Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 JAKARTA

KONSEKUENSI HUKUM PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


KARENA PENSIUN MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG
KETENAGAKERJAAN

MAKALAH
Diajukan Kepada Dosen Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan Universitas
17 Agustus 1945 Fakultas Hukum Untuk Memenuhi Tugas Sebagai
Persyaratan Kelulusan Mata Kuliah Hukum Ketenagakerjaan

OLEH :
NAMA : YONGKY SUSANTO
NO. BI. : 02 33 0000 17

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
JAK AR TA
2004
2

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan , karena atas rahmatnya

sehingga dapat terselesainya makalah konsekuensi hukum dari pemutusan hubungan

kerja karena pensiun (usia kerja) menurut Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13

Tahun 2003, dan dengan ini diharapkan menambah wawasan akan fenomena yang

terjadi di dalam masyarakat.

Makalah ini dibuat untuk supaya kita tahu dan mengerti serta memahami hak-hak

para pensiunan yang telah memasuki usia pensiun yang memang harus berhenti bekerja ,

sehingga perlu kompensasi atas jasa-jasanya yang lebih layak , maka sebagai

perlindungan dasar diberlakukanlah Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun

2003.

Dengan terselesainya makalah ini yang disusun atas arahan dan bimbingan dosen

yang ahli dibidangnya yakni Bapak Djokopitojo, S.H., maka penulis mengucapkan rasa

terimah kasih.

Jakarta, 27 – 06 - 2004

penulis

2
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR --------------------------------------------------------------------- 2


DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------- 3
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar belakang ------------------------------------------------------------ 4
B. Identifikasi Masalah ------------------------------------------------------ 7
C. Metode Penelitian -------------------------------------------------------- 7

BAB II : HUBUNGAN KERJA


A. Pengertian Hubungan Kerja -------------------------------------------- 8
B. Rentang Hubungan Kerja ---------------------------------------------- 9
1. Perjanjian Kerja ----------------------------------------------------- 9
2. Pemutusan Hubungan Kerja --------------------------------------- 11
3. Hak dan Kewajiban Buruh ----------------------------------------- 14

BAB III : PERATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA PENSIUN


DAN HAK-HAK PARA PEKERJA YANG TELAH PENSIUN.
A. Pemutusan Hubungan Kerja menurut Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003. ------------------------------------------------- 17
B. Jaminan Sosial Tenaga Kerja menurut Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1992 -------------------------------------------------- 18

BAB IV : KONSEKUENSI HUKUM YANG TIMBUL AKIBAT HAK


YANG DIBERIKAN KEPADA PENSIUNAN TIDAK SESUAI
DENGAN KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN. -------------- 21

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ---------------------------------------------------------------- 25
B. Saran ----------------------------------------------------------------------- 25

DAFTAR PUSTAKA

3
4

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Pemerintah sebagai pemegang amanat UUD 1945 berusaha memberikan
perlindungan terhadap seluruh warga negaranya agar dapat bekerja dan memperoleh
penghidupan yang layak, sebab Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “
tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan “. Implementasinya didalam bidang ketenagakerjaan tertuang
dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 (dulu diatur Pasal
3 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok-pokok
Ketenagakerjaan ) tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan :” setiap pekerja
berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”.

Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kerja dalam hal ini
adalah berupa perlindungan hukum agar pemberi kerja (pengusaha) tidak semena-
mena memperlakukan para tenaga kerja, perlindungan hukum yang dapat dilakukan
pemerintah kepada para tenaga kerja adalah bersifat preventif (pencegahan) dan
represif (penaggulangan atau penyelesaian).

