Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI

KERACUNAN DAGING AYAM DAN DAGING SAPI

Disusun Oleh :

1. Nurul Safitri Ana (207116001)


2. Rahayu Panca Rini (207116002)

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karuniaNya, makalah telah dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah farmakologi dan toksikologi.

Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang


telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Penulis juga berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.

Cilacap, 27 Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 2

1.3 Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
2.1 Keracunan Pangan Oleh Bakteri ..................................................... 3
2.2 Morfologi Staphylococcus aureus .................................................... 6
2.3 Toksin Staphylococcus aureus ......................................................... 7
2.4 Mekanisme Keracunan Staphylococcus aureus .............................. 8
2.5 Sumber Pencemaran Staphylococcus aureus .................................. 8
2.6 Kontaminasi Staphylococcus aureus ................................................ 9
2.7 Gejala Klinis Keracunan Staphylococcal Enterotoksin (SE) ...... 12
2.8 Metode pencegahan pertumbuhan Staphylococcus aureus ......... 13
2.9 Kadar atau Dosis Penanganan Keracunan ................................... 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................ 17


3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan esensial bagi manusia untuk pertumbuhan


dan untuk kelangsungan hidup. Namun, tidak sedikit pula kasus kejadian penyakit
yang diakibatkan oleh pangan. Keracunan pangan atau sering disebut dengan
foodborne disease (penyakit bawaan makanan), merupakan penyakit oleh pangan
yang masih merupakan masalah serius di berbagai Negara termasuk di Indonesia.
Akhir-akhir ini banyak merebak kejadian kasus keracunan pangan di masyarakat.
Seringkali terdengar beberapa orang harus dirawat di rumah sakit bahkan sampai
meninggal dunia akibat mengkonsumsi makanan hidangan pesta, makanan jajanan,
makanan catering, bahkan pangan segar. Badan POM pada tahun 2004 melaporkan
selama tahun 2003 telah terjadi 43 kasus keracunan makanan dan jumlah itu
meningkat pada tahun 2004 menjadi 62 kasus yang tercatat dari Januari hingga
September 2004. Hal ini menjadi terauma tersendiri bagi masyarakat, mengingat
begitu banyaknya pangan yang beredar di pasaran, yang terkadang sangat sulit untuk
memilih jenis makanan yang aman dikonsumsi. Kasus-kasus tersebut merupakan
kejadian yang diketahui dan dilaporkan, kejadian-kejadian yang terjadi
sesungguhnya diduga cukup banyak namun sering kali tidak dilaporkan kepada
instansi yang berwenang.
Di Indonesia, daging khususnya daging ayam dan daging sapi
merupakan sumber protein hewani yang sangat populer di masyarakat. Namun
demikian proses penyediaan daging ayam (pengolahan pascapanen) yang dilakukan
para penyembelih (pedagang) daging ayam terutama skala usaha kecil sampai
menengah masih sangat kurang dalam menjaga sanitasi dang higiene produknya,
sehingga sangat wajar apabila kasus-kasus keracunan makanan masih sering terjadi.
Terlebih diikuti dengan cara memasak (mengolah) yang juga kurang matang dan
higienis. Hal ini dapat memberikan peluang bagi bakteri khususnya S. aureus yang
selalu berada dekat di lingkungan bahkan pada tubuh manusia dapat

1
mengkontaminasi dan berkembang pada daging ayam / sapi yang akan di konsumsi
masyarakat. Makalah ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali penanganan
higiene pangan agar ditingkatkan dengan melakukan tindakan pencegahan yang
sangat mudah dilakukan sehingga dapat menekan cemaran bakteri S.aureus
khususnya pada daging ayam dan daging sapi guna mencegah terjadinya keracunan
pangan akibat bakteri.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana tanda dan gejala keracunan daging ayam dan sapi ?
2. Berapakah kadar atau dosis untuk kasus keracunan daging ayam dan sapi?
3. Bagaimana penanganan atau anti dotum keracunan daging ayam dan sapi?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tanda dan gejala keracunan daging ayam dan sapi .
2. Untuk mengetahui kadar atau dosis yang di berikan untuk keracunan daging
ayam dan sapi.
3. Untuk mengetahui penanganan atau antidotum keracunan daging ayam dan
sapi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keracunan Pangan Oleh Bakteri

