Anda di halaman 1dari 15

BAB V

DRILLING AND COMPLETION


5.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan
5.1.1. Fisiografi
Secara fisiografi, lokasi lapangan Beta berada pada Cekungan Sumatera
Selatan (Gambar 5.1.)

Gambar 5.1. Peta Lokasi Kavling Beta


Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan yang menghasilkan
hidrokarbon paling produktif dalam tatanan cekungan belakang busur yang
terbentuk di timur pantai Sumatera di bagian Barat Indonesia.
Cekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh Selat Malaka di bagian timur,
Tinggian Tigapuluh di utara serta bentangan Bukit Barisan di bagian baratnya.
Daerahnya hampir semua berada di darat dan hanya sebagian kecil di lepas pantai.
Cekungan Sumatera Selatan mencakup luas area sekitar 119.000 km2 dengan
ketebalan sedimen tersier rata-rata 3.5 km.
Secara fisiografis bagian selatan dari Sumatera ini dapat dibagi menjadi 4 (empat)
bagian, yaitu:
1. Cekungan Sumatera Selatan,
2. Bukit Barisan dan Tinggian lampung,
3. Cekungan Bengkulu, meliputi lepas pantai antara daratan Sumatera dan
rangkaian pulau-pulau di sebelah barat Sumatera, dan
4. Rangkaian kepulauan (fore arc ridge) di sebelah barat Sumatera, yang
membentuk suatu busur tak bergunung-api di sebelah barat P. Sumatera
(Gambar 5.1.).

5.1.2. Stratigrafi Regional


Stratigrafi Regional, Cekungan Sumatra Selatan yang merupakan cekungan
belakang busur (back arc basin) berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat
tumbukan antara Sundaland dan Lempeng Hindia. Secara Geografis dibatasi oleh
Pegunungan Tigapuluh di sebelah utara, Tinggian Lampung di bagian selatan,
Paparan Sunda di sebelah timur, dan Bukit Barisan di sebelah barat.
Tatanan stratigrafi pada dasarnya terdiri dari satu siklus besar sedimentasi
dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir silkusnya.
Secara detail siklus ini dimulai oleh siklus non marin yaitu dengan diendapkannya
Formasi Lahat pada Oligosen Awal dan kemudian diikuti oleh Formasi Talang Akar
yang diendapkan secara tidak selaras di atasnya. Menurut Adiwidjaja dan De Coster
(1973), Formasi Talang Akar merupakan suatu endapan kipas alluvial dan endapan
sungai teranyam (braided stream deposit) yang mengisi suatu cekungan. Fase
transgresi terus berlangsung hingga Miosen Awal dimana pada kala ini berkembang
Batuan karbonat yang diendapkan pada lingkungan back reef, fore reef, dan
intertidal (Formasi Batu Raja) pada bagian atas Formasi Talang Akar. Fase
Transgresi maksimum ditunjukkan dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian
bawah secara selaras di atas Formasi Baturaja yang terdiri dari Batu serpih laut
dalam.
Fase regresi dimulai dengan diendapkannya Formasi Gumai bagian atas dan
diikuti oleh pengendapkan Formasi Air Benakat yang didominasi oleh litologi Batu
pasir pada lingkungan pantai dan delta. Formasi Air Benakat diendapkan secara
selaras di atas Formasi Gumai. Pada Pliosen Awal, laut menjadi semakin dangkal
dimana lingkungan pengendapan berubah menjadi laut dangkal, paludal, dataran
delta dan non-marin yang dicirikan oleh perselingan antara batupasir dan
batulempung dengan sisipan berupa batubara (Formasi Muara Enim). Tipe
pengendapan ini berlangsung hingga Pliosen Akhir dimana diendapkannya lapisan
batupasir tufaan, pumice dan konglemerat.
Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan
Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut
dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut
disebut Kelompok Telisa (De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal
hingga Miosen Tengah terdiri atas Formasi Lahat (LAF)