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah yang
bersifat preventif adalah yang diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan mengenai tata cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di
perusahaan yang terdapat pada Pasal 150 Undang-undang tersebut , menurut
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 pemerintah memberikan perlindungan hukum
kepada buruh supaya tidak terjadi pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan
sewenang-wenang oleh pihak pemberi kerja, hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (1)
UU No 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa`” Pengusaha dilarang melakukan
pemutusan hubungan kerja dengan alasan :”

4
5

a. buruh berhalangan masuk kerja karena keadaan sakit menurut keterangan


dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-
menerus.
b. buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi
kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-
undangan yang berlaku
c. buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
d. buruh menikah.
e. buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan , atau menyusui
bayinya.
f. buruh mempunyai pertalian darah dan / atau ikatan perkawinan dengan
buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama.
g. buruh mendirikan, menjadi anggota dan /atau pengurus serikat buruh,
buruh melakukan kegiatan serikat buruh di luar jam kerja, atau didalam
jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kesepakatan
kerja bersama.
h. buruh mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan.
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,
golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
j. buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang
jangka waktu pernyembuhannya belum dapat dipastikan “

Bila pemutusan hubungan kerja dengan alasan yang telah dilarang seperti yang
disebutkan diatas, maka pemutusan hubungan kerja tersebut dianggap batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan buruh kembali, ketentuan ini adalah
bunyi Pasal 153 ayat (2), tetapi ada tindakan PHK yang tidak dilarang yang untuk
dilakukan oleh pengusaha dan merupakan pengecualian dari pasal 153 diatas, yakni
yang diatur Pasal 154 Undang-undang No.13 Tahun 2003 , yang memberikan hak
bagi pengusaha melakukan PHK dalam hal :

5
6

1. pekerja dalam masa percobaan, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis


2. hubungan kerja yang didasarkan atas kesepakan kerja waktu tertentu.
3. pekerja mengundurkan diri secara tertulis
4. pekerja telah mencapai usia pensiun yang telah dietepkan dalam perjanjian
kerja atau peraturan perusahaan (PP).
5. pekerja meninggal dunia.

Selanjutnya untuk menjamin adanya ketertiban ,keadilan dan kepastian hukum


dalam penyelesaian PHK, pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 13 Tahun
2003 yang isinya mengatur tentang penyelesaian PHK dan penetapan uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima
oleh pekerja/buruh setelah terkena PHK.

B. Identifikasi Masalah.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa identifikasi masalah makalah ini
adalah :
1. Apa konsekuensi hukum yang timbul akibat hak para pensiunan tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ?
2. Apakah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 harus diberlakukan terhadap
para pensiunan yang telah pensiun sebelum diberlakukannya Undang-undang
Nomor 13 Tahun 2003 ?

C. Metode Penelitian.
Dalam pembahasan makalah ini yang akan diteliti adalah kaidah-kaidah hukum
ketenagagkerjaan , khususnya yang diataur dalam Undang-undang No. 13 Tahun
2003, maupun Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (JAMSOSTEK). Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis
normatif yaitu membandingkan peraturan atau kaidah-kaidah yang ada (das sollen)
dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat (das sein) .

6
7

BAB II
HUBUNGAN KERJA

A. Pengertian Hubungan Kerja


Dalam hukum perburuhan, terdapat beberapa pendapat mengenai pengertian
hubungan kerja. Menurut Imam Soepomo pengertian Hubungan kerja adalah sebagai
berikut :” pada dasarnya hubungan kerja yaitu hubungan antara buruh dan majikan
terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan , dimana buruh
menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah
dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan buruh
dengan membayar upah”.1

Perjanjian yang demikian disebut dengan ” perjanjian kerja “ , dimana unsur


esensial dari hubungan kerja adalah pemberian dan pelaksanaan perintah dan
adanya subjek hukum dalam perjanjian serta adanya unsur upah dalam hubungan
kerja tersebut. Sedangkan pengertian hubungan kerja juga dapat dilaihat dalam
Undang-undang Ketenagaakerjaaan Tahun 2003 yang disahkan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia yang tercantum dalam pasal 1 nomor 15 yang
menyebutkan bahwa “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja berdasarkan perjanjian kerja ,yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.”