Keracunan pangan dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu keracunan kimia,


karacunan tanaman, dan keracunan oleh mikroba (Asadayanti 2004). Dari ketiga jenis
keracunan pangan tersebut yang sering terjadi dan menjadi perhatian besar di
masyarakat yaitu keracunan akibat mikroba, terutama yang disebabkan oleh bakteri
pathogen. Di Amerika dilaporkan, 60 % kasus keracunan makanan disebabkan oleh
bakteri (Nugroho 2004). Bakteri patogenik yang terdapat dan berkembang di dalam
pangan dapat menyebabkan keracunan pangan. Gejala semacam ini disebabkan oleh
tertelannya toksin (racun) yang diproduksi oleh bakteri selama tumbuh pada pangan
(Anonim 2008). Menurut Badan POM RI (2004), terdapat tiga hal yang umumnya
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan akibat bakteri, yaitu (1)
kontaminasi - bakteri patogen harus ada dalam pangan; (2) pertumbuhan - dalam
beberapa kasus, bakteri patogen harus memiliki kesempatan untuk berkembang biak
dalam pangan untuk menghasilkan toksin atau dosis infeksi yang cukup untuk
menimbulkan penyakit; (3) daya hidup (survival) – jika berada pada kadar yang
membahayakan, bakteri patogen harus dapat bertahan hidup dalam pangan selama
penyimpanan dan pengolahannya.

Bakteri dapat mengakibatkan keracunan pangan melalui dua mekanisme, yaitu


intoksikasi dan infeksi.

a. Intoksikasi (food Poisoning) intoksikasi pangan adalah gangguan akibat


mengkonsumsi toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan (Siagian
2002). Bakteri tertentu menghasilkan toksin tertentu saat tumbuh dan berkembang di
dalam pangan.

Bakteri tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin. Jika pangan ditelan, maka
toksin tersebut yang akan menyebabkan gejala, bukan bakterinya. Pada umumnya

3
toksin dihasilkan di luar sel bakteri, dinamakan eksotoksin. Menurut Asadayanti
(2004), eksotoksin bukan merupakan sel hidup tetapi merupakan suatu senyawa yang
bersifat racun, senyawa tersebut dapat dirusak oleh panas tetapi kadang-kadang lebih
banyak diperlukan panas untuk toksin daripada bakteri yang memproduksinya.
Karena itu meskipun bahan pangan telah dipanaskan, sehingga cukup untuk
memusnahkan bakteri, tetapi eksotoksinnya masih tetap ada dan aktif eksotoksin,
sehingga bila termakan masih dapat menyebabkan keracunan.

Terdapat dua intoksikasi yang umum disebabkan oleh bakteri, yaitu (1) botulisme,
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum dan (2)
intoksikasi stapilokoki, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus
aureus. Gejala dan watuk timbulnya gejala dari kedua intoksikasi tersebut berbeda
(Siagian 2002).

b) Infeksi (food infection)

Infeksi pangan (food infection) disebabkan masuknya bakteri kedalam tubuh


melalui makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh terhadap
bakteri atau hasil-hasil metabolismenya (Siagian, 2002). Keracunan makanan karena
infeksi, disebabkan karena sel bakteri yang hidup. Dalam hal ini, penyebab sakitnya
seseorang adalah akibat masuknya bakteri patogen ke dalam tubuh melalui konsumsi
pangan yang telah tercemar bakteri. Untuk menyebabkan penyakit, jumlah bakteri
yang tertelan harus memadai. Bakteri-bakteri tumbuh dan berkembang biak di dalam
makanan tetapi tidak memproduksi toksin di luar sel, tetapi toksin dihailkan didalam
sel bakteri. Jenis toksin ini disebut endotoksin. Bakteri tersebut dapat menyebabkan
pangan beracun karena di dalam sel bakteri terdapat toksin.

Endotoksin tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam sel, kecuali sel-sel
bakteri tersebut mati. Jika pangan terkontaminasi dengan jenis bakteri tersebut dan
kemudian dikonsumsi manusia dan masuk ke dalam saluran pencernaan tidak akan
menyebabkan sakit sampai jumlah bakteri yang mati menjadi cukup jumlahnya
sehingga dapat mengeluarkan toksin dalam jumlah yang cukup untuk merangsang
lambung dan saluran usus besar. Gejala yang muncul berupa kepala pusing, demam,
diare, dan muntah-muntah.

4
Infeksi pangan (food infection) dapat digolongkan kedalam dua kelompok (Balia
2008), yaitu :

a) Mikroba Patogen yang pertumbuhannya tidak distimulir oleh makanan tempat


mikroba tersebut hidup. Jadi makanan hanya berfungsi sebagai perantara (pembawa).
misalnya, pathogen penyebab tuberkolosis ( Mycobacterium bovis dan M.
tubercolosis), brucellosis (Brucela aortus, b. melitensis), diprteri (Corynebacterium
diptheriae), disentri oleh Campylobacter, demam tifus,kolera , hepatitis, dll.

b) Mikroba Patogen yang pertumbuhannya distimulir oleh makanan tempat


tumbuhnya, sehingga jumlahnya akan bertambah banyak. infeksi ini mencakup
Salmonela spp, Listeria, vibrio parahaemolyticus, dan Escherichia coli
enteropatogenik.

