Disusun Oleh :
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karuniaNya, makalah telah dapat diselesaikan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah farmakologi dan toksikologi.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif sangat kami
harapkan dari para pembaca guna untuk meningkatkan dan memperbaiki pembuatan
makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 3
2.1 Keracunan Pangan Oleh Bakteri ..................................................... 3
2.2 Morfologi Staphylococcus aureus .................................................... 6
2.3 Toksin Staphylococcus aureus ......................................................... 7
2.4 Mekanisme Keracunan Staphylococcus aureus .............................. 8
2.5 Sumber Pencemaran Staphylococcus aureus .................................. 8
2.6 Kontaminasi Staphylococcus aureus ................................................ 9
2.7 Gejala Klinis Keracunan Staphylococcal Enterotoksin (SE) ...... 12
2.8 Metode pencegahan pertumbuhan Staphylococcus aureus ......... 13
2.9 Kadar atau Dosis Penanganan Keracunan ................................... 14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
mengkontaminasi dan berkembang pada daging ayam / sapi yang akan di konsumsi
masyarakat. Makalah ini dimaksudkan untuk mengingatkan kembali penanganan
higiene pangan agar ditingkatkan dengan melakukan tindakan pencegahan yang
sangat mudah dilakukan sehingga dapat menekan cemaran bakteri S.aureus
khususnya pada daging ayam dan daging sapi guna mencegah terjadinya keracunan
pangan akibat bakteri.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui tanda dan gejala keracunan daging ayam dan sapi .
2. Untuk mengetahui kadar atau dosis yang di berikan untuk keracunan daging
ayam dan sapi.
3. Untuk mengetahui penanganan atau antidotum keracunan daging ayam dan
sapi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Bakteri tumbuh pada pangan dan memproduksi toksin. Jika pangan ditelan, maka
toksin tersebut yang akan menyebabkan gejala, bukan bakterinya. Pada umumnya
3
toksin dihasilkan di luar sel bakteri, dinamakan eksotoksin. Menurut Asadayanti
(2004), eksotoksin bukan merupakan sel hidup tetapi merupakan suatu senyawa yang
bersifat racun, senyawa tersebut dapat dirusak oleh panas tetapi kadang-kadang lebih
banyak diperlukan panas untuk toksin daripada bakteri yang memproduksinya.
Karena itu meskipun bahan pangan telah dipanaskan, sehingga cukup untuk
memusnahkan bakteri, tetapi eksotoksinnya masih tetap ada dan aktif eksotoksin,
sehingga bila termakan masih dapat menyebabkan keracunan.
Terdapat dua intoksikasi yang umum disebabkan oleh bakteri, yaitu (1) botulisme,
disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum dan (2)
intoksikasi stapilokoki, disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus
aureus. Gejala dan watuk timbulnya gejala dari kedua intoksikasi tersebut berbeda
(Siagian 2002).
Endotoksin tersebut tidak dapat dikeluarkan dari dalam sel, kecuali sel-sel
bakteri tersebut mati. Jika pangan terkontaminasi dengan jenis bakteri tersebut dan
kemudian dikonsumsi manusia dan masuk ke dalam saluran pencernaan tidak akan
menyebabkan sakit sampai jumlah bakteri yang mati menjadi cukup jumlahnya
sehingga dapat mengeluarkan toksin dalam jumlah yang cukup untuk merangsang
lambung dan saluran usus besar. Gejala yang muncul berupa kepala pusing, demam,
diare, dan muntah-muntah.
4
Infeksi pangan (food infection) dapat digolongkan kedalam dua kelompok (Balia
2008), yaitu :
Keracunan oleh mikroba cukup banyak terjadi. Berbagai jenis mikroba dapat
menghasilkan toksin yang dapat membahayakan kesehatan konsumen bila dikosumsi.
Salah satu jenis mikroba yang berbahaya karena selalu berada dekat di lingkungan
bahkan pada tubuh manusia yaitu Staphylococcus aureus. S. aureus mengandung toksin
yang dapat menyebakan keracunan pangan (food poisoning). Keracunan makanan akibat
kontaminasi S.aureus disebut “intoksikasi stapilokoki”. Toksin yang dihasilkan
berbahaya karena memiliki sifat yang sangat tahan terhadap panas. S.aureus memiliki
kemampuan untuk membuat tujuh racun yang berbeda yang sering bertanggung jawab
atas keracunan makanan (Anonim 2010).
