Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut WHO, masa remaja adalah masa peralihan dari masa

kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa itu terjadi

pertumbuhan yang pesat termasuk fungsi reproduksi sehingga

memengaruhi terjadinya perubahan-perubahan perkembangan, baik fisik,

mental, maupu peran sosial (Kumalasari, 2012).

Remaja sebagai makhluk sosial yang selalu melakukan interaksi

serta membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Menurut Sarwono

(dalam Ali dan Asrori, (2014) seorang remaja harus memiliki interaksi

sosial yang baik dengan lingkungannya. Interaksi sosial yang terjadi di

kalangan remaja yaitu interaksi antara remaja dengan teman sebaya,

remaja dengan lingkungan keluarga dan remaja dengan orangtua. Manusia

sebagai makhluk sosial membutuhkan orang lain untuk berinteraksi dalam

mengembangkan karakternya.

Remaja dituntut untuk mampu berpartisipasi dalam berbagai

kegiatan dalam masyarakat. Tuntutan tersebut merupakan bagian dari

penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh remaja, disisi lain remaja juga

harus mampu melakukan penyesuaian diri terhadap dirinya sendiri. Masa

remaja merupakan masa pencarian identitas diri, serta masa dimana

mereka menghadapi berbagai masalah yang berhubungan dengan dirinya

sendiri maupun lingkungannya.


Berbagai macam konflik sosial dalam kehidupan memicu remaja

untuk mampu mengatasi dan bersosialisasi dengan baik terhadap oranglain

dan lingkungan sekitarnya. Kemampuan berhubungan dengan orang lain

menjadi hal yang sangat penting ketika seseorang ditempatkan dalam suatu

lingkup sosial. Kemampuan ini akan menjadi salah satu penentu diterima

atau tidaknya remaja dalam lingkungan sosialnya. Remaja dalam

melakukan interaksi terhadap orang lain, dibutuhkan suatu keterampilan

khusus sehingga tercipta suatu hubungan yang baik dan ideal,

keterampilan yang dimaksud dikenal dengan kecerdasan interpersonal

(Arju, 2016).

Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengamati dan

mengerti maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Orang yang memiliki

kecerdasan interpersonal peka dengan ekspresi wajah, suara dan gerakan

tubuh orang lain dan mampu memberikan respon secara efektif dalam

berkomunikasi kecerdasan interpersonal melibatkan kemampuan untuk

memahami orang lain, baik didalam dunia pandangan, maupun

perilakunya (Indriani, 2014).

Kecerdasan interpersonal dibutuhkan dan menjadi unsur yang

sangat penting dalam kehidupan manusia sebab setiap orang harus hidup

bersama dengan kelompoknya dan membutuhkan orang lain. Seseorang

dengan kecerdasan interpersonal mampu bersosialisasi dengan baik,

karena kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan untuk

berhubungan dengan orang lain (Suyasi, 2014). Hal ini penting untuk
semua orang karena dengan kecerdasan interpersonal seseorang mampu

bekerja sama dengan orang mudah.

Kurangnya kecerdasan interpersonal adalah salah satu akar

penyebab tingkah laku yang tidak diterima secara sosial. Individu yang

memiliki kecerdasan interpersonal yang rendah nantinya cenderung tidak

peka, tidak peduli, egois dan menyinggung perasaan orang lain (Lwin,

2008). Seseorang yang gagal dalam mengembangkan kecerdasan

interpersonal, akan mengalami banyak hambatan dalam dunia sosial

seperti kesepian, merasa tidak berharga dan mengisolasi diri. Pada

akhirnya menyebabkan individu mudah depresi dan kehilangan

kebermaknaan hidup, seperti yang dikemukakan oleh Victor Frankly

(dalam Azwar 2015).