Pengertian perjanjian kerja menurut Mr. R. Subekti adalah persetujuan


perburuhan, sedangkan perjanjian perburuhan dinyatakan dengan persetujuan
perburuhan kolektif.2

Bekerja pada pihak lainnya menunjukan bahwa pada umumnya hubungan itu
sifatnya ia bekerja dibawah pimpinan pihak lain lain.3 Dari pengertian diatas dapat
terlihat adanya unsur-unsur dari suatu hubungan kerja yakni :

1
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1980, hal. 53
2
Mr. R. Soebekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pradya Paramita Jakarta, hal
, 358

7
8

a. adanya pihak yang memeberi pekerjaan (pengusaha)


b. adanya pihak yang melaksanakan perintah (buruh)
c. adanya upah yang wajib dibayar oleh pemberi kerja

B. Rentang Hubungan Kerja


1. Perjanjian Kerja
Didalam hubungan kerja sebagaimana diuaraikan dalam pengertian hubungan
kerja adalah perjanjian kerja. Norma-norma perjanjian kerja biasanya tidak cukup
menyatakaan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak, sehingga timbul
lembaga-lembaga kerja sebagai dasar hubungan kerja yaitu :
1. perjanjian kerja
dalam bahasa belanda disebut Arbeid severenkoms 4 , mempunyai
pengertan menurut pasal 1601a KUHPer yakni “perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian dimana pihak satu (si buruh) mengikatkan dirinya untuk
dibawah perintah pihak yang lain (si majikan), untuk suatu waktu tertentu
melakukan pekerjaan dengan menerima upah.” Dari pengertiaan perjanjian
kerja menurut KUHPer diatas tampak ciri khas perjanjian kerja adalah :”
dibawah perintah pihak lain”
Sementara menurut Undang-undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 pada Pasal
1 nomor 14 menyebutkan:” perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja dengan pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak , dan
kewajiban para pihak”. kewajiban elementer dalam perjanjian kerja
adalah menunaikan kerja disatu pihak dan kontraprestasi uang atau yang
dapat di nilai dengan uang di lain pihak. Adapun yang dimaksud perjanjian
kerja dapat dibagi dalam pengertian sempit yaitu hanya perjanjian kerja dan
pengertian luas yaitu perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan
jasa
2. perjanjian perburuhan atau kesepakatan kerja bersama (KKB)
Disebutkan bahwa :”perjanjian perburuhan ialah perjanjian yang
diselenggarakan oleh serikat buruh yang telah didaftarkan pada kementerian
perburuhan dengan majikan atau perkumpulan majikan yang berbadan

3
Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan,Jakarta, 2003, hal 71
4
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja GrafindoPersada, 2003, hal.39

8
9

hukum, yang pada ummnya atau semata-mata memuat syarat-syarat kerja


yang harus diperhatikan didalam perjanjian kerja.”
3. peraturan perusahaan
Peraturan yang mengatur syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan
tertuang dalam permenaker No 2 tahun 1978 tentang peraturan perusahaan
dan perundingan pembuatan perjanjian kerja perburuhan, menurut
permenaker ini bahwa yang dimaksud dengan peraturan perusahaan adalah
suatu peratuarn yang dibuat secara tertulis, yang memuat ketentuan-
ketentuan tentang syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

2. Pemutusan Hubungan Kerja


Dalam hukum perburuhan , masalah terpenting bagi tenaga kerja adalah soal
pemutusan hubungn kerja (PHK), karena berakhirnya hubungan kerja berarti
kehilangan mata pencaharian dan merupakan awal kesengsaraan bagi pekerja.
Sebab sejak itu penderitaan akan menimpa tenaga kerja dan kelurganya,
yaitu dengan hilangnya mata pencaharian yang merupakan sumber
penghidupan bagi keluargaanya. Sedangakan PHK sendiri bisa disebabkan
oleh beberapa hal yakni :
1. PHK Demi Hukum
Adalah berakhirnya hubungan kerja antara pengusaha dengan buruh dengan
sendirinya menurut hukum, tanpa diperlukan adanya tindakan salah satu
pihak, termasuk bila buruh meninggal dunia.