Keracunan oleh mikroba cukup banyak terjadi. Berbagai jenis mikroba dapat
menghasilkan toksin yang dapat membahayakan kesehatan konsumen bila dikosumsi.
Salah satu jenis mikroba yang berbahaya karena selalu berada dekat di lingkungan
bahkan pada tubuh manusia yaitu Staphylococcus aureus. S. aureus mengandung toksin
yang dapat menyebakan keracunan pangan (food poisoning). Keracunan makanan akibat
kontaminasi S.aureus disebut “intoksikasi stapilokoki”. Toksin yang dihasilkan
berbahaya karena memiliki sifat yang sangat tahan terhadap panas. S.aureus memiliki
kemampuan untuk membuat tujuh racun yang berbeda yang sering bertanggung jawab
atas keracunan makanan (Anonim 2010).

5
2.2 Morfologi Staphylococcus aureus

Terdapat 23 spesies Staphylococcus, jenis Staphylococcus aureus merupakan


bakteri yang paling banyak menyebabkan keracunan pangan yang berpoliferasi dalam
makanan (Winarno 2007). S. aureus adalah merupakan bakteri berbentuk kokus/bulat,
tergolong dalam bakteri Gram-positif, bersifat aerobik fakultatif, dan tidak membentuk
spora, tidak bergerak (non motil), bila diamati di bawah mikroskop tampak berpasangan,
membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah
anggur (Pelczar and Chan 1988, dalam Ambarwati 2007). Bakteri S. aureus tumbuh dan
berkembang biak pada suhu dari 50oF - 120oF, dengan pertumbuhan yang paling cepat
terjadi sekitar suhu tubuh (sekitar 98o F) (Stehulak 1998). Ukuran diameter 0,7 – 0,9 µ
dan termasuk dalam keluarga Micrococcaceae (Winarno 2007). S. aureus mempunyai
daya tahan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan bakteri lain yang tidak membentuk
spora. Pada agar miring masih dapat bertahan hidup sampai berbulan–bulan, baik di
dalam lemari es maupun pada suhu kamar (Warsa 1994, dalam Wahyudhi 2009).

Taksonomi dari S. aureus menurut Dwidjoseputro (1994) dan Warsa (1994)


dalam Wahyudhi (2009), adalah sebagai berikut :

o Domain : Bacteria

o Kingdom : Eubacteria

o Filum : Protophyta

o Kelas : Schyzomycetes

o Ordo : Eubacteriales

o Family : Micrococcaceae

o Genus : Staphylococcus

o Spesies : Staphylococcus aureus

6
2.3 Toksin Staphylococcus aureus

Toksin yang dihasilkan bakteri S. aureus adalah Staphylococcal enterotoksin


(SE). SE merupakan protein rantai tunggal dengan BM rendah (26 – 30 kDa) dan titik
isoelektrik 5,7 – 8,6 (Syamsir 2008). Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh S.
aureus di dalam makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan. Toksin
dihasilkan bakteri dalam kondisi pH, suhu, aw dan lain-lainnya yang optimum. Toksin
dihasilkan pada semua fase pertumbuhan bakteri, dilaporkan bahwa pada biakan
berumur 4-6 jam telah dapat ditemukan enterotoksin dan akan meningkat secara
proporsional pada fase stasioner dan transisional (Nugroho 2004). Staphylococcal
enterotoksin (SE) dapat menyebabkan toxic shock syndrome, keracunan pangan,
beberapa penyakit alergi dan autoimun (Marrack dan Kappler 1990 dalam Wahyudhi
2009). Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus, tersebut dikenal memiliki 5 tipe,
yaitu A sampai E (Winarno 2007). Sampai saat ini telah teridentifikasi berbagai
enterotoksin S. aureus yaitu Staphylococcal enterotoxin A (SEA), B (SEB), C (SEC), D
(SED), E (SEE), G (SEG), H (SEH), I(SEI), J (SEJ), K (SEK), L (SEL), M (SEM), N
(SEN), O (SEO), P (SEP), Q (SEQ), R (SER), T (SET) dan U (SEU) (Williams et al.
2000; Akineden et al. 2001; Jarraud et al. 2001; Orwin et al. 2002; Yarwood et al. 2002;
Letertre et al. 2003; Omoe et al. 2003; Tseng et al. 2004, dalam Salasia dkk. 2009).

