B. Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum : Sakit Sedang / Gizi kurang / Composmentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 120 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 38.1 ⁰C
Berat badan : 31 kg
Tinggi badan : 150 cm
Lingkar kepala : 52 cm
Lingkar lengan atas : 18 cm
Status Gizi menurut CDC 2000:
Berdasarkan BB/U : 31/37 x 100% = 83,78 % (Gizi kurang)
Berdasarkan TB/U : 150/144 x 100% = 104,1% (Normal)
Berdasarkan BB/TB : 31/41 x 100% = 75,6 % (Gizi kurang)
1
Kepala
rambut : hitam, lurus, tebal, distribusi merata, sukar dicabut, kering.
Mata
kelopak mata : edema (-/-)
konjungtiva : anemis (-/-)
sklera : ikterus (-/-)
kornea : jernih
pupil : bulat isokor 2,5mm/2,5mm
Hidung
perdarahan : (-/-)
sekret : (-/-)
Mulut
bibir : pucat (-), kering (+)
lidah : kotor (+), tremor (-), hiperemis(+)
tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
faring : hiperemis (-)
Thorax :
Paru-paru
inspeksi : pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi intercostae dan
suprasternal
palpasi : vocal fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama
kuat
perkusi : sonor pada kedua lapang paru batas paru-hepar di ICS
VI midclavicula dextra
auskultasi : suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-
2
Jantung
inspeksi : ictus cordis tidak tampak
palpasi : ictus cordis teraba di sela iga v midklavikula kiri
perkusi : batas atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra,
batas kiri : ICS 5 midclavicula sinistra,
batas kanan: ICS 4 linea parasternalis dextra.
auskultasi: BJ I dan II murni, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
inspeksi : datar, ikut gerak napas
palpasi : nyeri tekan (-), nyeri perut (+), hepar tidak teraba
lien tidak teraba.
perkusi : timpani
auskultasi: peristaltik usus (+), kesan normal
Ekstremitas :
akral hangat, edema (-/-)
C. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan laboratorium darah rutin
Tanggal 03/09/2019 pukul 09.05 WITA
Parameter Hasil Nilai Rujukan
WBC 4,89 x 103/μl 5.00-10.00
neutrofil 2,16 x 103/μl 2.00-7.50
lymfosit 1,48 x 103/μl 1.30-4.00
monosit 0,99 x 103/μl 0.15-0.70
eosinofil 0,05 x 103/μl 0.00-0.50
basofil 0,22 x 103/μl 0.00-0.15
RBC 5.04 x 106/μl 4.00-5.00
hemoglobin 13.5 x g/dL 12.0-16.0
hematokrit 40,5 % 36-48
MCV 80.3 fL 76.0-96.0
MCH 26,9 pg 27.0-32.0
MCHC 33,5 g/dL 30.0-35.0
PLT 132 x 103/μl 150-400
3
Serologi Widal Hasil
Salmonella typhi O (+) 1/320
Salmonella typhi H (+) 1/160
Salmonella paratyphi A H (-)
Salmonella paratyphi B H (-)
D. Diagnosis Kerja
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, maka diagnosis kerja yang sesuai dengan kondisi pasien adalah
demam tifoid.
E. Tatalaksana UGD
o IVFD RL 16 tetes per menit
o Inj. Vicillin 3 x 750 mg
o Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
o Domperidon 10 mg 2 x 1 tab
o Paracetamol 3 x 500 mg tab
o Tirah baring
o Diet makanan lunak cukup kalori, cukup protein, rendah serat.
