif Dalam Lintas Budaya


Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasikan dan
menggunakan pengetahuan (Neisser,1976). Dalam psikologi, kognitif adalah referensi
dari faktor-faktor yang mendasari sebuah prilaku. Kognitif juga merupakan salah satu
hal yang berusaha menjelaskan keunikan manusia. Pola pikir dan perilaku manusia
bertindak sebagi aspek fundamental dari setiap individu yang tak lepas dari konsep
kemanusiaan yang lebih nesar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Sedangkan
kebudayaan (culture) dalam arti luas merupakan kreativitas manusia (cipta, rasa dan
karsa) dalam rangka mempertahankan kelangsunganhidupnya. Manusia akan selalu
melakukan kreativitas (dalam arti luas) untukmemenuhi kebutuhannya (biologis,
sosiolois, psikologis) yang diseimbangkandengan tantangan, ancaman, gangguan,
hambatan (AGHT) dari lingkungan alam dan sosialnya.
Ada berbagai hal yang berhungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam
pengaruhnya terhadap lintas budaya, antara lain :

1. Kecerdasan Umum
Flynn membuat suatu penelitian dengan mengumpulkan data tes intelegensi
dari 14 negara. Data berasal dari pendaftar tetara dan didasarkan pada tes yang
dikumpulkan dalam beberapa tahun. Data diambil dari semua umur. Dari data trsebut
diketahui adanya peningkatan IQ di semua Negara, dengan nilai median 15 poin (dalam
1 standar deviasi) pada satu generasi. Flynn percaya bahwa tes IQ bukan ukuran mutlak
dalam melihat kemampian seseorang. Hasil penelitian Flynn adalah sebuah informasi
tentang penelitian lintas budaya, karena dia memperlihatkan kemampuan rata-rata
dalam tes IQ dan populasi adalah jauh dari kesetabilan dan dapat berubah secara
dramastis dalam waktu yang relatuf pendek.
Pada tahun 1997 van vijver mengumpulkan dan menganalisis data dari 157
sisiwa putus sekolah dengan menggunakan jenis tes kemampuan kognitif. Pertanyaan
dugunakan untuk menyelidiki hunbungan antara pendidikan dan kemampuan. Dengan
menggunakan indek dasar anggaran belanja pendidkan dan GNP dari sejumlah Negara.
Dia menemukan suatu hubungan positif kemakmuran suatu Negara dengan perbedaan
kemampuan dari suatu kelompok budaya dan juga berapa lama suatu pendidkan
dilaksanakan. Penemuan dari Van Vijver mendukung objek dasar melawan adanya
inteprestasi rasial. Perbedaan kelompok sejak lahir dapat mempengaruhi suatu
lingkungan, lebih lanjut kondisi yang kondusiv dalam pekembangan intelektual akan
menjadi sama.
Mc. Shane dan Berry mempunyai suatu tinjauan yang cukup tajam terhadap
terhadap tes kemampuan kognitif. Mereka menambahkan tentang deprivasi individu
(kemiskinan, gizi yang rendah, dan kesehatan), disorganisasi budaya sebagai
pendektan untuk melengkapi konsep G. jika disimpulkan beberapa hal yang
memepengaruhi kemempuan kognitif seseorang bukanlah budaya yang ada pada
lingkungan mereaka akan tetapi kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor genetik,
keadaan psikis, deprivasi individu dan disorganisasi budaya.