Gambar 5.2. Kolom Stratigrafi Cekungan Sumatra Selatan

Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai
(GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok
Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas
Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai
(KAF).
Sedimentasi yang terjadi di Cekungan Sumatera Selatan berlangsung pada
dua fase (Jackson, 1961), yaitu:
• Fase transgresi, pada fase ini diendapkan dari kelompok Telisa, yang terdiri
dari Formasi Lahat, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi
Gumai. Kelompok Telisa ini diendapakan secara tidak selaras diatas Batuan
induk Pra-Tersier.
• Fase regresi, pada fase ini dihasilkan endapan dari kelompok Palembang yang
terdiri dari Formasi Air Benakat, Formasi Muara enim, dan Formasi Kasai
A. Batuan Dasar
Batuan Dasar, Batuan Pra-Tersier atau basement terdiri dari kompleks
batuan Paleozoikum dan batuan Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku dan
batuan karbonat. Batuan Paleozoikum akhir dan batuan Mesozoikum tersingkap
dengan baik di Bukit Barisan, Pegunungan Tigapuluh dan Pegunungan Duabelas
berupa batuan karbonat berumur permian, Granit dan Filit. Batuan dasar yang
tersingkap di Pegunungan Tigapuluh terdiri dari filit yang terlipat kuat berwarna
kecoklatan berumur Permian (Simanjuntak, dkk., 1991). Lebih ke arah
Utara tersingkap Granit yang telah mengalami pelapukan kuat. Warna pelapukan
adalah merah dengan butir-butir kuarsa terlepas akibat pelapukan tersebut. Kontak
antara Granit dan filit tidak teramati karena selain kontak tersebut tertutupi
pelapukan yang kuat, daerah ini juga tertutup hutan yang lebat. Menurut
Simanjuntak, et.al (1991) umur Granit adalah Jura. Hal ini berarti Granit men
gintrusi batuan filit.
B. Formasi Lahat (LAF)
Menurut Spruyt (1956), Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas
batuan dasar, yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang secara
berangsur berubah keatas menjadi batu lempung tufan. Selain itu breksi andesit
berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian bawah. Batulempung
tufan, segarnya berwarna hijau dan lapuknya berwarna ungu sampai merah
keunguan. Menurut De Coster (1973) formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat,
batulempung, batupasir tufan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen
Akhir hingga Oligosen Awal. Formasi ini diendapkan dalam air tawar daratan.
Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat yang lainnya
karena bentuk cekungan yang tidak teratur, selanjutnya pada umur Eosen hingga
Miosen Awal, tejadi kegiatan vulkanik yang menghasilkan andesit (Westerveld,
1941 vide of side katilli 1941), kegiatan ini mencapai puncaknya pada umur
Oligosen Akhir sedangkan batuannya disebut sebagai batuan “Lava Andesit tua”
yang juga mengintrusi batuan yang diendapkan pada Zaman Tersier Awal. Formasi
Talang Akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan
batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut
Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen
Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat. Bagian bawah formasi
ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian
atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang
Akar berkisar antara 400 m – 850 m.
C. Formasi Talang Akar (TAF)
Nama Talang Akar berasal dari Talang Akar Stage (Martin, 1952) nama lain
yang pernah digunakan adalah Houthorizont (Musper, 1937) dan Lower Telisa
Member (Marks, 1956). Formasi Talang akar dibeberapa tempat bersentuhan
langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier. Formasi ini dibeberapa
tempat menindih selaras Formasi Lahat (De Coster, 1974), hubungan itu disebut
rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan stratigrafi diantara kedua
formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini diperoleh dari data
pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat Daya Kota Prabumulih
(Pertamina, 1981), Formasi Talang Akar dibagi menjadi dua, yaitu: Anggota
“Gritsand” terdiri atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya
pada bagian bawah kasar dan semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas
batupasir ini berubah menjadi batupasir konglomeratan atau breksian. Batupasir
berwarna putih sampai coklat keabuan dan mengandung mika, terkadang terdapat
selang-seling batulempung coklat dengan batubara, pada anggota ini terdapat sisa-
sisa tumbuhan dan batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter. Sedimen-sedimen
ini merupakan endapan fluviatil sampai delta (Spruyt, 1956), juga masih menurut
Spruyt (1956) anggota transisi pada bagian bawahnya terdiri atas selang-seling
batupasir kuarsa berukuran halus sampai sedang dan batulempung serta lapisan
batubara. Batupasir pada bagian atas berselang-seling dengan batugamping tipis
dan batupasir gampingan, napal, batulempung gampingan dan serpih. Anggota ini
mengandung fosil-fosil Molusca,Crustacea, sisa ikan foram besar dan foram kecil,
diendapkan pada lingkungan paralis, litoral, delta, sampai tepi laut dangkal dan
berangsur menuju laut terbuka kearah cekungan. Formasi ini berumur Oligosen
Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian selatan cekungan
mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara cekungan mempunyai
ketebalan kurang lebih 300 meter (De Coster, 1974).
D. Formasi Baturaja (BRF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini diendapkan secara selaras diatas
Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir gampingan.
Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut napal tufaan, lapisan
batugamping koral, batupasir napalan kelabu putih, batugamping ini mengandung
foram besar antara lain Spiroclypes spp, Eulipidina Formosa Schl, Molusca dan lain
sebagainya. Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen Awal.
Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal. Penamaan Formasi Baturaja
pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja Stage”,
Baturaja Kalk Steen (Musper, 1973) “Crbituiden Kalk” (v.d. Schilden, 1949;
Martin, 1952), “Midle Telisa Member” (Marks, 1956), Baturaja Kalk Sten Formatie
(Spruyt, 1956) dan Telisa Limestone (De Coster, 1974). Lokasi tipe Formasi
Baturaja adalah di pabrik semen Baturaja (Van Bemelen, 1932).
E. Formasi Gumai (GUF)
Formasi ini diendapkan setelah Formasi Baturaja dan merupakan hasil
pengendapan sedimen-sedimen yang terjadi pada waktu genang laut mencapai
puncaknya. Hubungannya dengan Formasi Baturaja pada tepi cekungan atau daerah
dalam cekungan yang dangkal adalah selaras, tetapi pada beberapa tempat di pusat-
pusat cekungan atau pada bagian cekungan yang dalam terkadang menjari dengan
Formasi Baturaja (Pulonggono, 1986). Menurut Spruyt (1956) Formasi ini terdiri
atas napal tufaan berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap. Kadang-kadang
terdapat lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff, lempung
serpih dan lapisan tipis batugamping. Endapan sediment pada formasi ini banyak
mengandungGlobigerina spp, dan napal yang mengeras. Westerfeld (1941)
menyebutkan bahwa lapisan-lapisan Telisa adalah seri monoton dari serpih dan
napal yan mengandung Globigerina sp dengan selingan tufa juga lapisan pasir
glaukonit. Umur dari formasi ini adalah Awal Miosen Tengah (Tf2) (Van
Bemmelen, 1949) sedangkan menurut Pulonggono (1986) berumur Miosen Awal
hingga Miosen Tengah (N9 – N12).
F. Formasi Air Benakat (ABF)
Menurut Spruyt (1956), formasi ini merupakan tahap awal dari siklus
pengendapan Kelompok Palembang, yaitu pada saat permulaan dari endapan susut
laut. Formasi ini berumur dari Miosen Akhir hingga Pliosen. Litologinya terdiri atas
batupasir tufaan, sedikit atau banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan
batugamping napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin berkurang
kandungan glaukonitnya. Pada formasi ini dijumpai Globigerina spp, tetapi banyak
mengadung Rotalia spp. Pada bagian atas banyak dijumpai Molusca dan sisa
tumbuhan. Di Limau, dalam penyelidikan Spruyt (1956) ditemukan serpih
lempungan yang berwarna biru sampai coklat kelabu, serpih lempung pasiran dan
batupasir tufaan. Di daerah Jambi ditemukan berupa batulempung kebiruan, napal,
serpih pasiran dan batupasir yang mengandung Mollusca, glaukonit kadang-kadang
gampingan. Diendapkan dalam lingkungan pengendapan neritik bagian bawah dan
berangsur kelaut dangkal bagian atas (De Coster, 1974). Ketebalan formasi ini
berkisar 250 – 1550 meter. Lokasi tipe formasi ini , menurut Musper (1937), terletak
diantara Air Benakat dan Air Benakat Kecil (kurang lebih 40 km sebelah utara-
baratlaut Muara Enim (Lembar Lahat). Nama lainnya adalah “Onder Palembang
Lagen” (Musper, 1937), “Lower Palembang Member” (Marks, 1956), “Air Benakat
and en Klai Formatie” (Spruyt, 1956).
G. Formasi Muara Enim (MEF)
Menurut Spruyt (1956) formasi in terlatak selaras diatas Formasi Air
Benakat. Formasi ini dapat dibagi menjadi dua anggota “a” dan anggota “b”.
Anggota “a” disebut juga Anggota Coklat (Brown Member) terdiri atas
batulempung dan batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir berukuran halus
sampai sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan batubara. Anggota “b”
disebut juga Anggota Hijau Kebiruan (Blue Green Member) terdiri atas
batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau, beberapa
lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus berwarna putih
sampai kelabu terang. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan
debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan
silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya
berupa lignit. Pada anggota “a” terkadang dijumpai kandungan Foraminifera dan
Mollusca selain batubara dan sisa tumbuhan, sedangkan pada anggota “b” selain
batubara dan sisa tumbuhan tidak dijumpai fosil kecuali foram air payau
Haplophragmoides spp (Spruyt, 1956). Ketebalan formasi ini sekitar 450 -750
meter. Anggota “a” diendapkan pada lingkungan litoral yang berangsur berubah
kelingkungan air payau dan darat (Spruyt, 1956). Lokasi tipenya terletak di Muara
Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat (Tobler, 1906)
H. Formasi Kasai (KAF)
Formasi ini mengakhiri siklus susut laut (De Coster dan Adiwijaya, 1973).
Pada bagian bawah terdiri atas batupasir tufan dengan beberapa selingan
batulempung tufan, kemudian terdapat konglomerat selang-seling lapisan- lapisan
batulempung tufan dan batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan
tuf batuapung yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur
sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa- lensa dalam batupasir dan
batulempung tufan (Spruyt, 1956). Tobler (1906) menemukan moluska air tawar
Viviparus spp dan Union spp, umurnya diduga Plio-Plistosen. Lingkungan
pengendapan air payau sampai darat. Satuan ini terlempar luas dibagian timur
Lembar dan tebalnya mencapai 35 meter.

