Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Pemikiran Kalam Ulama' Salaf

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Botani Tumbuhan
Tinggi

Dosen Pengampu: Ghulam Murtadlo, M. Pd

Disusun oleh:

Kelas A/ Kelompok IX

Anissa Elyfia Sholehah 1801061003

Riza Erviana 1801062011

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

TADRIS BIOLOGI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pemikiran Kalam Ulama' Salaf” tepat waktu meskipun jauh dari
kesempurnaan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan bimbingan kepada kita semua,
sehingga Insya Allah kita semua mendapatkan keselamatan didunia dan akhirat
kelak. Amiin.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Ghulam


Murtadlo sebagai dosen pengampu mata kuliah Tauhid dan Ilmu Kalam yang
telah memberikan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini dengan baik. Penulis sangat menyadari masih banyak kesalahan dalam
penulisan makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Akhir kata,
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.

Metro, 30 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ...................................................................................................

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah ..............................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kalam Ulama’ Salaf .....................................................


B. Sejarah Munculnya Kalam Ulama Salaf ........................................
C. Pemikiran Kalam Ulama’ Salaf .....................................................
D. Tokoh-tokoh Kalam Ulama’ Salaf .................................................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada awal ilmu kalam lahir banyak persoalan yang timbul


dikalangan masyarakat, karena itulah muncul berbagai pendapat dan
pemikiran. Sehingga terbentuk aliran-aliran pemikiran para ulama.
Termasuk teologi yang untuk menyelesaikan masalah-masalah kalam
tersebut. Hal ini berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap
manusia, baik berupa potensi biologis maupun psikologis dan terus
berkembang untuk mencari nilai-nilai kebaikan. Ilmu kalam dengan
perkembagannya menimbulkan sebuah permasalahan, kemudian
berkembang menjadi beberapa aliran yang disebabkan oleh perbedaan-
perbedaan dari para ulama kalam.
Disini kia akan menggali lebih dalam tentang pemikiran-pemikiran
yang mereka jalani, aliran-aliran tersebut masing-masing mempunyai
landasan yang dijadikan dasar mereka dalam ber-hujjah. Baik itu Al-
Qur’an mapun Hadits. Diantara aliran-aliran tersebut adalah aliran
salafiyah. Ada banyak sekali ulama-ulama salaf yang tersebar di seluruh
dunia, dan pada makalah ini akan dibahas dua ulama yaitu Imam Ahmad
Bin Hanbali dan Ibnu Taimiyah.

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian kalam ulama' salaf ?

2. Bagaimana sejarah munculnya kalam ulama' salaf ?

3. Apa saja pemikiran kalam ulama' salaf ?

4. Siapa saja tokoh-tokoh kalam ulama' salaf ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui pengertian dari kalam ulama' salaf.

2. Untuk mengetahui sejarah munculnya kalam ulama' salaf.

3. Untuk memahami pemikiran dari kalam ulama' salaf.

4. Untuk mengetahui tokoh-tokoh kalam ulama' salaf.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kalam Ulama’ Salaf

Kata salaf secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi


“terdahulu” atau “leluhur”. Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf
artinya ulama terdahulu. Salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk
generasi sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in, para pemuda abad ke-3 H, dan para
pengikutnya pada abad ke-4 yang terdiri atas para muhadditsin dan
sebagainya. Salaf berarti pula ulama-ulama saleh yang hidup pada tiga
abad pertama islam.1
Menurut terminologi terdapat banyak difinisi yang dikemukakan
oleh para pakar mengenai arti salaf. Di antaranya adalah: Menurut As-
Syahrastani (474-548 H) ulama salaf tidak menggunakan ta’wil (dalam
menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat) dan tidak mempunyai paham
tasbiyah (antropomorfisme).2
Menurut Mahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah
mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan tabi’in uang dapat
diketahui dari sikapnya menolak penafsiran yang mendalam mengenai
sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk
menyucikan dan mengagungkan-Nya.3
W. Montgomey Watt menyatakan bahwa gerakan salafiyah
berkembang terutama di Baghdad pada abad ke-13. Pada masa itu, terjadi
gairah menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali.
Sebelum akhir abad itu, terdapat sekolah-sekolah Hanbali di Jerussalem
dan Damaskus. Di Damaskus kaum Hanbali semakin kuat dengan
kedatangan para pengungsi dari irak yang disebabkan serangan Mongol

1
Thablawy Mahmud Saad, At-Tashawwuf fi Turats Ibn Taimiyah, Al-Hai’al-Hadis Al-
Mishriyah Al-‘Ammah li Al-Kitab, Mesir, 1984, hlm. 11-38.
2
Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 92-93.
3
Abubakar Aceh, Salaf: Islam dalam Masa Murni, Ramadhani, Solo, 1986, hlm. 25.