Stabilitas SE terhadap pemanasan dan enzim-enzim pencernaan merupakan


salah satu sifat yang sangat penting berkaitan dengan keamanan pangan. SE bersifat
tahan panas sehingga tidak mudah rusak pada suhu memasak normal, dan toksin tersebut
tidak dapat dihambarkan (detoxitised) oleh pemanasan pada suhu 100oC selama 30
menit (Winarno 2007), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim
pencernaan seperti pepsin dan tripsin yang terdapat dalam saluran pencernaan, serta
relatif resisten terhadap pengeringan (Syamsir 2010). Albrecht & Summer (1995) dalam
Nugroho (2004), menambahakan meskipun dengan pendinginan ataupun pembekuan,
enterotoksin yang dihasilkan masih dapat bertahan. karena toksin tetap bertahan
meskipun suatu bahan makanan yang tercemar SE sudah dimasak atau dipanaskan dan
toksin tersebut apabila sudah termakan akan tahan terhadap enzim-enzim yang ada
dalam saluran pencernaan (Balaban dan Rasooly 2000, dalam Salasia dkk. 2009).

7
Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat rusak secara
bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit.

2.4 Mekanisme Keracunan Staphylococcus aureus

Mekanisme keracunan S. aureus yaitu dimulai dari tertelannya Staphylococcal


enterotoksin (SE) yang bersal dari pangan yang dimakan. SE yang tertelan akan
berikatan dengan antigen major histocompatability complex (MHC) yang menstimulasi
sel T hasil maturasi dari limposit oleh timus untuk melepas cytokine (sitokin). Sitokin
ini selanjutnya akan menstimulasi neuroreseptor yang ada di saluran pencernaan, dan
rangsangan tersebut akan diteruskan ke sistem syarat pusat (central nervous system)
sehingga memicu pusat muntah (Vomic center) yang ada di sistem syaraf pusat dan
mengakibatkan terjadinya, mual, muntah, dan pusing (Syamsir 2008).

Toksin akan cepat menyerang Vomiting reflex center dari otak, kejang otot perut
dan diare kemudian biasanya terjadi. Terjadinya diare pada keracunan S. aureus efkenya
sejalan dengan toksin kolera (Tortora et al. 1998), toksin yang dihasilkan seringkali
menyebabkan diare sekretory. Diare sekretory terjadi karena enterotoksin menstimulasi
sekresi cairan dan elektrolit intestinal (usus) dengan meningkatkan sekresi anion aktif
(menghambat absorpsi NaCl) dan air, gangguan system transportasi air dan elektrolit di
usus mengakibatkan terjadinya diare. Pada diare sekretory tidak terjadi kerusakan
morfologi dari jaringan intestinal (toksin tidak merusak jaringan usus). Bahaya dari diare
ini adalah dapat menyebabkan pengeluaran cairan tubuh yang berlebih pada penderita.
Pemberian larutan gula-garam (Na) secara oral dapat dilakukan untukmengganti cairan
tubuh yang hilang (mencegah dehidrasi) karena diare yang diinduksi oleh enterotoksin
ini (Syamsir 2008).

2.5 Sumber Pencemaran Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat ditemukan di mana saja. Di udara, debu, air dan
kotoran manusia, dan dapat ditemukan pada pakaian dan peralatan yang digunakan oleh

8
manusia. S. aureus merupakan bagian normal dari mikroflora dari tenggorokan hidung
dan kulit manusia, serta juga terdapat pada limbah, air, susu, dan makanan atau pada
peralatan makanan, permukaan lingkungan, dan hewan. Manusia dan hewan adalah
sumber utama infeksi. S. aureus terdapat di saluran hidung, tenggorokan, pada rambut
dan kulit sebesar 50% atau lebih pada individu yang sehat. Kejadian ini bahkan lebih
tinggi bagi mereka yang kontak dengan atau yang bersentuhan dengan individu yang
sakit dan lingkungan rumah sakit. S. aureus juga banyak tersebar dalam suprerative
focus (nanah) dan ruangan naso larynx dari hidung manusia atau binatang, dan dari sana
nanah tersebut dapat mengkontaminasi banyak makanan. Namun demikian, untuk
berfungsi sebagai penyebab keracunan, sangat diperlukan bahwa S. aureus sempat
berkontaminasi dan berpoliferasi didalam makanan untuk memperoduksi enterotoksin
(Winarno 2007).