J. Endapan Quarter
Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh
orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas
formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat
berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik
berwarna gelap. Satuan ini berumur resen.
5.2. Tujuan Pemboran
Pemboran yang dilakukan merupakan tahapan pengembangan sumur yang
digunakan untuk meningkatkan produksi minyak. Pemboran yang dilakukan
dengan metode vertical drilling ini menembus tiga lapisan yaitu lapisan Z380,
Z450, Z550 yang terletak pada Formasi Air Benakat dan memiliki kedalaman total
vertikal yaitu 2300 m. Operasi pemboran ini diharapkan dapat dilaksanakan
seefektif dan seefisien mungkin tanpa adanya kecelakaan kerja maupun kerusakan
alat dan kerusakan lingkungan.

5.3. Ringkasan Operasi Pemboran


Sumur direncanakan akan dibor vertikal hingga pada kedalaman akhir 1300
m (4265,3 ft). TVD dengan estimasi lama pemboran selama 65 hari. Operasi
pemboran sumur ini diringkas sebagai berikut :
1. Rig masuk Lokasi
2. Pasang conductor casing 20” dengan hammer di kedalaman 340 ft.
3. Persiapan dan masuk rangkaian bit Persiapan dan masuk rangkaian bit 17
1/2” menggunakan tricone roller cone bit hingga kedalaman 1100 ft,
sirkulasi bersih, cabut rangkaian bit 17 1/2” sampai permukaan. Persiapan
masuk casing 13 3/8”, masuk casing 13 3/8”, penyemenan casing 13 3/8”,
tunggu semen kering.
4. Persiapan dan masuk rangkaian bit 12 1/4” menggunakan tricone roller
cone bit hingga kedalaman 2200 ft, sirkulasi bersih, cabut rangkaian bit 12
1/4” sampai permukaan. Persiapan masuk casing 9 5/8”, masuk casing 9
5/8”, penyemenan casing 9 5/8”, tunggu semen kering.
5. Persiapan dan masuk rangkaian bit 8 1/2” menggunakan tricone roller cone
bit hingga kedalaman 4265 ft, sirkulasi bersih, cabut rangkaian bit 8 1/2”
sampai permukaan. Persiapan masuk casing 7”, masuk casing 7”,
penyemenan casing 7”.
6. Rig release.
5.4. Program Pahat
Terdapat empat trayek yang akan dilakukan pada sumur ini, yaitu trayek
conductor, trayek surface¸ trayek intermediate, dan trayek production. Trayek
conductor dipasang dengan cara penumbukan karena formasi yang ditembus
dianggap lunak, sedangkan untuk ketiga trayek lainnya dilakukan pemboran
menggunakan tricone roller cone bit. Pada trayek surface digunakan tricone roller
cone bit 17 1/2” yang akan menembus formasi batulanau dan endapan tuff dengan
sisipan batubara sehingga dengan kondisi formasi yang lunak tersebut digunakan
IADC bit type 1 (steel tooth), 1 (very soft formation), dan 5 (sealed roller bearing
with gauge protection).
Untuk trayek intermediate digunakan tricone roller cone bit 12 1/4” yang
akan menembus formasi batupasir dan batulempung dengan sisipan batubara
sehingga dengan kondisi formasi yang tidak terlalu keras tersebut digunakan IADC
bit type 1 (steel tooth), 1 (soft formation), dan 7 (sealed friction bearing with gauge
protection), sedangkan untuk trayek production digunakan tricone roller cone bit
7” karena akan menembus formasi batupasir, batulempung, dan batugamping
dengan sisipan batubara sehingga dengan kondisi formasi yang tidak terlalu keras
tersebut digunakan IADC bit type 1 (steel tooth), 1 (soft formation), dan 7 (sealed
friction bearing with gauge protection).