2. Genetic Epistemologi (Faktor Keturunan)


Genetic Epistemologi adalah salah satu teori dari Jean Piaget yang isinya adalah
mengatakan bahwa “adanya koherensi antara penampilan kognitif saat berbagai tugas
diberikan pada seseorang”. Dalam teori selnjutnya (dalam bahasan ini) piaget
menerangkan adanya 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan kognitif ;
a) Faktor biologis, berada pada sistem saraf.
b) Faktor keseimbangan, berkembang disebabkan adanya interaksi antara manusia
dengan lingkungan
c) Faktor sosial
d) Faktor perpindahan budaya, termasuk didalamnya pendidikan, kebiasaan dan
institusi.
Yang akan menjadi fokus utama dalam bahasan Genetik Epistemologi adalah
pembagian epistemologi yang terjadi dalam lintas budaya Psikologi Piagetian.
Psikologi Piagetian berkembang dari penelitian yang homogen menjadi heterogen.
Penelitian lintas budaya yang menggunakan paradigma ekokultural membawa
kesimpulan bahwa ekologi dan faktor budaya tidak mempengaruhi hubungan antar
tahap tapi mempengaruhi seberapa cepat dalam mencapainya. Perkembangan kognitif
berdasarkan data tidak akan sama disetiap tempat dan kebudayaan tertentu. Pada tahun
1987 Dasen dan Ribaupiere menyimpulkan bahwa teori Piagetian mempunyai
keuntungan sebagai berikut:
 Struktur invarian yang diabtasi adalah independent
 Model dapat diterapkan kepada beberapa domain.
 Perilaku spontan dapat diobservasi.
 Model menghubungkan aspek struktural dan fungsional dan memperkenalkan
perbedaan antara fenomena yang dapat dilihat maupun tidak.
 Ada konvergensi antar sekolah sosiohistoris dan epistemologi genetis
 Mereka menyebabkan adanya spesifikasi domain.

3. Cara Berpikir
Dalam pendekatan kecerdasan umum dan genetik epistemologi, cara berpikir
seseorang cenderung mengarah pada aspek “bagaimana” dari pada aspek “seberapa
banyak” (kemempuan) dalam kehidupan kognitifnya. Kemampuan kognitif dan model-
model kognitif merupakan salah satu cara bagi sebuah suku dan anggotanya membuat
kesepakatan yang efektif terhadap masalahyang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan ini mencari pola dari aktivitas kognitif berdasarkan asumsi universal
bahwa semua proses berlaku pada semua kelompok, tetapi pengembangan dan
penggunaan yang berbeda akan mengarah pada pola kemampuan yang berbeda juga.
Seorang pengembang dimensi model kognitif FDI yang bernama Within
menyatakan bahwa kemampuan kognitif ini tergantung pada cara yang ditempuh untuk
membuktikan “pola” yang dipilih. Tetapi menjelaskan pola kuyrang begitu luas
cangkupannya daripada kecerdasan umum. Membangun FDI yang dimaksud adalah
memperbesar kepercayaan dari individu tersebut atau menerima lingkungan fisik atau
sosial yang diberikan, melakukan pekerjaan yang bertolak belakang seperti
menganalisis atau membangun.
Para pemburu dan pemetik nomaden relatif berada pada lingkungan
yangkurang berstruktur kehidupan sosialnya dan lebih pada independent, begitu juga
sebaliknya dengan pertanian menetap. Kemudian perbedaan jenis kelamin juga sangat
berpengaruh dalam struktur sosial dan memperkuat bukti bahwa perspektif ekologi
memberikan cangkupan yang sangat luas untuk menguji keaslian dari perbedaan-
perbedaan model.

4. Contextualized cognition (pengamatan kontekstual)


Secara garis besar Cole dan Scriber memberikan suatu metodologo dan teori
tetang kontek kognisi. Teori dan metodologi tersebut diujikan untuk penghitungan
kemampuan kognitif secara spesifik dalam suatu kontek budaya dengan menggunakan
kontek kognisi yang di sebut sebagai Contextualized cognition. Untuk memperkuat
pendekatan mereka, cole membuat suatu studi empiris dan tunjauan terhadap literatur.
Misalnya dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit
diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual
(contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya
dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan
konteks dan situasi.