Meskipun penangan makanan biasanya merupakan sumber utama pencemaran


makanan yang menyebabkan keracunan makanan, peralatan dan permukaan lingkungan
juga dapat menjadi sumber kontaminasi bagi S. aureus. Kontaminasi silang dari para
pekerja makanan juga memberikan kontribusi yang besar sebagai sumber pencemaran
S.aureus. Di negara maju, kontaminasi ulang dari pekerja adalah faktor yang cukup
sering (13%) berkontribusi pada peristiwa keracunan (Hariyadi 2009). Pangan yang
dapat tercemar bakteri ini adalah produk pangan yang kaya protein, misalnya daging,
ikan, susu, dan daging unggas; produk pangan matang yang ditujukan dikonsumsi dalam
keadaan dingin, seperti salad, puding, dan sandwich; produk pangan yang terpapar pada
suhu hangat selama beberapa jam; pangan yang disimpan pada lemari pendingin yang
terlalu penuh atau yang suhunya kurang rendah; serta pangan yang tidak habis
dikonsumsi kemudian disimpan pada suhu ruang. Menurut (Syamsir 2010) keberadaan
bakteri S. aureus dan SE yang dihasilkan pada makanan tidak dapat dideteksi secara
visual karena tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada makanan.

2.6 Kontaminasi Staphylococcus aureus pada Daging Ayam dan Sapi

Keracunan makanan S. aureus adalah penyakit gastrointestinal yang disebut


staphylococcal gastroenteritis (Winarno 2007). Hal ini disebabkan oleh mengonsumsi

9
makanan yang tercemar dengan racun yang dihasilkan oleh S.aureus yang berupa
Staphylococcal enterotoksin (SE). Jika seseorang mengkonsumsi pangan yang
mengandung SE, makanan yang mengandung SE akan masuk ke dalam saluran
pencernaan dan mencapai usus halus, toksin tersebut akan merusak dinding usus halus
menyebabkan peradangan pada permukaan usus sehingga memunculkan gejala-gejala
klinis (mual, muntah, pusing, kejang/kram perut, dan diare).

Bahan makanan sumber pencemaran S. aureus yang menimbulkan wabah


gastroenteritis adalah daging babi, produk roti, daging sapi, kalkun, ayam dan telur
(Bean dan Griffin 1990 dalam Nugroho 2004). Salah satu dari produk hewani tersebut
yang paling digemari oleh masyarakat Indonesia adalah daging unggas khususnya
daging ayam, karena tergolong murah, enak, mudah di dapat dan mengandung kadar gizi
yang tinggi. Namun demikian proses penyediaan daging ayam (pengolahan pascapanen)
yang dilakukan para penyembelih (pedagang) daging ayam terutama skala usaha kecil
sampai menengah masih sangat kurang dalam menjaga sanitasi dang higiene produknya,
sehingga sangat wajar apabila kasus-kasus keracunan makanan masih sering terjadi.
Terlebih diikuti dengan cara pemasakan dan pengolahan yang juga kurang baik dan
higienis. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri khususnya S. aureus yang selalu berada
dekat di lingkungan bahkan pada tubuh manusia masih kurang diperhatikan.

Bailey et.al. (1987) dalam Nugroho (2004), mengatakan bahwa pencemaran


pada daging ayam dapat terjadi pada berbagai tahap pemrosesan. Sebelum ayam
disembelih, mikroba (S. aureus) terdapat pada permukaan kaki, bulu dan kulit yang
merupakan bagian tubuh yang kontak dengan tanah, debu, dan feses, serta dapat juga
ditemukan pada berbagai lokasi di saluran pernafasan ayam hidup. Pencemaran oleh S.
aureus dapat terjadi karena adanya kontaminasi silang selama prosesing karkas ayam.
Menurut May (1974) dalam Nugroho (2004) tahap-tahap yang berpotensi terjadinya
pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPU dapat terjadi pada
saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan
bulu, pengeluaran jeroan, pendinginan, grading, pembungkusan dingin, serta
pemotongan.

10
Pada tahap scalding (pencelupan di air hangat) S. aureus juga dapat terjadi
meskipun dalam jumlah sedikit, hal ini terjadi karena adanya aliran penggantian air
scalding dan suhu yang tejaga tetap tinggi sesuai kebutuhan tahap ini yang mencegah
akumulasi bakteri pada air dan peralatan scalding demikian pula kondisi yang sama
dapat menekan pencemaran apabila dilakukan pada tahap pendinginan/chilling (Bailey
et al. 1987, dalam Nugroho 2004). Oleh karena itu peluang pencemaran silang pada
tahapan scalding lebih kecil disbanding pada tahap-tahap selanjutnya, seperti pada tahap
pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, dan tangki pendingin (Wallker dan Ayres 1956;
Surkiewicz et al. 1996, dalam Nugroho 2004).