3
atas Irak. Di anatar para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran,
yaitu keluarga Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah (1263-1328 M) adalah seorang
ulama besar penganut Iman Hanbali yang ketat.
Aliran salaf mempunyai beberapa karakteristik seperti yang
dinyatakan oleh Ibrahim Madzkur sebagai berikut:4

1. Lebih mendahulukan riwayat (naqli) daripada dirayah (aqli)


2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-
persoalan cabang agama (furu’ ad-din), hanya bertolak dari
penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan As-Sunnah.
3. Mengimani ALLAH tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya)
tidak pula mempunyai paham antropomorfisme.
4. Memahami ayat-ayat Al-Quran sesuai dengan makna lahirnya, tidak
berupaya untuk menakwilkannya.
Melihat karakteristik yang dikemukakan Ibrahim Madzkur di atas,
tokoh-tokoh berikut dapat dikategorikan sebagai ulama salaf. Tokoh-
tokoh yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin Abbas (68 H), Abdullah bin
Umar (74 H), Umar bin Abd Al-‘Aziz (101 H), Az-Zuhri (124 H), Ha’far
Ash-Shadiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi,
Maliki, Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal). Harun Nasution
menganggap bahwa secara kronologis, salafiyah bermula dari Imam
Ahmad bin Hanbal. Lalu, ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimiah,
disuburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab, dan akhirnya
berkembang di dunia islam secara sporadis.5

B. Sejarah Munculnya Kalam Ulama’ Salaf

Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-


gerakan Persatuan Islam (Persis), bahkan Muhammadiyah. Gerakan-
gerakan lainnya, pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan ulama
salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal
dengan istilah logika. Sementara itu, para ulama yang menyatakan mereka

4
Ibrahim Madzkur, Fi Al-Falsafah Al-Islamiyah: Manhaj wa Tathbiquh, Jilid II, Dar Al-
Maarif, Mesir, 1947, hlm. 30.
5
Harun Nasution dalam kuliah-kuliahnya pada Matakuliah “Pemikiran dalam Islam”, di
Pascasarjana IAIN Syarifhidayatullah Jakarta, tahun 1996; Baca juga Hafidz Dasuki,
Ensiklopedi Islam, Jilid. V,Cet. I. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jkarta, 1993, hlm. 160.

4
sebagai ulama salaf, mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam
membicarakan masalah teologi (ketuhanan).
Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencata bahwa salafiyah
tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab) atau paham
golongan, sebagaimana Khawarij, Mu’tazilah, Maturidiyah, dan
kelompok-kelompok Islam klasik lainnya. Salafiyah bahkan sering
dilekatkan dengan Ahl-Sunnah wa Al-Jama’ah, di luar kelompok Syiah.

C. Pemikiran Kalam Ulama’ Salaf

1) Pemikiran Teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal


a) Tentang Ayat-Ayat Mutasybihat

Dalam memahami ayat Al-Quran Ibn Hanbal lebih suka


menerapkan pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan ta’wil,
terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat
mutasyabihat.6 Hal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran
surat Thaha ayat 5 berikut ini:
Artinya: yaitu orang Maha Pengasih yang bersemayam di atas Arsy
(Q.S. Thaha [20]:5)
Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab yang artinya:
“Istiwa’ di atas Arasy terserah Dia dan bagaimana Dia kehendaki
dengan tiada batas dan tiada seorang pun yang sanggup menyifatinya.”
Kemudian, ketika ditanya tentang makna hadis nuzul (Tuhan turun
kw langit dunia), ru’yah (orang-orang beriman melihat Tuhan di
akhirat), dan hadis tentang telapak kaki Tuhan, Ibn Hanbal menjawab:
“Kita mengimani dan membenarkannya, tanapa mencari penjelasan cara
dan maknanya.”
Dari pernyataan di atas, Ibn Hanbal tampaknya bersikap
menyerahkan (tafwidh) makna-makna ayat dan hadis mutasyabihat
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan menyucikan-Nya dari keserupaan
dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian
lahirnya.

b) Status Al-Quran

Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal yang


kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status
Al-Quran, apakah diciptakan (makhluk) karena hadis (baru) ataukah

6
Ibid., hlm. 84.

5
tidak diciptakan karena qadim. Paham yang diakui oleh pemerintah
resmi pada saati itu, yaitu Dinasti ‘Abbasiah di bawah kepempinan
Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq adalah paham
Mu’tazilah, yaitu Al-Quran tidak bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Sebab, paham adanya qadim di samping Tuhan, bagi
Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan adalah syirik
dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan.
Tampaknya, Ibn Hanbal tidak sependapat dengan paham resmi di
atas. Oleh karena itu, ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh
aparat pemerintah. Pandangannya tentang status Al-Quran dapat dilihat
dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim, Gubernur Irak:7

Ishaq: Apa pendapatmu tentang Al-Quran?