B. Adapun pengaruh kognitif terhadap lintas budaya antara lain:


1. Locus of control
Hal paling menarik dari hubungan kognitif dengan konteks lintas budaya adalah
masalah locus of control. Sebuah konsep yang dibangun oleh Rotter (1966) yang
menyatakan bahwa setiap orang berbeda dalam bagaimana dan seberapa besar kontrol
diri mereka terhadap perilaku dan hubungan mereka dengan orang lain serta
lingkungan.
Locus of control umumnya dibedakan menjadi dua berdasarkan arahnya, yaitu
internal dan eksternal. Individu dengan locus of control eksternal melihat diri mereka
sangat ditentukan oleh bagaimana lingkungan dan orang lain melihat mereka.
Sedangkan locus of control internal melihat independency yang besar dalam kehidupan
dimana hidupnya sangat ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai contoh adalah penelitian perbandingan antara masyarakat Barat
(Eropa-Amerika) dan masyarakat Timur (Asia). Orang-orang Barat cenderung melihat
diri mereka dalam kaca mata personal individual sehingga seberapa besar prestasi yang
mereka raih ditentukan oleh seberapa keras mereka bekerja dan seberapa tinggi tingkat
kapasitas mereka. Sebaliknya, orang Asia yang locus of control kepribadiannya
cenderung eksternal melihat keberhasilan mereka dipengaruhi oleh dukungan orang
lain ataupun lingkungan.
2. Diri individual
Diri individual adalah diri yang fokus pada atribut internal yang sifatnya
personal; kemampuan individual, inteligensi, sifat kepribadian dan pilihan-pilihan
individual. Diri adalah terpisah dari orang lain dan lingkungan.
Budaya dengan diri individual mendesain dan mengadakan seleksi sepanjang
sejarahnya untuk mendorong kemandirian sertiap anggotanya. Mereka didorong untuk
membangun konsep akan diri yang terpisah dari orang lain, termasuk dalam kerangka
tujuan keberhasilan yang cenderung lebih mengarah pada tujuan diri individu.
Dalam kerangka budaya ini, nilai akan kesuksesan dan perasaan akan harga diri
megambil bentuk khas individualisme. Keberhasilan individu adalah berkat kerja keras
dari individu tersebut. Diri individual adalah terbatas dan terpisah dari ornag lain.
Informasi relevan akan diri yang paling penting adalah atribut-atribut yang diyakini
stabil, konstan, personal dan insteransi dalam diri.
3. Kolektifitas
Budaya yang menekankan nilai diri kolektif sagat khas dengan cirri perasaan
akan keterkaitan antar manusia satu sama lain, bahkan antar dirinya sebagai mikro
kosmos dengan lingkungan di luar dirinya sebagai makro kosmos. Tugas utama
normative pada budaya ini adalah bagaimana individu memenuhi dan memelihara
keterikatannya dengan individu lain. Individu diminta untuk menyesuaikan diri dengan
orang lain atau kelompok dimana mereka bergabung. Tugas normative sepanjang
sejarah budaya adalah mendorong saling ketergantungansatu sama lain. Karenanya,
diri (self) lebih focus pada atribut eksternal termask kebutuhan dan harapan-
harapannya.
Dalam konstruk diri kolektif ini, nilai keberhasilan dan harga diri adalah apabila
individu tersebut mampu memenuhi kebutuhan komunitas dan menjadi bagian penting
dalam hubungan dengan komunitas. Individu focus pada status keterikatan mereka
(interdependent), dan penghargaan serta tanggung jawab sosialnya. Aspek terpenting
dalam pengalaman kesadaran adalah saling terhubung antar personal.
Dapat dilihat bahwa diri (self) tidak terbatas, fleksibel, dan bertempat pad
konteks, serta saling overlapping antara diri dengan individu-individu lain khususnya
yang dekat atau relevan. Dalam budaya diri kolektif ini, informasi mengenai diri yang
terpenring adalah aspek-aspek diri dalam hubungan.