F. Prognosis
Quad ad functionam : bonam
Quad ad sanationam : bonam
Quad et vitam : bonam
G. Follow Up
HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA, DAN TINDAK LANJUT
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal
S (Subjektif), O (Objektif), A
Instruksi Dokter
(Assesment)
3/9/2019 S : demam (+), mual (+), muntah (+), BAB R/
belum 3 hari, BAK lancar. IVFD Ka-en3b 18 tpm
O: kesadaran : compos mentis (1) Inj. Vicillin 3 x 1 gr
tensi : 90/60 mmHg Inj. Ranitidin 3 x 0,9 cc
nadi : 100 x/menit Metoclopramide 3 x 1/2 tab
4
pernapasan : 22 x/menit Paracetamol 4 x 3/4 tab
suhu : 37.5 ⁰C Tirah baring
mulut : lidah kotor (+), hiperemis (+) Diet makanan lunak cukup
abdomen : nyeri perut (+), peristaltik kalori, cukup protein, rendah
(+), kesan normal (+) serat
A: demam tifoid
P : periksa darah rutin
4/9/2019 S : demam (+), mual (+), nyeri perut (+), R/
BAB belum 4 hari. BAK lancar IVFD Ka-en3b 18 tpm
O: kesadaran : compos mentis (2) Inj. Vicillin 3 x 1 gr
tensi : 100/70 mmHg Inj. Ranitidin 3 x 0,9 cc
nadi : 116x/menit Metoclopramide tab 3 x 1/2
suhu : 37,1°C Paracetamol tab 4 x 3/4 tab
pernapasan : 24x/menit
mulut : lidah kotor (+), hiperemis (-)
abdomen: nyeri perut (+), peristaltik (+)
kesan normal
A: demam tifoid
P : - tirah baring
- diet makanan lunak cukup kalori,
cukup protein, rendah serat
5
pernapasan : 20 x/menit
mulut : lidah kotor (+)
abdomen : nyeri ulu hati (+)
peristaltik (+), kesan normal
(+)
A : demam tifoid
P: - diet makanan lunak cukup kalori,
cukup protein.
- bed rest
6
DISKUSI
7
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan
gejala penyakit infeksi sistemik. Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, karena makrofag yang telah teraktivasi, hiperaktif; maka saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan
koagulasi. Didalam plak Peyeri makrofag menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya7
8
Pada kasus khas terdapat demam remitten pada minggu pertama, biasanya
menurun pada pagi hari dan meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua
pasien terus berada dalam keadaan demam, yang turun secara berangsur-angsur
pada minggu ketiga.4
9
Bagaimana pun juga, pemeriksaan ini mempunyai persentase sensitivitas
sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah; banyak strain
Salmonella non typhoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat
mengakibatkan false-positif Negatif Palsu9,10
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil
positif pada serologi Salmonella typhi O 1/320 dan Salmonella typhi H
sebesar 1/160. Walaupun uji serologi Widal untuk menunjang diagnosis
demam typhoid telah luas digunakan namun manfaatnya masih menjadi
perdebatan.
c. Kultur
Kultur merupakan standar baku dalam menegakkan diagnosis. Kultur
darah, feses dan urin sebaiknya dilakukan. Kultur darah biasanya positif pada
awal 2 minggu pertama, tapi kultur feses biasanya positif selama minggu ke3
hingga ke 5 .Sedangkan kultur urin pada minggu ke 4. Jika kultur tersebut
negative tetapi secara klinis suspek kuat demam tifoid. Maka kultur biopsi
spesimen sumsum tulang belakang dapat dijadikan pertimbangan untuk
mencari kuman Salmonella. Tingkat sensitivitas kultur sumsum tulang
mencapai 55-90%, dan tidak seperti kultur darah, hasil kultur tidak berkurang
walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik sebelumnya. Akan tetapi,
metode ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas
yang relative rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang
khusus.8,9
d. Tes Tubex
Tes tubex merupakan salah satu dari uji serologis yang menguji
aglutinasi kompetitif semikuantitatif untuk mendeteksi adanya antibodi IgM
terhadap antigen lipopolisakarida (LPS) O-9 S. typhi dan tidak mendeteksi
IgG. Tes tubex memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
uji widal.6
10
Respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat karena antigen O9
bersifat imunodominan yang mampu merangsang respon imun, sehingga
deteksi anti‐O9 dapat dilakukan pada hari ke-4 hingga ke-5 (infeksi primer)
dan hari ke-2 hingga ke-3 (infeksi sekunder).6
e. Enzyme Linked Immunosorbent Assay
Saat ini telah dikembangkan ELISA untuk mendeteksi antibodi lgA
lipopolisakarida anti-Styphi pada sampel air liur pasien yang dicurigai
menderita demam tifoid. Dari hasil penelitian, metode ini mampu mendeteksi
demam tifoid pada fase akut dan paling efisien selama minggu ke-2 dan ke-3
demam, yaitu saat dimana pasien datang untuk dirawat.8
11
secara bertahap bersamaan dengan mobilisasi. Misalnya hari I makanan lunak,
hari II makanan lunak, hari III makanan biasa, dan seterusnya.