Ibn Hanbal: Sabda Tuhan.
Ishaq: Apakah ia diciptakan?
Ibn Hanbal: Sabda Tuhan. Saya tidak mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : Apa arti ayat: Maha Mendengar (Sami’) dan Maha Melihat
(Basir)? (Ishaq ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham
antropomorpisme ).
Ibn Hanbal : Tuhan menyifatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu)
Ishaq : Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana Ia sifatkan pada
diri-Nya.

Berdasarkan dialog di atas, Ibn Hanbal tidak ingin membhasa lebih


lanjut tentang status Al-Quran. Ia hanya mengatakan bahwa Al-Quran
tidak diciptakan. Ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan
ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah dan
Rasul-Nya.

2) Pemikiran Teologi Ibn Taimiah

Pikiran-pikiran Ibn Taimiah, seperti dikatakan Ibrahim Madzkur


adalah sebagai berikut:8

a. Berpegang teguh pada nash (teks Al-Quran dan Al-Hadis).


b. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal,
c. Berpendapat bahwa Al-Quran megandung semua ilmu agama,
d. Di dalam islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat,
tabiin, dan tabii tabiin),

7
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press,
Jakarta, 1986, hlm. 62-63
8
Madzkur, op. cit., hlm. 31.

6
e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan
tetap mentanzihkan-Nya,
f. Ibn Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa
apabila kalamullah qadim, kalamnya pasti qadim pula.

Ibn Taimiah adalah seorang tekstualis. Oleh karena itu,


pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbali, Al-Khatib Ibn
Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorfisme) Allah, yaitu
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Oleh karena itu, Al-Jauzi
berpedapat bahwa pengakuan Ibn Taimiah sebagai salaf perlu ditinjau
kembali.9

Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimiah tentang sifat-sifat Allah:10

a. Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang Ia sendiri atau


Rasul-Nya menyifati. Sifat-sifat yang dimaksud adalah:

1) Sifat salbiah, yaitu qidam, baqa’, mukhalafatu lil hawaditsi,


qiyamuhu bi nafsihi, dan wahdaniyah.
2) Sifat ma’ani, yaitu qudrah,iradah, sama’, bashar, hayat, ilmu,
dan kalam.
3) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Quran dan
Hadis meskipun akal bertanya-tanya tentang maknanya),
seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah di langit;
Allah dilihat oleh orang beriman di surga kelak; wajah, tangan,
dan mata Allah.
4) Sifat dhafiah, mengidhafatkan atau menyandarkan nama-nama
Allah pada alam makhluk, seperti irabb al-‘alamin, khaliq al-
kaun, dan falik al-hubb wa an-nawa.
b. Percaya sepenuhnya terhadap nama-nama-Nya, yang Allah atau
Rasul-Nya sebutkan, seperti al-awwal, al-akhir, azh-zhahir, al-
bathin, al-‘alim, al-qadir, al-hayy, al-qayyun, as-sami’, dan al-
bashir.
c. Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nama Allah dengan;
1) Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak
dikehendaki lafaz (min ghair tahrif);
2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz (min ghair ta’thil);
3) Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad);

9
Saad, op. cit., hlm. 94.
10
Abdullah Yusuf, Pandangan Ulama tentang Ayat-ayat Mutasyabihat, Sinar Baru, Bandung,
1993, hlm. 58-60

7
4) Tidak menggambarkan bentuk Tuhan, baik dalam pikiran, hati
maupun dengan indra (min ghair takyif at-takyif);
5) Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya
dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamtsil rabb al-
‘alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatu pun yang
dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak
ada.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, Ibn Taimiah tidak menyetujui


setiap penafsiran ayat-ayat mutasyabihat. Menurutnya, ayat-ayat atau
hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan
diartikan sebgaimana adanya, dengan catatan tidak mentasjimkan, tidak
menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang
itu.