2. PHK oleh Buruh


Adalah pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak buruh , dan
dapat terjadi dalam hal :
a. dalam masa percobaan
pada masa ini buruh boleh memutuskan hubunan kerja yang biasanya
disebabkan dua hal pada umumnya yaitu
b. buruh mengundurkan diri
pada masa ini pemutusan PHK oleh buruh bisa dikarenakan adanya
alasan mendesak sesuai pasal 1603p KUHPer yang meliputi :” keadaan –
keadaan yang layak bagi buruh untuk meneruskan hubungan kerja yang

9
10

bisa disebabkan : penganiayaan oleh majikan, majikan tidak membayar


upahnya, majikan melakukan perbuatan asusila terhadap buruh atau
sejenisnya, dan sebagainya yang bagi buruh atau untuk kemanusiaan
yang tidak layak .

3. PHK oleh Pengadilan


Dalam PHK oleh pengadilan ini , masing-masing pihak baik pengusaha
maupun buruh dapat meminta kepada Pengadilan Negeri agar hubungan
kerjanya yang terjadi dapt diakhiri oleh keputusan Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Sekarang PHK oleh Pengadilan Negeri diadakan lagi
yaitu sejak dikelurjkannya Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
Tentang Penyelesiaan Perselisihan Hubungan Industrial yaitu
pada Pasal 1 no 17 jo pasal 56c yang telah menggantikan Surat
Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 1980 tentang
pelaksanaan putusan Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
(P4P) , maka pengadilan negeri tidak dapat lagi dapat bertindak
sebagai Hakim terhadap putusan P4P. 5

4. PHK oleh Majikan


Adalah PHK oleh Majikan sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam PHK oleh
majikan Pasal 153 ayat (1) UU tersebut mengatur apabila PHK tidak dapat
lagi dihindarkan maka PHK dapat di lakukan dan ini merupakan jalan
terakhir bagi pengusaha, sedangkan dalam melakukan PHK tersebut
menurut Pasal 151 ayat (2) nya yang berbunyi : “dalam hal segala upaya
telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari ,
maka maksud pemutusan ubungan kerja dirundungkanmoleh pengusahan
dan serikat buruh atau dengan pekerja apabila pekerja yang bersangkuan
tidak menjadi anggota serikat buruh “. Maka pada Pasal 151 ayat (3) nya
menerangkan bahwa pengusaha dalam melakukan pemutusan hubungan
kerja harus meminta persetujuan atau penetapan dari lembaga penyelesaian

10
11

hubungan Industrial. Perlunya permohonan tersebut sangat penting,


dikarenakan mencegah terjadi PHK tanpa alasan , dan menghindari
tindakan sewaenamg-wenang oleh pengusaha terhadap pekerja dan sanksi
bila dilakukan adalah batal demi hukum (nieteg), sesuai pasal 153 ayat (2)
nya.

5. PHK karena Usia Kerja (pensiun)


PHK karena usia adalah termasuk PHK oleh majikan tetapi bukan atas
dasar kesalahan sebagaimaana diatur dalam UU 13 Tahun 2003. Buruh
yang di PHK karena usia kerja adlah yang mempunyi kondisi baik di
perusahaan sehingga yang berrsangkutan dapat menyelsaikan masa kerja
sesuai dengan ketentuan perusahaan , biasanya pada usia 55 tahun atau 60
tahun , sebagaimana ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan (PP), dan kesepakatan kerja bersama (KKB). Dalam PHK
karena usia ini tidak perlu izin dari lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial, PHK karena faktor usia kerja hanya dapat dilakukan
pada buruh yang berststus pekerja tetap.

3. Hak dan Kewajiban Buruh


Tujuan buruh mau melakukan pekerjan adalah untuk mendapatkan upah
(pengasilan) yang cukup untuk membiyaiayai kehidupannya bersama dengan
keluarganya, yaitu pengidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pengertian Upah dapat dilihat pada pasal 1a Peraturan Pemerintah No 8
Tahun 1981 yang menyebutkan : ” upah adalah suatu penerimaan sebagai
imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang
telah atau akan dilakukan , dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang
ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan atau
dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dab buruh,
termasuk tunjangan baik untuk buruh sediri maupun keluarganya”. Ketentuan
ini juga diadopsi didalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 pada Pasal 1
nomor 30. Dengan demikian jelaslah yang dimaksud dengan upah sebagai hak

5
Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung, Jakarta, Mahkamah Agung RI, 1981, hal 12

11
12

utama buruh adalah imbalan yang berupa uang atau yang dapat dinilai dengan
uang.