Penelitian Farah (2017) menunjukkan menurut data sosiometri

(sosiogram) yang dilakukan di dalam satu kelas yang terdiri dari 35 siswa

menunjukkan bahwa dalam kategori yang disukai dalam belajar, terdapat

54,2% siswa terisolisir. Sedangkan kategori teman yang disukai dalam

bermain terdapat 31,4% siswa yang terisolisir. Dalam gambaran sosiogram

kedua kategori ini terlihat jelas bahwa siswa kelas tersebut membatasi

pergaulan dengan membentuk suatu kelompok-kelompok kecil di dalam

lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan siswa belum mampu untuk

bersosialisasi dengan baik di lingkungannya khususnya di lingkungan

sekolah.
Masalah sosial lainnya yang sering terjadi pada siswa yang

kecerdasan interpersonalnya rendah, ini dibuktikan oleh penelitian yang

terkait dengan hubungan sosial antar siswa dilakukan oleh Komisi

Nasional Perlidungan Remaja tahun 2007 lebih dari 90% remaja pernah

diejek disekolah. Selain itu, penelitian yang didukung oleh Badan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk masalah remaja (Unicef), masih

banyak remaja-remaja di Indonesia yang mendapatkan perlakukan buruk

dari temannya sendiri. Penelitian lain terkait hubungan antar pribadi

dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI (Pikiran Rakyat: 21 Desember

2008) terhadap siswa di 18 provinsi, terdapat satu dari enam siswa

mengalami tindakan kekerasan di sekolah dengan cara melukai,

memberikan ancaman, menunjukkan sikap permusuhan, dan menciptakan

teror sehingga menimbulkan dampak seperti stress (76%), hilang

konsentrasi (71%), gangguan tidur (71%), paranoid (60%), sakit kepala

(55%), dan obsesi (52%). Sedikitnya 25% remaja yang diganggu memilih

meghabisi nyawanya sendiri dengan jalan bunuh diri. Tindakan kekerasan

juga berdampak pada para pelaku yaitu mereka merasa menjadi jagoan

sehingga senang berkelahi (54%), berbohong (87%), serta tidak

mempedulikan peraturan sekolah (33%).

Berdasrkan hasil angket kecerdasan interpersonal yang dilakukan

oleh Murnia (2018) di kelas V-A MINU Waru II Siduardjo terdapat 52%

siswa yang memiliki kecerdasan interpersonal rendah. Minimnya

kecerdasan interpersonal dapat menyebabkan siswa menjadi pasif dan


cenderung acuh terhadap lingkungan disekitarnya. Masalah kecerdasan

interpersonal didalam kegiatan pembelajaran sendiri menyebabkan siswa

kurang mampu bekerja sama dengan siswa lain cenderung pasif, dijauhi

serta kurang mampu berinteraksi dengan guru serta siswa lain (Chatib,

2013).

Hasil penelitian Qoniatuzzahroh (2018) terdapat hubungan yang

signifikan antara kecerdasan interpersonal dengan interaksi teman sebaya,

diperoleh R square sebesar 0,054. Penelitian ini menunjukkan semakin

tinggi kecerdasan interpersonal siswa, maka interaksi teman sebaya

semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah kecerdasan interpersonal

siswa, maka akan semakin rendah pula interaksi dengan teman sebayanya.

Hal ini sesuai dengan pendapat dari Siti Muniroh (dalam Kelly, 2015),

yaitu seseorang yang mempunyai kecerdasan interpersonal yang tinggi

akan mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan lingkungannya serta

menjalin hubungan dengan orang lain. Salah satu faktor penentu untuk

mengajarkan serta meningkatkan kecerdasan interpersonal adalah

keluarga.

Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam suatu masyarakat

keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga memiliki peran yang

sangat penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dan salah

satu faktor penentu utama dalam perkembangan kepribadian anak

disamping faktor-faktor yang lain. Keluarga merupakan wadah utama dan

pertama bagi anak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan terjadi


karena adanya proses sosialisasi dan hasil dari proses sosialisasi

dinamakan fungsi sosial. Artinya fungsi sosial keluarga merupakan hasil

dari proses sosialisasi di dalam keluarga. Yusuf (2009) berpendapat faktor

yang mempengaruhi perkembangan anak ialah keterlaksanaannya fungsi

keluarga, keluarga yang fungsional (normal) yaitu keluarga yang telah

mampu melaksanakan fungsinya.

Suatu fungsi dari keluarga yang sangat perlu diperhatikan adalah

fungsi sosialisasi dimana kepribadian anak ditentukan lewat interaksi

sosial. Agen utama hubungan ini adalah keluarga dan kontak pertama anak

awal hanya dengan anggota keluarga. Melalui proses sosialisasi orang

akan memperoleh berbagai pelajaran sehingga mengenal norma yang

berlaku dalam masyarakat. Fungsi sosialisasi keluarga tercermin dalam

melakukan pembinaan sosialisasi pada anak, membentuk nilai dan norma

yang diyakini anak, memberikan batasan perilaku yang boleh dan yang

tidak boleh pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya keluarga. Bagaimana

keluarga produktif terhadap sosial dan bagaimana keluarga

memperkenalkan anak dengan dunia luar dengan belajar disiplin,

mengenal budaya dan norma melalui hubungan interaksi dalam keluarga

sehingga mampu berperan dalam masyarakat (Achjar, 2010).