3) Obat-obat antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid
adalah sebagai berikut :
o Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk
mengobati demam tifoid. Dosis 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 4 dosis selama 10-14 hari.2,3
o Kotrimoksazol
Cotrimoxazole adalah antibiotik kombinasi trimethoprim dan sulfamethoxazole
dengan perbandingan 1:5. Misalnya sediaan tablet/syrup dengan komposisi
80mg/400 mg atau 160 mg/800 mg. Dosis anak trimethoprim 6-10
mg/kgBB/hari atau sulfamethoxazole 30-50 mg/kg/hari selama 10 hari.7
o Ampisilin
Ampisilin umumnya lebih lambat menurunkan demam bila dibandingkan
dengan kloramfenikol, tetapi lebih efektif untuk mengobati karier serta
kurang toksisitas.
Dosis yang dianjurkan: 100 mg/kgBB/kali, melalui oral atau IV selama 10
hari.
Dalam laporan kasus ini, diberikan antibiotik Vicillin sx (Ampicillin-
Sulbactam) sebesar 1000 mg perkali pemberian 3 x sehari sebagai
pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik (paracetamol), anti
mual (metoklopramid), dan H2-antagonis (ranitidin) sebagai pengobatan
simptomatis.
o Sefalosporin
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang terbukti efektif
dengan demam tifoid adalah seftriaxone. Dosis yang dianjurkan pada
anak-anak 20 – 50 mg/kgBB/hari dosis tunggal selama 5 hari.7
12
Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak
ada keluhan dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk
istirahat dan mobilisasi bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik
sampai 5 hari bebas demam.
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang
mempengaruhi meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype
Salmonella dan munculnya komplikasi.3
Umumnya prognosis tifus abdominalis pada anak baik asal penderita cepat
datang berobat dan istirahat total. Pasien ini tidak mengalami keadaan klinis yang
berat seperti hiperpireksia atau febris kontinu, kesadaran yang menurun,
komplikasi berat, dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, keadaan
gizi buruk (malnutrisi energi protein)5 sehingga dapat disimpulkan prognosis
pasien ini baik.
Pencegahan utama demam tifoid adalah dengan meningkatkan higiene
perorangan dan lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan
air bersih, dan pengamanan pembuangan limbah feses, pemberantasan lalat,
pengawasan terhadap kebersihan penjual makanan.2,3
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Antonious, dkk.
Pedoman pelayanan medis kesehatan anak, ed 2. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011: h.91-4.
2. Brusch JL, Garvey T.
Penyakit tipus fever. Available from :
http://www.medscape.com/files/public/blank.htm (updated 2008
December 3rd, cited : 2019 Sept 8th).
3. Fadhilla, siti.
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Menteri kesehatan : Jakarta
4. Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF.
Nelson textbook of pediatrics, 18th ed. Philadelphia, 2007: p.1186-1190.
5. Rampengan TH.
Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, ed 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2010: h.46-62.
6. Retnosari S, Tumbelaka AR.
Pendekatan Diagnostik Serologik Dan Pelacak Antigen Salmonella
Typhi. Sari Pediatri. 2000;2(2):90-5.
7. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS.
Buku ajar ilmu kesehatan anak infeksi dan penyakit tropis., ed 1. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia: h.367-75.
8. Sumarmo, dkk,
Infeksi & Penyakit Tropis, Jakarta: FKUI; 2002.
9. T.H Rampengan,
Penyakit Infeksi Tropik pada Anak, Jakarta: EGC; 2007.
10. World Health Organization.
Guidlines for the Management of Typhoid Fever. Geneva: WHO, 2011.
Available from: http://www.who.int/vaccines-documents/(Updated 2011,
cited : 2019 Sept 5th).
14