Pada umumnya upah buruh tidak begitu banyak , sehinggaa diperlukan suatu
cara agar dpat memberikan kesejahtraan bagi buruh terutama di bidang jaminan
nasional, yaitu dengan diadakannya perusahaan jaminan sosial . dan hak buruh
untuk mendapatkan jaminan sosial diatur dalam Undang-undang No. 3 Tahun
1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) yang meliputi :
a. Jaminan kecelakaan kerja
b. Jaminan Kematian
c. Jaminan Hari Tua
d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Selain mempunyai hak-hak tersebut , buruh diharuskan menjalankan
kewajiban-kewajiban tertentu yakni buruh harus menjalankan pekerjaannya
dengan baik dan diatur dalam Pasal 93 ayat (1) sedangakan pada Pasal 93 ayat (2)
untuk pengeculian. Maksudnya bila buruh :
1. buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
2. buruh wanita yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya
sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
3. buruh tidak masuk kerja karena buruh menikah, mengkhitankan anak,
membabtiskan anak, istri melahirkan atau keguguran kandungan,
suami atau istri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua
atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia.
4. buruh tidak dapat menjalankan pekerjajannya karena sedang
menjalankan kewajiban terhadap negara
5. buruh tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena menjalankan
ibadah yang diperintahkan agamannya.
6. buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi
pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri
maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.
7. buruh melaksanakan hak istirahat.
8. buruh melaksanakan tugas serikat atas persertujuan pengusaha, dan
9. buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan

12
13

BAB III

PERATURAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA KARENA


PENSIUN DAN HAK-HAK PARA PEKERJA
YANG TELAH PENSIUN

A. Pemutusan Hubungan Kerja Berasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003


Pemutusan hubungan kerja (PHK) menurut Undang-undang No 13 Tahun 2003
dapat dilihat dalam konsiderennya yakni butir d yang berbunyi “ bahwa
perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
pekerja dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi
atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahtraan pekerja dan keluarganya
dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha “.

Menurut Imam Soepomo , tujuannya adalah untuk menjamin ketentraman dan


kepastian bagi buruh .dengan diterbitkannya undang-undang ini dimaksudkan bukan
memperlancar PHK , tetapi justru sebaliknya, untuk memberikan persyaratan yang
berat bagi pengusaha apabila terpaksa harus melakukan PHK terhadap pekerjanya.
Hal ini dapat dipahami dari asas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, yaitu pada
prinsipnya PHK harus dicegah (Pasal 151) dan apabila terpaksa dilakukan harus
melalui prosedur yang sulit,. Hal ini merupakan bentuk perlindungan hukum yang
diberikan oleh pemerintah bagi warganya karena negara kita adalah negara hukum
dan juga merupakan amanat yang ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1) serta Pasal 27
ayat (2) Undang-undang Dasar 1945.
Pengertian PHK didalam Undang-undang ini tercantum dalam Pasal 1 nomor 25
yang berbunyi :” pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hakl tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja dan pengusaha”, sedangkan syarat pada Pasal 151 yang
mengharuskan ada persyaratan untuk dilakukannya pemutusan hubungan kerja harus
ada perundingan , dan hal ini dapat dimengerti adalah suatu cara bagi pemerintah

13
14

agar pengusaha tidak melakukan PHK secara semena-mena dan juga untuk
melindungi pekerja disatu sisi dan kepentingan perusahaan disisi yang satunya
Sedangkan hak-hak para pekerja yang di putuskan hubungan kerjanya , mempunyai
hak-hak sesuai Pasal 156 yang menetapkan :
a. uang pesangon.
b. Uang penghargaan masa kerja
c. uang penggantian hak.