5.5. Perencanaan Desain Lumpur


Program lumpur sangat dipengaruhi oleh jenis lithologi yang akan ditembus.
Pemboran pada lapangan Beta menembus zona batuan pasir, zona batuan lanau,
zona batu lempung, dan zona batu bara / sisipan.
Pada trayek conductor casing tidak menggunakan lumpur pemboran karena
pemasangan casing menggunakan metode hammer. Selanjutnya untuk trayek
surface casing, trayek intermediate casing dan trayek production casing
menggunakan water based mud dengan additive yang disesuaikan dengan problem
zona formasi yang ditembus.
Pada trayek surface suatu operasi pemboran menembus zona batu pasir, dan
zona batu lanau. Lumpur yang digunakan pada surface casing 13 3/8” batu lanau
dengan interval 0 - 600 ft adalah water based mud dengan additive barite untuk
meningkatkan densitas lumpur, penambahan additive PAC – L sebagai viscosifier
untuk mengontrol rheology pada lumpur pemboran, serta penambahan kcl polymer
untuk mencegah terjadinya swelling.
Pada trayek intermediate suatu operasi pemboran menembus zona batu
lempung, zona batu pasir, dan zona batubara. Lumpur yang digunakan pada
intermediate casing 12 ¼ ” dengan interval 0–2190 ft adalah water base mud
dengan additive barite untuk meningkatkan densitas lumpur juga karena pengaruh
shallow gas yang dapat menyebabkan terjadinya kick, penambahan additive PAC –
L sebagai viscosifier untuk mengontrol rheology pada lumpur pemboran juga
sebagai filtration loss control agent , serta penambahan kcl polymer untuk
mencegah terjadinya swelling.
Pada trayek production suatu operasi pemboran menembus zona batu
lempung, dan zona batu pasir. Pada production casing 8 1/2” dengan interval 0–
4190 ft lumpur yang digunakan sama dengan lumpur pada surface casing dan
intermediate casing.
Tabel V-1.
Program Lumpur
Trayek Pemboran Surface Intermediate Production
Densitas, ppg 9.29 10 9
Plastic Viscosity,
< 20 < 20 < 20
cp
Yield Point,
25 – 40 25 - 40 25 – 40
lb/100ft2
Gel Strength
10 -22 / 12 -
(10"/10'), 10 -22 / 12 - 25 10 -22 / 12 – 25
25
lb/100ft2
API FL, cc/ 30
6 – 10 6 - 10 6 – 10
min
PH, Mg/L 9.5 – 10.5 9.5 – 10.5 9.5 – 10.5
Barite + Kcl Barite + Kcl
Barite + Kcl Polymer
Additive Polymer + Polymer + PAC
+ PAC - L
PAC - L -L
Wetting agent,
Wetting agent,
Kegunaan Shale Wetting agent, Shale
Shale inhibitor,
Additive inhibitor, inhibitor, Viscofier.
Viscofier.
Viscofier.
Mud Window
Pressure, Psi
0 500 1000 1500 2000 2500
0