Selain itu pencemaran S. aureus dapat pula terjadi pada tahap pengolahan
(pemasakan). Pencemaran pada tahap pengolahan (pemasakan) terjadi di rumah makan,
pada restoran yang menyediakan jasa catering, atau pada proses penyiapan makanan di
rumah tangga. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning,
penggilingan, atau penangan lain oleh peralatan maupun operator yang menjadi sumber
pencemar (Bailey et al. 1987 dalam Nugroho 2004).

Tingginya cemaran S. aureus pada tahap ini juga disebabkan karena adanya
kontaminasi ulang (recontamination) yang terjadi setelah pemasakan (Hariyadi, 2009).
Kebiasaan makan masyarakan Indonesia yang cenderung mengkonsumsi makanan yang
benar-benar matang dan bukan makanan yang dimasak ringan sebenarnya dapat
menghindarkan kita dari keracunan yang disebabkan oleh patogen yang tidak
membentuk spora seperti S. aureus.

S.aureus merupakan bakteri yang tidak dapat membentuk spora sehingga


keracunan makanan akibat S. aureus mudah dicegah. Hal ini disebabkan karena patogen-
patogen jenis ini, relatif tidak tahan panas dan dapat dimusnahkan selama proses
pemasakan. Tetapi pada kenyataanya kasus keracunan masih sering terjadi. Hal tersebut
disebakan karena tidak adanya pemisahan ruang dan penggunaan alat untuk penanganan
antara bahan mentah dengan bahan pangan yang telah matang. Alat yang digunakan
untuk menangani bahan mentah dan bahan yang telah matang tidak dipisahkan dan tidak
di cuci sebelumnya, serta bahan mentah dan bahan matang diletakkan dalam satu ruang
sehingga dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi ulang.

11
Melihat banyaknya hal-hal yang dapat mengakibatkan pencemaran S. aureus
pada daging ayam tersebut, maka sepatutnyalah para pemotong dan pedagang daging
ayam memperhatikan sanitasi dan higiene yang baik untuk mencegah tingkat
pencemaran S. aureus yang merupakan salah satu penyebab tingginya peristiwa
keracunan pangan di masyarakat.

2.7 Gejala Klinis Keracunan Staphylococcal Enterotoksin (SE)

Gejala klinis keracunan Staphylococcal Enterotoksin (SE) umumnya muncul


secara cepat dan dapat menjadi kasus serius tergantung respon individu terhadap toksin,
jumlah makanan terkontaminasi yang ditelan, dan kondisi kesehatan korban secara
umum (Stehulak 1998). Keracunan makanan oleh SE memiliki masa inkubasi yang
pendek (hanya beberapa jam). Gejala keracunan dapat terjadi dalam jangka waktu 30
menit sampai 6 jam, dan puncaknya terjadi setelah 5 sampai 3 jam (Winarno 2007).
Gejala umum dapat berupa mual, sakit perut, muntah (lebih dari 24 jam), diare,
hilangnya nafsu makan, kram perut hebat, distensi abdominal, dan demam ringan. Pada
beberapa kasus yang berat dapat timbul sakit kepala, kejang otot perut, dan perubahan
yang nyata pada tekanan darah serta denyut nadi (Badan POM RI 2008).

Jay (1996) dalam Nugroho (2004), menambahkan, korban berkeringat penurunan suhu
tubuh yang dapat berlangsung 24-48 jam, namun sangat jarang atau bahakan tidak
pernah diikuti kematian. Jay (1996) dalam Nugroho (2004), melaporkan bahwa
sejumlah kecil sel bakteri S.aureus yang menghasilkan toksin sebanyak 1 ng/g makanan
mampu menimbulkan gejala gastroenteritis pada manusia. Dosis infektif-toxin/racun
sebanyak kurang dari 1.0 mikrogram dalam makanan yang terkontaminasi dapat
menimbuknan gejala keracunan staphylococcal. Tingkat racun ini dicapai apabila
populasi S. aureus lebih dari 100.000 per gram (Anonim 2009).