Ibn Taimiah mengkui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan


ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu; Hamba pelaku
perbuatan yang sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak
secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap
perbuatannya; Allah meridhai perbuatan baik dan tidak meridhai
perbuatan yang buruk.11

Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah mencapai


klimkasnya dalam sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.
Masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia
dengan Tuhan nya yang mutlak. Oleh karena itu, masalah Tuhan tidak
dapat diperoleh dengan etode rasional, baik dengan metode filsafat
maupun teologi. Demikian juga, keinginan manusia untuk menyatu
dengan Tuhan sebagai suatu yang mustahil. Oleh Karena itu, Ibn
Taimiah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-
Quran berisi Dalil khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuas hati);
Aliran Mu’tazilah yang selalu mendahulukan dalil rasional daripada
dalil Al-Quran, sehingga banyak menggunakan takwil; ualam yang
mempercayai dalil-dalil Al-Quran, tetapi hanya dijadikan sebagai
pangkal penyelidikan akal, meskipun unyuk memperkuat isi Al-Quran
seperti Al-Maturidi; mereka yang mempercayai dalil-dalil Al-Quran,
tetapi menggunakan pula dalil-dalil akal di samping Al-Quran (seperti
Al-Asy’ari).12

11
Zahrah, op. cit., hlm. 183.
12
Watt, op. cit., hlm. 188.

8
D. Tokoh-tokoh Kalam Ulama’ Salaf
1) Riwayat Singkat Ibn Taimiah

Nama lengkap Ibn Taimiah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-
Halim binTaimiah. Di lahirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10
Rabiul Awal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin
tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H. kewafatannya telah menggetarkan
dada seluruh penduduk Damaskus, Syam, dan Mesir, serta kaum muslim
pada umum nya. Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul
Halim bin Abdissalam Ibn Abdillah bin Taimiah, seorang syekh, khatib,
dan hakim di kotanya.13

Dikatakan oleh Ibrahim Madzkur bahwa Ibn Taimiah merupakan


seorang tokoh salaf ekstrem karena kurang memberikan ruang gerak pada
akal. Ia murid muttaqi, wara’ dan zuhud. Ia seorang panglima dan
pennetang bangsa Tartas yang berani dengan mengangkat senjata. Ia
dikenal sebagai seorang muhaddits,mufasir, faqih. Teolog, bahkan banyak
mengetahui tentang filsafat. Ia telah mengkritik khalifah Umar dan
Khalifah Ali bin Abi Thalib.

Ibn Taimiah terkenal dengan kecerdasan sehingga pada usia 17


tahun telah di percaya masyarakat memebrikan pandangan-pandangan
mengenai masalah hokum secara resmi. Para ulama lawan Ibn Taimiah
yang sangat risau oleh serangan-serangannya, serta iri hati terhadap
kedudukannya di Istana Gubenur Damaskus, telah menjadikan pemikiran-
pemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan untuk menyerangnya. Dikatakan
oleh lawan-lawannyan bahwa pemikiran Ibn Taimiah sebagai klenik,
antropomorfisme, sehingga pada aal 1306 M Ibn Taimiah di panggil ke
Kairo. Sesuai keputusan pengadilan kilat, akhirnya ia dipenjarakan.14

Harus dimaklumi bahwa masa hidup Ibn Taimiah bersamaan


dengan kondisi dunia islam yag sedang mengalami disintegrasi, dislokasi
social, dan dekadensi moral dan akhlak. Kelahirannya terjadi lima tahun
setelah Baghdad dihancurkan pasukan Mongol, Hulagu Khan. Oleh
karena itu, sangat pantas apabila Ibn Taimiah dalam upayanya
mempersatukan umat islam mengalami banyak tantangan, bahkan dirinya
harus wafat di dalam penjara.

2) Riwayat Singkat Ibn Hanbal

13
Watt, op. cit., hlm 188: Madzkur, op. cit., hlm. 36; Ahmad Thaha, Ibn Taimiyah: Hidup
dan Pemikirannya, Bina Ilmu, Surabaya, 1982.
14
Watt, op. cit., hlm. 188.