B. Jaminan Sosial Tenaga Kerja menurut Undang -undang No. 3 Tahun 1992
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan Nasional yang pada hakekatnya merupakan
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakaat
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, maka upaya untuk mewujudakan
kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kewajiban
konstitutional yang harus dilakukan secara berencana , bertahap dan
berkesinambungan.

Sejalan dengan itu upaya untuk memelihara kesinambungan penghasilan pada hari
tua perlu mendapat perhatian dan penanganan yang lebih berdaya guna dan berhasil
guna . dalam hubungan ini di masyarakat telah berkembang , suatu bentuk tabungan
masyarakat yang semakin banyak dikenal oleh para karyawan, yang bersangkutan
pensiun. Penyelenggaaannya dilakukan dalam suatu program , yaitu program pensiun
yang mengupayakan manfaat pensiun bagi pesertanya melalui sistem pemupukan
dana yang lazim disebut sistem pendanaan. Asas-asas pokok dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1992 yakni mengandung asas –asas pokok sebagai berikut ;
a. asas keterpisahan kekayaan
maksudnya kekayaan dana pensiun dan kekayaan badan hukum pendirinya
terpisah, asas ini didukung oleh adanya badan hukum tersendiri bagi dana
pensiun dan diurus dan dikelola berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
b. asas penyelenggaraanya dalam sistem pendanaan
maksudnya sesuai dengan tujuannya harus dihindarkan penggunaan kekayaan
dana pensiun dari kepentingan yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya
maksud utama dari pemupukan dana yaitu untuk memenuhi pembayaran hak
peserta (pekerja).

14
15

c. asas penundaan manfaat


perhimpunandana dlam penyelenggaran progaram pensiun dimaksudkan
untuk memenuhi kesinambungan penghasilan yang terpelihara sejalan
sehinngga pembayaran uang pensiun dapat dilakukan bila pekerja sudah
mencapai usia maksimum batas bekerja yang kemudian pensiun

Kepengurusan dana pensiun dilakukan oleh PT Jamsostek , maksudnya


perlindungan dilakukan pemerintah sebagai suatu program publik yang
diselenggarakan berdasarkan Undang-undang, penunjukkan
penyelenggaraannya juga berdasarkan Undang-undang, merupakan badan
otonom yang mandiri serta berorientasi nirlaba.6
Jamsostek sendiri adalah suatu program yang bersifat perlindungan dasar
atau minimal dan sifatnya wajib (cumpolsery), karena mempunyai tujuan agar
jaminan sosial dapat merata kesejahtraannya dan dengan pembiayaan yang
ringan atau terjangkau, baik oleh pekerja dan oleh pemberi kerja (pengusaha)
yang tercantum dalam Pasal 17 Undang-undang No. 3 Tahun 1992 .

Sedangkan pemungutan iuran dana pensiun, dengan cara memungut iuran yang
kemudian dibayarkan kepada PT Jamsostek ini adalah bunyi Pasal 22 undang-undang
No. 3 Tahun 1992 . maka ini menjadi lebih baik sehingga persiapan masa pensiun
bagi pekerja lebih terjamin.

Para pengusaha wajib ikut program pensiun yang diwajibkan menurut Undang-
undang No. 3 Tahun 1992 , tetapi bisa ada pengecualian bagi perusahaan yang
mempunyai program hari tua yang lebih makmur , maka tidak wajib untuk ikut serta
ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang
penyelenggaran jaminan sosial tenaga kerja yakni pada Pasal 2 ayat (1) yang
menyebutkan jamianan dapat berupa jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan. Bagi pengusaha
(perusahaan) yang telah menyelenggarakan sendiri program jaminan sosial
yang lebih baik untuk pekerjanya tidak lagi wajib untuk ikut serta dan ini
adalah isi ketentuan dari Pasal 2 ayat (4) Undang-undang No.3 Tahun 1992.