12
2.8 Metode pencegahan pertumbuhan Staphylococcus aureus

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan lima kunci untuk keamanan


pangan yaitu menjaga kebersihan, memisahkan bahan mentah dengan makanan matang
untuk mencegah kontaminasi silang, memasak makanan sampai matang, menjaga
makanan pada suhu aman dan menggunakan air bersih untuk mencuci bahan pangan.
Mengingat kasus keracunan akibat S. aureus cukup tinggi, maka perlu diketahu metode-
metode pencegahan terhadap pertumbuhan S. aureus. Pada dasarnya ada beberapa
metode yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut :

a) Metode menghambat pertumbuhan S. aureus Penyimpanan di refrigerator


merupakan cara yang dilakukan untuk mencegah pertumbuhan S.aureus.
Penyimpanan pangan dapat dilakukan pada suhu dibawah 4°C jika tidak
langsung dikonsumsi (Hariyadi, 2009). Suhu optimum untuk pertumbuhan
S.aureus adalah 35°C – 37°C dengan suhu minimum 6,7°C dan suhu maksimum
45,4°C. Dengan penyimpanan makanan pada suhu dibawah 6,7°C dapat
mencegah pertumbuhannya. S. aureus merupakan jenis bakteri yang tidak tahan
terhadap pemanasan suhu maksimum untuk pertumbuhan hanya sekitar 45,4°C,
sehingga dengan pemanasan pada suhu diatas 45,4°C maka dapat mencegah
pertumbuhan bakteri S. aureus. Selain itu penggunaan radiasi juga dapat
mengontrol pertumbuhan S. aureus pada pengan.
b) Pencegahan kontaminasi silang dan kontaminasi ulang Pencegahan secara total
mungkin tidak dapat dilakukan, namun makanan yang dimasak, dipanaskan, dan
disimpan dengan benar umumnya aman dikonsumsi. Resiko paling besar adalah
kontaminasi silang khususnya saat pemrosesan karkas ayam (prosesing) di RPU,
dan kontaminasi ulang, yaitu apabila makanan yang sudah dimasak bersentuhan
dengan bahan mentah atau peralatan yang terkontaminasi (misalnya alas,
pemotong, dll). Pemanasan kembali dengan suhu yang cukup hanya dapat
menghilangkan bakteri enterik tetapi tidak dapat menginaktifkan enterotoksin

13
yang telah terlanjur terbentuk oleh S.aureus. Pemisahan ruang serta peralatan
untuk bahan mentah dan matang dapat menghindarkan kontaminasi silang.
Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene yang baik
pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasankebiasaan
pekerja (Hariyadi 2009). Selain itu higiene personal dan sanitasi peralatan juga
perlu untuk diperhatikan. Mencuci tangan dengan sabun sesudah dari toilet,
mencegah tangan agar tidak memegang mulut, hidung, atau rambut pada sat
bekerja/memasak, menutup mulut/hidung pada saat batuk/bersin degan tisu dan
kemudian mencuci tangan segera dengan sabun (Maruyama & O’Leary 1991
dalam Nugroho 2004). Banyak kasus keracunan terjadi karena tenaga
pengolahnya tidak memperhatikan aspek higiene dan sanitasi, soal sepele seperti
kebersihan kuku, pakaian kerja, dan rambut sering diabaikan, padahal bisa
berakibat fatal.
Hal-hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah kontaminasi makanan
dengan S.aureus sebelum toksin dapat diproduksi yaitu ;
1. Cuci tangan dan sela-sela kuku secara seksama dengan sabun dan air sebelum
menangani dan menyiapkan makanan.
2. Cuci peralatan makanan secara seksama sebelum digunakan.
3. Jangan menyiapkan makanan jika Anda memiliki penyakit hidung atau
infeksi mata.
4. Tidak menyiapkan atau melayani makanan untuk orang lain jika anda
memiliki luka infeksi kulit atau pada tangan dan pergelangan.
5. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang.
6. Jika makanan yang akan disimpan lebih dari dua jam, jaga agar makanan tetap
panas (lebih dari 140°F) atau tetap dingin (40°F atau di bawah).
7. Mengingat bahwa S.aureus berada dimana saja, maka dituntut untuk selalu
menjaga kebersihan dapur anda.

2.9 Kadar atau Dosis Penanganan Keracunan

Cara mengatasi keracunan makanan seperti daging ayam dan sapi harus
disesuaikan oleh penyebab keracunan, karena beda kuman berbeda pula cara

14
pengobatannya. Namun ada prinsip umum yang dapat dilakukan dirumah sebelum
pasien mendapat pertolongan medis untuk meminimalisir dampak dari keracunan,
bahkan mampu menyelamatkan nyawa pasien. Berikut hal yang dapat dilakukan :