5
2.2 Morfologi Staphylococcus aureus
o Domain : Bacteria
o Kingdom : Eubacteria
o Filum : Protophyta
o Kelas : Schyzomycetes
o Ordo : Eubacteriales
o Family : Micrococcaceae
o Genus : Staphylococcus
6
2.3 Toksin Staphylococcus aureus
7
Bakteri dapat mati, tetapi toksin akan tetap tertinggal. Toksin dapat rusak secara
bertahap saat pendidihan minimal selama 30 menit.
Toksin akan cepat menyerang Vomiting reflex center dari otak, kejang otot perut
dan diare kemudian biasanya terjadi. Terjadinya diare pada keracunan S. aureus efkenya
sejalan dengan toksin kolera (Tortora et al. 1998), toksin yang dihasilkan seringkali
menyebabkan diare sekretory. Diare sekretory terjadi karena enterotoksin menstimulasi
sekresi cairan dan elektrolit intestinal (usus) dengan meningkatkan sekresi anion aktif
(menghambat absorpsi NaCl) dan air, gangguan system transportasi air dan elektrolit di
usus mengakibatkan terjadinya diare. Pada diare sekretory tidak terjadi kerusakan
morfologi dari jaringan intestinal (toksin tidak merusak jaringan usus). Bahaya dari diare
ini adalah dapat menyebabkan pengeluaran cairan tubuh yang berlebih pada penderita.
Pemberian larutan gula-garam (Na) secara oral dapat dilakukan untukmengganti cairan
tubuh yang hilang (mencegah dehidrasi) karena diare yang diinduksi oleh enterotoksin
ini (Syamsir 2008).
Staphylococcus aureus dapat ditemukan di mana saja. Di udara, debu, air dan
kotoran manusia, dan dapat ditemukan pada pakaian dan peralatan yang digunakan oleh
8
manusia. S. aureus merupakan bagian normal dari mikroflora dari tenggorokan hidung
dan kulit manusia, serta juga terdapat pada limbah, air, susu, dan makanan atau pada
peralatan makanan, permukaan lingkungan, dan hewan. Manusia dan hewan adalah
sumber utama infeksi. S. aureus terdapat di saluran hidung, tenggorokan, pada rambut
dan kulit sebesar 50% atau lebih pada individu yang sehat. Kejadian ini bahkan lebih
tinggi bagi mereka yang kontak dengan atau yang bersentuhan dengan individu yang
sakit dan lingkungan rumah sakit. S. aureus juga banyak tersebar dalam suprerative
focus (nanah) dan ruangan naso larynx dari hidung manusia atau binatang, dan dari sana
nanah tersebut dapat mengkontaminasi banyak makanan. Namun demikian, untuk
berfungsi sebagai penyebab keracunan, sangat diperlukan bahwa S. aureus sempat
berkontaminasi dan berpoliferasi didalam makanan untuk memperoduksi enterotoksin
(Winarno 2007).
9
makanan yang tercemar dengan racun yang dihasilkan oleh S.aureus yang berupa
Staphylococcal enterotoksin (SE). Jika seseorang mengkonsumsi pangan yang
mengandung SE, makanan yang mengandung SE akan masuk ke dalam saluran
pencernaan dan mencapai usus halus, toksin tersebut akan merusak dinding usus halus
menyebabkan peradangan pada permukaan usus sehingga memunculkan gejala-gejala
klinis (mual, muntah, pusing, kejang/kram perut, dan diare).