500

1000

1500
Depth, ft

2000

2500

3000

3500

4000

TEKANAN FORMASI Prf PHM

5.6. Program Semen


Semen yang digunakan pada sumur di lapangan Beta adalah semen kelas G. Semen
digunakan untuk memperkuat casing dan mengisolasi casing dari formasi, Pada
penyemenan zona casing produksi densitas berkisar 10 ppg untuk tail dan 9.5 ppg
untuk lead. Berikut adalah tabel program semen yang akan digunakan untuk sumur
ini:
TABEL V-2.
Program Semen
Trayek Surface Intermediate Production
Slurry Type Lead Lead Lead
Cement Density 9.5 9.5 9.5
Slurry Type Tail Tail Tail
Cement Density 10 10 10
Spacer Density 9.8 9.8 9.8
5.7. Formation Completion
Komplesi sumur dilakukan pada tahap akhir yaitu tahap penyempurnaan
proses pemboran agar sumur siap untuk diproduksi. Jenis komplesi sumur harus
sesuai dengan formasi batuan agar laju produksi yang diperoleh optimum dan tidak
menimbulkan efek negative terhadap formasi.
Kriteria Strength Formation yang diperoleh dari suatu formasi yang
ditembus setiap lapisan, yaitu lapisan Z380 sebesar 1.21188E+12 psi^2 , lapisan
Z450 1.20332E+12 psi^2 , dan lapisan Z550 sebesar 1.48677E+12 psi^2 . Dari ketiga
lapisan tersebut dapat disimpulkan bahwa strength formation dari ketiga lapisan
tersebut > 0.8 x 10^12 yang membuktikan bahwa lapisan tersebut bersifat kompak
dan tidak ikut memproduksi pasir. Jenis komplesi yang akan digunakan adalah
cased hole completion dengan comingle completion karena lapisan yang akan
diproduksikan lebih dari satu lapisan serta mencegah terjadinya water coning dan
gas coning. Sedangkan ukuran tubing yang akan digunakan untuk mengalirkan

fluida hidrokarbon ke permukaan adalah 2 7/8”.

Tabel V-3.
Kriteria Strength Formation
Interval Transite Time Bulk Density
Zone V Shale Avrg Por (microsec/ft) (gr/cc)
Z380 0.244 0.17 77 2.36784
Z450 0.321 0.1625 76 2.3802
Z550 0.069 0.1675 76 2.37196
Zone Tou A B G/Cb (psi^2)
Z380 0.3005 0.13955025 0.30323325 1.21188E+12
Z450 0.310125 0.130990016 0.301274161 1.20332E+12
Z550 0.278625 0.159694391 0.307456036 1.48677E+12
5.8. Mitigasi Problem Pemboran
Problem pemboran yang diperkirakan dapat terjadi pada sumur di Lapangan Beta
jika didasarkan pada litologi batuannya antara lain :
Tabel V-4.
Mitigasi Problem Pemboran
No Potensi Bahaya Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya
Menggunakan lumpur dengan tekanan hidrostatik
Partial Loss mendekati Pf agar differential pressure yang terjadi
1. Selama Pemboran tidak terlampau besar
dan Cementing Menggunakan lumpur dengan margin yang sesuai
dengan Pf agar tidak merekahkan formasi
Menambahan additive Kcl Polymer agar tidak
2. Swelling Clay
bereaksi dengan clay
Menggunakan lumpur dengan tekanan hidrostatik
mendekati Pf agar differential pressure yang terjadi
Ketidak stabilan
tidak terlampau besar
3. lubang bor dan
Menjaga filtrat loss lumpur
pipe sticking
Back off operataion: fishing (jika masih gagal,
melakukan sidetrack)
Mengontrol dan memperhatikan sifat fisik fluida
pemboran terutama densitas agar tidak berada di
bawah tekanan formasi
Penanggulangan kick :
a. Menghentikan pemboran, angkat drillstring
hingga di atas Kelly
4. Kick
b. Mematikan pompa dan tutup BOP
c. Mencatat SIDP dan SICP
d. Mengecek kenaikan volume lumpur pada kolam
lumpur
e. Menyiapkan lumpur berat untuk dipompakan
untuk penanggulangan kick

Anda mungkin juga menyukai