4. Persepsi diri
Studi yang dilakukan oleh Bond danTak-Sing (1983), dan Shwender dan
Bourne (1984) menunjukkan bagaimana perbedaan konstruk diri mempengaruhi
persepsi diri. Studi ini membandingkan kelompok Amerika dan kelompok Asia,
subyek diminta menuliskan beberapa karakteristik yang menggambarkan diri mereka
sendiri. Respon yang diberikan subyek bila dianalisa dapat dibagi ked lam dua jenis,
yaitu respon abstrak atau deskripsi sifat kepribadian seperti saya seorang yang mudah
bergaul, saya orang yang ulet; dan respon situasional seperti saya biasanya mudah
bergaul dengan teman-teman dekat saya.
Hasil studi menunjukkan bahwa subyek Amerika cenderung memberikan
respon abstrak sedangkan subyek Asia cenderung memberikan respon situasional.
penemuan ini menyatakan bahwa individu dengan konstruk diri yang dependent
cenderung menekankan pada atribut personal: kemampuan ataupun sifat kepribadian;
sebaliknya individu dengan konstruk diri intersependent lebih cenderung melihat diri
mereka dalam konteks situasional dalam hubungannya dengan orang lain.
5. Sosial explanation
Konsep diri juga menjadi semacam pola panduan bagi kognitif dalam
melakukan interpretasi terhadap perilaku orang lain. Individu dengan diri individual,
yang memiliki keyakinan bahwa setiap orang memiliki serangkaian atribut internal
yang relatif stabil, akan menganggap orang lain juga memiliki hal yang sama. Hasilnya,
ketika mereka melakukan pengamatan dan interpretasi terhadap perilaku orang lain,
mereka berkeyakinan dan mengambil kesimpulan bahwa perilaku orang lain tersebut
didasi dan didorong oleh aspek-aspek dalam atribut internalnya.
6. Motivasi berprestasi
Motivasi adalah faktor yang membangkitkan dan menyediakan tenaga bagi
perilaku manusia dan organisme lainnya. motivasi manusia merupakan konsep yang
paling banyak menarik perhatian dan diteliti dalam kajian psikologi, sekaligus paling
controversial karena banyaknya definisi dan pemikiran yang dikembangkan. Teori
motivasi yangn terkenal diantaranya disampaikan oleh Maslow dan Mc-Clelland.
Dalam teori motivasi Maslow, manusia memiliki hierarki kebutuhan dari
kebutuhan paling dasar yaitu fisiologis hingga kebutuhan paling tinggi yaitu aktualisasi
diri. Sementara menurut Mc-clelland, manusia juga dimotivasi oleh dorongan sekunder
yang penuh tenaga yang tidak berbasis kebutuhan, yaitu berprestasi, berafiliasi atau
menjalin hubungan, dan berkuasa.
Dalam tradisi barat, konsep diri bersifat individual, motivasi diasosiasikan
sebagai sesuatu yang personal dan internal, dan kurang terkait dengan konteks sosial
ataupun interpersonal. Dalam komunitas tradisi timur, konsep diri condong dilihat
sebagai bagian kolektifitas, kesuksesan adalah untuk mencapai tujuan sosial yang lebih
luas. Kesuksesan selalu dipandang terkait dengan kebanggaan dan kebahagiaan orang
lain, terutama orang-orang terdekat.
7. Peningkatan diri (self enhancement)
Memelihara atau meningkatkan harga diri diasumsikan akan memiliki bentuk
yang berbeda pada budaya yang cenderung interdependent. Diantara orang-orang yang
datang dari budaya interdependent, penaksiran atribut internal diri mungkin tidak
terkait dengan harga diri (self esteem) ataupun kepuasan diri (self satisfiaction).
Sebaliknya, harga diri ataupun kepuasan diri terlihat lebih terkait dengan keberhasilan
memainkan perannya dalam kelompok, memelihara harmoni, menjaga ikatan, dan
saling membantu. Bagi orang-orang dri interdependent culture, melihat dirir sebagai
unik atau berbeda malah akan menjadikan ketidakseimbangan psikologis diri. Mereka
akan merasa terlempar dari kelompoknya dan kesepian sebagai manusia.