1. Awasi keadaan pasien. Usahakan pasien tetap dalam keadaan sadar, longgarkan
pakaian agar lebih nyaman.
2. Sebisa mungkin buat pasien muntah dengan rangsang mekanik (menekan reflek
muntah di tenggorokan), atau pemberian air garam, hal ini untuk mengeluarkan
racun yang belum mencapai lambung. Namun jangan lakukan hal ini pada pasien
pingsan atau sedang kejang karena menyebabkan aspirasi.
3. Miringkan kepala pasien untuk memudahkan aliran muntah.
4. Jangan berikan obat anti muntah sebab muntah merupakan mekanisme
pengeluaran benda asing yang ada di tubuh. Obat anti muntah diberikan jika
pasien mengalami dehidrasi parah.
5. Bila pasien sadar dan dapat minum, berikan susu atau air kelapa.
6. Berikan obat golongan absorben (misalnya : kaopectate, almunium hidroksida )
yang berguna menyerap racun yang ada di dalam usus. Jangan menghentikan
diarenya kecuali jika pasien dalam keadaan dehidrasi parah. Dosis dan jangka
waktu penggunaan alumunium hidroksida tergantung pada kondisi yang diobati,
tingkat keparahannya, serta kesehatan pasien secara umum dan responnya
terhadap obat. Jika dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) hari gejala tetap
persisten, maka langkah yang tepat yang harus ditempuh adalah membawa
korban ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengobatan secara intensif.
7. Berikan cairan yang mengandung garam dan gula (oralit). Bila terdapat tanda-
tanda dehidrasi, segera bawa pasien ke pelayanan kesehatan terdekat untuk
mendapatkan infus, karena korban keragunan pangan daging harus menerima
asupan cairan secara lebih intensif melalui infus.
8. Ingat makanan terakhir yang dikonsumsi pasien sebelum timbulnya gejala, selain
itu kita dapat menebak penyebab keracunan dari bau khas yang keluar dari mulut
pasien.
9. Bila memiliki penyakit diabetes, sistem imun yang rendah, berusia lanjut, atau
memiliki penyakit hati, dapat mengkonsumsi antibiotik (misalnya ciprofloxacin

15
2 x 500mg selama 5 hari) sebagai pencegahan terjadinya infeksi lebih lanjut.
Namun dalam hal ini ada baiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.
10. Dapat dilakukan pengobatan pembersihan jalan nafas, ventilasi dan antitoksin
polivalen intavena.

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Staphylococcus aureus merupakan salah satu jenis mikroba penyebab keracunan


pangan di masyarakat, yang terjadi akibat sering disepelekannya sanitasi dan higinene
pangan khususnya daging ayam dan sapi yang merupakan sumber pangan hewani yang
popular di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. S. aureus yang mencemari pangan
dapat menghasilkan senyawa toksin berupa eksotoksin yang disebut Staphylococcal
enterotoksin (SE), dihasilkan pada saat proses pertumbuhan pada pangan, bersifat tahan
terhadap pemanasan, serta enzim-enzim pencernaan. Toksin tersebut dapat
menyebabkan keracunan dengan gejala cepat dapat menjadi kasus serius tergantung
respon individu terhadap toksin. Pencemaran S. aureus pada daging ayam dan sapi dapat
terjadi pada tahap prosesing di RPU dan pada tahap pengolahan menjadi pangan.
Pencegahan kasus dapat dilakukan dengan menerapkan sanitasi dan higiene yang baik
sejak awal rantai proses hingga makanan siap disantap.

17
DAFTAR PUSTAKA

[Anonim].2008.MikrobiologiPangan.http://ilmupangan.com/index.php?option=com_c
ontent&task=blogcategory&id=16&Itemid=44 .

[Anonim].2009.StudiLiteratur:IntoksikasiMakanan.(http://duniaveteriner.com/2009/05
/studi-literatur).

[Anonim]. 2010. Staphylococcal Keracunan Makanan. Diakses dari


(www.medic8.com/infectious-diseases/staph-food-poisoning.htm).

Nugroho WS. 2004. Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner Staphylococcus, Bakteri


Jahat yang Sering Disepelekan. Artikel [terhubung berkala]. Diakses dari
(http://weesnugroho.staff.ugm.ac.id/wp-content/staphylococcus-pada-daging).

Stehulak N, 1998. Staphylococcus aureus A Most Common Cause.MFactSheet


[http://ohioline.osu.edu/hyg-fact/5000/5564.html.

SyamsirE.2008. Mekanisme Diare dan Muntah. diakses dari


(http://www.ziddu.com/download/987136/Mekanismediaremuntahesy.pdf.html).

Syamsir E. 2010. Staphylococcus aureus. (http://id.shvoong.com/tags/staphylococcus-


aureus-penyebab-keracunanmakanan).

Wahyudhi.2009.Staphylococcusaureus.
http://yudhiestar.blogspot.com/2009/09/staphylococcus-aureus.html.

Winarno FG. 2007. Analisis Laboratorium (Gastroenteritis dan Keracunan Pangan).


M-Brio Press, Cetakan 1.

18

Anda mungkin juga menyukai