10
Pada tahap scalding (pencelupan di air hangat) S. aureus juga dapat terjadi
meskipun dalam jumlah sedikit, hal ini terjadi karena adanya aliran penggantian air
scalding dan suhu yang tejaga tetap tinggi sesuai kebutuhan tahap ini yang mencegah
akumulasi bakteri pada air dan peralatan scalding demikian pula kondisi yang sama
dapat menekan pencemaran apabila dilakukan pada tahap pendinginan/chilling (Bailey
et al. 1987, dalam Nugroho 2004). Oleh karena itu peluang pencemaran silang pada
tahapan scalding lebih kecil disbanding pada tahap-tahap selanjutnya, seperti pada tahap
pencabutan bulu, pengeluaran jeroan, dan tangki pendingin (Wallker dan Ayres 1956;
Surkiewicz et al. 1996, dalam Nugroho 2004).
Selain itu pencemaran S. aureus dapat pula terjadi pada tahap pengolahan
(pemasakan). Pencemaran pada tahap pengolahan (pemasakan) terjadi di rumah makan,
pada restoran yang menyediakan jasa catering, atau pada proses penyiapan makanan di
rumah tangga. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning,
penggilingan, atau penangan lain oleh peralatan maupun operator yang menjadi sumber
pencemar (Bailey et al. 1987 dalam Nugroho 2004).
Tingginya cemaran S. aureus pada tahap ini juga disebabkan karena adanya
kontaminasi ulang (recontamination) yang terjadi setelah pemasakan (Hariyadi, 2009).
Kebiasaan makan masyarakan Indonesia yang cenderung mengkonsumsi makanan yang
benar-benar matang dan bukan makanan yang dimasak ringan sebenarnya dapat
menghindarkan kita dari keracunan yang disebabkan oleh patogen yang tidak
membentuk spora seperti S. aureus.
11
Melihat banyaknya hal-hal yang dapat mengakibatkan pencemaran S. aureus
pada daging ayam tersebut, maka sepatutnyalah para pemotong dan pedagang daging
ayam memperhatikan sanitasi dan higiene yang baik untuk mencegah tingkat
pencemaran S. aureus yang merupakan salah satu penyebab tingginya peristiwa
keracunan pangan di masyarakat.
Jay (1996) dalam Nugroho (2004), menambahkan, korban berkeringat penurunan suhu
tubuh yang dapat berlangsung 24-48 jam, namun sangat jarang atau bahakan tidak
pernah diikuti kematian. Jay (1996) dalam Nugroho (2004), melaporkan bahwa
sejumlah kecil sel bakteri S.aureus yang menghasilkan toksin sebanyak 1 ng/g makanan
mampu menimbulkan gejala gastroenteritis pada manusia. Dosis infektif-toxin/racun
sebanyak kurang dari 1.0 mikrogram dalam makanan yang terkontaminasi dapat
menimbuknan gejala keracunan staphylococcal. Tingkat racun ini dicapai apabila
populasi S. aureus lebih dari 100.000 per gram (Anonim 2009).
12
2.8 Metode pencegahan pertumbuhan Staphylococcus aureus
13
yang telah terlanjur terbentuk oleh S.aureus. Pemisahan ruang serta peralatan
untuk bahan mentah dan matang dapat menghindarkan kontaminasi silang.
Kontaminasi ulang dapat dicegah melalui program sanitasi dan higiene yang baik
pada ruangan, peralatan maupun pekerja dan pengawasan kebiasankebiasaan
pekerja (Hariyadi 2009). Selain itu higiene personal dan sanitasi peralatan juga
perlu untuk diperhatikan. Mencuci tangan dengan sabun sesudah dari toilet,
mencegah tangan agar tidak memegang mulut, hidung, atau rambut pada sat
bekerja/memasak, menutup mulut/hidung pada saat batuk/bersin degan tisu dan
kemudian mencuci tangan segera dengan sabun (Maruyama & O’Leary 1991
dalam Nugroho 2004). Banyak kasus keracunan terjadi karena tenaga
pengolahnya tidak memperhatikan aspek higiene dan sanitasi, soal sepele seperti
kebersihan kuku, pakaian kerja, dan rambut sering diabaikan, padahal bisa
berakibat fatal.
Hal-hal yang sangat penting dilakukan untuk mencegah kontaminasi makanan
dengan S.aureus sebelum toksin dapat diproduksi yaitu ;
1. Cuci tangan dan sela-sela kuku secara seksama dengan sabun dan air sebelum
menangani dan menyiapkan makanan.