C. Perbedaan Budaya Dalam Mendefinisikan dan Memahami Emosi


Berikut adalah perbedaan budaya dalam mendefinisikan dan memahami emosi
1. Konsep dan definisi emosi
Banyak studi yang menyatakan bahwa hampir setiap kebudayaan memiliki
suatu konsep tentang emosi.Tapi tidak semua budaya yang ada di dunia memiliki
konsep emosi.Levy (1973- 1983) menyatakan bahwa orang Tahiti tidak mempunyai
kata untuk emosi.Lutz, (1983) juga menyatakan orang ifaluk dari kepulawan
Mikronesia tidak memiliki kata untuk emosi.dengan demikian kata dan konsep emosi
adalah sesuatu yang khas untuk budaya-budaya tertentu.
2. Perbedaan Makna Emosi Bagi Orang Dan Dalam Prilaku Lintas Budaya
Menurut psikologi Amerika, emosi mengandung makna personal yang amat
kental karna psikologi amerika mengandung perasaan batin (inner feeling), dalam
budaya lain emosi memiliki peran yang berbeda, misanya banyak budaya yang
menganggap emosi sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antara orang dan
lingkungannya, bagi orang Ifaluk di Mikronesia (Lutz,1982) maupun orang Tahiti
(Levy,1984) emosi merupakan pernyataan mengenai hubungan- hubungan sosial dan
lingkungan fisik. Sedangkan konsep jepang menunjukan pada hubungan
ketergantungan antara dua orang.
3. Perubahan pada tubuh saat terjadi emosi
Terutama pada emosi yang kuat, seringkali terjadi juga perubahan – perubahan
pada tubuh kita yaitu:
a) Reaksi elektris pada kulit: mengingat bila terpesona.
b) Peredaran darah: bertambah cepat bla marah:
c) Denyut jantung: bertambah cepat bia terkejut.
d) Pernafasan: bernaas panjang kalau keceewa.
e) Upil mata: membesar bila sakit atau marah.
f) Liur: mongering atau takut atau tegang.

4. Menggolongkan Emosi
Membedakan satu emosi dari emosi lainnya dan menggolongkan emosi-emosi
yang sejenis kedalam suatu golongan atau satu tipe sangat sukar dilakukan hal-hal
berikut ini:
Emosi yang sanat mendalam (misalnya sangat marah, atau sangat takut)
menyebabkan aktifitasa badan sangat tinggi sehingga seluruh tubuh aktif, dan dalam
keadaan seprti ini sukar menentukan apaka seseorang sedang takut atau sedang
marah.Satu orang dapat menghayati satu macam emosi dengan berbgai cara misalnya
kalau marah ia bergetar ditempat, tetapi lain kali ia memaki – maki atau mungkin lari.
Nama yang umumnya diberikan kepada berbagai jenis emosi biasanya
didasarkaan pada sifat rangsangnya, bukan padakeadaan emosinya sendiri.Jadi takut
adalah emosi yang timbul terhadap sesuau yang bahaya adalah emosi yang timbul
terhadap sesuatu yang menjengkelkan.Pengenalan emosi secara subjektif dan
introspektif di lakukan karena selalu saja ada pengaruh dari lingkungan.
D. Perbedaan Makna Emosi Dalam Prilaku Lintas Budaya
Menurut psikolog Amerika, emosi mengandung makna yang sangat kental,
barangkali psikologi Amerika memandang perasaan batin yang subjektif sebagai
karakteristik utama yang mendefinisikan emosi. Namun demikian dalam budaya lain
emosi memiliki peran yang berbeda. Misalnya banyak budaya yang menganggap emosi
sebagai pernyataan-pernyataan tentang hubungan antar orang dan lingkungannya, yang
mencakup baik benda-benda maupun hubungan sosial dengan orang lain.