Fungsi sosialisasi keluarga sangat penting bagi seorang anak ketika

ia berada di tengah-tengah masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh

Allender (Achjar, 2010) yang menyatakan bahwa sosialisasi merupakan

salah satu yang dilakukan dalam keluarga yang bertujuan untuk


mengenalkan kultur (nilai dan perilaku) serta sebagai peraturan atau

pedoman hubungan internal dan eksternal, yang pada akhirnya bertujuan

untuk melepas anggota keluarganya.

Oleh karena itu fungsi sosialisasi merupakan suatu cara yang

dilakukan orangtua untuk membentuk perilaku anaknya dengan

menanamkan berbagai nilai dan norma yang baik kepada anak sebelum

terjun ke masyarakat yang lebih luas.

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal

14 Februari 2019 melalui metode wawancara dengan guru bimbingan

konseling (BK) didapakan data ada siswa yang keluarganya broken home

dan orangtua jarang berkomunikasi dengan anak sehingga anak cenderung

bersikap pasif, aturan sekolah hanya memperbolehkan membawa

handphone pada anak yang memiliki rata-rata nilai 85, jika ada handphone

yang disita oleh guru anak meminta tolong otangtua untuk mengambilnya

dan terkadang orangtua marah-marah pada guru karena handphone

anaknya disita, saat dimintai pendapat oleh guru siswa takut untuk

berpendapat atau menyampaikan opini dan siswa sering menertawakan

temannya ketika melakukan kesalahan dalam menjawab pertanyaan dari

guru, beberapa siswa masih pilih-pilih dalam berteman.

Hasil wawancara terhadap 10 remaja di SMA Santa Maria 3

Cimahi didapatkan bahwa 6 dari 10 remaja dengan nilai rata-rata di bawah

70, sering secara diam-diam membawa handphone ke sekolah, 5 dari 6

remaja jika handphone disita anak mengadu ke orangtua untuk


mengambilnya, 1 remaja lainnya jika handphone disita hanya diam sampai

handphone dikembalikan, pada saat kegiatan pembelajaran 6 dari 10

remaja terdapat beberapa mata pelajaran kurang menguasai sehingga

remaja menyontek pada saat ulangan. Konflik antar teman pernah dialami

7 dari 10 remaja, 5 remaja menyelesaikan masalah lebih cenderung

memendamnya sendiri dan enggan bercerita dengan teman dan keluarga

(menyendiri), 2 remaja lainnya menyatakan menyelesaikan masalah secara

langsung pada saat itu juga. Pada saat kegiatan berkelompok 6 dari 10

remaja takut untuk menyampaikan pendapat dan hanya mengikuti

keputusan ketua.

Berdasarkan pengusulan data dan informasi tersebut, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Fungsi

Sosialisasi Keluarga dengan Kecerdasan Interpersonal pada Remaja di

SMA Santa Maria 3 Cimahi”.


Adapun rumus korelasi Spearman Rank adalah sebagai berikut.

6 ∑ 𝑏𝑖 2
ρ= 1 −
𝑛(𝑛2 −1)

Keterangan

ρ = koefisien korelasi Spearman Rank


𝑏𝑖 = selisih peringkat setiap data
n = jumlah datassssss
Korelasi Spearman dilambangkan (rs) dengan ketentuan nilai rs tidak

lebih dari harga (-1≤ rs ≤+1). Apabila nilai rs = -1, artinya korelasi

negatif sempurna, rs = 0, artinya tidak ada korelasi, rs = +1, artinya

korelasi sangat kuat (Riduwan, 2013). Interpretasi hasil unutk

menerima atau menolak hipotesis:

a. Bila nilai ρ-hitung > ρ-tabel, maka Ho di tolak atau hal ini berarti Ha

diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara

variabel yang diuji.

b. Bila nilai ρ-hitung < ρ-tabel, maka Ho diterima atau hal ini berarti Ha

ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antar

variabel yang diuji.

Anda mungkin juga menyukai