9
Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan
meninggal 241 H/855 M. Ia sering di panggil Abu Abdilah Karena salah
seorang anaknya bernama Abdillah. Ia lebih dikenal dengan nama Imam
Hanbali karena menjadi pendiri mazhab Hanbali. Ibunya beranam
Shahifah binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur
Asy-Syaibani, bangsawan Bani Amir. Ayahnya bernama Muhammad bin
Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah
bin Anas bin Aruf bin Qasit bin Mazin bin Syaibah bin Dahal bin Akabah
bin SYa’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin Nizar. Di
dalam keluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu keluarga
dengan nenek moyangnya, Nabi Muhammad SAW.
Ayahnya meninggal ketika Ibn Hanbal masih berusia muda.
Meskipun demikian, ayahnya telah mengawalinya membrikan pendidikan
Al-Quran. Pada usia 16 tahun, ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama
lainnya kepada ulama-ulama Baghdad. Lalu mengunjungi ulama-ulama
terkenal di Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekah, dan Madinah. Di antara
guru-gurunya adalah Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyah, Muzaffar bin
Mudrik, Walid bin Muslim, Muktamar bin Sulaiman, Abu Yusuf Al-Qadi,
Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa’ad, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I,
Abd Razaq bin Humam, dan Musa bin Tariq. Dari guru-gurunya, Ibn
Hanbal mempelajari ilmu fiqh, hadis, tafsir, kalam, ushul, dan bahasa
Arab.15
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang zahid. Hamper setiap hari ia
berpuassa dan tidur hanya sedikit pada malam hari. Ia juga dikenal
sebagai seorang dermawan. Pada suatu ketika, Khalifah Makmun Ar-
Rashid membagikan beberapa keping emas untuk dinerikan kepada para
ulama hadis, yang merupaka kebiasaan para Khalifah pada masa itu. Ibn
Hanbal justru menolaknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syekh Abdul
Razak dating untuk menengoknya yang sedang dalam kesulitan keuangan
di Yaman. Gurunya itu mengambil segenggam dinar dari kantongnya dan
diberikan kepada Ibn Hanbal, tetapi Ibn Hanbal mengatakan “Saya tidak
membutuhkannya”.16
Di antara murid-murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiah, Hasan bin
Musa, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi, Abu
Zuhrah Ar-Razi, Ibn Abi Ad-Dunia, Abu Bakar Al-Asram, Hanbal bin
Ishaq Asy-Syaibani, Shaleh, dan Abdullah. Kedua orang yang disebutkan
terakhir merupakan putranya.17

15
Dasuki, op. cit., Jilid II, hlm. 82.
16
Abd Rahman I Do’I, Shariah: Islamic Law, Cet., II, Taha Publisher Ltd., London, 1984,
hlm. 109.
17
Dasuki, op. cit., hlm. 84.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kata Salaf
secara etimologi dapat diterjemahkan menjadi “terdahulu” atau “leluhur”.
Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad, salaf artinya ulama terdahulu. Menurut
terminologi terdapat banyak difinisi menurut Mahmud Al-Bisybisyi dalam
Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahabat, tabi’in, dan
tabi’in uang dapat diketahui dari sikapnya menolak penafsiran yang
mendalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu
yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya.
Perkembangan salafiyah di Indonesia di awali oleh gerakan-
gerakan Persatuan Islam (Persis), bahkan Muhammadiyah. Gerakan-
gerakan lainnya, pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan ulama
salaf, tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal
dengan istilah logika. Dalam perkembangan berikutnya, sejarah mencata
bahwa salafiyah tumbuh dan berkembang pula menjadi aliran (mazhab)
atau paham golongan, Salafiyah bahkan sering dilekatkan dengan Ahl-
Sunnah wa Al-Jama’ah, di luar kelompok Syiah.

Pemikiran Teologi Imam Ahmad Ibn Hanbal Tentang Ayat-Ayat


Mutasybihat, Status Al-Quran. Pemikiran Teologi Ibn Taimiah Pikiran-
pikiran Ibn Taimiah, seperti dikatakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai
berikut: Berpegang teguh pada nash (teks Al-Quran dan Al-Hadis), Tidak
memberikan ruang gerak yang bebas pada akal, Berpendapat bahwa Al-
Quran megandung semua ilmu agama, Di dalam islam yang diteladani
hanya tiga generasi (sahabat, tabiin, dan tabii tabiin), Allah memiliki sifat
yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkan-Nya, Ibn
Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila
kalamullah qadim, kalamnya pasti qadim pula.

11
DAFTAR PUSTAKA

Nasuiton, Harun. 1986. Teologi Islam “Aliran-aliran Sejarah Analisa


Perbndingan”. Jakarta: UI-Press.

Rahman, Taufik. 2013. Tauhid Ilmu Kalam. Bandung: Cv. Pustaka Setia.

Rozak, Abdul., Dan Anwar, Rosihon. 2012. Ilmu Kalam. Bandung: Cv Pustaka
Setia.

12

Anda mungkin juga menyukai