1. Penelitian Psikologi Lintas Budaya Tentang Emosi


Ada beberapa perbedaan penting antara penelitian psikologi lintas budaya
tentang emosi dengan penelitian antropologis dan etnografis. Satu perbedaan
pentingnya adalah bahwa psikolog biasanya mendefinisikan terlebih dahulu apa yang
tercakup sebagai emosi dan aspek mana dari definisi tersebut yang akan dikaji.
Perbedaan kultural dalam konsep dan definisi emosi, menjadi hambatan bagi
model penelitian ini.Penelitian psikologis tentang emosi tetap mewakili suatu model
penelitian yang penting tentang perbedaan kultural dan emosi. Meski begitu mereka
menegaskan bagaimana budaya bisa membentuk emosi dan demikian meningkatkan
kesadaran akan pentingnya pengaruh-pengaruh sosio-kultural. Studi ini juga penting
karena mereka menunjukkan bahwa perbedaan kultural emosi tetap ada, bahkan ketika
aspek emosi yang diteliti didefinisikan oleh pandangan barat mainstream dalam emosi.

2. Ekspresi Emosi
Penelitian lintas budaya tentang ekspresi emosi pada umumnya terfokus pada
ekspresi wajah.Ekspesi wajah dari emosi dari emosi adalah aspek ekspresi emosi yang
paling banyak dipelajari, dan penelitian lintas budaya mengenai ekspresi wajah inilah
yang menjadi pendorong utama studi emosi di Psikologi Amerika.Ekman dan Izard
mendapatkan bukti pertama yang sistematis dan konklusif tentang keuniversalan
ekspresi marah, jijik, takut, senang, sedih, dan terkejut.
Keuniversalan ini berarti bahwa konfigurasi mimik muka masing-masing emosi
tersebut secara biologis bersifat bawaan atau inate. Namun temuan ini tidak cocok
dengan apa yang secara intuitif kita rasakan tentang adanya perbedaan kultural dalam
ekspresi emosi. Masing-masing kebudayaan memiliki perangkat aturan sendiri yang
mengatur cara emosi universal tersebut diekspresikan, emosi tersebut tergantung pada
situasi sosial. Ini biasa kita sebut sebagai aturan pengungkapan kultural (cultural
display role).

3. Persepsi Emosi
Budaya juga mempengaruhi pelabelan emosi. Meski biasanya ada kesepakatan
antar budaya dalam hal emosi apa yang ditampilkan oleh suatu ekspresi wajah, namun
tetap ada variasi dalam tingkat kesepakatan tersebut. Jenis perbedaan kultural dalam
pelabelan emosi inilah yang ditemukan dalam penelitian yang lebih baru.Sebenarnya,
perbedaan kultural dalam tingkat kesepakatan masing-masing budaya dalam melabeli
emosi juga tampak dalam data dari penelitian ulang Ekman dan Izard tentang sifat
universal emosi.Hanya saja, ketika itu perbedaan kultural ini tidak diuji karena tujuan
penelitian tersebut adalah untuk menemukan kesamaan bukan perbedaan kultural.

4. Pengalaman Emosi
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa program penelitian mulai mempelajari
bagaimana orang-orang dari berbagai budaya mengalami emosi secara berbeda-
beda.Penelitian-penelitian tersebut melibatkan ribuan responden dari lebih dari 30
budaya dari seluruh dunia yang mengisi kuisioner tentang emosi yang mereka alami di
kehidupan sehari-hari mereka. Secara kolektif, temuan dari penelitian ini menunjukkan
bahwa budaya memiliki pengaruh yang besar pada bagaimana orang mengalami emosi.

Anda mungkin juga menyukai