15
16

BAB IV

KONSEKUENSI HUKUM YANG TIMBUL AKIBAT HAK YAN G


DIBERIKAN KEPADA PENSIUNAN TIDAK SESUAI DENGAN
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN

Pemutusan hubungan kerja karena pensiun atau usia kerja adalah


hakekatnya berhenti untuk melaksanakan tugas karena batas usia yang sudah
mencapai batas maksimum kerja yang ditetapkan dalam peraturan kerja. Dan
meunrut UU No 13 Tahun 2003 pensiun merupakan adalah pemutusan hubungan
kerja karena batas usia kerja sudah terpenuhi , sehingga pemutusan hubungan kerja
karena pensiun tidak perlu ijin atau persetujuan pemerintah, para pengusaha juga
tidak boleh mengabaikan hak-hak para pensiunan karena setelah selesai mengabdi ,
para pensiunan yang harus memeperoleh hidup yang layak di masa pensiun dan hal
itu merupakan kewajiban konstitutional pemerintah Indonesia sebagai konsekuensi
Negara Hukum yang berkewajiban melindungi hak-hak dan kepentingan masyarakat
serta menjamin keadilan bagi warga negaranya. 7

Menurut pendapat penulis hak para pensiunan mutlak hak yang timbul karena
peraturan atau karena Unang-undang sehingga tidak dapat diabaikan begitu saja oleh
para pengusaha karena merupakan hak dari pegawai yang telah pensiun.
Dalam pemutusan hubungan kerja karena usia kerja , pada dasarnya tidak timbul
perselisihan karena akibat hukum dari putusnya hubungan kerja menyangkut hak
pekerja sudah diatur sebelumnya. Kecuali aturan tersebut tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya sehingga dapat menimbulkan perselisihan.

Berdasarkan teori negara hukum tujuannya adalah untuk mewujudkan


kemakmuran dan keadilan (welfare state), yang mengimplementasikan dengan
berdasarkan teori perundang-undangan, teori perundang-undang menyatakan bahwa

6
Djokopitojo, Catatan Kuliah Hukun Perlindungan Kerja, Jakarta, 2004

16
17

norma hukum menurut Hans Kelsen berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam


suatu susunan hirarkis.8 Teori ini dianut oleh negara kita dimana sisrtem norma
hukum dalam perundang-undangan Indonesia harus memenuhi tiga landasan dasar
yakni : landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan politis yang merupakan
dasar pembuatan peraturan perundang-undangan.9 sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia diatur berdasarkan Tap MPR Nomor III / MPR / 2000 yang
merupakan pengganti dari Tap MPRS Nomor XX / MPRS / 1996. Dalam Tap MPR
Nomor III / MPR / 2000 ditetapkan tata urutan Perundang-undangan Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945)
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.(Tap MPR)
3. Uadang-undang (UU)
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)
5. Peraturan Pemerintah (PP)
6. Keputusan Presiden ( Kepres)
7. Peratuaran Daerah (Perda)
Dari tata urutan perundang-undangan diatas dapat dilihat bahwa kedudukan
peraturan Undang-undang No. 3 Tahun 2003 adalah lebih kuat dan sah yang
dibuat oleh dewan perwakilan rakyat (DPR)

Konsekuensi hukum dengan diberlakukannya Undang-undang No. 13 Tahun 2003


terhadap PHK yang terjadi di perusahaan. Peraturan perundang-undangan ini
merupakan perwujudan konkrit dari negara hukum yang memiliki tujuan membuat
dan meratakan kemakmuran. Dan Undang-undang ini di buat atas kebijakan dewan
perwakilan rakyat yang diperuntukkan untuk rakyat sesuai asas demokrasi yang
bertujuan melindungi hak para pensiunan para pegawai perusahaan.