2. Cuci peralatan makanan secara seksama sebelum digunakan.
3. Jangan menyiapkan makanan jika Anda memiliki penyakit hidung atau
infeksi mata.
4. Tidak menyiapkan atau melayani makanan untuk orang lain jika anda
memiliki luka infeksi kulit atau pada tangan dan pergelangan.
5. Pemisahan ruang serta peralatan untuk bahan mentah dan matang.
6. Jika makanan yang akan disimpan lebih dari dua jam, jaga agar makanan tetap
panas (lebih dari 140°F) atau tetap dingin (40°F atau di bawah).
7. Mengingat bahwa S.aureus berada dimana saja, maka dituntut untuk selalu
menjaga kebersihan dapur anda.
Cara mengatasi keracunan makanan seperti daging ayam dan sapi harus
disesuaikan oleh penyebab keracunan, karena beda kuman berbeda pula cara
14
pengobatannya. Namun ada prinsip umum yang dapat dilakukan dirumah sebelum
pasien mendapat pertolongan medis untuk meminimalisir dampak dari keracunan,
bahkan mampu menyelamatkan nyawa pasien. Berikut hal yang dapat dilakukan :
1. Awasi keadaan pasien. Usahakan pasien tetap dalam keadaan sadar, longgarkan
pakaian agar lebih nyaman.
2. Sebisa mungkin buat pasien muntah dengan rangsang mekanik (menekan reflek
muntah di tenggorokan), atau pemberian air garam, hal ini untuk mengeluarkan
racun yang belum mencapai lambung. Namun jangan lakukan hal ini pada pasien
pingsan atau sedang kejang karena menyebabkan aspirasi.
3. Miringkan kepala pasien untuk memudahkan aliran muntah.
4. Jangan berikan obat anti muntah sebab muntah merupakan mekanisme
pengeluaran benda asing yang ada di tubuh. Obat anti muntah diberikan jika
pasien mengalami dehidrasi parah.
5. Bila pasien sadar dan dapat minum, berikan susu atau air kelapa.
6. Berikan obat golongan absorben (misalnya : kaopectate, almunium hidroksida )
yang berguna menyerap racun yang ada di dalam usus. Jangan menghentikan
diarenya kecuali jika pasien dalam keadaan dehidrasi parah. Dosis dan jangka
waktu penggunaan alumunium hidroksida tergantung pada kondisi yang diobati,
tingkat keparahannya, serta kesehatan pasien secara umum dan responnya
terhadap obat. Jika dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) hari gejala tetap
persisten, maka langkah yang tepat yang harus ditempuh adalah membawa
korban ke Rumah Sakit untuk mendapatkan pengobatan secara intensif.
7. Berikan cairan yang mengandung garam dan gula (oralit). Bila terdapat tanda-
tanda dehidrasi, segera bawa pasien ke pelayanan kesehatan terdekat untuk
mendapatkan infus, karena korban keragunan pangan daging harus menerima
asupan cairan secara lebih intensif melalui infus.
8. Ingat makanan terakhir yang dikonsumsi pasien sebelum timbulnya gejala, selain
itu kita dapat menebak penyebab keracunan dari bau khas yang keluar dari mulut
pasien.
9. Bila memiliki penyakit diabetes, sistem imun yang rendah, berusia lanjut, atau
memiliki penyakit hati, dapat mengkonsumsi antibiotik (misalnya ciprofloxacin
15
2 x 500mg selama 5 hari) sebagai pencegahan terjadinya infeksi lebih lanjut.
Namun dalam hal ini ada baiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.
10. Dapat dilakukan pengobatan pembersihan jalan nafas, ventilasi dan antitoksin
polivalen intavena.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim].2008.MikrobiologiPangan.http://ilmupangan.com/index.php?option=com_c
ontent&task=blogcategory&id=16&Itemid=44 .
[Anonim].2009.StudiLiteratur:IntoksikasiMakanan.(http://duniaveteriner.com/2009/05
/studi-literatur).
Wahyudhi.2009.Staphylococcusaureus.
http://yudhiestar.blogspot.com/2009/09/staphylococcus-aureus.html.
18