Berdasarkan teori negara hukum, teori perundang-undangan maupun menurut


Undang-undang bagi perusahaan yang melakukan perbuatan melanggar hukum yang
mengakibatkan hak pensiunan jadi tidak jelas kepastiannya, maka dengan di

7
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu negara, , Gaya Media Pratama, 2000, hal 131
8
Maria Farida Indrati Soerapapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius, Yogyakarta, 1998
9
Solly Lubis, Landasan Dan Teknik Perundang-undangan, Mandar Maju, Bandung, 1995, hal. 7

17
18

keluarkannya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 dan diberlakukannya Undang-


undang ini menimbulkan konsekuensi hukum sebagai berikut “ barang siapa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (5) ,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
5 (lima) tahun dan /atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 500.000,000,00 (lima ratus juta rupiah) dan
menurut Pasal 167 ayat (2) nya bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) merupakan tindak pidana.

Pemberlakuan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 terhadap pensiunan yang


sebelum ketentuan tersebut ditetapkan (diberlakukan). Dari konsekuensi hukum
sebagaimana dipermasalahkan diaatas yaitu bagaimana hak peserta yang sudah
pensiun sebelum Undang-undang No. 13 Tahun 2003 diterbitkan, apakah dapat
diberlakukan hak mereka sama dengan hak para peserta yang telah diberikan hak
berdasarkan UU No.13 Tahun 2003. Secara hukum para pensiunana yang pensiun
sebelum UU No. 13 Tahun 2003 diterbitkan tidak berhak menerima hak
pensiun berdasarkan UU ini karena peraturan yang dibuat untuk diberlakukan
10
dimasa yang akan datang dan tidak berlaku surut , kecuali perusahaan
tempat si buruh bekerja mempunyai dan mau memberikan kebiajakan demi
kemanusiaan.

18
19

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Konsekunsi hukum akibat diberlakukannya Undang-undang No.13 Tahun 2003 ,
maka para perusahaan harus membayarkan hak pensiunan pegawai yang telah
pensiun sesuai Pasal 167 dan terhitung sejak diberlakukannya UU ini sesuai,
sedangkan sanksinya dapat dilihat pada Pasal 184 nya .serta Undang-undang ini
dibuat dengan pertimbangan dewan perweakilan rakyat (DPR) jadi lebih
mempunyai kekuatan mengikat , dikarenakan DPR merupakan perwujudan dari
perwakilan rakyat Indonesia
2. Keputusan UU ini tidak berlaku daya surut , sehingga hanya mengikat terhitung
sejak tanggal ditetapkan. Dengan demikian para pensiunan yang pensiun
sebelum Undang-undang ini ditetapkan tidak dapat diberikan dasar sebagai
pembayaran pensiun.

B. Saran
Dengan disahkannya UU Ketenagakerjaan oleh DPR RI Tahun 2003, dimana sesuai
pasal 167 seluruh Badan Usaha milik negara adalah termasuk dalam kriteria
perusahaan yang harus tunduk pada ketentuan ketenagakerjaan khususnya pengaturan
tentang pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun sebagaimana tercantum
dalam pasal 167.Sehingga pekerja yang telah pensiun dapat menikmati hari tuanya

10
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu hukum, PT. Prehallindo, Alumni, Bandung, 2000, hal 63

19
20

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku
1. Djokopitojo, Catatan Kuliah Hukum Perlindungan Kerja, Jakarta, 2004
2. Imam Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2003
3. Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Rafindo
Persada, 2003.
4. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
Yogyakarta, 1998
5. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Indonesia, PT. Prehalindo,
alumni, Bandung, 2000
6. Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, , Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2000
7. Solly Lubis, Landasan Dan Teknik perundang-undangan, Mandar Maju,
Bandung, 1995
8. R. Soebekti dan Tjitro Sudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
Pradnya Paramita, Jakarta
.

B. Peraturan perundang-undangan

1. Undang-undang Dasar 1945


2. Ketetapan MPR Nomor III Tahun 2000 tentang Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan Republik Indonesia.
3. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
4. Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
5. Undang-undang N0. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek.
6. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
7. Himpunan Surat Edaran Mahkamah Agung RI, ,Mahkamah Agung RI, 1981
8. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaran Program
Jaminan Sosial Te naga Kerja.

20

Anda mungkin juga menyukai